You are on page 1of 11

TUGAS INDIVIDU UNIT PEMBELAJARAN 1 SAPI KLEURON

BLOK 11 INFEKSI DAN RESPON RAGAWI VETERINER 2

HARDINA SAVITRI 08/269235/KH/06015 KELOMPOK 8

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

LEARNING OBJECTIVE 1. Mengetahui bakteri dan virus (macam dan karakteristik) penyebab abortus 2. Mengetahui gejala klinis dan cara mendiagnosa bakteri dan virus penyebab abortus 3. Mengetahui respon imun terhadap bakteri dan virus penyebab abortus Pembahasan: 1. Bakteri dan Virus (Macam dan Karakteristik) Penyebab Abortus A. Bakteri Penyebab Abortus 1) Brucella sp Bakteri yang menyebabkan abortus pada hewan berasal dari genus Brucella, ada 5 jenis dari genus ini yang potensial menimbulkan penyakit pada hewan dan manusia yaitu Br. abortus pada sapi, Br. suis pada babi, Br. canis pada anjing, Br. ovis pada domba jantan dan Br. melitensis pada kambing dan domba (Quinn et all, 2002). Tetapi Br. suis dan Br. melitensis, dapat juga menyerang pada sapi yang hanya terdapat terbatas di dalam sistem retikulo-endoletial, serta tidak mengakibatkan gambaran penyakit yang jelas (Subronto, 2003). Karakteristik dari bakteri Brucella abortus adalah bersifat Gram negatif, tidak berspora, berbentuk kokobasilus (short rods) dengan panjang 0,6 - 1,5 m, tidak berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Komponen dinding sel Brucella baik pada strain halus (smooth) seperti Br. melitensis, Br. suis dan Br. abortus, maupun pada strain kasar (rough) seperti Br. canis terdiri dari peptidoglikan, protein, dan membran luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida inilah yang menentukan virulensi kuman dan bertanggung jawab terhadap penghambatan bakterisidal didalam sel makrofag (Noor, 2006). Brucella dapat hidup apabila ada rangsang zat pertumbuhan yaitu eritritol korion, kotiledon, dan cairan fetus, sedangkan pada hewan jantan terdapat pada vesikula seminalis dan epididimis (Subronto, 2003). Secara biokimia, bakteri brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat, tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan bakteri memerlukan temperatur 20 - 40C, dengan penambahan karbondioksida (CO2)

sebanyak 5-10%. Bakteri brucella bersifat fakultatif intraseluler yaitu kuman mampu hidup dan berkembang biak dalam sel fagosit, memiliki 5-guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga kuman mampu hidup dan berkembang biak di dalam sel neutrofil (Noor, 2006). Patogenesis: bakteri brucella yang masuk kedalam epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag masuk ke limfoglandula, bakterimia muncul dalam 13 minggu setelah infeksi, apabila sistem imun tidak mampu mengatasi, maka brucella terlokalisir didalam sistem retikuloendothelial, seperti hati, limpa membentuk granuloma (Subronto, 2003). 2) Leptospira sp L. pomona, L. hardjo, L. grippotyphosa dan L. Conicola, mudah dimusnahkan oleh panas, sinar matahari, pengeringan, asam, dan desinfektan. Leptospira dapat hidup selama beberapa hari atau minggu dalam lingkungan yang lembab pada suhu sedang seperti di tambak, aliran air yang macet atau di tanah basah (Toelihere, 1985). Patogenesis: penetrasi melalui kulit kaki yang tergores dan terbuka sewaktu merumput dipadang rumput (sapi) dan dengan pasase melalui selaput lendir pada mulut dan pharynx, hidung dan mata atau dengan urine (Toelihere, 1985). 3) Camphylobakter foetus veneralis Bakteri ini berbentuk koma atau berbentuk S, peka terhadap cahaya, pengeringan, desinfektan. Pada suhu 600C ia akan mati dalam waktu 5 menit, tetapi dapat tahan hidup 10-20 hari ditanah. Bakteri ini hanya terdapat didalam saluran kelamin betina dan isinya, fetus dan placenta, dan didalam preputium hewan jantan (Toelihere, 1985). Infeksi bakterial lain yang menyebabkan abortus adalah Listeria monocytogenes, Mycobacterium bovis, Streptococci, Stahylococci, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Corynebacterium pyogenes, Hemophilus, Pasteurella multocida, Salmonella paratyphi B, S. dublin (Toelihere, 1985).

B. Virus Penyebab Abortus a. BVD (Bovine Viral Diarrhea) Virus BVD termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari famili Flaviviridae dan merupakan RNA virus. Virus ini memiliki antigenic determinant. Dalam batas-batas tertentu virus bersifat termostabil, peka terhadap asam, kloroform, dan tripsin. Virus tidak menyebabkan hemaglutinasi, tetapi semua galur BVD menunjukkan reaksi silang. Infeksi virus pada sapi menyebabkan diare (39%), radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%), dan kleuron (5%). Pada dasarnya sapi berumur 6-24 bulan adalah yang paling peka, karena sampai umur 6 bulan masih dilindungi antibodi kolostral, sedangkan lebih dari umur 24 bulan telah terinfeksi secara alami (didaerah tertular). Pada sapi yang tidak kebal, tua atau muda, BVD dapat berlangsung akut dan bersifat parah. Dalam vaksinasi, hewan yang divaksin akan menunjukkan respons serologi positif (sero-positif). Hewan yang tidak membentuk antibodi (seronegatif) akan bertindak sebagai pengidap dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi akut. Virus ditularkan secara kontak langsung atau tidak langsung melalui makanan yang terkontaminasi tinja dan secara aerosol. Virus juga terdapat dalam kemih yang mungkin bersifat infeksius (Subronto, 2003). b. IBR (Infectious Bovine Rhinotracheaitis) IBR disebabkan oleh Bovine Herpes-virus tipe 1, yang termasuk dalam famili Herpetoviridae yang memiliki double stranded DNA. Virus bereaksi silang dengan virus Equine rhinopneumonitis, yang juga tremasuk dalam genus Herpes-virus. Virus bersifat termostabil, peka terhadap pelarut lemak terutama kloroform, sinar UV, dan tidak tahan terhadap pH kurang dari 5,0. didalam laboratorium dapat disimpan lama, mudah dibiakan dalam biakan sel, dan menunjukkan efek sitopatogenik yang tersifat dalam waktu 2-3 hari. Sel eritsoit akan mudah digumpalkan oleh virus. Terhadap jaringan tubuh virus bersifat somatotropik dan dalam preparat histologi dapat ditemukan benda inklusi

intranuklear tipe A. Virus dapat diisolasi dari berbagai jaringan, bahkan juga dari tinja dan semen beku. Virus ini biasanya menyerang sapi umur 6 bulan atau lebih dan dapat menyebabkan radang ambing (Subronto, 2003). 2. Gejala Klinis dan Cara Mendiagnosa Bakteri dan Virus Penyebab Abortus I. Gejala klinis bakteri penyebab abortus A. Bakteri 1) Brucella sp Keluron karena Brucella abortus umumnya terjadi dari bulan keenam sampai kesembilan (setelah bulan kelima) periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara 5-90% dalam suatu kelompok ternak, tergantung dari jumlah hewan bunting yang tertular, daya penularan, virulensi organisme dan faktor lain. Selain itu juga dapat menimbulkan lesi higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma akibat adanya suatu trauma kemudian kuman kuman brucella yang berada didalam darah membentuk koloni didaerah persendian tersebut. Pada pejantan, bakteri brucella dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada epididimis dan kelenjar aksessoria, sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin mengandung bakteri brucella abortus (Subronto, 2003). 2) Leptospira sp (Leptospirosis) Pada penyakit akut, terjadi anorexia, anemia, berat badan menurun, nafsu makan rendah, hemoglobinuria, dyspnoe, ikterus, produksi susu menurun, ambing kempis, dan kematian dalam 1-3 hari. Abortus dalam tengahan kedua masa kebuntingan dapat terjadi 1-3 minggu sesudah penghentian fase demam akut (Toelihere, 1985). 3) Camphylobacter foetus veneralis

Gejala akut terjadi penurunan angka konsepsi sampai lebih rendah dari 10% dan infertilitas dapat sampai berlangsung 2-6 bulan atau lebih, juga dapat terjadi endometritis, siklus birahi yang lama, dan abortus terjadi pada bulan ke-4 sampai ke-7 masa kebuntingan (Toelihere, 1985). B. Virus 1) BVD (Bovine Viral Diarrhea). Subklinis: demam, leukopenia, diare ringan Akut: Terjadi pada hewan berumur 6-24 bulan, penyakit berlangsung 2-3 minggu. Hewan tampak lesu, nafsu makan turun, produksi air susu menurun, hipersalivasi karena adanya lesi pada rongga mulut, pincang karena adanya lesi pada interdigital. Adanya infeksi interdigital menyebabkan pneumonia, mastitis, dan metritis. Kematian terjadi dalam wakti 1-2 minggu. Subakut atau kronik: diare intermitten, kekurusan, erosi mukosa kulit dan mulut, anemia, leukopenia, pertumbuhan badan jadi terlambat. Neonatal: terjadi pada pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, ditandai dengan demam, diare, dan gangguan pernafasan (Subronto, 2003). 2) IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis) Bentuk respiratorik: demam, lesu, hipersalivasi, lakrimasi, produksi air susu turun, radang pada hidung, sinus, tenggorok, dan batang tenggorok; dan red nose. Adanya infeksi sekunder menyebabkan bronchopneumonia. Bentuk repiratorik IBR mengakibatkan abortus pada trisemester etrakhir. Bentuk konjungtival: oedema kornea dan konjungtiva menghasilkan eksudat yang bersifat serous sampai mukopurulen, radang difterik (ditemukan pada keadaan kronik). Bentuk ensefalik: terjadi pada umur 2-3 bulan, virus berkembang didalam otak, maka akan terjadi meningoensefalitis, dengan tanda hiperestasi, eksitasi, dan inkoordinasi. 6

Bentuk genital dan keluron: infeksi virus pada mukos vagina dan vulva disebut infectious pustular vulvovaginitis, dan pada alat kelamin jantan disebut balanopostitis. Infeksi akut terjadi 1-3 hari. Gejala yang terjadi biasanya terbentuk pustulae. Pada hewan betina abortus terjadi pada trisemester terakhir dan virus banyak ditemukan pada hati dan ginjal janin yang digugurkan. Bentuk neonatal: demam, anoreksia, depresi dispnoea, diare persisten, infeksi terjadi ketika masih dalam kandungan dan selalu diakhiri dengan kematian (Subronto, 2003). II. Cara Mendiagnosis Bakteri Penyebab Abortus A. Bakteri Uji-uji serologik a. SAT (Serum Aglutination Test) Uji aglutinasi merupakan uji yang masih digunakan secara luas untuk mendiagnosis penyakit. Uji aglutinasi pada sapi dapat digunakan untuk mengenali IgM, jadi tidak dapat membedakan apakah suatu reaksi yang positif disebabkan karena infeksi atau karena vaksinasi. Uji aglutinasi juga kurang efektif untuk mengenal adanya infeksi secara dini. (Subronto, 2003). b. RBT (Rose Bengal Test) Antigen uji rose bengal terdiri atas sel-sel Brucella yang diwarnai dengan rose bengal dan kemudian disuspensikan di dalam larutan penyangga pada pH 3,6. Uji dilakukan dalam suhu ruangan pada pelat yang digoyang-goyangkan dengan mesin atau secara manual selama 4 menit dengan menggunakn serum dan antigen dalam jumlah yang sama. Reaksi yang dapat diamati dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu mulai dari nol sampai penggumpalan kasar yang sempurna. Pada umumnya RBT dapat mengenali hewan yang tertular secara lebih dini daripada uji lain, terutama uji aglutinasi serum. Uji RBT ini banyak digunakan sebagai uji untuk penyaringan adanya reaktor brucellosis (Subronto, 2003).

c. CFT (Complement Fixation Test) Uji ikat komplemen memiliki ketepatan dan kepekaan yang lebih besar daripada uji aglutinasi serum. Uji dengan volume makro masih dilakukan untun menitrasi reagensia. Pada saat ini CFT dilakukan dalam volume mikro dengan pelat plastik yang hanya seklai pakai (disposible). Uji ikat komplemen berguna untuk membedakan reaksi antibodi setelah vaksinasi yang belum lama dilakukan dengan reaksi tubuh terhadap infeksi. Uji ini juga sangat berguna untuk menentukan status hewanhewan yang tertular secara kronik (Subronto, 2003). d. MRT (Milk Ring Test) Uji MRT berguan untuk mengenali IgA didalam ambing dan IgG1 yang berasal dari serum. Sebagai antigen dalam uji serologik ini digunakan suspensi bakteri Br. abortus yang telah dimatikan dan diwarnai dengan hematoksilin. Antigen digunakan untuk mengetahui adanya antibodi terhadap Br. abortus dalam air susu dan rum.hasilnya, sehingga akan trebentuk aglutinasi lemak diatas permukaan air susu. Uji MRT memiliki kepekaan yang sangat tinggi, air susu yang positif yang telah sangat diencer-kan dengan air susu yang negatif yang berasal dari hewan yang tidak tertular, masih tetap dapat dikenali (Subronto, 2003). B. Virus 1) BVD (Bovine Viral Diarrhea): IPMA, ELISA, dan RT-PCR 2) IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis): dengan mendeteksi antigen dan antibodi, seperti ELISA, dapat juga dengan teknik antibodi fluoresen (Subronto, 2003). 3. Respon Imun Terhadap Bakteri dan Virus Penyebab Abortus A. Bakteri Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut dapat bersembunyi sehingga

tidak dapat ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan mekanisme imun seluler. Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit, makrofag) seperti brucella, dapat menghindari pengawasan sitem imun seperti antibodi, maka tubuh akan mengaktifkan sistem imun seluler seperti respon CMI, (CD4+, CD8+, dan sel NK) (Baratawidjaja, 2004)..

(Baratawidjaja, 2004) B. Virus antigen dilepaskan terlebih dahulu oleh bakteri dan dengan aliran darah atau limfe, akhirnya sampai kedalam limfonodus dan/atau limpa. Didalam organ-organ tersebut, antigen itu akan diproses oleh sel-sel makrofag agar selanjutnya dapat bereaksi dengan sel-sel limfosit. Sel ini, yang umumnya berasal atau berada dibawah pengaruh sumsum tulang, dikenal sebagai sel limfosit-B (dari "Bone Marrow"), dan setelah mengadakan kontak dengan antigen tersebut lambat laun sel ini akan berkembang dan mengalami proses diferensiasi. Sel limfosit tersebut akhirnya akan menjadi sel yang matang dan siap untuk mensintesa molekul imunoglobulin, yaitu suatu molekul yang 'mempunyai daya antibodi yang spesifik; dalam hal ini, spesifik terhadap antigen bakteri tadi. Antibodi-antibodi yang dibentuk ternyata dapat mempunyai beberapa aktifitas, yaitu "cytotoxic antibody" dan "enhancement antibody". Antibodi yang pertama ini dapat mengaktifkan sistem komplemen didalam peredaran darah. Biasanya antibodi ini termasuk kelas IgG yang mempunyai sifat dapat mengikat sistem komplemen tadi. Selanjutnya secara proses yang bertingkat, maka seluruh komponen didalam sistem komplemen itu 9

diaktifkan sehingga dapat berfungsi, dengan jalan melakukan pengrusakan pada membran sel bakteri. Pada "enhancement antibody" keadaan yang sebaliknya akan ditemukan; dalam hal ini, justru dengan adanya antibodi tersebut, bakteri dapat tumbuh dengan baik. Agaknya antibodi ini memperlihatkan suatu daya "blocking efect" terhadap serangan imunologik yang dibawakan oleh sistem sel.. Antigen bakteri selain mengadakan kontak dengan sel-sel Iimfosit-B, juga dapat merangsang sel-sel yang berasal atau berada dibawah pengaruh kelenjar timus; sel seperti ini disebut sel-sel Iimfosit-T (dari "Thymus"). Sel tersebut bila telah mengadakan kontak dengan antigenik determinan sel bakteri, segera akan berkembang dan melakukan diferensiasi sehingga menjadi suatu sel limfosit yang peka atau sensitif. Nanti bila ada rangsangan antigen yang serupa untuk kedua kalinya, sel tersebut akan segera bereaksi dengan jalan mengeluarkan suatu zat yang disebut "Iymphokine". Zat ini mempunyai daya merangsang sel-sel fagosit diseluruh tubuh; selain sel-sel tersebut akan memperbayak diri dan mengadakan migrasi ketempat terjadinya tumor, juga dapat mengakibatkan sel-sel itu melakukan penyerangan secara fagositosis (Bima, 2009; Baratawidjaja, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K.G. 2004. Imunologi Dasar. Edisi Ke-6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

10

Bima, F. 2009. Imunologi Tumor. http://elfahrybima.blogspot.com/2009/07/imunologitumor.html. Diakses tanggal 23 Maret 2010 Noor, S.M. 2006. Brucellosis: Penyakit Zoonosis yang Belum Banyak Dikenal di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor Quinn, P.J., Markey,B K., Carter, M.E., Donnelly, W.J.C, Leonard, F.C .2002. Veterinary Microbial and Microbial Disease. Blackwell. UK Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Toelihere, M. R. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. UI-Press. Jakarta

11

You might also like