You are on page 1of 2

Tiupan angin musim gugur berhembus perlahan, memasuki ruang kelas dan membawa aroma khas pohon pinus

dari seberang jalan, membawa hawa malas yang sedari tadi sudah membuat kantuk seisi kelas. Aku menguap, untuk yang kesekian kalinya, sambil memandang kosong ke depan. Penjelasan Pak Harry tentang atom-atom dan intinya yang begitu rumit lewat melalui telinga kiri dan keluar begitu saja dari telinga kanan, tanpa ada satu pun yang kutangkap. Aku memang bukan siswa yang pintar, tapi aku juga tak bisa disebut bodoh. Aku hanya harus menyukai guru sebelum menyukai pelajarannya, yang berarti bahwa setiap guru harus memperlakukanku dengan baik. Hal yang sulit, memang, tapi begitulah, karena aku memang cenderung sulit untuk berkonsentrasi memperhatikan orang, kecuali orang itu memang memiliki sesuatu yang menurutku pantas untuk kuperhatikan, dengan kata lain orang yang baik dan berkharisma. Dan sayangnya, Pak Harry tidak memilikinya, dihari pertama kelas fisika, Pak Harry mempermalukanku di depan kelas hanya karena aku tidak tahu tentang hukum coulumb, padahal dia belum mengajarkannya. Sejak itu aku selalu membenci pelajaran fisika, tentang rumusnya yang rumit, istilahnya yang ruwet, maupun hukumnya yang susah dimengerti. Aku tidak pernah bisa menguasai fisika, bukan karena tidak bisa, tapi memang karena aku tidak pernah berusaha. Jadi begitulah, pelajaran Pak Harry aku lewati begitu saja, seperti angin yang berlalu , tak ada yang berarti. Teeeeeeeeeeeeeeet.!!!bunyi bel istirahat terdengar, dan seperti air yang disiramkan ke ubun-ubun, membangunkan kami semua dari rasa kantuk. Segera saja ruangan kelas menjadi kosong, karena seluruh penghuninya entah bagaimana telah berada di luar kelas. Aku terdiam, setengah melamun berjalan perlahan menyusuri koridor, menuju ke kantin. Mataku masih terasa agak berat, dan aku berharap di kantin ada sesuatu yang bisa menyegarkanku, entah es atau semacam jus,terserah, yang penting bisa membangunkanku, jadi kupercepat langkah kakiku. Aku sedang berjalan disamping kantor ketika aku mendengar ada suara sesuatu dibanting, bunyinya seperti setumpuk buku tebal yang ditaruh dengan kasar di atas meja. Aku tidak terlalu tertarik, jadi kulanjutkan berjalan. Namun ada yang menahan langkahku. Uhukuhuk. Aku berhenti, perlahan menghampiri pintu, dan mengintip dari celah kecil gerendel pintu. Aku penasaran siapa yang batuk, mungkin Pak Roni, guru geografi kami, pikirku, sambil sedikit berharap. Akan sangat menyenangkan kalau sehabis ceramah fisika yang membosankan, ada jam kosong geografi, sehingga kami bisa bermain-main di dalam kelas sambil memandangi pepohonon di halaman yang sudah mulai menguning, atau sekedar mengagumi pinus-pinus raksasa di seberang jalan dengan aromanya yang wangi. Pak Roni memang sudah tua, seringkali sakit sehingga pelajaran kami agak terbengkalai. Tapi tidak ada bedanya, toh ada pun orangnya tidak banyak membantu kami dalam memahami geografi. Beliau bukan orang yang bisa kauperhatikan selama berjam-jam tanpa ada perasaan tergoda untuk sekedar ijin ke toilet untuk meninggalkan kelas. Aku menyipitkan mata sambil berusaha menjelajahi ruangan seluas lapangan futsal itu hanya dengan satu mata. Butuh waktu agak lama, sampai aku mendengar kembali suara batuk itu. Ternyata Pak Harry, aku agak kecewa, tapi aku langsung tertegun. Pak Harry sakit? Tanyaku dalam hati, nyaris tidak percaya, bahwa orang yang tadi masih sempat berlaku kasar pada Sarah itu sakit, bahwa orang yang biasanya dengan angkuhnya memarahi dan menghina kami itu terbatukbatuk sampai seperti itu, bahwa orang yang terlihat kuat dan sehat itu terlihat begitu ringkih dan tak berdaya. Aku terdiam, masih tidak mau percaya, masak sih orang itu bisa sakit? Lalu aku melihatnya, pemandangan yang sungguh tidak bisa kuterima. Sambil terbatuk-batuk, Pak Harry bersusah payah merogoh sesuatu dari kantongnya, Bu Anna, yang duduk tepat disamping tempat Pak Harry, terlihat berusaha membantu, namun Pak Harry memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Beberapa guru yang duduk di ruangan itu juga terlihat cemas, namun mereka hanya terdiam. UhukuhukPak Harry kembali terbatuk, dia terlihat begitu tersiksa. Tangannya bergetar sambil berusaha membuka tutup tabung kecil yang berisi butiran-butiran kecil berwarna krem, benda yang ternyata dari tadi susah payah diambilnya dari saku, mengambil 3 biji butiran itu dan menelannya. Wajahnya terlihat agak lega, tapi aku tahu keadaannya tidak bertambah baik, orangnya masih terbatuk-batuk. Sambil mengatupkan sapu tangan merah marun di mulutnya, Pak Harry kembali terbatuk, dan aku bisa melihatnya, sapu tangannya terlihat menjadi berat dan basah, aku tahu itu darah, dan melihat ekspresi guru-guru disekitarnya, aku jadi tahu kalau mereka terbiasa melihat pemandangan itu. Aku bangkit perlahan, masih shock. Aku tidak tahu kalau Pak Harry sakit, dan aku juga tidak mengerti kenapa dengan sakit yang sudah terlihat parah itu beliau

masih mau mengajar. Padahal seharusnya beliau istirahat di rumah, tidak, bahkan istirahat di rumah tidak akan membuat kondisinnya membaik, karena yang beliau butuhkan saat ini mungkin adalah perwatan intensif di rumah sakit. Pelajaran geografi yang berjalan membosankan menjadi tidak terasa, bukan karena aku asyik mengikutinya, melainkan karena aku masih memikirkan kondisi Pak Harry. Aku jadi seperti tidak mengenal diriku sendiri, maksudku aku benci Pak Harry, karena orang itu sering berlaku kasar dan menekan kami, tapi kenapa aku mengkhawatirkannya?Aku menghela nafas panjang, dan berfikir, kemudian aku tersadar. Selama ini, walaupun sering memarahi kami, tapi sebenarnya maksud Pak Harry adalah baik, agar kami menjadi pintar dan berfikir kritis. Beliau selalu menanyakan hal-hal sulit mengenai materi sebelum mengajarkannya, itu semua demi kebaikan kami, karena sebenarnya beliau hanya bermaksud mengetes seberapa besar kesiapan kami dalam menerima pelajaran. Sayang sekali hal itu tidak kusadari sedari dulu, tapi mungkin memang cara pendekatan Pak Harry yang serba cepat tidak dapat diterima dengan baik oleh kami. Maka, aku memutuskan untuk menjenguk Pak Harry dirumahnya nanti, mungkin dengan begitu aku bisa lebih mengerti beliau, dan kuharap beliau juga mau mengerti aku, maksudku kami, bahwa cara mengajarnya kurang dapat kami terima dengan baik, dan bahwa mungkin, kalau beliau mau lebih sabar dalam menghadapi kami, sakit beliau bisa berkurang,(aku menarik kesimpulan bahwa batuk beliau dikarenakan beliau terlalu sering memarahi kami). Angin musim gugur kembali bertiup memasuki ruangan kelas, namun tidak lagi membawa hawa mengantuk yang melenakan, malah sebaliknya, membuat tekadku untuk dapat memehami Pak Harry semakin bulat, bukan hanya Pak Harry kurasa, karena aku juga harus berusaha untuk mengerti guru-guru yang lain, atau lebih tepatnya, memperhatikan, mungkin. Karena pada kenyataannya selama ini aku terlaulu egois untuk memaksakan bahwa semuanya harus menyukaiku, atau bahwa semuanya harus sesui kemauanku. Tapi kau juga tidak boleh sepenuhnya menyalahkanku, karena pada dasarnya kewajiban kitalah untuk memperhatikan, dan hak kitalah untuk diperhatikanoleh guru.

You might also like