You are on page 1of 3

- PERTAMA, SOAL HARGA.

He he.., menurut perkiraanku, buku ini mahal bukan hanya lantaran tebalnya yang sampai 504 halaman dengan kertas bagus
(kayak kertas novel2-novel barat yang agak kusam tapi ringan itu). Kupikir ni novel benar-benar memanfaatkan peluang.
Secara,ini adalah buku terakhir dan udah ditunggu-tunggu pembaca. Jadi meski dimahal-mahalin tetap aja orang mau
beli. Harganya dua kali lipat harga buku Laskar Pelangi. Wow, bayangin tuh keuntungan penerbitnya. Kalau penulis sih paling
banter Cuma 15 persen doang.

- KEDUA, SOAL KORELASI ISI DENGAN JUDUL MARYAMAH KARPOV.

Ketika saya baru baca dua ratus halaman pertama buku ini, saya sudah ingin sekali berkomentar. Dua ratusan pertama yang
saya baca itu, saya mulai merasa ada yang aneh dengan novel ini. Kok sudah hampir setengah buku belum juga disebut-sebut
nama-nama yang menjadi judul buku ini. Mana nih si maryamah karpov? Siapa sih sebenarnya dia. Kok udah hampir setengah
halaman belum dibicarakan sedikit pun? Mana nih mimpi-mimpi Lintang? Kok Lintang aja belum nongol-nongol dari tadi?

Setelah baca beberapa halaman lagi saya untuk pertama kalinya ngehkalau Marayamah Karpov itu memang seperti yang dulu
saya duga. Dia bukanlah A Ling seperti perkiraan banyak orang. Kawan tentu masih ingat buku Sang Pemimpi, di sana
diceritakan bahwa Arai sempat bela-belain mecahin celengan buat bantu usaha Bi Maryamah, ibunya Nurmi yang miskin, yang
sempat mau menjual biola kesayangan anaknya si Nurmi. Nah, ternyata Maryamah Karpov itu adalah dia, si bibi iubnya nurmi
itu! Nama Karpov itu diambil dari salah satu istilah strategi permainan catur, dimana konon bibi Maryamah ini lihai sekali
memainkannya.

Lalu apa sih pentingnya kok sampai-sampai namanya jadi judul novel ini? Well, terus terang ini yang bikin ampun saya.
Jangankan punya peranan penting dalam cerita, namanya saja disebut tidak lebih banyak dari lima kali saja dalam seluruh
novel setebal 504 halaman ini. Hingga selesai membaca saya jadi berpikir keras mencari-cari alasan kenapa Maryamah Karpov
dipilih sebagai judul buku, jika kenyataannya dalam cerita dia sangatlah tidak penting. Tadinya saya pikir saya yang keliru tidak
membaca dengan menyimak. Saya bahkan perlu mengulang kembali membaca bagian yang memuat nama Maryamah Karpov itu.
Dan tetap saja, saya tidak menemukan apa-apa? Maryamah Karpov itu sama sekali bukan siapa-siapa. Cerita tentangnya tidak
lebih dari dua paragrap saja.

Hal ini lebih diperparah lagi dengan gambar gadis yang sedang memainkan biola yang menjadi kover novel ini. Kalau saya tidak
salah, pastilah itu gambarnya Nurmi anak Bik Maryamah Karpov yang jadi pengamen jalanan dengan bermain biola itu.
Walaupun porsi kehadirannya dalam cerita sedikit lebih banyak dari Maryamah Karpov, tetap saja perannya tidak begitu
penting. Jika saja karakter Nurmi tidak dimasukkan, jalan cerita novel ini tetap tidak terganggu sama sekali. Lalu atas alasan
apa kok dia yang menjadi model buat kover buku?

Setelah berpikir-pikir dan sedikit menganalisa, saya menarik sedikit hipotesis mengapa hal ini sampai terjadi. Menurut
saya,desain kover Maryamah Karpov sudah terlanjur diperlihatkan kepada publik, sementara bukunya sendiri masih dalam
proses revisi, atau mungkin perombakan besar-besaran dari script yang direncanakan. Mungkin saja setelah tiga seri pertama
tetralogi LP mendapat banyak masukan dari pembaca dan kritikus, Andrea Hirata bermaksud merevisi sana sini naskah
Maryamah Karpov yang sudah di tangan penerbit menunggu cetak. Itu juga alasan mengapa Maryamah Karpov agak telat
meluncur ke pasaran, selain menunggu moment yang pas.

Seingat saya, cover Maryamah Karpov sudah diperlihatkan sejak buku pertama Laskar Pelangi terbit. Dan sekali lagi kalau saya
tidak salah, saat itu tidak terdapat sub judul “Mimpi-mimpi Lintang” seperti pada kover yang beredar sekarang. Sub judul itu
pastilah ditambah belakangan. Mungkin saja sempat terpikir untuk merubah judul dan kover, tapi apa daya orang sudah pada
mafhum kalau buku keempat judulnya Maryamah Karpov dan kovernya adalah seperti yang diperkenalkan pada semua seri LP
sebelumnya. I bet, entah pada cetakan ke berapa, kover buku ini suatu saat nanti akan dirubah oleh penerbitnya.

Pelajaran moral yang bisa dipetik dari sini adalah: Jangan menentukan judul dan Mempublikasikan Kover Buku terlebih dahulu
sebelum benar-benar selesai menulis bukunya.

Soal additional title “Mimpi-mimpi Lintang”, baru di lebih dari setengah buku ketahuan apa maksudnya. Saya gak mau terlalu
jadi spoiler di sini, jadi untuk mengetahuinya, baca sendiri aja ya.

- KETIGA SOAL SATU PERTANYAAN UTAMA

Berbeda sekali dengan novel-novel lain yang jalan ceritanya mengalir menuju satu konflik sejak dari awal cerita, buku ini
seolah-olah merupakan kumpulan kisah pendek (atau cerpen) dengan tokoh-tokoh yang sama. Mirip cerita serial, dimana setiap
mozaik kisah-kisahnya memiliki konflik dan penyelesaiannya sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan.

Novel-novel Andrea Hirata umumnya ini tidak memiliki Satu Pertanyaan Utama yang hendak dijawab sebagaimana selalu ada
dalam novel-novel lain umumnya. Maksudnya adalah konflik utama yang akan diselesaikan diakhir cerita. Misalkan saja
dalam trilogi The Lord of The Ring, meski tebalnya sampai 1500 halaman lebih, tetap saja semua cerita mengarah untuk
menjawab satu pertanyaan: mampukah Frodo memusnahkan cincin Sauron?

Dalam Novel-novel Andrea Hirata biasanya cerita-cerita dibagi dalam bab-bab tersendiri (mozaik), namun cerita-cerita tersebut
kadang-kadang tidak saling berkaitan dan tidak menuju satu arah untuk menjawab suatu pertanyaan utama. Jadinya kita
seolah-olah membaca kumpulan cerita pendek. Kadang saya bertanya, apa sih pentingnya menceritakan soal ini, ketika
hingga akhir cerita Saya tidak menemukan alasan mengapa bagian itu penting diceritakan.

Saya menganggap hal itu sebagai kelemahan, walaupun banyak juga yang justru menganggapnya kelebihan. Entah karena
memang menganalisis dengan jujur, atau karena sudah terjangkit penyakit gila nomor tiga puluh tujuh: kelewat memuja
seorang penulis, sehingga “taik ayam” pun yang ia tulis, tetap dianggap luar biasa. Sama seperti A Kiong memuja Mahar. (He
he…,sori om Andrea, kutambahin jenis penyakit gilanya.)

Oleh karena tidak adanya pertanyaan utama itu, maka ketika diadaptasike dalam film, penulis naskah sedikit kesulitan. Tidak
ada konflik utama dalam cerita. Tak heran, dalam versi filmnya, laskar pelangi ditambahi tokoh-tokoh additional dan konflik-
konflik ekstra yang tidak terdapat dalam novel. Tokoh-tokoh itu sebut saja, Si Bakri, si Tora Sudiro itu, terus Bapak-bapak yang
sering ngasih beras buat pak Harfan dan bu Muslimah. Konflik tambahan katakanlah ketika Pak Harfan Mati, dan bahwasanya
sekolah laskar pelangi Cuma memiliki 10 murid itu saja (padahal dalam bukunya Andrea menceritakan bahwa dia punya kakak
kelas). Hal itu yang tidak sesuai dengan novelnya. Semua itu dilakukan demi membuat cerita bisa mengalir menuju satu konflik
utama.

Alhasil, menurutku tetap saja film laskar pelangi menjadi lemah dalam plot. Cerita terasa melompat-lompat gak jelas kemana
arahnya. Bahkan ketika film selesai, bagi yang tidak membaca novelnya, akan merasa sedikit mengganjal. Apa sih inti film
barusan?

Dalam Maryamah Karpov, cerita diawali dengan mozaik-mozaik seputar ujian thesis Ikal, tentang kebiasaan ayahnya, tentang
kepulangannya dari Sorbone ke Belitong, tentang tingkah aneh Bang Zaitun sang seniman nyentrik, tentang dokter gigi masuk
kampung, dan sebagainya. Kesemua cerita itu kelihatan remeh temeh, diselingi adegan-adegan komedi konyol ala Sitkom di
Tivi-tivi sekarang. Semua cerita mengalir pada jalannya masing-masing dan tidak saling bersinggungan.

Baru pada pertengahan buku, tepatnya pada Mozaik ke 33, cerita mulai mengarah pada satu tujuan utama, yaitu usaha Ikal
untuk membuat menemukan A Ling. Berawal dari ditemukannya mayat beberapa orang dengan tato kupu-kupu, persis tato yang
dimiliki A Ling. Ikal kemudian bertekad untuk berlayar mengarungi selat Karimata untuk mencari A Ling. Ia kemudian bekerja
untuk mencari dana, namun hasilnya tak pernah cukup untuk menyewa apalagi membeli perahu. Akhirnya Ikal bertekad
membuat perahunya sendiri.

Hingga mozaik 66, cerita terus mengalir menuju satu plot mainstream, yakni usaha Ikal untuk menemukan A Ling dengan
berlayar mengarungi selat Karimata dan mendapatkan berbagai rintangan. Pada sekitar 220-an halaman ini saya baru merasa
sedang membaca Novel “sungguhan”. Begitu mengalir dan membuat penasaran. Ceritanya fokus. Tidak ada hal tidak penting
yang diceritakan. Tidak ada pengisahan bagian-bagian yang tidak berhubungan dengan cerita utama. Sayangnya di akhir cerita,
suspend yang begitu kuat dibangun langsung anjlok lagi di bagian-bagian akhir novel ini.

KEEMPAT: TENTANG PLOT YANG ANTI KLIMAKS

Aneh Bin ajaib. Entah untuk alasan apa, Andrea begitu ngotot ingin menceritakan tentang peristiwa pencabutan giginya oleh
dokter Diaz di bagian akhir cerita. Sayang-sangat sayang rasanya. Setelah cerita dipenuhi nuansa heroik dan menegangkan
mengenai perjuangan Ikal mengarungi samudera, bertemu dengan tokoh-tokoh seram dunia hitam, para Lanun (bajak laut),
dukun-dukun jahat, juga Tuk Bayan Tula (masih ingat kan?), di akhir cerita tone langsung berubah drastis. Anti klimaks ketika
cerita malah kembali pada perihal pencabutan gigi si Ikal oleh Dokter Diaz.

Aduh…, saya sampai lemes. Kenapa sih cerita gak langsung loncat aja pada mozaik 72, yaitu tentang hubungan Ikal dengan A
Ling setelah kembali ke Belitong. Emosi yang tadinya terasa meledak-ledak mengikuti alur cerita, tiba-tiba jadi keok, luluh
kayak cokelat dipanasin. Sayang banget deh! Kenapa sih bagian pencabutan gigi itu begitu penting diceritakan? Makan halaman
banyak lagi. Kenapa tidak di awal-awal tadi saja sekalian ketika tone cerita masih “warming up”. Benar-benar kuciwa diri ini…

Rasanya seolah-olah begini: setelah terbawa suasana heroik dan menegangkan dalam film “Pirates of Carribean”, eh.. tahu-
tahu di ujung cerita muncul sitkom “Afdel dan Temon”, ceritanya Temon yang trauma gak mau ke dokter gigi tapi dipaksa
terus. Ancur … ancur…

KELIMA: TENTANG “IT’S JUST TOO EASY”

Diceritakan dalam buku ini bahwa Tuk Bayan Tula tokoh yang sangat mahsyur dan ditakuti. Dia adalah dukun sakti yang sangat
kejam. Saking seramnya, orang enggan menyebut namanya. Tuk Bayan Tula ini sama seramnya dengan tokoh serupa, si kepala
Bajak Laut yang super kejam bernama Tambok. Si Tambok ini digambarkan sangat menakutkan. Ia membunuh orang seperti
membunuh lalat saja. Anak buahnya para lanun malaka yang oleh Andrea dikatakan lebih sangar dan hebat dari para bajak laut
jahat di Film Pirates of Carribean.

Saya pikir pertemuan Ikal, Mahar, dan kedua temannya yang ikut berlayar dengan tokoh-tokoh seram itu akan sangat
menegangkan dan hebat. Tapi ternyata, semua terkesan begitu mudah. Bahkan ketika menghadapi Tuk Bayan Tula yang orang-
orang yakut menyebut namanya itu, ceritanya dibuat jadi lucu kayak komedi Bajuri. Aduh, kok jadi gini sih. Juga ketika
bertemu si Tambok dan anak buahnya, yang menjadi perintang utama perjuangan Ikal. Ternyata sangat gampang, dan tidak
terjadi apa-apa. Ikal hanya menyerahkan sejumlah uang tebusan, selesai sudah. Tadinya saya berharap akan ada pertempuran
sengit antara ikal cs + Tuk bayan tula yang sudah mendukugn mereka melawan Tambok dan para bajak laut. Tapi semua itu
tidak terjadi sama sekali. Halah…

- KEENAM, TENTANG BETAPA ISTIMEWANYA BAHASA ANDREA

Yang membuat saya menyukai tulisan Andrea Hirata adalah kemampuannya mengolah kata-kata menjadi begitu indah. Itu juga
yang membuat saya tetap memberi empat bintang untuk novel ini, mengesampingkan semua keanehan yang saya sebut di
atas. Andreamampu menceritakan hal-hal biasa bahkan sepele menjadi begitu enak dan menarik. Inilah kehebatan Andrea
Hirata yang saya pikir menjadi keisitmewaan dalam karya-karyanya. Kalau istilah penerbitnya, Andrea memiliki “Sihir Bahasa”,
dan saya pikir itu benar.

Lihatlah betapa Andrea bisa menceritakan dengan sangat menarik karakter Bang Zaitun, lelaki flamboyan seniman kampung
yang dalam novel ini diceritakan ganti profesi jadi sopir angkot dan kehilangan keempat istrinya. Atau ketika menggambarkan
pengalaman menonton bioskop pertama sekali dengan Bapaknya yang pendiam itu.

Bahkan ketika berbicara tentang binatang sekalipun, semua jadi begitu menarik. Misalnya ketika ia menceritakan monyet-
monyet yang berebut buah jambu mawar dengan bapak Ikal. Ikal begitu piawai membuat penggambaran monyet-monyet itu
terasa jenaka namun satir.

Satu lagi yang membuat saya terkikik-kikik ketika Andrea bercerita betapa dia membenci ayam. berikut saya kutipkan sedikit.

Secara pribadi, aku adalah pecinta binatang, tapi aku benci nian pada ayam. Hewan itu, demi Tuhan, kurang ajar betul. Jika
diusir dengan sapu masih sempat-sempatnya ia berkelat-kelit di anara kaki meja, tujuannya untuk mengumpulkan tenaga
tekan dan mencuri satu momen yang pas untuk menyemprotkan kotorannya di dalam rumah, lalu ia berkeok nyaring terbang
melalui jendela seolah mengejek: terimalah itu! Tuang rumah yang pelit!

Ayam, tak pernah kutahu tampil di sirkus karena hewan itu sama sekali tidak dapat menerima pendidikan. Bodoh dan
berwatak keras. Betinanya adalah pencemburu buta luar biasa sekaligus pelaku kejahatan seksual incest yang tak dapat
dijangkau hukum. Jantannya senang pamer, maka tak lain mereka itu kaum exibisionist. Lebih parah lagi, usai menggagahi
betinanya, dipatukinya, maksudnya barangkali untuk menegaskan bahwa ia tak bermaksud mengawininya. Semua contoh
keburukan ada pada ayam. Karena itu, dalam hikayat-hikayat para nabi agama mana pun, ayam tak pernah diajak-ajak.
Seandainya mereka bisa menghitung, pasti mereka berjudi.

Saya terkikik-kikik membaca paragrap-paragrap seperti itu yang tersebar banyak di dalam buku. Begitu asyik membaca gaya
bahasa Andrea, jadi ketika membacanya terasa mengalir. Kita jadi tidak terlalu menghiraukan alur cerita yang kelihatannya
tidak runut dan cenderung “kemana-mana”. Karenanya memang pas jika Andrea mengatakan bahwa bahwa dia tidak terlalu
menghiraukan aturan-aturan sastra dan tetek bengeknya.

Yah, oke aja sih. Buktinya sampai sekarang tulisan Andrea laris super keras. Namun buat tulisan selanjutnya, mungkin akan ada
baiknya jika Andrea sedikit mau “mengalah” dan mengikuti “aturan-aturan” sastra itu. Biar tambah sempurna. Jangan terlena
Cuma gara-gara novelnya laris. Laris tidak selamanya berhungan dengan kualitas kan? Disukai orang banyak bukan berarti
bagus. Junk food kan sangat populer, tapi pada kenyataannya tidak baik untuk kesehatan.

OVERALL

Saya tetap memberi empat bintang untuk Maryamah Karpov, terutama untuk gaya bertutur Andrea yang sangat bagus,
eksplorasi cerita padadetil-detil pembuatan perahu dan para bajak laut selat Karimata, dan joke-joke segar dari Andrea yang
menghibur (walaupun kadang-kadang agak-agak maksa dan mirip sitkom Afdel dan Temon). Meski sedikit kecewa, saya gak
nyesal kok beli buku ini dan menghabiskan cukup banyak waktu untuk membacanya."

You might also like