You are on page 1of 9

Nama NIM Kelas

:Rieke Yulian Sari :105040204111014 :Agroekoteknologi J

Mata Kuliah :Manajemen Agroekosistem

PENGELOLAAN LAHAN RAWA Lahan rawa merupakan lahan basah, atau wetland, yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah marsh, fen, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997). Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara system perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayukayuan/ hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal. Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungancekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya

adalah yang dominan. Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah: a. Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulaupulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. b. Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar Lokasi zona II masih terdapat pada wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih terasa berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. c. Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut Merupakan zona yang terletak makin ke arah hulu sungai, yaitu mendekati atau berada pada daerah aliran sungai (DAS) bagian tengah. Pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi, berganti dengan pengaruh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara periodik menggenangi wilayah selama musim hujan. Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai akibat dari volume air sungai yang menjadi sangat besar selama musim hujan, dan tekanan balik arus pasang dari bagian muara. Sungai di daerah ini tidak mampu menampung semua air, sehingga meluap membanjiri dataran banjir di kiri kanan sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air banjir akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau tahun berikutnya. Sumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di Pulau

Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan pada gambar berikut.

Berdasarkan studi yang dilakukan Nugroho et al (1991), luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha, yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha, dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi lahan. Dengan mengetahui luas lahan rawa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat kita ketahui bahwa pemanfaatan lahan tersebut dapat mengatasi penciutan atau penyempitan lahan produktif, khususnya di derah Jawa. Pemanfaatan lahan rawa memang memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten. Pemanfaatan lahan rawa ini dapat dilakukan dengan system reklamasi atau pengeringan rawa untuk dijadikan daratan. Kunci dari system ini adalah dengan pengelolaan air dan tanah, yang meliputi jaringan tata air makro dan mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan. Untuk system jaringan tata air, dapat dibedakan menjadi tata air primer, sekunder dan tersier. Sedangkan menurut hubungan, dapat dibedakan menjadi tata air terbuka dan tata air tertutup. Pada jaringan tata air terbuka yaitu dengan membuat saluran air yang mengalir ke permukaan bebas. Dalam hal ini, biasanya

dibuat parit dan saluran irigasi. Sedangkan jaringan tata air tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran parit atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan. Pembuatan jaringan atau saluran air ini harus memperhatikan kontur lahan. Sehingga diharapkan air dapat mengalir dengan baik. Kedalaman saluran juga harus diperhatikan, untuk mengantisipasi penurunan muka air yang drastis. Dengan mengelola system saluran air ini, maka diharapkan dapat berfungsi sebagai drainase, pemasok air, mendukung reklamasi lahan dan sebagai konservasi sumber air. Pengelolaan tata air mikro juga penting. Hal ini berfungsi untuk (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Pengelolaan air mikro ini, dapat dilakukan pada saluran ait tersier. Tujuannya untuk (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap.

Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit. Ameliorasi dan pemupukan adalah hal penting selanjutnya untuk meningkatkan pemanfaatan lahan rawa. Ameliorasi adalah memasukkan zat-zat tertentu, misalnya kapur, untuk perbaikan sifat tanah. Tanah rawa umumnya memiliki sifat yang asam. Maka, ameliorasi dengan zat kapur akan sangat membantu dalam meningkatkan pH tanah sehingga tidak terlalu asam, dan harapannya lahan rawa dapat berproduksi optimal. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah: 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, 7) waktu Pemupukan juga harus diperhatikan. Pemupukan bertujuan untuk memenuhi hara yang dibutuhkan tanah. Setelah melakukan beberapa metode yang telah diuraikan di atas, maka lahan rawa dapat digunakan sebagai alternative pemecahan masalah peningkatan jumlah penduduk dan pangan. Pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian kedepan perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan sumberdaya alamnya tetap terpelihara dengan baik. Lahan tersebut juga menyimpan beragam sumber daya genetik aneka komoditas pertanian. Masalah utama pengembangannya adalah rejim air yang sangat fluktuatif dan sulit diduga. Oleh karenanya untuk mengembangkan lahan lebak menjadi areal pertanian, khususnya untuk tanaman padi dalam skala luas memerlukan penataan lahan dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil optimal. Tanaman budidaya yang dapat dikembangkan pada lahan rawa adalah antara lain Padi, jagung, kedelai, dan umbi-umbian adalah tanaman pangan yang dapat

tumbuh di lahan rawa. Tetapi hanya padi dan umbi-umbian yang memiliki kekhasan di lahan rawa. Padi varietas lokal sangat banyak di jumpai di lahan rawa, baik di lahan pasang surut maupun di lahan lebak. Hal ini mungkin karena sifat adaptasinya yang tinggi pada kondisi lingkungan lahan rawa, meskipun hasilnya termasuk rendah. Sementara ubi ubian lebih banyak ditemukan .di lahan lebak. (Sastrapraja dan Rifai 1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan pusat keragaman genetik untuk Dioschorea sp. (uwi, yam). Lahan rawa yang telah direklamasi juga tidak menutup kemungkinan dapat mengalami degradasi atau penurunan kualitas. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh reklamasi yang berlebihan sehingga menyebabkan drainase yang berlebihan. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya lahan rawa dibedakan menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-reklamasi atau non-budidya. sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya. Kawasan non reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan manusia, terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan vegetasi alami. Menurut Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan kawasan konservasi dengan berbagai tujuan, antara lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai kawasan untuk perlindungan hewan dan tanaman langka, dan (c) untuk keperluan penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem gambut di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta kelestarian sumberdaya alam rawa (Widjaja-Adhi, 1997).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman et al. 2006. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Alihamsyah dan Ar-Riza. 2006. Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Anonymous. 2012. Sistem Informasi Lahan Rawa. http://ilkom.unsri.ac.id. Diakses pada 12 Maret 2012 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2006. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor ILUSTRI. 2012. Drainase. http:// http://ilustri.org. Diakses pada 12 Maret 2012 Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. http://dasar2ilmutanah. blogspot. com. Diakses pada 12 Maret 2012 Subagyo. 2006. Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Subagyo. 2006. Lahan Rawa Lebak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Subagyo. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor Suriadikarta dan Setyorini. 2006. Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor

PENGELOLAAN LAHAN RAWA


UNTUK MEMENUHI TUGAS TUTORIAL MATA KULIAH MANAJEMEN AGROEKOSISTEM

Rieke Yulian Sari 105040204111014 Agroekoteknologi J

UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI MALANG 2012

You might also like