You are on page 1of 124

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI

Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: jsti@plasa.com

Volume 7 No. 4
Penanggung Jawab Pimpinan Umum Pimpinan Redaksi Anggota Redaksi : : : :

Oktober 2006
Ir. Rosnani Ginting, MT Ketua Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Ir. A. Jabbar M. Rambe, M. Eng Ir. Hj. Yuliza Hidayati, MT Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M.Eng Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE Dr. Ir. Humala L. Napitupulu, DEA Ir. Harmein Nasution, MSIE Ir. Sugih Arto Pujangkoro, MM Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc Ir. Nazaruddin, MT Ir. Poerwanto, M. Sc Ir. Nazlina, MT Ir. Nurhayati Sembiring, MT Ir. Tuti S Sinaga, MT Ir. Tanib Sembiring, M. Eng Aulia Ishak, ST. MT Buchari, ST Ir. Dini Wahyuni, MT Ir. Danci Sukatendal Ir. Ukurta Tarigan, MT Nisma Panjaitan, ST Dina M. Nasution Jurusan Teknik Indusri Fakultas Teknik USU, Gedung Unit II Lantai 2, Jl. Almamater Kampus USU Medan, 20155. Telp. (061) 8213649 Fax.(061) 8213250 Homepage : http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail : jsti@plasa.com Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik USU Medan Rp. 125.000 per tahun (termasuk ongkos kirim). Biaya dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via Bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening: 005084001 a.n. Ir. T. Sembiring dan mengisi form berlangganan yang disediakan.

Pemasaran/Sirkulasi/Promosi

Editing

Alamat Penerbit/Redaksi

Diterbitkan Harga Berlangganan

: :

Jurnal Sistem Teknik Industri diterbitkan 4 (empat) kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Redaksi menerima karangan ilmiah tentang hasil penelitian, survei, dan telaah pustaka yang erat hubunganya dengan bidang teknik industri. Penulis yang naskahnya dimuat akan dihubungi sebelum dicetak dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 350.000,- per artikel yang dapat dikirim melalui Pos Wesel ke alamat redaksi atau via bank BNI 1946 Cabang Jl. Pemuda Medan No. Rekening 005084001 a.n.Ir. T. Sembiring.

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI


Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: jsti@plasa.com

Volume 7 No. 4 DAFTAR ISI

Oktober 2006 Halaman


1-5

POTENSI AIR SUNGAI ULAR .................................................................................................................... Boas Hutagalung REVISION MODELING OF TWO-STAGE STOCHASTIC PROGRAMMING PROBLEM ............................. Herman Mawengkang, Saib Suwilo, and Opim S. Sitompul PENERAPAN SISTEM KANBAN PENYEDIAAN MATERIAL UNTUK PROSES PRODUKSI PADA PT X .... Amri KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN KODE INNER DAN KODE OUTER .......... Sihar Parlinggoman Panjaitan AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ..................................... Idhar Yahya STUDI PENERAPAN PROCESS CAPABILITY DAN ACCEPTANCE SAMPLING PLANS BERDASARKAN MIL-STD 1916 UNTUK MENGENDALIKAN KUALITAS PRODUK PADA PT X ............................................ Khawarita Siregar ANALISIS TINGKAT KUALITAS PELAYANAN DENGAN METODE INDEX POTENTIAL GAIN CUSTOMER VALUE (PGCV) DI PT BANK MUAMALAT INDONESIA CABANG MEDAN ............................ Syahrul Fauzi Siregar PENGARUH PENERAPAN PROGRAM ERGONOMI DALAM MENGENDALIKAN KELELAHAN PEKERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA WANITA DAN PRIA PADA INDUSTRI PERAKITAN ELEKTRONIKA DI KOTA MEDAN ....................................................................................................................................... Anizar ALTERNATIF SOLUSI KEMACETAN LALU LINTAS DI KOTA MEDAN ...................................................... Filiyanti T. A. Bangun PEMBANGUNAN AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI DI SUMATERA UTARA .................................... Bilter Sirait THE INVESTIGATION OF MIXING TIME AND FLOW PATERN IN AN OSCILLATORY-BAFFLED COLUMN ... Taslim PENDEKATAN QSPM (QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX) DALAM RANGKA MERUMUSKAN STRATEGI OPERASI PENGEMBANGAN PERUSAHAAN PT GROWTH PAMINDO ................................... Ukurta Tarigan PENGGUNAAN GAME THEORY DALAM STRATEGI PEMASARAN DALAM RANGKA MENGOPTIMALKAN EKUITAS MEREK SEPEDA MOTOR BEBEK BUATAN JEPANG DI KOTA MEDAN ................................... Mangara M. Tambunan ANALISIS KEANDALAN PIPA PENYALUR AIR MINUM DENGAN CACAT SEMI ELIPS............................. T. Hafli dan Akhyar Ibrahim UPAH MINIMUM TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA UTARA ...................... Suryatmono

6-10 11-20

21-26

27-29

30-39

40-47

48-53

54-60 61-68

69-72

73-78

79-85

86-90

91-95

ii

HARD MILLING OF HARDENED TOOL STEEL: TOOL WEAR AND TOOL LIFE ........................................ Armansyah Ginting DESAIN PENGUAT TRANSISTOR MENGGUNAKAN PARAMETER ADMITANSI ...................................... Satria Ginting ANALISIS PENGARUH IMPREGNASI SILIKA (SIO2) TERHADAP KUALITAS BRIKET ARANG TEMPURUNG KELAPA.............................................................................................................................. Aditia Warman URBAN TRAFFIC CONGESTIONS IN MEDAN ARE SERIOUS .................................................................. Filiyanti T.A. Bangun SIFAT-SIFAT PEMESINAN KAYU DURIAN (Durio zibethinus L.)................................................................ Muhdi, Tito Sucipto, dan Nur Idul Adha

96-99

100-103

104-109

110-113

114-119

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

iii

POTENSI AIR SUNGAI ULAR


Dosen Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Abstract: The study is to analyse how to use the water on Ular River according to the needs .The Ular River has been used for irrigation, industries and domestic water, fish pond and maintenance water. In the future the use of water on Ular River should be complicated if the management of water distribution do not prepare smoothly. In this paper, we try to make some calculation for using water for all purpose and then make suggestion for the future. The calculation doing by using the formula has been suggested by Dinas Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Public Work). The total area for irrigation now is 18,500 ha already establish, in the future if the weir construct, the area can be extended up to 25,280 ha, and also another needs such as domestic water (drinking and public water), industries and fish pond should be calculated. Another gain can be accepted from the sediment material such as sand and gravel material. Keywords: Water, Distribution, Irrigation and Another Purposes PENDAHULUAN Sungai Ular adalah salah satu sungai yang terbesar di Sumatera Utara yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, kira-kira 10 km dari kota Lubuk Pakam ibukota Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten ini pada masa yang akan datang mempunyai potensi yang sangat besar. Pembangunan lapangan terbang Kuala Namu adalah salah satu rencana yang akan segera dibangun, dan juga di sekitar sungai ini sudah banyak kegiatan-kegiatan industri, seperti pabrik pengolahan minyak kelapa sawit, pabrik pabrik lainnya. Maka untuk mengantisipasi perkembangan tersebut pada saat ini perlu dibuat suatu kajian mengenai potensi yang akan diberikan oleh Sungai Ular yaitu pemanfaatan airnya yang multi guna yang antara lain adalah: air irigasi, air minum, air untuk industri, air untuk perikanan dan keperluan lainnya. Dengan membuat suatu pola pengaturan yang baik maka diharapkan penggunaan air tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan juga potensi lainnya seperti galian C berupa pasir dapat ditambang dari sungai asalkan dilakukan dengan pengaturan yang baik. Sesuai dengan perhitungan debit air sungai dan kondisi akibat debit tersebut, dan lokasi Sungai Ular mempunyai nilai potensi yang cukup baik. Adapun potensi tersebut yang dapat dimanfaatkan antara lain: - Potensi bahan Galian C - Potensi Air METODE PENELITIAN Metode penelitian dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data primer dan sekunder yang diperoleh dari lapangan berupa data-data pengukuran dan hasil-hasil penelitian terdahulu dan seterusnya dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus yang biasa dipergunakan dalam perencanaan irigasi yang telah dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum yaitu buku: Standard Perencanaan Irigasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Potensi Bahan Galian C Dari hasil penyelidikan bahwa debit sungai 50 m3/det memberikan volume sedimen yang maximum sepanjang tahunnya. Debit harian Sungai Ular pengukuran di Pulo Tagor menunjukkan debit ratarata sepanjang tahunnya antara 35 m3/det sampai dengan 75 m3/det. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa debit rata-rata Sungai Ular memberikan volume sedimen maximun sepanjang tahunnya. Perhitungan Volume Sedimen (Jembatan Serbajadi) adalah sebagai berikut: Perhitungan Prosida (1990) = 172.000 m3/thn Perhitungan Ashida (Sato, 1990) = 289.000 m3/thn Perhitungan Brown (1990) = 231.000 m3/thn Dari hasil perhitungan tersebut, bila kita ambil angka yang menengah dari hasil perhitungan tersebut yaitu Perhitungan Brown maka: Pengambilan bahan galian C Sungai Ular untuk setiap harinya dapat diambil adalah: 231000 m3/thn Vc = ------------------------ = 632.0 m3/hari 365 hari Dengan pengambilan per kilometer dilakukan maka volume bahan galian C yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 632.0 m3/hari Vc = ----------------------- = 17.70 m3/hari/km 35.7 Km Dari peninjauan dan penelitian lokasi Cathmen Area Sungai Ular didapat bahwa kondisi Cathmen Area tersebut cenderung semakin rusak sepanjang tahunnya sehingga mengakibatkan semakin tingginya volume sedimen sepanjang tahun, hal ini memerlukan penelitian dan pengukuran lebih mendalam. Dengan adanya rencana penyatuan seluruh intake menjadi satu dengan membangun intake baru (rencana bendung karet) di Pulo Tagor, maka

Boas Hutagalung

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

pengambilan bahan galian C dapat dilakukan pada satu titik pangambilan dengan maximal dan terkontrol volume yang dapat dikeluarkan dari sungai. - Potensi Air - Potensi Irigasi Luas lahan irigasi yang tersedia pada proyek irigasi Sungai Ular yang sudah menjadi sawah pada saat sekarang ini adalah 18500 ha ,kebutuhan air 22,2 m3/det dan rencana perluasan bila sarana irigasi diperbaiki dan dikembangkan luas areal sawah dapat ditingkatkan menjadi 25280 ha, kebutuhan air 30.336 m3/det.*). Sesuai dengan perhitungan dan analisis pola tanam yang dilakukan sebanyak 24 alternatif, didapatkan besarnya potensi irigasi sekitar daerah Sungai Ular yaitu pada pola tanam 17 dengan luas areal 31,793 ha. Dari hasil perhitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada kondisi kritis (kering) luasan irigasi yang dapat diairi adalah 31.793 ha dengan pola tanam alternatif 17. Dengan rencana pengembangan luasan irigasi hingga 25.280 ha adalah aman untuk kondisi paling kritis Tabel 1. Luas Lahan Terkecil Diairi
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pola Tanam Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Alternatif 4 Alternatif 5 Alternatif 6 Alternatif 7 Alternatif 8 Alternatif 9 Alternatif 10 Alternatif 11 Alternatif 12 Luas Lahan Terkecil yang Dapat Diairi (Ha) 33,647.90 93,674.60 64,690.72 71,105.50 59,828.28 61,452.73 65,110.01 74,511.63 51,381.53 51,332.40 49,368.28 34,820.82 52,557.23 51,332.40 52,281.01 122,102.87 31,793.07 36,526.07 36,030.80 43,121.73 65,141.90 69,209.74 53,399.94 57,200.18 31,793.07 122,102.87

- Potensi Tambak Potensi tambak di hilir Sungai Ular cukup besar. Diperkirakan luasan yang dapat dipergunakan untuk luasan lahan pertambakan adalah kurang lebih 1232 ha. Sesuai dengan perhitungan kelebihan debit air Sungai Ular ada baiknya dipergunakan sebahagian untuk kebutuhan air tambak. Dengan pemilihan pola tanam sesuai alternatif di atas maka debit air sungai ular dapat dipergunakan seperti tabel di atas untuk setiap periode setengah bulanan. Dengan pemilihan pola tanam alternatif 2 di atas (pola tanam sekarang) menunjukkan bahwa debit kebutuhan dari sumbernya untuk tambak adalah sebagai berikut: Tabel 2. Sisa debit andalan dengan adanya Tambak
DEBIT Periode ANDALAN M3/det Januari 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 34.6336 34.9844 37.0582 37.1400 38.0859 38.1103 38.2506 38.3437 34.6178 34.7032 33.7681 33.9985 28.9518 29.1415 29.4323 29.5404 29.1996 29.2956 31.3617 31.3640 32.4339 32.4679 27.9351 28.0157 DEBIT TAMBAK M3/det 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 SISA DEBIT M3/det 32.3591 32.7099 34.7837 34.8656 35.8115 35.8359 35.9761 36.0692 32.3434 32.4287 31.4936 31.7241 26.6773 26.8670 27.1578 27.2659 26.9252 27.0211 29.0872 29.0895 30.1594 30.1935 25.6606 25.7412

Februari

Maret

April

Mei

Juni

13 Alternatif 13 14 Alternatif 14 15 Alternatif 15 16 Alternatif 16 17 Alternatif 17 18 Alternatif 18 19 Alternatif 19 20 Alternatif 20 21 Alternatif 21 22 Alternatif 22 23 Alternatif 23 24 Alternatif 24 Luas Lahan Min. Luas Lahan Max.

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

Potensi Air Sungai Ular Boas Hutagalung

- Potensi Industri Sesuai dengan kebutuhan air standar untuk perindustrian dapat diperkirakan pengembangan industri di daerah lokasi pekerjaan. Adapun standar kebutuhan industri adalah sebagai berikut: Peralatan-peralatan pabrik seringkali membutuhkan jumlah air yang besar. Jumlah yang sebenarnya tergantung pada besarnya pabrik dan industrinya. Angka-angka pemakaian air yang umum disajikan pada tabel berikut. Beberapa industri/pabrik mengembangkan sistem penyediaan airnya sendiri dan hanya sedikit atau sama sekali tidak menuntut dari sistem penyediaan air kota yang bersangkutan. Penetapan zona di kota-kota besar dipengaruhi letak industri, sehingga informasi tentang zona tersebut dapat bermanfaat dalam menghitung tuntutan kebutuhan industri di masa depan. Daerah-daerah perdagangan meliputi bangunanbangunan kantor, gudang-gudang dan toko-toko. Kebutuhan untuk daerah-daerah semacam ini tidaklah tinggi, rata-rata sekitar 40 liter/hari untuk setiap pegawai tetap. Kira-kira 80 persen dari air industri digunakan untuk tujuan pendinginan dan tidak perlu bermutu baik. Dalam beberapa kasus, air industri haruslah mengandung kadar garam terlarut yang lebih rendah daripada yang dapat diizinkan untuk air minum. Letak industri sering sangat dipengaruhi oleh adanya persediaan air. Walaupun demikian, bila faktorfaktor lain mempengaruhi letak instalasi, kebutuhan air dapat dikurangi di bawah angka rata-rata untuk industri yang bersangkutan. Sebagai contoh, penggunaan kembali air dalam jumlah yang banyak telah mengurangi kebutuhan air di pabrik baja Kaiser di Fontana, California hingga 1400 galon/ton baja (5800 liter/ton), kira-kira hanya 4 persen dari kebutuhan rata-rata yang dicantumkan pada tabel. Tabel 3. Standar Penggunaan Air untuk Beberapa Produk Industri Tertentu Penggunaan air Satuan yang umum, Produk Produk liter/satuan 1780 Bir Barrel 300 Aprikot klg Klg No. 2 Kacang 5 kl. Klg No. 2 950 Coca-cola Ton 15000 Kulit (diolah) Ton 66800 2920 Peny. minyak Barrel 163000 Kertas Ton 75200 Tn. Rayon Ton 146200 Baja Ton 585000 Wool Ton 300 Uap Listrik Kwhr Dari tabel di atas diperkirakan kebutuhan air industri untuk daerah lokasi pekerjaan sesuai dengan kondisinya adalah 300 m3/hari/Industri atau sama dengan 0.00556 m3/det.

Apabila diperkirakan pada masa yang akan datang ada 300 buah industri sedang sampai dengan industri besar, maka kebutuhan air untuk industri tersebut adalah 300 bh x 0.00556 m3/det = 1.668 m3/det. - Potensi Air Minum Kebutuhan akan air minum/air domestik sangat diperlukan pada daerah ini, sehubungan dengan perkembangan daerah. Kota Lubuk Pakam sebagai ibukota Kabupaten Deli Serdang, Kota Perbaungan, kawasan wisata Pantai Cermin dan juga rencana Pelabuhan Udara Kuala Namu dan daerah sekitarnya. Sesuai dengan tingkat pemakaian kebutuhan dasar air bersih yang disarankan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya yang disesuikan dengan besarnya kota dapat dilihat seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Standar Kebutuhan Dasar (Basic Need) Air Bersih
Klarifikasi Kota Kota besar utama Kota besar Kota sedang Kota kecil Kota Kecamatan I Kota Kecamatan II Penduduk (jiwa) >1.000.000. 500.000 - 1.000.000 100.000 - 500.000 20.000 - 100.000 3.000 - 20.000 < 3.000 Kebutuhan per kapita (liter/org/hari) 120 100 90 60 45 30

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Perumahan dan Pemukiman.

Perkiraan pemakaian air dapat digolongkan pada golongan kota kecil yaitu 60 liter/orang/hari ditambah dengan penggunaan kepentingan umum seperti rumah ibadah dan pertamanan. Perkiraan tersebut diperhitungkan sebagai berikut: Rumah tangga: 60 liter/kapita/hari Keperluan umum30 liter/kapita/hari Kehilangan dan pemborosan 30 liter/kapita/hari Jumlah:120 liter/kapita/hari Potensi debit air Sungai Ular untuk air minum/air domestik yang dapat digunakan adalah setelah dikurangi keperluan debit untuk pemeliharaan sungai, debit untuk air irigasi, debit untuk keperluan tambak perikanan dan debit air untuk keperluan industri. Dari tabel 6 di bawah dapat dilihat ketersediaan air yang dapat digunakan untuk air minum/air domestik. Persediaan air tersebut dapat dipergunakan untuk penyediaan air minum/domestik untuk Kota Perbaungan, Lubuk Pakam dan rencana lapangan terbang Kuala Namu dan bahkan untuk menambah suplai Kota Medan apabila Kota Medan masih membutuhkannya. Dari hasil perhitungan di atas telah dihitung masing-masing kebutuhan irigasi dengan 24 pola tanam yang diusulkan dipilih satu pola tanam yang terbaik dalam hal ini, pada pola tanam tersebut kebutuhan air dijamin 80% akan terpenuhi walaupun

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

pada saat musim kemarau sawah masih dapat diairi. Kebutuhan air untuk air minum/air domestik, industri dan untuk tambak juga telah dihitung dan seluruh Tabel 5. Pemakaian Air yang Diusulkan DEBIT 20% Periode ANDALAN M3/det Januari 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 34.6336 34.6336 37.0582 37.0582 38.0859 38.0859 38.2506 38.2506 34.6178 34.6178 33.7681 33.7681 28.9518 28.9518 29.4323 29.4323 29.1996 29.1996 31.3617 31.3617 32.4339 32.4339 27.9351 27.9351 DEBIT PEME LIHARAAN M3/det 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791 13.1791

kebutuhan tersebut dianalisis apakah seluruh kebutuhan tersebut dapat dipenuhi lihat tabel 5.

DEBIT IRIGASI M3/det 2.6946 2.8699 1.2905 7.9147 9.1531 2.1914 2.9896 2.6356 2.9025 3.0152 1.8226 1.5913 1.6053 1.4466 1.2508 1.4166 1.2831 1.3381 7.7841 7.9180 1.7953 2.6779 2.7081 2.5042

DEBIT TAMBAK M3/det 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274 2.274

DEBIT INDUSTRI M3/det 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 Jumlah Rata-rata

DEBIT DOMESTIK M3/det 13.8709 13.7218 17.1252 11.4947 11.3156 17.2330 16.6946 16.9954 13.6807 13.5849 13.8763 14.0729 9.9672 10.1021 10.6769 10.5360 10.4518 10.4050 6.7636 6.6499 12.7655 12.0153 8.1656 8.3390 290.5039 12.1043

Pebruari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

Potensi Air Sungai Ular Boas Hutagalung

Dari tabel di atas rata-rata debit yang tersedia untuk air domestik setiap bulannya adalah 12.10 m3/det dan untuk debit 80% terpenuhi adalah 10 m3/det. Dari hasi perhitungan ini, bila setiap orang menggunakan air setiap hari 120 l/det, maka jumlah penduduk yang dapat disuplai adalah: 12100 liter x 24 x 60 x 60/120 liter/orang/hari = 8,640,000 orang. KESIMPULAN Dari hasil perhitungan dan analisis pola tanam, dari 24 pola tanam untuk daerah irigasi ini yang paling kritis, pola tanam alternatif 17 (musim tanam 1 dimulai awal Maret s.d. Juni dan musim tanam 2 awal Agustus sampai dengan pertengahan Desember) kebutuhan air irigasi sebesar pada bulan Maret sebesar 9,1553 m3/det dan pada bulan Oktober 7,9180 m3/det masih dapat dipenuhi dan masih mempunyai sisa 11,3156 m3/det pada bulan Maret dan 6,6499 m3/det pada bulan Oktober. Dari hasil perhitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada kondisi kritis (kering) luasan irigasi yang dapat diairi adalah 31.793 ha dengan pola tanam alternatif 17. Dengan rencana pengembangan luasan irigasi hingga 25.280 ha adalah aman untuk kondisi paling kritis. Kebutuhan air untuk keperluan lainnya seperti: air untuk industri, air domestik, keperluan tambak dan pemeliharaan sungai dapat dipenuhi dengan kata lain kebutuhan irigasi tidak terganggu. Perlunya pengendalian pengambilan bahan galian C dan untuk memastikan volume galian C yang dapat diproduksi, perlu dilakukan pengukuran ulang sungai dan penelitian sedimentasi. Potensi Bahan Galian Gol. C yang dapat diproduksi adalah 632.0 m3/hari di daerah hilir sungai sepanjang 35.7 km. Potensi Sungai Ular dapat menambah pasokan air untuk Kota Medan apabila Kota Medan berkembang menjadi kota Metropolitan. Potensi air Sungai Ular sangat cukup untuk mensuplai kebutuhan air untuk luasan potensi pertambakan di hilir Sungai Ular. Luasan yang berpotensi untuk pertambakan diperkirakan seluas 1232 ha. Potensi air Sungai Ular untuk perindustrian cukup besar. Dengan kebutuhan air industri 300 m3/hari/industri dan perkiraan adanya 300 buah industri sedang dan besar kebutuhan airnya sebesar 1.668 m3/det.

SARAN-SARAN * Pengendalian pengambilan bahan galian C harus dilakukan dan untuk memastikan volume galian C yang dapat diproduksi perlu dilakukan pengukuran ulang sungai dan penelitian sedimentasi. * Sistim pengambilan Galian C hendaknya perperiode guna untuk pengontrolan volume pengambilan dan menjaga kondisi alur sungai * Untuk mendapatkan hasil yang mendetail akan potensi air Sungai Ular perlu dilakukan penelitian diberbagai sektor pendukung antara lain: a. Penelitian dan pengukuran sedimentasi dan analisis laboratorium air Sungai Ular. b. Survei pengukuran dan perencanaan lokasi potensi tambak di hilir Sungai Ular. c. Survei elavasi existing tanggul Sungai Ular dan kelayakannya terhadap banjir. d. Analisis dampak terhadap pantai dan laut muara sungai apabila dedit andalan Sungai Ular dipergunakan maximum. e. Studi kelayakan potensi air Sungai Ular untuk air minum dan debit kecukupan dihitung periode harian. DAFTAR PUSTAKA Cv.Cipta Perkasa, 2003, Laporan Akhir Studi Hak Atas Air/Pemanfaatan Sungai Ular, Medan . Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan DHV Consulting Engineers dan PT. Indah Karya, Standar Perencanaan Irigasi KP.01-KP07, 1986, Bandung Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan DHV Consulting Engineers dan PT. Indah Karya, Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi, 1986, Bagian Penunjang, Bandung. Dirk RAES, 1984, Crop Water Requirements, Faculty of Agricultural Sciences Irrigation Engineering, KU Leuven, Belgium Dorenbos J. And Pruitt W.O., 1977, Crop Water Requirements Irrigation and Drainage Paper, FAO, Rome KijneJ.W.and C. Baars, 1971, Methods of Calculating potential evaporation and bouwhoge school, Wagenigen, Nederland. Nikken Consultants, Inc in association with Nippon Koei , LTD, 1981, Design Report, Ular River Improvement Project.

REVISION MODELING OF TWO-STAGE STOCHASTIC PROGRAMMING PROBLEM


Mathematics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences University of North Sumatera Abstract: Stochastic programming is an important tool in medium to long term planning where there are uncertainties in the data. In this paper, we consider two-stage stochastic programming problem. The model is not well defined, since there are random vectors imposed in the model to present the uncertainties of the model parameter. Therefore a revision of the modeling process is necessary, leading to so-called deterministic equivalents of the original model. This paper discusses about how to get the deterministic equivalent model. 1. INTRODUCTION Medium to long term planning is essential to the success of business and project management. In these applications, the problem can be divided into multiple stages, usually over time. Dynamic programming [1, 2], bilevel programming [7] and mathematical programming with equilibrium constraints [5] are useful modeling and solution techniques for problems with two or more stages. As a lot of data is not available at planning stages, the decisions need to be flexible enough to cope with different eventualities. Stochastic Programming [3, 4, 6] is an increasingly important problem class for long term planning. Instead of treating the future as a certainty with known data as in classical optimization, stochastic programs incorporate information from spectrum of possible future events. This gives decision makers the ability to quantify the risk in different scenarios. Stochastic programming began in the mids 1950s, and was one of the motivations for Dantzigs seminal work on linear programming. Early work concentrated on the two-stage linear programs. For examples, Van Slyke and Wets [ 8 ] developed the Lshaped method which is the basis of many algorithms used today. This paper discusses about modifying the twostage stochatic programming into deterministic equivalents model, in such a way that we could solve the original stochastic programming problem more easily. Deterministic equivalent formulation of twostage stochastic programming model can also be found in [ 9,10 ]. However, in this paper we address several alternatives to get such deterministic equivalent model. 2. STOCHASTIC PROGRAMS: GENERAL FORMULATION We define the stochastic (linear) program as the following model % min g 0 ( x, ) (1) % s.t. gi ( x, ) 0, i = 1,K , m, x X n,

Herman Mawengkang, Saib Suwilo, and Opim S. Sitompul

where

%
k

is a random vector varying over a set

. More precisely, we assume throughout that a family F of events, i.e. subsets of , and the probability distribution P on F are given. Hence for every subset A that is an events, i.e. A F, the probability P(A) is known. Furthermore, we assume that the functions gi ( x, ) : x, i are
random variables themselves and that the probability distribution P is independent of x. However, problem (1) is not well define since the meanings of min as well as of the constraints are not cleat at all, if we think of taking a decision on

% x before knowing the realization of . Therefore a revision of the modeling process is necessary, leading to so-called deterministic equivalents for (1), which can be introduced in various ways.
3. DETERMINISTIC EQUIVALENT FORMULATION Let us now come back to deterministic equivalents for (1). For instance, in analogy to the particular stochastic linear program with recourse, for problem (1) we may proceed as follows. With

if gi ( x, ) 0, 0 gi+ ( x, ) = otherwise, g i ( x, )
the ith constraint of (1) is violated if and only if

gi+ ( x, ) > 0 for a given decision x and realization % of . Hence we could provide for each constraint
a recourse or second-stage activity yi ( ) that, after observing the realization , is chosen such as to compensate its constraints violation - if there is one by satisfying gi ( x, ) yi ( ) 0 . This extra effort is assumed to cause an extra cost or penalty of qi per unit, i.e. our additional costs (called the recourse function) amount to

Revision Modeling of Two-Stage Stochastic Programming Problem Herman Mawengkang, Saib Suwilo, and Opim S. Sitompul

m Q( x, ) = min qi yi ( ) | yi ( ) gi+ ( x, ), i = 1,L , m (2) y i =1

sequential decisions

yielding a total cost-first-stage and recourse cost-of

f 0 ( x, ) = g 0 ( x, ) + Q ( x, )

(3)

The term stages can, but need not, be interpreted as times periods. Assume for simplicity that the objective of (1) is deterministic, i.e. g 0 ( x, ) = g 0 ( x ) . At stage

x0 , x1 ,L , xK ( x n ) , to be taken at the subsequent stages = 0,1,L , K .

Instead of (2), we might think of a more general linear recourse program with a recourse vector

( 1)

we know the realizations

1 ,L ,

of the

W (the recourse matrix) and a corresponding unit


n

y ( ) Y n , (Y is some given polyhedral set, such as {y | y 0}), an arbitrary fixed m n matrix

% % random vectors 1 ,L , as well as the previous


decisions x0 ,L , x 1 , and we have to decide on

cost vector q , yielding for (3) the recourse function

x such that the constraints(s) (with vector valued constraint functions g ) g ( x0 ,L , x , 1 ,L , 0)


are satisfied, which - as stated - at this stage can only be achieved by the proper choice of x , based on the knowledge of the previous decisions and realizations. Hence, assuming a cost function q ( x ), at stage 1 we have a recourse function
Q = ( x0 , x1 ,K, x 1 , 1 ,K, ) = min {q ( x ) | g ( x0 , x1 ,K, x 1 , 1 ,K, ) 0}
x

Q( x, ) = min qT y | Wy g + ( x, ), y Y
y

(4) .

where g ( x, ) = g1 ( x, ),L , g m ( x, )

If we think of a factory producing m products, gi ( x, ) could be understood as the difference {demand}-{output}


+ i

of

product

i.

Then

g ( x, ) > 0 means that there is a shortage in


product I, relative to the demand. Assuming that the factory is committed to cover the demands, problem (2) could for instance be interpreted as buying the shortage of products at the market. Problem (4) instead could result from a second-stage or emergency production program, carried through with the factor input y and a technology represented by the matrix W. Choosing W=I, m m identity matrix, (2) turns out to be a special case of (4). Finally we also could think of a nonlinear recourse program to define the recourse function for (3); for instance, Q( x, ) could be chosen as
Q( x, ) = min q( y) | H i ( y ) gi+ ( x, ), i = 1,L , m; y Y n , (5)

indicating that the optimal recourse action x at time


depends on the previous decisions and the realizations observed until stage , i.e.

x = x ( x0 ,L , x 1 , 1 ,L , ), 1
Hence, taking into account the multiple stages, we get as total costs for the multistage problem
f 0 ( x0 , 1 ,L , K ) = g 0 ( x0 ) + E% ,L,% Q ( x0 , x1 ,L , x 1 , 1 ,L , )
=1
1

(7)

yielding the deterministic equivalent for the described dynamic decision problem, the multistage stochastic program with recourse
K % % min g0 ( x0 ) + E%1 ,L,% Q ( x0 , x1 ,L , x 1 , 1 ,L , ) (8) x0 X =1

where

q: n

and

Hi : n

are

supposed to be given. In any case, if it is meaningful and acceptable to the decision maker to minimize the expected value of the total costs (i.e. first-stage and recourse costs), instead of problem (1) we could consider its deterministic equivalent, the (two-stage) stochastic program with recourse

% % % min E% f 0 ( x, ) = min E% g0 ( x, ) + Q( x, ) . (6)


xX x X

obviously a straight generalization of our former (two-stage) stochastic program with recourse (6). For the two-stage case, in view of their practical relevance it is worthwhile to describe briefly some variants of recourse problems in the stochastic linear programming setting. Assume that we are given the following stochastic linear program

The above two-stage problem is immediately extended to the multistage recourse program as follows: instead of the two decisions x and y, to be taken at stages 1 and 2, we are now faced with K+1

"min" cT x

s.t. Ax = b, % % T ( ) x = h( ), x 0.

(9)

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Comparing this with the general stochastic program (1), we see that the set X
n

Then the second-stage program reads as


Q( x, ) = min (q+ )T y + + (q )T y | y + y = h( ) T ( ) x, y + 0, y 0
+ +

is specified as

X = x | Ax = b, x 0
where the

i.e. for q + q 0 , the recourse variables y and

y can be chosen to measure (positively) the


absolute deficiencies in the stochastic constraints. Generally, we may put all the above problems into the following form:
% s.t. E% f i ( x, ) 0, i = 1,L , s % ) = 0, i = s + 1,L , m, E% f i ( x, x X n
% min E% f 0 ( x, )

m0 n matrix A and the vector b are assumed to be deterministic. In contrast, the m1 n matrix T () and vector h() are allowed to depend % on the random vector , and therefore to have
random entries themselves. In general, we assume that this dependence on

(14)

is given as

T ( ) = T 0 + 1T 1 ,L , K T k , 0 + h1 ,L , h k , h ( ) = h 1 K
with deterministic matrices

(10)

in (9) are equalities (instead of inequalities, as in the general problem formulation (1)), it seems meaningful to equate their deficiencies, which, using linear recourse and assuming that

h0 ,L , h k . Observing that the stochastic constraints

T 0 ,L , T k and vectors

where the fi are constructed from the objective and the constraints in (1) or (9) respectively. So far, f0 represented the total costs (see(3) or (7)) and f1 ,L , f m could be used to describe the first-stage feasible set X. However, depending on the way the functions fi are derived from the problem functions gj in (1), this general formulation also includes other types of deterministic equivalents for the stochastic program (1). To give just two examples showing how other deterministic equivalent problems for (1) may be generated, let us choose first

Y = y n | y 0 , according to (4) yields the


stochastic linear program with fixed recourse
s.t. Ax = b, x 0. where Q( x, ) = min qT y | Wy = h( ) T ( ) x, y 0 % min x E% c x + Q( x, )
T

[ 0,1]

and define a

payoff function for all constraints as

(11)

( x, ) =

if gi ( x, ) 0, i = 1,L , m, otherwise

Consequently, for x infeasible at absolute loss of

In particular, we speak of complete fixed recourse if the fixed m n recourse matrix W satisfies

{ z | z = Wy,

y 0} = m1

(12)

have a return for decisions on x that, at least in the mean (i.e. on average), avoid an absolute loss. This is equivalent to the requirement.

, whereas for x feasible at of 1 . It seems natural to aim

we have an we

This implies that, whatever the first-stage decision x

% E% ( x, ) = ( x, )dP 0

% and the realizations of turn out to be, the


second-stage program

Defining get

Q( x, ) = min qT y | Wy = h( ) T ( ) x, y 0

f 0 ( x, ) = g 0 ( x, ) and f1 ( x, ) = ( x, ) , we

will always be feasible. A special case of complete fixed recourse is simple recourse, where with the identity matrix I of order m1: W =(I,-I) (13)

f 0 ( x, ) = g 0 ( x, )

1 if gi ( x, ) 0, i = 1,L , m, (15) f1 ( x, ) = otherwise

Revision Modeling of Two-Stage Stochastic Programming Problem Herman Mawengkang, Saib Suwilo, and Opim S. Sitompul

implying

then problems (16) and (17) become

% % E% f1 ( x, ) = E% ( x, ) 0
where, with the vector-valued
T

function

(18) s.t. P ({ | T ( ) x h( )}) % min xX E% cT ( ) x


and, with Ti () and hi () denoting the ith row and ith component of Ti () and hi () respectively,

g ( x, ) = ( g1 ( x, ),L , g m ( x, ) ) ,
% E% f1 ( x, ) = f1 ( x, )dP

= ( 1) P ({ | g ( x, ) 0}) + P ({ | g ( x, ) 0}) / 144444444 2444444444 4 3 P ({ | g ( x, ) 0})


=1

{ g ( x , ) 0}

( 1)dP +

/ { g ( x , ) 0}

dP

(19) s.t. P ({ | Ti ( ) x hi ( )}) i , i = 1,L , m % min xX E% cT ( ) x


the stochastic linear programs with joint and with single chance constraints respectively. Obviously there are many other possibilities to generate types of deterministic equivalents for (1) by constructing the fi in different ways out of the objective and the constraints of (1). Formally, all problems derived, i.e. all the above deterministic equivalents, are mathematical programs. Another interesting topic to be explored is, whether or under which assumptions do they have properties like convexity and smoothness such that we have any reasonable chance to deal with them computationally using the toolkit of mathematical programming methods. 4. CONCLUSION The model of stochastic programming problem needs to be revisioned into a deterministic equivalent model such that the original problem would be well defined and solvable. This paper has described some possibilities to generate types of deterministic equivalent for model of two-stage stochastic program. 5. REFERENCES R. Bellman, Dynamic Programming, Princeton University Press, New Jersey, 1957. D.P. Bertsekas, Dynamic Programming and Optimal Control, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ, 1995. J.R. Birge and F. Louveaux, Introduction to Stochastic Programming, Springer-Verlag, New York, 1997. P. Kall and S.W Wallace, Stochastic Programming, John Wiley, Chicester and New York, 1994. Z.-Q. Luo, J.-S. Pang and D. Ralph, Mathematical Programs with Equilibrium Constraints, Cambridge University Press, Cambridge, 1996. S. Ross, Introduction to Stochastic Dynamic Programming, Academic Press, New York and London, 1983. K. Shimizu, Y. Ishizuka, and J.F. Bard, Nondifferentiable and Two-Level Mathematical Programming, Kluwer Academic Publishers, Boston, MA, 1997.

Therefore

the

constraint

equivalent to P

({ | g ( x, ) 0}) .

% E% f1 ( x, ) 0

is

Hence,

under these assumptions, (14) reads as

(16) s.t. P ({ | g ( x, ) 0}) , i = 1,L , m


Problem (16) is called a probability constrained or chance constrained program (or a problem with joint probabilistic constraints). If instead of (15) we define

min xX E% g 0 ( x, )

i [ 0,1] , i = 1,L , m
f 0 ( x, ) = g 0 ( x, )

and analogous payoffs

for every single constraint, resulting in

1 if gi ( x, ) 0 f1 ( x, ) = i i = 1,L , m, otherwise i
then we get from (14) the problem with single (or separate) probabilistic constraints:

(17) s.t. P ({ | gi ( x, ) 0}) i , i = 1,L , m


If, in particular, we have that the functions gi ( x, ) are linear in x and if furthermore the set X is convex polyhedral, i.e. we have the stochastic linear program

min xX E% g 0 ( x, )

% "min" cT ( ) x

s.t. Ax = b, % ) x h( ) x % T ( x0

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

R.Van Slyke and R.J.B. Wets, L-shaped Linear Programs with application to Optimal Control, SIAM Journal on Applied Mathematics, 17 (1969), pp. 638-663. S. Takriti and S. Ahmed, On Robust Optimization of Two-Stage Systems, Working paper of Georgia Inst. Of Tech. 2001.

L .-Y. Yu, X. D. Ji, and S. Y. Wang, Stochastic Programming Model in Financial Optimization: A Survei, Working paper of Chinese Academy of sciences, Beizing, 2002.

10

PENERAPAN SISTEM KANBAN PENYEDIAAN MATERIAL UNTUK PROSES PRODUKSI PADA PT X


Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh Abstrak: Perkembangan ilmu pengetahuan pada era globalisasi semakin berkembang dengan pesatnya sehingga perusahaan dalam menjalankan bisnis harus bersaing dengan perusahaan sejenis. Untuk dapat harus dapat mengendalikan penyediaan material untuk kelancaran proses produksi. Perusahaan PT X yang bergerak dalam bidang perakitan bola lampu pijar. Produksi jadi yang dihasilkan antara lain tipe lampu: E50, A60, E60, A80, T45, P45, A55, NR63, NR80, BW35 sampai B35. Perencanaan dan pengendalian produksi yang digunakan sekarang menyebabkan terjadinya penumpukan material di lini produksi dan waktu proses yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi WIP (work in process) di lini produksi dan waktu proses. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan minimasi inventori dan waktu proses adalah dengan menggunakan kanban. Kanban yang digunakan adalah kanban pengambilan dan kanban perintah produksi pada unit perakitan dan pengemasan lampu. Hasil analisis yang diperoleh dengan menerapkan sistem kanban adalah terjadi penurunan WIP (work in process) di lini produksi. Perbandingan antara sistem nyata dengan sistem kanban adalah sebesar 45% untuk bulb dan 25% untuk duplex, dan perbandingan antara MRP dan Just in Time Kanban terjadi penurunan sebesar 28% untuk bulb dan 25% untum duplex. Secara garis besar sistem kanban yang diusulkan mempunyai aliran informasi produksi yang berjalan dari gudang bahan jadi, pengemasan, perakitan, gudang bahan baku dengan menggunakan kaban pengambilan. Sedangkan proses produksi di dalam work station diatur oleh kanban perintah produksi. Kata kunci: Just in Time, Kanban, Lamp, Inventori

Amri

1.

PENDAHULUAN Dunia industri sekarang ini mengalami kemajuan pesat, kemajuan ini menciptakan persaingan bisnis yang semakin kompetitif. Untuk dapat terus survive (bertahan) dalam persaingan tersebut maka salah satu cara adalah dengan mengembangkan sistem produksi yang lebih efisien dan produktif. Dalam hal ini kemampuan perusahaan untuk dapat bersaing dengan harga yang lebih kompetitif, salah satu diperoleh melalui pengurangan biaya produksi. Pengurangan biaya tersebut dapat dicapai dengan penerapan Just in Time (JIT). Beberapa masalah yang biasa dihadapi oleh sebagian perusahaan di Indonesia antara lain sistem produksi yang terpusat, karena semua rencana proses produksi dibuat oleh manajemen puncak, dan kemudian baru diserahkan kepada stasiun kerja masing-masing, yang diakibatkan oleh penerapan sistem push. Kelemahan dari sistem ini bila manajemen tidak mengontrol kerja bawahan maka akan terjadi kelambatan produksi. Akibat lain yang ditimbulkan terjadi keterlambatan pengiriman barang, dari gudang raw material ke proses produksi sehingga menghambat kerja proses berikutnya banyak produk yang cacat sehingga diperlukan pengerjaan ulang dan kadang harus membuang bahan karena kesalahan proses atau perhitungan dan ini semua akan menambah biaya produksi. Permasalahan di atas juga dialami oleh perusahaan yang memproduksi bola lampu dengan berbagai jenis. Produksi yang dilakukan berdasarkan permintaan yang masuk. Produk yang dihasilkan antara lain adalah TL, dan bola lampu General

Lighting Service (GLS) dengan tipe bulb, A60, E50, E60, A80, T45, P45, T55, A55, NR63, NR80, E80, BW35, sampai B35. Permasalahan yang terjadi di perusahaan adalah terlalu besarnya inventori, kurang koordinasi atau kerjasama sesama karyawan, lambatnya kerja operator tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan kurangnya kesadaran pekerja dalam melakukan tugas. Dari permasalahan yang terjadi pada perusahaan tersebut di atas maka dibuat sebuah usulan untuk menerapkan sistem kanban, dalam setiap proses produksi yang akan dikembangkan untuk mengendalikan jumlah produksi dalam setiap tahap proses produksi. Dengan adanya kanban yang merupakan suatu alat untuk mencapai proses Just in Time, diharapkan dapat menekan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem produksi dengan membuat sistem kontrol kanban mulai dari penyediaan bahan baku, pengurangan inventori, persediaan yang tidak perlu dihilangkan, sehingga dapat menghilangkan ongkos persediaan. Selain itu juga melakukan produksi seperlunya dengan mengurangi kegiatan yang tidak perlu atau pemborosan Kanban adalah suatu kartu yang berfungsi sebagai alat kontrol produksi Just in Time. Penerapan sistem kanban produksi adalah dengan membuat kartu kanban yang diperlukan menghitung jumlah kanban merencanakan aliran kanban yang efisien dan sarana pendukung sistem kanban. Perencanaan sistem kanban perlu digunakan secara optimal untuk dapat mengendalikan persediaan dan proses produksi ini dapat dicapai bila

11

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

perusahaan akan memproduksi produk yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan pada saat dibutuhkan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, yaitu: Bagaimana merancang sistem kanban Bagaimana merancang sistem kanban penyediaan material untuk produksi bola lampu yang optimal Bagaimana mengukur tingkat performansi sistem produksi bola lampu Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan tersebut antara lain: Merancang sistem kanban penyediaan material pada proses produksi sehingga dapat mengurangi inventori, Work in Process (WIP) pada tiap proses produksi Menganalisis sistem kanban penyediaan dengan melihat pengaruh yang terjadi pada proses produksi Mengukur performansi sistem kanban pada proses produksi Dalam penelitian ini digunakan beberapa batasan untuk membatasi ruang lingkup penelitian, adapun batasan yang digunakan adalah: Tidak membahas analisis jumlah kebutuhan tenaga kerja dan mesin Tidak membahas pemasukan barang dari supplier Tidak membahas proses distribusi produksi dari pabrik ke konsumen Pembahasan dilakukan pada produksi bola lampu GLS (General Lighting Service) Perhitungan jumlah kanban dilakukan pada material bulb dan duplex. Penelitian ini juga menggunakan beberapa asumsi antara lain: Lay out site departemen yang masih berada pada kondisi saat ini Seluruh permintaan dianggap dapat dipenuhi Kondisi mesin dianggap dalam keadaan normal METODOLOGI PENELITIAN Didalam penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap penelitian, yaitu: 2.1 Tahap Identifikasi dan Penelitian Awal Pada tahap ini dilakukan identifikasi permasalahan dan tujuan penelitian, dilanjutkan dengan melakukan studi literatur yang meliputi sumber buku dan penelitian sebelumnya. Selanjutnya dilakukan penentuan metode yang digunakan yaitu kanban sebagi alat pengontrol just in time. Penelitian pendahuluan dilakuakn dengan wawancara pihak manajemen dan karyawan, kemudian mengambil data di lapangan seusia dengan tahapan yang diperlukan dalam menentukan jumlah kanban. 2.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data Pada tahap ini dilakukan pencatatan data yang 2.

dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan pendekatan sistem kanban antara lain data produksi, komponen, kedatangan barang, permintaan tahunan, dan saldo minimal di lini produksi dengan pendekatan Kanban JIT. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data yang dimulai dengan perhitungan jumlah kanban yaitu, jumlah kartu untuk tiap part, kapasitas kontainer atau palet. Perhitungan dilakukan pada unit perakitan dan pengemasan di lini produksi pada unit perakitan dan pengemasan 1 sampai 13. Tahap Perencanaan Sistem Kanban Studi mengenai sistem kanban dengan pendekatan Just in Time untuk diterapkan pada semua proses produksi, membuat usulan produksi dengan pendekatan Just in Time mulai dari penyediaan material sampai menjadi barang jadi. Sistem nyata yang ada sekarang ini akan dicoba membuat model sistem produksi Just in Time yaitu dengan mengganti sistem aliran informasi sistem yang nyata dengan sistem kanban. Secara garis besar aliran yang akan dilakukan adalah membuat Master Production Schedule pada work station akhir yaitu produk jadi, bukan pada masing-masing work station. Dari work station produk jadi akan memberikan barang sesuai dengan jadwal rencana produksi, bila ternyata barang yang diinginkan tidak ada maka akan diminta pada work station sebelumnya dengan menggunakan kanban pengambilan, kemudian work station tersebut akan memberikan barang pada work station berikutnya, jika barang yang diinginkan oleh work station sebelumnya tidak dapat dipenuhi maka work station tersebut akan mengambil pada work station sebelumnya lagi dengan kanban pengambilan, demikian seterusnya. Sedangkan pada proses dan pekerja perlu sedikit perbaikan, pada proses yang tidak diperlukan sehingga membawa efisiensi kerja. 2.4 Tahap Analisis Data hasil penelitian yang digunakan untuk mengestimasi suatu kriteria performansi sistem yang diteliti. Hasil estimasi ini kemudian digunakan untuk menjawab tujuan studi yang telah ditentukan adalah dengan perbaikan sistem, produksi sehingga tidak terjadi kegiatan yang tidak efisien. Maka perlu dianalisis sehingga didapat gambaran keberhasilan penerapan system kanban secara kualitatif dan kuantitatif. Kemudian diambil kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada di perusahaan dan saran sebagai tindak lanjut yang sebaiknya dilakukan bila ingin menerapkan sistem kanban. 3. DESKRIPSI MODEL Model yang akan dijadikan studi adalah model sistem produksi yang terdiri dari beberapa tahap proses. Proses produksi perakitan lampu terdiri dari 13 unit mesin, dan proses pengemasan lampu terdiri dari 13 unit mesin. Kedua proses dalam penelitian ini akan dibuat sistem kanban mulai dari kedatangan 2.3

12

Penerapan Sistem Kanban Penyediaan Material untuk Proses Produksi pada PT X Amri

produk ke unit produksi sampai selesai. Produk yang dibuat berupa bola lampu berbagai jenis dan tipe mulai tipe A60, E50, E60, A80, T45, P45, T55, A55, NR63, NR80, E80, BW35 sampai B35. Kartu kanban yang akan digunakan adalah kanban pengambilan dan kanban perintah produksi. Kanban pengambilan digunakan pada pengembalian barang di gudang bahan baku. Pabrik pembuatan komponen lampu Lamp Component Factory (LCF) dalam penelitian ini dianggap sebagai pemasok bahan baku gelas ke pabrik perakitan lampu. Kanban perintah produksi digunakan pada perakitan lampu dan pengemasan lampu ke 13 unit produksi. Aktivitas yang akan dibahas pada penelitian ini adalah mulai dari peng-input-an data komponen ke komputer, pengambilan barang di rak masing-masing kemudian dikumpulkan di area penampungan sementara sebelum dibawa ke unit produksi masingmasing. Setelah komponen disiapkan kemudian dihitung ulang apakah sudah selesai denga permintaan, dan di angkut ke unit produksi dan juga ke penampungan sementara yang dilakukan dengan hand forklift electric dan hand forklift. 4. PERMODELAN SISTEM NYATA Proses order material dilakukan oleh perusahaan PT X dengan pihak supplier di mana barang yang dipesan sesuai dengan permintaan yang masuk. Kemudian baru membuat Master Production Schedule untuk masing-masing work station mulai dari gudang bahan baku, perakitan bulb dan pengemasan. Persiapan material dilakukan di gudang bahan baku mulai dari pengecekan material apakah tersedia atau tidak, berapa jumlahnya dan berapa yang diambil. Setelah selesai operator bagian gudang bahan baku menyiapkan material dan komponen dikumpulkan di area sementara sebelum dibawa ke unit produksi. Informasi yang diperlukan untuk memodelkan sistem produksi nyata perusahaan adalah meliputi Master Production Schedule dan rencana produksi yang diberikan kepada tiap work station. Secara garis besar aliran informasi ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Setiap proses pada sistem push secara langsung dikontrol dan dikendalikan oleh Master Production Schedule. Setiap work station diberikan daftar jadwal pekerjaan yang harus dilaksanakan dan transportasi yang dilakukan pada semua work station.

Master Production Schedule

Push Trans Gudang Bahan Baku Job Sequence

Push Trans Assembly Packing

Push Trans Produk Jadi

Job Sequence

Job Sequence

Job Sequence

Aliran Informasi Aliran Material

Gambar 1. Master Prodution Schedule 5. 5.1 PERMODELAN SISTEM KANBAN

Aliran Material Aliran material usulan sistem produksi dengan menggunakan kanban merupakan sistem pull (tarik) yaitu proses produksi yang berjalan dari belakang (proses tarik) menuju ke proses sebelumnya. Di sini akan dijelaskan aliran peredaran kanban dalam proses produksi. Ada sedikit perubahan di mana penampungan sementara yang ada dihilangkan. Jadi produk dibawa langsung ke unit proses masingmasing. Kanban yang digunakan dalam usulan sistem ini ada 2 yaitu kanban perintah produksi dan kanban pengambilan. 5.2 Kanban di Gudang Produk Jadi Pada gudang produk jadi lampu tidak menggunakan kanban perintah produksi, karena mengingat tidak ada proses yang dilakukan di gudang produk jadi. Sehingga diperkirakan jika menggunakan kanban perintah produksi malah akan memakan waktu yang lama. Penyelesaian pekerjaan menjadi tidak efisien dan membuat biaya produksi lebih tinggi akibat penggunaan kanban yang tidak diperlukan. Proses perhitungan jumlah yang terjadi pada sistem nyata dihilangkan, karena dianggap pemborosan kerja, sedangkan pada sistem usulan pull hanya menerima sejumlah produk yang dikirim oleh pengemas dengan jumlah yang sudah tertulis pada kanban. Pengambilan tidak perlu dilakukan perhitungan lagi, urutan aliran peredaran kanban yang ada di gudang setelah dihitung jumlahnya adalah: Kanban pengambilan diletakkan pada produk jadi dan telah disimpan digudang setelah dihitung jumlahnya Jika ada permintaan dari konsumen, maka produk yang diinginkan di gudang produk jadi dicek kebenarannya, dan jika produk tersebut ada maka kanban pengambilan diletakkan pada pos kanban pengambilan beserta tanda terima order yang telah dikirimkan

13

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Jika produk yang dinginkan tidak ada maka pihak gudang produk jadi akan meminta produk tersebut kepada bagian pengemasan dengan menggunakan kanban pengambilan yang terletak di pos kanban pengambilan di gudang produk jadi diangkut dengan forklift. Gambar aliran kanban di lini gudang produk jadi dapat dilihat di bawah ini:
Barang Jadi Kanban Pengambilan

Bila produk yang harus dikemas ternyata tidak ada di bagian pengemasan maka pihak pengemasan harus mengambil kanban pengambilan yang diletakkan pada pos kanban pengambilan untuk proses sebelumnya yaitu, pengisian besarta dengan forklift sebagai alat angkut produk. Gambar aliran kanban di lini pengemasan lampu dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Proses Pengemasan Kanban perintah produksi Perakitan

Gudang Produk Jadi

Storage Pengemasan

Pos penerimaan kanban

Pos Kanban Perintah Produksi

Order Konsumen

Kanban Pengambilan

Kanban Pengambilan

Pos Kanban pengambilan

Kanban Pengambilan

Produk Produk

Produk Jadi Pos Kanban Konsumen Kanban Pengambilan

Kanban Pengambilan produk jadi

Kanban Pengambilan

Gambar 3. Kanban di Lini Pengemasan Kanban di Lini Perakitan Lampu Kanban di area perakitan lampu yang digunakan adalah kanban antar proses, kanban pengambilan dan kanban produksi. Kanban produksi dilakukan oleh operator pergi ke tempat buffer stock untuk proses produksi, kemudian kanban yang melekat pada palet atau body dilepas ditempatkan pada pos kanban yang telah disediakan. Petugas bagian gudang mengambil kanban beserta palet dibawa ke gudang untuk pengisian kembali. Petugas bagian Quality Control mengisi kembali komponen ke palet yang telah kosong sesuai kebutuhan serta kanban ditempelkan pada badan palet. Apabila komponen yang tidak tersedia untuk proses tersebut maka ia akan mengambil pada proses sebelumnya sesuai jumlah yang dibutuhkan. Komponen yang diambil pada proses pengemasan dalam penelitian ini adalah bulb. Gambar aliran kanban di lini perakitan lampu dapat dilihat pada gambar 4:
Proses Perakitan Kanban perintah produksi Gudang Bahan Baku

5.4

Gambar 2. Kanban di Gudang Produk Jadi 5.3 Kanban di Lini Pengemasan Pada daerah pengemasan digunakan kanban pengambilan antar proses dan kanban perintah produksi (pengepakan lampu jadi). Pada proses yang dianggap tidak efisien dan hanya memperlambat pekerjaan yaitu proses pengangkutan material ke unit penampungan sementara dihilangkan, jadi komponen yang diambil di gudang langsung dibawa ke unit masing-masing. Bagian pengemasan menerima kanban pengambilan dari bagian produk jadi jika produk yang diinginkan oleh gudang dapat dipenuhi oleh bagian pengemasan, maka kanban perintah produksi yang melekat pada produk tersebut diletakkan di pos penerimaan kanban, dan diganti oleh kanban pengambilan. Kanban beserta produk tersebut akan dibawa ke gudang produk jadi. Jika produk yang diinginkan oleh pihak gudang produk jadi tidak dapat dipenuhi oleh pihak pengemas, maka pihak pengemasan akan memproduksi produk tersebut dan disertai oleh kanban perintah produksi yang diambil dari pos kanban pengambilan produksi. Kanban ini harus melekat pada produk selama: berada dalam proses sampai proses pengemasan tersebut selesai. Kanban produksi ini gunanya untuk mengetahui jumlah produk yang dibuat dan jumlah permintaan terhadap produk tersebut yang diambil oleh bagian gudang produk jadi pengemasan dalam penelitian ini adalah bulb. Gambar aliran kanban di lini perakitan lampu dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Pos penerimaan kanban

Pos Kanban Perintah Produksi

Kanban Pengambilan Pos Kanban pengambilan Pos Pengemasan Produk

Kanban Pengambilan

Produk

Kanban Pengambilan

Kanban Pengambilan

Gambar 4. Kanban di Lini Perakitan Lampu

14

Penerapan Sistem Kanban Penyediaan Material untuk Proses Produksi pada PT X Amri

5.5 Proses Pemesanan Kembali Di gudang bahan baku pengambilan bahan baku di rak dengan forklift proses yang dilakukan adalah: Jika ada permintaan dari ruang perakitan dengan menggunakan kanban pengambilan, maka bahan yang diinginkan diambil dengan forklift. Kemudian kanban perintah produksi yang melekat pada produk dilepas dan diletakkan pada pos penerimaan kanban, setelah itu bahan baku dibawa dari gudang dengan menggunakan forklift ke tempat pengolahan General Lighting Service lampu beserta kanban pengambilan.
Bahan Baku Kanban perintah produksi Bahan Baku

5.6 Aliran Informasi Aliran informasi bergerak dari Master Production Schedule yang diberikan hanya kepada bagian akhir (produk jadi yang ada di gudang produk jadi) kemudian dari bagian akhir ini bergerak ke depan yaitu pada proses sebelumnya dengan menggunakan kanban, dan dari proses sebelumnya tersebut diberikan ke proses sebelumnya lagi demikian seterusnya, sedangkan aliran material tetap bergerak mulai dari proses awal menuju ke proses berikutnya sampai ke produk jadi. Adapun bagan aliran kanban adalah sebagai berikut:

Kanban pengambilan dari area perakitan

Storage

Master Production schedule

Pos penerimaan kanban

Pos Kanban Perintah Produksi

Job Square

Job Square

Job Square

Job Square

Storage
Kanban Pengambilan

Bukti Pembelian Bahan Baku Bahan Baku

Gudang Bahan Baku

Gudang Bahan Baku

Gudang Bahan Baku

Gudang Bahan Baku

Produk Pos Perakitan Sistem pemesanan kembali

Pull Transp

Pull Transp

Pull Transp

Aliran Informasi
Daftar Bahan

Aliran Material

Gambar 5. Proses Pemesanan Kembali Bila permintaan daripada perakitan lampu tidak dapat dipenuhi maka bagian gudang bahan baku membuat sistem pemesanan kembali dengan jumlah pesanan tetap dan membuat titik pesan ulang (reorder point), sehingga dapat diketahui pada titik berapa bahan baku harus dipesan kembali ke supplier bahan baku. Sistem pemesanan kembali sudah dibuat dalam sistem nyata. Setelah bahan yang diinginkan dikirim oleh supplier bahan baku ke gudang bahan baku akan diletakkan kanban perintah produksi pada bahan baku yang diperlukan, selanjutnya kanban ini diletakkan di pos pengambilan kanban dan digati dengan kanban pengambilan yang digunakan untuk mengambil bahan baku tersebut. Gambar aliran kaban gudang bahan baku dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 6. Aliran Informasi dan aliran Material Kanban 6. ANALISIS HASIL

6.1 Analisis Perbandingan Tingkat Persediaan Work in Process (WIP) antara Sistem Kanban dengan Aktual di Pabrik Tingkat persediaan material di lini produksi Work in Process (WIP) adalah salah satu parameter utama yang diestimasikan dalam penelitian ini. Pada tahapan ini dianalisis tingkat persediaan Work In Process (WIP) dengan sistem yang ada saat ini dan persediaan Work in Process (WIP) dengan sistem informasi kanban yang dirancang. Data yang diamati dalam penelitian ini merupakan kuantitas bahan baku yang tersedia pada storage area dan dijumlahkan dengan kuantitas Work in Process (WIP) pada lini produksi. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

15

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Tabel 1. Perbandingan antara Stock Actual dengan Stock System Kanban untuk Bulb
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis Bulb E50 A80 NR/R63 NR/R80 B35 BW35 P45 T55 T45 E60 A60 P45 A55 Rata-rata Rata-rata stock Actual per hari 157428 32400 41624 32514 55500 74000 256864 165196 289625 44500 68198 344035 498679 Kanban 8 7 4 8 3 3 8 3 10 4 4 8 38 Kapasitas palet (unit) 11000 2600 6575 2700 18500 185000 14250 7125 13500 6500 6250 14250 8250 Stock Maximum Kanban (unit) 88000 18200 26300 21600 55500 55500 114000 21375 135000 26000 25000 114000 313500 % Penurunan stock awal 44.10 43.83 36.82 33.57 0.00 25.00 55.62 87.06 53.39 41.57 63.34 66.86 37.13 42.25

Tabel 2. Perbandingan antara Stock Actual dengan Stock System Kanban untuk Duplex
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis Duplek E50 A80 NR/R63 NR/R80 B35 BW35 P45 T55 T45 E60 A60 P45 A55 Rata-rata Rata-rata stock Actual per hari 261761 74839 77638 67025 147011 59751 212125 104461 0 71787 172210 162183 384227 Kanban 7 2 2 2 3 3 5 2 5 2 2 5 12 Kapasitas palet (unit) 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 Stock Maximum Kanban (unit) 112000 56000 56000 56000 84000 84000 140000 56000 140000 56000 56000 140000 336000 % Penurunan stock awal 57.21 25.17 27.87 16.45 42.86 -40.58 34.00 46.39 0.00 21.99 67.48 13.68 12.55 25.01

Data tersebut di atas merupakan jumlah sisa komponen dari produksi sehari sebelumnya, dibandingkan dengan jumlah maksimum tingkat persediaan sistem kanban rancangan sebagai stock level Work in Process. Stock maksimum sistem kanban adalah jumlah kanban yang beredar untuk part tersebut dikalikan dengan kapasitas paletnya. Dari hasil tersebut dapat dilihat nilai stok yang ada berbeda jumlahnya dengan yang ada di pabrik. Penurunan rata-rata stok di Work in Process (WIP)untuk semua komponen bulb dan duplex adalah mencapai 45.25% dan 25.01%. jika diperhatikan tabel di atas pada 1 nilai negatif yang berarti terjadi penambahan jumlah stok. Kondisi ini dimungkinkan karena data aktual adalah kondisi stok yang ada di Work In Process (WIP) di pagi hari saat mulai operasi, belum mendapat pasokan dari gudang utama. Secara grafik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1 3 5 7 9 11 13

Aktual

Kanban

Gambar 7.

Grafik Perbandingan Stock Actual dan Karban

600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Aktual

Kaban

Gambar 8.

Grafik Perbandingan Stock Actual dan Karban

16

Penerapan Sistem Kanban Penyediaan Material untuk Proses Produksi pada PT X Amri

6.2 Analisis Tingkat Persediaan Material Requirement Planning (MRP) dan Just In Time/Kanban Selanjutnya dari perhitungan berikut ini akan diestimasi tingkat persediaan maksimum antara
No . 1 2 3 Jenis Bulb E50 A80 NR/R6 3 4 NR/R8 0 5 B35 6 BW35 7 P45 8 T55 9 T45 10 E60 11 A60 12 P45 13 A55 Rata-rata Mak (unit) 176000 30100 40178 50450 74000 38550 242250 142500 108000 45500 64345 315250 561000 Min (unit) 33000 2600 6575 3875 18500 2770 14250 14250 13500 13000 6250 28200 41250 Range (unit) 143000 27500 33603 46575 55500 35780 228000 128250 94500 32500 58095 287050 519750 Max Inventori MRP (unti) 143000 27500 33603 46575 55500 35780 228000 128250 94500 32500 58095 287050 519750

system Material Requirement Planning dan Just in Time/Kanban. Perbandingan tingkat persediaan antara Material Requirement Planning dan Just in Time/Kanban dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3 Perbandingan Tingkat Persediaan MRP dan Just in Time/Kanban untuk Bulb
Kanban 8 7 4 8 3 3 8 3 10 4 4 8 38 Kapasitas Palet (unit) 11000 2600 6575 2700 18500 18500 14250 7125 13500 6500 6250 14250 8250 Stock Max Kanban (unit) 88000 18200 26300 21600 55500 55500 114000 21375 135000 26000 25000 114000 313500 % Penurunan Stock Awal 38.46 33.82 21.73 53.62 0.00 -55.11 50.00 83.33 -42.86 20.00 56.97 60.29 39.68 27.69

Tabel 4 Perbandingan Tingkat Persediaan MRP dan JIT/Kanban untuk Duplek


N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 Jenis Duplek E50 A80 NR/R63 NR/R80 B35 BW35 P45 T55 T45 E60 A60 P45 A55 Rata-rata Mak (unit) 297678 90789 92441 86784 136172 90863 258363 157575 0 120871 188295 225363 444900 Min (unit) 54569 25050 18623 19959 42976 5851 55024 39442 0 26011 71308 55024 91283 Range (unit) 243109 73809 65739 66825 93196 85012 203339 118133 0 94860 116987 170339 353617 Max Inventori MRP (unti) 243109 73809 65739 66825 93196 85012 203339 118133 0 94860 116987 170339 353617 Kanban 4 2 2 2 3 3 5 2 5 2 2 5 12 Kapasitas Palet (unit) 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 28000 Stock Max Kanban (unit) 112000 56000 56000 56000 84000 84000 140000 56000 140000 56000 56000 140000 336000 % Penurunan Stock Awal 53.93 24.13 14.81 16.20 9.87 1.19 31.15 52.60 0.00 40.97 52.13 17.81 4.98 24.60

Dari hasil tabel di atas diperoleh: Nilai maksimum adalah merupakan nilai konsumsi material harian tertinggi dari konsumen material per hari dalam produksi Nilai minimum adalah nilai konsumsi material harian terendah dari data pengamatan Range adalah selisih antara nilai maksimum dan minimum, yang merupakan tingkat persediaan dari sistem Material Requirement Planning (MRP) Maksimum inventori kanban adalah jumlah kartu kanban tiap komponen dikalikan jumlah palet material tersebut (jumlah maksimum material dalam lini produksi sama dengan

jumlah kartu kanban yang beredar dalam lini produksi) Dapat diestimasikan secara teoretis bahwa persediaan maksimum sistem kanban lebih rendah dari persediaan maksimum sistem Material Requirement Planning (MRP) Penurunan persediaan material Work In Process rata-rata untuk bulb dan duplex 27.69% dan 24.60% per hari. Jika diperhatikan tabel di atas ada 2 nilai negatif yang berarti terjadi penambahan jumlah stok Kondisi ini terjadi karena data aktual adalah kondisi stok yang ada di Work In Process di pagi hari saat mulai operasi, belum mendapat pasokan

17

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

dari gudang utama. Dapat dilihat dengan grafik di bawah ini:


400000 300000 200000 100000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

MRP

JIT/Kanban

Gambar 9. Grafik Perbandingan Tingkat Persediaan MRP dan Just In Time/Kanban


450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Siklus kanban untuk bulb adalah 1.7. Hal ini berarti barang di sampaikan dalam satu hari 7 kali dan part yang dipesan akan datang jam berikutnya. Untuk menjaga kontinuitas produksi pada waktu tersebut, maka stock level produksi ditetapkan sebesar 2 jam. Sedangkan untuk duplex 1.4.2, hal ini berarti barang disampaikan dalam satu hari 4 kali dan part yang dipesan akan datang 2 jam berikutnya. Untuk menjaga kontinuitas produksi pada waktu tersebut, maka stock level produksi ditetapkan sebesar 2 jam. Aktivitas gudang utama dan pengangkutan forklift masing-masing sebesar1 jam untuk bulb dan duplex Waktu yang dibutuhkan untuk seluruh aktivitas yang dilakukan dengan sistem kanban untuk bulb adalah sebesar 54 menit dan untuk duplex adalah 49 menit.

2.

MRP

JIT/Kanban

Gambar 10. Grafik Perbandingan Tingkat Persediaan Material Requirement Planning dan Just In Time/kaban 6.3 Analisis Performansi Sistem Dalam melakukan analisis performansi sistem didasarkan pada kriteria utama adalah: 1. Analisis aktivitas pengisian kembali (replacement), dan 2. Analisis inventori Analisis dilakukan pada material bulb dan duplex baik pengantian kembali material maupun inventori. Analisis Aktivitas Pengisian Kembali (Replacement) Kedua sistem yang lama dan yang baru semuanya digunakan untuk menyediakan bahan baku untuk mesin dengan kapasitas yang sama, yang berbeda adalah replacement cycle. Pada sistem yang lama, replacement cycle dilakukan 8 jam sekali, sedangkan pada sistem yang baru replacement dilakukan 3.5 jam sekali untuk bulb. Sedangkan untuk duplex replacement cycle dilakukan 3.9 jam sekali. Sehingga replacement cycle dari bulb dan duplex dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Replacement Cycle dari Bulb dan Duplex
Aktivitas Bulb Duplex Replacement Cycle Lama Baru 8 jam 3.54 jam 8 jam 3.49 jam Jumlah Persediaan Lama Baru 17200 unit 7611 unit 17200 unit 7504 unit

1.

Analisis Inventori Perbandingan tingkat persediaan Work In Process antara sistem kanba dengan aktual di pabrik (lini produksi). a. Stok di lini produksi untuk bulb, dari hasil perhitungan antara Work In Process di lini produksi sistem nyata dengan sistem kanban, terjadi penurunan persediaan sebesar 45.25%. b. Stok di lini produksi untuk duplex, dari hasil perhitungan antara Work In Process di lini produksi sistem nyata dengan sistem kanban terjadi penurunan persediaan sebesar 25.01%. Perbandingan tingkat persediaan sistem MRP dan sistem kanban 1. Stok di lini produksi untuk bulb, dari hasil perhitungan antara MRP dengan sistem kanban menjadi penurunan pesediaan sebesar 27.69% per hari. 2. Stok di lini produksi untuk duplex, dari hasil perhitungan antara sistem kanban terjadi penurunan persediaan sebesar 24.60%. 6.4 Kelemahan dan Kelebihan Sistem Lama dan Sistem Baru Adapun kelemahan dan kelebihan dari masingmasing sistem dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Kelemahan dan Masing Sistem
Sistem Lama Kelemahan Kelebihan Koordinasi Penjadwalan antara unit tidak selalu kurang sering (bulanan) Material Service menumpuk level lebih pada lini bagus produksi

Kelebihan

Masing-

Adapun aktivitas yang dilakukan adalah:

Sistem Baru Kelemahan Kelebihan Harus dilakukan Inventori penjadwalan minimum sering (mingguan/harian) Pengangkutan Material material lebih tidak sering menumpuk. Koordinasi lebih bagus

18

Penerapan Sistem Kanban Penyediaan Material untuk Proses Produksi pada PT X Amri

6.5 Kesulitan yang Muncul dengan Adanya Sistem Just In Time/Kanban 1. Sumber daya manusia yang telah biasa dengan sistem lama, sehingga apabila Just In Time/Kanban diterpakan di perusahaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melatih para pekerja. Memberikan tanggung jawab penuh pada karyawan, karena dalam Just In Time/Kanban sangat dibutuhkan pekerja penuh tanggung jawab tanpa harus menunggu perintah dari atasan seperti pada saat ini 2. Kesulitan menerapkan sumber daya yang fleksibel seperti pada Just In Time yang telah dilaksanakan Toyota, artinya adanya pengambilan tenaga kerja ekstra apabila order meningkat dan merumahkan tenaga kerja tersebut. Prinsip ini tidak dapat dilakukan, karena semua tenaga kerja berstatus tenaga kerja tetap, hal ini malah merugikan perusahaan yaitu membuat gaji pegawai yang tidak bekerja. 6.6 Hal-hal yang Perlu Dilakukan dalam Pelaksanaannya Adalah 1. Membuat team proyek yang terdiri dari manajemen pabrik, kepala bagian tiap work station yang harus dibentuk dan dilatih terlebih dahulu dalam membuat pola pikir Just In Time/Kanban sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran antara sistem nyata dengan sistem pull 2. Membuat produk percontohan, maksudnya karena penerapan Just In Time/Kanban membutuhkan perubahan revolusioner maka sebaiknya dimulai dari perubahan dalam skala kecil, misalnya penerapan sistem kanban pada permintaan produk akhir ke bagian pengemasan, dari sini akan dievaluasi bila hasilnya bagus maka akan dilanjutkan ke bagian pengolahan dan seterusnya. Bila hasil evaluasi kurang memuaskan maka harus dicari faktor penyebabnya 7. KESIMPULAN DAN SARAN

3.

4.

5.

(kanban segi tiga) 4, dan kanban supplier (gudang bahan baku) Dalam kebutuhan material bahan baku, sediaan dalam proses, terutama dalam kuantitasnya pada lini produksi, rancangan informasi sistem kanban memberikan tingkat persediaan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sistem MRP yang ada sekarang Sistem informasi kanban bekerja lebih baik dalam perencanaan kebutuhan bahan baku material dan minimasi tingkat persediaan serta cycle time Frekuensi kedatangan part yang lebih besar dengan kuantitas part terkirim lebih kecil dalam sistem informasi kanban menghasilkan tingkat persediaan Work In Process yang lebih rendah

7.1 Saran Saran yang diajukan di bawah ini merupakan rekomendasi yang diberikan penulis, baik terhadap sistem yang diamati maupun untuk penelitian selanjutnya. 1. Penerapan metode just in time dengan sistem kanban sangat membantu integrasi dari seluruh pihak dalam perusahaan mulai dari pihak manajemen hingga operator produksi. Persiapan dalam hal sumber daya manusia hendaknya lebih dahulu diperhatikan dalam sistem yang menuntut kedisiplinan. Tinggi dalam bekerja 2. Penyebarluasan pemahaman dan penelitian sistem produksi Just In Time sebaiknya dilakukan dengan kerjasama antara perguruan tinggi dengan kalangan industri. 3. Sistem kanban relatif sederhana sehingga mudah dimengerti karena itu hendaknya pemahaman diberikan secara menyeluruh pada semua tingkat dalam perusahaan sehingga sistem kanban berjalan dengan baik 8. DAFTAR PUSTAKA Gaspersz, Vincent., 1998, Manajemen Produksi Total, Strategi Peningkatan Produktivitas Bisnis Global, Gramedia ustaka Umum, Jakarta Jimmy, Browne, John Harnen, James Shivnan., 1988, Production Management System, Addison Weslwy Publishing Company Law,A.M and Kelton, W.D., 1991. Simulation Modelinh and Analysis, 2th edition., New York, McGraw-Hill, Inc Monden, Yasuhiro. 2000. Sistem Produksi Toyota Suatu Ancangan Terpadu Untuk Penerapan Just In Time, 1.II jilid, terjemahan Dr.Edi Nugroho, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Mudjahidin, 2000. Pembuatan Kanban dan Simulasi Sistem Produksi Just In Time untuk Multi Produk da Multi Proses., Program Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya

7.1 Kesimpulan Melalui serangkaian tahapan penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Siklus kanban untuk bulb adalah 1 :7 :2 artinya barang ini harus disampaikan tujuh kali sehari dan suku cadang harus disampaikan tiga kali setelah kanban dibawa ke pemasok. Siklus kanban untuk duplex 1 :4 :2 artinya barang ini harus disampaikan empat kali sehari dan suku cadang harus disampaikan dua kali setelah kanban dibawa ke pemasok 2. Jumlah keseluruhan kanban di lini produksi untuk bulb adalah 12, titik pesan ulang (kanban segi tiga) 8, dan kanban supplier (Lamp Component Factory) 4. Jumlah kanban di lini produksi untuk duplex adalah 7, titik pesan ulang

19

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Ohno, Taiichi. Just In Time-1995. Dlam Sistem Produksi Toyota,. Terjemahan Dr.Edi Nugroho, Pustaka Binaman Pressindo Jakarta Fogarty, D.W., J.Blakestone.JR., and T.R Hoffman., Production and Inventory Management 2ed. Cicinnati, OH: South-Western Peblishing, 1991 Schniederjans, Marc J., Topics In JustIn-Time Management: Allyn & Bacon, 1993. Boston

Schonberger, Richard J. Teknik-teknik Manufaktur epang. Terjemahan Dr.Edi Nugrohio, Pustaka Binaman Pressindo, 1995, Jakarta.

20

KINERJA SISTEM PENGKODEAN DENGAN MENGGUNAKAN KODE INNER DAN KODE OUTER
Staf Pengajar Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU Abstrak: Kesalahan merupakan masalah pada sistem komunikasi. Untuk mengatasi masalah ini digunakan sistem pengkodean untuk dapat mengkoreksi kesalahan. Penelitian ini membuat model sistem kode inner dan outer. Tolok ukuran kinerja sistem adalah Bit Error Rate dari kode inner dan outer kode Hamming dan kode Reed Salomon. Kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer tersebut dibandingkan dengan kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode tunggal. Kata kunci: Kode Inner dan Outer, Bit Error Rate, Kode Hamming, Kode Reed Salomon, Pengkodean dan Pendekodean, Koding Gain Abstract:The error represents a problem for the communications systems. In order to overcome this problem, systems coding are used to correct this error. This research makes model of the inner and outer code. The performance of the system is measured by Bit Error Rate By inner and outer Hamming code and Reed Salomon. The performance of coding system by using code is compared with the performace of coding system by using code. Keywords: Inner and Outer Code, Bit Error Rate; Hamming Code, Reed Salomon Code, Coding and Decoding, Gain Coding I. PENDAHULUAN Beberapa studi mengatakan, jika menggunakan kode inner dan outer, di mana yang satu sebagai kode inner dan yang lainnya sebagai kode outer, maka dapat diperoleh kemampuan yang sangat andal, jika hanya menggunakan satu jenis pengkodean saja (Christian Thommesen, 1987). Pola penggabungan kode yang dikombinasikan sebagai kode inner dan kode outer sangat luas pemakaiannya pada sistem komunikasi digital, di mana tujuannya memperoleh kemampuan yang sangat andal guna mengoreksi kesalahan (Fazel K & Salembier P., 1989). Kinerja dari suatu sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer diukur dari besarnya kemampuan koreksi kesalahan dari kode tersebut. Di samping itu, tolok ukur kinerja dari suatu sistem pengkodean adalah Bit Error Rate, yaitu banyaknya bit yang salah dibagi dengan banyaknya bit yang dikirimkan dalam jumlah yang besar. Bit Error Rate dari sistem pengkodean dengan menggunakan kode inner dan outer tidak dapat dihitung secara teoretis. Oleh karena itu untuk memperoleh Bit Error Rate dilakukan simulasi. II. MODEL SISTEM Sistem yang diteliti adalah kinerja dari sistem kode inner dan outer dengan menggunakan metode simulasi. Oleh karena itu diperlukan model sistem. Cakupan pemodelan sistem terdiri dari 4 bagian yaitu: 1. Bagian pertama adalah pemodelan sumber data yang berupa bilangan binari 0 dan 1. 2. Bagian kedua adalah pemodelan pengkodean dari data yang hendak ditransmisikan. 3. Bagian ketiga adalah pemodelan dari medium transmisi yang meliputi pembangkitan sampel noise Gaussian dan pembangkitan salah bit. 4. Bagian keempat adalah pemodelan pengkodean dari stream bit yang diterima di sistem penerima. Blok diagram model sistem diperlihatkan oleh gambar 1. Model sistem sebagaimana diperlihatkan oleh gambar 1 diimplementasikan dalam bentuk program simulasi pada komputer yang terdiri dari program pembangkitan binari 0 dan 1, proses pengkodean, pembangkitan noise Gaussian dan pembangkitan salah bit serta proses pendekodean.

Sihar Parlinggoman Panjaitan

Sumber Data Proses Medium Proses


Gambar 1. Blok Diagram Model Sistem II 1 Algoritma Pembangkitan Binari 0 dan 1 Pada penelitian ini sumber diasumsikan sebagai sumber binari yang mempunyai peluang munculnya bit 1 dan peluang munculnya bit 0 adalah sama. Oleh karena itu dipakai satu

21

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

pembangkit yang dapat membangkitkan bit 0 dan bit 1 dengan peluang yang sama. Pembangkitan bilangan acak yang terdistribusi antara 0 dan 1 dimulai dari pembangkitan bilangan acak ke-i yaitu dari 1 sampai dengan bilangan acak ke-n di mana n, sejumlah perkalian antara panjang data dari kode. Bila jumlah bilangan acak yang dibangkitkan belum mencapai n, maka dibangkitkan bilangan acak berikutnya. Bila bilangan acak dibangkitkan lebih besar dari n maka proses pembangkitan bilangan acak berhenti. Bilangan acak yang telah dibangkitkan (u) dibandingkan dengan 0,5. Bila bilangan acak yang dibangkitkan lebih kecil atau sama dengan 0,5 dibangkitkan bit 0 dan lebih besar dari 0.5 dibangkitkan bit 1. 11.2 Algoritma Pembentukan Kode Hamming dan Kode Reed Salomon Bit stream dari sumber data yang masuk ke enkoder dikodekan dengan menggunakan suatu generator. Oleh karena itu dalam proses pengkodean diperlukan suatu generator, baik generator matriks, generator polinomial maupun generator sekuens. Pada penelitian ini kode-kode yang dipergunakan adalah kode Hamming (7,4) dan kode BCH (127,57) sebagai pembanding yang sifatnya sistematik. Kode Hamming. Dapat diperoleh dari hasil perkalian antara bit stream dengan generator matriks kode Hamming Generator matriks dari kode Hamming (Man Young Rhee, 1989):

tegangan lebih kecil dari harga treshold-nya (0 volt). Tegangan akan lebih kecil dari 0 volt jika noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari -V. Apabila bit 0 dikirim maka error akan terjadi jika tegangan lebih besar dari harga treshold-nya (0 Volt). Tegangan akan lebih besar dari 0 jika noise positif dengan tegangan lebih besar dari +V. Karena parameter yang dipakai di dalam program adalah Signal to Noise Ratio (SIN) dan yang akan dicari adalah tegangan (V), maka perlu dibuat suatu hubungan antara tegangan dan variansi dengan signal noise. Didefinisikan tegangan kuadrat (V`) sama dengan daya sinyal (S) karena seolaholah. tegangan dc dan sama dengan daya noise (N). Dari definisi tersebut dapat dibuat suatu persamaan yaitu:
2

V2

S (3) N

Bila

2 = 1 maka persamaan (3) menjadi:


S ..(4) N
Pada penelitian ini diasumsikan noise adalah

V2 =

1 0 G= 1 1

1 1 1 0

0 1 1 1

1 0 0 0

0 1 0 0

0 0 1 0

0 0 .(1) 0 1

Algoritma pembentukan kode Reed Salomon (15,11) dimulai dengan mengambil k bit data sebanyak 44 bit. Kemudian 44 bit ini, diubah kedalam bentuk simbol di mana tiap 4 bit menjadi satu simbol. Sehingga dari 44 bit diperoleh 11 simbol. Kemudian simbol tersebut dikalikan dengan generator polinomial. Hasilnya adalah kode Reed Salomon. Bentuk umum generator polinomial dari kode Reed Salomon [Blahut. Rhichard E. 1983].

g(x) = g 0 + g1 x + g 2 x 2 + .... + g n - k n -k . . ( 2 )
11.3 Algoritma Pembangkitan Salah Bit Pada penelitian ini didefinisikan transmisi tanpa modulasi dan format sinyal adalah bipolar di mana bit 1 mewakili tegangan V volt dan bit 0 mewakili tegangan -V volt. Bila bit 1 dikirim error terjadi jika noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari --V. Bila bit 0 dikirim error terjadi jika noise positif dengan tegangan lebih besar dari V. Bila bit 1 dikirim maka error akan terjadi jika

Gaussian dengan rataan 0 dan variansi . Oleh karena asumsi noise adalah Gaussian maka dalam simulasi ini diperlukan pembangkit bilangan, acak Gaussian dengan rataan = 0 dan harga variansi = 1. Proses pembangkitan salah bit dimulai dengan memberikan nilai Signal to Noise Ratio (SNR) yang diinginkan. Dari harga Signal to Noise Ratio dihitung besarnya tegangan (V) dengan menggunakan persamaan (4). Kemudian dibangkitkan sample noise (u) yang berupa bilangan acak berdistribusi Gaussian dengan rataan 0 dan variansi = 1. Setelah itu diambil bit-bit yang keluar dari inner enkoder di mana tiap yang diambil dibandingkan dengan tiap sampel noise yang dibangkitan. Berdasarkan sampel noise dan bit-bit yang keluar dari inner enkoder diputuskan apakah terjadi error atau tidak. Bila yang diambil adalah bit 1, error terjadi jika sampel noise negatif dengan tegangan lebih kecil dari -V. Bila yang diambil adalah bit 0, error terjadi jika noise positif dengan tegangan lebih besar dari +'V. Jika terjadi error, bit tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit 0 dan bit 0 menjadi bit 1.
2

11.4 Algoritma Pendekodean Kode Hamming Algoritma pendekodean dari bit stream yang diterima oleh sistem penerima dengan menggunakan kode Hamming dimulai dengan menghitung sindrom dari kode yang diterima. Penghitungan sindrom ini untuk mengetahui apakah kode yang diterima benar atau tidak. Jika sindrom yang dihasilkan bemilai nol

22

Kinerja Sistem Pengkodean dengan Menggunakan Kode Inner dan Kode Outer Sihar Parlinggoman Panjaitan

maka tidak ada error yang terdeteksi. Bila sindrom tidak bemilai nol maka ada error terdeteksi. Langkah selanjutuya adalah mencari posisi error. Setelah posisi error diketahui, dilakukan pengkoreksian terhadap bit-bit yang terkena error. Tahap terakhir dari proses pengdekodean adalah mengeluarkan bit-bit pariti. Proses dimulai dengan membuat inisialisasi pada mark data dan markcode dengan nilai nol. Proses selanjutnya adalah mengambil 7 bit data. Kemudian sindrom dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. S = r HT...............................................................(5) di mana: r = kode yang diterima. HT = transposisi dari pariti check matriks. Jika sindrom sama dengan nol, dekoder tidak melakukan pengkoreksian, kemudian bit-bit pariti dibuang dan bit-bit data disimpan pada array. Jika sindrom tidak sama dengan nol, dicari posisi error dengan membandingkan sindrom yang diperoleh dengan matriks pariti, yang mana posisinya diasumsikan sebagai posisi error. Setelah diperoleh posisi error maka dilakukan pengkoreksian. Untuk mengkoreksinya, bit pada posisi ke-i tersebut di invert yakni bit 1 menjadi bit 0 dan bit 0 menjadi bit 1. Setelah dikoreksi, bit-bit pariti dibuang dan bit-bit data disimpan pada array. 11. 5 Algoritma Salomon Pendekodean kode Reed

Proses dimulai dengan membuat inisialisasi pada mark data dan markcode dengan nilai nol. Proses selanjutnya adalah mengambil sebanyak 60 bit data. Kode yang diterima diubah kedalam bentuk simbol di mana tiap 4 bit menjadi satu simbol. Sehingga dari 60 bit menjadi 15 simbol. Kemampuan koreksi kesalahan dari kode Reed Salomon (15,11) adalah 2. Banyaknya sindrom adalah dua kali kemampuan koreksi kesalahan. Sehingga sindromnya ada sebanyak 4, yang dihitung dengan persamaan berikut:

s1 = r0 + r1 + r2 2 + ... + r14 14 s2 = r0 + r1 ( 2 )1 + r2 ( 2 ) 2 + ... + r14 ( 2 )14 s3 = r0 + r1 ( 3 )1 + r2 ( 3 ) 2 + ... + r14 ( 3 )14 s4 = r0 + r1 ( 4 )1 + r2 ( 4 ) 2 + ... + r14 ( 4 )14
Kemudian sindrom S 1,S 2,S 3,S 4 diuji. Jika semua nol, berarti tidak ada error deteksi. Dekoder tidak melakukan pengkoreksian. Kemudian bit-bit data disimpan pada array. Jika sindrom tidak sama dengan nol, hitung determinasi matriks P, di mana: ..(6)

S p= 1 S 2

S2 ..(7) S3

Algoritma pendekodean dari bit stream yang diterima oleh sistem penerima dengan menggunakan kode Reed Salomon, dipilih algoritma Peterson Gorenstein Zieler (Wicker. Stephen B, 1995), Langkah-langkah dari algoritma adalah sebagai berikut: 1. Hitung sindrom dari bit stream yang telah melalui saluran transmisi. 2. Susun matriks sindrom P. 3. Hitung determinan matriks sindrom. Jika determinan tidak nol, lakukan langkah 5. 4. Jika determinan nol, susun matriks sindrom yang baru, dengan cara menghapus kolom paling kanan dau baris paling bawah dari matriks sindrom yang lama. 5. Hitung error locator dan susun error locator polinominal (x). 6. Hitung akar-akar persamaan error locator polinominal. 7. Hitung error magnitude. 8. Susun error polinomial. 9. Jumlahkan error polinomial dengan kode yang diterima. 10. Selesai.

II.5.1 Determinan Sama dengan Nol Jika determinan sama dengan nol, hitung error locator dengan menggunakan persamaan:

S2 ..(8) S1

Selanjutnya hitung error magnitude ei1 , dengan menggunakan persamaan:

ei1 =

S1

(9)

Kemudian disusun error polynomial e(x)

e( x) = ei1 x

log

an

.(10)
5 log

Misalkan = maka x a = x a = x Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x), jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error polinomial e(x).
5

log

a5

c (x) = r ( x ) + e(x)(11) setelah kode diperoleh, maka bit-bit pariti dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada array

23

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

II.5.2 Determinan Tidak Sama dengan Nol Bila determinan tidak sama dengan nol maka susun error locator polinomial dengan menggunakan persamaan:

( x) = 1 + 1 x + 2 x 2 ..(12)
Di mana

dan

2 diperoleh dari

S1 S 2

S 2 2 S 3 .(13) = S 3 1 S 4

Kemudian dicari akar-akar persamaan (8) yaitu 1 dan 2 . Selanjutnya akar-akar persamaan di invers sehingga diperoleh

2 . Kemudian dihitung error magnitude ei1 dan ei2 dengan menggunakan


persamaan.

1 dan

dibangkitkan bit stream oleh pembangkit bit. Bit stream yang dibangkitkan diambil sebagiansebagian. Kemudian bit-bit tersebut dikodekan oleh outer enkoder. Hasilnya disimpan pada array codeoutouter. Hasil pengkodean outer enkoder ini merupakan bit stream bagi inner enkoder, untuk selanjutnya dikodekan oleh inner enkoder menjadi kode gabungan yang disimpan pada array codeoutinner. Kemudian bit-bit tersebut dikirimkan ke inner dekoder melalui kanal di mana pada kanal dibangkitkan salah bit. Bit-bit yang telah melalui kanal disimpan pada array codechannel. Kemudian bit-bit tersebut didekodekan oleh inner dekoder. Hasil pengdekodean disimpan pada array datoutinner. Selanjutnya bit-bit tersebut didekodekan oleh outer dekoder. Hasil pengdekodean disimpan dalam array data out Kemudian dihitung jumlah bit yang error dengan cara membandingkan bit pada array datain dan bit pada array dataout. 111. 2 Pengujian Algoritma Yang Disusun Pengujian algoritma yang disusun bertujuan untuk menunjukkan bahwa algoritma tersebut dapat diterapkan dan dapat berfungsi sesuai dengan perancangannya. Pengujian dilakukan dengan menerapkan algoritma dalam bentuk program simulasi komputer, kemudian menguji masing-masing prosedur di dalam program tersebut. Setiap prosedur yang dibuat diuji secara terpisah dengan cara memberikan data masukan tertentu, kemudian membandingkan data keluarannya dengan data yang diproses secara manual. Setelah semua prosedur diuji, maka dilakukan pengujian gabungan seluruh prosedur. 111. 3 Hasil-Hasil Penelitian Pada penelitian ini percobaan dilakukan dengan sepuluh kali pengamatan. Data yang diperoleh berdasarkan hasil rata-rata dari kesepuluh pengamatan tersebut. Adanya beberapa angka desimal di belakang koma disebabkan tidak tepatnya jumlah bit masukan dengan datanya. Misalnya untuk jumlah bit masukan sebanyak 100000 bit, datanya menjadi 100100 bit. Untuk bit masukan sebanyak 1000000 bit, datanya menjadi 1000076 bit dan untuk bit masukan sebanyak 10000000 bit, menjadi 10000144 bit.

1 12 1
1

2 2 1

1
2

ei1 S1 e = .(14) i2 S 2
harga kesalahan

Setelah

diperoleh

ei1 dan

ei2 maka disusun error polynomial e (x). e( x) = ei1 x log a


11

+ ei2 x log a

2 1

.(15)

Untuk memperoleh kode yang sebenarnya c(x), jumlahkan kode yang diterima r(x) dengan error polinomial e(x). c (x) = r ( x ) + e(x)..(16) setelah kode diperoleh, maka bit-bit parity dibuang, kemudian bit-bit data disimpan pada array III. PELAKSANAAN PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam bentuk program simulasi pada komputer yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili hasil dari sistem yang sesungguhnya. Program komputer yang dibuat ditulis dalam bahasa Pascal versi 7.0. III. I Proses Simulasi Proses simulasi dimulai dengan membuat inisialisasi Jumlah bit (nbits) dan jumlah error (nerror) dengan nilai nol. Kemudian memberikan harga Signal to Noise Ratio (SNR) yang diinginkan. Selanjutnya memberikan jumlah bit yang hendak dikirimkan (Nbit stream) kemudian

24

Kinerja Sistem Pengkodean dengan Menggunakan Kode Inner dan Kode Outer Sihar Parlinggoman Panjaitan

Tabel 1. Kinerja Kode Inner dan Outer Hamming Reed Solomon Efisiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 BER masukan 9.4879 x 10-3 7,0121 x 10-3 5,0484 x 10-3 3,5320 x 10-3 2,3948 x 10-3 1,5691 x 10-3 BER keluaran 1,9691 x 10-4 8,697 x 10-5 3,626 x 10-5 1,48 x 10-5 5 ,65x 10-6 2,01 x 10-6

Tabel 4. Koding Gain Kode Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon Efiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 S/N tanpa pengkode (dB) 7,9800 8,4826 8,9608 9,4038 9,8403 10,2664 S/N dengan pengkode (dB) 4,4 4,8 5,2 5,6 6 6,4 Koding Gain (dB) 3,5800 3,6826 3,7608 3,8038 3,8403 3,8664

Tabel 2. Kinerja Kode Inner dan Outer Reed Salomon-Hamming. Efesiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 BER masukan 9,4879 x 10 7,0121 x 10 5,0484 x 10 3,5320 x 10 2,3948 x 10
-3 -3 -3 -3 -3

Tabel 5. Koding Gain Kode Inner dan Outer Reed SalomonHamming Efisiensi: 0,4191 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 7 S/N tanpa pengkode (dB) 7,1708 7,7225 8,2272 8,7122 9,1836 9,645 1 S/N dengan pengkode (dB) 4,4 4,8 5,2 5,6 6 6,4 Koding Gain (dB) 2,7708 2,9225 3,0272 3,1122 3,1836 3,2451

BER keluaran 6,2131 x 10 1,3292 x 10 5,765 x 10 2,341 x 10


-4

2,9015 x 10-4
-4 -5 -5

1,5691 x 10-3

8,81 x 10-6

Tabel 3. Kinerja Kode BCH (127,57) Efisiensi: 0,4488 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11 BER masakan 9,4879 x 10-3 7,0121 x 10-3 5,0484 x 10-3 3,5320 x 10 2,3948 x 10 1,5691 x 10
-3 -3 -3

BER keluaran 1,2420 x 10-2 4,7622 x 10-3 1,4873 x 10-3 3,71102 x 10 7.2555 x 10 1.0921 x 10
-4 -5 -5

Tabel 6. Koding Gain kode BCH (127,57). Efisiensi: 0,4488 Kemampuan Koreksi Kesalahan: 11 S/N tanpa pengkode (dB) 4,0097 5,2645 6,4459 7.5515 8,5838 S/N dengan pengkode (dB) 4,4 4,8 5,2 5,6 6 6,4 Koding Gain (dB) -0,3903 0,4645 1,2459 1,9515 2,5838 3,1476

IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN Analisis hasil penelitian mencakup pengaruh parameter signal to Noise Ratio terhadap koding gain dari sistem yang diteliti. Besarnya koding gain (marving et. al. 1995): Koding gain = S/N tanpa pengkode-S/N dengan pengkode.(10)

9,5476

25

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

3.

4.

Koding Gain Hamming sebagai inner code dan Reed Salomon sebagai outer code lebih tinggi dibandingkan dengan Reed Salomon sebagai inner code dan Hamming sebagai outer code Hasil pemodelan simulasi ini mendeksi hasil secara teoretis yakni dengan naiknya signal to noise ratio, maka Bit Error Rate cenderung semakin menurun. Dengan demikian model sistem yang dibuat dapat diyakini untuk mewakili sistem yang sebenarnya.

Grafik 2. Koding Gain terhadap Signal to Noise Ratio Inner dan Outer Hamming-Reed Salomon, Reed Salomon-Hamming serta Kode BCH (127,57). Pada gambar 2, terlihat bahwa Koding Gain inner dan outer code Hamming-Reed Salomon dan Reed Salomon-Hamming lebih tinggi bila dibandingkan dengan kode BCH (127,57), Koding Gain inner dan outer Hamming Reed Salomon lebih tinggi, bila dibandingkan dengan inner dan outer code Reed Salomon-Hamming. V. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan antara lain: 1. Kinerja sistem pengkodean dengan menggunakan kode gabungan lebih andal dibanding dengan kinerja sistem pengkodean yang menggunakan kode tunggal pada Bit Error Rate masukan dari 10-2 sampai 10-3. 2. Kenaikan koding gain semakin kecil pada signal to noise ratio yang semakin besar

DAFTAR PUSTAKA Blahut, R.E., (1983), Theory and Practice Of Error Control Codes, Addison-Wesley Pubishing Company Inc., New York. Christian, T., (1987) Error Correcting Capabilities of Concatenated Codes With MDS Outer On Memoryless Channels with MaximumLikelihood Decoding, IEEE Transactions on Information Theory, Vol. IT-33, No.5 Fazel, (1989), K., P. Salembier, Application of Error Modeling at The Output Maximum Likelihood Dekoder to Concatenated Coded 16 PSK, Laboratories dElectronique Philips, 3 Avenue Descartes 94451 LimeilBrevannes Cedex (France), IEEE, pq. 15281533. Man Young Rhee, (1989), Error Correcting Coding Theory, Mc Graw-Hill., New York. Wicker Stephen.B, Error Control Systems for Digital Communication and Storage, Prentice-Hall International Inc.,1995.

26

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi USU Abstract: The operational of transparancy and accountability are the important things to make a good and clean government according to the expectation of its stakeholders. Transparancy and accountability can be realized by the responsibility in all of regionals financial management periodicly in financials report form to the central government, Regional General Assembly (DPRD) and the public. The acceleration in regional accounting system implementation is the necessity for the government, since its make Kepmendagri No.29, 2002, about the orientation of regionals government which is not implements the regionals accounting system already are worried not to manage its regionals accounting transparancy. Keywords: Transparancy and Accountablility PENDAHULUAN Gerakan reformasi mengedepankan beberapa tuntutan penting antara lain mendesak pemerintah meningkatkan kinerja, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan pelaksanaan praktek pemerintah yang good governance dan clean government. Good governance mengandung dua pengertian yaitu nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Sentralisasi kekuasaan dan keuangan negara pada masa sebelum era reformasi telah banyak memberikan pengalaman kepada masyarakat daerah atas ketimpangan yang terjadi mengenai pembagian hasil dan sumber daya alam antara daerah dan Jakarta. Hal ini mengakibatkan pergolakanpergolakan di daerah untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus atau bahkan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rasa ketidakpuasan tersebut. Salah satu masalah penting yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan pemerintah sebagai unsur dari suatu good governance. Pelaksanaan good governance tersebut, ternyata pelaksanaannya menghadapi banyak kendala yang cukup rumit. Di satu pihak pemerintah daerah dituntut untuk mewujudkan good governance sementara dipihak lain sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk semua kegiatan terutama menyangkut teknologi informasi dan sumber daya manusia belum memadai. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pemenuhan segala kebutuhan minimal memerlukan biaya dan tenaga ahli tidak sedikit. Pemerintah daerah mempunyai dana yang terbatas, personalia yang mempunyai kemampuan juga terbatas. A. Konsep Akuntabilitas dan Transparansi Menurut keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) No.589/IX/6/Y/99 dalam Sitompul (2003), akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak/berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Oleh karena itu, pemberlakuan undang-undang otonomi daerah harus dapat meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat memberikan laporan pertanggung jawaban mengenai pengelolaan keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektivitas kepada DPRD maupun masyarakat luas. Osborne (1992) dalam Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa Akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai, dan lain sebagainya. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas. Konsep pelayanan dalam akuntabilitas selain harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship juga harus diikuti dengan jiwa responsiveness. Hal ini harus dilakukan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder sesuai dengan karakteristik Good Governance menurut UNDP dan Word Bank. Selain itu, dalam pengantar Standar Akuntasi Pemerintah dinyatakan bahwa salah satu

Idhar Yahya

27

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

upaya nyata untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip waktu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara Pasal 58 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengadilan intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana yang transparan dan demokratis serta adanya kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Oleh karena itu, pemerintah harus betul-betul menyadari bahwa pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari publik. Katz (2004) menyatakan bahwa transparansi merupakan proses demokrasi yang esensial di mana setiap warga negara dapat melihat secara terbuka dan jelas atas aktivitas dari pemerintah mereka daripada membiarkan aktivitas tersebut dirahasiakan. Jiwa dari sistem ini adalah kemampuan dari setiap warga negara untuk memperoleh informasi melalui akuntabilitas pejabat pemerintah atas kegiatan yang mereka lakukan. Setiap warga negara berhak mengetahui (right to know) untuk setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh setiap pejabat negara baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya transparansi maka diharapkan setiap warga negara dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan. B. Akuntabilitas Publik Keuangan Daerah Kualitas Pemerintahan Daerah yang baik (good governance) tidak hanya ditentukan oleh akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat dan supremasi hukum. Namun, kualitas pemerintahan yang baik juga ditentukan oleh faktorfaktor lain seperti responsiveness, consessus orientation, equity efficiency, effectiveness dan strategic vision. Hal ini sesuai dengan karakteristik pelaksanaan pemerintahan yang baik menurut UNDP dan Word Bank. Menurut Mardismo (2004), akuntabilitas publik keuangan daerah adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja keuangan daereah kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga hak-hak publik, yaitu hak untuk tau (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept information), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to) dapat terpenuhi. Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak

internal yang berkepentingan seperti pegawai, pejabat pengelola keuangan negara, dan badan legislatif. Sedangkan akuntabilitas eksternal adalah pertanggungjawaban kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan, seperti pembayar pajak, media massa, pemberi dana bantuan, dan investor atau kreditor. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa Kepala Daerah merupakan pengelola keuangan daerah. Untuk membantu Kepala Daerah dalam mengelola keuangan daerah dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Biro/Bagian Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah daerah kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta kepada Kepala Satuan Kerja/Dinas selaku pengguna anggaran. Biro/Bagian Keuangan sebagai pembantu Kepala Daerah dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah manajer keuangan atau Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Daerah, sementara setiap Kepala Satuan Kerja/Dinas pada hakekatnya adalah manajer operasional atau Chief Operational Officer (COO) Pemerintah Daerah. Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa stakeholder yang beragam memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu informasi yang dibutuhkan juga berbeda-beda. Untuk memenuhi kebutuhan seluruh stakeholder tersebut diperlukan kerangka konseptual (conceptual framework) yang komprehensif. Kerangka konseptual akuntabilitas publik dapat dibangun di atas dasar empat komponen. Pertama, adanya sistem pelaporan keuangan. Kedua, adanya sistem pengukuran kinerja. Ketiga, dilakukannya audit. Sektor publik. Keempat, berfungsinya saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability). C. Mekanisme Akuntabilitas Keuangan Dalam pelaksanaan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah, kenyataannya mekanisme akuntabilitas keuangan daerah tidak berjalan dengan baik terutama kepada masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan pemerintah daerah tidak begitu dipahami oleh masyarakat sebagai pemakai. Sebagian besar masyarakat tidak dalam asumsi memiliki pengetahuan yang memadai tantang aktivitas pemerintahan dalam pengelolaan keuangan, aset daerah dan akuntansi. Mekanisme monitoring cost sebenarnya sudah berjalan pada akuntansi sektor publik walaupun belum seefektif pada sektor privat. Hal ini dapat kita lihat dari adanya keberadaan lembaga pengawas seperti Badan Pengawas Daerah, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, dan DPRD. Lembagalembaga tersebut tentunya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) menggunakan biaya yang bersumber dari keuangan negara.

28

Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Idhar Yahya

D. Impelentasi Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Pencapaian kinerja organisasi pemerintah biasanya memang dihubungkan dengan konsep 3E. Hal ini sesuai dengan konsep Value For Money (Mulgan, 1997) yang merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang didasarkan pada tiga elemen yaitu ekonomis, efisiensi dan efektivitas. Namu tiga elemen ini saja sebenarnya tidak cukup dan perlu ditambah dengan dua elemen lain yaitu keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan (equility). Artinya bahwa penggunaan uang publik hendaknya tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja tetapi dilakukan secara merata. E. Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah maka sistem akuntansi yang digunakan oleh pemerintah berubah. Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban dan ekuitas dalam Neraca. Basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan dan belanja diakui apda saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dinyatakan bahwa komponen yang harus terdapat dalam suatu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah meliputi; Laporan Realisasi Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntasi Pemerintah Nomor 1 tentang Penyajian Laporang Keuangan pada paragraf 38 dan paragraf 43 dinyatakan bahwa Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban dan ekuitas dana pada tanggal tertentu, selain itu juga dinyatakan Neraca mencantumkan pos-pos berikut; Kas dan setara kas, Investasi jangka pendek, Piutang pajak dan bukan pajak, Persediaan, Investasi jangka panjang, Aset tetap, Kewajiban jangka pendek, Kewajiban jangka panjang, Ekuitas dana. Dengan demikan, PSAP Nomor 1 telah mengharuskan setiap Pemerintah Daerah untuk menyajikan dan melaporkan Neraca secara komprehensif.

F. Laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagai Bentuk Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah Pada setiap akhir tahun anggaran dan periode pemerintahan Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada DPRD sebagai wakil dari masyarakat yang telah mempercayakan pengelolaan sumber daya daerah. Undang-undang republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pada ayat 2 disebutkan bahwa laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi Laporan Keuangan APBD, Neraca, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah. Sebagaimana telah diketahui bahwa sejak tahun 2001 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia telah menyampaikan Hasil Pemeriksaan Semesteran (HAPSEM) kepada DPRD, yaitu hasil pemeriksaan yang menyangkut pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Propinsi/ Kabupaten/Kota yang ber-sangkutan. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Barhullah, 2002, Fungsi Manajemen Keuangan Daerah, Majalah Pemeriksaan, Edisi No. 87, oktober, hjal. 4-8 Katz, Ellen, 2004, Transparancy in GovernmentHow American Citizens Influence Public Policy, Journal of Accountancy, Juni 2004, hal. 1-2 Kosasih, Dadang, 2003, Reorientasi Pengelolaan Keuangan Daerah, Majalah Pemeriksaan, Edisi No. 90, Juni-Juli, hal. 57-59 Kuntadi, Cris, 2002, Transparansi Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Majalah Pemeriksaan, Edisi No. 87, Oktober, hal. 22-16 Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Cetakan Pertama, Penerbit Andi, Yogyakarta, Mardiasmo, 2004, Membangun Akuntabilitas Publik Keuangan Negara, Cetakan Majalah Media Akuntansi, Edisi No. 39, April, hal. 12

29

STUDI PENERAPAN PROCESS CAPABILITY DAN ACCEPTANCE SAMPLING PLANS BERDASARKAN MIL-STD 1916 UNTUK MENGENDALIKAN KUALITAS PRODUK PADA PT X
Khawarita Siregar
Staf Pengajar Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik USU Abstrak: PT X merupakan sebuah perusahaan yang memproduksi makanan ayam (pelet S-11). Penelitian ini menggunakan pengendalian proses secara statistik untuk melihat kemampuan proses dari PT X, juga dengan teknik ini perusahaan dapat menurunkan variabilitas yang dimiliki sebanyak mungkin. Ini merupakan sebuah keharusan karena PT X tidak memiliki metode khusus dalam mengendalikan pelet S-11. Dan juga dengan teknik ini, PT X ingin mengendalikan keseluruhan proses yang terdapat pada lantai produksi. Juga dapat dilakukan untuk mengendalikan produk akhir dengan menentukan rencana sampling penerimaan berdasarkan MIL-STD 1916 dan memberikan petunjuk arahan terhadap lot yang diterima dan yang ditolak. Dari analisis yang didapat, rendahnya proses kapabilitas disebabkan oleh kinerja operator, gudang bahan baku, peralatan turn head dan proses itu sendiri tidak bekerja secara optimum. Dan juga untuk perhitungan rencana sampling penerimaan berdasarkan metode MIL-STD 1916, lot yang diterima terdapat pada karakteristik protein, lemak, dan serat. Kalsium dan fosfor lot yang ditolak. Untuk lot yang ditolak dibutuhkan pemeriksaan yang lebih ketat. Kata kunci: Statistical Process Control, Capability Process, Acceptance Sampling, MIL- STD 1916 Abstract: PT X is a manufacturer in producing food for chicken (pellet S-11). This researh is using statistical process control to look the capability process of PT X, so with this technique the manufacturer can decrease the variability as much as possible. Its a necessary because PT X doesnt has a special method in controlling pellet S-11. And with this capability process technique, PT X want to control the whole process in the production floor. It can be also to control the end item product with determine the acceptance sampling plans according MIL-STD 1916 and giving an implementation direction about the acceptable and rejected lot. From the analysis result, poor capability cause by operator performance, raw material warehouse, turn head tool and the process to produce S-11 itself doesnt works optimumly. And for the acceptance sampling plans calculation with MIL-STD 1916 method, the acceptable lot are protein, fat and fiber. Calcium and phosphor are rejected. For rejected lot, tightened inspection shall be istituted. Keywords: Statistical Process Control, Capability Process, Acceptance Sampling, MIL-STD 1916 1. PENDAHULUAN Produksi daging dan telur ayam kampung belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Ditinjau dari segi peternakan ayam ras yang semakin berkembang berkaitan erat dengan penggunaan teknologi. Penerapan teknologi ini didukung oleh program pemerintah untuk meningkatkan nilai gizi masyarakat dalam hal kebutuhan protein hewani. Melihat Indonesia sangat potensial bagi industri pakan ternak khususnya ayam, maka PT X mewujudkan minatnya untuk memproduksi pakan ayam yang berkualitas. Untuk menjaga kualitas pakan, PT X berusaha untuk tetap memenuhi mutu produk sesuai spesifikasi produk (nilai gizi) yang diinginkan pasar dengan tetap melakukan usaha-usaha pengendalian mutu. Untuk memastikan setiap pelanggan mendapatkan peluang yang sama untuk menerima produk tanpa cacat (defect) diperlukan usaha keras dari pihak perusahaan untuk mencapai zero defect. Usaha yang dimaksud tidak hanya berupa kebijakankebijakan yang tertulis tetapi juga diperlukan kesadaran dan tingkat komitmen dari individu dan organisasi yang terlibat. Dari studi lapangan yang telah dilakukan terhadap PT Charoen Pokphand Indonesia, untuk mencapai zero defect menjadi hal yang sulit dikarenakan faktor kebudayaan seperti kesadaran, sikap, insentif, sistem penghargaan dan tingkat komitmen dari individu dan organisasi yang terlibat. Juga faktor manusia (operator) yang melahirkan kesalahan manusia (human error), misalnya mempunyai tujuan yang salah atau kemampuan yang kurang sehingga menghasilkan kesalahan. Dikarenakan sulitnya untuk mengubah pola pikir, watak dan budaya yang dimiliki, maka untuk melakukan pengendalian secara statistik terhadap proses yang sedang berlangsung digunakan metode process capability dan MIL-STD 1916 dalam mengendalikan produk yang dihasilkan. 2. POKOK PERMASALAHAN Masih terdapatnya pakan ayam S-11 yang dihasilkan belum memenuhi spesifikasi standard mutu yang telah ditetapkan perusahaan, sehingga perlu diambil langkah konkrit agar mutu yang dihasilkan dapat tercapai. Langkah yang diambil adalah dengan menggunakan proses pengendalian statistik untuk melihat dan memeriksa proses yang berlangsung dan produk akhir yang dihasilkan. Pengendalian secara proses dapat dilakukan dengan menggunakan teknik process capability sedangkan pengendalian produk akhir dengan memakai MILSTD 1916.

30

Studi Penerapan Process Capability dan Acceptance Sampling Plans Khawarita Siregar

3. PEMBATASAN PENELITIAN Batasan-batasan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis masalah dilakukan pada produk pakan ayam S-11. 2. Variabel yang akan diuji adalah variabel kadar protein, lemak, serat, kalsium, dan fosfor. 3. Spesifikasi standar mutu terhadap variabel uji adalah: - Kadar Protein = 19 21% - Kadar Lemak = 6 7% - Kadar Serat = 3 4% - Kadar Kalsium = 0,9 1,1% - Kadar Fosfor = 0,7 0,9% 4. Tidak melakukan suatu evaluasi sistem manajemen perusahaan yang berhubungan dengan penerapan pengendalian mutu. 5. Tidak menggunakan konsep zero defect. 4. METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif yang bersifat historis yaitu memakai data masa lalu perusahaan untuk dianalisis dengan menggunakan prinsip perhitungan pengendalian kualitas secara proses. 4.2 Objek Penelitian Objek yang diteliti adalah kajian process capability dan acceptance sampling plans berdasarkan MIL-STD 1916 untuk melihat sejauh mana studi ini dapat diterapkan pada PT X. 4.3 Identifikasi Masalah Masalah yang ditemui akan diidentifikasi untuk selanjutnya akan dicari penyelesaiannya. Secara umum tahapan-tahapan yang akan dilewati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi dan perumusan masalah 2. Penetapan tujuan penelitian 3. Studi kepustakaan 4. Penentuan metode penyelesaian penelitian 4.3.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah Identifikasi yang berarti mengenal masalah harus didasarkan pada tingkat urgensi dan relevansi permasalahan. Identifikasi dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fakta yang terjadi pada perusahaan. Perlunya memakai prisip pengendalian secara statistik dimaksudkan agar perusahaan secara kontiniu dapat melakukan pengendalian produk secara terstruktur, sehingga hasil yang didapat dapat ditindaklanjuti dengan melakukan analisis untuk mengambil kesimpulan dari kondisi sebenarnya dan untuk memberikan petunjuk dan arahan atas pelaksanaan tersebut.

4.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengendalikan keseluruhan proses yang berlangsung dalam menghasilkan pakan ayam S11 dengan memakai process capability serta memberikan usulan berupa tindakan-tindakan korektif yang dapat diambil untuk meningkatkan kemampuan proses. 2. Mengendalikan pemeriksaan produk akhir dengan menentukan rencana sampel penerimaan variabel berdasarkan metode MIL-STD 1916 dan dapat memberikan petunjuk pelaksanaan atas kegiatan pemeriksaan terhadap lot yang diterima atau ditolak. 4.3.3 Studi Kepustakaan Kualitas produk biasanya dipakai dalam penggunaan produk atau jasa yang dapat memenuhi harapan (expectation) pelanggan. Harapan ini didasarkan pada kepuasan akan kebutuhan pelanggan (fitness for use) dan harga/nilai jual produk. Kualitas sendiri dapat didefenisikan sebagai keseluruhan segi, keistimewaan (feature) dan karakteristik sebuah produk atau jasa layanan yang memberikan kepuasan akan kebutuhan pelanggan. A. Statistical Process Control Merupakan alat utama untuk memonitor sebuah proses, mendiagnosis masalah-masalah yang timbul pada saat proses dan membuat usaha-usaha prioritas untuk melakukan perbaikan kualitas. Tujuan pokok pengendalian proses statistik adalah menyelidiki dengan cepat sebab-sebab penyimpangan kualitas sehingga penyelidikan terhadap proses itu dan tindakan pembetulan unit dapat dilakukan sebelum terlalu banyak produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi. B. Control Chart Suatu alat statistik yang dapat digunakan untuk memperlihatkan variasi-variasi didalam kualitas keluaran yang disebabkan oleh penyebab khusus dan penyebab umum dan sekaligus melalui peta kendali dapat digunakan untuk menghilangkan variasi data yang tidak normal. Manfaat dari peta kendali adalah memberitahukan kapan harus membiarkan suatu proses berjalan seadanya atau kapan harus mengambil tindakan untuk mengatasi gangguan. Peta kendali dapat dibagi atas dua tipe umum, yaitu: 1. Peta kendali atribut (sifat), digunakan apabila karakteristik mutu tidak dapat dinyatakan secara numerik. 2. Peta kendali variabel, digunakan apabila karakteristik mutu dapat diukur dan dinyatakan dalam bilangan. Untuk mengendalikan mutu pada perusahaan ini, penulis menggunakan peta kendali untuk variabel, yaitu peta X dan R, karena karakteristik mutu yang diamati adalah variabelnya.

31

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Revisi Peta Kendali X dan R Jika terdapat data yang di luar batas kendali, maka dilakukan revisi terhadap peta kendali tersebut, dengan cara membuang data yang di luar kendali dan menghitung kembali batas-batas kendali.Data yang berada di luar batas pengendalian merupakan jenis data yang tidak normal yang disebabkan oleh jenis variasi penyebab khusus (variasi tidak alami). C. Process Capability Ukuran dari proses capability disebut capability index, yaitu Cp dan Cpk. Capability Index suatu proses adalah perbandingan variasi proses terhadap spesifakasi yang telah ditentukan. Nilai capability index minimum untuk distribusi normal adalah satu. Perlu diketahui, nilai Cp tidak mengindikasikan bahwa suatu proses telah benar-benar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan terhadap proses, tetapi hanya merupakan hasil perhitungan dari proses statistical control. Nilai yang menentukan bahwa proses telah sesuai atau tidak terhadap karakteristik proses adalah nilai dari Cpk (performance index), di mana nilai minimum dari Cpk yang dianjurkan adalah 1,00. Kedua nilai ini harus dilakukan secara bersama, untuk menghasilkan standar proses yang diinginkan. Berikut adalah merupakan analisis hubungan antara nilai Cp dan Cpk: Secara jelasnya dapat dilihat melalui gambar 1. D. Accepatance Sampling Plans Melakukan rencana sampling penerimaan tidak terlepas dari cara pemilihan sampel yang representatif, sehingga dapat memberi gambaran

yang tepat tentang karakteristik populasi yang diselidiki. Rencana sampling menunjukkan ukuran sampel dan cacat yang diizinkan dalam sampel untuk menentukan apakah suatu populasi diterima atau tidak. Dalam penelitian ini, jenis sampel yang digunakan adalah simple random. Simple random adalah sampel yang terdiri dari unsur-unsur di mana setiap unsur mempunyai probabilitas yang sama untuk dipilih. Pemilihan sampel yang bersifat random akan memberikan hasil yang memuaskan bila populasi dari sampel tersebut adalah yang homogen. 1). Metode Accepatance Sampling Plans Metode perencanaan sampling penerimaan yang dibahas pada penelitian ini adalah metode penerimaan sampling alternatif (alternative acceptence sampling methode) atau disebut sebagai MIL-STD 1916 yang dikeluarkan pada 1 April 1996 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang digunakan sebagai standar metode penerimaan produk (methods for acceptance product). MIL-STD 1916 adalah singkatan dari Military Standard 1916 yang merupakan salah satu dari teknik untuk rencana sampel penerimaan yang teriri dari tiga perencanaan sampling sekaligus yaitu pemeriksaan sampel dari lot atau batch yang bersifat variabel atau atribut. Perlu diketahui bahwa kedua sifat sampel tersebut dapat dipilih salah satunya sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan disesuaikan dengan produk yang dihasilkan. Dalam menentukan proses perencanaan sampling, hal-hal yang pertama sekali yang harus diketahui lebih dahulu adalah:

Gambar 1. Nilai Cp dan Cpk

32

Studi Penerapan Process Capability dan Acceptance Sampling Plans Khawarita Siregar

1. Verification Level Verification Level (VL) adalah gambaran dari tingkat utilitas suatu karakteristik dalam suatu proses. Penetuan nilai VL tergantung jenis karakteristik yang diteliti. Jenis karakteristik dalam hal pemeriksaan dibagi atas tiga bagian, yaitu: minor karakteristik, major karakteristik dan kritikal karakteristik. a. Minor karakteristik adalah gambaran karakteristik yang menunjukkan bahwa kurangnya usaha untuk menghindari adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi, baik itu pada saat produksi atau penanganan material. Tingkat VL yang digunakan adalah mulai dari VL-I sampai VL-III, yaitu: VL-I : digunakan apabila kondisi produksi tidak pernah mengalami kesalahan. VL-II : pemeriksaan dengan kondisi variasi produksi hampir tidak pernah ada. VL-III : pemeriksaan dengan sedikit variasi dalam produksi. b. Major karakteristik adalah gambaran karakteristik yang harus menghindari kesalahan produksi atau pengurangan material (material reduction) pada saat proses lagi berjalan. Tingkat VL yang digunakan adalah mulai VLIV sampai VL-VI, yaitu: VL-IV : jenis level umum yang digunakan oleh perusahaan. VL-V : jenis level yang membutuhkan satu kali pemeriksaan dari VL-IV.

VL-VI : jenis pemeriksaan yang diguna kan apabila ada perbedaan yang besar terhadap spesifikasi yang ditetapkan. c. Kritikal karakteristik adalah karakteristik yang menunjukkan bahwa suatu sistem dalam keadaan sangat berbahaya (hazardous) atau bisa dikatakan sebagai kondisi tak terselamatkan (unsafe condition) bila dalam jangka tertentu tidak diantisipasi dengan menggunakan pemeriksaan prinsip otomatis yang menggunakan sistem komputerisasi. Hal ini terdapat pada kondisi suatu perusahaan yang terancam hancur/tutup (unsafe manufacture). Verification level yang digunakan adalah VLVII. 2. Tipe dari sampling yang diteliti (variabel) Penggunaan perencanaan sampling variabel, atribut dan continous MIL-STD 1916 harus menggunakan prinsip sampel secara random dan khusus untuk variabel distribusinya normal. 3. Penentuan kode huruf (CL) terhadap besar lot yang diperiksa. Setelah VL dispesifikasi maka kode huruf jumlah lot/batch bisa dilihat dari tabel 1. 4. Tingkat pemeriksaan (normal, diperketat, diperlonggar) Aturan tingkat pemeriksaan hanya diaplikasikan terhadap ukuran yang ada yaitu: normal, diperketat (tightened), diperlonggar (reduced).

Tabel 1. Kode Huruf untuk Lot/Batch VII 2 170 A 171 288 A 289 544 A 545 960 A 961 1632 A 1633 3072 A 3073 5440 A 5441 9216 B 9217 17408 C 17409 30720 D 30721 dst E Sumber: DoD Article MIL-STD 1916 USA Lot Or Poduction Interval Size VI A A A A A A B C D E E Verification Levels V VI III A A A A A A A A A A A B A B C B C D C D E D E E E E E E E E E E E II A A B C D E E E E E E I A B C D E E E E E E E

33

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

2). Aturan Pengalihan Prosedur Pemeriksaan Aturan pengalihan pemeriksaan prosedur pemeriksaan normal, ketat dan diperlonggar adalah sebagai berikut: 1. Normal ke ketat Dua lot tidak memenuhi kriteria penerimaan dari lima lot terakhir yang diperiksa. 2. Ketat ke normal - Penyebab-penyebab produk rusak yang telah ditemukan. - Lima lot secara berurutan diterima atau sesuai dengan kriteria penerimaan. 3. Normal ke longgar - Sepuluh lot secara berurutan diterima atau sesuai dengan kriteria penerimaan. - Proses produksi dalam keadaan mantap. 4. Longgar ke normal - 1 lot ditolak. - Proses produksi tidak teratur dan sering mengalami delay. - Kondisi pabrikasi lainnya menjamin pemeriksaan normal untuk dilakukan kembali. Bagi perencanaan sampling penerimaan, pemeriksaan normal dilakukan pada awal pemeriksaan. Pengalihan prosedur pemeriksaan dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang dihadapi atau yang terjadi.

5. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 5.1 Pengumpulan Data Data yang didapat merupakan data persentase kadar protein, lemak, serat, kalsium dan fosfor pelet S-11. Perhitungan yang dilakukan untuk setiap data variabel tersebut dilakukan dengan cara yang sama, sehingga penulis mengambil satu sampel data yaitu kadar lemak. 5.2 Pengolahan Data A. Uji Kecukupan Data
60 26 (1099,4 ) (169 )2 N' = 169 N = 2,95 N < N, berarti jumlah pengamatan telah memenuhi.
2

pendahuluan

B. Uji Kenormalan Data Hasil distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel 2 diperoleh standar deviasi = 0,267 Untuk uji kenormalan data, hipotesa yang digunakan: Ho : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Dalam pengujian hipotesa digunakan nilai = 0,05. Dari tabel 3. diperoleh hitung < tabel, ini berarti Ho diterima, bahwa data berdistribsi normal.
2 2

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kadar Lemak S-11 No. I. Batas fi xi fi.xi Kelas 1. 5,995 6,105 12 6,05 72,6 2. 6,105 6,215 15 6,16 92,4 3. 6,215 6,325 16 6,27 100,32 4. 6,325 6,435 25 6,38 159,5 5. 6,435 6,545 18 6,49 116,82 6. 6,545 6,655 17 6,6 112,2 7. 6,655 6,765 20 6,71 134,2 8. 6,765 6,875 19 6,82 129,58 9. 6,875 6,995 14 6,93 97,09 II. Total 156 1014,71 Tabel 3. Penentuan Nilai Hitung
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total Batas Kelas 5,995 6,105 6,105 6,215 6,215 6,325 6,325 6,435 6,435 6,545 6,545 6,655 6,655 6,765 6,765 6,875 6,875 6,995 Zbkb 0 -1,498 -1,085 -0,673 -0,261 0,151 0,563 0,976 1,388 Zbka -1,498 -1,085 -0,673 -0,261 0,151 0,563 0,976 1,388 1 Zb 0 0,0668 0,1401 0,2514 0,3974 0,5636 0,7157 0,8365 0,9177
2

x
6,504 6,504 6,504 6,504 6,504 6,504 6,504 6,504 6,504

(xi- x )2 0,206 0,118 0,055 0,015 0,0002 0,009 0,042 0,099 0,185

fi. (xi- x )2 2,479 1,780 0,880 0,387 0,003 0,154 0,844 1,890 2,594 11,015

Za 0,0668 0,1401 0,2514 0,3974 0,5636 0,7157 0,8365 0,9177 1

Za-Zb 0,0668 0,0733 0,1113 0,146 0,1662 0,1521 0,1208 0,0812 0,0823

ei 10,420 11,434 17,362 22,776 25,927 23,727 18,844 12,667 12,838

oi 12 15 16 25 18 17 20 19 14 156

(oi-ei)2/ei 0,239 1,111 0,106 0,217 2,423 1,907 0,070 3,166 0,105 9,348

34

Studi Penerapan Process Capability dan Acceptance Sampling Plans Khawarita Siregar

Kadar Lemak

C. Penentuan Batas Kendali dan Penentuan Index Capability Process Untuk menentukan kemampuan proses yang dihasilkan terlebih dahulu ditentukan batas-batas kendali untuk karakteristik lemak dengan memperhatikan data X dan R seperti terlihat pada tabel 4. Tabel 4. Perhitungan Lemak No. R X 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 6,4 6,358 6,592 6,633 6,543 6,428 6,472 6,68 6,407 6,325 6,265 6,485 6,422 6,853 0,73 0,82 0,72 0,61 0,61 0,75 0,94 0,45 0,88 0,2 0,68 0,63 0,73 0,52 Batas No. 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total Kendali Kadar R 0,5 0,63 0,76 0,54 0,46 0,54 0,77 0,73 0,82 0,69 0,79 0,88 169 17,38

Peta X Kadar Lemak

7 6.8 6.6 6.4 6.2 6 5.8 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 Sub Group

Garis Tengah Batas Kontrol Atas Batas Kontrol Bawah Rata-rata Kadar Lemak

Gambar 2. Peta Kontrol X Kadar Lemak


Peta R Kadar Lemak

X
6,65 6,537 6,495 6,618 6,568 6,68 6,462 6,432 6,408 6,415 6,403 6,505

1.5 Kadar Lemak Garis Tengah 1 0.5 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 Sub Group Batas Kontrol Atas Batas Kontrol Bawah Range Kadar Lemak

Gambar 3. Peta Kontrol R Kadar Lemak Berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa pada peta

X
R

Berdasarkan tabel 4 dapat dilakukan perhitungan garis tengah (central line) untuk kadar lemak.
X =

X g

i =1

= 169 = 6 , 5 26

R =

R g

i =1

17 , 38 = 0 , 67 26

Faktor-faktor yang dipakai untuk perhitungan batas kontrol atas dan bawah berdasarkan Tabel Faktor untuk n = 6 didapat: A2 = 0,483 ; D4 = 2,004 ; D3 = 0 ; d2 = 2,534 Batas kontrol peta X untuk kadar lemak: BKAX = X + A2 R
= 6,5 + (0,483x 0,67) = 6,82

X terdapat data yang berada di luar batas kontrol pada data yang ke-14 dengan nilai 6,853. Ini menunjukkan bahwa variasi data tidak normal. Variasi ini merupakan jenis variasi penyebab khusus sehingga perlu dilakukan revisi. Variasi ini disebabkan oleh faktor pencampuran bahan-bahan yang ditambahkan pada saat proses pencampuran di mesin mixing. Karena terdapat data yang berada di luar batas kontrol, maka dilakukan revisi sehingga semua data dalam batas kontrol (proses dalam pengendalian)seperti yang nampak pada gambar 4. Sedangkan untuk peta R semua data dalam batas kontrol. Setelah revisi selesai dilakukan maka dapat dilakukan perhitungan Cp dan Cpk.
Revisi Peta X
R e v i s i P e t a X Ka d a r Le ma k

7 6.5 6 5.5 1 3 5 7 9 11 13 15 17 S u b Gr o u p 19 21 23 25

Gar is Tengah Batas Kontr ol Atas Batas Kontr ol Bawah Rata-r ata Kadar Lemak

BKBX = X A 2 R = 6,5 (0,483 x 0,67) = 6,18 Batas kontrol peta R untuk kadar lemak: BKB R = D 3 R BKA R = D 4 R = 2,004 x 0,67 = 0 x 0 , 67 = 1,34 = 0

Gambar 4. Revisi Peta Kontrol X Kadar Lemak Berdasarkan hasil revisi yang terlihat pada gambar 4, ditunjukkan bahwa variasi data sudah normal tanpa ada variasi penyebab khusus atau variasi penyebab umum. Karena semua data berada pada batas kontrol, maka dapat pula ditentukan nilai Cp dan Cpk. Spesifikasi yang diizinkan perusahaan untuk kadar lemak pada pakan S-11 adalah 6 7%.

35

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Cp =

USL - LSL 60 7 - 6 = = 0 , 64 6(0,26)

Nilai Cp = 0,64, ini menunjukkan bahwa proses tidak capable untuk memenuhi spesifikasi kadar lemak karena nilai Cp < 1,00.
C
pl

X - LSL 3 0 6 , 49 6 = 0,63 = 3 ( 0 , 26 )

D. Penentuan Rencana Sampling Penerimaan Penarikan sampel yang dilakukan adalah sebagai berikut : - Nama Karakteristik Mutu : kadar lemak - Jenis Pemeriksaan : normal - Verification Level : IV - Spesification : 6 7% - Ukuran Lot : 2.800.000 - Ukuran Sampel (nv) : 44 Tabel 5. Data Ukuran Sampel No. X1 X2 1 6,44 6,44 2 6,32 6,53 3 6,58 6,39 4 6,61 6,51 5 6,37 6,44 6 6,47 6,52 7 6,38 6,48 8 6,53 6,36 9 6,41 6,51 10 6,32 6,57 11 6,36 6,34

pu

USL - X = 3 0

= 7 6 , 49 = 0,65
3 ( 0 , 26 )

Cpk = min [Cpl:Cpu] = 0,63 Nilai Cpk = 0,63, ini menunjukkan bahwa proses menghasilkan produk yang tidak memenuhi lower spesification level (LSL) kadar lemak, karena nilai berada pada kriteria Cpk < 1,00. Tabel 6. Distribusi Frekuensi No. Batas Kelas 1 6,315 6,365 2 6,365 6,415 3 6,415 6,465 4 6,465 6,515 5 6,515 6,565 6 6,565 6,615 7 6,615 6,705 Total

X3 6,7 6,65 6,52 6,39 6,7 6,64 6,36 6,5 6,57 6,33 6,38

X4 6,57 6,68 6,36 6,42 6,54 6,44 6,32 6,38 6,32 6,37 6,69

fi 10 8 5 5 5 5 6 44

xi 6,34 6,39 6,44 6,49 6,54 6,59 6,66

fi.xi 63,4 51,12 32,2 32,45 32,7 32,95 39,96 284,78

x
6,4722 6,4722 6,4722 6,4722 6,4722 6,4722 6,4722

(xi- x )2 0,0174 0,0067 0,0010 0,0003 0,0045 0,0138 0,0352

fi. (xi- x )2 0,1749 0,0541 0,0052 0,0015 0,0229 0,0692 0,2114 0,5395

Dari tabel 6 diperoleh standar deviasi = 0,112 Untuk uji normal data, hipotesa yang digunakan: Ho : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Dalam pengujian hipotesis digunakan nilai = 0,05. Tabel 7. Penentuan Nilai No. Batas Kelas 1 6,315 6,365 2 6,365 6,415 3 6,415 6,465 4 6,465 6,515 5 6,515 6,565 6 6,565 6,615 7 6,615 6,705 Total Dari tabel 7 diperoleh
2

2 hitung
Zbkb 0 -0,95 -0,51 -0,06 0,38 0,827 1,27 Zbka -0,95 -0,51 -0,06 0,38 0,82 1,27 1 Zb 0 0,1685 0,305 0,4761 0,648 0,7967 0,898 Za 0,1685 0,305 0,4761 0,648 0,7967 0,898 1 Za-Zb 0,168 0,136 0,171 0,171 0,148 0,101 0,102 ei 7,414 6,006 7,528 7,563 6,542 4,45 4,488 oi 10 8 5 5 5 5 6 44 (oi-ei)2/ei 0,901 0,662 0,849 0,868 0,363 0,066 0,509 4,221

hitung

<

tabel,

ini berarti Ho diterima, bahwa data berdistribusi normal.

36

Studi Penerapan Process Capability dan Acceptance Sampling Plans Khawarita Siregar

Tabel 8. Perhitungan Penarikan Sampel


Item yang dihitung USL LSL Kode Huruf Ukuran Nilai Sampel Nilai k Nilai F (untuk spesifikasi ganda) Rata-rata Sampel Standar Deviasi Sampel Nilai QU (Upper Quality Index) Nilai QL (Lower Quality Index) Nilai F sampel, hanya untuk spesifikasi ganda Simbol U L CL nv k F Hasil 7 6 E 44 2,69 0,174 6,47 0,11 4,82 4,27 0,11 Keterangan Lihat Tabel 1. MIL-STD 1916 MIL-STD 1916 MIL-STD 1916 Perhitungan Perhitungan QU= (U- X )/s QL= ( X -L)/s s/(USL-LSL)

X
s QU QL

Kriteria keputusan: a. Kriteria penerimaan: terima lot, apabila semua syarat dibawah ini dipenuhi. - Untuk spesifikasi atas, QU k : 4,82 2,69 (memenuhi) - Untuk spesifikasi bawah, QL k : 4,27 2,69 (memenuhi) - Untuk spesifikasi ganda F F : 0,11 0,174 (memenuhi) b. Kriteria penolakan: tolak apabila salah satu syarat di atas tidak memenuhi. c. Kesimpulan: lot diterima 6. ANALISIS 6.1 Process Capability Dari tabel 9 didapat analisis hasil dari perhitungan proses kapabilitas dan indeks proses kapabilitas untuk karakteristik mutu kadar lemak dari pakan S-11 menunjukkan bahwa process capability tidak baik untuk memenuhi spesifikasi kadar lemak yaitu: (6 7)%. Hal ini disebabkan oleh beberapa
Karakteristik Mutu Kadar Protein Batas Spesifikasi 19 21%

faktor seperti: Kondisi gudang penyimpanan raw material yang kurang diperhatikan. Hal ini dapat menyebabkan raw material menjadi rusak akibat serangan tikus dan kutu busuk. Peralatan turn head yang tidak bekerja dengan baik pada saat memasukkan raw material ke dalam saluran-saluran intake. Hal ini menyebabkan raw material tidak masuk pada salurannya. Adanya tindakan kesengajaan yang disebabkan operator dalam memasukkan komposisi raw material yang akan dituang ke dalam mesin mixing dalam mengejar target. Proses pelletizing belum bekerja secara optimum.Yang mana pada proses ini tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan daya ikat antar bahan. Karena homogenisasi yang rendah menyebabkan produk rapuh, sehingga kandungan nutrisi yang didalamnya menjadi rendah.

Tabel 9. Indeks Process Capability dari Hasil Revisi untuk Masing-Masing Karakteristik Mutu
No. 1 Batas Kontrol 19,49 20,7 Batas Kontrol Revisi Process Capability Cp = 0,68 Cpu = 0,62 Cpl = 0,74 Cpk = 0,62 Cp Cpu Cpl Cpk Cp Cpu Cpl Cpk Cp Cpu Cpl Cpk Cp Cpu Cpl Cpk = = = = = = = = = = = = = = = = 0,64 0,65 0,63 0,63 0,69 0,76 0,625 0,625 0,56 0,61 0,5 0,5 0,65 0,65 0,65 0,65 Central Line 20,09

Kadar Lemak

6 7%

6,18 6,82

6,16 6,81

6,5

Kadar Serat

3 4%

3,16 3,74

3,45

Kadar Kalsium

0,9 1,1%

0,93 1,07

0,99

Kadar Fosfor

0,7 0,9%

0,74 0,86

0,8

37

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Tabel 10. Penentuan Acceptance Sampling Plans


No. 1 2 3 4 5 Jenis Pengujian Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Serat Kadar Kalsium Kadar Fosfor Jenis Pemeriksaan Normal CL VL nv E E E E E IV IV IV IV IV 44 44 44 44 44 Keterangan K 2,69 2,69 2,69 2,69 2,69 Ftabel 0,174 0,174 0,174 0,174 0,174 QU 4,17 4,82 4,30 1,60 1,80 QL 4,52 4,27 4,70 2,40 2,20 F 0,12 0,11 0,10 0,25 0,25 4,17 > 2,69 4,52 > 2,69 0,12 < 0,174 4,82 > 2,69 4,27 > 2,69 0,11 < 0,174 4,30 > 2,69 4,70 > 2,69 0,10 < 0,174 1,60 < 2,69 2,40 < 2,69 0,25 > 0,174 1,80 < 2,69 2,20 < 2,69 0,25 > 0,174 Lot Diterima Lot Diterima Lot Diterima Lot Ditolak Lot Ditolak Keputusan

Adapun tindakan korektif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan process capabilitynya adalah: - Melakukan inspeksi terhadap raw material yang masuk ke gudang penyimpanan. - Memeriksa ulang secara keseluruhan kondisi gudang yang layak untuk penyimpanan raw material. - Melakukan perawatan secara berkala terhadap peralatan turn head. Bila diperlukan dilakukan pergantian dengan yang baru. - Perlunya pengawasan yang ketat kepada operator dari pihak manajemen, supaya proses dapat terkendali. - Memeriksa proses gelatinisasi untuk meningkatkan daya ikat antar bahan. Dan untuk nilai Cpk = 0,63 = Cpl ini berarti bahwa nilai pengukuran rata-rata kadar lemak 6,81% adalah lebih dekat ke batas spesifikasi bawah yang ditetapkan (LSL) yaitu 6%. Ini menunjukkan bahwa proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL) karena berada dalam kriteria Cp < 1. Demikian juga untuk nilai Cpu = 0,65 menunjukkan bahwa proses juga tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas (USL) yaitu 7% karena berada dalam dalam kriteria Cp <1. 6.2 Acceptance Sampling Plans Penggunaan acceptance sampling plans untuk karakteristik mutu kadar protein, lemak, serat, kalsium dan fosfor dengan menggunakan metode MIL-STD 1916 dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa rencana sampling untuk kadar lemak pakan S-11 setelah dilakukan pengujian disimpulkan bahwa lot diterima. Peralihan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara memperlonggar tingkat pemeriksaannya dengan mengubah tingkat verifikasinya (VL) satu tingkat ke kanan, yaitu menjadi VL-III.

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil perhitungan batas kontrol dengan menggunakan peta kontrol variabel didapat karakteristik mutu kadar lemak perlu dilakukan revisi karena ada data yang berada di luar batas kontrol, sedangkan untuk kadar protein, serat, kalsium dan fosfor berada dalam batas-batas kontrol. Dan batas kendali untuk masing-masing karakteristik adalah (19,49 20,7)% untuk kadar protein, (6,166,81)% untuk kadar lemak, (3,163,74)% untuk kadar serat, (0,931,07)% untuk kadar kalsium dan (0,74 0,86)% untuk kadar fosfor. 2. Revisi untuk persentase kadar lemak untuk peta X didapat kendali yang baru yakni 6,16-6,81%. 3. Berdasarkan hasil interpretasi data untuk masingmasing karakteristik mutu menunjukkan bahwa variasi data yang tidak normal hanya disebabkan oleh variasi penyebab khusus saja, yaitu variasi yang disebabkan oleh kesalahan operator dalam mencampurkan material pada saat proses pencampuran. 4. Revisi data dapat dilakukan jika variasi data disebabkan oleh variasi penyebab khusus. Variasi penyebab umum hanya dapat diperbaiki oleh pihak manajemen perusahaan. 5. Perhitungan indeks process capability untuk masing-masing karakteristik mutu dilakukan setelah proses dalam pengendalian. Jika masih terdapat data di luar batas kendali, maka harus dilakukan revisi dengan menghilangkan data yang berada di luar batas kendali untuk mendapatkan batas kendali yang baru. 6. Nilai Cp = 0,68 untuk kadar protein, Cp = 0,64 untuk kadar lemak, Cp = 0,69 untuk kadarserat, Cp = 0,56 untuk kadar kalsium dan Cp = 0,65 untuk kadar fosfor. Dengan melihat nilai Cp untuk masing-masing karakteristik dapat

38

Studi Penerapan Process Capability dan Acceptance Sampling Plans Khawarita Siregar

disimpulkan bahwa proses memiliki kemampuan yang rendah dalam bereproduksi. Dan untuk perhitungan index capability didapat Cpk = 0,62 untuk kadar protein, Cpk = 0,63 untuk kadar lemak, Cpk = 0,625 untuk kadar serat, Cpk = 0,5 untuk kadar kalsium, Cpk = 0,65 untuk kadar fosfor. Dari perhitungan Cpk dapat disimpulkan bahwa proes tidak mampu memenuhi batas spesifikasi yang ditentukan karena nilai Cpknya < 1. Sehingga perlu dilakukan pengendalian yang ketat untuk menghasilkan proses yang lebih baik lagi (Cpk > 1). 7. Berdasarkan hasil perhitungan sampling penerimaan dengan menggunakan MIL-STD 1916 didapat bahwa karakteristik mutu kadar kalsium dan fosfor lot ditolak. Pengalihan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara memperketat tingkat pemeriksaannya dari normal menjadi ketat (tightened). 7.2 Saran 1. Menggunakan statistical process control,

5. Setiap melakukan proses produksi perlu menguji dengan benar dan memperhatikan dengan teliti penyebab-penyebab khusus yang berpengaruh terhadap pengendalian persentase kadar protein, lemak, serat, kalsium dan fosfor pakan ternak S-11. Perlunya merubah lingkungan sosial budaya yang terdapat dalam PT. Charoen Pokphand Indonesia agar setiap pekerjaan/tindakan yang berdampak terhadap proses dan produk tidak menimbulkan cacat. Ini perlu disosialisasikan terhadap semua pekerja, karena kesadaran, sikap, insentif, sistem penghargaan, tingkat komitmen dan human error inilah yang akan berdampak langsung bagaimana proses dan produk itu akan dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Besterfield D. H., Quality Control, 2th Edition, Prentice Hall International Inc., United States of America, 1986. Besterfield D. H., International Edition Quality Control, 5th Edition, Prentice Hall International Inc., 1994. Banks J., Principles of Quality Control, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1987. DoD Handbook., United States of America, MILSTD 1916, Approve for public release, 10 Februari 1999. DoD Test Method Standard, United States of America, MIL-STD 1916, Approve for public release, 1 April 1996. Goetsch, David L., and Davis, Stanley B., Introduction to Total Quality, 2th Edition, Prentice Hall International, Inc., United States of America, 1994. Grant E. L., and Leavenworth R. S., International Edition Statistical Quality Control, 7th Edition, Mc Graw-Hill, 1996. Gryna, Frank M., Quality Planning and Analysis, 4th Edition, Mc Graw-Hill, Singapore, 2001. Montgomery D. H., Introduction to Statistical Quality Control, 2th Edition, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1991. Ronald E. W., Pengantar Statistika, 3th Edition, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995. Vincent Gaspersz, Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Sugiarto, dkk., Teknik Sampling, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

khususnya peta kontrol X dan R secara periodik, untuk mendeteksi kesalahan secara dini. Karena dengan peta kontrol kita dapat melihat apakah suatu proses yang sedang berlangsung sudah stabil atau tidak. Jika belum stabil, proses itu harus diperbaiki dulu, dan baru kemudian membangun peta kontrol terkendali (yang baru) untuk memantau proses yang telah stabil. Hal ini berarti membawa proses ke dalam pengendalian. 2. Dilihat dari rendahnya kemampuan proses yang ada, maka perusahaan perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap kinerja proses produksi agar proses yang dilakukan dapat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan, yang akhirnya dapat memenuhi kepuasan pelanggan. 3. Berkaitan dengan rendahnya kapabilitas proses yang didapat, perusahaan perlu memperhatikan lebih ketat kondisi gudang penyimpanan, kemampuan mesin sebelum proses produksi siap untuk dijalankan. Juga adanya arahan yang kontinu terhadap para operator terhadap tanggung jawab pekerjaannya. 4. Metode sampling penerimaan dapat memenuhi fungsinya jika dalam pengambilan sampel untuk pengujian karakteristik mutu menggunakan hasil perhitungan yang telah didapat dan dilakukan dengan benar.

39

ANALISIS TINGKAT KUALITAS PELAYANAN DENGAN METODE INDEX POTENTIAL GAIN CUSTOMER VALUE (PGCV) DI PT BANK MUAMALAT INDONESIA CABANG MEDAN
Syahrul Fauzi Siregar
Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik USU Abstrak: PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan adalah perusahaan swasta yang bergerak dalam kegiatan pelayanan jasa perbankan syariah di masyarakat Indonesia. Dengan konsep bagi hasil yang ditawarkan kepada para nasabahnya, perusahaan ini mampu bersaing dengan para kompetitornya, baik itu perbankan konvensional maupun perbankan syariah lain yang ada di Indonesia. Penelitian ini berlatar belakang kepada upaya meningkatkan kualitas pelayanan jasa perbankan muamalat terhadap nasabah. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah dengan mengetahui tingkat kualitas pelayanan yang diberikan dilihat dari sudut pandang nasabah dan dengan melakukan perbaikan perbaikan terhadap kondisi pelayanan yang dianggap belum memenuhi harapan nasabah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan yang berkaitan dengan kepuasan nasabah Bank Muamalat. Dengan mengetahui hal ini diharapkan Bank Muamalat dapat bersaing dengan para kompetitornya dengan mengambil langkahlangkah untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Metode yang digunakan untuk menganalisis tingkat kualitas pelayanan pada penelitian ini adalah metode index potential gain customer value (PGCV index), yang mengukur tingkat kualitas pelayanan berdasarkan lima dimensi, yaitu tangibles (terdiri dari 7 variabel pertanyaan), reliability (terdiri dari 3 variabel pertanyaan), responsiveness (terdiri dari 2 variabel pertanyaan), assurance (terdiri dari 5 variabel pertanyaan), dan emphaty (terdiri dari 4 variabel pertanyaan). Penyebaran kuisioner dilakukan dengan dua tahap, yaitu penyebaran kuisioner terbuka dan kuisioner tertutup. Pengambilan data dilakukan secara dua tahap, yaitu pengambilan awal (untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen dan menentukan ukuran sampel lanjutan) dan pengambilan data lanjutan dengan menggunakan metode pengambilan sampel secara acak (random sampling). Responden yang daimbil adalah nasabah Bank Muamalat yang datang melakukan transaksi. Data yang dihasilkan merupakan data ordinal dan dikonversikan menjadi data interval dengan menggunakan metode successive interval. Hasil pengolahan data menghasilkan tingkat kepuasan pelayanan masing-masing untuk dimensi 94.60% (tangibles), 100.89% (reliability), 96.53% (responsiveness), 93.92% (assurance), dan 91.42% (emphaty). Sedangkan dari hasil perhitungan index potential gain customer value dihasilkan prioritas tertinggi, yaitu: variabel 18 (lokasi bank), 11(ketanggapan teller dalam melayani nasabah), 14 (penguasaaan dan pengetahuan karyawan), dan seterusnya. Hasil perhitungan variabel kunci dengan peta kartesius menghasilkan 6 variabel kunci yang harus diperbaiki pihak Bank Muamalat, yaitu: kenyamanan ruangan (keberadaaan AC) (variabel 2), pengaturan kursi untuk menungggu (variabel 5), lokasi bank yang strategis (variabel 18), penguasaan dan pengetahuan karyawan (variabel 14), jaminan kerahasiaan nasabah (variabel 16), keamanan dalam bertransaksi (variabel 15). 1. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat pada era transformasi informasi sekarang ini, intensitas persaingan berskala global menuntut pergeseran besar dalam dunia industri, baik itu industri yang bergerak di bidang manufaktur maupun di bidang jasa. Salah satu jenis industri yang menghadapi persaingan yang kompetitif di masa mendatang adalah industri perbankan. Bank Muamalat merupakan salah satu industri perbankan yang tumbuh pesat di antara bank-bank konvensional yang ada di Indonesia. Hal utama yang harus diprioritaskan oleh industri perbankan dalam hal ini Bank Muamalat adalah bagaimana caranya agar konsumen mendapat kepuasan sehingga perusahaan itu dapat bertahan, bersaing dan tidak kehilangan konsumennya. Untuk mewujudkan dan mempertahankan kepusan pelanggan, pihak perbankan muamalat harus memperhatikan kualitas jasa yang dikehendaki pelanggan. Sementara itu, kepuasan nasabah tercapai bila kebutuhan, keinginan dan harapannya terpenuhi. Khusus untuk industri perbankan, kualitas jasa diukur dari kualitas pelayanan yang diberikan kepada konsumen, apakah sesuai dengan harapan dan keinginan nasabah. Semakin besar tingkat pemenuhan yang diberikan kepada nasabah, maka semakin tinggi kualitas pelayanan jasa perbankan tersebut. Alat pengukuran yang digunankan untuk mengukur kualitas pelayanan pada industri perbankan pada penelitian ini adalah metode servqual, yaitu suatu alat untuk mengukur persepsi nasabah mengenai kualitas pelayanan. Dalam

40

Analisis Tingkat Kualitas Pelayanan dengan Metode Syahrul Fauzi Siregar

penilaian dan pengukuran terhadap kualitas pelayanan, konsumen diminta untuk menyatakan dan menilai lima komponen penentu kualitas jasa (assurance, empathy, reliability, responsiveness, and tangibles) yang mempngaruhi persepsi dan harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan jasa perbankan muamalat. Dari hasil penilaian kualitas pelayanan yang dilakukan oleh responden, pihak manajemen dapat mengidentifikasi kinerja dan tingkat kepentingan yang dimiliki Bank Muamalat. I.2 Perumusan Masalah Masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah: 1. Sejauh mana pihak jasa perbankan (Bank Muamalat) mengetahui tingkat kualitas pelayanan dilihat dari sudut pandang nasabah. 2. Dengan mengetahui keinginan nasabah Bank Muamalat diharapkan dapat dikembangkan jasa perbankan yang dapat memuaskan pelanggan. 3. Untuk diketahui tingkat kepuasan pelanggan Bank Muamalat serta faktor-faktor atau dimensi kualitas apa saja yang mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan. I.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis tingkat prioritas kompetitif dan kualitas pelayanan Bank Muamalat. 2. Mengidentifikasi dimensi/faktor kualitas jasa perbankan muamalat yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pelayanan Bank Muamalat untuk dapat bersaing dengan bank konvensional lainnya. 3. Meneliti dan memberikan saran bagaimana perubahan yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Bank Muamalat di masa yang akan datang. I.4 Batasan dan Asumsi Untuk mempermudah pecahan masalah, perlu disusun beberapa batasan dan asumsi yang berkaitan dengan permasalahan. Hal ini dilakukan untuk mempertegas atribut-atribut yang menjadi pusat perhatian, sehingga dapat menunjukkan kedudukan permasalah. Batasan-batasan tersebut adalah: 1. Objek yang diteliti adalah perusahaan perbankan dalam hal ini Bank Muamalat. 2. Pada penelitian ini tidak dibahas posisi perusahaan yang diteliti dengan perusahaanperusahaan pesaing menurut para konsumennya. 3. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah berupa daftar pertanyaan (questioner). 4. Informasi penilaian kualitas pelayanan perusahaan yang menjadi objek penelitian yang diterapkan sekarang ini diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner terhadap pelanggan.

5. 6. 7.

Nasabah yang diteliti sebagai responden adalah yang menjadi nasabah di PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan. Dimensi kualitas pelayanan yang diukur adalah 5 dimensi kualitas jasa, yaitu: tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty. Dalam Penelitian ini tidak dilakukan analisis biaya terhadap proses perbaikan kualitas pelayanan dan hasil penelitian ini tidak berlaku untuk umum.

Asumsi-asumsi tersebut adalah: 1. Responden dengan jujur dan benar mengisi kuisioner yang diberikan. 2. Interpretasi responden tentang pernyataanpernyataan dalam kuisioner sesuai dengan maksud penulis. 3. Variabel-variabel yang diteliti dianggap sesuai dengan kondisi pelayanan yang berlaku pada perusahaan yang menjadi objek penelitian. 4. Penunjukkan konsumen yang menjadi responden kuisioner penilaian yang datang ke Bank Muamalat pada suatu rentang waktu tertentu sebagai sampel dianggap mewakili yang menabung di perusahaan tersebut. 5. Kinerja kualitas pelayanan hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang termasuk di dalam dimensi kualitas pelayanan yang telah ditentukan oleh peneliti. 2. TEORI Index Potential Gain Customer Value (PGCV) Analisis pelanggan melalui angka indeks merupakan konsep dan peralatan yang mudah untuk menganalisis pelanggan. Kemudahan tersebut memberikan jalan bagi diagram ImportancePerformance untuk dapat dibandingkan dalam bentuk kualitatif yang lebih terperinci. Langkah pertama dalam menghitung indeks PGCV adalah mencari nilai ACV atau Achieved Customer Value, yaitu dengan mengalikan antara variabel importance dengan variabel performance, yaitu: ACV = I x P Keterangan:
ACV = nilai pencapaian konsumen I P = (Importance) nilai rata rata untuk harapan ( Y ) = (Performance) nilai rata rata untuk kinerja ( X )

Setelah mendapat nilai ACV, maka selanjutnya adalah mencari UDCV atau Ultimately Desired Customer Value, yang mana nilai ini didapatkan dengan rumus: UDCV = I x Ps Keterangan: UDCV = Nilai akhir keinginan konsumen I Ps = Nilai rata rata untuk harapan ( Y ) = Nilai kinerja maksimum dalam skala likert yang dipilih

41

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Dan terakhir nilai indeks PGCV adalah nilai Ultimately Desired Customer Value dikurangi dengan Achieved Customer Value, yaitu: PGCV = ACV UDCV Kesimpulan yang didapat bila suatu item mendapatkan nilai indeks PGCV terbesar, maka berarti item tersebut mendapatkan prioritas utama untuk diperbaiki kinerjanya baru menyusul item kedua dan seterusnya. 3. METODOLOGI PENELITIAN Didalam melakukan suatu penelitian, peneliti dapat memilih berbagai jenis metode dalam melaksanakan penelitiannya. Metode yang dipilih berhubungan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus sesuai dengan metode penelitian yang dipilih. Prosedur serta alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok dengan metode penelitian yang digunakan. Jika suatu penelitian dikerjakan dengan kuisioner sebagai alat dalam mengumpulkan data, maka yang dibicarakan di sini adalah teknik penelitian. Jika seseorang membicarakan metode penelitian, maka ia tidak terlepas dari membicarakan teknik dan prosedur penelitian. Dalam mengelompokkan metode-metode penelitian, kriteria yang dipakai adalah teknik serta prosedur penelitian. Tetapi tidak jarang terdapat pengelompokan yang dibuat ada kalanya didasarkan pada prosedur saja dan ada kalanya didasarkan pada tekniknya saja. Adapun skematis langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada halaman berikut: 3.1 Perumusan Masalah Penelitian Perumusan masalah disusun berdasarkan uraian pada Bab I mengenai latar belakang dan pokok permasalahan. Perumusan masalah merupakan suatu usaha untuk memformulasikan atau memodelkan fenomena yang ada secara sistematis berdasarkan teori yang ada. Permasalahan yang ingin dipecahkan adalah pengukuran tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan perusahaan (perbankan) dan penentuan atribut kualitas pelayanan yang paling penting bagi pelanggan, yaitu apakah kualitas jasa yang ditawarkan kepada konsumen memenuhi ekspetasi (harapannya) atau tidak. 3.2 Penentuan Tujuan Penelitian Penentuan tujuan penelitian merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum memulai suatu penelitian. Maksud penentuan tujuan penelitian adalah agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan terarah dan mancapai sasaran. Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian survei dengan maksud eksplorasi. Penelitian survei (Masri Singarimbun, 1987) adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu

populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data. Penelitian eksplorasi adalah riset yang bertujuan untuk mengumpulkan data pendahuluan guna memperoleh keterangan mengenai sifat nyata dari masalah tersebut dan memberikan kemungkinan hipotesis atau ide-ide baru (Philip Kotler, 1999). Tujuan penelitian eksplorasi ini untuk mengetahui dimensi-dimensi kualitas apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan konsumen. Dengan ditentukannya dimensi ini, diharapkan akan diketahui bagian mana yang harus mendapatkan perhatian/menjadi prioritas apabila adanya keterbatasan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan kualitas jasanya. 3.3 Studi Pustaka Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh landasan kerangka berpikir bagi penelitian yang akan dilakukan, sehingga penelitian ini dilakukan berdasarkan suatu logika tertentu. Studi literatur dengan mempelajari teori yang berhubungan dengan metode service quality, manajemen jasa, dan statistik. 3.4 Studi Pendahuluan Studi pendahuluan dilakukan bertujuan untuk memperoleh masukan mengenai objek yang akan diteliti. Melalui studi ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian dan variabel-variabel yang terkait dengan permasalahan tersebut. Studi pendahuluan dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan dan penelitian terhadap objek studi, wawancara dengan pihak terkait pada objek studi. 3.5 Identifikasi Sumber Data Adapun data yang diambil pada penelitian ini menurut jenis dan sumbernya, yaitu: 1. Menurut sifatnya: a. Data kualitatatif, yaitu data yang tidak berbentuk angka. b. Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka-angka. 2. Menurut Sumbernya: a. Data internal, yaitu data yang menggambarkan keadaaan/kegiatan di dalam suatu organisasi. b. Data eksternal, yaitu data yang menggambarkan keadaan/kegiatan di luar suatu organisasi. Menurut cara memperolehnya: a. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh perseorangan langsung dari objeknya. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain.

3.

42

Analisis Tingkat Kualitas Pelayanan dengan Metode Syahrul Fauzi Siregar

3.6 Identifikasi Variabel Penelitian Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek penelitian. Variabel juga merupakan pedoman atau petunjuk untuk mencari data maupun informasi dilapangan, baik dengan menggunakan data sekunder, wawancara ataupun pengumpulan data primer dengan menggunakan metode survei. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah variabel dan atribut yang mempengaruhi kualitas pelayanan jasa perbankan. 3.7 Penentuan dan Pemilihan Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data primer dilakukan dengan cara melakukan observasi langsung, menyebarkan kuisioner dan wawancara. Data yang dikumpulkan dalam kuisoner terbagi dalam tiga bagian, yaitu: a. Data kuisioner terbuka (pendahuluan/awal) Guna kuesioner pendahuluan ini adalah untuk menentukan atribut-atribut apa saja yang akan digunakan dalam pembuatan kuesioner tertutup b. Data identitas responden. c. Data kuisioner kualitas jasa (harapan nasabah dan kinerja perusahaan). 3.8 Pembuatan Kuisioner Kuisioner sebagai alat pengumpulan data disusun dalam dua bentuk pertanyaan yang bersifat terbuka dan pertanyaan yang bersifat tertutup. Pertanyaan terbuka di mana responden dapat menjawab sesuai dengan diinginkan dengan kata-kata mereka sendiri. Sedangkan pertanyaan tertutup di mana peneliti memerikan semua kemungkinan jawaban, dan responden tinggal memilih di antaranya (Philip Kotler dkk., 1999). Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Kuisioner terbuka 2. Kuisioner tentang identitas responden 3. Kuisioner kualitas jasa Kuisioner ini digunakan untuk mengetahui persepsi dan harapan nasabah sehingga dapat diketahui penilaian nasabah terhadap variabel dan atribut kualitas pelayanan pada objek studi, gap yang terjadi antara persepsi dan harapan nasabah serta atribut mana yang harus diperbaiki atau ditingkatkan kualitasnya dan perlu dipertahankan kualitas pelayanannya. Untuk pengukuran atribut digunakan Skala Likert. Dalam skala ini dibagi atas lima kategori jawaban yang menunjukkan derajat kepentingan (untuk data harapan), dan derajat kepuasan (untuk data kinerja/persepsi), yang terdiri dari: a. Nilai Harapan Jawaban sangat penting diberi nilai: 5 Jawaban penting diberi nilai: 4 Jawaban biasa diberi nilai: 3 Jawaban tidak penting diberi nilai: 2 Jawaban sangat tidak penting diberi nilai: 1

b.

Nilai Kinerja / Persepsi Jawaban sangat puas diberi nilai: 5 Jawaban puas diberi nilai: 4 Jawaban biasa diberi nilai: 3 Jawaban tidak puas diberi nilai: 2 Jawaban sangat tidak puas diberi nilai: 1

3.9 Penentuan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah: 1. Perusahaan jasa perbankan, yakni Bank Muamalat Cabang Medan. 2. Nasabah Bank Muamalat Cabang Medan Pada penelitian ini jumlah populasi nasabah Bank Muamalat Cabang Medan tidak diketahui oleh peneliti. Hal ini dikarenakan pihak manajemen Bank Muamalat tidak dapat memberi informasi data berapa banyak nasabah yang menabung di Bank Muamalat karena merupakan rahasia perusahaan. Sehingga peneliti mengasumsikan populasi nasabah Bank Muamalat tidak terbatas (infinite population). Teknik pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel secara acak (random sampling). Karena data populasi Bank Muamalat tidak diketahui, maka teknik pengambilan sampelnya dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak secara sestematik (systematic random sampling), yaitu pengambilan setiap unsur ke k dalam populasi untuk dijadikan sampel, di mana titik awal pengambilan sampel pada kelompok berikutnya mengikuti pola yang telah ditentukan dari hasil pengambilan sampel di titik awal. Pengambilan unitunit sampel didasarkan atas kunjungan nasabah yang akan bertransaksi. 3.10 Pengumpulan Data Awal Pengumpulan data awal ini berupa kuisioner pendahuluan (terbuka) yang kemudian digunakan untuk menyusun kuisioner tertutup. Kemudian kuisioner tertutup ini disebarkan sebanyak 40 eksemplar, kemudian diuji. Tujuan pengujian ini adalah untuk menguji kelayakan kuisioner yang disebarkan. Layak di sini berarti item-item pertanyaan sudah cukup baik dan dimengerti oleh responden. Jika hasil pengolahan data kuisioner tahap pendahuluan ini tidak baik, berarti tidak layak, maka dilakukan perbaikan kuisioner. Jika hasil pengolahan data baik, berarti layak, maka dilakukan pengumpulan data sehingga memenuhi sampel minimum. 3.11 Pengolahan Data Awal Dalam pengolahan data penelitian ini digunakan metode kualitatif dan metode kualitatif. Pada penelitian ini akan dijelaskan tahap-tahap di dalam melakukan pengolahan data.

43

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

3.11.1 Uji Validitas Validitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuisioner didalam pengumpulan data penelitian, maka kuisioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukur. Adapun cara menguji validitas kuisioner adalah dengan menggunakan metode Korelasi Pearson Product Momen,t dengan rumus:

r=

[N X ij ( Xij ) ][N Y ij (Yi) ]


2 2 2 2

N ( XijYij ) ( Xij Yij )

Di mana: n = Jumlah sampel yang dibutuhkan p = Peluang untuk mendapatkan kuisioner yang dapat diolah q = Peluang untuk mendapatkan kuisioner yang tidak dapat diolah Z/2 = Nilai tabel distribusi normal untuk keberartian sebesar /2 = Tingkat kesalahan (5%) 3.11.4 Uji Kecukupan Data Data sampel yang diperoleh dari hasil penyebaran kuisioner lanjutan dengan menggunakan kuisioner persepsi dan harapan kemudian diuji kecukupan sampelnya. Pada penelitian ini untuk menguji apakah sampel yang diambil sudah mencukupi atau belum digunakan rumus sebagai berikut:

Di mana: r = angka atau tingkat korelasi N = jumlah responden Xij = skor pernyataaan j dan responden i Yi = skor total responden i 3.11.2 Uji Reliabilitas Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keandalan alat ukur adalah metode Alpha Cronbach. Dengan rumus matematisnya sebagai berikut:

Z n = / 2 ,Z/2 dari tabel normal

(4.1)

Penurunan dari rumus di atas adalah sebagai berikut: Jika data berdistribusi normal:

Di mana: = koefisien keandalan alat ukur K = banyak butir pertanyaan

kr 1 + (k 1)r

1 Xi, dim ana X = N ( , ) n P ( Z / 2 Z Z / 2 ) = (1 ) X =


Nilai varians sampelnya adalah:

(4.2) (4.3)

r = koefisien rata-rata korelasi antar variabel

S2 =

(y
n i =1

Koefisien keandalan alat ukur menyatakan tingkat konsistensi jawaban responden. Nilai keandalan alat ukur bervariasi antara 0 sampai 1. Nilai yang mendekati 1 menunjukkan keandalan yang makin baik, dan sebaliknya. 3.11.3 Pengumpulan Data Lanjutan Setelah uji kelayakan dan kuisioner tidak perlu diperbaiki lagi, maka dapat dilakukan pengumpulan data selanjutnya. Karena tidak ada perbaikan pada kuisioner, maka data awal yang telah dikumpulkan dapat diolah bersama-sama data yang dikumpulkan selanjutnya. Dalam menentukan besarnya ukuran sampel, pengambilan sampel dianalogikan dengan percobaan kembali dari hasil pengisian kuisioner yang dapat diolah dan yang tidak dapat diolah. Kuisioner yang dapat diolah diasumsikan sebagai outcome sukses dan yang tidak dapat diolah diasumsikan sebagai outcome gagal. Adapun jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian lanjutan didasarkan atas kuisioner yang dapat diolah dan tidak dapat diolah dengan menggunakan rumus pengambilan sampel sebagai berikut:

Setelah didapat varians, kemudian dicari nilai standar deviasi sampel, yaitu:

n 1

(4.4)

S= S =
Maka,

(y

2 i

n 1
(4.5)

Z / 2 Z / 2

X Z / 2 s n
(4.6)

s s X Z / 2 n n s X Z / 2 n

Sebelum melanjutkan rumus di atas, ditentukan tingkat kesalahan pengambilan sampel () dan tentukan pula taraf kepercayaan yang diinginkan. Dengan taraf kepercayaan 95%, maka tingkat kesalahan pengambilan sampel () adalah: Z/2 = 1.96 (tabel distribusi normal)

(Z / 2 )2 . p.q n= ( )2

= ysy =

y
i =1

(rata rata sampel)

(4.7)

Maka pendugaaan varians dari rata-rata sampel adalah:

44

Analisis Tingkat Kualitas Pelayanan dengan Metode Syahrul Fauzi Siregar

V = y sy =

( )

s2 N n n N
tingkat

(4.8) kesalahan pengambilan

Sehingga sampel, yaitu:


Z / 2 V y sy = Z / 2

( )

s2 N n N n , = finite population correction ( fpc ) n n n

3.13 Analisis Pemecahan Masalah Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pengolahan data. Dalam tahap ini faktor-faktor yang dianggap dominan dalam menentukan kualitas jasa dan tingkat kepuasan pelayanan akan dianalisis sebagai landasan dalam menyusun strategi bisnis selanjutnya. 3.14 Kesimpulan dan Saran Bagian akhir dari penelitian ini adalah penarikan kesimpulan hasil analisis dan interpretsi data. Bagian ini juga dilengkapi dengan saran-saran. Penarikan kesimpulan dapat berguna dalam merangkum hasil akhir dari suatu penelitian selain sebagai landasan rumusan strategi dan pengambilan keputusan bagi pehak perusahaan juga digunakan bahan acuan penelitian selanjutnya. Dari kesimpulan tersebut, maka diberikan saran kepada pihak perusahaan mengenai atribut yang perlu ditingkatkan kualitas pelayanannya serta usulan perbaikan yang harus dilakukan tentang atribut kualitas pelayanan. 4. ANALISIS 4.1 Analisis Indeks Potential Gain Customer Value Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa nilai indeks PGCV untuk tiap variabel. Kesimpulan yang didapat bila suatu variabel mendapatkan nilai indeks PGCV terbesar, maka berarti variabel tersebut mendapatkan prioritas utama untuk diperbaiki kinerjanya baru menyusul item kedua dan seterusnya. Urutan prioritas untuk tiap variabel dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Index Potential Gain Customer Value Setelah Diurutkan
Prioritas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Index PGCV 3.625 3.500 3.398 3.045 2.852 2.540 2.450 2.145 1.648 1.582 Variabel Variabel 18 Variabel 11 Variabel 14 Variabel 5 Variabel 6 Variabel 19 Variabel 2 Variabel 15 Variabel 17 Variabel 16 Faktor Kualitas Pelayanan Lokasi Bank yang strategis Ketanggapan Teller dalam melayani nasabah Penguasaan dan pengetahuan karyawan Pengaturan kursi untuk menunggu Jumlah Teller yang melayani Komunikasi yang mudah dan baik Kenyamanan ruangan (keberadaan AC) Keamanan dalam bertransaksi Kredibilitas (nama baik) Bank Jaminan kerahasiaan nasabah

Jika populasi (N) tidak diketahui, maka (fpc) dihilangkan, (N-n)/N dianggap satau dan tidak perlu dituliskan, maka rumus di atas menjadi:

Z / 2 V y sy = Z / 2

( )

s2 = n

(kesalahan pengambilan sampel) (4.9) Setelah didapat tingkat kesalahan pengambilan sampel, maka:
Z / 2 2 = Z / 2
s2 dikuadratk an n s n
2

(4.10)
2

= (Z )2 s /2 n

Dari penurunan rumus di atas, maka dapat diketahui rumus untuk menguji kecukupan pengambilan sampel, yaitu:

Z .S n = /2

(4.11)

Di mana: n = jumlah sampel minimum s = standart deviasi sampel Z/2 = nilai tabel distribusi normal untuk keberartian /2 = tingkat kesalahan pengambilan sampel Dan untuk menguji kecukupan sampel berdasarkan proporsi (p), yaitu rasio dari unsur dalam sampel yang mempunyai sifat sifat yang diinginkan adalah:

Z (4.12) n = P(1 P ) / 2 Di mana: n = jumlah sampel minimum P = proporsi untuk sukses 1 P = proporsi untuk gagal Z/2 = nilai tabel distribusi normal untuk keberartian /2 = tingkat kesalahan pengambilan sampel
3.12 Pengolahan Data Lanjutan Pada tahap ini akan dibahas perhitungan konversi skala ordinal kedalam skala interval dengan metode successive interval, kemudian dibahas pula langkah langkah perhitungan tingkat kualitas pelayanan, index potentian gain customer value dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui kepuasan pelayanan Bank Muamalat Cabang Medan berdasarkan persepsi dan harapan nasabah.

45

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006 Index PGCV 1.370 1.333 0.778 0.124 0.116 0.059 -0.012 -0.330 -0.339 -1.048 -1.714 Faktor Kualitas Pelayanan Keakuratan pencatatan transaksi Kecepatan pelayanan Kesabaran karyawan dalam melayani nasabah Penataan ruangan Prosedur pelayanan (tidak berbelit belit) Keberadaan fasilitas ATM dilokasi strategis Perhatian Bank kepada nasabah Kemampuan pihak Bank/karyawan dalam mengatasi masalah Kebersihan Bank Etika dan sopan santun karyawan Penampilan karyawan

Prioritas 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Variabel Variabel 10 Variabel 8 Variabel 20 Variabel 1 Variabel 9 Variabel 7 Variabel 21 Variabel 12 Variabel 4 Variabel 13 Variabel 3

2.

Lokasi bank yang strategis (18) Penguasaan dan pengetahuan karyawan (14) Jaminan kerahasiaan nasabah (16) Keamanan dalam bertransaksi (15)

Kuadran II Menunjukkan faktor-faktor atau variabel yang perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan pelanggan, sehingga dapat memuaskan pelanggan (kinerja perusahaan tinggi, harapan pelanggan tinggi). Variabel yang temasuk dalam kuadran II ini adalah: Kebersihan bank (4) Kesabaran karyawan dalam melayani nasabah (20) Perhatian Bank kepada nasabah (21) Kemampuan pihak bank/karyawan dalam mengatasi masalah (12) 3. Kuadran III Menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan pelanggan yang berada dalam kuadran ini dinilai masih kurang penting bagi pelanggan, sedangkan pelaksanaannya oleh perusahaan biasa atau cukup saja. Adapun variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran III ini adalah: - Penataan ruangan (interior) di dalam dan di luar bank (1) - Penampilan karyawan (3) - Keberadaan fasilitas ATM di lokasi strategis.(7) - Prosedur pelayanan (tidak berbelit-belit) (9) - Etika dan sopan santun karyawan (13) 4. Kuadran IV Menunjukkan variabel-variabel yang oleh pelanggan dianggap tidak terlalu penting, tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali oleh perusahaan, sehingga menjadikan variabel tersebut nilai plus perusahaan di mata pelanggannya. Faktor-faktor yang termasuk dalam kuadran ini adalah: Kredibilitas (nama baik) bank (17) Jumlah teller yang melayani (6) Keakuratan pencatatan transaksi (10) Kecepatan pelayanan (8) Ketanggapan teller dalam melayani nasabah (11) Komunikasi yang mudah dan baik (19) 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis data pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil analisis gap menunjukkan bahwa gap antara harapan dan persepsi memberi gambaran bahwa nasabah menganggap kualitas pelayanan

4.2 Analisis Variabel Kunci Dari peta performansi pada gambar 1 terlihat bahwa letak variabel yang mempengaruhi kepuasan pelanggan pengguna jasa perbankan pada PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Medan terbagi menjadi 4 bagian. Adapun interpretasi dari peta tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kuadran I Menunjukkan faktor-faktor atau variabel yang dinilai sangat penting oleh pelanggan, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan (kinerja perusahaan rendah, harapan pelanggan tinggi).

Gambar 1. Peta Performansi/Kepentingan


Variabel-variabel yang masuk kuadran ini adalah: Kenyamanan ruangan (keberadaaan AC) (2) Pengaturan kursi untuk menungggu (5)

46

Analisis Tingkat Kualitas Pelayanan dengan Metode Syahrul Fauzi Siregar

di Bank Muamalat Cabang Medan tidak mengecewakan tetapi belum sepenuhnya memenuhi keinginan nasabah melihat cukup besarnya gap yang terjadi. Sedangkan nilai ratarata harapan menunjukkan bahwa nasabah menganggap keseluruhan faktor sebagai faktor yang penting untuk mendapat perhatian pihak bank untuk ditingkatkan kualitas pelayanannya. 2. Hasil perhitungan gap untuk tiap dimensi kualitas, menunjukkan bahwa pelayanan di Bank Muamalat Cabang Medan sudah cukup memenuhi harapan nasabahnya. Sedangkan ratarata nilai tingkat kepuasan nasabah terhadap masing-masing dimensi berkisar 91.42100.89%, menunjukkan bahwa pelayanan di Bank Muamalat Cabang Medan sudah cukup memuaskan nasabahnya. 3. Dari hasil perhitungan indeks potential gain customer value, kesimpulan yang didapat bila suatu item mendapatkan nilai indeks potential gain customer value terbesar, maka berarti item tersebut mendapatkan prioritas utama untuk diperbaiki kinerjanya baru menyusul item kedua dan seterusnya. Urutan prioritas tersebut dapat dilihat pada tabel 1. 4. Bedasarkan analisis peta kartesius, dari 21 variabel pelayanan terdapat 7 variabel kunci yaitu variabel yang harus ditingkatkan kinerjanya oleh PT Bank Muamalat Indonsia Cabang Medan karena variabel tersebut sangat penting bagi pelanggan dan ketidakpuasan pelanggan tinggi yaitu: - Kenyamanan ruangan (keberadaaan AC) (2) - Pengaturan kursi untuk menungggu (5) - Lokasi bank yang strategis (18) - Penguasaan dan pengetahuan karyawan (14) - Jaminan kerahasiaan nasabah (16) - Keamanan dalam bertransaksi (15)

5.2 Saran 1. Diharapkan pihak perusahaan lebih meningkatkan program pelatihan (khususnya di dalam peningkatan pengetahuan dan penguasaan pekerjaan) yang dinilai nasabah masih kurang memuaskan dan juga perlunya pengaturan kursi untuk menunggu bagi nasabah dan penambahan jumlah teller agar para nasabah tidak terlalu lama mengantri. 2. Survei kepuasan nasabah hendaknya dilakukan secara periodik, sehingga harapan dan persepsi pelanggan dapat dipantau untuk memberi umpan balik atas perbaikan yang telah disesuaikan, terutama dalam persaingan Bank Syariah yang cukup ketat sekarang ini. DAFTAR PUSTAKA Allen. L. Edwards, Techniques of Attitude Scale Contruction, New York Appleton Century, 1955 Fandy. Tjiptono, Prinsip-prinsip Total Quality Service, Yokyakarta Offset, 1997 Husaini, Usman, Pengantar Statistika, Bumi Aksara, 1995 J.Supranto, Statistik Teori dan Aplikasi, Edisi 5, Erlangga, 1991 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei, LP3ES, 1987 Parasuraman, A et al., A Conceptual Model of Service Quality and its Implications For Future Research, Journal of Marketing, Vol. 49, 1985 Rambat Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, Penerbit PT Salemba Empat, 2001 Vincent Gasperz, Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

47

PENGARUH PENERAPAN PROGRAM ERGONOMI DALAM MENGENDALIKAN KELELAHAN PEKERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA WANITA DAN PRIA PADA INDUSTRI PERAKITAN ELEKTRONIKA DI KOTA MEDAN
Staf Pengajar Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik USU Abstrak: Pekerjaan yang dilakukan pada industri perakitan elektronik merupakan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dan ketelitian tinggi, bersifat menetap, duduk terus-menerus dan tidak berpindah-pindah (sedentary work). Waktu kerja disita oleh sejumlah perintah kerja yang harus dikerjakan dalam postur kerja tertentu (postural limitation). Jenis pekerjaan ini menimbulkan stres pada sekelompok otot rangka (musculoskeletal) dan menyebabkan terjadinya kelelahan otot. Penerapan program ergonomi memberi pengaruh terhadap kecepatan reaksi operator stasiun monitor check terbukti dari hasil pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan whole body reaction tester. Operator yang bekerja sebelum penerapan program ergonomi memiliki waktu reaksi ratarata 0,6505 sedangkan setelah penerapan program ergonomi rata-rata 0,7155. Penerapan program ergonomi menghasilkan beda sebesar 0,065. Kata kunci: Program Ergonomi, Kelelahan Pekerja, Produktivitas Kerja 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pekerjaan yang dilakukan pada industri perakitan elektronik merupakan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dan ketelitian tinggi, bersifat menetap, duduk terus-menerus dan tidak berpindah-pindah (sedentary work). Waktu kerja disita oleh sejumlah perintah kerja yang harus dikerjakan dalam postur kerja tertentu (postural limitation). Jenis pekerjaan ini menimbulkan stres pada sekelompok otot rangka (musculoskeletal) dan menyebabkan terjadinya kelelahan otot. Bila hal ini berlangsung dalam waktu lama akan mengakibatkan terjadinya penyakit akibat kerja yang disebut musculoskeletal disorders. Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, kinerja kerja serta berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik tubuh untuk melakukan kegiatan. Karakteristik pekerjaan akan semakin meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan dilakukan. Kelelahan yang timbul dalam diri manusia merupakan proses terakumulasi dari berbagai faktor penyebab dan mendatangkan ketegangan (stres) yang dialami oleh tubuh manusia. Untuk menghindari akumulasi yang terlalu berlebihan diperlukan keseimbangan antara sumber datangnya kelelahan dengan jumlah keluaran yang diperoleh lewat proses pemulihan (recovery). Proses pemulihan dapat dilakukan dengan cara memberikan waktu istirahat yang cukup serta mengatur waktu istirahat. Proses pemulihan akan memberikan kesempatan fisik maupun psikologis manusia untuk lepas dari beban yang menghimpitnya. Para ilmuwan telah mencoba beberapa alternatif pengendalian kelelahan dengan pengaturan stasiun kerja seergonomis mungkin maupun pemberian waktu istirahat yang cukup sambil melakukan gerakan relaksasi otot. Penelitianpenelitian yang dilakukan Pada sebuah penelitian Demure et al., 2000 menemukan bahwa terdapat efek positif dari pemberian suatu program intervensi yang meliputi 15 karakteristik ergonomis pada stasiun kerja terhadap penurunan kelelahan pada operator komputer. Terdapat kenaikan produktivitas pada operator komputer yang diberi suatu program intervensi yang meliputi perbaikan postur kerja, pemberian waktu istirahat pendek berulang sambil melakukan gerakan relaksasi otot. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita antara lain dinyatakan bahwa pekerja wanita berhak menerima upah yang sama dengan pekerja pria atas pekerjaan yang sama nilainya. Hal ini berarti pekerja wanita memiliki tanggung jawab yang sama akan kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. 1.2 Perumusan Masalah Kelelahan pekerja pada industri perakitan elektronik pada dasarnya untuk membentuk postur kerja tertentu. Keadaan ini diperburuk dengan tidak adanya alat pendukung kerja berupa kursi kerja yang ergonomis. Apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan dapat menimbulkan suatu penyakit akibat kerja yang akan mengurangi produktivitas dan diperlukan suatu cara untuk mengatasinya. Yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah; a. Apakah penerapan program ergonomi dapat mengendalikan kelelahan pekerja pada industri perakitan elektronik?

Anizar

48

Pengaruh Penerapan Program Ergonomi dalam Mengendalikan Kelelahan Pekerja Anizar

b. c.

Apakah penerapan program ergonomi dapat meningkatkan produktivitas kerja pada pekerja industri perakitan elektronik? Apakah ada persamaan peningkatan produktivitas kerja antara wanita dan pria pada industri perakitan elektronik?

1.3 Hipotesis Penelitian Suatu program ergonomi yang terdiri dari perbaikan tata letak tempat kerja, pemberian waktu istirahat berulang yang diikuti oleh gerakan relaksasi otot akan efektif menurunkan kelelahan operator pada industri perakitan elektronik. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerja Otot Statis dan Dinamis Otot adalah organ yang terpenting dalam system gerak tubuh. Otot dapat bekerja secara statis (postural) atau dinamis (rhythmic). Pada kerja otot dinamis, kontraksi dan relaksasi terjadi silih berganti sedangkan pada kerja otot statis, otot menetap dan berkontraksi untuk suatu periode waktu tertentu. Kerja otot statis dibutuhkan dalam membentuk postur tubuh oleh karena konstraksinya yang kontiniu maka bagian-bagian tubuh dapat dipertahankan berada pada posisi yang tetap. Keadaan peredaran darah pada kerja otot statis berbeda dengan kerja otot dinamis. Pada kerja otot statis, pembuluh darah tertekan oleh pertambahan tekanan dalam otot akibat kontrasi sehingga menyebabkan peredaran darah dalam otot terganggu. Kerja otot dinamis berlaku sebagai suatu pompa bagi peredaran darah. Kontraksi disertai pemompaan darah ke luar otot sedangkan relaksasi memberikan kesempatan bagi darah untuk masuk ke dalam otot. Dengan demikian peredaran darah meningkat dan otot menerima darah 10 sampai 20 kali keadaan kerja otot statis. Otot yang bekerja secara dinamis memperoleh banyak oksigen dan glukosa sehingga memiliki banyak tenaga sementara sisa metabolisme segera dibuang. Otot yang bekerja statis tidak memperoleh oksigen dan glukosa dari darah dan harus menggunakan cadangan yang ada. Lebih dari itu sisa metabolisme seperti asam laktat tidak dapat diangkut keluar akibat peredaran darah yang terganggu sehingga menumpuk dan menimbulkan rasa nyeri. Efek Kerja Otot Statis Kerja otot statis (postural) mencakup jenis pekerjaan yang berkepanjangan (prolonged) di mana level kontraksi konstan dan tidak berubah dalam satu satuan periode waktu yang bervariasi dari beberapa detik hingga beberapa jam. Kerja otot statis lebih cepat menimbulkan kelelahan. Terganggunya peredaran darah dan kurangnya oksigen merupakan fenomena kelelahan akibat kerja otot statis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Monod, kerja otot statis yang menggunakan tenaga sebesar 60% dari maksimum akan menyebabkan peredaran darah 2.2

terhenti sama sekali, pengerahan tenaga 50% dari maksimum dapat diterima otot untuk jangka waktu kerja selama 1 menit sedangkan pada pengerahan tenaga kurang dari 20% kerja dapat berlangsung lebih lama. Penelitian yang dilakukan oleh Nemecek dan Van Wely menyimpulkan bahwa kerja otot statis yang menggunakan tenaga 15% sampai 20% dari maksimum akan menimbulkan penyakit akibat kerja jika dibiarkan terus selama beberapa hari dan bulan. 2.3 Kelelahan Otot Pada dasarnya kelelahan menggambarkan 3 (tiga) fenomena yaitu perasaan lelah, perubahan fisiologis tubuh dan pengurangan kemampuan melakukan kerja. Kelelahan merupakan suatu pertanda yang bersifat sebagai pengaman yang memberitahukan tubuh bahwa kerja yang dilakukan telah mendekati batas maksimal kemampuannya. Kelelahan pada dasarnya merupakan keadaan fisiologis normal yang dapat dipulihkan dengan beristirahat. Kelelahan yang dibiarkan terus-menerus akan berakibat buruk dan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja. Terdapat 2 (dua) jenis kelelahan yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum Kelelahan otot merupakan suatu penurunan kapasitas otot dalam bekerja akibat kontraksi berulang. Kontraksi otot yang berlangsung lama mengakibatkan keadaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Secara subjektif kelelahan otot dapat digambarkan dengan adanya perasaan tertekan, berat seperti ada beban, kaku dan nyeri. Kelelahan otot dikenal dengan adanya perasaan tertekan dan lemah. Pada penelitian untuk memperoleh data tentang kelelahan sering digunakan kuesioner dengan skala bi-Polar maupun skala sifat seperti skala Borg maupun skala Semantik. Kuesioner dan skala ini dapat dimodifikasikan sesuai dengan kebutuhan data yang diinginkan peneliti. Produktivitas Kerja Secara umum, produktivitas mengandung pengertian perbandingan terbaik antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input). Sastrowinoto(1985) menyatakan bahwa produktivitas menggambarkan perbandingan antara rasio keluaran dengan masukan. Perbandingan terus mengalami perubahan karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, disiplin kerja, keterampilan, sikap kerja, motivasi, lingkungan kerja, dan lainnya 2.5 Penerapan Program Ergonomi Dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem di mana manusia, fasilitas kerja dan lingkungan kerja saling berinteraksi dengan tujuan utama menyesuaikan suasana kerja dengan manusia. International Ergonomic Association membagi ergonomi dalam 3 katagori utama yaitu Physical Ergonomics, Cognitive, Organizational Ergonomics. 2.4

49

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

2.6 Program Pengendalian Kelelahan pada Pekerja Postur kerja sering disebut juga sebagai posisi atau sikap tubuh dalam bekerja. Postur kerja di industri perakitan elektronik menuntut kerja duduk dalam jangka waktu lama dengan posisi lengan melawan gaya gravitasi dalam menyokong jari memegang komponen elektronik dan kepala menunduk (duduk membungkuk) untuk melihat komponen yang sangat kecil. Duduk dalam keadaan tegak lurus atau membungkuk dan duduk dalam waktu lama tanpa merubah posisi akan mempercepat terjadinya kelelahan. Posisi punggung yang membentuk sudut 100 sampai 130 derajat dengan paha dan alas duduk lebih dianjurkan oleh karena pada posisi ini tekanan antar ruas tulang belakang akan lebih berkurang dan otot punggung berada dalam keadaan lebih relaksasi karena bantuan dari sandaran punggung yang ikut menahan berat tubuh. Jenis kursi yang dapat disesuaikan (adjustable chair) sangat baik untuk kerja yang bersifat sedentary namun jika hal ini sulit untuk dilaksanakan maka kursi yang sesuai anthropometri suatu etnis dapat diberikan. Hasil lokakarya Penyusunan Norma Ergonomi di Tempat Kerja yang diselenggarakan oleh Lembaga Nasional Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja pada tahun 1978 berdasarkan anthropometri orang Indonesia untuk kerja duduk adalah 38 cm sampai 48 cm. Salah satu cara mengendalikan kelelahan otot pada pekeja adalah pemberian waktu istirahat pendek yang sering (micro breaks) untuk merubah posisi kerja dan relaksasi otot. Quitler (1997) menganjurkan pemberian waktu istirahat selama 5 menit setiap 30 menit bekerja. Suatu kegiatan untuk pelaksanaan kegiatan relaksasi otot sangat dibutuhkan oleh pekerja. Hal ini bisa diperoleh dengan beberapa cara sesuai kebutuhan dan kemampuan pekerja seperti berjalan di sekitar ruang kerja ataupun melakukan relaksasi (streatching). Gerakan relaksasi dapat dilakukan berupa melakukan setiap gerakan 3 sampai 5 kali di mana setiap gerakan tahan selama 5 sampai 10 hitungan sesuai dengan kebutuhan. Adapun gerakan otot tersebut terdiri dari: Otot leher, otot tangan, otot pergelangan tangan, otot lengan bawah, otot bahu, otot punggung bawah dan otot pinggang serta lengan atas. 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan program ergonomi dalam mengendalikan kelelahan pekerja terhadap produktivitas pekerja wanita dan pria pada industri perakitan elektronik di Kota Medan. 3.2 Manfaat Penelitian Manfaat daripada penelitian yang dilakukan adalah:

a. b. c.

Mengetahui tingkat kelelahan kerja sebelum dan setelah dilakukan penerapan program ergonomi. Mengetahui produktivitas kerja sebelum dan setelah dilakukan penerapan program ergonomi. Mengetahui manfaat diterapkannya program ergonomi di perusahaan.

4. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada salah satu industri pada stasiun monitor check. Survei awal yang dilakukan diketahui bahwa operator yang bekerja adalah wanita dan pria dengan postur kerja duduk dan waktu kerja 7 jam setiap hari selama 6 hari dalam seminggu. 4.2 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan bersifat penelitian terapan (applied research) dengan menggunakan metode eksperimen kuasi jenis one group pretest posttest design (Nawawi, 1996). 4.3 Variabel Penelitian Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas (x) yakni program ergonomi dan variabel terikat (y) yakni kelelahan kerja dan produktivitas kerja. 4.4 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah tenaga kerja wanita dan tenaga kerja pria yang bekerja sebagai operator di stasiun monitor check. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data primer dengan pengamatan langsung terhadap kondisi lingkungan kerja, pemberian kuesioner, pengukuran waktu reaksi, pengukuran produktivitas kerja. Data sekunder dikumpulkan melalui hasil laporan yang diperoleh dari berbagai pihak. 4.6 Alat Ukur Alat ukur yang dilakukan dalam penelitian adalah Whole Body Reaction Tester Model YB-1000. Pengolahan dan Analisis Data Berdasarkan kepada pendekatan dan jenis data yang dikumpulkan secara kuantatif dan kualitatif maka data yang dikumpulkan dilakukan perhitungan statistik dengan mencari rata-rata (mean) pre test dan nilai rata (mean) post test. Dilakukan uji t berpasangan (t paired test) dengan alpha = 0,5% untuk melihat perbandingan skor kelelahan sebelum dan setelah penerapan program ergonomi. Penentuan produktivitas kerja wanita dan pria dilakukan dengan menggunakan metoda analisis produktivitas. 4.7 4.5

50

Pengaruh Penerapan Program Ergonomi dalam Mengendalikan Kelelahan Pekerja Anizar

5. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Pengamatan dilakukan pada perusahaan elektronik yang mengahasilkan 3 jenis produksi yaitu Bracket MEM, Bracket MAEM, dan Rotor Assy (armature assy), akan tetapi terfokus pada Bracket MAEM. Proses perakitan elemen-elemen tersebut terdiri dari beberapa tahap yaitu: Proses Combaine, Press, Metal/washer dan Cone Press Fit, Brus Terminal Inserting, Press Fit, Monitor check, Case and Appearance dan Quality Control. 5.1.1 Sistem Kerja Monitor Check Sistem kerja yang ada pada stasiun monitor check terdiri dari monitor, belt conveyor, pinset, meja kerja dan kursi kerja. Posisi operator dalam melakukan pekerjaan adalah duduk pada kursi tanpa sandaran dengan ketinggian dari lantai 55 cm dengan sudut pandang 90 terhadap conveyor. Monitor berada di sebelah kiri operator dengan sudut padang 45. 5.1.2 Kondisi Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan kerja yang ada di PT Nando Karya Elektronik selama pengamatan dilakukan adalah: a. Temperatur ruangan berkisar 30C hingga 33, 5C. b. Kelembaban di dalam pabrik berkisar antara 6074%. c. Sirkulasi udara kurang baik karena kurangnya jendela/ventilasi sehingga pertukaran udara sangat lambat. d. Pencahayaan di ruangan pabrik cukup baik di mana sumber penerangan lampu neon 40 watt. Penempatan lampu di ruangan hanya berjarak 1,2 m dari meja kerja dan dipasang secara berjajar tanpa memperhatikan objek yang akan dirakit. e. Tingkat kebisingan yang ada di dalam ruangan antara 65-83 dB. f. Getaran mekanis secara umum di dalam ruang pabrik tidak terjadi. g. Bau-bauan di dalam ruang pabrik juga tidak mengganggu kenyamanan kerja. h. Warna dinding ruangan pabrik sudah terasa menyamankan suasana kerja. 5.1.3 Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian yang ditetapkan sekaligus merupakan populasi penelitian sebanyak 20 orang pekerja di stasiun monitor check. Karakteristik subjek penelitian yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, masa kerja, berat badan dan tinggi badan. Subjek penelitian seluruhnya merupakan tenaga kerja wanita dengan usia berkisar antara 23 tahun sampai 27 tahun. 5.1

5.2 Hasil Pengukuran 5.2.1 Pengukuran Kelelahan dengan Kuesioner Hasil pengukuran yang dilakukan terhadap pekerja menunjukkan adanya penurunan skor kelelahan sesudah diterapkan program ergonomi. Tingkat kelelahan responden bervariasi pada saat sebelum (pretest) dan pada saat setelah (posttest). Kebanyakan responden mengalami kelelahan tingkat 6 sebanyak 35% 45% pada saat sebelum diterapkan program ergonomi (pretest) dan kelelahan tingkat 4 sebanyak 25% 55% pada saat program ergonomi telah diterapkan (posttest). Pada umumnya kelelahan yang dialami oleh responden merata pada semua regio. Berdasarkan kepada analisis statistik dengan menggunakan uji t berpasangan (t paired test) maka terlihat adanya perbedaan skor kelelahan yang signifikan sebelum dan setelah diterapkannya program ergonomi. Pada umumnya terdapat perbedaan nilai yang signifikan hampir sama pada semua regio. Terlihat bahwa angka probabilitas yang diperoleh pada pretest dan posttest penerapan program ergonomi sebesar 0,000 di mana nilai tersebut jauh lebih kecil daripada 5% (0,05) sehingga menunjukkan suatu perbedaan yang signifikan terhadap penurunan tingkat kelelahan pekerja pada stasiun monitor check. Nilai t empiris jauh lebih besar dari nilai t tabel pada 5% rata(0,05) uji 1 ekor di mana nilai t berada pada posisi penolakan Ho atau penerimaan Ha. Tabel 1. Distribusi Persentase Tingkat Kelelahan Pretest dan Posttest
Pretest Posttest Beda Nilai t P % Penurunan Skor Kelelahan

Regio Otot

Leher/ tengkuk Bahu Punggung Atas Pinggang Punggung Bawah Lengan Atas Lengan Bawah Pergelangan tangan Skor Kelelahan Otot Total

5,40 5,30 5,30 5,35 5,35 5,00 5,05 5,05 41,80

3,25 3,30 3,30 3,15 3,30 2,90 2,90 2,90

2,15 11,83 0,00 39,81 2,00 12,33 0,00 37,74 2,00 7,96 0,00 37,74

2,20 10,34 0,00 41,12 2,05 7,18 0,00 38,32

2,10 11,02 0,00 42,00 2,15 2,15 9,73 0,00 42,57 9,73 0,00 42,57

25,00 16,80 80,12 0,00 40,19

51

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

5.2.2 Pengukuran Kelelahan dengan Whole Body Reaction Tester Pengukuran waktu reaksi (kecepatan reaksi) dengan menggunakan peralatan Whole body reaction tester dilakukan terhadap operator stasiun monitor check yang berjumlah 20(dua puluh) orang. Kecepatan reaksi yang diketahui dari data yang dihasilkan oleh peralatan memperlihatkan bahwa selama 6(enam) hari kerja terdapat fluktuasi pada waktu reaksi yang diperoleh. Waktu reaksi operator sebelum penerapan program ergonomi rata-rata berkisar 1,02 menit hingga 1,23 menit. Setelah dilakukan penerapan program ergonomi pada umumnya waktu reaksi mengalami peningkatan jika diamati selama satu hari kerja dengan rata-rata berkisar antara 0,92 menit hingga 1,15 menit. 5.2.3 Pengukuran terhadap Produktivitas Pengukuran terhadap produktivitas dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap waktu yang dibutuhkan. Produktivitas operator stasiun monitor check pada industri perakitan elektronik dapat dihitung dari waktu siklus. Deskripsi daripada waktu operasi 1 siklus adalah operator mengambil bracket, operator memeriksa bracket melalui layar monitor, memposisikan brush terminal dengan pinset, dan meletakkan bracket di palet. 5.3 Pembahasan 5.3.1 Pengukuran Kelelahan dengan Kuesioner Hasil perhitungan statistik dengan uji-t berpasangan menunjukkan adanya perbedaan skor kelelahan yang signifikan sebelum dan setelah penerapan program ergonomi di mana terlihat skor rata-rata kelelahan setelah penerapan lebih kecil daripada sebelumnya sehingga hipotesis penelitian terjawab. Sebelum penerapan program ergonomi, skor rata-rata kelelahan operator sebesar 5,23. Skor rata-rata kelelahan yang nyaris sama pada setiap regio otot. Kebanyakan responden mengalami skor kelelahan tingkat 6(40%) untuk seluruh regio. Setelah penerapan program ergonomi, terjadi penurunan skor kelelahan pada seluruh responden (100%). Skor kelelahan rata-rata menjadi 3,13 dengan skor kebanyakan responden berada pada tingkat kelelahan 4 (regio bahu, punggung atas, lengan atas, tengkuk/leher) dan tingkat kelelahan 3 (regio pinggang, pergelangan tangan, punggung bawah, lengan bawah). Data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata penurunan skor kelelahan sebelum dan sesudah penerapan program ergonomi sebesar 2,1 atau sekitar 2 tingkatan. Penurunan kelelahan sekitar 2 tingkat, pada akhirnya menjadi berarti karena pada umumnya terjadi pada 8 regio setiap responden. 5.3.2 Pengukuran Kelelahan dengan Whole Body Reaction Tester Analisis statistik dengan uji t-berpasangan (t paired test) terhadap data waktu reaksi operator

yang diperoleh dari whole body reaction tester terlihat adanya perbedaan skor kelelahan yang signifikan antara sebelum dan setelah penerapan program ergonomi. Sebelumnya nilai rata-rata waktu reaksi sebesar 0,6505 sedangkan setelahnya nilai rata-rata waktu reaksi sebesar 0,7155. Hipotesis untuk hal ini adalah: H0 : D = 0, berarti kedua rata-rata nilai skor adalah identik (di mana rata-rata waktu reaksi sebelum dan setelah penerapan program ergonomi adalah sama/tidak berbeda secara nyata). H1 : D 0, berarti kedua rata-rata nilai skor adalah tidak identik (di mana rata-rata waktu reaksi sebelum dan setelah penerapan prgogram ergonomi adalah berbeda secara nyata). Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan paired samples test (perbandingan t hitung dengan t tabel) maka dilakukan uji 2 sisi dengan tingkat signifikansi sebesar 5% dan derajat kebebasan (df) sebesar 19 maka diperoleh t hitung 6,034 dan t tabel sebesar 2,093. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima berarti dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan program ergonomi mempengaruhi kelelahan otot statis yang operator stasiun monitor check yang terlihat dari skor waktu reaksi. Probabilitas sebesar 0,025 adalah jauh lebih kecil dari (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan program ergonomi membuat rata-rata kelelahan otot statis menjadi berbeda pula secara nyata. Uji satu sisi yang dilakukan dengan derajat kebebasan (df) 19 dan (0,025) diperoleh t hitung sebesar 6,034 dan t tabel sebesar 2,093 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan yang dapat diambil adalah penerapan program ergonomi ternyata menurunkan kelelahan otot statis operator stasiun monitor check. 5.3.3 Pengukuran terhadap Produktivitas Berdasarkan perhitungan tsb. maka waktu standar yang diperoleh dari metode kerja usulan lebih singkat dari metode kerja sekarang sehingga selain dapat mempersingkat waktu penyelesaian juga dapat meningkatkan jumlah produksi. Peningkatan jumlah produksi dapat diperoleh karena berkurangnya waktu yang diperlukan untuk relaksasi otot leher. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk relaksasi otot leher dalam satu shift kerja adalah 40 menit untuk metoda kerja sekarang sedangkan untuk metode usulan hanya butuh waktu 15 menit.

52

Pengaruh Penerapan Program Ergonomi dalam Mengendalikan Kelelahan Pekerja Anizar

Tabel 2.

Perbandingan Keluaran (Output) Metode Kerja Sekarang dengan Usulan


Metoda Kerja Sekarang 380 menit 1,88 detik 12.127 unit Metoda Kerja Usulan 405 menit 1,78 detik 13.659 unit

4.

Uraian Waktu kerja efektif dalam 1 shift Waktu standar Penyelesaian Jumlah produk yang dihasilkan

reaksi rata-rata 0,6505 sedangkan setelah penerapan program ergonomi rata-rata 0,7155. Produktivitas pekerja stasiun monitor check mengalami peningkatan setelah diterapkan program ergonomi maka terjadi peningkatan efektifitas waktu kerja dalam 1 shift dari 380 menit menjadi 405 menit. Waktu standar penyelesaian pekerjaan meningkat sebesar 0,10 detik dari 1,88 detik menjadi 1,78 detik. Jumlah produk yang dihasilkan meningkat sebesar 1.532 unit.

6. KESIMPULAN 1. Penerapan program ergonomi yang dilakukan pada industri elektronik dapat mengendalikan kelelahan pekerja (operator monitor check). Program ergonomi yang diterapkan berupa pemberian waktu istirahat berulang, pelaksanaan relaksasi otot dan perbaikan tata letak tempat kerja. Hal tersebut terlihat dari skor penurunan kelelahan otot total yang mencapai 40,19%. 2. Sebelum penerapan program ergonomi, skor rata-rata kelelahan operator sebesar 5,32 di mana kebanyakan responden mengalami skor kelelahan tingkat 6 untuk seluruh regio. Setelah dilakukan penerapan program ergonomi maka skor rata-rata kelelahan turun menjadi 3,13 dengan kelelahan tersebar pada kelelahan tingkat 3 dan 4. 3. Penerapan program ergonomi memberi pengaruh terhadap kecepatan reaksi operator stasiun monitor check. Operator yang bekerja sebelum penerapan program ergonomi memiliki waktu

DAFTAR PUSTAKA Eko Nurmianto, 2003, Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi Pertama. Prima Printing, Surabaya. Sumamur, P.K, 1996, Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung Agung, Jakarta. Sumamur, P.K, 1989, Ergonomi Untuk Produktivitas kerja. PT. Toko Gununng Agung, Jakarta. Sutalaksana, I. Z, 1979, Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Tarwaka., Solichul., Sudiajeng, L. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Surakarta. Wignjosoebroto, S. 1995, Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Jakarta: Candimas Metropole, Edisi Pertama.

53

ALTERNATIF SOLUSI KEMACETAN LALU LINTAS DI KOTA MEDAN


Dosen Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik USU Medan Abstract: Urban sprawl development for Medan City unites the business and trade centres and the government centre in the CBD area of Medan. Tentative concept of Urban Spatial Arrangement causes the City Government of Medan has no power and authority on deciding locations for the businesses of investors in accordance with the RTRW Master Plan and so far the spatial arrangement and the urban transportation systems follow the desires of the investors. Consequently, this causes severe traffic jam that could spread to whole the city area and spread to whole time because the distribution of the traffic is focused on the CBD area and as well causes air and noise pollution, low health quality and decreases morality of inhabitants which further increases the criminality level of the city. The concept of satellite cities is offered to be applied in Medan. In addition the revitalization of public transport systems, which is also the core problem of traffic in Medan, is also offered in this paper. PENDAHULUAN Dampak yang meresahkan dari perkembangan kota yang tidak terarah dan tidak terkontrol adalah kemacetan sistem lalu lintas yang dapat menyebar ke seluruh wilayah kota, waktu tempuh ke tempat kerja semakin panjang dan biaya perjalanan juga semakin tinggi akibat bertambahnya penggunaan BBM yang selanjutnya menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja karena stres dalam kemacetan. Sisi lain yang tak kalah penting adalah minimnya akses untuk jalur hijau atau open space seperti taman yang merupakan paru-paru kota, tingginya kebutuhan akan pengadaan infrastruktur baru, tingginya polusi udara, polusi air dan suara, rendahnya mutu kesehatan hingga menurunnya tingkat moralitas penduduk yang mengakibatkan tingginya tingkat kriminalitas perkotaan. Belum adanya konsep tata ruang yang jelas dan tegas untuk Kota Medan secara menyeluruh terintegrasi dengan rencana jaringan transportasi untuk jangka panjang dan bukan hanya untuk 5-10 tahun mendatang saja mengakibatkan perkembangan Kota Medan tidak terarah dan mementingkan keuntungan sesaat saja, maksudnya tidak mengutamakan perkembangan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Misalnya belum memperhatikan nilai estetika atau keindahan kota dan tidak adanya jalur hijau atau taman kota di wilayah inti kota khususnya. Konsep tata ruang yang tidak jelas dan tegas juga mengakibatkan nilai jual Kota Medan bagi investor sangat rendah karena tidak adanya kepastian (sewaktu-waktu segala sesuatu dapat berubah bergantung situasi atau political will Pemko Medan). Sekalipun mungkin setiap tahun RTRW Kota Medan direvisi namun karena Pemko Medan tidak berdaya mengatasi kekuatan pasar maka selama ini yang terjadi adalah penataan ruang dan sistem transportasi perkotaanlah yang mengikuti selera pasar yang mana semestinya Pemko Medanlah yang menentukan bagi pasar/investor lokasi-lokasi untuk daerah bisnis dan perdagangan, perumahan ataupun perkantoran. 1. Pembangunan Kota Medan yang bersifat setempat saja yakni hanya di wilayah inti kota (CBD) sama sekali tidak dapat dibenarkan sekalipun dengan alasan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Adanya pertumbuhan pusat bisnis dan perbelanjaan di lokasi yang sama dengan pusat pemerintahan Kota Medan yakni di wilayah inti kota mengakibatkan distribusi lalu lintas hanya terkonsentrasi pada satu wilayah atau zona saja. Hal ini mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang parah di inti kota yang menyebar ke seluruh wilayah Kota Medan khususnya pada peak-hours. Selain itu terjadi ketimpangan yang mencolok antara warga yang tinggal di wilayah inti kota dengan warga yang tinggal di wilayah pinggiran Kota Medan. Barangkali alternatif solusi yang paling ampuh untuk mengatasi kesemrawutan perkembangan Kota Medan serta juga menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas ini adalah dengan mengadakan pembangunan kota-kota baru ataupun kota-kota satelit di wilayah batas kota (wilayah pinggiran) seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain, yang berhasil misalnya Turki, Jepang dan RRC. Pembangunan kota satelit dapat dilakukan dengan membangun dan mengembangkan lapangan pekerjaan dan aktivitas komersial ke suatu lokasi baru yang jauh dari wilayah inti kota namun tetap dihubungkan oleh sistem jaringan transportasi yang memadai dengan pusat kota. Konsep kota satelit yang menginginkan penduduknya bekerja dan beraktivitas di dalam kota satelit tersebut dapat meningkatkan efisiensi penggunaan angkutan umum, misalnya rute menjadi lebih pendek. Juga dapat mengurangi penggunaan kenderaan pribadi serta meningkatkan pengunaan sepeda dan fungsi pejalan kaki/pedestrian. Hal ini juga dapat mengurangi penggunaan kenderaan pribadi, sehingga kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara yang mengakibatkan rendahnya mutu kesehatan penduduk terutama anak-anak dapat

Filiyanti T.A. Bangun

54

Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun

berkurang. Keuntungan lain dari adanya kota satelit yakni dapat mengoptimalkan kelangsungan usaha daripada fasilitas-fasilitas kota seperti toko, sekolah, klinik dan praktik dokter sampai halte yang terletak dekat dengan rumah-rumah penduduk. Namun ternyata pengadaan kota-kota satelit seperti Bintaro dan BSD (Bumi Serpong Damai) yang terdapat di Jakarta ternyata tidak dapat mencapai tujuan daripada pengadaan kota satelit tersebut. Hal ini disebabkan bahwa penduduk yang berdiam di kota satelit tersebut belum tentu bekerja, bersekolah atau berbisnis di dalam kota satelit tersebut. Selain itu fasilitas kota satelit tersebut juga belum tentu sesuai dengan keinginan penduduknya sehingga sebaran kemacetan lalu lintas tetap saja terjadi. Bagaimana dengan Kota Medan? Konsep kota satelit yang bagaimana sebaiknya dilaksanakan untuk Kota Medan sehingga dapat mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di Kota Medan khususnya di wilayah inti kota? Sebaiknya daerah mana yang dapat menjadi lokasi-lokasi baru bagi kota-kota satelit tersebut? Apakah konsep kota satelit dapat menyelesaikan masalah sistem angkutan umum (angum) di Kota Medan yang tak kalah peliknya? Adakah alternatif solusi percepatan pemberdayaan sistem angum di Kota Medan ? 2. KONSEP KOTA SATELIT BAGI KOTA MEDAN Jadi sebenarnya setiap kota yang notabene punya masalah kota dan masalah lalu lintas tersendiri yang khusus dan berbeda di tiap-tiap kota mestinya punya konsep kota satelit tersendiri. Semestinya masalahmasalah khusus kota tersebut diselesaikan terlebih dahulu agar pengembangan kota satelit dapat maksimal fungsinya. Keberadaan pusat pemerintahan dan pusat bisnis dan perbelanjaan di dalam satu wilayah/zona yang sama yakni di inti kota adalah masalah yang mendasar dan utama bagi Kota Medan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena sekalipun dibangun kota-kota satelit misalnya di wilayah-wilayah lingkar luar, maka kemacetan tetap saja akan terjadi di inti kota yang menyebar ke seluruh penjuru Kota Medan. Jadi aktivitas-aktivitas apa saja yang semestinya disatelitkan terlebih dahulu di Kota Medan ? 1. Pusat Pemerintahan: Sudah saatnya Pemko Medan memikirkan lokasi baru bagi pusat pemerintahan Kota Medan, maksudnya seperti Kantor Walikota, Kantor Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Dinas Tarukim, TKTB, Kantor DPRD/DPR Provsu, Kantor Imigrasi dan semua instansi-instansi pemerintah berada pada satu lokasi yang sama. Dengan demikian masyarakat yang ingin mengurus keperluannya terkait dengan instansi pemerintah, hanya perlu travel ke satu tempat saja. Selanjutnya dikembangkan juga perumahan-perumahan,

2.

3.

4.

5.

khususnya bagi para pegawai pemerintahan tersebut beserta dengan segala fasilitasnya seperti toko,-toko, rumah sakit, sekolah dan fasilitas rekreasi. Sarana infrastruktur yang menghubungkan pusat pemerintahan ini ke inti kota dan juga ke bagian-bagian Kota Medan lainnya juga hendaknya direncanakan dengan maksimal. Proses pengembangan kota satelit ini akan berjalan secara alamiah, dan perlahan-lahan akan dapat menjadi suatu Kota Mandiri. Hal yang signifikan yang langsung terjadi dengan adanya re-alokasi pusat pemerintahan ini adalah terdistribusinya sistem lalu lintas Kota Medan sehingga tidak hanya menuju inti kota saja. Pusat Bisnis dan Perbelanjaan: tetap dikembangkan di wilayah inti kota yang dengan sendirinya akan berkembang memenuhi segala kebutuhan akan fasilitas-fasilitasnya yang sesuai seperti hotel, kondominium, apartemen, rumah sakit ataupun exhibition center. Pusat Pendidikan Tinggi Swasta: banyaknya pertumbuhan perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) di wilayah inti kota., misalnya: Microskill di Jl. Thamrin, STIE di Jl. Sungai Deli atau LP3I di Jl. Gajah Mada dan kursus-kursus keahlian jangka pendek seperti kursus komputer, akutansi serta bahasa yang menyebar di seluruh wilayah inti kota. Pelajar-pelajar PTS ini pada umumnya menggunakan kenderaan pribadi sehingga dapat dibayangkan pada saat masuk dan keluar kegiatan perkuliahan selalu membuat macet daerah sekitar lokasi kegiatan. Bila semua PTS ini dapat diarahkan terkonsentrasi dalam satu lokasi yang sama (ruislag) sehingga berkembang pula rumah-rumah kost, flat/apartemen bagi pelajar baik swasta maupun milik Pemda sendiri yang dapat menambah pemasukan bagi Pemda, cafe serta fasilitas hiburan dan rekreasi. Bila PTSPTS ini tidak segera dialokasikan pada satu wilayah yang sama yang secara alamiah akan berusaha mengembangkan kebutuhannya akan penggunaan gedung, maka dapat dipastikan 5-10 tahun mendatang pertumbuhan dan perkembangan PTS ini akan semakin tidak terkontrol yang akan sangat berdampak pada kemacetan lalu lintas. Pusat Industri: tetap dikembangkan di kawasan utara Kota Medan, termasuk rencana pengembangan Pelabuhan Belawan menjadi Hub-Port Internasional, Pabrik Finishing Industrial di wilayah sekitar Belawan, pengembangan KIM (Kawasan Industri Medan), Pengembangan Airport Internasional Kuala Namu serta rencana sistem infrastruktur yang menghubungkan ketiga kegiatan urat nadi kota satu dengan lainnya dan terhadap wilayah inti kota dan pusat pemerintahan. Pusat Automobile (Showroom), Penjualan Spareparts dan Perbengkelan: tingginya pertumbuhan mobil-mobil pribadi maupun

55

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

sepeda motor dengan berbagai jenis merek dengan kelebihan dan kekurangan dari masingmasing merk mobil tersebut, menjadikan kebutuhan akan spareparts, showrooms dan perbengkelan yang signifikan bagi masyarakat Kota Medan. Bila semua kegiatan yang berhubungan dengan automobile ini ditempatkan dalam satu wilayah yang sama, maka selain signifikan mengurangi kemacetan lalu lintas, juga akan lebih menguntungkan pengusaha automobile tersebut karena terkonsentrasi dalam satu wilayah. Selanjutnya juga akan berkembang di kawasan ini fasilitas perumahan bagi pengusaha maupun pegawai, cafe, resto, dan fasilitas hiburan/rekreasi lainnya. Jadi untuk Kota Medan realokasi pusat pemerintahan, pusat industri, pusat pendidikan tinggi swasta dan pusat automobile dalam masing-masing wilayah yang terkonsentrasi merupakan masalah mendasar bagi Kota Medan. Bila hal ini tidak dilakukan pada tahap awal maka rencana pembangunan kota-kota satelit atau kota-kota mandiri lainnya, seperti pengembangan kawasan eks Bandara Polonia dan kawasan outer ring-road Kota Medan tidak akan maksimal tercapai tujuannya dan kemacetan lalu lintas terutama di inti kota sebaliknya akan semakin parah. Dan bila hal ini tidak segera ditangani, maka dalam tempo 1015 tahun mendatang, Kota Medan dapat mengalami grid-lock atau macet total dan perkembangan Kota Medan akan semakin tidak terkontrol atau terarah. Dan yang saat ini nyata terjadi bahwa semakin bertambahnya mall atau plaza-plaza yang menjadi sepi pengunjung dan tidak menguntungkan. Namun bila realokasi kelima pusat kegiatan tersebut di atas dilaksanakan maka secara alamiah investor juga akan mulai menanamkan modalnya untuk pengembangan kawasan-kawasan tersebut sehingga dapat meratakan pembangunan dan meningkatkan kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan bukan hanya di wilayah inti kota saja seperti yang terjadi pada saat ini. Itulah sebabnya, bila Medan memiliki suatu konsep Tata Ruang yang jelas dan tegas, akan semakin menambah nilai jual kota terhadap investor. Hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan bagi Pemko Medan dalam membangun dan mengembangkan pusat-pusat kegiatan tersebut hendaknya juga memperhatikan nilai seni yang dapat mengundang pariwisata yang akan dapat meningkatkan PAD. Misalnya bagaimana masyarakat dapat menikmati gaya arsitektur bangunan-bangunan dan bagaimana masyarakat tetap dapat berekreasi mendapatkan hiburan sekalipun berada di lokasi perkantoran ataupun pendidikan, seperti contoh kota satelit Putra Jaya yang memiliki bangunan-bangunan perkantoran dengan berbagai style yang berbeda dengan fasilitas rekreasi danau buatan. Dengan demikian, kelangsungan hidup daripada pusat-pusat kegiatan tersebut dengan segala fasilitasnya akan lebih terjaga.

Selain masalah keberadaan tata ruang, Medan juga mempunyai masalah mendasar lainnya yang juga menjadi penyebab utama kemacetan lalu lintas, yakni masalah angkutan umum (angum). Apakah dengan adanya realokasi kelima pusat-pusat kegiatan tersebut akan menjamin solusi bagi kemacetan lalu lintas di Kota Medan khususnya masalah sistem angum di Kota Medan yang tak kalah peliknya? Adakah alternatif solusi percepatan pemberdayaan sistem angum di Kota Medan? Hal ini selanjutnya akan dibahas pada sesi berikut ini. 3. SOLUSI PERCEPATAN PEMBERDAYAAN SISTEM ANGKUTAN UMUM DI KOTA MEDAN

3.1 Hambatan dalam Pembenahan Sistem Angkutan Umum di Kota Medan Di Kota Medan, angkutan umum penumpang terdiri dari berbagai jenis moda angkutan darat, seperti: becak (dayung dan bermotor), taksi, mobil penumpang umum (MPU) dan bus damri. Data dari Dinas Perhubungan Kota Medan didapat bahwa sampai tahun 2003, jumlah armada angkutan umum (angum) yang beroperasi sudah sekitar 7.583 unit (plafon 15.272 unit) dengan 248 trayek, jumlah armada taksi yang beroperasi 1187 unit (plafon 2545 unit), becak (dayung dan bermotor) sekitar 18.800 unit. Selama tahun 2004-2005 jumlah armada angkutan umum penumpang yang beroperasi jelas semakin meningkat, ditambah lagi dengan bertambahnya angkutan becak mesin baru (jenis honda win) dan angkutan kancil. Untuk kondisi Kota Medan, pemilik-pemilik angkot pada umumnya adalah perorangan sehingga terdapat begitu banyak stakeholders angum di Kota Medan. Hal ini mengakibatkan sulitnya untuk mengontrol, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pelayanan angum tersebut apalagi menjaga mutu pelayanannya. Izin operasional diberikan untuk kenderaan dan bukan untuk trayek. Jadi setiap pemilik angkutan mengurus izin trayek untuk kenderaannya dan hal ini sering sekali dijadikan sebagai uang masuk bagi oknum pemerintah terkait baik itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan dinasnya. Juga izin dikeluarkan selalu berdasarkan jumlah plafon maksimal tanpa memperhitungkan demand penumpang dan evaluasi hasil operasi di lapangan yang seharusnya mempertimbangkan jumlah plafon minimal armada trayek. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan (dealer) kenderaan angum yang mungkin saja bekerjasama dengan oknum pemerintah dari dinas terkait dapat mengambil keuntungan dari penjualan kenderaan angum serta pengurusan izin trayek sehingga modal dasar operator menjadi sangat tinggi yang mengakibatkan tingginya setoran yang diwajibkan operator terhadap pengemudi angum ditambah dengan Biaya Operasional Kenderaan (BOK) dan biaya-biaya informal rutin. Kelemahan

56

Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun

daripada sistem setoran ini adalah baik pemilik maupun pengemudi tidak mempunyai kewajiban untuk menjaga kualitas pelayanan dan setiap pemilik kendaraan mengawasi dengan caranya sendiri, tidak sesuai dengan kemauan pengguna ataupun belum ada batasan mutu minimal pelayanan yang diterapkan. Pemerintah memberlakukan tarif tetap untuk angum yang disesuaikan dengan willingness atau daya beli masyarakat, namun tidak memperhitungkan modal dasar operator yang tinggi serta BOK seperti harga BBM, biaya pengurusan STNK dan biaya pemeliharaan kenderaan. Sampai saat ini belum ada subsidi dalam bentuk apapun dari Pemda/Pemnas untuk angkutan umum. Setoran yang tinggi ditambah dengan pungutan informal (iuran di terminal asal dan tujuan serta iuran rutin per hari), tidak ada subsidi dari pemerintah, besarnya modal dasar kenderaan, jumlah armada angum yang besar dengan jumlah trayek yang begitu banyak (rute yang tumpang tindih yang tidak sebanding dengan demand penumpang), persaingan antar tipe angum (angkot, becak mesin, taxi, kancil) yang mengakibatkan persaingan antar eksternal dan internal koperasi angum yang tidak sehat dan mengakibatkan mutu pelayanan angum sangat rendah. Kasat mata memang terlihat bahwa pengoperasian angum dengan berbagai jenis tipe dan ukuran tidak disiplin dalam berlalu lintas di jalan, bagaikan raja jalanan, seperti: berhenti di sembarang tempat di badan jalan, sering melanggar aturan lampu persimpangan (merah bisa jalan, hijau bisa berhenti bila perlu), menyalip (overtaking) kenderaan lain tanpa mempertimbangkan lalu lintas sekitarnya dengan alasan kejar setoran. Masalah angum perkotaan lainnya yang turut menambah ruwetnya masalah angum di Kota Medan yakni keberadaan pool-pool angkutan antar kota di sisi jalan-jalan utama (arteri primer) yang masih masuk wilayah Kota Medan yang mengambil alih peranan angum perkotaan serta masalah manajemen terminal yang belum tertata serta munculnya terminal bayangan di jalan-jalan utama (seperti di: Sp. Amplas, Sp. Limun, Sp. Kampus USU, Sp. Sumber, Sp. Halat, Sp. Aksara, dsb.) untuk menunggu penumpang (ngetem). Adakah sistem lain yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memperbaiki sistem angkutan umum perkotaan di Kota Medan saat ini? Apakah para decision makers Kota Medan masih terkesan apatis dalam membenahi Kota Medan? Bagaimana dengan krisis kepercayaan masyarakat yang semakin menurun terhadap para decision makers kota? Bila para komponen yang terlibat dalam angum, seperti Pemko (Dinas Perhubungan/DLLAJ, Bappeda), Polisi Lalu lintas (Satlantas), Koperasi Angkutan Umum (KPUM, Rahayu, Morina, Perum Damri, dsb), Organisasi Masyarakat/LSM, Jasa Raharja dan juga para perusahaan (dealer) kendaraan serta para Preman Setempat (PS) di lapangan, tidak melakukan pembenahan baik terhadap internal maupun eksternal komponen tersebut sejak dini, maka permasalahan ini

akan semakin kompleks yang tentu saja akan berakibat pada kerugian-kerugian sosial yang semakin parah sehingga pada satu waktu akan berakhir dengan grid lock (lumpuh total). 3.2 Contoh Kasus Revitalisasi Pelayanan Angkutan Umum di Bogota Satu kasus menarik terjadi di Bogota (ibukota negara Kolumbia) yang dapat dijadikan pelajaran dan teladan bagi masyarakat Kota Medan dalam merevitalisasi sistem angumnya. Bogota mempunyai sistem angum, kondisi internal/eksternal komponen terkait serta kondisi pelayanan angum yang persis sama dengan kondisi sistem angum di Indonesia khususnya dengan Kota Medan seperti yang telah diuraikan di atas yakni kesamaan dalam sistem kejar setoran, sistem izin trayek, sistem tarif dan sistem institusional angumnya. Namun sejak 1998, setiap komponen terkait dan jajarannya sepakat mengubah pola pikir dengan paradigma yang lama secara bertahap sehingga pada Desember 2000 Bogota memulai dengan satu sistem angum BRT yang disebut Transmilenio. Setiap kali armada articulated bus Transmileneo ditambah maka jumlah armada angum yang lama berkurang ataupun dijadikan sebagai pendukung pada sistem feeder service (angkutan pengumpan) pada koridor-koridor pelayanan BRT Transmilenio tersebut. Operator serta pengemudi angum yang lama tetap dilibatkan dalam pengembangan BRT tersebut menurut kebijakan yang ditetapkan. Penerapan sistim angum seperti yang dilakukan Bogota kemudian dilakukan oleh developing countries yang lain dengan sukses seperti di Curitiba, Quito (Equador), Sao Paulo, Goiania (Brazil) dan Santiago (Chile). Teknik/metode perubahan sistem angum yang bagaimana yang dilakukan oleh Bogota? Sesi berikut akan membahas teknik/metode yang sebaiknya diadopsi oleh Kota Medan yang disesuaikan dengan kondisi serta permasalahan angum di Kota Medan sendiri yang dapat dijadikan alternatif solusi untuk percepatan pemberdayaan dan revitalisasi sistem angum perkotaan untuk mendukung sistem transportasi Kota Medan di masa mendatang, khususnya untuk mengantisipasi rencana pembangunan monorel di Kota Medan. 3.3 Rekomendasi Metode Percepatan Pemberdayaan Pelayanan Angkutan Umum Kota Medan Satu alternatif solusi untuk pemberdayaan angum perkotaan di Kota Medan secara maksimal adalah dengan mengadakan manajemen satu payung bagi angum perkotaan. Bila masyarakat sekarang ini sulit untuk mempercayai Pemda/Pemko, maka dibentuklah suatu badan/lembaga yang anggotanya dipercaya oleh baik masyarakat umum maupun Pemko Medan yang dapat menjembatani kedua belah pihak untuk duduk bersama mendiskusikan segala sesuatu perubahan dalam sistem angum perkotaan,

57

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

misalnya seperti Dewan Transportasi Kota Medan atau Badan Koordinasi Transportasi Kota Medan atau Badan Otorita Angkutan Umum/BOAU Kota Medan (Heru Sutomo, 2005). Perubahan-perubahan apa sajakah yang perlu dilakukan dalam sistem angum di Kota Medan? 3.3.1 Sistem Perizinan: Izin trayek diberikan pada satu perusahaan dan bukan kepada perorangan untuk mengoperasikan satu trayek secara keseluruhan melalui tender. Prinsip tender per trayek tersebut adalah sebagai berikut: a. Untuk rute gemuk penumpang: yang menjadi pemenang tender adalah perusahaan yang dapat memberi keuntungan terbesar kepada BOAU. Misalnya bila pada umumnya occupancy kenderaan untuk trayek A adalah 80% namun bila dengan adanya pembenahan dalam sistem, pengusaha yakin akan mendapatkan 95% occupancy, maka pengusaha dapat menentukan 5% profit diberikan ke BOAU dan 10% profit merupakan hak pengusaha. Profit/pendapatan ini dapat digunakan BOAU untuk mengembangkan sistem ataupun sebagai subsidi terhadap pengusaha untuk rute kurus penumpang. b. Untuk rute kurus penumpang: yang menjadi pemenang tender adalah perusahaan yang meminta subsidi yang paling minimum dari Pemda. Subsidi ini dapat berasal dari profit yang diberikan oleh pengusaha yang memiliki rute gemuk penumpang (subsidi silang) ataupun dari sumber daya Pemda sendiri. Bila ada investor kecil yang hanya mampu memiliki beberapa kenderaan saja ingin menanamkan modalnya pada rute-rute tersebut, dapat menghubungi pemenang tender untuk bekerjasama, namun penanggung jawab operasional tetaplah perusahaan pemenang tender. Pengusahaan angum oleh pemenang tender mempunyai jangka waktu tertentu dan dievaluasi pelaksanaannya sebagai pedoman dalam penentuan pemenang tender periode berikutnya. Sistem ini memberikan kesempatan pada kekuatan pasar untuk mempengaruhi kualitas pelayanan dan harga tiket/tarif angum. Izin bentuk dan tipe angkutan ditentukan oleh pemerintah. Misalnya untuk trayek A jenis angkutan adalah tipe bus sedang dengan kapasitas maksimal 40 seats, dan untuk trayek B dengan tipe bus kecil dengan kapasitas penumpang 14 seats. Jadi bagi setiap perusahaan pemenang tender haruslah menyediakan tipe angkutan yang sesuai.

3.3.2 Sistem Gaji bagi Supir Angum Apa keuntungan sistem gaji dibandingkan sistem setoran dalam sistem angum? Adanya kepastian pendapatan bagi pengemudi angum akan mengurangi ketidakdisiplinan pengemudi angum di jalanan sehingga umur kendaraan juga akan lebih lama. Schedule kedatangan/keberangkatan angum juga dapat diatur sehingga dengan jadwal yang pasti para penumpang tidak akan memaksakan diri untuk berjejalan di satu kendaraan (overcrowded) karena kendaraan berikut sudah dijadwalkan. Selain itu pengemudi angum juga akan menanggung denda/sanksi tilang bila melanggar peraturan lalu lintas (Iwan Margono, 2004). 3.3.3 Sistem Retribusi Hapuskan istilah pagar makan tanaman bagi pihak Pemda (Heru Sutomo, 2005). Pos-pos pemasukan bagi Pemda sehubungan dengan angum jangan lagi ditargetkan dalam konteks untuk menggemukkan APBD, termasuk sistem target PAD dari instansi-instansi/dinas-dinas terkait maupun dari retribusi-retribusi (retribusi terminal, STNK, dsb.). Jadi retribusi-retribusi tersebut hanya sekedar alat pengaturan dan bukan untuk cari uang. 3.3.4 Sistem Tarif Sistem tarif angum jangan lagi dibatasi, jika memang tarif hasil perhitungan modal pengadaan kenderaan, BOK serta biaya pencapaian mutu minimal 1pelayanan angum dan profit-nya tinggi/mahal, maka tarif angum tersebut hendaknya juga mahal. Namun bila daya beli masyarakat masih rendah maka Pemda harus subsidi. Selain subsidi dari Pemda, subsidi dapat juga berasal dari sistem tender yang ditetapkan pada pasal 2.3.1. Contoh-contoh developing ataupun developed countries yang mempunyai sistem transportasi yang murah, cepat, terpercaya, aman dan nyaman, memiliki tanggung jawab subsidi dan keterlibatan yang tinggi dari masing-masing Pemda maupun pemerintah nasionalnya. 3.3.5 Sistem Internal dan Eksternal Institusional Sistem konvensional dan kediktatoran dari Pemda harus diubah menjadi lebih liberal: Memberi keleluasaan pada pengusaha pemenang tender trayek untuk menanggapi kebutuhan, sekalipun tetap di bawah pengawasan BOAU Kota Medan; misalnya dalam penambahan /pengurangan jumlah armada, kompensasi pemasukan pendapatan dari pemasangan iklan pada kenderaan angum serta pengadaan usahausaha toko-toko/cafe di terminal. Pengadaan sanksi/hukuman bagi pelanggar kontrak dalam bentuk sanksi uang dan bukan pencabutan izin trayek. Misalnya dalam bentuk pengurangan subsidi ataupun denda. Sanksi uang ini dapat dijadikan sebagai masukan sumber subsidi BOAU sendiri bagi rute-rute kurus penumpang ataupun untuk pembenahan sistem.

58

Alternatif Solusi Kemacetan Lalu Lintas di Kota Medan Filiyanti T.A. Bangun

Bila BP (Badan Pengelola) atau UPT/UPTD dari Dishub tidak lagi sesuai dalam pelaksanaan ataupun pengawasan pelaksanaan operasional sistem angum maupun penerapan peraturan secara konsisten ini maka dapat menunjuk suatu BUMN atau Perusahaan Daerah untuk melakukannya sesuai dengan proses tender (dengan prinsip, pemenang tender adalah yang dapat memberikan kontribusi terbesar kepada Pemda) karena diharapkan pengelolaan, pelaksaaan dan pengawasan yang lebih transparan karena melibatkan uang rakyat. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan sumber daya bagi Pemda guna penerapan peraturan secara konsisten yang mengakibatkan pelaksanaan peraturan dapat dinegosiasi di lapangan. 3.3.6 Darimana Pemasukan bagi Pemda untuk Subsidi Angum? Karena subsidi angum tidak umum dari APBD maka kembali rakyat diminta kesadarannya untuk membayar pajak yang sebenarnya dengan jujur, karena pada umumnya masyarakat kelas bawah juga yang lebih terkena dampak negatifnya bila masyarakat tidak membayar pajak yang sebenarnya dengan jujur. Ini juga membutuhkan kesadaran yang tinggi terhadap petugas dan pejabat terkait dari instansi perpajakan. Bila ada subsidi BBM mengapa tidak diciptakan subsidi angum? Sudah saatnya Pemda maupun Pemerintah Nasional terlibat penuh dalam pengembangan angum seperti yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju lainnya. Sudah saatnya sistem angum di Indonesia ataupun khususnya di Kota Medan menjadi perintis untuk mengubah sistem angum yang overprivatised, dan lebih melibatkan pemerintah dalam pengelolaan/ operasional maupun pengawasannya.

3.3.7 Darimana Harus Dimulai? Penentuan prioritas tindakan. BOAU Kota Medan bersama dengan seluruh instansi terkait serta elemen-elemen dalam masyarakat dalam suatu rapat khusus menetapkan urut-urutan prioritas langkah yang akan dilakukan. Operator yang masih perorangan, pihak swasta yang masih belum tertarik, pengaturan sistem bus pengumpan (feeder service sebagai sistem pendukung yang tidak masuk ke main line) dan seterusnya satu persatu dibahas, ditentukan urutan prioritasnya, dilaksanakan dan dievaluasi, lalu

dijadikan sebagai pilot project (sebagai contoh/pedoman langkah berikutnya). Bogota mulai membicarakan revitalisasi sistem angumnya di tahun 1998, lalu mengadakan perubahan-perubahan demi terlaksananya program BRT Transmilenio, sehingga pada 18 Desember 2000, Transmilenio beroperasi setelah perbaikan-perbaikan bertahap sukses dilaksanakan dalam sistem angumnya yang kondisi sistem angumnya persis sama dengan Kota Medan ataupun kota-kota di Indonesia pada umumnya. Berikut ini dipaparkan secara garis besarnya apa yang dilakukan oleh Bogota sehingga implementasi BRT Transmilenio sukses dan menguntungkan yang dapat dijadikan pelajaran bagi Kota Medan dalam rencana implementasi monorel di Kota Medan. Sejak rencana awal program BRT Transmilenio, pemerintah telah melibatkan pengusaha angum tradisional dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Pengalaman mereka sebagai operator dari sistem angum tradisional yang dijadikan sebagai bagian daripada sistem BRT yang baru bernilai sebagai aspek kunci dari kesuksesan sistem BRT dan mencegah adanya protes serta kemungkinan aksi demonstrasi atas pelayanan sistem BRT tersebut. Setiap kali terjadi penambahan bus Transmilenio baru maka beberapa angum lama harus dieliminasi dari sistem. Bus-bus baru tersebut digunakan sebagai bus pengumpan (feeder) untuk mengangkut penumpang dari daerah-daerah sekitar dan yang jauh yang akan menggunakan system Transmilenio. Pengadaan 470 unit articulated bus untuk Transmilenio diserahkan kepada 4 perusahaan swasta yang melibatkan 96% operator angum lama/tradisional. Demikian juga kontrak pengadaan sistem feeder service dan renovasi bus yang lama diserahkan kepada operator angum tradisional melalui tender dengan sistem subsidi silang. Sementara sistem pengutipan angkos dan tiket serta sistem pengawasan atas implementasi seluruh sistem yang baru tersebut diserahkan kepada suatu badan yang dipercaya oleh pemerintah maupun masyarakat yang tetap dievaluasi kinerjanya secara teratur dan mempunyai durasi kontrak yang tertentu pula (Hidalgo & Senoval, 2001). Adapun keseluruhan daripada pembahasan di atas dituangkan dalam gambar 1 berikut ini mengenai Bagan Manajemen Satu Payung bagi sistem angum di Kota Medan (Heru Sutomo, 2005):

59

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006


Penerimaan Non Operasi
Pengeluaran Operasi

MANAJEMEN Jika defisit: Penerimaan subsidi Pendapatan Operasi Pendapatan Operasi Jika surplus: Untuk pengembangan sistem Produksi: Rute 1 kend - km Pembayaran

menagih
Biaya operasi: kend-km x Rp/km

Rute 2

Pendapatan Operasi

Rute ke - n

Gambar 1. Usulan Manajemen Satu Payung bagi Sistem Angkutan Umum Kota Medan 4. DAFTAR PUSTAKA Bangun, F., dan Alkhairi, P., April 2006, Anugrah Tertib Lalu lintas Kota Medan 2006, Wahana Hijau: Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol. 1, No. 3, pp. 103 108, Medan. Bangun, F., dan Alkhairi, P., Januari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota Medan-Bagian 1, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Alkhairi, P., Februari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota Medan-Bagian 2, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Napitupulu, R., 21 Maret 2005, Jalan Tol Medan-Tebing Tinggi Lebih Prioritas dari Medan-Binjai, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1992. Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan, Jakarta. Dinas Perhubungan Kota Medan, 2003. Data Profil Angkutan Umum Perkotaan, Medan. Leal, M.T. dan Bertini, R.L., 2005. Bus Rapid Transit: An Alternative for Developing Countries, Portland State University, Portland. Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. Munawar, A., 2004, Manajemen Lalu lintas Perkotaan, Penerbit Beta Offset, Jogjakarta. Napitupulu, R., and Bangun, F., 31 Januari 2005, Medan, Kota Metropolitan Atau Kota Metromarpilitan? Suatu Opini, Harian Waspada: Medan, p. 4. Napitupulu, R., and Bangun, F., 15 January 2005, Prospek Sistem Angkutan Umum di Kota Medan, Suatu Opini, Harian Sinar Indonesia Baru: Medan, p. 13. Napitupulu, R., and Bangun, F., 19 November 2004, Apakah Kemacetan Lalu lintas Perkotaan di Medan Hanya Layak Sebagai Bahan Obrolan Saja? Suatu Opini, Harian Analisis: Medan, p. 18. Napitupulu, R., and Bangun, F., 13 November 2004, Kemacetan Lalu lintas di Kota Medan Serius, Suatu Opini, Harian Waspada: Medan, p. 4. Sorensen, A., 2001, Sub-Centers and Satellite Cities: Tokyos 20th Century Experience of Planned Polycentrism, International Planning Studies, Vol. 6, No. 1, pp 9 32, Department of Urban Engineering, University of Tokyo, Hasamagaola 3-25-3, Sanda-shi, Hyogo-ken, Japan 669 - 1545. Sutomo, H., 2005, Menggagas Revitalisasi Angkutan Umum: Berubah Sekarang atau Mati?, Powerpoint Transparansi, Forum Keselamatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Jogjakarta. ----------, 2006, The Urban Satellite Field Concept, A Case Study of Accra Metropolitan Area, Ghana. ----------, 2006, Satellite Cities, A Case Study of Istambul, Turki. ----------,2005, Percepatan Pemberdayaan Pelayanan Angkutan Umum Metro Bandung, Powerpoint Transparansi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur ITB, Bandung.

60

PEMBANGUNAN AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI DI SUMATERA UTARA


Staf Pengajar Kopertis Wilayah I/Ketua Tim Teknis Dewan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara Abstrak: Pembangunan kawasan agropolitan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dengan perkotaan akan tetapi karena tingginya potensi di kawasan pedesaan untuk dimanfaatkan sebagai alat mendorong pembangunan. Pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal dan komoditas unggulan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani karena mengimplementasikan pembangunan secara holistik dalam kegiatan on farm dan off farm. Selanjutnya, perlu diupayakan agar industri yang berkembang di agropolitan ialah industri yang mempunyai kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) dengan kegiatan pertanian yang dikembangkan di hiterland-nya. Pembangunan agropolitan memberi solusi ideal untuk mengatasi ketimpangan antara desa dan kota sekaligus menjamin ketahanan pangan khususnya di Sumatera Utara. Kata kunci: Agropolitan, Komoditas Unggulan, Desa-Kota, Agroindustri PENDAHULUAN Sumatera Utara terletak pada 1-4 LU dan 98100 BT dengan luas 71.680 km2. Sumatera Utara memiliki 18 kabupaten, 7 kota, 326 kecamatan, dan 5.466 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk tahun 2005 sebesar 12. 326. 678 jiwa. Menurut Sembiring dan Sitepu (2006), pengembangan agropolitan didasari atas beberapa kaidah ekonomi: kaidah ekonomi lokasi (economic of location), bahwa untuk mengefisiensikan aliran barang/jasa dalam ruang dan waktu, kegiatan ekonomi yang mempunyai index material (rasio fisik bahan baku dengan produk akhir) harus lebih besar dari satu; Kaidah skala ekonomi (economic of scale) yakni suatu kegiatan ekonomi memerlukan skala usaha (business size) tertentu yang optimal untuk mencapai efisiensi ekonomi; Kaidah ekonomi aksi (economic of action). Sejumlah kegiatan dapat efektif bila dilakukan secara individu (individual action), namun ada juga kegiatan yang hanya akan efektif bila dilakukan secara bersama-sama/gerakan bersama (collective action); Kaidah permintaan turunan (derived demand); dan kaidah distribusi pendapatan (income distribution). Secara umum yang melatarbelakangi usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani melalui pengembangan kawasan agropolitan dan agroindustri antara lain: persentasi penduduk miskin rawan dan sangat rawan pangan hingga pada tahun 2002 masih mencapai 36,4 juta jiwa atau 18,1% dari rakyat Indonesia, terdiri dari 24,8 juta (68,14%) adalah petani di pedesaan 11,4 juta (3 1,86%) di perkotaan. Keadaan tersebut diperkirakan saat ini meningkat tajam menjadi 63,6 juta jiwa atau 28,9% jumlah penduduk; petani masih dijadikan sebagai bahan presentasi obyek politisi, pemerintah, ilmuwan, aktivis, dan mereka tidak mampu mempresentasikan diri, selalu dalam posisi disempowered tidak memiliki aksesibilitas, menjadi komoditas politik/demokrasi dan nasibnya tetap sebagai petani gurem. Petani menghasikan produk yang memiliki nilai tukar sangat rendah sehingga daya beli masyarakat di pedesaan sangat Iemah. Hingga saat ini tingkat pertambahan penduduk masih tinggi, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 telah mencapai kisaran 220 juta dengan pertumbuhan 1,25% per tahun sehingga secara nasional kebutuhan terhadap hasil komoditas pertanian masih terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pembangunan ke arah modernisasi pertanian akan semakin penting artinya, khususnya di era perdagangan bebas yang merupakan tindak lanjut persetujuan sistem perdagangan bebas seperti Asean Free Trade Area (AFTA) dan Global Agreement Trade and Tariff (GATT). Dalam era globalisasi tersebut usaha tani harus mampu menghasilkan komoditas yang lebih murah namun bermutu tinggi, sehingga produksi usaha tani mampu bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah menegaskan kebijakan dasar yakni Triple-Track-Strategy = pro-poor; pro-job; progrowth. Pemerintah telah menetapkan beberapa tolak ukur keberhasilan antara lain bahwa dalam periode akhir tahun 2004 hingga 2009 jumlah penduduk miskin akan berkurang dari 16.6% menjadi 8.2%; jumlah pengangguran terbuka berkurang dari 9.5% menjadi 5.1%; pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5.5% menjadi 7.6%; investasi masyarakat meningkat dari 16.0% menjadi 24.4%; jumlah ekspor meningkat dari 5.5% menjadi 8.7%; pertumbuhan industri pengolahan non migas dan lain-lain meningkat masing-masing 3.5%; 8.6%; dan 6.8%; dan secara umum pertumbuhan industri kecil meningkat ratarata 3.5% per tahun.

Bilter Sirait

61

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

PENGERTIAN AGROPOLITAN Agropolitan terdiri dari dua kata yaitu Agro = pertanian, politan = kota, adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Pengembangan sektor industri dan jasa di perkotaan dimaksudkan untuk memfasilitasi atau mendukung pembangunan pertanian-pedesaan. Dengan kata lain yang dikembangkan di perkotaan adalah fungsi-fungsi dari sistem agribisnis mulai dari hulu sampai ke hilir. Karena itu pembangunan dengan pendekatan agropolitan sering disebut pembangunan pertanianpedesaan yang didukung pembangunan industri dan jasa. Dan kota-kota yang berkembang adalah kota rural-urban (rurban) di mana karakteristik rural (pedesaan) dan karakteristik (perkotaan) terintegrasi secara harmonis. Salah satu penyebab dibutuhkannya kawasan agropolitan ini adalah tingginya arus urbanisasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya kecenderungan aliran bersih (transfer netto) sumber daya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran dengan disertai derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Perpindahan ini pun memberikan dampak di berbagai kota yaitu mengalami urbanisasi berlebihan (overurbanization), dilain pihak desapun kehilangan tenaga-tenaga produktif yang seharusnya sebagai bagian dari mata rantai roda kehidupan dan roda ekonomi perdesaan. Proses urbanisasi yang tidak terkendali, juga akan semakin menurunkan produktivitas pertanian. Data Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi ditunjukkan dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta. Dari sisi peta kemiskinan kondisi tersebut di atas telah menimbulkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan dan menghasilkan kemiskinan di perdesaan, sehingga pendekatan pembangunan selama ini yang banyak mengakibatkan urban bias harus menjadi perhatian semua pihak. Apabila proses

urbanisasi yang tidak terkendali semakin mendesak produktivitas pertanian dibiarkan akan mengancam ketahanan pangan nasional. Pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan fakta tersebut, merupakan alternatif pembangunan perdesaan melalui urban-rural linkages untuk mencegah terjadinya urban bias (http://www.nakertrans.go.id) Dalam kaitannya dengan pembangunan daerah, pengembangan kawasan agropolitan ini akan mengintegrasikan program/proyek-proyek multisektor yang telah berjalan selama ini sehingga efek sinergisnya makin kuat dan manfaat yang dihasilkannya makin besar dan beragam. Karena itu, pengembangan agropolitan pada dasarnya bukanlah program/proyek yang benar-benar baru, melainkan lebih menekankan pada upaya-upaya mensinergikan dan mengintegrasikan program/ proyek yang telah ada selama ini. Kalaupun ada program/proyek baru, hanyalah untuk memperkuat atau memfasilitasi efek sinergis dalam ruang dan fungsi. PENGEMBANGAN AGROPOLITAN Pengembangan kawasan agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Yang perlu diupayakan ialah bagaimana agar industri yang berkembang di Agropolitan ialah industri yang mempunyai kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) dengan kegiatan pertanian yang dikembangkan di hiterland-nya. Sebagai contoh suatu kawasan yang lahannya sesuai untuk komoditas nanas, kemudian di agropolitan dikembangkan industri pengalengan nenas, industri pembuatan kaleng, pengangkutan dan lain-lain, sementara pemerintah pusat/propinsi memberi dukungan melalui pelatihan bagi petani nanas, dukungan pemasaran dan informasi. Setiap kawasan tentunya dikembangkan dengan spesifikasinya sendiri (1 Agropolitan dengan 1 komoditi unggulan). Pembangunan suatu daerah jangan meniru (blue print) dari daerah lain yang sudah berhasil. Tetapi setiap daerah harus mempunyai komoditi unggulan atau karakter tersendiri. Sumatera Utara misalnya pada tahun 2003 telah mengeluarkan komoditas-komoditas unggulan pada suatu kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan tertentu pula. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) Sumatera Utara telah dimulai pelaksanaannya pada awal tahun 2004 sedang penyusunan master plan dilakukan pada tahun 2003 setelah penanda tanganan Nota

62

Pembangunan Agropolitan dan Agroindustri di Sumatera Utara Bilter Sirait

Kesepakatan 5 Bupati yang berada di kawasan Dataran Tinggi Bukit Barisan (Karo, Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir, dan Dairi) pada 28 September 2002, dengan diketahui/didukung Gubernur Sumatera Utara dan Menteri Pertanian RI. Untuk meng-adress isu aktual pengembangan ekonomi 3D (daya saing, desentralisasi, demokrasi) pada tahun 2000, Departemen Pertanian mengembangkan paradigma baru pembangun ekonomi berbasis pertanian. Paradigma baru yang dimaksud adalah: Membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan dilaksanakan secara desentralisasi. Sistem agribisnis yang dimaksud mencakup 4 subsistem (1) Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni usaha industri pupuk, pestisida, benih, alat dan mesin pertanian, (2) Subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), (3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yakni pengolahan hasil pertanian dan perdagangannya, dan (4) Subsistem jasa penunjang (services for agribusiness) seperti penelitian, transportasi, perkreditan, infrastruktur, penyuluhan, kebijakan pemerintah. Untuk membumikan pembangunan sistem agribisnis tersebut di setiap daerah, diperkenalkan apa yang disebut dengan program kawasan agropolitan. Dengan demikian, pengembangan kawasan agropolitan merupakan implementasi spasial (ruang) dari pembangunan sistem agribisnis, sesuai dengan potensi agribisnis di daerah yang bersangkutan. Pengembangan kawasan agropolitan sebagai implementasi spasial dan sistem agribisnis, didasarkan pada teori ekonomi yakni teori ekonomi lokasi (economic of location) dan teori skala ekonomi (economics of scale). Teori ekonomi lokal membimbing di mana industri up-stream dan downstream agribisnis harus dikembangkan agar pergerakan barang dan jasa dalam ruang efesien. Sedangkan teori skala ekonomi akan membimbing berapa besar skala usaha down-stream dan up-stream yang harus dikembangkan. Sub-sistem jasa penunjang akan mengikuti di mana lokasi on-farm, up-stream, dan down-stream dikembangkan. Berdasarkan teori ekonomi lokal, kegiatan ekonomi yang memiliki indeks material (rasio fisik antara bahan baku dengan produk akhir) lebih besar dari satu, kegiatan ekonomi tersebut harus dekat dengan bahan bakunya. Karena itu kegiatan ekonomi tersebut harus dekat dengan bahan bakunya. Karena itu industri pengolahan hasil pertanian (down-stream) harus dikembangkan di sentra produksi pertanian. Sedangkan bila indeks material kurang dari satu (seperti up-stream agribusiness) harus dikembangkan dekat dengan sentra konsumsinya yakni para petani di kawasan pedesaan. Berdasarkan prinsip ekonomi tersebut, maka dalam suatu kawasan akan dikembangkan kegiatan agribisnis mulai dari up-stream agribisnis, on-farm

agribisnis, down-stream agribisnis dan services for agribusiness. Inilah yang disebut dengan kota pertanian (agropolitan). Beberapa infrastruktur yang dalam waktu dekat diperlukan untuk Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) dalah: Infrastruktur jalan usaha tani Infrastruktur jalan usaha tani di desa sekitar pusat pertumbuhan Infrastruktur jalan poros desa di desa pusat pertumbuhan Infrastruktur pasar desa di desa sekitar Infrastruktur pusat data dan informasi Infrastruktur saluran irigasi Pembangunan gudang penampungan dan penyimpanan produk pertanian. Perlu dikembangkan infrastruktur prasarana dan sarana serta kelembagaan lainnya yang menunjang agropolitan (sarana transportasi jalan dan jembatan, jaringan listrik, telekomunikasi dan informasi dan air bersih). Juga perlu dikembangkan industri pengolahan dan industri turunananya/ikutan. Serta perlu dikembangkan jasa keuangan (perbankan) dan asuransi. Pengembangan ini diarahkan pada di desa pusat pertumbuhan di Kecamatan Nagari Lambah, serta desa dan kecamatan yang berbatasan sebagai pendukung. Mengingat bahwa dalam FGD tersebut terungkap bahwa saat ini rencana pengembangan kawasan baru berupa master plan, sehingga diharapkan dalam waktu dekat dilanjutkan dengan pembuatan Rencana Umum Tataruang (RUTR) dan ditetapkan dengan PERDA, sehingga koordinasi kegiatan pengembangan dari masing-masing dinas terkait dapat lebih terfokus dan saling mendukung. Sistem pendidikan dan pelatihan yang akan diberikan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan memperhatikan aspek kemampuan dan budaya masyarakat. Fasilitator yang digunakan sebaiknya memanfaatkan sumber daya yang ada di kawasan agropolitan, dengan terlebih dahulu mengikuti studi banding ke kawasan yang memiliki karakteristik sumber daya alam yang sama. Pendidikan dan pelatihan yang diperlukan adalah: 1. Pelatihan kultur teknis budidaya pertanian 2. Pelatihan pengolahan produk pertanian 3. Pelatihan manajemen pemasaran 4. Pelatihan manajemen keuangan ALASAN PEMBANGUNAN AGROPOLITAN Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal (Setia Hadi, 2006). Paradigma pembangunan yang bias kota akan mendorong terjadinya proses pemerasan surplus pedesaan pertanian. Berbagai bentuk pemerasan tersebut antara lain; penghisapan modal dari pertanian-pedesaan ke perkotaan (capital

63

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

drain) melalui nekanisme urbanisasi, mekanisme perbankan (fund raising lebih besar dari fund user) dan mekanisme transaksi antar sektor; (b) pelarian sumber daya manusia terdidik (brain drain) dari pertanian pedesaan ke perkotaan melalui mekanisme urbanisasi. Kota-kota pertanian yang dibangun mempunyai jenjang (hierarki) sesuai dengan fungsinya. Paling sedikit ada 2 jenjang yaitu (i) kota pusat lokalita atau kawasan usaha tani yang langsung dilayani dan (ii) kota pusat distrik yaitu kota yang melayani beberapa kota pusat lokalita atau yang melayani semua kawasan secara langsung, seperti dalam pengolahan hasil pertanian. Sedang jenjang ke-3 yang juga mungkin diperlukan adalah pusat seluruh kawasan yang berfungsi mendukung seluruh pusat-pusat distrik dan menyediakan hal-hal yang tidak tersedia di pusat distrik. Pembangunan agropolitan memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan menciptakan sinergis dalam pengembangan agribisnis dan agroindustri komoditi unggulan, dan dalam pengembangan kota-kota dan pedesaan sehingga kawasan agropolitan mampu bersaing dalam perdagangan internasional termasuk produksi dan hasil-hasil agribisnis dan agroindustri. STRATEGI PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN UNTUK MENDUKUNG AGROINDUSTRI Durian di Kabupaten Pakpak Barat misalnya dapat dikatakan banyak dihasilkan oleh masyarakat dan relatif sudah intens budidayanya sehingga sekaligus telah mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hanya saja barang kali belum intens dikelola oleh pemerintah daerah. Banyak durian yang ditemukan di Kota Medan berasal dari Pakpak Barat dan menurut informasi memiliki sifat merekah beberapa minggu dan lebih lama merekah dibanding dari durian lainnya yang berasal dari Sumatera Utara. Selanjutnya, durian yang merupakan komoditas unggulan dari Kabupaten Pakpak Barat yang memiliki luas daerah 1 218.30 km2 secara de facto sudah memasyarakat, hanya pengelolaannya barang kali perlu lebih intens sebab masih terbuka kemungkinan penggunaan teknologi baik di on farm maupun off farm. Hal ini juga karena derivasi durian dimaksud banyak serta telah memiliki jaringan pemasaran yang baik. Menurut laporan akhir tim teknis kelompok kerja pengembangan Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara (2005) bahwa beberapa variabel untuk menentukan komoditas unggulan sebagai berikut: luas areal, produksi, produktivitas, ketersediaan bibit, keterlibatan masyarakat, pemasaran, kesesuaian lahan, nilai ekonomis, faktor risiko, penghasil devisa, derivat produk dan ketergantungan impor. Bagi komoditas terpilih-durian, selanjutnya dilakukan pembobotan dan scoring terhadap indikator keunggulan. Penulis

memang belum tahu sepenuhnya, apakah sudah mengikuti prosedur baku Pakpak Barat untuk menentukan durian sebagai komoditas unggulan, yang pasti tulisan ini juga sekaligus untuk proses pengkayaan di dalam menyusun detail planning, business planing agropolitan di KADTBB. Metode analisis skoring pemilihan. Penilaian untuk masing-masing komoditas untuk tiap sub sektor adalah berdasarkan data sekunder tentang perkembangan komoditas yang bersangkutan di setiap kecamatan target pengkajian. Parameter utama yang menjadi acuan di antaranya luas tanam, luas panen atau populasi. Perbandingan antar komoditas diurut, sehingga dapat ditentukan komoditas calon unggulan untuk bahan analisis berikutnya. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan bagi komoditas unggulan. Kondisi biofisik yang digunakan sebagai dasar penentuan kualitas dan karakteristik lahan dalam analisis kesesuaian lahan adalah: ketersediaan air (wa), media perakaran (rm), ketersediaan oksigen (oa), retensi hara (nr), ketersediaan hara (na), dan penyiapan lahan (lp). Kesesuaian lahan untuk tiap komoditas pada setiap satuan tanah dibedakan menjadi Sesuai, Sesuai Marginal, dan Tidak Sesuai.. Untuk analisis ekonomi komoditas sumber utama pendapatan, keragaan usaha tani dinilai Benefit Cost Ratio atau B/C rasio untuk tanaman semusim, IRR (Internal Rate of Return) bagi tanaman tahunan. B/C rasio adalah proporsi tingkat keuntungan dengan total biaya, di mana suatu usaha dikatakan layak dan memberikan manfaat bila B/C > 1.0. Selain hal itu, sering juga dihitung Break Even Point (BEP) produksi yakni total biaya per harga penjualan serta BEP harga yaitu total biaya per total produksi. Dalam hal ini BEP adalah titik impas usaha dan sering berhubungan dengan IRR. Pada analisis derajat keunggulan komoditas, tiap indikator keunggulan dianalisis dengan metode statistik non parametrik yang menghitung r (rata-rata pertumbuhan per tahun) dan KK (koefisien keragaman). Dalam hal ini r pertumbuhan tiap tahun dalam % merupakan proporsi tingkat luas panen, produksi, produktivitas tahun ke-t dengan tingkat luas panen, produksi, produktivitas sebelum tahun ke-t dikurang satu dikalikan dengan 100 %. KK dihitung sebagai berikut: KK = (Std/Ya) x 100 % KK = Koefisien keragaman masing-masing indikator prioritas Std = Standar deviasi masing-masing indikator prioritas Ya = Rata-rata aktual masing-masing indikator prioritas Tahap berikutnya untuk penentuan selang interval () adalah: I = (Xmax Xmin) / JI I = selang interval JI = jumlah interval (berkisar 3-5 bila kurang dari 30 populasi-kecamatan)

64

Pembangunan Agropolitan dan Agroindustri di Sumatera Utara Bilter Sirait

X max. = Pengamatan tertinggi dari nilai r, KK atau nisbah X min. = Pengamatan terkecil dari nilai r, KK atau nisbah Untuk penentuan interval aktual sebagai berikut: Interval (Xmin) (Xmin + I)---(Xmin + 2I) (Xmin + 2I)--(Xmin + 3I) Skor 1 2 3

1.

Selanjutnya, dihitung skor rata-rata untuk masing-masing indikator berdasar rata-rata pertumbuhan per tahun dan KK. Berdasar nilai skor akhir kemudian ditentukan selang interval untuk menentukan keunggulan komoditas sebagai berikut: Interval (Xmin)----(Xmin + I) (Xmin + I)---(Xmin + 2I) (Xmin + 2I)--(Xmin + 3I) Golongan Komoditas Penunjang Potensial Unggulan

2.

Analisis derajat keunggulan wilayah. Skala dan bobot penilaian keunggulan wilayah pengembangan komoditas unggulan adalah berdasar parameter kesesuaian lahan (sesuai, sesuai bersyarat, tidak sesuai); letak geografis (strategis, kurang strategis, tidak strategis); ketersediaan lahan (sangat tersedia, tersedia, kurang tersedia); kondisi sarana dan prasarana (sangat memadai, memadai, kurang memadai); keterkaitan dengan daerah lain (sangat terkait, terkait dengan pusat pertumbuhan lain, akses dengan ibukota propinsi); respons terhadap teknologi (sangat respons, cukup respons, tidak respons); penerapan teknologi (sesuai rekomendasi, mendekati rekomendasi, tidak sesuai rekomendasi). UPAYA UNTUK MEMACU INVESTASI Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, jelas bahwa masuknya investasi sangat dibutuhkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Karenanya pemerintah daerah perlu mengkreasi kebijakan untuk memberikan jaminan kondisi yang mantap bagi masuknya investor. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan para investor dalam berinvestasi di suatu daerah adalah faktor: (1) yuridis, (2) infrastruktur, (3) pasar, (4) lingkungan usaha, (5) sumber daya manusia, (6) risiko, dan (7) penghasilan. Investor akan tertarik untuk investasi apabila faktor-faktor yang dianggap penting telah disediakan oleh kabupaten/kota dengan baik, seperti yang diharapkan oleh investor. Beberapa permasalahan yang sering dihadapi para investor di Indonesia saat ini adalah (Simanjuntak, 2006):

3.

4.

Prosedur perizinan investasi yang panjang dan berbelit-beli. Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perizinan untuk memulai suatu usaha dari berbagai instansi terkait baik pusat maupun daerah di Indonesia membutuhkan lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar USS 1.163). Sebagai perbandingan, untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945). Rendahnya kepastian hukum. Ini tercermin dari antara lain berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Lemahnya kepastian hukum juga tercermin dari tumpang tindihnya kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kebijakan investasi. Selain itu juga keragaman/variatif yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi. Lemahnya insentif investasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif tertinggal dalam menyusun insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang memberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong investasi. Kualitas SDM yang rendah dan terbatasnya infrastruktur. Kurang bergairahnya iklim investasi juga disebabkan oleb keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), dan kapasitas dan sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis. Implikasi signifikan dari pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja.

Simanjuntak (2006) lebih lanjut mengemukakan bahwa upaya dan langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan pembanguan agropolitan sebagai berikut: A. Fokus pada Beberapa Komoditi Unggulan Pelaksanaan kegiatan sudah dapat segera dimulai pada beberapa komoditi unggulan yang dinilai sangat

65

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

layak dan mempunyai prospek baik dalam jangka panjang walau detail planning belum sepenuhnya rampung. Kriteria pemilihan komoditi ini adalah, antara lain: - Prospek pasar yang cukup baik di pasar domestik dan pasar ekspor - Sudah ada teknologi yang cukup handal dimiliki (teknologi spesifik lokasi) terutama adanya bibit unggul, teknologi budidaya, dan teknologi pengolahan - Keadaan sumber daya alam yang sangat/cukup sesuai yaitu lahan, iklim, topografi - Kelimpahan sumber daya alam - Pengalaman masyarakat tani yang sudah ada mengusahakannya Berdasarkan kriteria ini telah ditetapkan 6 komoditi unggulan yang akan dikembangkan secara intensif di Sumatera Utara: 1. Kopi arabica: kopi lintong, kopi sidikalang sudah mendunia yang didukung oleh lahan di atas 1000 m dpl yang cukup luas dan adanya investor/penguasaha yang berminat bermitra dengan petani. 2. Nenas: pasar yang sangat besar, adanya varitas ekspor yang sangat sesuai (Varitas IPB dll.), lahan yang cukup luas dan sudah adanya pabrik pengolahan (konsentrat, juice, dan pengalengan). 3. Jagung: adanya bermacam-macam bibit unggul, lahan yang cukup luas, permintaan domestik untuk pakan ternak cukup besar, pengalaman petani sudah cukup banyak dalam budidaya, potensi ekspor yang juga besar. 4. Ketela rambat: adanya bibit yang cukup unggul termasuk ubi jepang, pasar yang cukup besar, baik domestik dan ekspor (a.l. Jepang), kemungkinan pengolahan untuk berbagai macam produk turunan, lahan yang cukup luas dan budidaya yang cukup mudah. 5. Jeruk siam madu (jeruk berastagi), varitas yang cukup tinggi produktivitasnya, pasar domestik yang besar dan adanya potensi pasar ekspor, pengalaman petani yang sudah cukup banyak. 6. Ternak sapi dan kerbau, jenis pedaging dan perah. Dengan adanya beberapa jenis bibit unggul, teknologi antara lain pasar domestik yang sangat besar, lahan untuk pakan hijauan yang cukup luas, pakan dari limbah pertanian yang cukup banyak, manfaat dan nilai kotoran untuk menghasilkan pupuk kompos dan pengalaman petani yang sudah agak memadai. Karena tingkat rentabilitas dari ke 6 komoditi unggulan di atas yang cukup tinggi, diperkirakan petani dan mitra pengusaha (pengolah dan eksportir) sangat berminat mengusahakannya. Yang paling penting disediakan/ditingkatkan adalah modal usaha, bibit, sarana produksi dan pabrik pengolahan. Untuk ini upaya peningkatan permodalan petani harus

sungguh-sungguh diupayakan misalnya pemberian modal bergulir dari pemerintah, modal perbankan, modal ventura dan modal yang disalurkan melalui mitra. Juga kemitraan sangat penting dilaksanakan untuk menampung hasil, mengolah, memasarkan dan menjamin penyaluran kredit. B. Peningkatan Kemitraan dan Investor Ujung tombak dari kegiatan agribisnis (termasuk agroindustri) dalam kawasan agropolitan adalah petani dan dunia usaha (pengolah, eksportir, pedagang, produsen dan pemasok sarana produksi). C. Peningkatan Penyuluhan dan Konsultasi Bisnis serta Koperasi Petani. Kelemahan SDM petani adalah merupakan penghambat utama dalam pelaksanaan program pengembangan KADTBB, terutama di kabupatenkabupaten yang belum begitu berkembang agribisnisnya (Pakpak Barat, Samosir, Humbang Has, Tobasa, dan Taput). Peluang pasar, ketersediaan teknologi dan SDA banyak terbuang atau hanya sedikit dimanfaatkan apabila SDM petani tidak mempunyai kemampuan entrepreneur. Untuk itu peningkatan kemampuan petani sebagai entrepreneur dan manajer usaha tani adalah mendesak dilakukan. Hal ini meliputi bidang teknik, manajemen, perhitungan biaya, pemasaran, dan permodalan. Juga untuk memperkuat posisi tawar petani dan mengefisienkan kegiatan operasi usaha tani, kerjasama atau asosiasi petani sejenis perlu dikembangkan. Hal ini juga memerlukan penyuluhan dan bimbingan sekaligus yang dapat bertindak sebagai konsultan bisnis. D. Pemberdayaan dan Perkuatan Kelembagaan Petani Selain peningkatan SDM petani secara individu, wadah tempat petani bekerja sama adalah sangat perlu diberdayakan dan diperkuat. Wadah organisasi petani antara lain, adalah kelompok tani sehamparan, koperasi petani, asosiasi petani sejenis, musyawarah desa dan badan perwakilan petani dalam pemerintahan desa dan kecamatan Pemberdayaan dan perkuatan lembaga-lembaga ini akan mempercepat petani dalam proses belajar (alih teknologi), memperkuat posisi tawar dalam pemasaran dan pembelian input, dan memberikan hak bagi petani untuk ikut memutuskan perencanaan desa dalam penggunaan sumber-sumber yang dimiliki atau diperoleh dari pemerintah. Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas perlu dilakukan penyuluhan, pelatihan, konsultasi atau studi banding bagi pengurus-pengurus organisasi tersebut. E. Penguatan Modal Salah satu hal tersulit dalam pengembangan petani adalah penguatan permodalan. Namun hal ini harus dibina secara bertahap dan jangka panjang. Dalam tahap pertama mungkin perlu diberi bantuan

66

Pembangunan Agropolitan dan Agroindustri di Sumatera Utara Bilter Sirait

hibah (gratis) kepada petani, seperti bantuan bibit. Tahap selanjutnya dibina kegiatan menabung petani dan menyalurkan tabungan kembali kepada anggota, misalnya dengan membentuk koperasi simpan pinjam atau Credit Union (CU). Juga dapat diberikan pada petani subsidi (kredit tak berbunga) seperti modal bergulir dari Pemda. Kemudian dapat diberi kredit lunak atau bunga rendah atau kredit yang disupervisi (kredit modal ventura). Akhirnya apabila telah mampu, petani dapat menerima kredit komersial dari perbankan dengan bunga menurut pasar. Agar masalah agunan dapat diatasi, maka perlu juga dikembangkan lembaga penjamin kredit, yang biasanya dibentuk oleh koperasi petani dan pembentukan dana agunan dibantu pemerintah. F. Pembangunan Infrastruktur Prasarana pertanian dan perekonomian sudah terbukti sangat bermanfaat dalam meningkatkan pelaksanaan program pada kawasan agropolitan. Prasarana yang sangat bermanfaat adalah jalan, irigasi, pasar dan telekomunikasi. Jalan dapat memperlancar arus barang dan menurunkan biaya angkutan barang, pasar melancarkan arus perdagangan dan memperbaiki struktur pasar sedang telekomunikasi memperlancar arus informasi dan komunikasi dengan dunia luar. Selain prasarana pertanian, beberapa sarana penting dalam pertanian terbukti dapat mempercepat perkembangan agropolitan antara lain pembangunan cold storage, pergudangan, packing house atau Sub Terminal Agribisnis (STA) yang menyediakan berbagai fasilitas. Oleh sebab itu pada kawasankawasan sentra produksi yang sedang atau sudah berkembang harus segera dilengkapi dengan parasarana dan sarana-sarana pertanian penting. G. Menyempurnakan Tata Ruang Propinsi Tata ruang propinsi yang belum sesuai dengan tata ruang kabupaten perlu segera dirubah. Usul perubahan selengkapnya harus segera disampaikan pada badan yang menangani perubahan tata ruang (Bappeda dan instansi lain) untuk di proses dan diajukan ke DPRD untuk disyahkan. H. Meningkatkan Sosialisasi Program Agropolitan Program agropolitan masih perlu disosialisasikan pada berbagai stakes holder agar mendapat dukungan mereka. Para stakes holder utama adalah anggota DPRD kabupaten dan propinsi, anggota DPR-RI, para pegawai/staf dinas di kabupaten dan propinsi, para camat dan kepala desa, para petani dan dunia usaha (KADIN, ASOSIASI PENGUSAHA, dan perusahaan-perusahaan). Dukungan diperlukan dari DPRD adalah perubahan alokasi anggaran yang lebih baik dan pembuatan payung hukum program agropolitan. Sosialisasi kepada dunia usaha juga mendesak dilakukan untuk menarik dunia usaha melakukan investasi dan melakukan kemitraan dengan petani.

I. Peningkatan Frekuensi Pertemuan Forum Pemkab Forum Pemkab yang telah dibentuk sebagai wadah diskusi, pengambilan keputusan bersama, penyaluran informasi kepada semua kabupaten dan dinas-dinas propinsi perlu melakukan pertemuan teratur setiap 2 bulan dan pada saat-saat tertentu, terutama waktu pengajuan usul RAPBD propinsi dan RAPBN, supaya diadakan pertemuan yang lebih sering agar usul dapat dibahas secara mendalam dan keputusan bersama dapat dibuat lebih tepat. J. Pembuatan Website dan Jaringan Informasi Agar semua stakesholder, pasar dan calon-calon mitra dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan dan hal ikhwal kawasan agropolitan DTBB Sumut, maka jaringan informasi perlu dikembangkan. Salah satu di antaranya adalah membuat website, publikasi melalui media massa dan pembuatan brosur dan buletin. Website sudah dibuat, sekarang tinggal mengisinya dengan data-data dan informasi dan memberi tahu masyarakat adanya website. KESIMPULAN DAN SARAN Proses pembangunan yang selama ini dilakukan, dalam konteks spasial, telah menimbulkan permasalahan ketimpangan pendapatan antara wilayah desa (rural) dengan kota (urban). Hal ini disebabkan karena terjadinya penghisapan modal dari pertanian-pedesaan ke perkotaan (capital-drain) melalui mekanisme urbanisasi, mekanisme perbankan (fund raising lebih besar dari fund user), dan mekanisme transaksi antar sektor. Selain itu juga disebabkan karena terjadinya pelarian sumber daya manusia terdidik (brain-drain) dari pertanianpedesaan ke perkotaan melalui mekanisme urbanisasi. Akibatnya sektor pertanian-pedesaan menjadi underinvestment dan under-brain, sehingga produktivitas pertanian-pedesaan sulit dikembangkan. Sementara, daerah perkotaan mengalami over-investment dan overpopulation yang tercermin dari makin banyaknya persoalan internal perkotaan seperti kemacetan lalulintas, kriminalitas, persoalan lingkungan (polusi, banjir, kebisingan). Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan agropolitan yang didukung agroindustri mutlak dilaksanakan. Pembangunan agropolitan akan memberi solusi ideal sekaligus menjamin ketahanan pangan khususnya di Sumatera Utara. DAFTAR PUSTAKA Budiharsono, S. dan Suhaedi, 2006. Evaluasi pengembangankawasan agropolitan. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006.

67

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Depari, S., 2006. Persepsi dan saran mempercepat pengembangan kawasan agropolitan dataran tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006. Nainggolan, R. E., 2006. Konsep pengembangan agropolitan dataran tinggi Bukit Barisan dan agromarinepolitan pesisisr pantai dan pulaupulau kecil di Sumatera Utara. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006. Nuswamarhaeni, S; D. Prihatini; E. P. Pohan, 1990. Mengenal buah unggul indonesia. Penebar Swadaya. Pasaribu, B. 2006. Poverty Profile & The Alleviation Programs in Indonesia, Seminar International Fund for Agricultural Development (IFAD) Hanoy, Vietnam, 5-6 April 2006. Pasaribu, B., 2006. Agropolitik pembangunan Sumut: Agropolitan dan agroindustri. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006. Saragih, B., 2006. Bberapa catatan tentang pengembangan agropolitan. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006.

Sembiring, S. A., dan I. Sitepu, 2006. Sumber daya komoditi unggulan jeruk pada tingkat lokalitas di kawasan agropolitan dataran tinggi Bukit Barisan SumateraUtara. Setia Hadi, E. R., 2006. Kawasan agropolitan. Konsep pembangunan desa-kota berimbang. Crestpent Press Kampus IPB Baranangsiang P4W-LPPM IPB. Sianturi, T. dan B. Sirait, 2006. Durian sebagai komoditas unggulan kabupaten Pakpak Bharat. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006. Simanjuntak, S. B., 2006. Masalah dan kendala perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan KADTBB Sumatera Utara. Disampaikan pada seminar nasional pengembangan wilayah dan agribisnis komoditi ungulan dengan pendekatan agropolitan, Universitas Methodist Indonesia Medan, 27 Juli 2006. Stevenson, F. J., 1994. Humus chemistry. John Wiley & Sons, Inc. Tim Teknis Kelompok Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara. 2005. Laporan Akhir. BPTP Sumatera Utara.

68

THE INVESTIGATION OF MIXING TIME AND FLOW PATERN IN AN OSCILLATORY-BAFFLED COLUMN


Department of Chemical Engineering, University of North Sumatera Abstract: The investigation of mixing time and flow pattern to characterize oscillatory flow mixing was conducted in a vertical baffled column. Tracer concentration measurements were used to determine mixing time. The tracer used was a KCl solution which was injected at the bottom of the column and its concentration changes were monitored by discrete measurement from both the top and the bottom sampling ports. The mixing time evaluated was based on the equilibrium concentration concept. Variables studied were oscillation amplitude and frequency, and gap size between baffles and column. The results showed that the mixing time decreased with oscillation frequency and amplitude. However, the mixing time increased with gap size between baffles and column. Numerical simulation of oscillatory flow in the column has also been performed to study flow patterns in the device. The results of simulation are displayed as flow lines plots which confirm the finding of the experimental results. Keywords: Equilibrium Concentration, Flow Pattern, Fluid Oscillation, Gap Size INTRODUCTION Oscillatory flow in baffled columns has been reported in numerous publications as a promising method to enhance mixing in columns. The basic mechanism of mixing in the column is to induce oscillatory motion of the fluid. The oscillating fluid motion interacts with each baffle to form vortices; the resulting radial velocity component is comparable to the axial velocity component in the space between two baffles. Consequently mixing capability is enhanced in both directions (Brunold et al. 1989, Dickens et al. 1989). As a result, heat and mass transfer are significantly improved (Mackley 1991). However, efficient mixing in the column depends on many factors such as geometrical configuration and operating conditions. Therefore, characterizing the mixing performance in the so-designed column is important before applying in the industries. The fluid mechanics of oscillatory flow in a baffled column is controlled by the geometrical configuration of the baffles and two dimensionless parameters. The first parameter is the oscillatory Reynolds number, Reo, which describes the intensity of oscillation applied to the column. xo D Reo = (1) The second parameter is the Strouhal number, St, which represents a ratio of column diameter to stroke length, measuring effective eddy propagation. D St = (2) 4 xo Characteristics of mixing in continuous oscillatory flow mixing in a baffled column have received much attention in recent years from residence time distribution (Brunold et al. 1989, Dickens et al.1989) and axial dispersion coefficient (Mackley & Ni 1993). However, for batch processes, the characteristics of mixing in batch oscillatory flow mixing in the column by mixing time have not been investigated well. Preliminary study of mixing time has been reported by Ni et al. (1998), however, there is no correlation has been developed until now. Therefore, the objectives of current study are to investigate the mixing time in batch oscillatory flow mixing in a baffled column and to propose a correlation for mixing time. EXPERIMENTALS AND METHODS A schematic diagram of the experimental apparatus is shown in figure 1. The experimental system consists of a vertically mounted Perspex column, 94 mm in internal diameter and 1200 mm in height, and a stainless steel bellows, which is flanged to the bottom end of the column.. Its top is open to the atmosphere. A number of baffles setup made of polycarbonate were used, and each set consisting of seven baffles. The baffles were inserted into the column, and four gaps of 0, 2, 4, and 6 mm respectively were investigated. Baffles with a spacing of 141 mm in between bafles supported by two stainless steel rods with a 6 mm diameter were installed in the column. The diameter of the baffle is 94 mm and each baffle has a central hole with a 50 mm diameter. A motor with a speed controller drives the bellows, which provides an oscillation frequency of from 1 to 3 Hz to the system. The oscillation frequency was measured using a digital tachometer. The centre to- peak oscillation amplitudes of 1-4 mm can be obtained by adjusting of the rod linking the bellows and the drive unit. The amplitude oscillation was measured by noting the displacement of the liquid level at the surface. Mixing time was determined using tracer concentration measurements. The tracer used was a KCl solution of 4 M which was injected at the bottom of the column and its concentration changes were monitored by discrete measurement from both

Taslim

69

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Tracer conc. x 100 (M)

the top and the bottom sampling ports. The mixing time evaluated was based on the equilibrium concentration concept, i.e. the time required for the overall concentration of the fluid to reach an arbitrary percentage of its final equilibrium value (Harnby 1992).
Columns Do

1.5 1.2 0.9 0.6 0.3 0.0

mixing time

bottom concentration top concentration equilibrium concentration 0 80 160 240 320 400

Supporting rods

Baffle spacing

Time (s)

Figure 2. Tracer Concentration Against Time for Push-Fit Baffles at f=1 Hz, and xo=2 cm
Db Gap size

(a). Push-fit, DDb

(b). Loose-fit, D>Db

Figure 1. Schematic Diagram of The Oscillatory Baffled Column In this work, the mixing time was measured as the time required for the response curve to reach 99% of the final value and remain within the limit. As the volume of the tracer is known, the equilibrium concentration, C, can be calculated from a mass balance as follows: Vinitial Cinitial + Vinjection Cinjection = Vfinal C (3) RESULTS AND DISCUSSION Mixing time experiments with push-fit baffles was first carried out to establish a basis for comparison of experimental runs with loose-fit baffles at the same operational conditions. Figures 2 and 3 show concentration profile during the experiments under oscillatory condition. It can be seen that the change of tracer concentrations in pushfit is faster than loose-fit, which mean that the overall mixing time appear to be better for the push-fit than the loose-fit condition. When liquid oscillation and push-fit baffles were present in the column, vigorous vortices occur in the space between two baffles and consequently uniform mixing could be achieved. As a result, shorter time was required to achieve equilibrium concentration in the presence of push-fit baffles. Figure 2 shows that both concentration curves quickly converged to an equilibrium concentration. Similar profiles also achieved in figure 3, but longer time is needed to achieve an equilibrium concentration.

Figures 4 and 5 are the oscillatory flow patterns in the column obtained from numerical simulation. The time dependent flow simulation was based on Navier-Stokes model using Femlab (Taslim & Takriff 2003). The presence of the gap between baffles and column causes the change of mixing mechanism and it reduces the intensity of vortex formation. The vortex formed at the rear of the baffles is entrained by the flowing of the liquid through the gap, this limiting its growth as shown in figure 5.
1.5 mixing time

Tracer conc. x 100 (M)

1.2 0.9 0.6 0.3 0.0 0 100 200 bottom concentration top concentration equilibrium concentration 300 400 500
600

Time (s)

Figure 3. Tracer Concentration Against Time for Loose-Fit Baffles at f=1 Hz and xo=2 cm

downstroke

upstroke

Figure 4. Oscillatory Flow Patterns in The Column With Push-Fit Baffes at f = 1 Hz and xo = 10 mm

70

The Investigation of Mixing Time and Flow Patern Taslim


450

Mixing time (s)

375 300 225 150 75 0 0.0

gap size = 0 mm gap size = 2 mm gap size = 4 mm gap size = 6 mm

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

Downstroke

upstroke

Figure 5. Oscillatory Flow Patterns in The Column With Loose-Fit Baffes at f = 1 Hz and xo = 10 mm The effect of oscillation frequency on mixing time was also investigated. The experiments with liquid oscillation were conducted for a range of oscillation frequencies and fixed oscillation amplitude at various gap size. Oscillation velocity expressed as Reo has significant effect on mixing time. Figure 6 shows mixing time againts Reo at fixed oscillation amplitude and various gap sizes. It can be seen that the mixing time decreses with Reo in the range studied. At higher Reo, the intraction between liquid oscillation and baffles more significant, resulting vigorous vortices in the space between two baffles. Under this condition, the tracer will rapidly mix with the bulk liquid in the column to reach an equlibrium concentration giving shorter mixing time.
450 375 gap size = 0 mm gap size = 2 mm gap size = 4 mm gap size = 6 mm

Figure 7. Mixing Time Against St at Various Gap Size, and f = 1 Hz As can be seen in figure 7, mixing time increases with St (or decreases with oscillation amplitude). At a fixed St, mixing time also increases with gap size in the range used. At higher oscillation amplitudes, the liquid motions are displaced further at each stroke; the flow in each space between two baffles becomes chaotic, which leads to enhancement in mixing. This phenomenon causes the tracer quickly mixes with bulk flow in the column to reach an equilibrium concentration, as a result lower mixing times were obtained. Similar results were also obtained by Ni et al. (1998) for various orifice (baffle inner) diameters. However, a column diameter of 50 mm was used in their experiments. CORRELATION In this study, dimensionless mixing time (tm*) was correlated as a function of Reo, St and dimensionless diameter (D*) and could be expressed in a general form as follows: tm* = a Reob Stc D*c (4) The present data were fitted with equation (4) to give: tm* = 4.5 Reo0.46 St0.91 D*5.1 (5) Untill now, this correlation is the only one that has been developed for mixing time in oscillatory flow in a baffled column. CONCLUSION The experimental results describes in this paper show that the oscillation frequency and amplitud, and gap size between baffles and column appear to be the controlling parameters which dictate the mixing efficiency in the oscillatory baffled column. In the range tested, the mixing time decreases with oscillation frequency and amplitud. However, the gapsize limits the mixing efficiency. The mixing time increases with gap size at constant oscillation frequency and amplitude. Lower mixing times reflex better mixing in the column.

St

0.8

Mixing time (s)

300 225 150 75 0 0 5000 10000

15000 20000 25000

Reo

30000

Figure 6. Mixing Time Against Reo at Various Gap Size, and xo= 2 cm Several experimental runs were performed to determine the effect of oscillation amplitude on the mixing time. These runs were carried out for a range of oscillation amplitude and fixed oscillation frequency at various gap size. Oscillation amplitude expressed as St has strong effect on mixing time as shown in figure 7. This figure displays mixing time versus St at fixed oscillation frequency and various gap size.

71

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

NOMENCLATURES C Tracer concentration, M D Colum diameter, m Db Baffle outer diameter, m Do Baffle hole diameter, m D* Dimensionless diameter (D/Db) f Frequency, 1/s Reo Oscillatory Reynolds number St Strouhal number tm Mixing time, s tm* Dimensionles mixing time (tm.f) V Tracer volume, m3 xo Oscillation amplitude, m Density of liquid, kg/m3 viscosity of liquid, kg/(m.s) Angular frquency (2f), rad/s ACKNOWLEDGEMENT The author would like to thank the DP2M, Directorate General of Higher Education, Ministry of National Education of Indonesia for providing financial support. The author also would like to thank Assoc. Prof. Dr. Shahrir Abdullah from Department of Mechanical and Material Engineering, Universiti Kebangsaan Malaysia, for the use of Femlab software. REFERENCES Brunold, C.R., Hunn, J.C.B., Mackley, M.R. and Thomson, J.W. 1989. Experimental Observations on Flow Patterns and Energy Looses for Oscillatory Flow in Ducts Containing Sharp Edges, Chem. Eng. Sci., 44 (5): 1227-1244.

Dickens, A.W., Mackley, M.R. and. William, H.R. 1989. Experimental Residence Time Distribution Measurements for Un-Steady Flow in Baffled Tubes, Chem. Eng. Sci., 44 (7): 1471-1479. Taslim and M.S. Takriff. 2003. Numerical simulation of oscillatory flow in a baffled channel. The 3rd Int. Conf. on Numerical Analysis in Engineering, Batam, Indonesia, March 13-15, 2003, pp.8-27 8-33. Mackey, M.R. 1991. Process Innovation Using Oscillatory Flow Within Baffled Tubes, Trans IChemE., 69(A): 197-199. Mackey, M.R. and Ni, X. 1993. Experimental Fluid Dispersion Measurements in Periodic Baffled Tube Arrays, Chem. Eng. Sci., 48: 3293-3305. Harnby, N., Edward, M.F. and Nienow, A.W. 1992. Mixing in the Process Industry, 2nd Edition, Oxford: Butterwort-Heinemann Ltd. Ni, X., Brogan, G., Struthers, A., Bennett ,D.C. and Wilson, S.F. 1998 A Systematic Study of the Effect of Geometrical Parameters on Mixing Time in Oscillatory Baffled Columns, Trans IChemE., 76(A): 635-642.

72

PENDEKATAN QSPM (QUANTITATIVE STRATEGIC PLANNING MATRIX) DALAM RANGKA MERUMUSKAN STRATEGI OPERASI PENGEMBANGAN PERUSAHAAN PT GROWTH PAMINDO
Ukurta Tarigan
Staf Pengajar Departemen Teknik Industri, Universitas Sumatera Utara Abstrak: Dalam dunia bisnis, strategi adalah pola tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan visi organisasi melalui misi. Sedangkan strategi operasi adalah suatu pola pengambilan keputusan operasi yang konsisten dan merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan strategi-strategi yang akan dijalankan dalam rangka pengembangan perusahaan dengan menganalisis faktorfaktor eksternal dan internal yang mempengaruhi operasi, kemudian membuat matriks-matriks analisis dan merumuskan strategi operasi yang akan dijalankan perusahaan. Perumusan strategi operasi dengan menggunakan pendekatan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) dilakukan melalui penerapan metode pengambilan keputusan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk para ahli dalam perusahaan. Kata kunci: Analisis Internal dan Eksternal Operasi, Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), Analytical Hierarchy Process (AHP). Abstract: In business sphere, strategy is a pattern of main action determined to realize the vision of organization through the mission. Where as operation strategy is a pattern of making an operational decision which is consistent and it is a competitive superiority for the company. This study intends to determine a proper strategy to be implement by the company by analyzing the internal and external factors influencing on operation, and then making the analytical matrixes and formulating the operation strategy to be implemented by the company. The formulation of operation strategy using a Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) was done through application of the decision making method, Analytical Hierarchy Process (AHP) for the experts of company. Keywords: Internal and External Analysis, Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), and Analytical Hierarchy Process (AHP) I. PENDAHULUAN PT Growth Pamindo merupakan perusahaan yang memproduksi pipa ductile. Dewasa ini, persaingan antar perusahaan, antar industri, dan antar bisnis dalam bidang tertentu semakin ketat, terutama dengan telah disepakatinya aturan perdagangan bebas yang mulai berlaku tahun 2003 (AFTA). Untuk dapat memenangkan persaingan tersebut, maka diperlukan suatu strategi di tingkat fungsional, yaitu strategi operasi. Selama ini, PT Growth Pamindo dalam operasinya belum menggunakan strategi operasi apapun. Dengan diproklamirkannya era perdagangan bebas, maka PT Growth Pamindo harus meningkatkan kemampuan bersaingnya antara lain dengan menerapkan strategi operasi dengan memperhatikan faktor-faktor internal operasi yakni memperkecil kelemahan dan bersamaan dengan itu, meningkatkan kekuatan yang ada. Faktorfaktor eksternal juga merupakan bagian yang harus diperhitungkan agar strategi operasi yang dirumuskan nantinya dapat mengantarkan PT Growth Pamindo mampu memenangkan persaingan. II. TUJUAN PENELITIAN Perumusan strategi operasi ini, diharapkan dapat berguna untuk: a. Menganalisis kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan internal operasi serta posisi relatif operasi dalam industri yang bersangkutan. b. Menganalisis permasalahan yang dihadapi oleh operasi, yaitu ancaman-ancaman yang sedang dihadapi oleh operasi tersebut, serta peluangpeluang yang dapat dimanfaatkan. Membantu perusahaan dalam mengambil langkah-langkah operasinya dengan menggunakan metode Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM).

c.

III. LANDASAN TEORI III.1 Definisi Manajemen Strategi dan Manajemen Operasi Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu dalam formulasi, implementasi, dan mengevaluasi keputusan antarfungsional dalam mencapai tujuan organisasi. Sebagai implikasi dari definisi tersebut, manajemen strategis mempunyai fokus pada mengintegrasikan manajemen pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, dan sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi. Strategi operasi adalah suatu visi fungsi operasi yang menetapkan keseluruhan arah atau daya dorong untuk pengambilan keputusan. Strategi operasi seharusnya menghasilkan suatu pola pengambilan keputusan operasi yang konsisten dan suatu keunggulan bersaing bagi perusahaan.

73

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Schroeder, Anderson, dan Cleveland (1986) telah mendefinisikan bahwa strategi operasi terdiri dari misi, sasaran, keunggulan khusus, dan kebijakan. Keempat komponen ini membantu untuk menentukan apakah tujuan yang harus dicapai dapat membantu mengarahkan pengambilan keputusan pada semua tahap operasi. III.2 Proses Formulasi Strategi Proses formulasi strategi terdiri dari: - Analisis awal: analisis data eksternal-internal, dan identifikasi faktor kunci persaingan (key success factor) - Tahap input: pembuatan EFE Matrix, dan IFE Matrix - Tahap penyesuaian: pembuatan SWOT Matrix, dan IE Matrix - Tahap keputusan: Pembuatan QSPM. Diagram formulasi strategi dapat dilihat pada gambar 1. III.2.1 Analisis Awal Analisis awal merupakan analisis data internal dan data eksternal perusahaan. Tujuan dari analisis eksternal (external audit) adalah membuat daftar ancaman-ancaman dan peluang-peluang yang akan dihadapi perusahaan. Analisis lingkungan eksternal meliputi: bidang ekonomi, bidang sosial budaya, demografi, dan lingkungan alam, bidang politik, pemerintahan, dan hukum, bidang teknologi dan bidang kompetitif. Tujuan dari analisis internal (internal audit) adalah membuat daftar kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan kunci internal perusahaan. Analisis internal ini meliputi; proses, kapasitas, sediaan, mutu dan tenaga kerja. III.2.2 Tahap Input Pada tahap input ini, dilakukan beberapa langkah yaitu: a. Pembuatan Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix, yaitu ringkasan dari audit manajemen strategis internal. Alat formulasi strategi ini merangkum dan mengevaluasi kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan utama. b. Pembuatan External Evaluation Matrix (EFE) Matrix, yaitu ringkasan dari audit manajemen strategis eksternal. Alat formulasi strategi ini

merangkum dan mengevaluasi peluang dan ancaman utama. III.2.3 Tahap Penyesuaian Informasi yang diperoleh dari ketiga matriks pada tahap input sebelumnya digunakan sebagai informasi input dasar pada tahap penyesuaian. Langkah-langkah dalam tahap penyesuaian ini adalah: a. Pembuatan Strengths-Weaknesses-OpportunitiesThreats (SWOT) Matrix, merupakan salah satu alat yang penting untuk membantu manajer mengembangkan empat tipe strategi: Strategi SO, Strategi WO, Strategi ST, dan Strategi WT. b. Pembuatan Internal-External (IE) Matrix, yang memposisikan berbagai dimensi organisasi dalam sembilan sel, di mana masing-masing sel memiliki strategi masing-masing. III.2.4 Tahap Keputusan Pada tahap keputusan ini digunakan teknik analisis dengan pendekatan kuantitatif yakni Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Teknik ini secara objektif mengindikasikan alternatif strategi yang terbaik. IV. PENGUMPULAN DATA Adapun data yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah: 1. Data mengenai lingkungan internal dan ekternal operasi 2. Data kuesioner pembobotan untuk masingmasing faktor internal dan eksternal dengan menggunakan AHP kepada para ahli (experts) di perusahaan. 3. Data tingkat kepentingan untuk masing-masing faktor intenal dan eksternal dengan menggunakan skala likert. V. PENGOLAHAN DATA Data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner AHP, kemudian dihitung bobotnya melalui perhitungan dengan mengikuti langkah-langkah perhitungan AHP. Sehingga diperoleh bobot untuk faktor internal dan eksternal operasi sebagaimana tercantum pada tabel 1 dan 2.

TAHAP I: THE INPUT STAGE External Factor Internal Factor Evaluation (EFE) Matrix Evaluation (IFE) Matrix TAHAP II: THE MATCHING STAGE Strengths Weaknesses Internal-External (IE) Opportunities Threaths Matrix (SWOT) Matrix TAHAP III: THE DECISION STAGE
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)

Gambar 1. Diagram Formulasi Strategi

74

Pendekatan QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) Ukurta Tarigan

Tabel 1. Penentuan Bobot Faktor Internal Operasi


Faktor Internal Sub faktor Fasilitas produksi telah diatur sesuai dengan urutan proses produksi (0,2765) Kemudahan pengawasan karena lokasi fasilitas tunggal (0,0875) Tidak ada penumpukan barang dalam proses (0,1795) Menggunakan mesin-mesin produksi yang canggih (0,0818) Aplikasi teknologi informasi dalam pengambilan keputusan operasional (0,1507) Pengiriman barang berjalan lancar (0,1131) Jaminan mutu ISO 9001:2000 (0,1108) Permintaan belum terpenuhi sepenuhnya Penumpukan barang jadi dapat menimbulkan biaya dan menurunnya kualitas Mayoritas karyawan perusahaan masih berpendidikan menengah Tingginya harga produk Dibutuhkan investasi besar untuk pengembangan teknologi Bobot 0,1383 0,0438 0,0898 0,0409 0,0754 0,0566 0,0554 0,1421 0,1229 0,0620 0,1259 0,0471

Kekuatan (0,5)

Kelemahan (0,5)

Tabel 2. Penentuan Bobot Faktor Eksternal Operasi


Faktor Eksternal Sub faktor Lokasi perusahaan yang strategis (0,1192) Diberlakukannya era perdagangan bebas, yaitu AFTA dan APEC (0,2256) Hubungan baik Indonesia dengan negara-negara lain (0,2717) Kondisi politik dan pemerintahan yang mulai stabil (0,2092) Peraturan pemerintah tentang pajak dan ekspor impor tidak mempengauhi operasional (0,2092) Daya beli masyarakat rendah (0,1694) Kenaikan harga BBM mempengaruhi operasional perusahaan (0,1287) Perkembangan yang sangat cepat dalam bidang teknologi informasi (0,1751) Produk pendatang baru dari luar tidak ada hambatan (0,0843) Persaingan dengan jenis produk lain dengan harga yang bervariasi (0,1038) Kemudahan memperoleh produk dari perusahaan lain (0,1637) Konsumen yang semakin kritis dari segi harga dan material (0,1749) Bobot 0,0872 0,0596 0,1128 0,1359 0,1046 0,0847 0,0643 0,0875 0,0422 0,0519 0,0818 0,0875

Peluang (0,5)

Ancaman (0,5)

V.1. Tahap Input V.1.1 Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix Matriks IFE ini meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam bidang operasi perusahaan. Matriks IFE PT Growth Pamindo dapat dilihat pada tabel 3. V.1.2 External Factor Evaluation (EFE) Matrix Matriks EFE berisikan ringkasan dan evaluasi informasi ekonomi, sosial budaya, politik, pemerintahan, hukum, teknologi, dan persaingan. Matriks EFE PT Growth Pamindo dapat dilihat pada tabel 4. V.2 Tahap Penyesuaian Dalam tahap penyesuaian ini, ditujukan untuk memunculkan beberapa strategi yang mungkin dilakukan berdasarkan faktor internal dan eksternal operasi. V.2.1 Internal-External Matrix Matriks IE dibagi menjadi 9 sel, di mana masing-masing sel memberi strategi yang berbeda. Gambar Matriks IE untuk operasi PT Growth Pamindo dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Internal-External (IE) Matrix Dari gambar 2 diperoleh posisi operasi PT Growth Pamindo adalah pada sel V. Strategi yang muncul pada posisi ini adalah strategi mempertahankan dan memelihara dalam hal ini berupa pengembangan produk. V.2.2 Strengths-Weaknesses-Opportunities-hreats (SWOT) Matrix Dalam matriks SWOT ini akan dihasilkan empat tipe strategi yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST, dan strategi WT. Dari Matriks SWOT, didapat 10 alternatif strategi, yaitu sebagaimana terlihat pada tabel 5.

75

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

V.3 Tahap Pemilihan Keputusan Setelah mendapat 10 alternatif strategi dari SWOT, maka alternatif strategi ini akan dipilih dengan QSPM. Untuk mendapat satu strategi terpilih sebagai dasar perumusan strategi operasi. Tabel 3. Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix
Faktor Internal Operasi

Dari QSPM yang telah dibuat, strategi yang terpilih adalah strategi 1 yaitu mencari sumber bahan baku baru dan melakukan efisiensi penggunaan bahan baku untuk menekan harga dengan nilai total attractiveness 5,340.
Nilai yang Dibobot 0,5532 0,1752 0,2694 0,1636 0,3016 0,1698 0,2216 0,2842 0,2458 0,0620 0,2518 0,0942 2,7924

Bobot 0,1383 0,0438 0,0898 0,0409 0,0754 0,0566 0,0554 0,1421 0,1229 0,0620 0,1259 0,0471 1,00

Nilai 4 4 3 4 4 3 4 2 2 1 2 2

Kekuatan 1. Fasilitas produksi telah diatur sesuai dengan urutan proses produksi 2. Kemudahan pengawasan karena lokasi fasilitas tunggal 3. Tidak ada penumpukan barang dalam proses 4. Menggunakan mesin-mesin produksi yang canggih 5. Aplikasi teknologi operasi dalam pengambilan keputusan operasional 6. Mengadakan pelatihan bagi karyawan 7. Jaminan mutu ISO 9001:2000 Kelemahan 1. Permintaan belum terpenuhi sepenuhnya 2. Penumpukan barang jadi dapat menimbulkan biaya dan menurunnya kualitas 3. Mayoritas karyawan perusahaan masih berpendidikan menengah 4. Tingginya harga produk 5. Dibutuhkan investasi besar untuk pengembangan teknologi Jumlah

Tabel 4. External Factor Evaluation (EFE) Matrix


Faktor Internal Operasi Peluang 1. Lokasi perusahaan yang strategis 2. Diberlakukannya era perdagangan bebas, yaitu AFTA dan APEC 3. Hubungan baik Indonesia dengan negara-negara lain 4. Kondisi politik dan pemerintahan yang mulai stabil 5. Peraturan pemerintah tentang pajak dan ekspor impor tidak mempengauhi operasional Ancaman 1. Daya beli masyarakat rendah 2. Kenaikan harga BBM mempengaruhi operasional perusahaan 3. Perkembangan yang sangat cepat dalam bidang teknologi informasi 4. Produk pendatang baru dari luar tidak ada hambatan 5. Persaingan dengan jenis produk lain dengan harga yang bervariasi 6. Kemudahan memperoleh produk dari perusahaan lain 7. Konsumen yang semakin kritis dari segi harga dan material Jumlah Bobot 0,0872 0,0596 0,1128 0,1359 0,1046 0,0847 0,0643 0,0875 0,0422 0,0519 0,0818 0,0875 1,000 Nilai 3 3 2 2 2 3 3 2 3 3 3 2 Nilai yang Dibobot 0,2616 0,1788 0,2256 0,2718 0,2092 0,2541 0,1929 0,1750 0,1266 0,1557 0,2454 0,1750 2,4717

Tabel 5. Alternatif Strategi dari SWOT No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Strategi Mencari sumber bahan baku baru dan melakukan efisiensi penggunaan bahan baku untuk menekan harga Melakukan riset pasar untuk mengambil keputusan-keputusan operasi untuk mengisi pasar global Mengembangkan produk baru yang masih berhubungan dengan produk yang sudah ada Memanfaatkan CAD/CAM dalam melakukan pengembangan produk Bekerjasama dengan bagian pemasaran untuk senantiasa melakukan evaluasi terhadap perilaku pembeli dan kebutuhan pasar sebagai dasar untuk pengembangan produk Memperbaiki dan mempertahankan kualitas produk lama Menerapkan system persediaan dengan memanfaatkan teknologi informasi Meningkatkan pengetahuan karyawan bagian operasi untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi Melakukan kerjasama dengan pesaing untuk melakukan sinergi untuk memenangkan tender dan merebut pasar Melakukan motivasi terus menerus untuk menciptakan brand image

76

Pendekatan QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix) Ukurta Tarigan

VI. ANALISIS Dalam sub bab analisis ini, akan disusun suatu strategi operasi yang didasari oleh strategi terpilih pada tahap pemilihan keputusan dengan QSPM. Dalam penyusunan strategi operasi, dilalui 4 langkah, yaitu penetapan misi operasi, penetapan keunggulan khusus, penetapan tujuan operasi dan penetapan kebijakan operasi yang dibuat berdasarkan strategi terpilih. VI.1 Penetapan Misi Operasi Dari strategi terpilih, harus ditetapkan misi operasi sedemikian sehingga operasional perusahaan dapat berjalan, berkembang dan berkesinambungan. Untuk itu, dirumuskan sebuah misi operasi sebagai berikut: PT Growth Pamindo akan memproduksi pipa ductile untuk kebutuhan nasional dan internasional dengan menggunakan teknologi canggih untuk menghasilkan produk dengan kualitas terbaik yang didukung oleh SDM professional agar perusahan tetap dapat berkembang dan senantiasa mengembangkan produknya agar memuaskan para pengguna serta pihak terkait dengan harga sebanding dengan nilai produk yang ditawarkan. Pernyataan misi operasi diatas, mengandung komponen-komponen yang menyangkut strategi efisiensi produksi dan pengembangan produk agar dapat memenangkan persaingan. VI.2 Keunggulan Khusus PT Growth Pamindo dalam operasionalnya selama ini, mempunyai teknologi yang cukup baik sehingga mampu menghasilkan kualitas produk yang sangat baik. Mereka benar-benar memelihara keunggulan khusus tersebut dengan senantiasa memperbaharui sistem produksi secara periodik. VI.3. Sasaran Operasi Secara umum, sasaran operasi yang mungkin adalah: harga, mutu, pengiriman, dan fleksibilitas. VI.4. Kebijakan Operasi Kebijakan operasi menjelaskan bagaimana sasaran operasi akan dapat dicapai. Kebijakan operasi PT. Growth Pamindo harus dikembangkan untuk mengefektif dan mengefisienkan setiap kategori keputusan (proses, kapasitas, sediaan, tenaga kerja dan mutu) agar dapat bersaing dalam harga. Kebijakan operasi tersebut yang dapat dipertimbangkan untuk jangka 5 tahun kedepan adalah sebagai berikut: A. Proses - Meningkatkan kualitas dan kuantitas produk dengan memanfaatkan otomatisasi fleksibel yang telah dimiliki. - Tetap mempertahankan penggunaan alur peoses lini, sehingga proses dapat berjalan sesuai urutan, dan menggunakan peralatan pemindahan bahan sehingga dapat menekan biaya perpindahan dan meminimalkan kendala akibat kesalahan pekerja.

B. Kapasitas - Mempertahankan fasilitas yang ada, karena masih mampu memenuhi order tepat pada waktunya. - Mempertahankan lokasi yang ada, karena lokasi ini cukup strategis dengan area memadai untuk mendukung operasi karena memberi kemudahan arus masuk bahan baku dan kelancaran arus keluar produk. - Tidak melakukan investasi baru, karena fasilitas yang ada sekarang masih dapat dioptimalkan. Dengan tidak melakukan investasi baru juga berarti mengurangi biaya produksi dari sisi penyusutan aset. C. Sediaan - Mencari bahan baku lain sebagai pengganti dari yang digunakan sekarang di samping mengingat harganya yang terus mengalami kenaikan, juga dengan penggantian tersebut bahan baku baru dengan komposisinya yang sedemikian rupa harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang sama namun secara keseluruhan lebih efisien dalam penggunaannya. Untuk hal ini dibutuhkan kerjasama antara unit operasi dengan bagian R&D. - Melakukan sediaan tingkat rendah (low inventory level). Perlu dilakukan pengendalian sediaan yang terinci dengan tetap memperhatikan sediaan minimum, sehingga biaya persediaan dapat diminimalkan untuk turut menekan biaya produksi. - Untuk menekan biaya penyimpanan, perlu dilakukan sentralisasi gudang. D. Tenaga Kerja - Dengan menerapkan otomatisasi fleksibel maka cukup dilakukan spesialisasi tingkat rendah. - Otomatisasi dan spesialisasi memungkinkan dilakukannya pengawasan sentral. - Perlu dilakukan rekrutmen dan mutasi dari staf dan pegawai yang telah ada untuk penempatan yang tepat dalam mendukung efektivitas dan efisiensi operasi. - Perusahaan harus melakukan penilaian yang objektif terhadap staf dan pegawai, dan menerapkan reward dan punishment untuk meningkatkan kedisiplinan karyawan. - SDM harus dipandang sebagai aset penting perusahaan yang perlu dipelihara motivasi dan dedikasinya tanpa memberi beban ekstra bagi biaya operasional, hal ini bisa dicapai melalui survei kepuasan pegawai. - Secara periodik perlu dilakukan pelatihan yang intensif untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan pegawai yang pada umumnya dari pendidikan menengah.

77

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

E. Kualitas - Melakukan evaluasi rutin berjangka pendek terhadap seluruh proses mulai dari penerimaan bahan baku hingga ke produk jadi, yang bila perlu dengan menyempurnakan working procedure maupun working instructions dari yang tercantum dalam dokumen ISO. - Perusahaan harus menetapkan standar minimum kualitas bahan baku dan melakukan seleksi terhadap pemasok yang mampu memenuhi spesifikasi (standar minimum kualitas) tersebut dengan harga yang menguntungkan. VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai perumusan strategi operasi dengan menggunakan pendekatan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) adalah: 1. Nilai untuk matriks IFE adalah 2,79 yang berarti operasi perusahaan memiliki kemampuan ratarata dalam segi internal. Sedangkan nilai matriks EFE adalah 2,47 yang berarti juga operasi perusahaan memiliki kemampuan rata-rata dalam menghadapi lingkungan eksternalnya. Dengan demikian, posisi operasi perusahaan berada pada sel V dari matriks IE, dengan strategi pengembangan produk. 2. Dari matriks QSPM, strategi terpilih adalah mencari sumber bahan baku baru dan melakukan efisiensi penggunaan bahan baku untuk menekan harga dengan nilai total attractiveness 5,340. 3. Dari strategi terpilih pada tahap QSPM, dibuat suatu strategi operasi yang terdiri dari misi, keunggulan khusus, sasaran operasi dan kebijakan-kebijakan operasi

VII.2 Saran Saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah: 1. Dalam menghadapi persaingan, perusahaan dapat memproduksi dan mengembangkan produk pipa ductile yang mampu memenuhi spesifikasi tertentu yang diharapkan dengan memanfaatkan berbagai keunggulan kompetitif yang ada pada internal perusahaan dengan berfokus kepada penekanan biaya produksi melalui penggunaan bahan-bahan baku baru yang berasal dari sumber bahan baku baru yang memberikan tingkat efisiensi yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya mampu memenangkan persaingan. 2. Untuk memudahkan dilakukannya penelitian ke depan, diharapkan pihak perusahaan dapat lebih melengkapi/mencukupi data pendukung yang diperlukan. DAFTAR PUSTAKA David, Fred.R., 2002, Manajemen Strategis: Konsep, Edisi Ketujuh. Jakarta, Penerbit: PT Prenhallindo. Saaty, Thomas L., 1993, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin, University of Pitsburgh terjemahan Liana Setiono, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo Schroeder, Roger.G, 1993, Manajemen Operasi: Pengambilan Keputusan dalam Suatu Fungsi Operasi, Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Porter, Michael E., 1994, Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Harvard Bussiness School, Terjemahan Agus Maulana, Jakarta, Penerbit: PT Erlangga. Umar, Husein., 1998, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta, Penerbit: PT Raja Grafindo Persada.

78

PENGGUNAAN GAME THEORY DALAM STRATEGI PEMASARAN DALAM RANGKA MENGOPTIMALKAN EKUITAS MEREK SEPEDA MOTOR BEBEK BUATAN JEPANG DI KOTA MEDAN
Mangara M. Tambunan
Staf Pengajar Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Abstract: Varieties of new motor bike in the market creates a tight competition and makes consumer has his/her own choice to a specific brand. Motor bike it self gives a value to the company or customer in the forn of brand equity. The research calculated four brand equity dimension; such as brand awareness, brand association, perceived quality, and brand loyality. The objective of the research is to know motor bike associations of Honda Karisma and Suzuki Shogun 125 R, which become the surplus to be used in marketing strategy. Data collections is done by judgment sampling using minimum of 50 questionnaires for both motor bike and data collected is done in the formal service workshop. Preliminary questionnaires result from 40 respondents shows there are 4 % associations needed by consumer to the type of motor bike. From the analysis, Honda Karisma is in top of mind-brand awareness position of 57.14% there is 4.08% of consumer does not know Suzuki Shogun 125 R. Honda Karisma has 28 associations and Suzuki Shogun 125 R has 42 associations. In perceived quality, Honda Karisma and Suzuki shogun 125 R have 9 associations need to be improved. Suzuki shogun 125 R has Loyality level of 51.020% and Karisma has 22.449%. Game Theory shows the strategy used by both companies is pure strategy where Honda karisma uses formal workshop availability strategy and Suzuki Shogun would use economical in fuel consumption strategy Keywords: Game Theory, Brand Equity 1. PENDAHULUAN 1.2 Permasalahan Mengetahui ekuitas merek (kesadaran merek, asosiasi merek, kesan kualitas dan loyalitas merek) sepeda motor bebek buatan Jepang untuk menerapkan strategi yang tepat untuk memenangkan pangsa pasar. 1.3 Batasan Masalah 1. Penelitian dilakukan pada sepeda motor jenis bebek, buatan Jepang dengan volume silinder 125 cc dan tipe mesin 4 langkah, yang beredar di kota Medan. 2. Responden yang diteliti adalah pengguna sepeda motor yang masih dalam masa garansi (3 tahun). 3. Responden yang diteliti adalah pengguna sepeda motor yang masih dalam masa garansi (3 tahun). 4. Pengambilan sampel dilakukan di tempat service tiap jenis merek sepeda motor, yang merupakan bengkel resmi yang paling banyak dikunjungi konsumen. 5. Pengumpulan data dilakukan pada bulan AprilMei 2005. 2. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Munculnya produk-produk sepeda motor baru yang beraneka ragam dalam pasar mengakibatkan persaingan sehingga konsumen mempunyai penilaian sendiri terhadap merek yang beredar di pasaran. Peningkatan penggunaan sepeda motor ini juga terjadi di kota Medan dengan jumlah sepeda motor yang terdaftar untuk tahun 2003 sebanyak 1.300.995 dari 1.979.340 jiwa penduduk kota Medan. Jumlah sepeda motor terdaftar di Polda Sumatera Utara Seksi Lalu Lintas, tahun 1995-2003 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Jumlah Sepeda Motor Terdaftar Tahun 1995-2003 Sepeda Motor No. Tahun (Unit) 1. 1995 619.346 2. 1996 689.868 3. 1997 769.759 4. 1998 798.828 5. 1999 821.862 6. 2000 873.452 7. 2001 952.361 8. 2002 1.084.051 9. 2003 1.300.995 Persaingan ini juga terjadi untuk sepeda motor bebek, dengan tingkat penjualan mencapai 90% dari total keseluruhan jenis/model sepeda motor.

2.1 Ekuitas Merek Ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan. Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek, keduanya mesti berhubungan dengan nama atau simbol sebuah merek. Jika nama dan

79

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

simbol merek diubah, beberapa atau semua aset atau liabilitas bisa dipengaruhi dan mengalami kerugian, kendati beberapa di antaranya sudah dialihkan ke nama dan simbol baru. Menurut David. A. Aaker, aset dan liabilitas merek dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu: 1. Kesadaran merek (brand awareness) 2. Asosiasi merek (brand asosiation) 3. Persepsi kualitas merek (brand perceived quality) 4. Loyalitas merek (brand loyalty) 5. Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets) Konsep ekuitas merek ini dapat ditampilkan pada gambar 1, yang memperlihatkan kemampuan ekuitas merek dalam menciptakan nilai bagi perusahaan atau pelanggan atas dasar lima kategori aset yang telah disebutkan. 2.2 Teori Permainan (Game Theory) 2.2.1 Permainan Dua-Pemain Jumlah-Nol (TwoPerson Zero-Sum Games) Permainan atau persaingan yang melibatkan hanya dua pemain atau dua pihak disebut permainan dua orang. Karena perolehan dari satu pemain menjadi derita bagi pemain lain, dan karena itu jumlah perolehan kedua pemain adalah nol, maka disebut permainan imbang (zero sum). Tiap pemain mempunyai sejumlah pilihan atau tindakan yang dapat dipergunakan dalam permainan. Tiap pilihan atau tindakan disebut strategi.
Brand awareness Brand loyalty Perceived quality Brand association
Other proprietary brand assets

Stategi optimal untuk pemain I ialah baris yang sesuai dengan harga: Max {Pi} = max [ min {H(i,j)} ] = V i i j i = 1,2, ..., m j = 1,2, ...., n Ini disebut kriteria maksimin. Untuk pemain II, misalkan Pj derita maksimum dari tiap tindakan bj, maka : Pj = max {H(i,j)}, i = 1,2,...,n i Strategi optimal untuk pemain II adalah kolom yang sesuai dengan harga: Min {Pj} = min [ max {H(i,j)} ] = V j j i i = 1,2, ..., m j = 1,2, ...., n Ini disebut kriteria minimaks. Dan strategi bersih maksimin/minimaks disebut strategi maksimin/minimaks optimal. Bila kedua pemain menggunakan strategi minimaks optimal, maka hasil perolehan rata-rata disebut harga dari permainan. Bila strategi minimaks adalah strategi bersih, maka perolehan rata-rata (diharapkan) adalah harga dari titik pelana. 3. METODOLOGI PENELITIAN Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Menentukan latar belakang penelitian b. Menentukan perumusan masalah dan tujuan penelitian c. Menentukan ruang lingkup penelitian d. Perancangan metode pengumpulan data - Studi literatur - Kuisioner pendahuluan - Identifikasi variabel penelitian Variabel demografi Variabel kesadaran merek Variabel asosiasi merek Variabel persepsi kualitas Variabel loyalitas merek - Perancangan kuisioner sebagai alat Pengumpul data - Penyebaran kuisioner - Pengujian kuisioner Uji reliabilitas kuisioner Uji Cochran e. Pengumpulan data f. Pengolahan data - Pengolahan data tahap I. Pengolahan data kuisioner pendahuluan, untuk menghasilkan atribut-atribut pertanyaan pada kuisioner penelitian. - Pengolahan data tahap II a. Variabel demografi b. Variabel kesadaran merek c. Variabel asosiasi merek d. Variabel persepsi kualitas e. Variabel kesetiaan merek

Brand equity

Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat : a. Interpretasi/proses informasi. b. Rasa percaya diri dalam pembelian

c. Pencapaian kepuasan dari


pelanggan

Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat : a. Efisiensi dan efektivitas program pemasaran b. Loyalitas merek c. Harga/laba d. Perluasan merek d. Peningkatan perdagangan e. Keuntungan kompetitif

Gambar 1. Konsep Ekuitas Merek 2.2.2 Kriteria Maksimin-Minimaks Persoalan ini dapat dibentuk dalam suatu model matematika sebagai berikut: Misalkan Pi perolehan minimum dari tiap tindakan Ai oleh pemain I, sehingga: Pi = min {H(i,j)}, j = 1,2,...,n j

80

Penggunaan Game Theory dalam Strategi Pemasaran Mangara M. Tambunan

- Pengolahan data tahap III. Menyusun strategi permainan untuk perusahaan dan dengan perusahaan pesaing berdasarkan peta persepsi multi dimensional scaling. Data yang digunakan adalah data persepsi konsumen, dengan membentuk matriks payoff dan diselesaikan dengan program linier. g. Analisis hasil pengolahan data h. Kesimpulan dan saran 4. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Kuisioner penelitian disebar di dua bengkel resmi, yaitu AHASS (Astra Honda Authorized Service Station) yang terletak di Jln. Sisingamangaraja No. 362 dan bengkel resmi Suzuki yang terletak di Jln. Adam Malik No. 101, dengan perincian yang ada pada Bab IV. Responden pada kuisioner penelitian adalah pengguna Honda Karisma dan Suzuki Shogun 125 R, masing-masing merek memiliki 49 kuisioner. Pengolahan data untuk kuisioner penelitian, dibagi atas lima bagian, yaitu: a. Pengolahan untuk Variabel Demografi Tabel 2. Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pria Wanita Merek Orang % Orang % Honda 41 83.673 8 16.327 Suzuki 40 81.633 9 18.367 Tabel 3. Profil Responden Berdasarkan Usia Honda Suzuki Tingkat Usia Orang % Orang % Kurang 16 thn 0 0.000 0 0.000 16 - 25 thn 17 34.694 16 32.653 26 - 35 thn 19 38.776 27 55.102 36 - 45 thn 10 20.408 6 12.245 Lebih dari 45 thn 3 6.122 0 0.000 Tabel 4. Profil Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Honda Suzuki Tingkat Pendidikan Orang % Orang % SD 0 0.000 0 0.000 SLTP 2 4.082 0 0.000 SLTA/sederajat 22 44.898 22 44.898 Diploma 7 14.286 17 34.694 Sarjana (S1) 18 36.735 10 20.408 Lain-lain 0 0.000 0 0.000

Tabel 5. Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan Honda Suzuki Jenis Pekerjaan Orang % Orang % Pelajar/Mahasiswa 10 20.408 4 8.163 Pegawai negri 7 14.286 6 12.245 Pegawai swasta 15 30.612 14 28.571 Wiraswasta 12 24.490 20 40.816 Ibu rumah tangga 3 6.122 3 6.122 Lain-lain 2 4.082 2 4.082 b. Pengolahan untuk Variabel Kesadaran Merek

Tabel 6. Top of Mind-Brand Awareness Merek Responden (Orang) % Honda Karisma 56 57.14 Suzuki Shogun 125 R 40 40.82 Honda Kirana 2 2.04 Total 98 100.00 Tabel 7. Brand Recall of Brand Awareness Responden (Orang) Merek % Honda Karisma 34 34.69 Suzuki Shogun 125 R 32 32.65 Honda Kirana 8 8.16 Tabel 8. Brand Recognition of Brand Awareness Responden (Orang) Merek % Honda Karisma 4 4.08 Suzuki Shogun 125 R 22 22.45 Tabel 9. Unaware Brand of Brand Awareness Responden Merek (Orang) % Honda Karisma 0 0,00 Suzuki Shogun 125 R 4 4.08 Pengolahan untuk Variabel Asosiasi Merek Hasil pengolahan data untuk Honda Karisma menunjukkan bahwa R11 >R(0,05), (0,874 > 0.281), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan untuk mengungkap asosiasi-asosiasi yang terkait dengan sepeda motor Honda Karisma ini dapat diandalkan. Nilai R11 Suzuki Shogun 125 > R tabel, (0,951 >0,281), maka instrumen ini pun dapat digunakan untuk mengungkap asosiasi-asosiasi yang terkait dengan sepeda motor Suzuki Shogun 125 R. Nilai uji Cochran untuk Honda Karisma, Q (29,369) < nilai X2(0,05;21) (32,7), dengan demikian Ho diterima. Maka pengujian dihentikan, dan Honda Karisma memiliki brand image yang didalamnya terkandung 28 buah asosiasi (termasuk asosiasi yang dibuang pada pengujian terakhir). Nilai uji Cochran untuk Suzuki Shogun 125 R, Q (47,189) < nilai X2(0,05;40) (55,8), dengan demikian Ho diterima. Maka pengujian dihentikan, dan Suzuki Shogun 125 R c.

81

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

memiliki brand image dengan 42 buah asosiasi (semua asosiasi yang ada pada kuisioner) yang melekat padanya. d. Pengolahan untuk Variabel Persepsi Kualitas Perbandingan Performance-Importance Honda Karisma
Performance-Importance Kesan Kualitas Honda Karisma
5.000

Tabel 11. Rekapitulasi Performance


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Keterangan

Nilai

Rata-Rata
Karisma 4.204 4.122 4.347 3.837 3.959 4.224 4.082 4.143 3.980 4.000 4.204 3.571 4.061 4.082 3.959 3.694 4.286 3.980 4.122 3.980 S.S. 125 R 4.082 4.041 4.061 4.061 4.061 4.061 4.061 4.041 3.959 4.020 4.041 4.061 4.061 3.966 3.959 3.959 4.020 4.000 3.980 3.959

4.000

3.000 3.500

3.700

3.900

4.100

4.300

4.500

Performance

16 17 18 19 20

Perbandingan Shogun 125 R

Performance-Importance

Suzuki

Irit dalam penggunaan bahan bakar Harga jual kembali/purna jual yang tinggi Tersedia bengkel/service resmi Harga terjangkau Model/desain yang menarik dan dinamis Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) Tarikan/akselerasi mesin yang baik Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan Memiliki kecepatan yang tinggi Kemudahan dalam perawatan Kemudahan mendapatkan spare part Harga spare part terjangkau & tahan lama Kemudahan dalam penggunaan Suspensi atau shock yang bagus Nama/merek yang dikenal luas di pasaran Iklannya menarik dan promosi yang kontinu Tetap stabil dikendarai pada kecepatan tinggi Tersedia garansi Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) Kualitas rangka yang tahan banting

Importance

Performance-Importance Kesan Kualitas Suzuki Shogun 125 R 4.400 4.300 4.200 4.100 4.000 3.900 3.950

4.000

4.050

4.100

Performance

Pada matriks payoff dapat diketahui bahwa matriks ini memiliki titik pelana (saddle point), dengan nilai yang sama untuk maksimin dan minimaks, yaitu 0,265. Dengan demikian ditemukan strategi murni untuk Honda Karisma dan Suzuki Shogun 125 R. Honda menggunakan strategi H3, Tersedia bengkel/service resmi sedangkan Suzuki Shogun 125 R menggunakan strategi S1, Irit dalam penggunaan bahan bakar dengan selisih nilai kepuasan konsumen yang dipertaruhkan adalah 0,265. 5. ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

e.

Importance

Pengolahan untuk Variabel Kesetiaan Merek

Tabel 10. Rekapitulasi Persentase Kesetiaan Merek Merek Kesetiaan Merek Karisma (%) Shogun 125 R (%) Switcher 8.163 0.000 Habitual buyer 26.531 4.082 Satisfied buyer 71.429 93.878 Liking the brand 71.429 95.918 Committed buyer 22.449 51.020 f. Pengolahan Game Theory Teori permainan merupakan salah satu metode untuk menghasilkan strategi dalam pemasaran. Dalam pengolahan ini, data yang digunakan adalah nilai rata-rata performance setiap atribut yang melekat pada Honda Karisma dan Suzuki Shogun 125 R.

5.1 Analisis Profil Konsumen Berdasarkan jenis kelamin, untuk merek Honda Karisma 83,673% adalah pria dan untuk Suzuki Shogun 125 R 81,633%. Ini menunjukkan bahwa konsumen kedua merek tersebut didominasi oleh pria. Berdasarkan usia, 38,776% konsumen Karisma berada pada batas 26-35 tahun dan Shogun 125 R 55,102%, serta 0% untuk usia di bawah 16 tahun, untuk kedua merek tersebut. Berdasarkan pendidikan terakhir 44,898% konsumen Karisma dan Shogun 125 R lulus SLTA/sederajat. Untuk Karisma 30,612% konsumen adalah pegawai swasta, dan untuk Shogun 125 R 40,816% konsumen adalah wiraswasta. Persentase di atas adalah persentase terbesar untuk setiap pertanyaan yang ditanyakan. 5.2 Analisis Brand Awareness Top of mind-brand awareness dipegang oleh Honda Karisma, yakni 57,14%. Shogun menempati urutan kedua 40,82%. Ini juga didukung dari hasil pengolahan brand recall (konsumen dapat mengingat secara langsung, namun tingkat

82

Penggunaan Game Theory dalam Strategi Pemasaran Mangara M. Tambunan

pengingatannya setelah merek utama dalam top of mind) dan brand recognition (konsumen mengingat merek setelah diingatkan kembali) di mana Honda Karisma memiliki persentase 34,69% dan 4,08%. Ini berarti Karisma adalah sepeda motor bebek buatan Jepang dengan volume 125 cc dan mesin 4 tak yang paling diingat oleh konsumen. Sedangkan Suzuki Shogun 125 R memiliki tingkat brand recall sebesar 32,65% daan brand recognition sebesar 22,45%. Tidak ada konsumen yang tidak mengenal merek sepeda motor Honda Karisma, tetapi ada 4,08% konsumen yang tidak mengenal merek Suzuki Shogun 125 R. 5.3 Analisis Asosiasi Merek Asosiasi-asosiasi yang melekat pada Honda Karisma ada 28 asosiasi (dari 24 yang diuji) yaitu: 1. Irit dalam penggunaan bahan bakar 2. Harga jual kembali/purna jual yang tinggi 3. Tersedia bengkel/service resmi 4. Model/desain yang menarik dan dinamis 5. Ada tempat penyimpanan barang yang luas 6. Warna dan jenis strip yang bervariasi dan tahan lama 7. Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) 8. Tarikan/akselerasi mesin yang baik 9. Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan 10. Memiliki kecepatan yang tinggi 11. Memiliki rem cakram 12. Kemudahan dalam perawatan 13. Produk tersebar luas di pasar 14. Kemudahan mendapatkan spare part/suku cadang asli 15. Harga spare part terjangkau dan tahan lama 16. Kemudahan dalam penggunaan 17. Aksesoris yang lengkap (lampu kristal, spion, dll.) 18. Suspensi atau shock yang bagus 19. Tinggi sepeda motor yang standar 20. Nama/merek yang dikenal luas di pasaran 21. Iklannya menarik dan promosi yang kontinu 22. Tetap stabil meski dikendarai dengan kecepatan tinggi 23. Jangka waktu garansi yang panjang 24. Inovasi perusahaan yang terus-menerus 25. Jok yang empuk dan tinggi jok (dudukan) yang nyaman 26. Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) 27. Kualitas rangka yang tahan banting 28. Ban tidak mudah selip (banyak gerigi) Asosiasi-asosiasi untuk Suzuki Shogun 125 R ada 42 buah, yaitu:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.

Irit dalam penggunaan bahan bakar Harga jual kembali/purna jual yang tinggi Tersedia bengkel/service resmi Harga terjangkau Model/desain yang menarik dan dinamis Body yang sportif Body yang ramping Ada tempat penyimpanan barang yang luas Warna dan jenis strip yang bervariasi & tahan lama Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) Tarikan/akselerasi mesin yang baik Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan Ada bonus pembelian (seperti helm dan jaket) Memiliki kecepatan yang tinggi Memiliki rem cakram Kemudahan dalam perawatan Produk tersebar luas di pasar Kemudahan mendapatkan spare part/suku cadang asli Harga spare part terjangkau dan tahan lama Kemudahan dalam penggunaan Aksesoris yang lengkap (lampu kristal, spion, dll.) Suspensi atau shock yang bagus Tinggi sepeda motor yang standar Pergantian roda gigi yang halus Nama/merek yang dikenal luas di pasaran Iklannya menarik dan promosi yang kontiniu Tetap stabil meski dikendarai dengan kecepatan tinggi Mampu membawa beban yang besar/berat Memiliki sistem pengaman (kunci) yang baik Jangka waktu garansi yang panjang Inovasi perusahaan yang terus-menerus Volume silinder yang besar Dapat dengan mudah dimodifikasi Jok yang empuk dan tinggi jok (dudukan) yang nyaman Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) Ada undian berhadiah Memakai racing pada roda Kualitas rangka yang tahan banting Suara yang nyaring Tanpa oli samping Ban tidak mudah selip (banyak gerigi) Ada penutup rantai

5.4 Analisis Kesan Kualitas Analisis kesan kualitas dapat dilakukan dengan melihat pada diagram cartesius performanceimportance. Diagram ini dibagi atas empat bagian, yaitu Kuadran I, II, III dan IV.

83

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Tabel 12. Atribut Karisma pada Diagram Cartesius


Kuadran I (underact) Honda Karisma 1. Harga spare part terjangkau dan spare part yang tahan lama. 2. Tersedia garansi 3. Kualitas rangka yang tahan banting 4. Kemudahan dalam perawatan 1. Tarikan/akselerasi mesin yang baik 2. Suspensi/shock yang bagus 3. Harga jual kembali/purna jual yang tinggi 4. Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) 5. Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan 6. Kemudahan mendapatkan spare part/suku cadang asli 7. Irit dalam penggunaan bahan bakar 8. Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) 9. Tetap stabil meski dikendarai dengan kecepatan tinggi 10. Tersedia bengkel/service resmi 1. Iklannya menarik dan promosi yang kontiniu 2. Harga sepeda motor terjangkau 3. Model/desain yang menarik dan dinamis 4. Nama/merek yang dikenal luas di pasaran 5. Memiliki kecepatan yang tinggi 1. Kemudahan dalam penggunaan

Kuadran II (maintain)

5.5 Analisis Kesetiaan Merek Dari pengolahan data dapat diketahui bahwa Shogun 125 R memiliki konsumen dengan persentase 93,878% untuk tingkat satisfied buyer dan 95,918% untuk tingkat liking the brand. Persentase ini unggul jika dibandingkan dengan Karisma, yang pada dua tingkatan ini memiliki nilai yang sama, yakni 71,429%. Shogun 125 R tidak memiliki konsumen yang switcher (berpindah merek karena faktor harga). Sementara Karisma memiliki 8,163% konsumen yang switcher. Dan 22,449% konsumen Karisma adalah konsumen yang komit, sedangkan untuk Shogun 125 R, ada 51,020% konsumen yang komit akan merek tersebut. 5.6 Analisis Permainan Dari metode maksimin-minimaks dalam permainan, ditemukan saddle point untuk matriks payoff Karisma, sehingga dapat dihasilkan strategi murni, di mana nilai permainan adalah 0,265. Ketika Shogun 125 R melihat Karisma menggunakan strategi Tersedia bengkel resmi maka ia akan menggunakan strategi Irit dalam penggunaan bahan bakar untuk memperkecil nilai kehilangannya. Demikian halnya dengan Karisma, jika ia melihat Shogun 125 R menggunakan strategi Irit dalam penggunaan bahan bakar, maka ia akan menggunakan strategi Tersedia bengkel resmi untuk memperbesar nilai perolehannya. 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Konsumen sepeda motor bebek buatan Jepang untuk volume silinder 125 cc dan mesin 4 tak dengan merek Honda Karisma dan Suzuki Shogun 125 R didominasi oleh pria, dengan persentase (untuk keseluruhan responden) terbesar pada batas usia 26-35 tahun. 2. Dari kedua jenis sepeda motor bebek yang dibandingkan, Honda Karisma merupakan sepeda motor yang paling diingat oleh konsumen, meski memiliki asosiasi yang lebih sedikit daripada asosiasi Shogun 125 R. 3. Dari 20 atribut yang dibandingkan untuk kesan kualitas, Honda Karisma memiliki 10 atribut yang dapat terus dipertahankan, yaitu: a. Tarikan/akselerasi mesin yang baik b. Suspensi/shock yang bagus c. Harga jual kembali/purna jual yang tinggi d. Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) e. Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan f. Kemudahan mendapatkan spare part g. Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) h. Tetap stabil dikendarai pada kecepatan tinggi i. Tersedia bengkel/service resmi

Kuadran III (low priority)

Kuadran IV (overact)

Tabel 13.

Atribut Shogun 125 R pada Diagram Cartesius


Honda Karisma 1. Kemudahan dalam perawatan 2. Tetap stabil meski dikendarai dengan kecepatan tinggi 1. Tersedia bengkel/service resmi 2. Harga sepeda motor terjangkau 3. Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) 4. Tarikan/akselerasi mesin yang baik 5. Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan 6. Kemudahan mendapatkan spare part/suku cadang asli 7. Harga spare part terjangkau dan spare part yang tahan lama. 8. Kemudahan dalam penggunaan 9. Model/desain yang menarik dan dinamis 1. Memiliki kecepatan yang tinggi 2. Suspensi/shock yang bagus 3. Nama/merek yang dikenal luas di pasaran 4. Iklannya menarik dan promosi yang kontiniu 5. Tersedia garansi 6. Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) 7. Kualitas rangka yang tahan banting 1. Irit dalam penggunaan bahan bakar 2. Harga jual kembali/purna jual yang tinggi

Kuadran I (underact)

Kuadran II (maintain)

Kuadran III (low priority)

Kuadran IV (overact)

84

Penggunaan Game Theory dalam Strategi Pemasaran Mangara M. Tambunan

4. Shogun 125 R memiliki 9 atribut yang dapat dipertahankan, yaitu: a. Tersedia bengkel/service resmi b. Harga sepeda motor terjangkau c. Ketangguhan dan keawetan mesin (tahan lama) d. Tarikan/akselerasi mesin yang baik e. Kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan f. Kemudahan mendapatkan spare part g. Harga spare part terjangkau dan tahan lama h. Kemudahan dalam penggunaan i. Model/desain yang menarik dan dinamis 5. Persentase konsumen Shogun 125 R yang komit akan merek adalah 51,020%, yang berarti lebih besar dibandingkan dengan Karisma dengan persentase 22,449%. 6. Strategi yang dapat digunakan Honda untuk menghadapi Shogun 125 R adalah dengan mengoptimalkan atribut tersedianya bengkel/service resmi. 7. Strategi yang dapat digunakan Shogun 125 R untuk menghadapi Karisma adalah dengan mengoptimalkan atribut irit dalam penggunaan bahan bakar. 6.2 Saran Saran yang dapat diberikan peneliti kepada pihak Honda adalah perlunya meningkatkan promosi melalui radio dan surat kabar. Memperhatikan secara khusus atribut pada Kuadran I dan III, yaitu: Kuadran I (underact) a. Harga spare part terjangkau dan tahan lama b. Tersedia garansi c. Kualitas rangka yang tahan banting d. Kemudahan dalam perawatan Kuadran III (low priority) a. Iklannya menarik dan promosi yang kontinu b. Harga sepeda motor terjangkau c. Model/desain yang menarik dan dinamis d. Nama/merek yang dikenal luas di pasaran e. Memiliki kecepatan yang tinggi Saran kepada pihak Suzuki, untuk meningkatkan promosi melalui teman/keluarga, dealer dan papan reklame. Ini berarti perlu menjalin hubungan baik dengan konsumen sebagai pedoman untuk perbaikan

kualitas produk ke depan. Perlu juga dilakukan perbaikan kualitas dalam atribut-atribut pada Kuadran I dan III, yaitu: Kuadran I (underact): a. Kemudahan dalam perawatan b. Tetap stabil dikendarai pada kecepatan tinggi Kuadran III (low priority): a. Memiliki kecepatan yang tinggi b. Suspensi/shock yang bagus c. Nama/merek yang dikenal luas di pasaran d. Iklannya menarik dan promosi yang kontinu e. Tersedia garansi f. Kadar polusi sedikit (filter knalpot yang baik) g. Kualitas rangka yang tahan banting Penting dilakukan penelitian ekuitas merek dalam frekuensi yang lebih sering, untuk mengetahui perkembangan ekuitas merek dan perbaikanperbaikan terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan ekuitas merek. Butir-butir pertanyaan untuk kesetiaan merek dapat ditambah untuk memunculkan kriteria loyalitas yang lain. Juga penjelasan untuk setiap pertanyaan atribut-atribut sepeda motor pada kuisioner penelitian, agar responden memiliki persepsi yang sama akan atribut-atribut tersebut. 7. DAFTAR PUSTAKA Aacker David. A. Manajemen Ekuitas Merek. Jakarta: Mitra Utama, 1997 (Terjemahan) Durianto Darmadi, Sugiarto, Sitinjak Tony. Strategi Menaklukkan Pasar melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 Husein Umar Drs. Metodologi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000 Kotler, Philip. Marketing Manajemen. Edisi IX, New Jersey: Prentice Hall, 1997 Siagian P, Penelitian Operasional: Teori dan Praktek, Jakarta: UI Press, 1987 Ulrich Karl, Eppinger Steven. Product Design and Development. America: The McGraw-Hill Companies, Inc, 2000

85

ANALISIS KEANDALAN PIPA PENYALUR AIR MINUM DENGAN CACAT SEMI ELIPS
1

Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh 2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe

T. Hafli1 dan Akhyar Ibrahim2

Abstract: This current research was developed to find out the material reliability, fracture toughness, life-time assessment on drinking water pipeline 12 in diameter which consists of undercut crack welded with semielliptical geometry. By using the concept of fracture mechanics, library study, field inspection and experimental, and then all data was analyzed by descriptive method. The results of research show that water working stres is 0,33 ksi to generate design stres about 8,8 ksi, and yield strength of welded is 52 ksi, so that operating condition of 12 inch pipeline is very safe from break or brittle fracture; for undercut crack depth 0,25 inch and width 2,5 inch, KI of simulation less than experimental which it means crack propagate controlled to material surface, crack propagation rate still in stable condition up to 8,8 ksi of working stres; and according to failure criteria this drinking water pipeline 12 in diameter is in safe condition from both break before leak mode and damage after crack mode which its crack propagate about half depth of pipe wall. Keywords: Reliability, Pipe, Welded, Undercut, Fracture Mechanics, Charphy Impact, Failure Criteria PENDAHULUAN Dalam desain struktur pipa penyalur pipa air minum ada dua langkah penting yang perlu diperhatikan, yaitu seleksi terhadap material yang akan digunakan dan analisis kekuatan struktur terhadap kondisi pembebanan selama masa pengoperasian. Dengan pelaksanaan kedua langkah tersebut diharapkan kegagalan komponen yang digunakan selama operasi dapat dicegah sejak dini. Beberapa faktor penyebab kegagalan pipa berupa bocor dan pecah dari hasil survei antara lain akibat sabotase, atau bencana alam, korosi, mekanik (cacat yang berkaitan dengan masalah konstruksi, handling dan material). Untuk jenis cacat pipa yang berbentuk retak, ketahanan pipa akan menurun keandalan (reliability). Oleh karena itu, untuk mempelajari keandalan pipa, kekuatan dan umur sisa pipa dapat dihitung melalui pendekatan mekanika retakan. Mekanika retakan adalah suatu metoda analisis patah getas dari struktur yang mengandung retakan dengan geometri dan dimensi tertentu yang sebelumnya sudah diketahui melalui suatu jenis NDT tertentu. Masalah yang dihadapi, adalah berapa tingkat keandalan dari struktur pipa penyalur air minum yang mengandung cacat lasan undercut ditinjau dari analisis mekanika retakan. LANDASAN TEORI Suatu struktur dikatakan gagal apabila tegangan yang terjadi lebih besar dari tegangan luluh atau kekuatan tariknya. Konsep konvensional tersebut hanya dapat diterapkan pada struktur yang mulus, sedangkan pada permukaan cacat dapat digunakan konsep mekanika retakan. Dalam konsep ini, kriteria kegagalan suatu material struktur ditentukan oleh 3 parameter yaitu tegangan yang terjadi, ukuran cacat dan ketangguhan patah material itu. Cacat Retak pada Permukaan Pipa Instalasi pipa memiliki ketidaksempurnaan atau cacat yang dapat berasal dari semua tahapan manufaktur, instalasi dan operasi. Cacat permukaan pipa yang dihasilkan pada proses pengelasan pada saat konstruksi. Cacat lasan undercut, menurut Korda, et al. (2002), biasanya berbentuk semi elips, mengakibatkan ketahanan pipa akan menurun atau keandalan (reliability) pipa berkurang, apabila dibarengi dengan beban monotonik atau siklik baik yang bersumber dari fluida kerja maupun sumber eksternal lainnya sehingga pipa akan gagal dengan cara patah getas. Pada pipa yang mengandung cacat retak, ketahanan pipa akan menurun drastis akibat penjalaran retak yang sangat cepat, ketika mengalami beban statik atau siklik, hingga pipa patah getas (Rothwell, 1977). Masalah penjalaran retak sering terjadi pada pipeline yang mengalirkan air minum. Retakan dapat terjadi dan pipa dapat pecah sampai beberapa kilometer. Suatu fenomena yang disebut dengan fast fracture. Jika sebuah pipa pecah maka tekanan fluida (air minum) akan menurun drastis (depressured) menghasilkan gelombang kejut (decomposion shock waves) dengan kecepatan travelling dalam orde kecepatan bunyi (400 m/detik); bahkan di atas kecepatan bunyi tersebut diatas. Pressure drop yang tejadi secara tiba-tiba di dalam pipa yang bocor akan menurunkan tekanan hoop pada dinding pipa, sehingga faktor indentitas tegangan (K1) akan turun juga. Akibatnya retakan akan berhenti menjalar sebab driving force-nya melemah. Faktor Intensitas Tegangan Retak menjalar jika faktor intensitas tegangan (K) mencapai harga kritis K1c yang selanjutnya dikenal sebagai ketangguhan retak. Suatu harga K1c menggambarkan ketangguhan retak dari suatu

86

Analisis Keandalan Pipa Penyalur Air Minum T. Hafli dan Akhyar Ibrahim

material yang tergantung pada retak, geometrik, atau sistem pembebanan. Ketangguhan retak merupakan ukuran ketahanan meterial menerima beban luar atau lingkungannya. Menurut Broek (1988: 53), ketangguhan retak untuk kondisi regangan bidang adalah: K1c = ac (1) di mana ac adalah panjang retak kritis dan adalah parameter geometri retak spesimen. Tegangan pada Pipa Tekan Kekuatan sambungan las dapat diuji dengan tegangan arah tegak lurus dari arah lasan. Persamaan matematis dari tegangan secara analitik pada pipa berisi fluida tekan, menurut Mohitpour, et al. (2003: 303), dapat diterapkan untuk berbagai arah sambungan las, khususnya lasan spiral baik arah memanjang dan melintang radial pipa, masingmasing adalah:

Ketangguhan Charphy Metode yang digunakan untuk menentukan ketangguhan patah berdasarkan nilai energi impak charphy, dirujuk kepada Model strip elastis plastik dari Dagdale (1960), yang menurunkan hubungan antara COP dan tegangan terpakai di dalam medan tegangan biaksial. Menurut Mohitpour, et al. (2003: 399), ukuran retak kriris yang dibutuhkan untuk mengawali retakan dapat dihitung dengan berbagai tingkat ketangguhan Charphy menggunakan persamaan dibawah ini.
2 K C M ln sec T T 2 8c 2 12CvE 2 KC = AC

(6) (7)

P.D 4.t P.D 1 = 2.t


2 =

Menurut Mohitpour, et al. (2003:400), salah satu rumus yang sering digunakan adalah yang diajukan oleh AISI dan didaftarkan dalam klausul 941.1 dari ASME B31.8 sebagai CVN = 0,0345. 1.5.R0.5 (8)

(2) (3)

di mana: 2 adalah tegangan memanjang (horizontal), 1 adalah tegangan melintang (radial) pipa, P adalah tekanan fluida; D adalah jari-jari pipa, dan t adalah tebal pipa. Kriteria Bocor Sebelum Pecah Salah satu aplikasi mekanika retakan pada pipa adalah mengkaji pipa yang mengandung cacat awal (pre-crackdefect) dan mengalami beban statik (constant internal pressure). Jika pipa tersebut mempunyai cacat berbentuk semi-ellips pada daerah lasan, misalnya menjalar sesuai dengan waktu, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah pipa tersebut akan langsung pecah secara getas atau mengalami kebocoran terlebih dulu sebelum pecah. Jika terjadi kebocoran terlebih dahulu maka melalui inspeksi rutin kebocoran tersebut dapat dideteksi sehingga langkah reparasi dapat diambil. Kondisi ini disebut sebagai kriteria bocor sebelum pecah (leak before break criterion). Untuk menghitung kegagalan suatu pipeline yang mengandung retak awal, menurut Engle (1979: 75) dapat digunakan persamaan di bawah ini. Ac = K21. Q/(1,21..2) (4) dan Q = 2 0,212. (/0)22 (5) di mana ac adalah panjang retakan kritis, t adalah tebal pipa, /0 adalah hoop stres, fluid stres, K1 adalah faktor intensitas tegangan, dan Q adalah parameter geometri retak. Berdasarkan persamaan (4) dan (5) di atas, kriteria kegagalan pipa dapat dinyatakan bahwa: jika, ac > t, pipa bocor terlebih dahulu sebelum pecah; ac < t, pipa akan langsung pecah/patah getas.

Ukuran cacat kritis dapat dihubungkan dengan ketangguhan Charphy menggunakan pendekatan Mekanika Ratakan. Rumus di bawah ini biasanya digunakan untuk menentukan ketangguhan Charphy:
2 Cv = 4,50545 2c

2E

(9)

dengan Cv adalah energi Charphy (J), adalah tegangan terpakai pada saat gagal (MPa), 2c adalah panjang cacat tembus dinding (mm), dan E adalah modulus elastisitas (207,000 MPa untuk baja). Uji Impak Charphy mengukur energi patah total dari spesimen, yang merupakan integral dari R(a) sepanjang ligamen. Jika kurva R horizontal, nilai integral tadi dibagi dengan ligamen tertentu R dan K = (ER)0..5. Untuk ketangguhan rendah pada urutan yang sangat rendah, maka kurva R akan mendekati horizontal, sehingga ada suatu korelasi antara KIC dan energi Charphy hampir sama nilainya. Bagaimanapun, ada beberapa perbedaan mendasar antara suatu nilai uji Charphy dan uji ketangguhan. Hal yang sangat penting adalah perbedaan laju pembebanan (berpengaruh pada tegangan luluh) dan perbedaan dalam ketajaman takikan (berpengaruh (4) keadaan tegangan pada ujung retak, dan juga medan tegangan pada saat luluh). Menurut David Broek (5) (1988: 216) menurunkan hubungan perbandingan empiris sebagai KIC = 11.4Cv (10)

di mana K dalam MPam dan Cv dalam joules. Berdasarkan persamaan-persamaan di atas, maka penelitian ini akan dikaji lebih lanjut.

87

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

METODOLOGI Dalam penelitian ini dipergunakan sejumlah peralatan, antara lain, mesin gergaji, mesin las listrik, mesin freis, mesin uji tarik, dan mesin uji impak charphy. Bahan penelitian adalah Pipa 12 untuk penyalur air minum yang mengandung cacat lasan undercut geometri retak semi-ellips dan kawat las merek Jumbo. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan mengenai berbagai kasus kegagalan material pipa 12 transmisi air minum, data-data teknis lainya; dan survei lapangan untuk mengamati secara langsung obyek penelitian dan melakukan pencatatan, terutama data-data hasil rekaman NDT dari perusahaan. Di dalam pengujian laboratorium, bahan pipa JIS G 3452 yang memiliki diameter 12 inchi, dipotong menjadi 6 bagian, kemudian dilas dalam bentuk spiral dengan sengaja lasan dibuat tidak sempurna hingga membentuk cacat undercut dengan geometri semi-elips. Pada sambungan lasan yang mempunyai undercut yang berbentuk semi-elips itu, diambil sampel dengan cara memotongnya yang dilakukan pada arah-arah memanjang, diagonal dan arah canai (arah memanjang) dari baja lembaran itu. Kemudian Sampel-sampel tersebut diperiksa komposisi kimia, uji tarik, dan uji impak Charphy berdasarkan ASTM E 23-91. Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder (studi kepustakaan), maupun primer (hasil wawancara, hasil perhitungan dan pengujian) diolah berdasarkan analis-deskriptip. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor Intensitas Tegangan Pipa sebagai Fungsi Ukuran Cacat Untuk mencari faktor konversi satuan dapat dilakukan dengan menggunakan rumus di bawah ini: KIC={820Cv1420}B-1/2+630[N/mm3/2] (11)

Apabila faktor intensitas tegangan (KI) pada pipa sebagai fungsi dari ukuran cacat undercut diamati berdasarkan gambar 2, tampak bahwa hasil simulasi diperoleh data untuk kedalaman cacat undercut 0,25 inch dan lebar cacat undercut 0,5 mempunyai tingkat intensitas tegangan yang rendah yaitu 3,325 ksiin, maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa dari data cacat undercut yang diperoleh kedalaman cacat undercut 0,039 (lihat tabel 1) dan lebar cacat undercut dari simulasi tertinggi 2,5 inch mempunyai tingkat intensitas tegangan tertinggi yaitu 3,4 ksiin (lihat tabel 1). Kemudian, hasil tersebut dapat disusun suatu tabulasi data, yang langsung dikunstruksikan gambar 2. hubungan kedalaman cacat undercut (a) dan lebar cacat undercut (2c) terhadap faktor intensitas tegangan (KI).
9 Indtensitas Tegangan, K, (ksi in) 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0,005 0,1 0,015 0,2 0,025 Kedalaman Undercut ,a (inch) 0,3
2c 2c 2c 2c 2c = = = = = 0,5" 1,0" 1,5" 2,0" 2,5"

Gambar 1. Hubungan Intensitas Tegangan terhadap Kedalaman Cacat Undercut Analisis Geometri Cacat Maksimum untuk Tekanan Operasi Tertentu Selanjutnya, hasil perbandingan ukuran bentuk geometri cacat undercut dengan intensitas tegangan yang didapat dari persamaan empiris yang diperoleh dari hasil merujuk kepada rumus simulasi pada tabel dan gambar 2, sehingga diperoleh analisis bahwa semakin tinggi atau besar rasio ukuran cacat undercut semakin rendah intensitas tegangan yang dihasilkan dan semakin kecil atau rendah rasio ukuran cacat undercut (kedalaman dan lebar cacat undercut) yang terjadi semakin tinggi intensitas tegangan yang diperoleh kemudian.
10

Dan hasil konvensi tersebut diperoleh faktor intensitas tegangan kritis [kIC(ksiin)] maksimum dan minimum seperti dapat diperlihatkan dalam tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Hubungan Energi Impak Charphy dan Intensitas Tegangan Kritis Tabal Cv Intensitas Intensitas Material (joule) Tegangan Tegangan B (mm) Kritis, KIC Kritis, KIC (MPam) (ksiin) 1 2 3 4 60 108 97,2 70 118 1062 10 80 126 113,3 90 138 124,5 100 147 135,2

9 intensitas tegangan, K ,(ksi in) 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

rasio ukuran cacat undercut a/2c (non-dimensi)

Gambar 2. Faktor Intensitas Tegangan terhadap Rasio Ukuran Cacat Undercut

88

Analisis Keandalan Pipa Penyalur Air Minum T. Hafli dan Akhyar Ibrahim

Analisis panjang retak maksimum yang diizinkan untuk tekanan atau tegangan operasi tertentu dapat dilakukan dengan memperhatikan gambar 3. Panjang retak (kedalaman cacat undercut) maksimum yang diizinkan untuk tekanan operasi tertentu dari grafik 3 dapat disimpulkan bahwa kedalaman cacat undercut (a = 0039 - 0,25), maka akan diperoleh hasil tegangan operasional maksimum ketangguhan material yang mengandung cacat las undercut terhadap deformasi plastic maupun perpatahandengan perbandingan data desain tegangan sekitar 40 ksi untuk internal pressure 1,5 ksi dan batas net-section-yielding weld material (data kuat luluh material lasan) 52 ksi pipa masih dalam batas daerah safe area, yaitu di bawah batas netsection-yielding weld material sehingga dapat dinyatakan bahwa pipa dalam keadaan aman dari deformasi kebocoran maupun mengalami patah getas. Analisis kriteria kegagalan Penentuan kriteria kegagalan pecah sebelum bocor atau sebaliknya dari pipa berdasarkan kriteria bocor sebelum patah perlu diketahui: apakah panjang kritis retakan (aC), melampaui tebal pipa (t), atau sebaliknya retakan sudah menjalar hingga nilai kritisnya tercapai sebelum ketebalan pipa terlampaui. Berdasarkan pernyataan di atas, kriteria kegagalan dapat disusun sebagai berikut: Jika KI>KIC menyatakan retak merambat tak terkendali; atau aC<t menyatakan pipa akan langsung mengalami pecah/ patah getas. Jika KI<KIC menyatakan retak merambat tak terkendali, atau aC>t menyatakan pipa akan bocor terlebih dahulu sebelum mengalami pecah/ patah getas. Berdasarkan gambar 4 hasil simulasi dan data KIC maksimum dan KIC minimum bahwa untuk kedalaman retak 0,25 inch dan panjang retak 2,5 inch ternyata bahwa KI (8,25 ksiin< KIC minimum (97,2 ksiin).
600 tegangan operasi izin (ksi) 500 400 300 200 100 0 0 0,1 0,2 0,3 kedalaman Undercut, a (inch) 0,4
Log. (Kic min (ksi in)) Log. (Kic max (ksi in))

retak masih dalam kondisi stabil untuk tegangan operasional yang diizinkan 8,8 ksi dengan internal pressure 0,33 ksi, dan dari Gambar 4 pipa masih dalam daerah aman karena jauh di bawah batas kekuatan luluh dari material lasan 52 ksi; juga untuk tegangan operasional maksimum sekitar 40 ksi untuk internal pressure 1,5 ksi pipa masih aman dari deformasi kebocoran atau patah getas. Jadi, prediksi penjalaran retak ini masih dalam daerah kontinum yang dapat dipantau dan dikendalikan dengan baik, bahkan kondisi tersebut belum mencapai daerah penjalaran retak cepat menuju kegagalan bocor atau patah getas. Analisis Kekuatan Sisa Pipa dan Perambatan Retak Apabila ditinjau kekuatan sisa pipa yang mengalami perambatan retak, maka pipa tersebut akan benar-benar aman dari deformasi maupun patah getas apabila kuat luluh dari material las berada di bawah garis net-section yielding. Apabila sebaliknya, pipa akan mengalami deformasi plastik atau patah getas (pipa pecah).

135 130 125 120 115 110 105 100 95 Indtensitas Tegangan, K, (ksi in) 90 85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0,005 0,1 0,015 0,2 0,025 0,3 Kedalaman Undercut ,a (inch)
2c 2c 2c 2c 2c = = = = = 0,5" 1,0" 1,5" 2,0" 2,5"

max

min

Gambar 4. Hubungan Faktor Intensitas Tegangan terhadap Kedalaman Undercut Pada gambar 4 hubungan tegangan operasi yang diizinkan terhadap kedalaman cacat undercut, tampak bahwa tegangan operasi yang dihasilkan air bertekanan 0,33 ksi menghasilkan desain tegangan sekitar 88 ksi, sedangkan kuat luluh material las adalah 52 ksi sehingga kondisi pipa benar-benar aman dari kebocoran maupun terjadinya pecah pada pipa yang sedang beroperasi.

Gambar 3. Hubungan Tegangan Operasi terhadap Kedalaman Cacat Undercut Hal ini berarti bahwa retak merambat terkendali dan mencapai permukaan dengan laju perjalanan

89

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

KESIMPULAN 1. Mekanika retakan dapat digunakan dalam desain dengan cara memperhitungkan kehadiran retak/cacat awal (pre-crack), dan faktor intensitas tegangan kritis (KIC) atau facture toughness di dalam material. 2. Tegangan operasi yang dihasilkan fluida alir bertekanan 0,33 ksi menghasilkan desain tegangan sekitar 8,8 ksi, sedangkan kuat luluh material lasan adalah 52 ksi sehingga kondisi pipa benar-benar aman dari kebocoran maupun terjadinya pecah pada pipa pada saat beroperasi. 3. Untuk kedalaman retak 0,25 inch dan lebar 2,5 inch, KIC hasil simulasi lebih kecil daripada hasil percobaan, dan terlihat bahwa retak merambat terkendali dan mencapai permukaan, laju penjalaran retak masih dalam kondisi stabil dengan tegangan operasional yang diizinkan 8,8 ksi dan pipa masih dalam daerah aman (safe area). SARAN Dalam kenyataannya, ketika instalasi pipa yang sedang beroperasi terjadi berbagai pengaruh beban internal dan eksternal, terutama efek suhu. Karena itulah, penelitian ini masih perlu dilanjutkan dengan mengembangkan pengaruh temperatur operasi supaya tingkat keandalan pipa dapat diprediksi terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA Akhmad A. Korda, Achmad Sulaiman dan Ahmad Taufik, 2002, Prediksi Kekuatan Sisa Pipeline yang terkorosi, Prosiding Seminar Offshore Technology 2002 (Bandung Pusat Studi Teknik Kelautan & LPPB ITB, 13-14 Januari). Broek, David 1988, The Proctical Use of Fracture Mechanics, (Dordrecht and London: Kluwer Academics Publishers); Engle. R.M.Jr., 1997, Aspect Ratio Varibiality in Part-Throung crack Life Analysis. PartThroungh Crack Fatigue Life Prediction, ASTM STP 687, J.B. Chang, Ed., American Society for Testing and Materials, 1977, pp. 74-88. Mohitpour, M., Golsham, H. and A. Murray, 2003, Pipeline Design dan Constuction: A Practical Approach, Secong Edition, (Tree Park Avenue, New York: ASME Press); Rothwell, A.B, 1997, The International State of the art Pipeline fracture Control and Fracture Risk Management., Paper 12., Proc. Int.

90

UPAH MINIMUM TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA UTARA


Staf Kopertis Wilayah I Abstrak: Dalam rangka mengikuti kebijakan pembangunan yang digariskan oleh Peropenas 20042009 khususnya yang berkaitan dengan pengembangan ketenagakerjaan, pemerintah harus melaksanakan pembinaan dan perlindungan tenaga kerja di antaranya melalui penetapan upah minimum yang berlaku untuk masingmasing propinsi dan sektor pekerjaan. Intervensi pemerintah melalui penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dimaksudkan agar keputusan perusahaan mempertimbangkan prinsip keadilan bagi pekerja. Dalam musyawarah penetapan upah di perusahaan sektor industri sebaiknya masing-masing pihak, baik maupun pengusaha menyadari bahwa kedua belah pihak saling membutuhkan eksistensi perusahaan karena runtuhnya perusahaan akan merugikan pengusaha dan buruh. Kata kunci: Upah Minimum, Sektor Industri I. PENDAHULUAN Bahwa sistem perekonomian menurut Pancasila dan UUD 1945, mengenal tiga sektor besar yang interdependent yaitu sektor koperasi, sektor pemerintah dan sektor swasta. Bidang gerak sektor swasta adalah hanya perusahaan yang tidak mengurusi hajat hidup orang banyak dan bidang usaha yang belum ditangani oleh negara dan koperasi. Sektor swasta sebagai pelengkap dan pembantu kedua sektur lainnya (Tom Gunadi, 1983). Pada perusahan industri swasta, pada umumnya modal merupakan unsur dan faktor utama dan sebagai tujuan utama adalah laba sebesar-besarnya atau keuntugan maksium. Dengan motif keuntungan maksimum, maka logika perkembangan perusahaan industri swasta adalah kecenderungan persaingan sesama perusahaan swasta itu. Dalam pengembangan perusahaan industri tersebut pihak manajemen harus benar-benar memperhatikan upah para pekerja yang merupakan salah satu aset perusahaan. II. PENGEMBANGAN SEKTOR LNDUSTRI DAN KAITANNYA DENGAN TENAGA KERJA Pembangunan sektor industri tidak terlepas dengan pembangunan sektor lain karena ada hubungan kait mengkait yang erat antara pembangunan sektor industri dengan sektorsektor lain. Dalam hubungan timbal balik ini peranan sektor industri adalah memperluas lapangan kerja, menghasilkan barang-barang yang diperlukan masyarakat dan sektor pembangunan yang lain, menghasilkan devisa ekspor dari hasil industri dan menghemat devisa melalui produksi barang-barang yang hingga kini masih diimpor. Pembangunan sektor industri di Indonesia ditujukan untuk memperluas lapangan kerja karena dengan meluasnya lapangan kerja maka pendapatan nasional akan terbagi lebih merata. Penciptaan lapangan kerja akan menyerap para pengangguran yang sebagian besar berada di sektor pertanian. Berkurangnya tenaga pengangguran di sektor pertanian ini akan meningkatkan pendapatan di daerah pedesaan yang pada gilirannya petani akan menjadi pasaran hasil industri yang dihasilkan perusahaan industri. Untuk itu kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan industri yaitu: a. Industri yang dibangun dan dikembangkan haruslah industri-industri yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, dan industriindustri yang padat modal tetap akan didorong, sepanjang teknologi yang ada menimbulkan efek berganda yang luas. b. Akan lebih memusatkan perhatiannya kepada pembangunan prasarana dan pencipta iklim yang menunjang pertumbuhan industri. c. Untuk menunjang dan memberikan kemudahan-kemudahan dalam pembangun-an industri bagi pihak swasta, pemerintah berusaha agar dapat dibangun kawasankawasan industri (industrial estates) dibeberapa daerah tertentu di tanah air kita. d. Membantu dalam pembinaan dan pengembangan golongan ekonomi lemah di sektor industri, dalam hal ini mengusahakan perkembangan ketrampilan dan kecakapan pengelola pengusaha-pengusaha nasional golongan ekonomi lemah melalui latihanlatihan pada pusat-pusat pendidikan di berbagai tempat yang menitikberatkan pada pengetahuan manajemen teknis dan penyediaan-penyediaan kredit dalam usaha membantu permodalannya. e. Memberikan kesempatan kepada pengusaha pengusaha asing untuk mendirikan perusahaan-perusahaan industrinya di tanah air kita. Setelah memenuhi persyaratan

Suryatmono

91

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

persyaratan yang telah ditentukan pemerintah, dan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia, sanggup menampung; dan menggunakan tenaga-tenaga kerja Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing ini tidak boleh merugikan kepentingan nasional, tidak melakukan persaingan yang terlebih-lebih terhadap perusahaan nasional, dan sanggup membantu masyarakat terutama membantu melatih tenaga-tenaga Indonesia dan sanggup menempatkannya dalam kedudukan Pimpinan (G. Kartasapoetra 1985). Dengan kebijakan pemerintah seperti diatas maka akan terbentuknya sumber daya manusia industri yang berkualitas dan mampu bekerja sama serta bersaing untuk memperoleh manfaat positif dari era globalisasi. Fokus perhatian perusahaan tidak terbatas pada barang/jasa yang dihasilkan tetapi juga aspek proses dan aspek sumber daya manusia dan lingkungannya (Luthti Parinduri, Bulletin Utama Teknik Vol. 5 No.4 Oktober 2001). Karena pembangunan sektor industri memiliki kaitan yang erat dengan sektor lain,: maka dalam bidang industri perlu di tetapkan suatu keseimbangan antara laju pembangunan industri dengan daya serap tenaga kerja. Keseimbangan ini harus menghasilkan perluasan lapangan kerja sebesar mungkin tanpa mengakibatkan rendahnya laju pertumbuhan sektor perindustrian. Untuk mencari keseimbangan tersebut diperlukan adanya penyaringan dalam pemberian izin penanaman modal dalam negeri maupun asing. Dalam garis besarnya pemberian izin dilaksanakan menurut prinsip-prinsip berikut: 1. Dalam hal tenaga kerja, penanaman modal (baik asing maupun dalam negeri) yang menghasilkan barang-barang untuk dijual harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: Perbandingan jumlah modal yang ditanam dan jumlah tenaga kerja yang diperkerjakan tidak boleh tinggi. Persyaratan ini terutama berlaku bagi industri-industri yang mempunyai pilihan teknologi sehingga bisa disyaratkan pengunaan teknologi padat karya tanpa mempengaruhi efisiensi perusahan. Dalam penyusunan proram operasional di bidang ini ditetapkan lebih lanjut perbandingan modal dan buruh sehingga menjadi pegangan bagi pemberian izin. Bagi industri yang sifat teknologinya padat modal, sedangkan barang yang dihasilkan adalah sangat penting bagi pembangunan, maka pembagunan industri semacam ini dimungkinkan. 2. Sebelum diberikan izin, calon investor harus menunjukkan perkiraan penggunaan tenaga kerja selama perusahaan tersebut berkembang;

3. Berdasarkan penelitian yang lebih mendalam harus diperkirakan perbandingan yang wajar antara kenaikan perkembangan produksi dan kenaikan perkembangan buruh yang bekerja pada perusahan tersebut. Dengan demikian berarti fungsi perizinan dalam pembangunan industri harus lebih ketat dan efisien, sehingga dapat dicegah terjadinya kebocoran terhadap pelaksanaan kebijakan-kehijakan tersebut melalui pengawasan yang ketat dari pemerintah. III. PENETAPAN UPAH MINIMUM SEKTOR INDUSTRI Dalam menentukan besaran upah yang harus diterima oleh para pekerja, pihak manajemen sesuai dengan hukum ketenagakerjaan yang berlaku berdasarkan hubungan industrial Pancasila, harus mempertimbangkannya secara teliti, adil, wajar dan serasi sesuai dengan pekerjaan dan jabatan para pekerja. Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan. (Imam Soepomo, 1974) pengusaha wajib membayar upah kepada para pekerja secara teratur sejak terjadinya hubungan kerja sampai dengan berakhirnya hubungan kerja (Lalu Husni, SH; 2000). Upah yang adil adalah upah Minimum yang menjamin kebutuhan yang essensial bagi kehidupan yang manusiawi (Tom Gunadi, 1983). Menurut ketentuan dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja RI No. 07/MEN/90 tentang pengelompokan upah dan pendapatan non upah, yang termasuk komponen upah dan pendapatan non upah adalah sebagai berikut: a. Komponen upah Upah pokok yaitu imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerja yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Tujuan tetap yaitu suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarga yang dibayarkan bersama dengan upah pokok seperti tunjangan anak, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, tunjangan transportasi dan tunjangan kesehatan. Tunjangan tidak tetap yaitu suatu pembayaran yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan buruh dan diharuskan secara tidak tetap gaji pekerja dan keluarganya yang pembayarannya tidak bersama dengan upah pokok. b. Tidak termasuk komponen upah Fasilitas kenikmatan dalam bentuk nyata atau natural hal-hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti fasilitas kenderaan antara jemput, maka secara

92

Upah Minimum Tenaga Kerja Sektor Industri Suryatmono

cuma-cuma sarana ibadah, tempat penitipan bayi, kantin dan sejenisnya. Bonus/jasa produk yaitu pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja berprestasi melebihi target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas Tujuan hari besar keagamaan seperti tunjangan Hari Raya dan Tunjangan Tahun Baru. Berdasarkan PP No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah maka untuk menjaga sampai terjadi upah yang diterima para pekerja terlampau rendah maka pemerintah turut serta menentukan standar upah minimum melalui peraturan perundangundangan berupa penetapan upah minimum yang wajib ditaati oleh pengusaha termasuk pengusaha perusahaan industri. Asas dari penetapan upah minimum yang adil tidak dapat lain dari pada hakikat dan fungsi tenaga kerja itu sendiri untuk penghidupan yang layak bagi kemanusiaan si pekerja. Untuk maksud tersebut maka pemerintah ikut dalam penetapan upah minimum dengan maksud untuk tercapainya keadilan dibidang ketenagakerjaan dan pemerintah menyadari hahwa apabila masalah perupahan ini hanya diserahkan kepada pihak pekerja dan pihak pengusaha maka keputusan mengenai upah ini akan didominasi oleh kehendak pihak pengusaha, karena pekerja pada saat ini masih dalam kedudukan yang lemah. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja RI. No. 05/MEN/1989 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1997 tentang upah minimum disebutkan bahwa upah minimum adalah upah pokok sudah termasuk di dalamnya tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap yang terdiri dari: a. Upah minimum sub sektoral, upah minimum yang berlaku untuk perusahaan pada sub sektor tertentu dalam daerah tertentu. b. Upah minimum sektor regional upah minimum yang berlaku untuk semua perusahaan pada sub sektor tertentu dalam daerah tertentu. c. Upah minimum regional: upah minimum yang berlaku untuk semua perusahaan dalam daerah tertentu. UMR untuk setiap daerah berbeda-beda yang didasarkan pada indeks harga konsumen, kebutuhan fisik minimum, perongkosan, kebutuhan kerja, upah pada umumnya yang berlaku secara regional, kelangsungan dan perkembangan perusahaan, tingkat perkembangan perekonomian regional dan nasional. Khususnya bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sesuai ketetapan tersebut dapat dikecualikan dari kewajiban tersebut dengan syarat mengajukan permohonan kepada Menteri Tenaga Kerja dengan rekomendasi dari Kepala Dinas

Tenaga Kerja setempat. Berdasarkan permohonan tersebut Menteri Tenaga Kerja dapat menangguhkan pelaksanaan UMR tersebut paling lama 12 bulan. Sanksi hukum bagi pengusaha yang tidak melaksanakan ketentuan upah minimum adalah yakni Rp. 100.000,00. Bagi perusahaan industri tidak ada larangan untuk menerapkan sistem upah seperti time/day rate, piece rate, pola premi Hosley, pola premi Rowan, pola bonus 100% pola kelompok atau sistem-sistem lainnya dengan ketentuan jumlah upah terendah yang diterima oleh pekerja tetap mengacu kepada ketentuan upah minimum yang berlaku dari Pemerintah. Upah minimum adalah upah terendah yang hanya berlaku bagi pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun sedang upah pekerja yang memiliki masa kerja 1 tahun ke atas dirundingkan secara musyawarah oleh serikat pekerja dengan pengusaha yang bersangkutan dan dimuat dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Bagi pengusaha yang mampu membayar upah lebih tinggi dari upah minimum tidak dilarang menetapkan upah minimum lebih tinggi dari upah minimum dan upah yang sudah dibayar di atas upah minimum dilarang mengurangi atau menurunkan upah tersebut. Keputusan pemerintah tentang, penetapan upah minimum yang berlaku untuk setiap propinsi dan sektor pekerjaan diterbitkan oleh Menteri Tenaga Kerja RI setelah mempertimbangkan Rekomendasi dari Gubernur Propinsi dan saran dari Dewan penelitian pengupahan Nasional Upah minimum ditetapkan dan berlaku mulai tanggal l Januari tahun berikutnya. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka mulai tahun 2001 penetapan upah minimum disetiap Propinsi diputuskan oleh Gubernur dengan memperhatikan usul Dewan Pengupahan Daerah Propinsi setempat yang berlaku mulai 1 Januari tahun yang berikutnya. Dewan Pengupahan Daerah dibentuk oleh Gubernur yang terdiri dari wakil Pemerintah, wakil pengusaha dan wakil serikat pekerja. Gubernur Propinsi Sumatera Utara dengan keputusan No. 560/3892/KS Tahun 2001 tanggal 20 Desember 2001 telah menetapkan pembentukan Dewan Pengupahan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Kemudian Dewan Pengupahan Daerah c.q. surat Dinas Tenaga Kerja Propinsi Sumatera Utara pada setiap akhir tahun mengajukan usul penetapan upah minimum sektoral propinsi Sumatera Utara yang berlaku mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Adapun surat usulan Dewan Pengupahan Daerah Propinsi Sumatera Utara untuk penetapan Upah Minimum Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006 adalah usulan No.3549/6/DTK-TR/2005 tanggal 20-12-2005. Berdasarkan usulan tersebut maka Gubernur

93

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Propinsi Sumatera Utara menerbitkan keputusan No.561/2858/K/Tahun 2005 tanggal 25 Desember 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Sektoral Propinsi Sumatera Utara tahun 2006. Untuk jelasnya pada tabel dibawah ini adalah daftar upah minimum sektor industri Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 yang dikutip dari keputusan Gubernur tersebut. Di dalam keputusan tersebut dari 45 jenis pekerjaan pada sektor industri yang dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok UMPS sebagai berikut: UMSP 2005 (Sektor Industri) 636.000 642.400 648.439 654.000 660.000 Jenis Pekerjaa n 9 17 11 4 4 UMSP 2005 (Sektor Industri) 774.638,70 789.439,58 796.817,52 804.195,46 811.573,40 Jenis Pekerjaan 9 17 11 4 4

perusahaan. Pihak Serikat Buruh harus bisa membaca denyut nadi perusahaan tempat kerjanya terutama yang berkaitan dengan keuntungan dan kerugian perusahaan sehingga pada waktu berunding dengan pihak pengusaha, sudah memiliki materi yang tajam sehingga usulan yang dibawa dalam musyawarah cukup baik dan bisa memperkuat posisi tawar serikat buruh dalam perundingan agar peranan kedua belah pihak terpadu. Dengan berpadunya peranan pengusaha dan peranan serikat pekerja dalam perundingan, akan membawa dampak yang baik yaitu musyawarah dan mufakat yang melahirkan keputusan berupa terwujudnya upah yang wajar bagi pekerja. Dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada bulan Oktober 2006 kenaikan Upah Minimum tersebut kurang berarti bagi meningkatkan kesejahteraan buruh karena sebelum upah minimum berlaku sudah didahului dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi. IV. KESIMPULAN Setelah membahas masalah penetapan upah minimum pada perusahaan sektor industri maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pekerjaan harus dapat menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan si pekerja yang bekerja dan keluarga yang menjadi tanggungannya. 2. Upah terendah pada perusahaan industri baru pada tahap kebutuhan fisik minimum namun sudah mendekati nilai kebutuhan nyata namumn dengan adanya kenaikan harga BBM kenaikan tersebut tidak punya arti yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan buruh. 3. Pemerintah setiap tahun mengevaluasi pelaksanaan ketetapan upah minimum di daerahdaerah propinsi sebagai dasar untuk menetapkan upah minimum pada tahun berikutnya dengan mempertimbangkan masukan dari Dewan Pertimbangan Upah Daerah Propinsi. 4. Perlunya kesadaran pihak pengusaha dan pihak pekerja bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama terhadap peusahaan karena tutupnya perusahaan dapat menyebabkan pengusaha kehilangan sumber usaha dan pekeija akan kehilangan sumber nafkahnya. DAFTAR PUSTAKA G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, dan A.G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Bina Aksara, Bandung: 1985 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta: 1975 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Gratindo Persada, Jakarta: 2000

Berdasarkan data upah minimum di atas dapat kita lihat bahwa upah para pekerja di sektor industri masih di bawah kebutuhan fisik minimum namun bila nilai upah tersebut disatukan dengan fasilitas lain seperti Jamsostek, upah lembur, uang makan dan lain-lain, maka upah yang diterima pekerja tersebut sudah mendekati nilai kebutuhan nyata (NKN), namun masih jauh dan kebutuhan fisik minimum (KFM). Apalagi dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). North Sumatra Project Coordinator International Labour Organization (ILO) Henri Sitorus menilai gaji buruh di Indonesia masih terendah di antara buruh-buruh Se-ASEAN. Saat ini gaji buruh sesuai UMP di seluruh Indonesia rata-rata masih di bawah Rp. 750.000,00 kecuali Vietnam. Unjuk rasa pekerja saat ini masih berkisar pada perbaikan upah yang menurut mereka belum memadai namun di lain pihak pengusaha/industriawan juga mengeluh karena kondisi ekonomi saat ini kurang mendukung perbaikan upah tersebut. Upah pekerja yang pada kondisi sekarang menyebabkan masalah ketenaga kerjaan di Indonesia masih dalam tahap bagaimana meningkatkan upah buruh agar bisa mencapai taraf kebutuhan hidup minimum (KHM) padahal di negara ASFAN lainnya persoalan tersebut sudah bergeser kearah perebutan lapangan kerja dengan buruh asing. Pihak manajemen perusahaan industri harus mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki sistem perupahan yang kurang baik sesuai kemampuan perusahaan dan apabila memang kondisi perusahaan belum memungkinkan maka perlu dimusyawarahkan secara terbuka dengan pihak serikat buruh. Keterbukaan dalam manajemen, musyawarah dan menghadapi masalah akan melahirkan keputusan bijak dan arif yang menjadi seleksi terbaik bagi masing-masing pihak baik itu pihak buruh maupun pihak manajemen

94

Upah Minimum Tenaga Kerja Sektor Industri Suryatmono

2005 Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila Dan UUD 1945, Angkasa, Bandung: 1983 Bulletin Utama Teknik, Vol. 5 No. 4 Oktober 2001, Fakultas Teknik UISU, Medan Sekretariat Negara RI, Program Pembangunan Nasional 2004 2009, Jakarta: 2004 Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 561/2858/K Tahun 2005 tanggal 25 Desember Tom

95

HARD MILLING OF HARDENED TOOL STEEL: TOOL WEAR AND TOOL LIFE
Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering University of North Sumatera Abstract: Tool wear and tool life when hard milling of fully hardened steel with 62 HRC using CVD multilayer coated carbide tool are the objectives of the study reported in this paper. The results of study show that flank wear and brittle fracture (chipping and flaking) are the dominant wear modes of the tool. Feeding is found as the dominant parameter in flank wear progression and in terminating tool life. It is recommended from the study that cutting conditions for the tool when cutting hardened steel are cutting speeds of 50 to 95 m/min, while feed, axial and radial depth of cut are 0.01 mm/tooth, 1 mm, and 20 mm, respectively. At those cutting conditions, tool life is ranging from 5 to 20 minutes. Keywords: CVD, Flank Wear, Brittle Fracture, Chipping, Flaking 1. INTRODUCTION Tool steel is widely used in making moulds, dies, cavity bars, gears and many kinds of machine parts. In producing the parts, the first stage is machining of the tool steel in normal condition that is in hardness around 23-27 HRC. In this stage, tool steel is machined until the geometry of parts is produced. This stage is followed by the heat treatment stage in which the hardness property of tool steel is improved up to 40 HRC or more in order to meet the requirement of product. Finally, this stage is ended by finish machining (Dewes & Aspinwall 1997). Those stages in the above are time consuming and thus, productivity is relatively low. Moreover, in the case of producing the high accuracy product, the dimension may not be produced accurately due to the heat treating process. Nowadays, machining the workpiece materials in hard condition is one of hot issues in metal cutting. This method is called hard machining. Under this method, materials with hardness from 32 HRC to fully hardened 60-62 HRC are directly machined into its final geometry and dimension. Due to the high hardness of workpiece material, the rate of tool wear is high when hard machining process. Besides flank wear, usually chipping, flaking and fracturing are the dominant wear modes found in hard machining (Ghani et al. 2004; Aslan 2005). As the advancement of cutting tool technology today, many cutting tools have been coated with some coating materials such as TiN, TiC, Al2O3, TiAlN, etc. Che Hassan et al. (2001) have reported that the multilayer coated carbide (WC-Co coated with TiC, Al2O3, TiN) is promising when used in turning of tool steel in normal hardness (27 HRC). They reported that the coated carbide could be used up to 350 m/min with tool life not less than 7 minutes when machining under dry cutting and not less than 12 minutes when machining under wet cutting. However; the result of surface roughness when tool life of wet cutting passes the dry cutting is three times higher (more than 6 micron). The objective of study reported in this paper is to study the tool wear and tool life when end milling of fully hardened tool steel with hardness of 62 HRC. The multilayer coated carbide is used in this study and the machining trial is carried out with end milling process under dry cutting. The advantage of this study is facilitating the small and medium enterprises in setting up their cutting condition and sharing the good practice when machining product made of hardened steel. 2. MATERIALS AND METHODS The fully hardened tool steel (AISI D2) with hardness of 62 HRC was selected as workpiece material. The shape of workpiece was block with dimension of (310x75x54) mm. The chemical composition and mechanical properties of this material are given in Table 1 and 2. The workpiece was clamped firmly on the milling machines table during machining testing. Table 1. Chemical Composition of AISI D2 Chemical Composition (%). Fe to 100% C Si Mn Cr Mo V 1.42 0.3 0.4 11.2 0.8 0.2 Table 2. Mechanical Properties of AISI D2 Density (kg/m3) 7,700 Modulus (N/mm2) 193,000 Conductivity (W/moC) 20.2 Spec. heat (J/kgoC) 460 The multilayer CVD coated carbide tool in insert type was prepared in this study. Two pieces of this insert were mounted in a tool holder to form the end milling cutter with nominal diameter of 20 mm. The tool geometry is given in table 3.

Armansyah Ginting

96

Hard Milling of Hardened Tool Steel: Armansyah Ginting

Tabel 3. Tool Geometry Nose radius (mm) Chamfer width (mm) Chamfer angle (o) Axial rake angle Radial rake angle Face relief angle Peripheral relief angle Face cutting edge angle Peripheral cutting edge angle Face clearance angle Peripheral clearance angle Blade setting angle Helix angle

0.8 0.16 14 8 -7 7 7 17 0 15 15 90o8 15

radial (ar) depths of cut are kept constant at 1.0 mm and 20 mm, respectively. The tool life criteria in this study were stipulated based on ISO 8688 (1989). The machining trial is stopped when VBmax 0.7 mm on any insert and VB average 0.3 mm on both inserts. All trials are repeated 3 times in order to obtain the reliable data and the average values are recorded. The measurement of VB was taken using the toolmakers microscope and each VB measurement was carried out after cutting length of 60 mm. 3. RESULTS AND DISCUSSIONS The results of machining trials in this study are summarized in table 5. Tool life data was recorded when flank wear at VB 0.3 mm. Wear rate is calculated based on flank wear (0.3 mm) divided by tool life. 3.1 Tool Wear From the results presented in table 5, it can be seen that generally, the tool wear modes of the multilayer CVD coated carbide tool used in this study are flank wear and brittle fracture. However, based on the cutting speed, the wear modes can be classified into 2 groups. Cutting speeds of 50 to 72 m/min can be classified into group one. In this group, the wear marks of flank wear is rough and brittle fracture is dominantly occupied by flaking and chipping (figure 1). In group two (cutting speed of 80 and 95 m/min) the wear marks of flank wear is smooth (figure 2). Unlike brittle fracture in group one, the brittle fracture in group two is worst. The excessive chipping and flaking are occurred due to the high momentum of interrupted cutting during machining at high cutting speed.

The insert is made of the micrograin WC-Co with 10% of Cobalt and it is coated with 13 combination layers of TiN, Ti(C,N) and Al2O3. The total thickness of the combination layers is 10 microns and the outer layer of this insert (TiN) has roughness of Ra 0.2 micron. The mechanical properties of this insert are given in table 4. Table 4. Mechanical Properties of Insert Transverse rupture (N/mm2) 3,300 Density (kg/m3) 145 Conductivity (W/mK) 120 Modulus (GPa) 600 Hardness (HV10) 1,450 Grain size (micron) <1 The machining trial was executed on the CNC Vertical Milling Center with 0 10,000 rpm. Cutting conditions for machining trial are cutting speed (v) from 50 m/min (recommended by the tool manufacturer) to 95 m/min and feeding (f) of 0.01 to 0.02 mm/tooth (finish machining). The axial (aa) and Table 5. The Experimental Results Cutting speed (v) (m/min) 50 65 72 80 95 Tool life (min) 20.00 15.24 13.91 10.24 5.33 Wear rate (mm/min) 0.015 0.020 0.022 0.029 0.056

Feed (f) = 0.02 mm/tooth Tool life Wear mode (min) 5.00 RF and BF 3.90 3.48 2.51 SF and EBF 1.60

Wear rate (mm/min) 0.060 0.077 0.086 0.120 0.188

Wear mode F and BF (rough) F and BF (smooth)

RF = rough flank wear, BF = brittle fracture (chipping, flaking) SF = smooth flank wear, EBF = excessive brittle fracture (chipping, flaking)

97

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Based on the recommendation of ISO standard for tool life testing (ISO 8688 1989), the reliable tool life of cutting tool is ranging from 5 to 25 minutes. Therefore, the recommended cutting condition for the cutting tool tested in this study is at cutting speeds of 50 to 95 m/min and feed of 0.01 mm/tooth, while axial and radial depth of cut are 1 mm and 20 mm (full engagement since the nominal diameter of the milling cutter is 20 mm).
100

Figure 1. Flank Wear and Brittle Fracture When 72 m/min, 0.01 mm/Tooth at VB 0.3 mm.

Tool life (min)

10

Figure 2. Flank Wear and Brittle Fracture When 80 m/min, 0.02 mm/Tooth at VB 0.3 mm Referring to Table 5, it can be seen that the increasing of feeding from 0.01 mm/tooth to 0.02 mm/tooth (2 times) at all cutting speeds tested results the increasing of flank wear rate averagely 3.9 times. When cutting speed is concerned, the increasing of cutting speed from 50 m/min to 95 (m/min) (about 2 times) at feed of 0.01 and 0.02 mm/tooth results the flank wear rate 3.9 and 3.1 times, respectively. The values indicate that the effect of feeding is more significant than cutting speed in term of the progression of flank wear. Moreover, the micro observation using SEM proves that the excessive chipping is also affected by feeding. At the same cutting speed, the worst chipping and flaking are resulted by the higher feeding. 3.2 Tool Life Tool life data in Table 5 is plotted and presented in Figure 3. Statistically, the decreasing value of tool life is found analogue to the increasing value of flank wear rate in the above. By these facts, it can also be concluded that the effect of feeding is more than cutting speed in terminating the tool life.

1 1

feed 0.01 mm/tooth at VB 0.3 mm feed 0.02 mm/tooh at VB 0.3 mm S i 3

10

100

1000

Cutting speed (m/min)

Figure 3. Cutting Speed vs. Tool Life for All Cutting Conditions 4. IMPLEMENTATION The cutting condition recommended from this study was implemented in fabricating the vertical table work to support the operation of milling machine in horizontal position (Figure 4). The table work is a sample product made by the small and medium enterprises. In fabricating the vertical table work, cutting speed of 72 m/min was used for face milling the wide surface of table work, while 50 m/min for making the dove tail slot on the table. The result of machining proves that the cutting conditions recommended and good practices gained from this study are successful implemented in producing the vertical table work that made of hardened steel.

98

Hard Milling of Hardened Tool Steel: Armansyah Ginting

(a)

(b)

Figure 4. Product of Implementation. (a) Vertical Table Work. (b) Vertical Table Work Installed on Horizontal Milling Machine 5. CONCLUSIONS 1. Flank wear and brittle fracture (chipping and flaking) are the wear modes of the CVD multilayer coated-carbide when used in hard milling of fully hardened steel with 62 HRC. 2. Feeding is found as the dominant parameter in flank wear progression and in terminating tool life. 3. The recommendation cutting condition for hardened steel using the CVD multilayer coated carbide from this study is cutting speeds of 50 to 95 m/min, feed 0.01 mm/tooth, axial and radial depth of cut 1 mm and 20 mm (nominal diameter of cutter). 4. The cutting conditions recommended from this study are successfully used in fabricating the vertical work table made of hardened steel. 7. REFERENCES Aslan, E. 2006. Experimental investigation of cutting tool performance in high speed cutting of hardened X210 Cr12 cold-work tool steel (62 HRC). Materials and Design 26: 21-27. Che Haron, C.H., Ginting, A. & Goh, J.H. 2001. Wear of coated and uncoated carbides in turning tool steel. Journal of Materials Processing Technology. 116: 49-54. Dewes R. C. and Aspinwall D. K. A Review of Ultra High Speed Milling of Hardened Steel. 1997. Journal of Materials Processing Technology. 69: 1-17. Ghani, J.A., Choudhury, I.A. and Masjuki, H.H. 2004. Performance of P10 TiN coated carbide tools when end milling AISI H13 tool steel at high cutting speed. Journal of Materials Processing Technology. ISO Standard 8688. 1989. Tool Life Testing In Milling, Part II-End Milling.

6.

ACKNOWLEGEMENT The author would like to express his sincere of gratitude to Prof. Dr. Che Hassan Che Haron from University Kebangsaan Malaysia and Mr. Goh Joo Hua for the data.

99

DESAIN PENGUAT TRANSISTOR MENGGUNAKAN PARAMETER ADMITANSI


Satria Ginting
Abstrak: Penguat merupakan bahagian terpenting dalam sistem rangkaian komunikasi. Sinyal-sinyal radiasi yang berada di udara, umumnya berukuran mikrovolt. Sesaat setelah diterima oleh antena sinyal ini harus diperkuat agar dapat dideteksi dan diartikan. Teknik penguatan yang biasa digunakan dalam analisis transistor serta teknik penguatan operasional tidak bekerja optimal untuk sinyal-sinyal berfrekuensi orde GHz. Oleh karenanya diperlukan metode analisis yang lebih teliti dan akurat. Salah satu teknik analisis dan desain akurat tersebut adalah teknik parameter admitansi. Kata kunci: Penguat, Transistor, Admitansi, 2 Port Abstract: The amplifier is the most important circuit in communication electronics. Radiated signals in spaces measured in microvolt. After being received by antennas, these signals should be amplified in order to recognized and translated correctly. Amplification technique that is always used in analyzing transistor circuits and operational amplifier will not working properly for signals in frequency of GHz. Therefore, it is necessary to find methods to analyze more precisely. One of these techniques is using admittance parameters. 1. PENDAHULUAN Analisis admitansi adalah bagian dari analisis sistem 2 port. Admitansi adalah nilai kebalikan dari impedansi, Y=1/Z. Parameter admitansi diperoleh dengan mengukur nilai-nilai admitansi dari transistor yang akan digunakan. Nilai tersebut diukur untuk range frekuensi tertentu. Transistor diperlakukan sebagai kotak 2 port seperti ditunjukkan pada gambar 1. Nilai-nilai admitansi yang diperoleh dari gambar 2. Nilai impedansi terdiri dari komponen reaktif, sehingga nilai admitansi y konduktasi g dan suseptansi b. Hasil parameter admitansi y yang diperoleh frekuensi meliputi: y11 = g11 + jb11 y12 = g12 + jb12 y21 = g21 + jb21 y22 = g22 + jb22 resistif dan terdiri dari pengukuran untuk setip

PORT IN

PORT OUT

PORT IN

PORT OUT

PORT IN

PORT OUT

Gambar 1. Representasi Transistor sebagai Divais 2 Port

Contoh : y11=1/z11=v1/i1, di mana i2=0

Gambar 2. Cara Memperoleh Nilai Admitansi

100

Desain Penguat Transistor Menggunakan Parameter Admitansi Satria Ginting

2.

PEMILIHAN TRANSISTOR Untuk mendesain penguat frekuensi tinggi, harus dipilih tansistor dengan karakteristik yang diinginkan. Transistor frekuensi tinggi (sampai beberapa GHz) memiliki parameter 2 port (parameter h, y, atau s) pada datasheetnya. Nilai tersebut diukur dan ditabulasikan sampai rentang frekuensi tertentu. Tabel 1 menunjukkan contoh tabulasi parameter s untuk transistor MRF134. Jika tabulasi yang tersedia dalam bentuk fasor, maka harus diubah dalam bentuk kompleks. Jika tabulasi yang tersedia dalam parameter s atau h, maka harus dikonversikan ke parameter y. Adapun metode konversinya ditunjukkan beberapa formula berikut ini.

Jika C<1, maka transistor akan cendrung stabil dan tidak berosilasi, sebaliknya jika C>1, maka transistor cendrung tidak stabil dan memerlukan rangkaian netralisasi. Transistor 2N3823 pada frekuensi 200MHz memiliki nilai C=0,504. Ini berarti transistor dapat digunakan pada frekuensi 200MHz. 4. PENENTUAN RANGKAIAN BIAS Rangkaian bias yang digunakan harus dapat mensuplai arus bias sesuai nilai arus pada parameter admitansi yang digunakan. Dalam hal ini 10mA. Hal lain yang perlu ditambahkan adalah, transistor harus dipisahkan secara fisik pada frekuensi 200MHz dari rangkaian biasnya. Hal ini dicapai dengan menambahkan RF Choke pada setiap kaki transistor. RF Choke adalah induktansi dengan nilai tinggi dan akan melewatkan semua sinyal pada frekuensi tinggi. Rangkaian bias yang ditunjukkan pada gambar 3 menggunakan bias sendiri dalam konfigurasi common gate.

di mana nilai Zo adalah 50 Ohm. Gambar 3. Rangkaian Bias Arus bias akan mengalir dari sumber tegangan melalui RFC ke drain dengan memanfaatkan nilai tahanan pada RFC. RFC menghubungkan drain ke ground. Kapasitor digunakan untuk mengurangi efek riak dari catudaya. Rangkaian bias lain seperti bias pembagi tegangan, bias kolektor (untuk BJT) juga dapat digunakan, dengan syarat dapat mensuplai arus bias yang ditetapkan dan dipisahkan dengan menggunakan RFC. Untuk mencegah osilasi akibat induksi elektromagnetis, shielding dilakukan untuk memisahkan pin output dan pin input. 5. UJI PARAMETER STERN Setelah rangkaian bias diperoleh, selanjutnya adalah menghubungkan penguat dengan sumber sinyal dan beban. Parameter yang penting dari sumber sinyal dan beban adalah impedansi masingmasing. Dari impedansi tersebut diperoleh nilai YS dan YL. Untuk mengetahui keseluruhan rangkaian dapat beroperasi atau tidak, maka digunakan analisis kestabilan stern:

di mana

di mana

Dalam artikel ini transistor 2N3823 digunakan sebagai contoh untuk mendesain penguat pada frekuensi 200 MHz, arus ID= 10 mA. Pada frekuensi ini, transistor memiliki parameter y sebagai berikut:

Nilai ini adalah nilai pada frekuensi 200MHz dan ID=10mA, maka dalam mengaplikasikannya akan efektif pada frekuensi tersebut dan arus bias 10mA. 3. UJI PARAMETER LINVILL Untuk mengetahui apakah transistor dapat digunakan pada frekuensi 200MHz, maka parameter admitansi harus diuji kestabilannya dengan menggunakan uji kestabilan Linvill:

Jika k<1, maka rangkaian tidak stabil, sebaliknya jika k>1, maka rangkaian akan stabil.

101

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

6.

MAKSIMALISASI PENGUATAN Gain maksimal yang dapat diberikan sebuah penguat adalah:

Kondisi ini diasumsikan bahwa impedansi source dan load match dengan input impedance/admittance dan output impedance/admittance dari penguat. Di mana input admitance penguat adalah: Gambar 5. Bentuk Modul Penguat dan output admittance adalah: 7. TEKNIK STABILISASI Jika pada langkah perhitungan kestabilan Linvill nilai C ternyata lebih dari 1, maka dapat dilakukan teknik stabilisasi dengan menambahkan rangkaian feedback seperti ditunjukkan pada gambar 6.

Namun permasalahannya adalah ketika beban dan source tidak match, maka akan diperoleh penurunan nilai gain. Perhitungannya diperoleh dengan memasukkan komponen YS dan YL pada perhitungan, yakni gain transducer:

Pada kasus di atas, nilai kestabilan stern untuk admitansi beban dan source 50 Ohm adalah lebih besar dari 1, hal ini berarti kondisi penguat stabil. Nilai penguatan maksimum yang dapat diberikan adalah 16.8 dB. Namun penguatan yang diperoleh akan bervariasi terhadap nilai YS dan YL. Maka untuk memaksimalkan penguatan dan menstandarkan impedansi sumber dan beban, digunakan rangkaian matching impedance. Gambar berikut adalah gambar lengkap di mana diasumsi kan YL=50 Ohm (YIN penguat dapat dihitung), YS=50Ohm (YOUT dapat dihitung), sehingga YIN dan YS dapat dimatchingkan, YOUT dan YL juga dapat dimatchingkan. Keduanya menggunakan matching impedace. Posisi RFC disesuaikan sehingga diperoleh rangkaian yang tepat.

Gambar 6. Teknik Stabilisasi Penguat Jika nilai parameter admitansi transistor adalah y11t, y12t,y21t,y22t, dan nilai admitansi rangkaian feedback adalah y11f, y12f, y21f, y22f, maka akan diperoleh nilai admitansi baru dari rangkaian:

Nilai ini dapat digunakan dalam desain yang baru dengan menggunakan langkah-langkah yang sama. 8. KESIMPULAN Dari uraian di atas, diperoleh bahwa analisis dan desain penguat dengan menggunakan parameter admitansi lebih teliti dan lebih mudah dibandingkan dengan parameter sebelumnya seperti phi atau gm. Hal ini disebabkan: - Parameter y langsung diperoleh secara experimental untuk frekuensi yang diinginkan. - Pemilihan bias lebih flexible, karena tidak mempengaruhi gain selama arus bias terpenuhi dan rangkaian dipisahkan dengan RFC. - Perhitungan lebih mudah, nilai-nilai yang diperoleh eksak dan teliti. - Pemakain matching impedance dan teknik stabilisasi mempertinggi luasnya pemakaian transistor sebagai penguat.

Gambar 4. Rangkaian Lenglap Penguat Untuk langkah selanjutnya, penguat dapat dibuat beberapa tingkat dan dipabrikasikan dalam bentuk modul seperti gambar 5 berikut.

102

Desain Penguat Transistor Menggunakan Parameter Admitansi Satria Ginting

REFERENSI Field Effect Transistor RF Amplifier Design Techniques, Motorola Semiconductor Products, Inc., Application Note 423. Circuit Design and Characterization of Transistors by Means of Three-Part Scattering Parameters, by George E. Bodway, The Microwave Journal, May, 1968. Small-Signal RF Design with Dual-Gate MOSFETs,Motorola Semiconductor Products, Inc. Application Note 478A. A High Gain Integrated Circuit RF-IF Amplifier with Wide Range AGC, Motorola Semiconductor Products, Inc. Application Note 513.

Transistors and Active Circuits, by Linvill and Gibbons, McGraw-Hill, 1961. Stability and Power Gain of Tuned Transistor Amplifiers, by Arthur P. Stern, Proc. IRE, March, 1957. Using Linvill Techniques for R. F. Amplifiers, Motorola Semiconductor Products, Inc., Application Note 166. High-Gain, High-Frequency Amplifiers, by Peter M. Norris, Electro-Technology, January, 1966. Linvill Technique Speeds High Frequency Amplifier Design, by John Lauchner and Marvin Lilverstein, Electronic Design, April 12, 1966.

103

ANALISIS PENGARUH IMPREGNASI SILIKA (SIO2) TERHADAP KUALITAS BRIKET ARANG TEMPURUNG KELAPA
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Abstrak: Briket arang adalah suatu sumber energi alternatif yang dapat diturunkan dari arang tempurung kelapa dan perekat, namun mutunya seperti nilai kalor bakar masih berkisar 5000 kal/gr dengan kuat tekan 2,64 kgf/cm2, untuk meningkatkan mutu ini maka perlu dilakukan penelitian lanjutan. Tempurung kelapa dikarbonisasi pada (600700) 0C dengan udara terbatas, arang yang dihasilkan digiling dan diayak sampai (40 60) mesh. Partikel halus ini diimpregnasi dalam larutan natrium silikat (Na2SiO3) dengan variasi konsentrasi (0,11,0)%. Bahan ini (impregnan) selanjutnya dicampur dengan perekat organik dan dicetak menjadi briket. Briket ini diuji kalor bakar dan kuat tekannya, kalor bakar maksimum diperoleh 8083,84 kal/gr dengan kuat tekan 4,45 kgf/cm2 pada konsentrasi 0,2% larutan natrium silikat (Na2SiO3). Kata kunci: Impregnasi, Variasi Konsentrasi, Perlakuan Panas, Silikat Abstract: A materil such as charcoal briquet can be used as an alternative energy. This material has been regenerated from a coconut shell charcoal blended with organic glue. It has caloric value approximatly 5000 cal/gr with compressibility number is 2,64 kgf/cm2. To improve the quality both caloric value and compressibility number is an objective of this study. A coconut shell was carbonized at (600700) 0C in limited air condition. The charcoal formed then was crushed, sized to (4060) in mesh. These particel were impregnated in natrium silicate (Na2SiO3) solution under a range cocentration (0,11,0)%. The impregnant was blended with an organic glue then molded to be a briquet. These briquets were tested their caloric value and their compressibility. A maximum caloric value was obtained 8083,84 cal/gr with its compressibility number 4,45 kgf/cm2 in 0,2% natrium silicate (Na2SiO3) solution. PENDAHULUAN Dengan meningkatnya secara pesat pembangunan pada segala bidang yang mengakibatkan pula meningkatnya kebutuhan akan energi, sementara cadangan energi seperti minyak bumi, dan gas alam yang tersedia di perut bumi semakin menipis, oleh karena itu kita dituntut untuk memikirkan sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui adalah pemanfaatan limbah tempurung kelapa yang diolah menjadi briket arang, karena selama ini penggunaan tempurung kelapa hanya sebagai arang biasa dan belum dipergunakan secara optimal, sementara sediaan tempurung kelapa cukup banyak terdapat di Indonesia khususnya daerah Sumatera Utara dan dapat diperbaharui. Tempurung kelapa banyak juga dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu pada industri kerajinan tangan, tepung tempurung, arang, arang aktif serta briket. Pemanfaatan arang sebagai arang aktif adalah didasarkan pada sifat-sifatnya yang merupakan bahan padatan amorf yang berpori (Keake, Hilda F. G, 1955). Adapun komposisi arang tempurung kelapa terdiri atas unsur C=81,9%; H=5,5%; N=3,1%; O=9,5% dan pH=6,7 sedang karbon tempurung dapat disebut karbon polar atau karbon nonpolar, hal ini dibedakan dari banyaknya gugus karbonil (C=O) yang melekat pada karbon (J. Laine, A. Calafat, 1999). Karbon polar biasanya terjadi jika karbonisasi (proses pengarangan) karbon di bawah suhu 700 oC. Pada pembuatan briket arang, maka arang polar yang sering digunakan karena material arang polar akan merekat dengan binder atau perekat yang bersifat polar (Suheng Wu, 1999). Pembriketan atau briquetting terhadap suatu material merupakan cara untuk mendapatkan bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pembriketan ini lazim dilakukan terhadap coke, peat, garam, arang dan bahan mineral lainnya. Pembuatan obat dalam bentuk tablet atau pun katalis dalam bentuk pellet termasuk juga dalam cara briquetting, (Sudrajat R.,1993). Karbon merupakan material berpori-pori di mana pori-porinya semakin besar setelah dilakukan aktivasi fisik atau kimia, pori-pori karbon yang besar diduga menurunkan nilai kalor bakar dari briket (4000-5000) kal/g (Hartoyo Ando, 1996). Pori-pori ini dapat diimpregnasi dengan logam untuk keperluan katalis suhu tinggi (A.Aslam Ali PD II-LIPI). Dengan menggunakan teknik ini maka serbuk karbon jika diimpregnasi dengan silika (SiO2) akan memperkecil ukuran pori-pori karbon tersebut. TEORI KARBON Karbon merupakan suatu bahan padatan yang berpori dan mempunyai tiga bentuk alotrop; intan, grafit, dan kabon amorf. Sungguh menakjubkan bahwa satu elemen tunggal seperti karbon, dapat muncul dalam dua bentuk kristal yang sangat berbeda yaitu intan dan grafit. Intan adalah elemen yang transparan dan merupakan salah satu material paling keras, banyak dimanfaatkan sebagai media abrasi dan

Aditia Warman

104

Analisis Pengaruh Impregnasi Silika Aditia Warman

alat pemotong. Grafit digunakan sebagai pelumas padat dan alat tulis (mata pensil). Elemen ini sekarang digolongkan ke dalam kelompok keramik tahan panas karena kekuatannya pada temperatur tinggi serta ketahanannya yang sangat baik terhadap kejutan termal. Intan dan grafit mempunyai struktur atom karbon murni yang sifatnya berbeda sedangkan karbon amorf meliputi sejumlah besar senyawaan yang bagian terbesarnya adalah karbon dan tidak dapat di klasifikasikan sebagai intan atau grafit, termasuk di dalamnya karbon aktif dan karbon hitam karena sifat-sifatnya lebih banyak menunjukkan sebagi senyawa amorf (R. E. Smallman, 1999). BRIKET ARANG Briket arang dapat dibuat dari campuran bubuk arang ditambah dengan suatu bahan pengikat lalu dicetak dan dipres pada cetakan dan setelah itu dikeringkan, sifat fisis yang penting dari briket arang ini adalah nilai kalor bakar dan kuat tekannya, kuat tekan yang memadai diperlukan untuk mencegah agar briket arang ini tidak pecah pada waktu pengangkutannya. Pembriketan terhadap suatu material merupakan cara untuk mendapatkan bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan tertentu, pembriketan biasanya lazim dilakukan terhadap coke, peat, garam arang, dan mineral lainnya, secara garis besar pembriketan dapat dibedakan atas dua macam; 1. Pembriketan dengan memakai pengikat (binder), hampir semua/sebagian besar dari pembriketan menggunakan cara ini. 2. Pembriketan tanpa memakai pengikat, cara ini dipakai untuk material-material tertentu saja, sebagai contoh misalnya untuk coal bituminous, dalam hal ini digunakan tekanan yang sangat besar (mencapai 10 ton/in2).

METODOLOGI PENELITIAN Impregnasi Karbon dengan Natrium Silikat (Na2SiO3) Butiran arang yang terbuat dari tempurung kelapa dengan metode destilasi kering akan menghasilkan arang dengan rendamen yang tinggi, selanjutnya dihaluskan dengan hammer mill dan diayak dengan ayakan berukuran 40 dan 60 mesh lalu diaktifkan dengan metode pengaktifan selanjutnya dicuci dengan air lalu dikeringkan dalam oven 125 o C selama 6 jam setelah itu diamati dengan foto SEM dan FTIR untuk mengetahui keadaan permukaan dan strukturnya sebelum diimpregnasi. Butiran arang yang berukuran 40 dan 60 mesh ini selanjutnya dibagi menjadi 10 bagian dan masing-masing direndam dengan Natrium Silikat (Na2SiO3) yang konsentrasinya masing-masing (0,1 s/d 1,0 ) % selama satu hari, setelah itu arang yang telah diimpregnasi ini dicuci dengan air dan ditiriskan lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 125 o C selama 6 jam, selanjutnya butiran arang ini diayak kembali dengan ayakan yang berukuran 40 dan 60 mesh dan dipanaskan pada tanur dengan suhu 400 oC selama 4 jam dan siap untuk dikarakterisasi: - Kadar air; Kadar abu; Kadar volatil; Absorbsi Iodium; Adsorbsi asam asetat - Kadar karbon; SEM; FTIR Pembuatan Briket Arang Butiran arang dari hasil impregnasi selanjutnya dibuat menjadi briket dengan komposisi sebagai berikut: tujuh bagian arang dicampur dengan satu bagian bahan pengikat dan bahan pengikat ini terdiri dari; - 30 bagian dari 25% larutan dekstrin/glukosa - 29 bagian dari 25% larutan NaCl - 28 bagian dari 10% larutan Na2SiO3 - 23 bagian dari 5% larutan H2SO4 Selanjutnya diaduk hingga merata dan dicetak dalam cetakan dan ditekan dengan hidrolik press 10 kgf/cm2 dan dikeringkan untuk siap dikarakterisasi kembali; - Kalor baker - Kuat tekan

105

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

HASIL DALAM GRAFIK DAN GAMBAR


11.00 10.00 9.00 8.00
Kadar (Air, Abu, Volatil) (%)

7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 1.10
Consentrasi SiO2 (%)

Series1 Grafik Kadar Air - vs Consentrasi Pengimpreg SiO2 Series2 Grafik Kadar Abu - vs Consentrasi Pengimpreg Series3 Grafik Kadar Volatil - vs - Consentrasi Pengimpreg

100.00 90.00 80.00 Kadar Karbon (%) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 1.10 Consentrasi SiO2 (%)

Grafik Kadar Karbon - vs - Consetrasi Pengimpreg SiO2

106

Analisis Pengaruh Impregnasi Silika Aditia Warman

9000 8000

Kalor Bakar (kal / g)

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1

Consentrasi SiO2 (%)

Grafik nilai Kalor Bakar - vs - Konsentrasi Pengimpreg SiO2

25

20 Kuat Tekan (kgf / cm )


2

15

10

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.1

Consentrasi SiO2 (%)

Grafik Kuat Tekan - vs - Konsentrasi Pengimpreg SiO2

107

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

Foto SEM Permukaan Arang Sebelum Diimpregnasi SiO2

Foto SEM Permukaan Arang Sesudah Diimpregnasi SiO2

FTIR Sebelum Diimpregnasi

108

Analisis Pengaruh Impregnasi Silika Aditia Warman

FTIR Sesudah Diimpregnasi SiO2 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Nilai kalor bakar (C) arang tempurung kelapa meningkat jika diimpregnasi dengan SiO2 pada konsentrasi tertentu, dalam penelitian ini nilai kalor bakar optimum diperoleh 8083,84 kal/g dan kuat tekannya 4,45 kgf/cm2 pada konsentrasi pengimpreg SiO2 0,2%. 2. Sifat kuat tekan () briket arang tempurung kelapa akan bertambah dengan bertambahnya konsentrasi pengimpreg SiO2 dan hal ini juga diikuti oleh sifat kadar air (Kr), kadar abu (Ku), kadar volatil (Kv) tetapi hal ini menyebabkan turunnya kadar karbon (Kk), dan nilai kalor bakar ( C ) arang tempurung kelapa tersebut. 3. Arang tempurung kelapa memiliki absorbsi I2 = 100,61 mg I2/g dan semakin kecil setelah diimpregnasi dengan SiO2, absorbsi I2 = 47,44 mg I2/g yang didukung oleh data foto SEM dan FTIR. Saran Hendaknya dilakukan penelitian lanjutan dengan variasi tekanan pengepresan, ukuran partikel arang, bahan pengimpregnasi dan jenis bahan bakunya. DAFTAR PUSTAKA A. Aslam Ali, (2002), Activated Carbon From Coir Fibre Pith, Buletin PD II LIPI Jakarta. Alport, H Bumham, (1987),Actived Carbon Encyclopedia Of Science and Technology, Mc.Graw Hill Company, New York, Vol 1:69 American Society For Testing and Material (1981) Annual Book Of ASTM Standards Part 30 D-28 Departemen Perindustrian, (1979) Standar Industri Indonesia, Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat Mutu Barang, Departemen Perindustrian. Harotoyo, Ando, J dan H Roliadi, (1996), Pembutan Briket Arang dari Lima Jenis Kayu Indonesia, Report No. 103, Pusat Penelitian Hasil Hutan. Hasibuan M, (1995) Rekayasa dan Pembuatan Tungku Abu Sekam Dengan Bahan Bakar Briket Balai Industri Ujung Pandang. J. Laine, A, Calafat, and M. Labady (1999), Preparation and Characterization of Activated Carbon From Coconut Shell Impregnated with Phosphoric Acid, Carbon Vol.27. No.2, pp. 19-29. Keake, Hilda F.G, Lumingkewes, Meiske S.Y, (1995), Pembuatan Arang Aktif Dari Tempurung Kelapa Dengan Cara Pemanasan Tinggi, Majalah Ilmiah BIMN No.7. Souheng Wu (1999), Polymer Interface and Adhesion , Lybrary of Congress Cataloging In Publication Data, Marcel Dekker, Inc, London. Sudrajat, R. (1993), Pengaruh Beberapa pengolahan Terhadap Sifat Arang Aktif , Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol.2. Supeno M (1987) Efek Termal dan Nyala Pada Pembuatan Arang Tempurung Kelapa Terhadap Sifat Fisik Arang Tempurung Universitas Sumatera Utara Medan. R.E. Smallman, R.J. Bishop, (1999) Metalurgi Fisik Modern & Rekayasa Meterial, Erlangga Jakarta. Badan Penelitian dan pengembangan kehutanan, (1994) Pedoman Teknis Pembuatan Briket Arang, Departemen Kehutanan, No.3.

109

URBAN TRAFFIC CONGESTIONS IN MEDAN ARE SERIOUS


A Lecturer/Researcher of Civil Engineering Department, Faculty of Engineering USU Abstract: Urban traffic congestion often become topics in seminars, has been discussed and investigated by various experts, and often become chatting topics for community from various classes everywhere. Indeed, urban traffic congestion cannot be eluded, however it supposed to be minimized and not maximized (intentionally or not), like what has been visible now, that is an interesting scene or the contest of line exhibition of various types of queuing vehicles at every segment of road in Medan. How is the existing policy objectives and the City Regional Layout Planning (RTRWK) of Medan? And how is the relationship with the urban transport systems of Medan? 1. BACKGROUND Traffic congestion occurred due to the road segment has started not to be able to accommodate/distribute the vehicle flows that spilled over the road. This could happen because of high side friction effects which lead to road segment stricture (bottleneck), for instance: on road parking, selling/market on road or on the sidewalks, trishaw and urban public transport (angkot) poles, on road social activities (party or funeral ceremony), pedestrians (on road walking and/or crossing), etc. In addition, the congestion is also often caused by less accurate intersection management (with or without traffic light), added by high accessibilities to the surrounded land use of the road segments. Traffic congestion on the intersection segment can be observed from the long queued vehicles; due to the number of vehicle arrivals (pcu/minute) is quite high on the road segment, while the number of vehicles that can be distributed is very limited during the green-light time, cause the queue length becomes more intense. When the distances between intersections are close enough, then the traffic queue on the preceded intersection will affect the succeeded intersection, which consequently causes series of congestions at all integrated junctions. Furthermore, the traffic congestion/delay and harmful accident also occur due to the behaviour of angkots drivers that often turn up (nyelonong) and suddenly stop on/in the middle of road to get on/off the passengers due to reaching the daily bill target (kejar setoran). Therefore, the urban traffic jam is not only due to the unbalance ratio between infrastructure developments and means boost (vehicles) and low discipline level of motorists, like what always become reasons/arguments for various relevant government parties/individual to protect themselves. The most urgent for short-term program is the effectiveness and efficiency achievements of transport systems, such as the correct and integrated traffic managements, for instance: parking location management, road-cross facilities, traffic signals, setting traffic lights, traffic direction management (one or two ways), public transports routes/lines managements (bus lane, bus way, bus priority) and the bus stops (bus bay, shelter). 2. THE IMPACTS AND FINANCIAL LOSSES FROM TRAFFIC CONGESTIONS IN MEDAN Urban traffic congestion cannot certainly be eluded, due to the limited procurement of road infrastructure until the existence of emotional behaviour of motorists, which restricted by their discipline levels in the traffic. However, efforts to minimize the congestion levels are necessary through the application of traffic management policy. The aim of the traffic management policy is to manage the movement to achieve the systems efficiency and effectiveness in accordance with the movements needs. The management should be based on the hierarchical, functions and classifications of the roads respectively, whereas the movements needs are determined by the land use inside the city space and its surroundings which can be illustrated in data of Origin Destination (of movement) Matrix (O-D Matrix). The impacts and financial losses caused by traffic congestion that are directly affected are: 1. For users (travellers), e.g. wasting petrol, increase the travel time, and stres (triggering high blood pressure, heart disease), 2. For surrounded environment (non users) such as air and noise pollutions, less visitors to land use functions of surroundings roads (parking, retails/shops, restaurants and plaza) which therefore can decrease incomes/revenues of the land use functions. An illustration for the amount of financial losses per day that has to be bore by traveller community in Medan based on author observations and estimations is such as follows: Congestion locations per day in Medan are about 60 road segments (30 intersection spots, with assumption of 2 road segments are congested per intersection). Each congested road segment has average traffic volume of 2,500 pcu/hour at peak hours. In Medan, there are about 4 hours peak per day; therefore the average petrol waste is about 0.5 litre/pcu/road segment. While the petrol (BBM) price is Rp.1,850/litre, and the average delay is about 10 minutes/pcu/travel, and the average value of time of traveller is about Rp.40,000,-

Filiyanti T.A. Bangun

110

Urban Traffic Congestions in Medan are Serious Filiyanti T. A. Bangun

/productive hour (assumption: 1 vehicle contains 1 person). The average number of angkots users for 4 peak hours is about 120,000 passengers with value of time is Rp20,000,- per productive hour and the waiting time delays averagely about 10 minutes, therefore the loss of angkot due to less passengers (less trips) with about 15,000 total armada (angkot and taxi) is about Rp.12,000,-/vehicle. The waste petrol occur = 2,500 x 0.5 x 4 x 60 x Rp.1,850,- = Rp.555,000,000.-. The loss due to productive time = 2,500 x 60 x 15/60 x Rp.40,000,- = Rp.150,000,000.-. The loss due to delayed waiting time = 120,000 x 10/60 x Rp.20,000.- = Rp.400,000,000.-. The loss of public transport operators = 15,000 x Rp.12,000,- = Rp.180,000,000.. Therefore, the total financial loss for traveller community (user) is Rp.1,285,000,000.- per day ( Rp.36 Billions per month), added by stres burden that has to be experienced. This is not even yet the loss that has to be carried by non-users (needs further investigation with more accurate data). Thus, the more the locations and the higher the levels of congestion, then the larger the loss that has to be bore by traveller community (user) and non-users. In conclusion, the urban traffic congestion is not deserve just as a chatting topic for community, however it has to become a serious attention for all levels of road user communities, especially for regulators (The City Government and the Regional House of Representatives), law supervisors (police, Department of Communications/DLLAJ), researchers/planners of transportation and city region development. 3. THE IMPACTS OF BY-SPOTS ONE-WAY POLICY Post application of policy package of determining the traffic movement direction from two ways to become one way in several road segments in Medan is increasingly discussed through seminars and newspapers, especially about the one-way policy on Gatot Subroto road segment (from roundabout of Petisah until Gatot Subroto Iskandar Muda intersection). From the existing road hierarchy, function and classification, Gatot Subroto Street is a Primary Artery Road and operating as a State Highway (interprovinces) as well as S.M. Raja Street. As a Primary Artery Road, the City Government should rigorously mull the policy over through deeper and comprehensive (integrated) academic investigation/research in accordance with road network systems and traffic movement patterns. The stipulations based on the road hierarchies, functions and classifications, state that the services of Primary Artery Roads, especially in large cities, should be sustained by managing the traffic systems in such a way in order to maintain the average operational velocity of vehicles, so that the traffic flow condition on the road segments is expected to be constantly fast, continuing along the roads, at both inside and outside the cities (suburban). To achieve

these goals, then the accesses to local roads along the Primary Artery Roads should be limited, including limiting the direct accesses to surroundings land use (e.g.: market, plaza, real estate, schools and retails) and limiting the impacts of side frictions. Prior to the one-way policy on Gatot Subroto Street, the traffic flow distributions according to the both directions are similar in general, with a small difference is at morning and afternoon peak hours. However, the prevailed one way policy is only from Petisah Roundabout until Gatot Subroto-Iskandar Muda intersection (from East to West direction), which causes: 1. Flow stricture occurs (bottleneck) on Gatot Subroto-Iskandar Muda intersection caused by the shift of one-way flow (from Medan to Binjai) to become two-way flows (starts from the intersection nozzle of Gatot SubrotoIskandar Muda to Binjai direction), which consequently causes higher congestion level on one-way flow of Gatot Subroto Street, especially at afternoon peak-hours. 2. Adding susceptible spots and congestion levels on the other intersection road segments caused by shifting the traffic flow distributions, such as follows: a. Ayahanda intersection: traffic flow disposal of Gatot Subroto Street from West to East direction becomes more excessive to Ayahanda Street and/or Darussalam Street; The congestion from Darussalam Street will affect Pabrik Tenun Street, continually to the intersection of Skip Street and keep going to Gereja Street until Glugur junction. b. Asrama intersection: traffic flow disposal of Gatot Subroto Street from West to East direction becomes more excessive to Asrama Street. c. Western intersection, traffic flow disposal of Gatot Subroto Street from West to East becomes more excessive to K. H Wahid Hasyim Street and affects the intersection of Gajah MadaK. H. Wahid Hasyim and continually to the intersection of Gajah Mada Iskandar Muda (extreme congestion). The congestion from Gajah Mada Street flows to S.Parman Street and continually to Kejaksaan Street (becomes more severe at the intersection of Imam Bonjol Diponegoro). The congestion from Kejaksaan Street will flow to Kpt. Maulana Lubis Street intersection and continually until the intersection of Raden Saleh Street (becomes extreamly congested). d. From KH.Wahid Hasyim Street, the traffic flow will affect the intersection of Abdulah Lubis Street, which will continually unite with the flow from Iskandar Muda Street at the intersection of Abdulah Lubis Iskandar Muda causes severe congestion at the intersection.

111

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

3.

4.

5.

e. The intersection of Gajah MadaIskandar Muda, the traffic flow comes from Gajah Mada Street to Iskandar Muda Street will cause travellers search alternative roads around the acceess roads, such as: Hayam Wuruk Street, Dr. T. D. Pardede Street, etc., which causes additional congestion in various intersections along Iskandar Muda Street and continually causes congestions at the intersections of each alternative road with S.Parman Street that affect the intersection of S. Parman Street with Sudirman Street. Reduce accessibilities to Petisah market and retails/office complex around the road due to the one way flow, especially flows from West to East for land users on surroundings road segments, e.g. demand reduction to market/shopping areas, parking. The reallocation of angkot routes to other road segments, which previously passes the road segment of Gatot Subroto (specifically from West direction to East). Considering the too many routes and angkots armada that pass the road segment simultaneously with longer routes (chaotic reallocations, without solemn planning and up to angkots will), cause the traffic chaotic and congestion more severe on road segments and intersections that accommodating the impacts. Not yet adding with financial loss for the angkots drivers due to fewer passengers, less trips and longer travel distances. Additional of heavy duties, higher costs and more plenty security guards (DLLAJ, police), especially during the policy application term.

Fair Plaza are expected to (should) grant the financial compensation for the development of both types of road. 2. The ingress and egress accesses of Medan Fair Plaza are not permitted from Gatot Subroto Street, therefore it is necessary to determine the both accesses from other surroundings road alternatives in accordance with the road functions and hierarchies. Thus, there will be no more direct access from Gatot Subroto Street to Medan Fair Plaza. The both solutions above will exactly minimize the traffic congestions along Gatot Subroto Street although the traffic flows are still in two-ways flows like previously. Whereas for the policies of traffic flow direction management of other road segments in Medan, it is compulsory to undertake further investigations that are more integrated according to the comprehensive systems. 5. THE ROLES OF CITY GOVERNMENT OF MEDAN Enacting the one-way policy on several road segments, causes community has experienced the negative impacts, only then the City Government (Pemko) issues a plan to develop the Warga Street. How long will the development vow be a fact so that the financial and psycho losses for the community can be estimated and bore? If, for instance, the vow has become a fact, the management of traffic problems might be different again, because the perceptions and the travellers traits have patterned on road network according to time. Therefore, it is better if the road networks (infrastructure) have been built primarily before applying the traffic management policies, so that the traffic management in Medan is not by spots, but it should be by network systems that are integrated, cooperative and sustainable. The development of Medan City has rapidly advanced nowadays, especially for retails businesses that tend to be concentrated on the surroundings CBD (Centre Business of District) area, whereas the development of the road infrastructure has seen nothing. In the future, after the congestion problems become very serious and the solutions are only either to widen the roads or to establish a new road or a fly over, then these will cost huge money and social impacts and will cause a lot of stres to urban community as the expelled victims. Therefore, it is highly expected that the development programs of Medan City is not centralized only in CBD area or in the other word heaping sugar in city centre so that the ants will gather and rotate in city centre that causes various bigger urban problems (not only in transportation sector but also in other sectors) so that the solutions become heavier and more complicated. The city establishment /development concepts are expected not only having temporary goals or just taking the advantages (lagi mumpung), moreover the effects will be very heavy and complicated for community.

What become salient questions are: Has City Government of Medan (Pemko) accurately mulled the amount of losses over including other effects caused by the one-way policies? How much more the losses, which have to be bare by the community? And to where the direction of further development of Medan, if not based on RTRW Medan City, that has to be integrated with RTRW of North Sumatera Province and has been enacted (Perda)? 4. WIN-WIN SOLUTIONS The authors give temporary win-win solutions (without comprehensive data analysis), about the possible policy that may be more effective to be applied (with the existence of Medan Fair Plaza), in one conditional that the traffic flows should be changed back to two-ways flows. The win-win solutions are: 1. The development of Warga Street which has to be followed by the establishment of fly- over (jalan layang) at the intersection of Gatot Subroto Iskandar Muda, which will enable to reduce conflict spots of the intersection (therefore continued flows will separate from turned flows). Retail business owners/shareholders of Medan

112

Urban Traffic Congestions in Medan are Serious Filiyanti T. A. Bangun

Thus, the direction of city development is compulsory determined based on the City Regional Layout Planning (RTRWK) of Medan and it should be synergized for both inside and inter development sectors with RTRW of Metropolitan Medan Binjai Deli Serdang (MEBIDANG) simultaneously with RTRW of North Sumatera Province. 6. REFERENCES Bangun, F., and Alkhairi, P., April 2006, Anugrah Tertib Lalu lintas Kota Medan 2006, Wahana Hijau: Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol. 1, No. 3, pp. 103 108, Medan. Bangun, F.,and Alkhairi, P., Januari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota MedanBagian 1, An Opinion, Sinar Indonesia Baru Newspaper: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Alkhairi, P., Februari 2006, Sistem Manajemen Satu Payung Angkutan Umum Menyongsong Program Monorel di Kota MedanBagian 2, An Opinion, Sinar Indonesia Baru Newspaper: Medan, p. 13. Bangun, F., dan Napitupulu, R., 21 Maret 2005, Jalan Tol Medan-Tebing Tinggi Lebih Prioritas dari Medan-Binjai, An Opinion, Sinar Indonesia Baru Newspaper: Medan, p. 13. Directorate Genderal Bina Marga, Departemen of Public Work RI, 1992. Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, Jakarta. Department of Transportation of Medan, 2003. Data Profil Angkutan Umum Perkotaan, Medan. Leal, M.T. and Bertini, R.L., 2005. Bus Rapid Transit: An Alternative for Developing Countries, Portland State University, Portland. Minister of Transportation RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65/1993 about Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. Munawar, A., 2004, Manajemen Lalu lintas Perkotaan, Beta Offset Publisher, Jogjakarta.

Napitupulu, R., and Bangun, F., 31 Januari 2005, Medan, Kota Metropolitan Atau Kota Metromarpilitan? An Opinion, Waspada Newspaper: Medan, p. 4. Napitupulu, R., and Bangun, F., 15 January 2005, Prospek Sistem Angkutan Umum di Kota Medan, An Opinion, Sinar Indonesia Baru Newspaper: Medan, p. 13. Napitupulu, R., and Bangun, F., 19 November 2004, Apakah Kemacetan Lalu lintas Perkotaan di Medan Hanya Layak Sebagai Bahan Obrolan Saja? An Opinion, Analisis Newspaper: Medan, p. 18. Napitupulu, R., and Bangun, F., 13 November 2004, Kemacetan Lalu lintas di Kota Medan Serius, An Opinion, Waspada Newspaper: Medan, p. 4. Sorensen, A., 2001, Sub-Centers and Satellite Cities: Tokyos 20th Century Experience of Planned Polycentrism, International Planning Studies, Vol. 6, No. 1, pp 932, Department of Urban Engineering, University of Tokyo, Hasamagaola 3-25-3, Sanda-shi, Hyogo-ken, Japan 669-1545. Sutomo, H., 2005, Menggagas Revitalisasi Angkutan Umum: Berubah Sekarang atau Mati?, Powerpoint Transparansi, Forum Keselamatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Jogjakarta. ----------, 2006, The Urban Satellite Field Concept, A Case Study of Accra Metropolitan Area, Ghana. ----------, 2006, Satellite Cities, A Case Study of Istambul, Turki. ----------, 2005, Percepatan Pemberdayaan Pelayanan Angkutan Umum Metro Bandung, Powerpoint Transparansi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur ITB, Bandung.

113

SIFAT-SIFAT PEMESINAN KAYU DURIAN (Durio zibethinus L.)

(THE MACHINING PROPERTIES OF DURIAN WOOD [Durio zibethinus L])


Muhdi, Tito Sucipto, dan Nur Idul Adha
Abstrak: Kayu durian (Durio zibethinus L.) adalah salah satu kayu berkualitas rendah yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk bahan baku dalam industri pengolahan kayu terutama sebagai bahan baku mebel. Untuk dapat dimanfaatkan dalam industri pengolahan kayu, diperlukan sifat dasar terutama kemudahan untuk dikerjakan dengan mesin. Tujuan penelitian adalah untuk meneliti sifat-sifat pemesinan kayu durian (Durio zibethinus L.) sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat pemesinan kayu durian (Durio zibethinus L.) termasuk kelas I (sangat baik). Kayu durian memiliki sifat fisik dan anatomis yang baik, sehingga kayu durian dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku industri pengolahan kayu. Jenis cacat yang teramati pada proses permesinan kayu durian antara lain serat terserpih, bulu halus, tanda serpih, serat terangkat, serat tersobek, dan serat hancur. Kata kunci: Kayu Durian, Pengerjaan Kayu, Sifat Pemesinan Abstract: Durian wood (Durio zibethinus L.) is one of the wood that has a low quality that could be made use to the alternative fo the processing industry of wood especially as the furniture raw material. To be able to be made use of the processing industry of wood was needed by basic characteristics especeally the machining properties. The aimed of this research was to know the machining properties of durian wood (Durio zibethinus L.) as a industrial raw material. This research showed that the machining properties of durian wood (Durio zibethinus L.) is included first class (very good). This research indicated that durian wood can be made alternative to industrial raw material of wood working. The defect kind that abserved in the machining process of durian wood including chipped grain, fuzzy grain, chip mark, raised grain and destruct grain. Keywords: Durian Wood, Wood Working, Machining Properties PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan kayu akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan manusia. Kayu selain banyak dimanfaatkan untuk bahan baku konstruksi juga dimanfaatkan untuk industri pengolahan kayu. Supriadi dan Rachman (2002) mengemukakan bahwa 400 jenis dari 4.000 jenis kayu yang diperkirakan tumbuh di Indonesia merupakan jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan kayu dan secara alami terdapat dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat sampai sekarang pada umumnya terbatas pada kayu dari spesies yang telah dikenal dan berkualitas tinggi. Kayu-kayu yang memiliki kelas kuat dan kelas awet tinggi atau sifat-sifat pengerjaan kayu yang sangat baik seperti kayu jati, meranti, pinus, rengas, kempas dan lainnya lebih disukai oleh industri pengolahan kayu sebagai bahan baku konstruksi dan mebel. Padahal pasokan kayu dan ketersediaannya semakin berkurang dan sulit untuk didapatkan. Pemanfaatan kayu dari spesies yang kurang dikenal (lesser known spesies) dan berkualitas rendah merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Pemanfaatan kayu ini tentu harus didasarkan pada kualitas yang sesuai dan seimbang dengan kayu jati, meranti, pinus, rengas, kempas, dan lainnya tersebut sehingga pemanfaatannya dapat optimal dan sesuai dengan penggunaannya. Kayu durian yang biasa ditanam di hutan rakyat, perkebunan bahkan di pekarangan rumah adalah salah satu jenis kayu berkualitas rendah yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk industri pengolahan kayu terutama sebagai bahan baku mebel. Untuk dapat dimanfaatkan dalam industri pengolahan kayu, diperlukan sifat dasar terutama kemudahan untuk dikerjakan dengan mesin. Perilaku kayu dalam proses pemesinan akan berpengaruh terhadap efisiensi pengolahan dan merupakan salah satu kriteria dalam penentuan alokasi penggunaannya. Salah satu sifat dasar tersebut ialah sifat pemesinan atau pengerjaan pada papan kayu gergajian. Tujuannya ialah untuk memperoleh gambaran mengenai mutu kayu olahan sebagai hasil interaksi antara kayu dengan berbagai mesin yang digunakan di dalam pengerjaannya (Ginoga, 1995). Tujuan penelitian adalah untuk meneliti sifatsifat pemesinan kayu durian (Durio zibethinus L.) sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian bertempat di pabrik pengolahan kayu furniture dan mebel, UD Setia Perabot, Kota Medan, Sumatera Utara.

114

Sifat-Sifat Pemesinan Kayu Durian .. Muhdi, Tito Sucipto, dan Nur Idul Adha

Tabel 1. Spesifikasi Mesin Pengerjaan Kayu Planer Shaper Spesifikasi Merk-Tipe AT-602 TCB-26 Asal Buatan (tahun) Tipe bilah Tegangan (volt) Tenaga (HP) Kecepatan (rpm) Cina 1995 Persegi 240 4 2.0006.000 Taiwan 1992 Pita 300 3 8.00012.000

Borer GeetechMA09 Taiwan 1995 Bor 220-240 2 2.000-6.000

Router KaferMK408 Cina 1994 R4-R6 220 4 20.00032.000

Sander HML-906 Taiwan 1997 240 1 1.725-2.000

Alat yang digunakan untuk penelitian adalah gergaji bundar (circular saw), mesin serut (planer), mesin profil (shaper), mesin pembuat alur (router), mesin bor (borer) dan mesin amplas (sander). Alat bantu yang digunakan adalah meteran, caliper, alat tulis, kaca pembesar (loope) dengan perbesaran sepuluh kali dan tranparansi millimeter. Spesifikasi mesin yang digunakan dalam proses pengerjaan disajikan pada tabel 1. Penelitian sifat-sifat pemesinan menggunakan bahan baku berupa papan contoh kayu durian (Durio zibethinus) berukuran 120 cm x 12,5 cm x 2 cm sebanyak 20 lembar papan (ASTM D 1666-99). Semua papan contoh dalam keadaan kering udara dan kondisi bebas cacat. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya sama dengan metode ASTM D 166699, dengan sedikit perubahan yang disesuaikan dengan kondisi bahan dan peralatan yang ada. Perubahan tersebut terutama pada pembuatan contoh uji dan cara pengujiannya (Abdurrahman dan Karnasudirja, 1982 dalam Supriadi dan Rachman, 2002). Semua papan contoh bebas cacat terlebih dahulu dikeringudarakan hingga kadar air 1218%. Selanjutnya dibuat contoh uji dan dikerjakan dengan peralatan yang terdapat di UD Setia Perabot. Pembuatan Contoh Uji Menurut metode ASTM D 1666-99, papan contoh uji dibuat berukuran 120 cm x 12,5 cm x 2 cm dan bebas cacat. Papan contoh tersebut dibuat menjadi contoh-contoh uji untuk pengujian sifat-sifat pemesinan kayu. Kondisi pemesinan disesuaikan dengan kondisi yang saat ini diterapkan di industri pengerjaan kayu. Pola pembuatan contoh uji disajikan pada gambar 1.
30 cm a b 2.5 cm 2 cm 5 cm c 10 cm 90 cm

Keterangan: a = Contoh uji pengeboran (ukuran 30 cm x 5 cm x 2 cm) b = Contoh uji pengampelasan (ukuran 30 cm x 5 cm x 2 cm) c = Contoh uji penyerutan, pembentukan dan pembuatan alur (ukuran 90 cm x 10 cm x 2 cm) Pengujian 1. Pengerjaan Papan Contoh Pengujian dilakukan dengan menilai sifat pemesinan pada papan contoh. Sifat-sifat pemesinan yang dinilai dan cara pengerjaan adalah: a. Penyerutan (Planing) Contoh uji penyerutan dibuat berukuran 90 cm x 10 cm x 2 cm. Sudut potong pisau diatur sebesar 20-30, laju pengumpanan sebesar 12 m/mm, kecepatan putar pisau sebesar 5.000 rpm, serta tebal sayatan sebesar 2 mm. Contoh uji diserut dengan mesin double moulder searah dengan arah serat. Memberi tanda pada setiap contoh uji begitu keluar dari mesin dengan menunjukkan arah masuk kayu ke dalam mesin. Semua contoh uji yang telah diserut disimpan dengan teratur dan selanjutnya dinilai sifat penyerutannya. b. Pembentukan (Shaping) Mengerjakan kembali contoh uji yang sudah diserut dengan menggunakan mesin pembentuk (shaper). Pada salah satu sisi contoh uji tersebut dibentuk alur berbentuk M6 (moulding model 6). Pembuatan profil ini menggunakan pisau M6, dengan kecepatan putar pisau sebesar 9.000 rpm. Dilakukan pengamatan terhadap cacat-cacat pemesinan yang terjadi pada bidang permukaan hasil pembentukan. c. Pengeboran (Boring) Contoh uji yang dibor berukuran 30 cm x 5 cm x 2 cm, dengan kecepatan putaran mata bor sebesar 3.600 rpm. Pada setiap contoh uji dibuat dua buah lubang bor dengan laju pengeboran diusahakan cukup lambat agar menghasilkan lubang bor yang baik. Mata bor yang digunakan berdiameter 12 mm. Pengeboran dilakukan sampai 2 mm melebihi permukaan bawah contoh uji untuk menghindari terjadinya serpih. Selanjutnya dilakukan pengamatan cacat-cacat yang timbul.

Gambar 1. Pola Pemotongan Contoh Uji (ASTM D 1666-99)

115

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

d.

e.

Pembuatan alur (Routing) Mengerjakan kembali contoh uji yang sudah diserut dengan menggunakan mesin router. Pisau router yang digunakan berbentuk R6 yang menghasilkan bentuk r pada sisi kayu, sehingga sisi kayu tidak siku. Kecepatan putar pisau router sebesar 30.000 rpm. Dimensi alur yang dibuat pada permukaan contoh uji adalah lebar 0,5 cm, tebal 0,5 cm dan panjang 90 cm. Selanjutnya diamati cacatcacat pemesinan yang timbul. Pengampelasan (Sanding) Pada pengujian pengampelasan dipakai contoh uji berukuran 30 cm x 5 cm x 2 cm dengan menggunakan mesin amplas (sander). Kecepatan dorong kayu (feed rate) diatur sebesar kurang lebih 360 m/menit dengan arah pengumpanan searah dengan arah pengumpanan pada saat penyerutan. Proses ini menggunakan kertas amplas grit 80 dan 120 dengan tebal pengampelasan sebesar 0,5 mm. Selanjutnya dilakukan pengamatan cacat-cacat yang timbul.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Rekapitulasi nilai bebas cacat dan kelas mutu sifat pemesinan pada seluruh proses pengerjaan disajikan pada tabel 2. Pembahasan 1. Penyerutan (Planing) Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu durian menunjukkan kualitas penyerutan sangat baik (kelas I) dengan persentase permukaan bebas cacat sebesar 93 %. Cacat-cacat yang muncul pada hasil uji penyerutan yang disajikan pada lampiran 2 adalah serat terserpih, bulu halus dan tanda serpih. Cacat yang paling banyak muncul adalah serat terserpih yaitu sebesar 4 %, diikuti bulu halus dan tanda serpih masing-masing sebesar 2 % dan 1 %. Pengerjaan penyerutan menyebabkan banyaknya serat yang terlepas dan membentuk lekukan-lekukan pada permukaan kayu. Cacat serat terserpih hampir merata terdapat pada semua permukaaan kayu, walaupun ada juga permukaan kayu yang sama sekali tidak terdapat cacat ini. Terdapatnya cacat ini diduga karena tebalnya serat-serat kayu (tatal) durian. Menurut Koch (1964), tatal yang tebal kekuatan lenturnya (bending) lebih tinggi dari tatal tipis. Oleh karena itu, tatal tebal akan cenderung terbelah (splitting), sehingga pada permukaan papan akan terbentuk cacat akibat belahan tadi. Cacat yang terbentuk ini biasanya disebut serat terserpih. Cacat serat terserpih lebih banyak ditemukan terdapat pada permukaan kayu dengan arah serat berpadu dan di sekitar mata kayu seperti yang terlihat pada gambar 2. Pada permukaan kayu dengan arah serat lurus jarang ditemukan cacat ini. Arah serat kayu durian yang berpadu dan adanya mata kayu diduga juga akan membentuk cacat serat terserpih. Menurut Darmawan (1997), adanya miring serat (berpadu) cenderung merangsang timbulnya cacat pengetaman yang disebut cacat serat terserpih.

2. Pengujian Sifat Pemesinan Setiap contoh uji yang telah dikerjakan dengan mesin diamati hasilnya secara visual. Objek yang diamati yaitu cacat yang timbul pada permukaan contoh uji sebagai akibat dilakukan pemesinan. Loope dengan derajat pembesaran sepuluh kali digunakan sebagai alat bantu untuk melihat lebih jelas bentuk cacat. Pengambilan kesimpulan sifat pemesinan kayu dilakukan secara kualitatif berdasarkan persentase rata-rata permukaan contoh uji yang bebas cacat dan selanjutnya dikelompokkan menjadi lima kelas sifat pemesinan. Analisis Data Pengolahan data mengenai sifat pemesinan kayu mengacu pada ASTM D 1666-99. Sifat pemesinan kayu didasarkan pada besar kecilnya persentase permukaan bebas cacat setelah proses pemesinan. Selanjutnya data mengenai jenis cacat, luas permukaan bebas cacat serta persentase contoh uji yang masuk ke dalam kelas pemesinan yang telah ditentukan, dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran tentang sifat pemesinan kayu durian.

Tabel 2. Nilai Bebas Cacat dan Kelas Mutu Sifat Pemesinan Kayu Durian Pembuatan Penyerutan Pembentukan Pengeboran Kriteria Alur (Planing) (Shaping) (Boring) (Routing) % bebas 93 87 96 96 cacat Kelas I I I I Mutu Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik

Pengampelasan (Sanding) 95 I Sangat baik

116

Sifat-Sifat Pemesinan Kayu Durian .. Muhdi, Tito Sucipto, dan Nur Idul Adha

Mata kayu Serat terserpih Serat terserpih


Gambar 2. Cacat Serat Terserpih Akibat Pengerjaan Penyerutan Kecepatan pengumpanan rendah dan tebal ketaman tipis yang dipakai dalam proses penyerutan diduga juga memicu timbulnya serat berbulu halus. Menurut Darmawan (1997), pengetaman dengan laju pengetaman rendah dan tebal ketaman tipis akan terjadi pergeseran serat-serat kayu oleh pisau pengetam. Ini berarti serat-serat kayu tersebut tidak terpotong sempurna oleh mata pisau, melainkan terjadi kerusakan serat-serat kayu sehingga terbentuk cacat serat berbulu pada permukaan kayu. Cacat tanda serpih yang ditemukan pada permukaan kayu diduga karena kayu durian termasuk kayu dengan kekerasan yang rendah. Menurut Darmawan (1997), cacat tanda serpih terbentuk akibat rendahnya kekerasan kayu, sehingga tatal-tatal kayu yang terbentuk akan sangat mudah dilekukkan pada permukaan papan yang telah diketam oleh pisau-pisau pengetam. 2. Pembentukan (Shaping) Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu durian menunjukkan kualitas pembentukan sangat baik (kelas I) dengan persentase permukaan bebas cacat sebesar 87%. Cacat-cacat yang muncul pada hasil uji pembentukan yang disajikan pada lampiran 3 adalah serat terangkat, bulu halus dan tanda serpih. Cacat yang paling banyak muncul adalah bulu halus yaitu sebesar 6%, diikuti serat terangkat dan tanda serpih masing-masing sebesar 5% dan 2%. Proses pembentukan yang dilakukan pada sisi lebar kayu menyebabkan sudut potong pisau dengan arah serat kayu menjadi tegak lurus, sehingga seratserat kayu yang tidak terpotong dengan sempurna akan berdiri dan membentuk bulu-bulu halus. Hal ini dikuatkan lagi dengan adanya bagian kayu dengan arah serat berpadu. Cacat serat terangkat seperti terlihat pada gambar 3.

Serat terangkat

Gambar 3. Cacat Serat Terangkat Akibat Pengerjaan Pembentukan Menurut Koch (1964), proses pembentukan merupakan proses peripheral milling, yakni suatu proses pemotongan bidang kerja yang dipotong oleh beberapa mata pisau yang berputar terus menerus, sehingga akan terbentuk tatal-tatal yang pendek. Darmawan (1997) menambahkan bahwa tatal-tatal yang pendek ini memiliki kekuatan lentur yang rendah sehingga tatal-tatal ini mudah digeser oleh mata pisau. Akibat bekerjanya gaya geser ini maka serat-serat tepat di depan mata pisau akan mengalami pemadatan dan mengalami pelipatan. Hal ini menyebabkan serat-serat kayu tidak terpotong sempurna dan terbentuk serat berbulu. Cacat serat terangkat yang ditemukan pada permukaan kayu diduga karena pengerjaan pembentukan dilakukan pada bagian kayu yang masih lunak sehingga menyebabkan kekasaran pada permukaan kayu. Menurut Darmawan (1997), kekasaran permukaan kayu disebabkan oleh terangkatnya kayu akhir sehingga lebih tinggi daripada kayu awal. Tanda serpih yang terdapat pada kayu durian ditandai dengan adanya lekukan warna hitam. Tanda serpih yang timbul diduga karena adanya kandungan resin pada kayu tersebut. Darmawan (1997) menyatakan bahwa keberadaan cacat tanda serpih ditentukan oleh karakteristik kayu itu sendiri dan

117

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006

menjadi lebih serius pada kayu dengan kandungan getah dan resin tinggi. Pengeboran (Boring) Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu durian menunjukkan kualitas pengeboran sangat baik (kelas I) dengan persentase permukaan bebas cacat sebesar 96%. Cacat-cacat yang muncul pada hasil uji pengeboran yang disajikan pada lampiran 4 adalah serat tersobek dan serat hancur. Cacat yang paling banyak muncul adalah serat tersobek yaitu sebesar 3%, diikuti serat hancur sebesar 1%. Hasil uji pengeboran ini diduga dipengaruhi oleh berat jenis kayu. Mandang dan Pandit (1997) menyatakan bahwa kayu durian termasuk kelas kuat II-III. Salah satu kriteria hasil pengeboran yang bagus yaitu permukaan yang bersih dan halus dengan sedikit serat hancur dan serat tersobek. Menurut Supriadi dan Rachman (2002), kayu yang memiliki kerapatan sel tinggi, cenderung lebih tahan terhadap kemungkinan terjadinya cacat ketika melakukan proses pengerjaan. Cacat serat tersobek yang ditemukan pada permukaan kayu seperti terlihat pada gambar 4, diduga karena proses pengeboran dilakukan kurang sempurna sehingga ketika mata bor ditarik ke atas (keluar dari dalam kayu) ada sebagian serat di bagian pinggir lubang yang ikut tertarik dan menyebabkan serat tersobek pada bagian tersebut. Sedangkan cacat serat hancur yang ditemukan pada permukaan kayu diduga karena kayu yang dibor adalah bagian kayu yang keras, sehingga ada reaksi ketika mata bor bersentuhan dengan permukaan kayu dan menyebabkan bagian ujung lubang menjadi hancur.

Gambar 5. Cacat Serat Terangkat Akibat Pengerjaan Pembuatan Alur Pembuatan alur dengan pisau R6 yang dilakukan sejajar dan berlawanan arah serat diduga menyebabkan cacat serat terangkat dan bulu halus. Serat berpadu pada permukaan kayu diduga juga memicu timbulnya serat terangkat, karena cacat ini lebih banyak ditemukan pada bagian kayu yang berserat berpadu daripada serat lurus. Pengampelasan (Sanding) Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu durian menunjukkan kualitas pengampelasan sangat baik (kelas I) dengan persentase permukaan bebas cacat sebesar 95%. Cacat yang muncul pada hasil uji pengampelasan yang disajikan pada lampiran 6 hanya bulu halus sebesar 5%. Cacat bulu halus ini hampir terdapat pada semua permukaan kayu dan tesebar secara tidak merata, yang ditandai dengan berdirinya serat-serat kayu seperti yang terlihat pada gambar 6.

Bulu-bulu halus

Gambar 6. Cacat Bulu Halus Akibat Pengerjaan Pengampelasan Cacat bulu halus ini lebih banyak ditemukan terdapat pada bagian kayu yang lunak. Kayu lunak dengan serat-serat yang lunak diduga memudahkan berdirinya sekelompok serat karena terjadinya gesekan antara ujung serat dengan ampelas. Menurut Koch (1964), jenis kayu keras mempunyai kecenderungan memiliki cacat bulu halus lebih sedikit dibandingkan kayu yang lebih lunak pada proses pengampelasan. Timbulnya cacat bulu halus kadang dipengaruhi oleh karakteristik kayu, ukuran grit ampelas yang digunakan serta arah pengumpanan kayu saat memasukkan kayu pada mesin ampelas. Jika arah

Gambar 4. Cacat Pengerjaan Pengeboran Pembuatan Alur (Routing) Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kayu durian menunjukkan kualitas pembuatan alur sangat baik (kelas I) dengan persentase permukaan bebas cacat sebesar 96%. Cacat-cacat yang muncul pada hasil uji pembuatan alur yang disajikan pada lampiran 5 adalah serat terangkat dan bulu halus masing-masing sebesar 2%. Cacat serat terangkat yang timbul akibat pembuatan alur seperti yang terlihat pada gambar 5. 3.

118

Sifat-Sifat Pemesinan Kayu Durian .. Muhdi, Tito Sucipto, dan Nur Idul Adha

pengumpanan berlawanan dengan arah serat maka kemungkinan terjadinya cacat bulu halus akan semakin besar, karena pada saat proses pengampelasan serat yang tidak terpotong sempurna akan bangun oleh gesekan ampelas (Koch, 1964). KESIMPULAN 1. Secara umum persentase permukaan bebas cacat pada kayu durian untuk semua proses pemesinan (penyerutan, pembentukan, pengeboran, pembuatan alur dan pengampelasan) termasuk kelas I dengan mutu pemesinan sangat baik. Kayu durian memiliki sifat fisik dan anatomis yang baik, sehingga kayu durian dapat dijadikan sebagai alternatif bahan baku industri pengerjaan kayu. 2. Jenis cacat yang teramati pada proses pemesinan kayu durian antara lain serat terserpih, bulu halus, tanda tersepih, serat terangkat, serat tersobek dan serat hancur. Cacat yang paling banyak ditemukan pada permukaan kayu sebagai hasil proses pemesinan kayu durian adalah bulu halus dan yang paling sedikit adalah serat hancur. DAFTAR PUSTAKA American Society for Testing and Materials. 1999. Standard Method of Conducting Machining Test of Wood and Wood Base Materials. Annual Book of ASTM. Philadelphia.

Darmawan, W. 1997. Pengaruh Laju Pengumpanan dan Tebal Ketaman terhadap Kualitas Pengetaman Kayu Pinus, Aghatis dan Manii. Jurnal Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Vol. X (1): 1521. Ginoga, B. 1995. Sifat Pemesinan Enam Jenis Kayu Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Vol. 13 (6): 246 251. Koch, P. 1964. Wood Machining Process. The Ronald Press Company. New York. Mandang, Y dan I.K.N. Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Bogor. Supriadi, A dan O. Rachman. 2002. Sifat Pemesinan Empat Jenis Kayu Kurang Dikenal dan Hubungannya dengan Berat Jenis serta Ukuran Pori. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Vol. 20 (1): 70 85.

119

120

JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI


Jurnal Keilmuan dan Penggunaan Terhadap Sistem Teknik Industri ISSN 1411-5247 Terakreditasi No. 52/DIKTI/KEP/2002 Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 Homepage: http://www.geocities.com/jurnalsti_usu E-mail: jsti@plasa.com

Volume 7 No. 4

Oktober 2006

SURAT PENGANTAR
No. /JO5.1.31/TI/STI/2004-

Kepada Yth :

.. .. di Tempat
Banyaknya 1 (satu) eksemplar Keterangan Disampaikan dengan hormat sebagai tukar informasi ilmiah, mohon lembar di bawah ini dikirim kembali

No. 1.

Isi Surat/Barang JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Jurnal Ilmiah Terakreditas Vol. 7 No. 4 Oktober 2006

Medan, Oktober 2006 Pemimpin Umum,

Ir. H. A. Jabbar M. Rambe, M.Eng NIP. 130 517 496

... TANDA TERIMA


Telah diterima dari Berupa Tanggal diterima Nama Jabatan Institusi Alamat Telepon Tanda tangan/cap : Redaksi Jurnal Sistem Teknik Industri Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Jl. Almamater Kampus USU P. Bulan Medan 20155 : JURNAL SISTEM TEKNIK INDUSTRI Vol. No. , .. 200 : : : : : : :

You might also like