You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan adanya Tuhan adalah dasar utama dalam paham keagamaan.

Ketika seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbulah tanda tanya dalam hatinya tentang berbagai hal. Dalam hatinya yang dalam memancar kecenderungan untuk tahu berbagai rahasia yang merupakan bentuk misteri yang terselubung. Dalam membicarakan persoalan kepercayaan kepada Tuhan ada perbedaan antara Tuhan dengan ide tentang Tuhan. Ada tiga hal utama, yaitu ; pertama, manusia bisa mempergunakan simbol dalam segala bidang, dan simbol akan berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan kecerdasan dan pengetahuan manusia. Manusia sudah menyembah Tuhan sebelum munculnya doktrin dan problem-problem filsafat mengenai Tuhan. Kedua, manusia menemukan kelompok-kelompok lain yang mempunyai ide tentang Tuhan yang berlainan dengan keyakinan yang ia miliki, timbulah pertanyaan, yang manakah ide yang benar tentang Tuhan. Dengan perkembangan pengetahuan, konsep-konsep lama tidak cukup dan memadai lagi untuk mempertahankan ide yang sama atau mengubahnya atau bahkan meninggalkannya. Ketiga, tidak ada pandangan individual tentang Tuhan yang dianggap final dan memadai. Pengetahuan berkembang dan tidak sempurna. Manusia merasa sukar untuk menjelaskan keyakinannya yang mendalam dengan cara yang memuaskan. Fitrah manusia yang kemudian selalu bergejolak memikirkan, mencari dan merindukan Tuhan, mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan, serta ke tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan penggunaan akal. Fitrah ini merupakan disposisi (kemampuan dasar yang mengandung kemungkinan untuk berkembang). Mengenai arah perkembangannya sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW. : "setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, maka pengaruh pendidikan orang tuanyalah (orang dewasa), anak itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi". Hadist ini mengisyaratkan, bahwa faktor lingkungan, dalam hal ini orang tua sebagai orang terdekat dimana ia berada dalam suatu lingkungan, sangat berperan sekali dalam mempengaruhi fitrah keagamaan anak.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat Apakah filsafat itu? Berangkat dari pertanyaan pertama itulah kita akan membahas arti kata dari filsfat. Filsafat dijabarkan dari perkataan philosophia. Pekataan ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti : cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Harold H. Titus mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan arti yang luas. Dalam arti yang sempit, filsafat diartikan suatu ilmu gyang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika baghasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai Sciance of science, dimana tugas utamanya adalah memberikan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna hidup. Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfikir dikatakan berfilsafat, apabila berfikir tersebut memiliki tiga cirri utama, yaitu: radikal, sistematis, dan universal.(1:58-60). B. Mengenal Tuhan Edgar S. Brightman, mencoba mendevinisikan Tuhan dengan sesuatu yang tertinggi yang mengalami alam semesta, yang menguasai proses alam semesta, untuk mencapai tujuan yang mengandung nilai paling tinggi. Dijelaskan, Tuhan sebagai YangMengalami, yakni suatu kumpulan kesadaran yang dirasakan sebagai suatu keseluruhan. Yang-Mempunyai "identitas diri" dan meliputi "isi, bentuk dan kegiatan". Brightman berusaha menunjukkan hipotesanya tentang adanya Tuhan, karena adanya kebenaran serta akal dan sistem (yang tidak dapat dijelaskan atas dasar naturalisme). Dalam arti tertentu kebenaran adalah Tuhan, karena masing-masing merupakan sistem atau kesatuan. Tuhan adalah sesuatu yang diagungkan, yang dilebihkan dari yang lain, tempat manusia mengadu dalam segala persoalan hidupnya. Dari batasan ini seolah-olah tidak

ada satu pun manusia yang tidak ber-tuhan, hanya masalahnya siapakah yang dijadikan Tuhan oleh manusia. Secara filsafat, prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, distinct dan unik. Absolut itu artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau tuhan dapat diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya. Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi distinct dan tidak lagi mutlak. Tuhan sebagaimana juga yang diperkenalkan dalam ajaran-ajaran lain sesuai dengan petunjuk dari tuhan itu sendiri ataupun berdasarkan persepsi atau gambaran tentang kondisi sifat-sifat sesuatu yang dipertuhankan yang dapat dihayati oleh pemimpin-pemimpin agamanya. Karena dalam agama teistik manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia mengilhami daya persepsi yang merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan mereka dalam mengatur kehidupan. Sebagai pembuktian bahwa adanya Tuhan menurut jalan fikiran atau filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya tentang kemestian adanya Tuhan menurut Juhaya S. Praja[13] diperkenalkan sebagai dalil klasik dengan argumen-argumen sebagai berikut : 1. Argumen Ontologis Ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang hakikat yang ada. Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan atas argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Argumen ini diperkenalkan pertama kali oleh Plato (428-348 SM), bahwa tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu.

Ibnu Sina salah seorang filosof muslim juga mengembangkan argumen ontologi. Yang menurutnya ada tiga macam sesuatu yang ada, yaitu : 1. 2. 3. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya, selain dirinya sendiri (Tuhan). Yang berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk kepada yang menjadikannya. Makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya. Inti dari argumen ini adalah bahwa manusia ini memiliki konsep tentang sesuatu yang sempurna. Argumen ini juga mendapat tantangan, bahwa wujud yang ada di dunia yang alam nyata ini belum tentu sama dengan bayangan aslinya. Sebab alam aslinya itu alam ghaib di atas jangkauan indera manusia. Immanuel Kant pun ikut mengkritik argumen ontologi ini dengan alasan wujud kepada konsep tentang sesuatu tidak membawa hal yang baru bagi konsep itu. Dengan kata lain konsep tentang kursi bayangan dan konsep kursi yang mempunyai wujud tidak ada perbedaannya. Oleh karenanya argumen ini tidak meyakinkan atheis atau agnostic untuk percaya pada adanya Tuhan. 2. Argumen Kosmologis Argumen kosmologi untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Aristoteles, murid Plato. Cosmological argument atau dalil tentang penciptaan adalah merupakan pembuktian paling tua dan sederhana tentang pembuktian adanya Tuhan. Bahwa tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi dan bentuk (matter and form). Bentuk merupakan hakikat atau konsep universal atau definisi sesuatu, maka ia adalah kekal dan tidak berubah-ubah. Akan tetapi dalam panca indera terdapat perubahan. Inti dari argumen ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakan, sebab seluruh perwujudan yang ada di alam ini, selamanya bergantung pada adanya perwujudan yang lain. Tidak mungkin ada di alam ini sesuatu yang wujud tanpa adanya yang memunculkan. Keteraturan alam ini pasti ada yang mengatur dan pasti ada yang menjadikan sebabnya. Sebab utama disebut dengan prima causa atau asbabul asbab. Sedangkan rangkaian peristiwa atau gerakan itu, akan mengantarkan pula kepada adanya penggerak utama atau prima causa tersebut. 3. Argumen Teleologis Bahwa argumen ini merupakan penerapan dari argumen kosmologis dalam

bentuknya yang lain. Segala perwujudan ini tersusun dalam sistim yang teratur, dan setiap benda yang di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan tertentu. Keteraturan alam tidak bisa tidak harus ada yang mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah. Dalam teologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerja sama untuk kepentingan organisme tersebut. Dunia dalam pandangan teologis tersusun dari bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk tujuan tertentu. Tujuan ini ialah kebaikan dunia dalam keseluruhannya. Kritik dalam argumen ini bahwa alam tidak mempunyai tujuan, alasannya : a. Permukaan bumi ada yang tandus, subur. b. Dalam diri manusia ada usus buntu, yang tidak ada perlunya bahkan berbahaya. c. Anak-anak banyak yang meninggal pada usia relative muda, apa perlunya. d. Bangsa-bangsa yang musnah dari permukaan bumi ini itupun apa perlunya. e. Apa perlunya kejahatan dan pengrusakan yang ada di alam ini 4. Argumen Moral Immanuel Kant mempelopori argumen moral menyatakan bahwa perbuatan baik jadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang akan ditimbulkan dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perbuatan baik itu karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalau perintah itu diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang tahu baik dan buruk. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Walaupun argument ini mendapat kritik pula, yang berpangkal dari pengakuan yang ada perasaan moral yang tertanam dalam jiwa manusia yang berasal dari luar diri manusia, tidak dapat diterima, karena normanorma moral tersebut bisa tidak objektif. 5. Argumen Epistemologis Ibn Taimiyah menyodorkan argumen epistemologis yang bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori-teori pengetahuan atau ilmu. Ilmu itu mempunyai dua sifat, ta'bi, yang dapat diterjemahkan obyektif; dan matbu' yang dapat diterjemahkan subyektif. Suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan si subyek (manusia) tentang obyek tersebut. Sedangkan yang bersifat subyektif ialah pengetahuan

manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Atau suatu ilmu itu dinyatakan ada kalau si subyek atau manusia mengetahui keberadaannya.

BAB III PENUTUP

Sebagai penutup saya kutip perkataannya Al Ghazali dalam bukunya Al-Maqasidul Asna, yang membahas tentang Asma' Alhusna, bahwa "Ketuhanan" adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam bentuk benak, bahwa ada yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah. Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah Yang Maha Tinggi sendiri, karena itu Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia (Muhammad saw) kecuali nama yang diselubungi dengan firman-Nya "Sabbihisma Rabbika al A'la", Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah di dunia dan di akhirat- kecuali Allah. Karena itu tulis Al-Ghazali; "Jika Anda bertanya apakah puncak pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab kata Al-Ghazali-, "Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya". Sesuai dengan yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw ; Saya Ya Allah- tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifatsifat ketuhanan-Mu. Hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu" H.R. Ahmad.

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya Ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwasanya saya telah dapat membuat Makalah Mata Kuliah Agama Tentang Filsafat Ketuhanan, walaupun banyak sekali hambatan dan kesulitan yang saya hadapi dalam menyusun makalah ini, dan mungkin makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum bisa dikatakan sempurna dikarenakan keterbatasan kemampuan saya. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan ktitik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak terutama dari Bapak/Ibu Dosen supaya saya dapat lebih baik lagi dalam menyusun sebuah makalah dikemudian hari, dan semoga makalah ini berguna bagi siapa saja terutama bagi teman-teman untuk pengetahuan lain tentang keagamaan.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar isi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB II. PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat .. 2 B. Mengenal Tuhan . 3 BAB III. PENUTUP . 4

You might also like