You are on page 1of 13

SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADITS DAN FIQH

SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADITS DAN fIQH A. Pengertian Ulumul Hadits Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ulum al-hadits) ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ulum dan al-hadits. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ilm yang berarti ilmu, sedangkan hadits berarti: segala sesuatu yang taqrir atau sifat. Dengan demikian gabungan antara ulum dan al-hadits mengandung pengertian Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw. Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ulumul alhadist). ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ulum dan Al-hadist. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat. (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist (Beirut: Dar Al-quran al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan kata ulumul-hadist mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW. B. Sejarah Perkembangan Pemikiran Ululmul Hadits Pada Priode Klasik, Pertengahan dan Modern 1. Priode Risalah Priode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad Saw sampai wafatnya Nabi Saw (11 H/ 632 M). Pada priode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan nabi Muhammad Saw. Sumber hukum pada saat itu adalah al-quran dan sunnah Nabi. Pengertian fiqh pada saat itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap satu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah Saw. Priode awal ini juga dapat dibagi jadi dua yakni priode Makkah dan Priode madinah. Pada priode Makkah risalah Nabi Saw lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada priode ini tidak banyak jumlahnya itupun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Pada priode Madinah ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya priode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai priode revolusi sosial dan politik. 2. Priode Khulafaur Rasyidin Priode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw sampai Muawwiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41H/661 M. Sumber hukum pada masa ini disamping al-quran dan Sunnah Nabi juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai dalam nash. Pada masa ini, khusunya setelah Umar bin Khattab menjadi Khalifah (13 H/634 M), ijtihad sudah merupakan suatu usaha yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum dimasa ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing. Pada priode ini, untuk pertama kali para fuqaha dari kalangan sahabat bebenturan dengan

budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusian dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk dalam memberikan hukum dalam persoalalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada al-Quran, jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam al-Quran mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi Saw. Namun jika dalam Sunnahpun tidak ditemukan maka mereka melakukan ijtihad. 3. Priode Awal Pertumbuhan Fiqh Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai pada awal abad ke-2 H. Priode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa Khulafaur Rasyidin (terutama semenjak Usman bin affan menduduki menduduki jabatan Khalifah, 33 H/644 M) munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tersebut. Di Iraq muncul Ibnu Masud sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya disana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Iraq jatuh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Mekkah dan Madinah). Saat itu di Iraq telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hijaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Masud mengikuti pola yang telah ditempuh Umar bin Khattab yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil oleh Umar bin Khattab dan Ibnu Masud karena situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran rayu (akal) (ahlulhadits dan ahlurrayi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Tsabid dan Abdullah bin Umar bin Khattab bertindak menjawab berebagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak sebagai penjawab persoalan yang muncul adalah Abdullah bin Abbas dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang pada al-Quran dan Sunnah Nabi. Hal ini dimungkinkan karena kedua kota inilah wahyu dan Sunnah Rasulullah di turunkan, sehingga para sahabat yang tinggal di kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam mengenai berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Iraq. Cara-cara yang digunakan para fuqaha di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya aliran Ahlulhadits. Ibnu Masud mempunyai murid-murid di Iraq sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu. Murid-murid para sahabat tersebut yang disebut sebagai generasi thbiin bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di daerah masing-masing, akibatnya terbentuk madzhab-madzhab fiqh mengikuti nama-nama para thabiin tersebut diantaranya fiqh al-Auzai, fiqh An-Nakhai, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri. 4. Priode Keemasan Priode ini dimulai pada awal abad ke 2 sampai pada pertengahan abad ke 4 H. Dalam priode sejaraha peradaban Islam priode ini termasuk dalam priode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti priode sebelumnya ciri khas yang menonjol pada priode ini semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang, perkembangan ini tidak saja dalam bidang ilmu agama tetapi juga dalam bidang ilmu

pengetahuan yang bersifat umum. Dinasti Abbasiyah yang naik kepanggung pemerintahan menggantikan pemerintahan dinasti Umayyah memiliki tradisi kilmuan yang tinggi sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah pada ilmu pengetahuan sangat besar. Para penguasa awal Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih dalam menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian dinasti Abbasiyah terhadap fiqih misalnya dapat dilihat ketika Kahlifah Harun AlRasyid meminta Imam Malik untuk mengajar keuda anaknya Al-Amin dan Al-Mamun. Disamping itu Kahlifah Harun Al-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pemerintahan. Imam Abu Yusuf memnuhi permintaan Khalifah dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Jafar al-Mansur memerintah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul Al-Muwaththa. Pada awal priode ke emasan ini pertentangan Ahlulhadits dan Ahlurrayi sangat tajam sehingga menimbulkan semangat berijtihad yang tinggi bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha di masa ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafii. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan fiqh AtTaqdiri. Pertentangan kedua aliran ini beru mereda setelah murid-murid kelompok Ahlurrayi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah Rayu yang dapat digunakan untuk mengisthinbath-kan hukum. Atas dasar upaya ini maka aliran Ahlul Hadits dapat menerima pengertian Rayu yang dimaksudkan Ahlurrayi sekaligus menerima rayu sebagai salah satu cara untuk meng-isthinbath-kan hukum. Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani murid Imam Abu Hanifah mendatangi Imam Malik di Hijaz untuk mempelajari kitab alMuwathta yang merupakan salahsatu kitab Ahlulhadits 5. Priode Tahrir, Takhirj, dan Tarjih Dalam Mazhap Fiqh Priode ini dimulai dari pertengahan abad ke 4 sampai pertengahan abad ke 7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij dan tarjih adalah upaya yang dilakukan oleh ulama masingmasing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Priode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing sehingga Mujtahid mustaqil (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fimazhab. Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan berijtihad secara mandiri muncullah sikap at-taassub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab)sehingga setiap ulama berusaha mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam priode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pinti ijtihad telah tertutup. Menurutnya paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut yakni: - Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. - Munculnya sikap at-taassup al-mazhabi yang berakibat pada sikap ke jumudan (kebekuan

berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. - Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masingmasing mazhab, sehingga mengakibatkan terhentinya aktivitas ijtihad. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang banar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini jauh berbeda dengan sikpa yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab tidak menginginkan seorangpun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan pada saat itu namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab. 6. Priode Kemunduran Fiqh Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke 7 H. Sampai munculnya majalah al-Ahkam AlAdliyyah (hukum perdata kerajaan Turki Usmani). Perkembangan fiqih pada priode ini merupakan lanjutan dari priode fiqih yang semakin menurun pada priode sebelumnya. Priode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal dengan priode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takriri (memperluas dan mempertergas lafal yang dikandung buku mazhab) tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takriri tersebut. Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecendrungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian ketegangan antara pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertututup. Secara vokal Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ini dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (Pendiri Aliran Wahabi di semenanjung Arab) dan Muhammad Ali asy-Syaukani. Menurut ibnu Qayyim al-Jauziyah bermazhab merupakan perbuatan bidah yang harus dihindari dan tidak satupun dari imam yang empat (Imam Hanafi, Hanbali, Syafii dan Maliki membolehkannya). Sejak saat itu kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapai telah mengambil bentuk kajian komperatif dari berbagai mazhab yang dikenal degan istilah fiqh muqaran. Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh Al-Umm karya imam Asy-Syafii, Al-Mabsus karya as-Sarakhsi, Al-Furuq, karya Imam alQarafi dan Al-Mugni karya Ibnu Qudamah.

Sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern fiqh Muqaran dibahas ulama fiqih secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio) serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil. Pada zaman modern suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqih Islam dan hukum produk barat.
http://hamikofebria.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-ulumul-hadits-dan.html

PENGARUHNYA MASYARAKAT SEKITAR NABI TERHADAP KEBERADAAN HADIS (PERAN SAHABAT DALAM MEMBENTUK HADIS)

PENGARUHNYA MASYARAKAT SEKITAR NABI TERHADAP KEBERADAAN HADIS (PERAN SAHABAT DALAM MEMBENTUK HADIS) by Sariono Sby http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/pengaruhnya-masyarakat-sekitarnabi.html

PENDAHULUAN

A. Pengertian Sunnah (Hadis) Sunnah (Hadith) menurut kitab Us}u>l Al-Hadi>th oleh DR. Muhammad Ajaj Al-Khathib (1989 dan terjemahan tahun 2007) dapat diringkas sebagai berikut: 1. Pengertian al-Sunnah secara etimologis (al-Sunnah fi al-lughah) adalah perjalanan, yang baik dan yang buruk. 2. Pengertian al-Sunnah secara Syara (al-Sunnah fi al-Shari) adalah sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Nabi SAW baik yang berbentuk sabda maupun perbuatan. Dengan demikian yang dikatakan sebgai dalil-dalil shara adalah al_quran dan al Sunnah, yakni Al-

Quran dan Hadis. Qodirun Nur, dkk sebagai penerjemah (Al-Khathib, 2007:2) membuat sebuah kesimpulan pengertian al-Sunnah menurut ulama hadis, ulama ushul dan ulama, fiqh sebagai berikut: Al-Sunnah dalam terminologi ulama hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan non fisik atau sepak terjang beliau sebelum diutus menjadi rasul, seperti tahannuts beliau di Gua Hira atau sesudahnya. Jadi Sunnah dalam pengertian ini identik dengan hadis Nabi SAW. 3. Pengertian al-Sunnah bisa dipahami sebagai amalan para sahabat (al-Sunnah wa amali al-S{ahabah), baik yang berkenaan dengan yang ada dalam Al-Quran maupun yang mereka ambil dari Nabi SAW, karena para sahabat merupakan wujud mengikuti Sunnah yang ada pada mereka atau ijtihad yang merupakan konsesus diantara mereka . Dasar pengambilan pengertian sunnah menurut pengertian ini adalah dari sabda Nabi SAW: : : : Artinya: Menceritakan kepadaku Abu Amiyah berkata menceritakan kepadaku Abu Asim dari Tsaur bin Yazid dari kholid bin Madan dari Abdurrahman bin Umar As Silmi dari Urbad bin Sariah berkata bahwasannya Rosulullah SAW bersabda: Berpegang teguhlah pada Sunnahku dan Sunnah khulafaurrashidin yang mendapat petunjuk. Pegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. 4. Pengertian Sunnah dapat diartikan sebagai kebalikan dari makna Bidah. Bidah dalam pengertian shara adalah segala sesuatu yang diada-adakan oleh manusia, baik berupa ucapan maupun perbuatan dalam masalah agama dan pilar-pilarnya, yang diambil dari Rasul SAW atau sahabat-sahabatnya. 5. Lebih lanjut, Al-khathib menjelaskan bahwa ulama hadis sepakat kalau sunnah sinonim dengan pengertian hadis menurut mayoritas. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW. Sebelum dan sesudah diangkat menjadi rasul. Akan tetapi kalau disebut kata hadis, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul SAW setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir. Jadi bisa disimpulkan Sunnah lebih luas daripada Hadis.

B. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Seperti yang diuraikan di atas, Sunnah atau yang disebut hadis adalah merupakan sumber ajaran dalam Islam disamping Al-Quran sekaligus sebagai bayan terhadap firman-firman Allah swt yang bersifat mujmal yang membutuhkan penjelasan secara terperinci untuk difahami. Misalnya, Q.S Al-Baqarah: 43 Dalam Ayat ini menjelaskan perintah shalat dan zakat yang masih bersifat mujmal, kemudian rasul menjelaskan tata cara shalat dan zakat sebagaimana sabda rasul: :

- : . : - Artinya:Telah mengabarkan padaku Abu Zakariya ibn Abi Ish}ak al Muzakki dari Abu al-Abbas: Muh}ammad ibn Yaqub dari al-Rabi ibn Sulaiman al-Maradi dari al-Shafii dari Abd Wahab al-Thaqafi dari Ayyub dari Abi Qilabah dari abu Sulaiman: Malik ibn al-H{uwairith r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kita: Salatlah sebagaimana kamu melihat saya salat, dan apabila waktu salat sudah datang maka adhanlah salah satu diantara kalian, dan jadilah imam salah satu yang paling tua diantara kalian. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Sahih dari Muhammad bin al-Muthanna dari abd alWahab . Dalam kaitannya sebagai sumber ajaran Islam, hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah Alquran. Hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al quran dalam merespon pertanyaan para sahabat. Dengan demikian hadis merupakan hasil interpretasi Nabi SAW yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat AlQuran. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupan yang berbeda, para sahabat pun terkadang memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadis nabi. Dari sini, maka hadis yang turun bisa dikatakan bersifat temporal dan kontekstual. Oleh karena itu untuk mempelajari hadis tidak dapat dihindarkan dari kondisi dan keadaan masyarakat sekitar serta peran sahabat dalam keberadaan hadis. Dengan kata lain kondisi masyarakat dan peran sahabat pada masa itu sangat berpengaruh terhadap terbentuknya hadis. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dunia ini selalu berkembang, ditandai dengan perubahan sosial, budaya, teknologi dan lingkungan yang mungkin sudah sangat jauh berbeda dengan situasi dan kondisi yang melahirkan hadis pada saat Nabi SAW. Banyak hadis kemudian seperti tidak komunikatif dan serasi lagi kalau diterapkan saat kondisi sosial masyarakat seperti ini. Karena itu pemahaman atas hadis Nabi SAW adalah sebuah kebutuhan mendesak agar bisa dipahami dan diterapkan pada situasi sekarang. Hadis kalau hanya dipelajari secara tekstual, tanpa melihat sejarah (historis) dan kondisi lingkungan masyarakat (sosiologis dan antropologis, atau kontekstual) tidak akan mendapatkan makna secara utuh. Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis, yaitu (1) yang ahistoris dan tekstualis (tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkan hadis itu), dan (2) yang historis dan kontekstual (dengan mempertimbangkan asal-usul dari hadis

PEMBAHASAN Membahas hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri (Ranuwijaya, 2001:v). Sejarah perjalanan pada masa awal Islam adalah perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW baik di Makkah maupun di Madinah. Di samping itu, sejarah perkembangan hadis juga tidak dapat terlepas dari peranan para sahabat Nabi SAW dalam menjaga dan menyampaikan hadis kepada umat Islam setelah masa Nabi SAW. Itu artinya dalam

pembahasan ini ada dua pendekatan yang dipakai, yaitu (1) pendekatan historis masyarakat sekitar Nabi, dan (2) pendekatan sosiologis antropologis atau kontekstual dari hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat. Penulis mencoba menjawab permasalahan dari makalah ini dengan menggunakan dua pendekatan di atas. A. Gambaran Kondisi Masyarakat Makkah dan Madinah pada Masa Awal Islam Gambaran kondisi masyarakat Makah dan Madinah diringkas dari berbagai buku tentang riwayat atau sejarah Nabi Muhammad SAW. (Haikal, 2002), An-Nadwi (2007), Mouvty Makaarim Al-Ahlaq (2009). 1. Kondisi Masyarakat Makkah dan Hadis yang Terbentuk pada Masa itu Masa awal Islam di Makkah bisa dikatakan sebagai masa membangun pondasi dasar atau pijakan dasar dari perkembangan Islam. Kondisi Makkah sejak awal sebelum Islam merupakan tempat perdagangan yang sangat pesat dengan ciri umum penduduk Makkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Makkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada dakwah Islam fase Makkah. Dakwah Nabi SAW pada masyarakat Makkah ini berpengaruh pada turunnya ayat-ayat AlQuran dan munculnya hadis sebagai pedoman ajaran Islam. Situasi (1997:33) menjelaskan bahwa pada saat seperti itu hadis lahir berupa sabda (aqwal), afal dan Taqrir nabi yang berfungsi menerangkan AlQuran dalam rangka menegakkan syariat Islam dam membentuk masyarakat Islam. Mengingat pentingnya sebuah suku dalam komunitas Makkah, maka Nabi diperintahkan untuk mulamula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya -seperti besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Makkah yang karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad SAW ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan mengajak mereka ke jalan Allah, namun ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badar, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali. Besarnya pengaruh suku Quraisy di Makkah jugalah yang salah satunya bisa membuat Hamzah memeluk Islam, yakni ketika Abu Jahl dari bani Hanzhalah mencaci dan mengejek Muhammad, lalu orang-orang melapor pada Hamzah dan serta merta Hamzah-lah yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit suku saat itu tidak segera padam. Ketika Abu Thalib masih hidup, bani Hasyim memberikan perlindungan pada Muhammad dan tidak ada yang berani membunuh Muhammad karena Baninya akan membalas nantinya. Ketika Islam hadir di Makkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada fase Makkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, seperti perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Makkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya merusak ideologi dan teologi mereka, tetapi juga merombak kehidupan sosial mereka. Hadis yang lahir pada masa seperti ini misalnya: Saudara-saudaramu adalah pembantumu yang telah dijadikan Allah milik dibawah tanganmu. Maka siapa yang saudaranya dibawah tanggung jawabnya, hendaknya diberinya makanan dari makannya dan diberi pakaian pakaiannya dan tidak membebaninya. Barangsiapa membebaninya dengan beban yang memberatkannya maka hendaknya dia menolongnya. Rasulullah bermaksud dengan sabdanya ini mengingatkan umatnya agar tidak semena-mena terhadap

orang yang berada dibawahnya sebab manusia itu bersaudara. Bahwa semua berasal dari Nabi Adam dan Nabi Adam itu berasal dari tanah. Maka jika bersaudara dalam agama, justeru mereka harus saling menguatkan. Contoh menarik, misalnya, dalam al-Quran dijelaskan tentang kata Karim dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah --cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya. Konsep Karim di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling mulya (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepada Nya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur'an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Makkah. Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Makkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan Bani. Negara Islam juga belum terbentuk pada dakwah Islam fase Makkah. Ajaran Islam pada fase Makkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam pandangan Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Makkah. Kita akan melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam berkembang pada fase Madinah, untuk itu mari kita bahas dakwah Islam fase Madinah di bawah ini. 2. Kondisi Masyarakat Madinah dan Hadis yang Terbentuk Masa itu. Perkembangan Islam pada masa Madinah setelah Nabi SAW hijrah bisa dikatakan sebagai masa penyempurnaan Agama Islam. Hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyongkonyong). Ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua). Kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam. Kehadiran Rasulullah SAW melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas. Peta demografis Madinah saat itu adalah sebagai berikut: 1. Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar 2. Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw. 3. Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme 4. Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidloh.

Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan konflik dan tension. Pertentangan suku Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam. Bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua Bani tersebut karena kedua Bani tersebut membutuhkan orang ketiga dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik. Adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri. Tentu saja Yahudi menerima Nabi dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Nabi mampu menjinakkan mereka, paling tidak, sampai Nabi eksis di Madinah. Kemajemukan komunitas Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Nabi, selaku mandataris Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tidak satupun ayat alQur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara. Dari sudut pandang ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Nabi saw.memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut. Walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi dipandang bukan saja sebagai pemimpin rohani tetapi juga sebagai kepala negara. Kita beralih pada persoalan ajaran Islam. Pada fase Madinah ini ajaran Islam merupakan kelanjutan dari dakwah fase Makkah. Bila pada fase Makkah, ayat tentang hukum belum banyak diturunkan, maka pada fase Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk. Juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini. Satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba. Setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah perlawanan dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba. Yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi. Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur sempurna, juga ayat tentang etika, tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan, dan mencapai puncaknya. Setelah Nabi wafat, dimulailah era Khulafa al-Rasyidin. Tidak dapat dipungkiri, di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta. B. Peran sahabat dalam membentuk hadis Kehidupan Rasul adalah berada di tengah-tengah masyarakat sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul bebas dengan Rasul tanpa ada aturan dan protokoler yang dapat menghalangi para sahabat untuk bertemu. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safardan di dalam hadhar Seluruh perbuatan, ucapan dan tutur kata pada saat itu menjadi perhatian yang sangat penting bagi sahabat. Segala gerak gerik Nabi mereka jadikan pedoman hidup merekapun tidak terhalangi oleh jarak maupun waktu, semua itu menunjukkan kesungguhan para sahabat dalam meneladani Rasul. Pada perkembanganya bahwa di antara para ulama masih terjadi perbedaan dalam menyusun periodisasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Tetapi ia menguraikan dalam bukunya menjadi periodisasi, seperti masa Rasul SAW, masa sahabat masa tabiin, masa pen-Tadwinan atau pembukuan,

masa seleksi atau penyaringan hadits serta masa sesudahnya. Dari beberapa periodisasi itu menunjukkan bahwa Keberadaan Hadis tidak bisa lepas dari peran masyarakat sekitar Nabi, khususnya para sahabat. Peran para sahabat dalam pembentukan hadis sangat vital dikarenakan mereka adalah Subjek sekaligus objek sejarah pada waktu itu. Dari berbagai sumber bacaan, penulis dapat mengambil beberapa pengaruh sahabat dalam proses terbentuknya hadis di antaranya : 1. Karena pertanyaan sahabat tentang hal yg tidak mereka ketahui. Seringkali hadis lahir karena sahabat mengajukan pertanyaan pada Nabi SAW. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmudhi dalam Sunan al-Turmudhi dari Abi Amamah tentang mengucapkan salam. Diriwayatkan oleh Abi Amamah bahwa dia telah berkata kepada Rasulullah: Ya, Rasulullah kami telah saling berjumpa, siapa diantara kami yang harus lebih dulu mengucapkan salam?. Sabda Rasulullah, : Artinya: Menceritakan pada kita Ali ibn H{ajar mengabarkan pada kita Qiran ibn Tamam al-Asadi dari Abi Furah Yazid bin Sunan dari Salim bin Amir dari Abi Amamah berkata bertanya pada rasulullah: wahai rasulullah jika dua dua orang laki-laki sedang bertemu dan siapakah yang lebih dahulu mengucapkan salam , maka rasul menjawab yang lebih dahulu 2. Karena situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat. Rasul SAW berbicara kepada orang lain sesuai dengan kadar intelektualn mereka. Suatu pembicaraan yang tidak dapat dipersepsi oleh akal pendengar justru akan menimbulkan kesalahpahaman. Sehingga yang terjadi tidak seperti dikehendaki. Rasul SAW benar-benar berbicara kepada mereka yang hadir dengan bahasa yang dapat mereka tangkap pengertiannya. Sehingga orang pedalaman, dengan kekerasan karakternya mampu memahami (ajaj:53). Demikian pula orang kota, dapat memahaminya sesuai dengan pola hidup dan kondisi lingkungannya. Rasul dalam menyampaikan hadis benar-benar memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, sehingga apa yang disampaikan dapat ditangkap pengertiannya. Oleh karena itu dalam penyampaian hadis Nabi SAW memperhatikan siapa yang diajak berbicara, perbedaan daya tangkap, kecerdasan dan kemampuan alami maupun hasil latihan mereka dalam berfikir, salah satu buktinya adalah hadis riwayat Abu Hurairah: : . ) ( . ) ( . ) ( ( . ) . ) ( . Artinya: menceritakan pada saya Asbagh bin al-Faraj dari ibn Wahab dari Yunus dari ibn Shihab dari abi Salamah bin abd al-Rah}man dari abu Hurairah: sesungguhnya seorang laki-laki arab datang pada rasulullah dan ia bertanya, Sesungguhnya istriku telah melahirkan anak yang berkulit hitam, dan aku tidak mengakuinya. Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya : Apakah kamu mempunyai unta? Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya; Apa warna kulitnya? Ia menjawab: Merah. Beliau bertanya: Apakah diantara unta itu ada yang berwarna keabuan? Ia menjawab: iya diantaranya ada yang

berwarna keabu-abuan. Beliau bertanya lagi: Bagaimana bisa begitu? Ia menjawab: Mungkin dipengaruhi oleh faktor keturunan. Beliau bersabda: Nah, anakmu itu juga barangkali dipengaruhi oleh faktor keturunan, dan nabi tidak meremehkan atas pengingkarannya. Dialog ini jelas merupakan cara rasul untuk menundukkan orang tersebut agar mengakui anak yang telah diingkarinya, dengan menganalogikannya dengan peristiwa yang sering terjadi, baik berkenaan dengan kehidupan sehari-hari maupun kondisi lingkungannya. Selain ditujukan kepada akal, pembicaraan rasul juga ditujukan kepada rasa dan nurani. Pembicaraan belaiu mampu menggerakkan perasaan sehingga mampu membangunkan dari nina-boboknya. 3. Karena peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh kaum muslimin atau sahabat. Hadis bisa juga lahir karena ada suatu kegiatan atau peristiwa yang dilakukan seorang muslimin, kemudian Nabi Muhammad SAW menanggapi peristiwa tersebut, sebagai contoh sebuah hadis yang menjelaskan sedekah yang harus dimulai dari diri sendiri dulu . . . .- - - - . . Artinya, Menceritakan pada saya Qutaibah bin Said dari Laith dari Muh}ammad bin Rumh}in dari alLaith dari abi al-Zubair dari Jabir berkata seorang laki-laki dari bani Udrah memerdekakn budaknya dengan sembunyi-sembunyi dan menyampaikannya pada Rasulullah SAW, kemudian Nabi bertanya apakah engkau mempunyai harta lain?, jawab orang itu tidak, Rasul bersabda siapa yang mau membelinya dariku?, maka Nuaim bin abd allah al-adawi dengan harga 800 dirham, kemudian rasulullah menyerahkan uang tersebut kepada lelaki itu, seraya berkata : mulailah dari dirimu, bersedekalah engkau kepadanya. Maka apabila ada kelebihan, bersedekalah kepada keluarga terdekat. Bila masih ada kelebihan bersedekalah kepada karib kerabat, demikian seterusnya Sababul wurud dari hadis ini adalah Jabir telah menjelaskan, Hadis ini timbul berkenaan dengan seorang laki-laki telah memerdekakan seorang hamba setelah hamba itu meninggal. Maka datanglah Rasulullah, bertanya kepadanya: Apakah engkau, mempunyai harta lain?. Jawab orang itu Tidak. Rasulullah bersabda: Siapa yang mau membelinya daripadaku?. Maka Nuaim Al Udzri membelinya seharga 800 dirham kemudian Rasulullah menyerahkan uang tersebut kepada laki-laki tersebut seraya berkata : Mulailah dari dirimu ...dst. Jadi hadis ini menerangkan tentang keharusan memberikan sedekah kepada yang membutuhkan lebih dulu. Mungkin diri sendiri sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT. Jika ada kelebihan barulah kepada keluarga yang dibawah tanggung jawabnya dalam hal penafkahan, kemudian baru karib kerabatnya dan seterusnya. Misalnya hadis tentang mencium di saat puasa , yang artinya Sesungguhnya orang tua lebih menguasai nafsunya. Hadis ini asal-usulnya terjadi ketika Abdullah bin Amru di saat di dekat nabi, tiba-tiba datanglah seorang pemuda , katanya: Celaka ya rasulullah, saya telah mencium padahal saya sedang puasa. Jawab Rasulullah, Jangan. Kemudian datang lagi seorang yang sudah tua, katanya:Ya rasulullah, sayapun telah mencium padahal saya puasa. Kata rasulullah, Ya. KESIMPULAN

Hadis ( Sunnah) yang lahir ada saat Nabi SAW tidak dapat terlepas dari kondisi dan situasi masyarakat dimana hadis itu terbentuk, serta tidak lepas dari peran sahabaat pada masa itu. Masyarakat dan sahabat adalah merupakan subjek sekaligus objek dari terbentuknya hadis . Hadis hadir mengiringi dan menjelaskan ayat-ayat Al-Quran, sekaligus sebagai jawaban-jawaban kejadian-kejadian atau kasus yang sedang terjadi baik masalah ibadah maupun muamalah. Mengingat pentingnya kedua faktor pembentuk lahirnya hadis, yaitu kondisi masyarakat dan peran sahabat, maka untuk mempelajari hadis pada saat ini tidak bisa mempelajari hadis berdasarkan teksnya belaka (tekstual), tetapi perlu juga mempelajari konteks saat hadis itu lahir. Berdasarkan uraian pembahasan di atas, jelaslah bahwa mempelajari hadis perlu mengkaji historis, sosiologis dan antropologis (kontekstual) masyarakat pada saat dimana hadis itu lahir. Diposkan oleh Referensi agama di 04:08 Label: Al Qur'an dan hadits

You might also like