You are on page 1of 15

PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas dalam mengikuti Perkuliahan Sistem Pemerintahan Indonesia yang dibina oleh Drs. Suwondo, MS dan Erlita Cahyasari, SAP, MAP

Disusun oleh: Kelompok 3 1. Nindyari Dewanti Putri 2. Ella Yulisa Putri 3. Eka Tri Wahyuni 4. Anggi Kurnianto 5. Deri Pradana (115030600111034) (115030600111036) (115030613111002) (115030600111024) (115030607111014)

Perencanaan Pembangunan (B)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN PEMBANGUNAN JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG April 2012

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sistem pemerintahan berawal dari pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto yang menggunakan sentralisasi. Pada saat itu keputusan yang dilaksanakan di daerah masih ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini memiliki kekurangan, mengingat wilayah Indonesia sangat luas. Sehingga keputusan yang diambil memakan banyak waktu. Dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974 yang berisi bahwa pemerintahan daerah memperoleh kewenangan dari pemerintah pusat yang berdasarkan asas desentralisasi. Dengan penetapan ini, kata pemerintahan daerah mulai digunakan. Setelah itu pemerintahan daerah mulai di kuatkan lagi dengan dibuatnya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 tentang dekonsentrasi, yang pada intinya berisi tentang penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah atau yang sering disebut dengan otonomi daerah. Otonomi menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan UU dalam kerangka NKRI. Lebih luasnya, desentralisasi dibagi dalam 4 bentuk-bentuk; yaitu: dekonsentrasi, delegasi kepada semi otonom, devolusi, dan transfer fungsi. Selain menciptakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah juga menetapkan tugas pembantuan sebagai salah satu kebijakan pemerintah terhadap pemerintahan daerah. Pada UU Nomor 22 tahun 1999, tidak terdapat bab secara khusus yang mengatur tentang tugas pembantuan. Pengaturannya tersebar pada pasal 13 untuk penugasan dari pemerintahan pusat kepada Daerah dan pasal 100 untuk penugasan dari Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah kepada Desa. Di dalam pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan di tetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah Apa itu pemerintahan daerah? C. Tujuan Mengetahui tentang pemerintahan daerah.

BAB 2 PEMBAHASAN 1. Sentralisasi Secara estimologi Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari

kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Secara terminologi 1. Menurut B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang paham nya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik ekonomi, sosial di satu pusat. 2. Sentralisasi adalah seeluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.

Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh keputusan / kebijakan dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut undang - undang. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusingpusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat. 2. Desentralisasi Definisi Desentralisasi Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah

pada suatu suatu organisasi. Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerintah pusat. Rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang bertanggung jawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah. Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah otoriter sehingga tidak mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Adapun mengenai tujuan dari desentralisasi yang berdasarkan kepada landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud oleh The Liang Gie (Jose Riwu Kaho, 2001 Hal 8 ) adalah : 1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksud untuk mencegah penumpukan kekuasaan di suatu daerah.

2. Dalam bidang Politik, desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, dalam rangka menarik minat rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (pendidikan politik). 3. Dari perspektif teknik organisatoris pemerintah desentralisasi dimaksud untuk mencapai efensiensi. 4. Dari sudut kultur desentralisasi diharapkan perhatian sepenuh nya ditumpahkan kepada daerah, seperti : geografi, ekonomi, politik dan kondisi masyarakat. 5. Diharapakan pemerintah daerah lebih memfokuskan pembangunan di daerah tersebut.

Bentuk-bentuk Desentralisasi Dalam tataran pelaksanaan dan teorinya desentralisasi memiliki model, diantaranya adalah : 1. Dekonsentrasi Desentralisasi dalam bentuk dekosentrasi (Deconcentration) menurut Rondinenlly, pada hakikat nya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara depertemen pusat dengan penjabat pusat yang ada di lapangan, jadi dekonsentrasi itu hanya merupakan pergeseran volume pekerjaan dari depertemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah. Juga ditamabahkan oleh Rondinelly, bahwa dekonsentrasi memiliki dua bentuk diantara nya adalah Field Administration atau kita kenal dengan administrasi lapangan dimana penjabat lapangan diberikan kekuasaan untuk merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaannya dengan kebijakan pusat dengan kondisi setempat (daerah) dan kesemuanya itu dilakukan atas petunjuk dan bimbingan pemerintah pusat. Yang kedua adalah Local Administration (Administrasi Lokal) yang terdiri

dari Integrated Local Administration (Adminstrasi Lokal Terpadu) dimana tenaga tenaga dari depertemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh

dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga tersebut diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan oleh pemerintah pusat mereka tetap berkedudukan sebagai staff teknis kepala daerah. Yang kedua adalah unintegration Local Administration (Adminstrasi Lokal yang tidak terpadu) dimana tenaga-tenaga yang diangkat oleh pusat yang berada di daerah dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri mereka bertanggung jawab kepada masing-masing depertemen yang ada di pusat. Dari klausa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa kwenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 mengatur kewenangan pemerintah pusat tersebut sebagai berikut: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan , a.menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c.menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004.

Dari penjelasan diatas susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain dengan asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah.

Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama. Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai. Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh masyarakat indonesia. 2. Delegasi Delegation To Semi Autonomus adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan menejerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu oraganisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat 3. Devolusi Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unitunit pemerintah diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu kepada unit-unit untuk dilaksanakan secara mandiri. 4. Privatisasi Privatisasi menurut Rondinelly adalah (transfer of functions From Government To Non Government Institution) artinya adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan swasta, dan swadaya masyarakat dan juga menjadi peleburan dari BUMN / BUMD menjadi swastanisasi. Contoh : Dalam beberapa hal pemerintah mentransfer beberapa kegiatan nya kepada KADIN (Kamar Dagang Dan

Industri) untuk mengeluarkan izin, kemudian masalah yang menyangkut masalah sosial pemerintah memberikan kepada LSM. 3. Otonomi Daerah Pada tataran aplikatif bahwa antara otonomi daerah dan desentralisasi tidak punya perbedaan, keduanya memiliki esensial bahwa bagaimana daerah tersebut bebas menentukan masa depan mereka sendiri. Otonomi menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan UU dalam kerangka NKRI. Menurut ekonomi, manajemen dalam otoda pengambilan keputusan-keputusan dipangkas, cukup di tingkat daerah sehingga menghemat energi dan biaya. Berdasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999, prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspekaspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. 3. Pelaksanaan otonomi luas berada pada daerah tingkat kabupaten dan kota, sedangkan pada tingkat provinsi otonomi terbatas. 4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjaga hubungan yang serasi antar pusat dan daerah serta antar daerah. 5. Pelaksanaan otonomi daerah harus meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam wilayah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. 6. Kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah seperti atau pihak lain seperti Badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom. 7. Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi,fungsi pengawas maupun sebagai fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.

8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. 9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

4.

Asas Tugas Pembantuan Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi apabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan penangananya harus segera dilaksanakan. Keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam peraturan, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat diterima oleh prinsip pemerintahan daerah dalam negara kesatuan. Karena asas ini tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Sama seperti asas-asas lainnya, peranan asas tugas pembantuan dari waktu ke waktu juga mengalami pasang naik maupun pasang surut. Di dalam UU Nomor 22 tahun 1948 juga sudah di kenal asas medebewind, yang berarti penyerahan kewenangan tidak penuh, dalam arti penyerahannya hanya mengenai cara menjalankannya saja, sedangkan prinsip-prinsipnya di tetapkan oleh pemerintah pusat sendiri. Apabila dilihat dari bentuk dan sifat kegiatannya, medebewind ini sama dengan asas tugas pembantuan yang di

kenal saat ini. Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957 maupun UU Nomor 18 Tahun 1965 kewenangan yang di laksanakan dalam rangka medebewind dicantumkan dalam undang-undang pembentukan daerah otonom. Kewenangan tambahan lainnya yang akan di-medebewind-kan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan dari undang-undang. Pada UU Nomor 5 Tahun 1974 hal tersebut tidak digunakan. Begitu pula pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan yang akan ditugas pembantuankan tidak di rinci secara jelas dan tetap, melainkan berubah-ubah tergantung pada kebutuhan. Menurut pasal 12 UU Nomor 5 Tahun 1974, tugas pembantuan dari pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah diatur dengan undang-undang, sedangkan tugas pembantuan dari Pemerintah Daerah Tingkat 1 kepada Pemerintah Daerah Tingkat II di atur dengan peraturan Daerah Tingkat 1 bersangkutan. Sampai UU Nomor 5 Tahun 1974 di cabut, belum ada undangundang yang mengatur secara khusus mengenai tugas pembantun, meskipun asas tersebut secara faktual di laksanakan. Pengaturannya di tempelkan pada berbagai undang-undang yang mengatur kewenangan pada masing-masing sektor. Pada UU Nomor 22 tahun 1999, tidak terdapat bab secara khusus yang mengatur tentang tugas pembantuan. Pengaturannya tersebar pada pasal 13 untuk penugasan dari pemerintahan pusat kepada Daerah, dan pasal 100 untuk penugasan dari Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah kepada Desa. Di dalam pasal 13 ayat (2) di sebutkan bahwa setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan di tetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang di maksudkan di sini tidak harus berbentuk UU, melainkan juga dapat berbentuk peraturan pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan lainnya yang sejenis. Sampai saat ini baru ada PP Nomor 52 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan Tugas pembantuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas pembantuan bagi Pemerintah Pusat, Daerah maupun Desa. Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan belum berdata dengan lengkap.

Di dalam pasal-pasal tersebut di atas di kemukakan bahwa pihak yang memberikan tugas pembantuan adalah institut Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).

Sedangkan yang menerima tugas pembantuan adalah Daerah dan atau Desa sebagai Kesatuan masyarakat hukum. Manifestasi dari Daerah ataupun Desa adalah pada Kepala Daerah dan Kepala Desa. Hal tersebut tercermin dari bunyi pasal 17 PP Nomor 52 Tahun 2001, dimana penanggung jawab pelaksanaan tugas pembantuan adalah Kepala Daerah dan Kepala Desa. Fenomena implementasi asas tugas pembantuan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menarik untuk dikaji secara mendalam. Terlebih lagi sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus membahas secara tuntas mengenai hal tersebut. Disebut menarik karena asas tugas pembantuan nampaknya dijadikan strategi jalan keluar bagi pengurangan kewenangan yang sangat drastis bagi pemerintah pusat. Melalui asas tugas pembantuan, dana-dana dekonsentrasi yang semula dialokasikan kepada instansi vertika di kabupaten/kota dan propinsi pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, ditarik ke atas untuk kemudian didistribusikan kembali ke daerah melalui mekanisme tugas penbantuan. Asas ini sekaligus juga sebagai salah satu alat kendali pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui jalur keuangan. Selama ini pemerintah pusat mengendalikan daerah melalui tiga jalur yakni kewenangan, kepegawaian, serta keuangan. Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, alat kendali pemerintah pusat hanya melalui keuangan saja, karena kewenangan dan kepegawaian sudah diserahkan kepada daerah. Setelah UU Nomor 22 Tahun 1999 berusia sekitar lima tahun, implementasi asas tugas pembantuan masih relatif terbatas. Implementasi yang nampak secara nyata barulah dari pemerintah pusat ke daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Sedangkan implementasi dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten ke desa masih sangat terbatas. Salah satu provinsi yang merintis pelaksanaan asas tugas pembantuan belum di laksanakan secara intensif. Salah satu diantaranya kesalahan persepsi mengenai pengertian tugas pembantuan yang dicampur adukan dengan

pengertian pemberian bantuan. Padahal nilai yang dimaksimumkan dari asas tugas pembantuan adalah efektivitas dan efisiensi.

BAB 3 PENUTUP

1.

Kesimpulan Didalam sebuah negara yang amat luas seperti di Indonesia ini tidak mungkin pemerintah pusat bisa mengatur secara keseluruhan pemerintahan. Pembagian pemerintahan secara vertikal merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan apabila tujuan bernegara ini ingin segera tercapai. Bahwa tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat indonesia dengan jalan melindungi segenap bangsa indonesia merupakan sesuatu yang mendesak, maka otonomi daerah tidak bisa dihindari. Otonomi sebagai sebuah alternatif pemerintahan merupakan sebuah cara yang diambil demi melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi bagaimanapun cara tersebut tidak bisa juga bertentangan dengan cara / prinsip-prinsip yang lain yang telah disepakati secara bersama.

2.

Saran 1. Keberadaan otonomi daerah harus tetap ditempatkan dalam kerangka negara kesatuan. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan itu sebisa mungkin harus dihindari. 2. Penguatan terhadap keberadaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam konsep otonomi daerah. 3. Seharusnya asas dekonsentrasi tidak hanya mengatur pelimpahan wewenang antara pemerintah dengan pemerintahan provinsi, akan tetapi asas tersebut juga diterapkan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten kota. Sehingga hirarkisitas negara keasatuan bisa berjalan 4. Seandainya ada kekhawatiran terhadap berkembangnya sistem

sentralistik, maka hal itu sekarang tidak cukup beralasan. Mahkamah konstitusi bisa dijadikan rujukan untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Assyari. Mengenal Sentralisasi, Desentralisasi dan Konsekwensinya. Ht tp://assyariabdullah.wordpress.com/2009/04/23/mengenal-sentralisasi-desen tralisasi-da n-konsekwensinya/. 26 Maret 2012 Anonymous. Bentuk Bentuk Desentralisasi.http://www.google.co.id/url?sa=t&r ct=j&q=bentuk-bentuk%20desentralisasi&source=web&cd=1&sqi=2&ved= 0CCIQFjAA&url=http%3A%2F%2F04locker.blogspot.com%2F2009%2F0 3%2Fdesentralisasi-tiga-bentuk.html&ei=h-ZvT_nPCcbQrQfVyKGUCg&u sg=AFQjCNG24fY87IkKZWcRc0Y1N mbGBeV-mw. 26 Maret 2012

You might also like