You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS

DENGUE SHOCK SYNDROME


Oleh Nur Rahmat Wibowo, S.Ked I11106029

Pembimbing dr. James Alvin Sinaga, Sp.A

SMF ANAK RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEDARSO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2011

LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul :

Dengue Shock Syndrome


Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Kesehatan Anak di SMF Anak Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak

Pontianak, 17 Oktober 2011 Pembimbing Laporan Kasus, Disusun oleh :

dr. James Alvin Sinaga, Sp.A

Nur Rahmat Wibowo,S.Ked NIM: I11106029

Mengetahui, Ketua SMF Anak Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso

dr. Dina Frida, Sp. A

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN. DAFTAR ISI .. BAB I. Ilustrasi Kasus...... . A. Identitas....... B. Anamnesis................................................................................ C. Pemeriksaan Fisik..... D. Pemeriksaan Penunjang.... E. Resume............... F. Diagnosis......... G. Tatalaksana............................................................................. H. Prognosis................................................................................. I. Catatan Kemajuan.................................................................... BAB II Pembahasan........... BAB III Tinjauan Pustaka 3.1 Batasan dan Uraian Umum... 3.2 Etiologi.............................. 3.3 Epidemiologi.......................................................................... 3.4 Penularan................................................................................ 3.5 Patogenesis.............................................................................. 3.6 Diagnosis................................................................................. 3.7 Penatalaksanaan...................................................................... BAB IV Kesimpulan............................................................................ Daftar Pustaka.....................................................................................

i ii iii 1 2 2 4 6 7 8 8 9 9 13

18 18 18 20 21 24 29 34 35

BAB I ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Alamat Umur Agama Suku bangsa Anak ke Tanggal Rawat : Anak RZ : Laki-Laki : Sungai Raya Dalam, Pontianak : 11 tahun : Islam : Melayu : 2 dari 2 bersaudara : 9 September 2011

B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis dengan Ibu pasien dan pasien sendiri pada tanggal 11 September 2011.

Keluhan Utama Demam Riwayat Perjalanan Penyakit Empat hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien mengalami demam. Demam dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Demam terkadang disertai menggigil. Pasien berkeringat ketika demam dan setelah demam namun tidak sampai membasahi baju. Menurut Ibu pasien demam yang dialami pasien cukup tinggi, namun suhunya tidak diukur. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-pegal pada tungkai dan sakit kepala. Riwayat batuk dan pilek disangkal. Sudah minum obat penurun panas sebelumnya dan demam turun namun kemudian demam timbul lagi. Karena keluhan demamnya pasien kemudian di bawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso (IGD RSDS) oleh keluarganya dan oleh dokter

jaga IGD pasien disarankan untuk dirawat inap akan tetapi keluarga pasien menolak dan memilih untuk dirawat jalan dengan alasan jarak tempat tinggal dan rumah sakit yang relatif dekat. Oleh dokter jaga di IGD diberi obat penurun panas dan antibiotik dan diberikan saran agar segera kembali ke rumah sakit apabila keadaan pasien semakin memburuk. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa kembali ke IGD RSDS

dikarenakan di rumah pasien muntah-muntah sebanyak 3x, jumlah 3 sendok makan s/d gelas per kali, berisi apa yang dimakan, muntah tidak menyemprot. Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 12 jam sebelum masuk RS terutama di ulu hati dan perut bagian kanan atas, kaki dan tangan teraba dingin sejak 3 jam sebelum masuk RS. Riwayat perdarahan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan tempat lain disangkal. Buang air kecil jumlah dan warna biasa, terakhir 2 jam sebelum masuk RS sekitar botol aqua ukuran sedang. Selama empat hari pasien belum buang air besar. Pasien tidak memiliki riwayat ke luar kota sebelumnya. Satu hari setelah masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri perut yang dirasakan semakin bertambah terutama di bagian perut kanan atas. Demam sudah turun dan kedua kaki dan tangan masih terasa dingin. BAK menjadi semakin sedikit dan jarang.

Riwayat Penyakit Sebelumnya yang Berhubungan dengan Penyakit Sekarang Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat DBD sebelumnya. Riwayat Penyakit dalam Keluarga/ Lingkungan Sekitarnya yang Ada Hubungan dengan Penyakit Sekarang Pada keluarga maupun tetangga sekitar rumah tidak ada yang mengalami penyakit yang serupa seperti pada pasien. Namun, di lingkungan sekolah, terdapat beberapa teman pasien yang menderita DBD dan sempat dirawat di rumah sakit.

Riwayat Kehamilan Ibu Pasien dikandung cukup bulan dan ibunya sering memeriksakan diri ke bidan selama masa kehamilan. Ibunya tidak pernah mengalami kelainan selama masa kehamilan.

Riwayat Kelahiran Pasien lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru maupun kuning saat lahir. Berat badan lahir sekitar 3400 gram dengan panjang badan Ibu tidak ingat.

Riwayat Makanan Pasien mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien makan tiga kali sehari. Pasien makan nasi dengan berbagai lauk setiap harinya, namun pasien tidak suka makan sayur-sayuran. Pasien terkadang minum susu instan tetapi tidak rutin.

Riwayat tumbuh Kembang Pasien tumbuh seperti anak seusianya, termasuk aktif bermain. Saat ini pasien berusia 11 tahun dan telah masuk kelas 5 SD, dan mendapat peringkat 4 di kelasnya.

Riwayat Imunisasi Imunisasi wajib pasien lengkap

Riwayat Penyakit Keluarga, sosial dan ekonomi Pasien tinggal serumah dengan orang tua. Pasien berobat menggunakan layanan ASKES.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pada tanggal 11 September 2011:

Tanda Vital : Keadaan Umum Kesadaran : Tampak sakit sedang, gelisah : Compos mentis

Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas

: 96/78 mmHg : 120x/menit, regular, isi kurang, teraba lemah : 28x/menit, kedalaman cukup, napas cuping hidung (-), retraksi (-) : 36,9 C

Suhu tubuh Status Antropometri : Berat badan Tinggi badan BB Persentil 50-75 PB Persentil 75 BB/U TB/U BB/TB

: 42 kg : 148 cm

= 42/36 x100% = 148/143 x100% = 42/40 x 100%

= 116,7% (gizi baik) = 103,5% (gizi baik/normal) = 105% (normal)

Kesan : gizi baik IMT: 42/(1,48)2 = 19,17 (menurut kurva NCHS berdasarkan IMT/umur didapatkan hasil diantara persentil 75 dan 85 = gizi normal) Status Generals dan Lokalis Kulit Kepala Wajah Mata : Petekie (-), turgor baik : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tak mudah dicabut. : Ekspresi baik, bentuk simetris : Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+, conjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/Telinga Hidung Mulut : Normotia, serumen -/-, sekret -/: Deviasi septum -/-, mucosa hiperemis -/-, secret -/: Lidah kotor (-), tonsil dan faring tidak hiperemis, mukosa bibir kering, sianosis perioral (-) Leher Cor : KGB tidak teraba membesar, kelenjar thyroid tak teraba membesar. : Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba : dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran jantung

Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-) gallop (-) Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis, tidak ada bagian paru yang tertinggal, penggunaan otot bantu napas (-), retraksi (-) Palpasi Perkusi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax : Sonor di kedua hemithorax

Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/Abdomen : Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih tinggi dari dinding dada Palpasi : lemas, hepar teraba 3 cm bawah arcus costae dan 5 cm bawah processuss xiphoideus, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+), nyeri tekan epigastrium (+),lien tidak teraba, Perkusi : Timpani, regio kuadran kanan atas pekak, shifting dullness (-) Auskultasi : Bising usus (+) normal Extremitas : Akral dingin, petechiae (-), perfusi perifer kurang, CRT 3, oedema (-), pulsasi arteri perifer (A.Dorsalis pedis dekstra et sinistra) teraba lemah. Rumple leede test (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Penunjang Hasil Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 10 September 2011 o 10/09/2011 05:41 (IGD) Leukosit 11.300 / L Eritrosit 5.200 / L Trombosit 143.000 / L Hb 14,1 g/dL Ht 41,7 %

10/09/2011 18:32 Leukosit 8.500 / L Eritrosit 6.400 K/ L Trombosit 60.000 / L Hb 16,6 g/dL Ht 49,8 % Kesan: terjadi penurunan trombosit (trombositopenia), peningkatan Hb dan Ht

Hasil Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 11 September 2011 o 11/09/2011 pukul 06:17 wib Leukosit 11.700 /L Eritrosit 5.600 /L Trombosit 30.000 /L Hb 15,7 g/dL Ht 45,7 % o 11/09/2011 pukul 18:40 wib Leukosit 13.600 /L Eritrosit 5.800 /L Trombosit 23.000 /L Hb 15,9 g/dL Ht 46,8 % Kesan: terjadi penurunan trombosit (trombositopenia), peningkatan Hb dan Ht

E. RESUME Anak RZ usia 11 tahun dengan berat badan 42 kg datang dengan keluhan utama demam tinggi sejak empat hari SMRS. Demam dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Menggigil (+), Kejang (-). Batuk (-). Mencret, (-) sesak (-), Mual (+), muntah (+). Sakit kepala (+), sakit perut (+), pegal (+). Riwayat perdarahan dari

hidung, gusi, saluran cerna, dan tempat lain disangkal. Kaki dan tangan dingin (+), Buang air kecil pasien masih seperti biasanya kemudian menjadi semakin sedikit. Selama empat hari pasien belum buang air besar. Riwayat ke luar kota sebelumnya (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, tanda vital didapatkan Tekanan darah 98/76 mmHg, Frekuensi nadi 120x/menit, regular, isi kurang, teraba lemah, Frekuensi nafas 24x/menit,Suhu tubuh 36,9 C, hepatomegali, nyeri tekan epigastrium (+), pulsasi arteri perifer teraba lemah dan hasil uji rumple leed (+). Status gizi baik. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan Hb, Ht dan terdapat trombositopenia.

F. DIAGNOSIS Diagnosis kerja Diagnosis banding : Demam Berdarah Dengue derajat III : Malaria

Rencana diagnostik Pemeriksaan darah perifer lengkap setiap 6-8 jam. Monitor tanda vital setiap 15-30 menit Pemeriksaan Malaria Kuantitatif (Hapus darah tebal dan tipis)

G. Tatalaksana o Medikamentosa O2 2L/menit, nasal IVFD RL 20 cc/kgBB/30 mnt 840 cc/30 mnt 560 tetes/menit (makro) kemudian bila syok teratasi dilanjutkan IVFD RL 10 cc/KgBB/jam 420 cc/jam atau 140 tetes/menit makro, bila tidak teratasi maka lanjutkan IVFD RL 840 cc/jam atau 280 tetes/menit makro. Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 cc/jam atau 70 tetes/menit makro. Jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126 cc/jam atau 42 tetes/menit makro. Paracetamol 3 x 500 mg PO bila suhu > 38oC Ranitidine 2 x 50 mg IV

10

Inj Cefotaxime 3 x 500 mg iv. Pasang Douer Catheter o Non medikamentosa Bedrest (tirah baring) Minum air yang banyak Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M, yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air. Menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk Menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.

H. PROGNOSIS Quo Ad vitam Quo Ad functionam : Ad bonam : Ad bonam

Quo Ad sanactionam : Ad bonam

CATATAN KEMAJUAN Senin, 12/09/11 S : Perut terasa sakit, demam (+), nafsu makan kurang, Belum BAB (-), kaki dan tangan masih terasa dingin O : Keadaan umum tampak sakit sedang Kesadaran kompos mentis, GCS 15 TD : 119/76 mmHg, FN : 101x/menit, FP : 38x/menit, suhu 36,4 C Mata: Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-) Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (+)

11

Ekstrimitas : akral dingin, perfusi baik, CRT 2 detik, Petekie (-). Urine output 4840 cc Balance + 540 cc Pemeriksaaan laboratorium pukul 10:09 Leukosit 11.700 /L, Eritrosit 4.950 /L, Trombosit 34.000 /L, Hb 14,0 g/dL, Ht 39,5 % Pemeriksaaan laboratorium pukul 13:06 Leukosit 13.300 /L, Eritrosit 5.980 /L, Trombosit 64.000 /L, Hb 16,5 g/dl, Ht 47,5 % Pemeriksaaan laboratorium pukul 18:39 Leukosit 13.100 /L, Eritrosit 5,600 /L, Trombosit 61.000 /L, Hb 15,2 g/dl, Ht 43,8 % GDS: 121 mg/dl Kesan : Peningkatan Hb,Ht, trombositopenia, leukositosis ringan A P : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) : - IVFD RL 42 tetes/menit makro - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg - Inj Cefotaxime 3x500 mg iv - Drip Cernovit 3 x 15 cc - Monitor tanda vital tiap 15-30 menit - Rencana pemeriksaan serial tiap 6-8 jam

Selasa, 13/09/11 S : Perut sakit berkurang, demam (-), kaki dan tangan tidak terasa dingin, kencing banyak O : Keadaan umum tampak sakit sedang Kesadaran kompos mentis, GCS 15 TD : 110/70 mmHg, FN : 88 x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,4 C Mata: Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)

12

Paru : vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (+) Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-). Pemeriksaaan laboratorium pukul 06:53 Leukosit 13.300 /L, Eritrosit 5.510 /L, Trombosit 97.000 /L, Hb 14,9 g/dl, Ht 42,3 % Kesan : Penurunan Ht,Hb dan trombositopenia A P : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) Teratasi : - RL 27 tpm (maintenance) - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg - Inj Cefotaxime 3x500 mg iv - Rencana pemeriksaan Foto Thoraks AP dan Right Lateral Decubitus (RLD)

Rabu, 14/09/11 S : Sakit perut (-) , demam (-), nafsu makan (+), BAB (+), kaki dan tangan terasa hangat, muntah (-), BAK lancar dan banyak, O : Keadaan umum tampak sakit sedang Kesadaran kompos mentis, GCS 15 TD : 110/70 mmHg, FN : 92x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36 ,1 C Mata: Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-) Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (-) Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, Petekie (-). A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) Teratasi

13

: - IVFD RL 27 tpm (maintenance) - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg

Kamis, 15/09/11 S : Sakit perut (-), demam (-), nafsu makan (+) baik, BAB (+), kaki dan tangan terasa hangat, BAK banyak O : Keadaan umum tampak sakit ringan Kesadaran kompos mentis, GCS 15 TD : 120/70 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 22x/menit, suhu 36,3 C Mata: Pupil isokor, bulat, : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-) Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 2 jari BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (-) Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-). A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) teratasi dan dalam perbaikan P : - Boleh pulang

Jumat, 16/09/11 Pasien pulang

14

BAB II PEMBAHASAN
Diagnosis demam berdarah dengue derajat III ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini. Penegakan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria, yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hati, terdapat manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan sirkulasi), yaitu keadaan umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 98/76 mmHg, nadi yang cepat dan halus, frekuensi nafas 28 x/menit, akral dingin dan perfusi jelek. Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil leukosit yang berada dalam batas normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang cenderung meningkat serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 60.000/mm3 (pemeriksaan pada tanggal 10/09/2011), 30.000/mm3 dan 23.000/mm3 (pemeriksaan pada tanggal 11/09/2011). Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratories DBD. Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya hemokonsentrasi. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Selain itu pada pasien ini juga didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah, perfusi perifer yang menurun dan akral yang dingin dan lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami DBD derajat III. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien dapat tiba-tiba memburuk, yang biasannya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yakni antara hari sakit ke 3 7. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi menjadi cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit 20%) dan trombositopenia

15

(trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.

Gambar 1. Pola demam pada DBD yang menyerupai Pelana kuda

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik pada penderita DSS menurut Wong adalah sebagai berikut. 1. Clouding of sensorium 2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun. 3. Nyeri perut. 4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis. 5. Trombositopenia berat. 6. Adanya efusi pleura pada toraks foto. 7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

16

Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simtomatik. Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada semua pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse oximetry untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah. Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat (RL) 840 mL dalam 30 menit pertama .Ringer laktat adalah salah satu larutan kristaloid yang direkomendasikan WHO pada terapi DBD. Pengobatan awal cairan intravena pada keadaan syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30 menit. Pada pasien ini berat badannya adalah 42 kg sehingga didapatkan jumlah cairan yang diberikan adalah 840 ml dalam 30 menit dengan tetesan infus sebesar 560 tetes per menit makro {(840/30) x 20}. Apabila syok belum teratasi dan atau keadaan

17

klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB/jam. Segera setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien kondisi membaik setelah dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi menjadi 420 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) atau Jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126 ml/jam (3 ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi pemberian terapi cairan dapat dihentikan. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer Catheter dan pengambilan sampel darah yang secara rutin dilakukan. Kesemuanya itu mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 September 2011 didapatkan kecenderungan terjadinya peningkatan leukosit meskipun hanya meningkat sedikit (dari 11.700 /L menjadi 13.600/L).

18

Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk, khususnya saat berada di lingkungan sekolah; dan menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya. Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada pasien saat ini tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena organ-organ vital pasien masih berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad sanactionam bonam karena kekambuhan pada DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi oleh virus dengue. Dengan edukasi yang tepat, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya infeksi virus dengue.

19

BAB III SINDROM SYOK DENGUE


Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). (1,2,3) 2.1 Batasan dan Uraian Umum Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. (1,2,3) Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS). 2.2 Etiologi Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain. 2.3 Epidemiologi Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka

20

kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999. (1,2,3,4,5)

Gambar 2. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. (2)

21

Gambar 3. Infeksi Dengue di Indonesia 2.4 Penularan Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempattempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat. Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik. Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit pasien pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.

22

2.5 Patogenesis Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3) Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3) Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)

Gambar 4. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

23

Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD

24

Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
(2,3)

degradation

product)

sehingga

terjadi

penurunan

faktor

pembekuan.

Gambar 6. Patogenesis Perdarahan pada DBD 25

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(2,3) DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut: 1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue. 2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus. 3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi. 4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediatormediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC. 2.6 Diagnosis Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

26

Kriteria klinis : 1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. 2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif*, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena. 3) 4) Hepatomegali Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg, atau hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria laboratoris : 1) Trombositopenia ( 100.000/l) 2) Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Sindrom Syok Dengue Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu : Penurunan kesadaran, gelisah Nadi cepat, lemah Hipotensi Tekanan nadi < 20 mmHg Perfusi perifer menurun Kulit dingin-lembab.

Penentuan Derajat Penyakit Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.(2,4)

27

Gambar 7. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :
DERAJAT DD GEJALA & TANDA Demam 2-7 hari Disertai > 2 tanda : sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia I Gejala di atas (+) Disertai uji bendung positif Gejala di atas (+) Disertai perdarahan spontan Gejala di atas (+) Disertai tanda kegagalan sirkulasi Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi yang tidak terukur LABORATORIUM Leukopenia Trombositopeni Kebocoran Plasma (-)

DBD

Trombositopeni (<100.000/ul) Kebocoran Plasma (+) : Peningkatan Ht > 20 % Penurunan Ht > 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.

DBD DBD DSS DBD DSS

II

Serologi Dengue Positif

III

IV

Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.

Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya

28

plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia. Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik pada penderita DSS menurut Wong: 1. Clouding of sensorium 2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun. 3. Nyeri perut. 4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis. 5. Trombositopenia berat. 6. Adanya efusi pleura pada toraks foto. 7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan: 1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg. 2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol. 3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis. 4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur lagi disertai sianosis dan asidosis. Pemeriksaan Laboratorium Uji laboratorium meliputi : 1. Isolasi virus Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada : Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia.

29

Pertumbuhan

virus

ditunjukan

dengan

adanya

antigen

yang

ditunjukkan dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic effect) pada biakan jaringan manusia. Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen. 2. Pemeriksaan Serologi Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test) Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test) Uji Netralisasi (Neutralization Test) Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay) Uji IgG Elisa indirek

Pemeriksaan Radiologi Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan yang dapat dideteksi yaitu : 1. Dilatasi pembuluh darah paru 2. Efusi pleura 3. Kardiomegali dan efusi perikard 4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati 5. Caran dalam rongga peritoneum Diagnosis Banding 1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria, dan sebagainya. 2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili. 3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. 4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae, leukemia pada stadium lanjut, dan anemia aplastik. 5. Syok endotoksin. 6. Demam Chikunguya.

30

PENATALAKSANAAN 1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah. 2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat. 3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan

seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik. 4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-

31

8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan. 5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

32

Bagan 1. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (Sindrom Syok Dengue/SSD) [2] DBD derajat III & IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit 2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer laktat/NaCl 0,9% 20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena Syok teratasi Kesadaran membaik Nadi teraba kuat Tekanan nadi >20 mmHg Tidak sesak nafas/sianosis Ekstrimitas hangat Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Syok tidak teratasi Kesadaran menurun Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi <20 mmHg Distress pernafasan/sianosis Kulit dingin dan lembab Ekstrimitas dingin Periksa kadar gula darah 1. Lanjutkan cairan 15-20 ml/kgBB/jam 2. Tambahkan koloid/plasma Dekstran/FFP 3. Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam

Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam Evaluasi ketat Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit

Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam Ht stabil dalam 2x Pemeriksaan Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Syok belum teratasi Syok teratasi Ht turun Transfusi darah segar 10 ml/kgBB dapat diulang sesuai kebutuhan Ht tetap tinggi/naik

Koloid 20 ml/kgBB

Infus stop tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi

33

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)(2) 1. Kristaloid Larutan ringer laktat (RL) Larutan ringer asetat (RA) Larutan garam faali (GF) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA) Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF) (Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung dekstran) 1. Koloid Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch (HES).(2) Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan KID.(2) Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2) Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam

34

4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 812 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.(2)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.(2) Kriteria Memulangkan Pasien(2) Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik 3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik

35

BAB IV KESIMPULAN
Telah dirawat pasien an. RZ, 11 tahun masuk dengan keluhan utama demam 4 hari SMRS dan didiagnosis sebagai dengue shock syndrome berdasarkan kriteria klinis dan laboratories dari WHO. Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa pemberian terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan pemberian terapi cairan pada DSS (sesuai dengan literatur). Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien. Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian penegakan diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan tinjauan literature mengenai penanganan pada dengue shock syndrome. Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara

paling memadai saat ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk.

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006 2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2005 3. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Edition II. Geneva : World Health Organization. 2002. Available from htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication Accessed December 1, 2009. 4. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009 5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004. 6. Anonymous. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue haemorrhagic fever in small hospital. World Health Organization Regional Office for SouthEast Asia. New Delhi: WHO; 1999.

37

You might also like