You are on page 1of 14

Heparin-Binding Protein: Petanda Awal dari Kegagalan Sirkulasi pada Sepsis

Latar belakang. Deteksi awal dari kegagalan sirkulasi pada pasien dengan sepsis sangatlah penting untuk keberhasilan terapi. Heparin-binding protein (HBP), yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi, adalah pemicu kebocoran vaskuler yang sangat kuat. Penelitian ini menyelidiki apakah kadar HBP plasma dapat digunakan sebagai petanda diagnostik awal untuk sepsis berat dengan hipotensi. Metode. Penelitian prospektif dilakukan terhadap 233 orang pasien dewasa yang demam dan dicurigai mengalami infeksi. Seluruh pasien dikelompokkan menjadi 5 kelompok kriteria dasar sindrom respon inflamasi sistemik, kegagalan organ, dan diagnosis akhir. Sampel darah yang diambil saat perekrutan diperiksa kadar HBP, procal-citonin, interleukin-6, C-reactive protein, dan jumlah sel leukositnya. Hasil. Dua puluh pasien didiagnosis dengan sepsis berat dan syok septik, 44 pasien dengan sepsis berat tanpa syok, 100 pasien dengan sepsis, 43 pasien dengan infeksi tanpa sepsis, dan 20 pasien dengan respon inflamasi yang disebabkan oleh penyakit noninfeksi. Kadar HBP plasma > 15 ng/ml adalah indikator yang lebih baik pada sepsis berat (dengan atau tanpa syok septik) dibandingkan parameter laboratorium lain yang diperiksa (sensitivitas 87,1%; spesifisitas 95,1%; nilai prediktif positif 88,4%; nilai prediktif negatif 94,5%). Tiga puluh dua dari 70 pasien dengan sepsis berat diambil contoh sampai selama 12 jam sebelum tanda-tanda kegagalan sirkulasi muncul, dan 29 dari pasien ini didapatkan peningkatan dari kadar HBP dalam plasma. Kesimpulan. Pada pasien demam, kadar HBP dalam plasma yang tinggi membantu mengidentifikasi pasien sepsis yang berisiko berlanjut dengan kegagalan sirkulasi.

Mekanisme molekuler yang memicu kebocoran endotel kapiler pada sepsis memiliki peranan penting. Ekstravasasi dari plasma dan sel darah putih menuju focus infeksi merupakan suatu tahap penting dalam proses inflamasi (1). Walau

bagaimanapun, sepsis berat memiliki cirri khas yakni peningkatan permeabilitas vaskuler yang tidak terkendali, mengakibatkan hipotensi, gangguan

mikrosirkulasi, hipoksia, dan disfungsi organ. HBP yang juga dikenal sebagai azurocidin dan CAP 37, merupakan mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan menyebabkan kebocoran vaskuler (2). Protein tersebut terkandung dalam granula sekretorik dan azurofilik pada neutrofil manusia (3) dan disekresikan selama stimulasi dari integrin b2 leukositik. HBP menyebabkan penyusunan kembali sitoskeleton dari sel endotel, yang mengakibatkan terputusnya pertahanan sel dan peningkatan pengaliran makromolekul kembali (2). Ini menunjukkan bahwa pelepasan HBP terjadi selama adhesi netrofil pada sel endotel, dan dan berfungsi pada jalur parakrin. Bagaimanapun, HBP juga disekresikan ketika netrofil diaktifkan oleh kompleks protein sirkulasi yang dibentuk oleh protein M streptokokal dan fibrinogen, suatu mekanisme virulen yang mengakibatkan kerusakan organ berat yang ditunjukkan secara in vivo (4,5). Mortalitas yang berkaitan dengan sepsis masih sangat tinggi meskipun kesadaran terhadap diagnosis dan kemajuan terbaru strategi penatalaksanaan juga meningkat (6-8). Tugas yang penting dari seorang klinisi yakni mengenali sepsis sebelum berlanjut ke stadium yang lebih berat dengan tanda-tanda gagal sirkulasi. Pada pasien dengan syok septik telah ditunjukkan bahwa tingkat mortalitas berhubungan dengan waktu antara menurunnya tekanan darah sistolik dan mulai diberikannya terapi antibiotik (9). Diagnosis sepsis seringkali sulit ditegakkan dan bergantung terutama pada parameter klinis dan tes laboratorium standar. Dengan demikian, peralatan molekuler yang reliabel untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko berlanjut menjadi sepsis berat diantara pasien-pasien yang menunjukkan demam dan tanda-tanda respon inflamasi sistemik akan menurunkan lamanya waktu yang diperlukan untuk terapi yang adekuat dan dapat menjadi pertimbangan secara klinis. Procalcitonin, interleukin-6, laktat, triggering expressed on myeloid cells-1, dan C-reactive protein merupakan petanda-petanda yang sudah disarankan oleh peneliti-peneliti yang lain (10-14). Pertimbangan mengenai pengaruh dari HBP terhadap permeabilitas kapiler dan pelepasannya oleh netrofil yang teraktivasi, protein ini menggambarkan calon petanda baru yang

menarik. Pada penelitian yang terbaru, dilakukan penelitian terhadap kadar HBP dalam plasma pada pasien suspek infeksi dan dan dilakukan analisis terhadap nilai dari pengukuran HBP dalam memprediksi dan mendiagnosis kasus sepsis berat dengan kegagalan sirkulasi.

METODE Populasi penelitian. Dua ratus tiga puluh tiga pasien dewasa febris yang secara klinis suspek terkena infeksi dimasukkan dalam sampel prospektif nonconsecutive convenience di Klinik Penyakit Infeksi Rumah Sakit Universitas Lund (Lund, Swedia). Kriteria inklusinya adalah suhu > 380C dan dicurigai terkena infeksi oleh dokter yang hadir. Kriteria eksklusinya adalah terapi antibiotik selama > 24 jam, netropenia yang disebabkan oleh keganasan hematologi. Terapi imunosupresif, dan usia < 18 tahun. Protocol penelitian ini telah disetujui oleh komite etik Rumah Sakit Universitas Lund dan informed consent diambil dari seluruh pasien atau dari keluarga dekat. Mulai Maret 2006 sampai April 2007, 216 pasien telah didaftar. Setelah analisis sementara, untuk meningkatkan jumlah pasien dengan penyakit yang lebih berat, kriteria inklusi kemudian ditambahkan: >3 tanda-tanda dari respon inflamasi sistemik {SIRS; suhu tubuh >380C; sel darah putih >12 x 109 sel/L atau <4 x 109 sel/L; nadi >90 kali/menit; dan respirasi >20 kali/menit (15)} atau hipotensi yang signifikan (tekanan darah sistolik <90mmHg) atau penurunan lebih dari 40mmHg dari harga normal. Itulah sebabnya total 248 pasien diikutsertakan dalam penelitian April 2008, dan pada kriteria eksklusi dasar 233 pasien dapat dinilai. Pada saat pendaftaran, suhu tubuh, nadi dan respirasi, serta angka leukosit dicatat. Pasien rawat inap, tekanan darah sistolik, frekuensi nadi, dan frekuensi respirasi diukur tiap jam selama12 jam berikutnya. Usia, jenis kelamin, dan mortalitas dalam rumah sakit juga dicatat. Diagnosis akhir dari pasien-pasien ini dibuat oleh dokter-dokter yang hadir dan tidak mengetahui hasil penelitian, dengan menggunakan prosedur mikrobiologis standar dan radiologis. Dengan kriteria dasar munculnya SIRS, ada atau tidaknya gagal organ, dan diagnosis akhir, pasien-pasien dikategorikan menjadi berbagai kelompok menurut kriteria American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine

(15). Sepsis berat didefinisikan sebagai penyakit infeksi, dengan paling tidak memenuhi 2 kriteria SIRS, dan adanya atau berlanjutnya hipotensi, dan/atau gagal organ dalam waktu 24 jam setelah pengambilan sampel darah. Syok septic didefinisikan sebagai sepsis berat yang disertai hipotensi yang memerlukan bantuan vasopresor atau hipotensi yang persisten selama 11 jam meskipun telah diresusitasi cairan dengan adekuat. Pasien-pasien tersebut dibagi menjadi kelompok-kelompok: (1) sepsis berat dengan syok septik; (2) sepsis berat tanpa syok septik; (3) sepsis, termasuk penyakit infeksi, memenuhi paling tidak 2 kriteria SIRS, dan tidak ada gagal organ ataupun gagal organ yang berlanjut; (4) infeksi tanpa SIRS; dan (5) SIRS tanpa infeksi, termasuk penyakit noninfeksi dan memenuhi 2 kriteria SIRS. Analisis kadar BHP, protein plasma lain, dan laktat. Sampel darah yang digunakan untuk analisis kadar protein plasma dan laktat dikumpulkan pada saat pendaftaran dalam tabung vacutainer plastic 5 ml yang mengandung 0,5 ml natrium sitrat 0,129 mol/l. Dua puluh tujuh pasien diambil sampel darah serial dan dikumpulkan samapai 96 jam. Tabung segera disentrifugasi pada kecepatan 2000 g selama 10 menit, dan aliquot yang terpisah dari supernatan plasma disimpan dalam suhu -700C sampai dilakukan analisis. Konsentrasi HBP ditentukan dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (3). Ringkasnya, microtiter plates (Nunc) dilapisi antibodi monoclonal tikus yang langsung menghancurkan HBP dari manusia (2F23A) pada konsentrasi 1,0 l/ml dalam buffer (0,05 mol/L NaHCO3, pH 9,6). Plat dicuci dengan menggunakan garam buffer fosfat ditambah Tween 0,05% dan diblok dengan albumin serum dari sapi (Sigma) dalam garam buffer fosfat ditambah Tween 0,05%. Sampel plasma pasien diencerkan 1:40 dalam buffer inkubasi, ditambahkan dua kali lipat, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 0C. tiap plat mengandung sampel kalibrasi yang telah diketahui konsentrasi HBP manusia rekombinannya (0-600 ng/ml) (16). Setelah dicuci, plat diinkubasi dengan antiserum monoklonal kelinci (diencerkan 1:7000) yang langsung menghancurkan HBP manusia (17). Antibodi terdeteksi melalui inkubasi dengan antibodi terkonjugasi peroksidase melawan imunoglobulin G dari kelinci (diencerkan

1:3000) (Bio-Rad). Plat dikembangkan dan densitas optikal 420 nm ditentukan seperti yang dijelaskan di tempat lain (3). Kadar HBP pada tiap sampel pasien ditentukan dengan menghitung rata-rata densitas optik dari duplikatnya, yang berhubungan dengan hasil dari kurva standar. Variasi dari hari ke hari dari pemeriksaan memiliki koefisien varian < 5%. Interleukin (IL)-6 diukur dalam plasma (diencerkan 1:40 dalam garam buffer fosfat) dengan ELISA berlapis kuantitatif (Quantikine; Sistem R&D) sesuai dengan instruksi dari pabrik pembuatnya (batas pengenalan < 0,0007 ng/ml). Analisis kadar prokalsitonin ditunjukkan dengan enzyme-linked uorescent immuno-assay (Biomerieux) menurut instruksi dari pabrik pembuat (batas pengenalan 0,05 ng/ml). Analisis protein (Roche Diagnostics), menurut instruksi pabrik pembuatnya.

Table 1. Karakteristik Populasi Penelitian

Keterangan. LRTI, lower respiratory tract infection; SIRS, systemic inammatory response syndrome; SSTI, skin and soft-tissue infection; URTI, upper respiratory tract infection; UTI, urinary tract infection. a Nilai P untuk membandingkan antara 2 kelompok sepsis berat (n=70) dan kelompok sepsis (n=100) dengan menggunakan analisis nonparametrik MannWhitney

Termasuk septikemia, meningitis dan encephalitis viral, malaria, dan demam Dengue c Termasuk Mikoplasma pneumonia, Plasmodium falciparum, dan Pneumocystis jiroveccii. d Termasuk rontgen thorak positif pneumonia dan SSTI. Analisis statistik. Mean, median, standar deviasi, dan range dilaporkan sesuai yang didapatkan. Perbandingan antar kelompokdibuat dengan uji nonparametrik. Nilai P < 0,05 pada 2-tailed test dikatakan signifikan secara statistik. Koefisian korelasi Pearson digunakan untuk menghitung korelasi antara HBP dan kadar sel darah putih. Kurva karakteristik receiver-operating dan area di bawah kurva menggambarkan berbagai nilai cut-off untuk kadar HBP, procalcitonin, IL-6, laktat, protein C-reaktif (CRP), dan kadar sel darah putih. Nilai area di bawah kurva dilaporkan dengan interval tingkat kepercayaan 95%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif negative dihitung dari tabulasi silang. Penghitungan menggunakan sistem perangkat lunak SPSS, versi 14.0. HASIL Karakteristik pasien. Dua ratus tiga puluh tiga pasien memenuhi kriteria inklusi. Dua puluh enam pasien didiagnosis sepsis berat dengan dengan syok septik, 44 pasien dengan sepsis berat tanpa syok septik, 100 pasien dengan sepsis, 43 pasien dengan infeksi tanpa SIRS, dan 20 pasien dengan SIRS tanpa infeksi. Semua pasien sepsis (dengan atau tanpa syok septik), 75% pasien dari kelompok sepsis, 33% pasien dengan infeksi tanpa SIRS, dan 83% pasien dengan SIRS tanpa infeksi. Empat puluh satu (93%) dari 44 pasien dengan sepsis berat tanpa syok septik mengalami hipotensi nonpersisten. Lima belas pasien sepsis berat dengan syok septik dirawat di ICU dengan pemberian vasopresor, dan 8 pasien menjalani ventilasi mekanik. Karakteristik demografik pasien dan diagnosis ditampilkan dalam table 1. Pneumonia dan infeksi saluran kemih adalah yang paling sering. Diagnosis-diagnosis tersebut juga muncul pada kelompok sepsis berat (dengan atau tanpa syok septik) dan pada kelompok sepsis. Pasien infeksi yang tanpa gejala SIRS kebanyakan mengalami infeksi saluran napas atas dengan terbukti maupun suspek disebabkan oleh virus.

Gambar 1. Kadar 6 biomarker dalamplasma yang diukur di rumah sakit rujukan pada 233 pasien dengan demam dan suspek infeksi. Setiap titik menggambarkan konsentrasi individual dari HBP sampel plasma (A), procalcitonin (B), interleukin (IL)6 (C), lactate (D), C-reactive protein (CRP) (E), dan white blood cells (WBCs) (F). kelima kelompok pasien digambarkan dalam metode batang yang menggambarkan nilai median. Nilai cut-off yang dianjurkan untuk HBP bermakna adalah 15 ng/ml. Pada panel A titik-titik berada pada level 120 ng/ml menggambarkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok sepsis berat dengan syok septik (494, 269, 290, dan 182 ng/mL) dan pada kelompok sepsis berat tanpa syok septik (298 dan 179 ng/mL). Pada panel B, titik-titik berada pada 120 ng/mL menggambarkan nilai yang lebih tinggi pada kelompok sepsis berat dengan syok

septik (200, 200, 200, 190, and 133 ng/mL). SIRS, systemic inammatory response syndrome. Walau bagaimanapun, pasien dalam kelompok ini juga mengalami infeksi invasif, seperti pneumonia atau bakteremia. Tercatat, 20% dari pasien-pasien yang memenuhi kriteria sepsis dengan menggunakan skor SIRS didiagnosis dengan infeksi virus. Diantara 20 pasien yang mengalami penyakit noninfeksi, diagnosisdiagnosisnya yakni vaskulitis sistemik (n=4), gagal jantung (n=3), perdarahan gastrointestinal (n=3), emboli pulmonal (n=2), defisiensi kortikosteroid relatif oleh karena hipopituarisme (n=2), dehidrasi (n=2), pancreatitis akut (n=2), thrombosis vena dalam (n=1), dan retensi urin (n=1). Sebelas dari pasien-pasien ini mengalami hipotensi yang terus memberat. Tabel 2. Sensitivitas, Spesifisitas, Nilai Prediktif Positif, dan Nilai Prediktif Negatif dari Variabel Penelitian dalam Mendiagnosis Sepsis Berat Dengan atau Tanpa Syok Septik

Angka kematian keseluruhan adalah 3,4%. Pada sepsis berat, angka kematian sebesar 10%, dan 19% pasien dengan syok septik meninggal. Jumlah HBP, IL-6, prokalsitonin, laktat, CRP, dan sel darah putih plasma. Pada awalnya, jumlah HBP secara signifikan lebih tinggi pada kedua kelompok sepsis berat dibandingkan dengan 3 kelompok pasien yang lain (p< 0,001) (Gambar 1A). Dua puluh empat (92,3%) dari 26 pasien kelompok sepsis berat dengan syok septik dan 37 (84,1%) dari 44 pasien dengan sepsis berat tanpa syok septik melampaui nilai cut-off HBP yaitu 15 ng/mL. Pada kelompok

yang lain, 7 dari 100 pasien dengan sepsis, 0 dari 43 pasien dengan infeksi tanpa SIRS, dan 1 dari 20 pasien dengan SIRS tanpa infeksi memiliki nilai HBP plasma 15 ng/mL.

Konsentrasi beberapa marker infeksi berat yang sudah pernah diteliti, prokalsitonin, IL-6, laktat, dan CRP, juga diperiksa dan dibandingkan antar kelompok pasien. Nilai marker-marker tersebut secara umum juga lebih tinggi secara signifikan (p<0,05) pada 2 kelompok sepsis berat. Namun, terdapat sejumlah overlap antar kelompok, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai laktat antara kelompok sepsis berat dengan kelompok SIRS tanpa infeksi (Gambar 1B-1E).Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada hitung sel darah putih antar kelompok pasien (Gambar 1F). Sesuai penelitian sebelumnya, dengan asumsi prevalensi sepsis berat sebesar 30%, nilai cut-off HBP 15 ng/mL menunjukkan sensitifitas dalam mendiagnosis sepsis berat sebesar 87,1%, spesifisitas sebesar 95,1%, nilai prediktif positif/Positive Predictive Value(PPV) sebesar 88,4%, dan nilai prediktif negative/Negative Predictive Value(NPV) sebesar 94,5% (Tabel 2). Nilai tersebut melampaui nilai untuk marker lain. Kurva karakteristik receiver-operating menunjukkan HBP merupakan prediktor terbaik untuk sepsis berat, dengan nilai area di bawah kurva sebesar 0,95 (Gambar 2). Semua kombinasi HBP dengan prokalsitonin, IL-6, laktat, dan CRP menghasilkan peningkatan NPV tetapi secara substansial menurunkan PPV (data tidak ditampilkan).Pada kelompok sepsis berat, etiologi bakteri Gram positif dan Gram negative telah diverifikasi, secara berturut-turut sebanyak 23 dan 19 pasien. Ketika nilai HBP pada pasien tersebut dibandingkan, tidak didapatkan perbedaan signifikan (p=0,31). Rasio HBP:sel darah putih. HBP dilepaskan oleh netrofil, dan menarik untuk menghubungkan nilai HBP dengan hitung sel darah putih. Pada kelompok sepsis berat (dengan atau tanpa syok septik), terdapat korelasi antara nilai HBP plasma dengan sel darah putih (r=0,68). Untuk mengidentifikasi pasien sepsis berat dengan nilai HBP yang relative rendah karena leukopenia transien, rasio HBP:sel darah putih (dihitung dengan membagi nilai HBP dalam ng/mL dengan hitung sel darah putih dalam sel/L x 103) dihitung untuk setiap pasien. Satu pasien tambahan pada masing-masing 2 kelompok sepsis berat dianggap memiliki hasil positif dengan cut-off rasio HBP:sel darah putih 2,0. Penggunaan kombinasi nilai HBP plasma dan rasio HBP:sel darah putih dapat mengidentifikasi 25 dari 26

pasien kelompok sepsis berat dengan syok septik dan 38 dari 44 pasien kelompok sepsis berat tanpa syok septik. Tidak didapatkan korelasi antara nilai HBP plasma dan hitung sel darah putih pada pasien lain dalam kelompok-kelompok tersebut (r,-0,14 sampai 0,36), dan tidak ada pasien tambahan pada kelompok tersebut yang dianggap memiliki hasil positif ketika cut-off rasio HBP:sel darah putih 2,0 digunakan. HBP sebagai marker awal diagnostik dan prognostik.Tiga puluh dua dari 70 pasien yang telah diklasifikasikan menderita sepsis berat disertakan sebelum memenuhi kriteria untuk diagnosis ini. Dengan demikian, sampel plasma dari pasien-pasien tersebut dikumpulkan sampai 12 jam sebelum onset hipotensi yang signifikan. Dua puluh sembilan dari pasien tersebut, nilai HBP telah naik, menunjukkan bahwa konsentrasi HBP plasma dapat meningkat beberapa jam sebelum kegagalan sirkulasi terbukti (Gambar 3). Nilai biomarker lain juga meningkat pada pasien tersebut. Dengan menggunakan nilai cut-off pada tabel 2, nilai prokalsitonin meningkat pada 23 pasien, IL-6 pada 25 pasien, dan laktat pada 9 pasien. Nilai CRP >100 mg/mL pada 29 pasien.Namun demikian, spesifisitas marker tersebut rendah. Dua puluh dari pasien dengan sepsis berat dimonitor dengan pengambilan sampel plasma serial selama perjalanan penyakit.Delapan belas pasien yang bertahan memiliki nilai HBP yang menurun secara cepat ketika tanda-tanda klinis muncul dan tekanan darah kembali normal (data tidak ditampilkan).

Gambar 2.Kurva karakteristik receiver-operating nilai heparin binding protein (HBP), prokalsitonin, interleukin(IL)-6, laktat, C-reactive protein (CRP), dan sel darah putih (WBC) plasma, membedakan antara ada dan tidaknya sepsis berat dengan atau tanpa syok septik. Area di bawah kurva adalah 0,949 (95% confidence interval (CI), 0,917-0,982) untuk HBP, 0,85 (95% CI, 0,799-0,95) untuk prokalsitonin, 0,799 (95% CI, 0,736-0,863) untuk IL-6, 0,79 (95% CI, 0,730,85) untuk laktat, 0,685(95% CI, 0,611-0,759) untuk CRP, dan 0,516 (95% CI, 0,429-0,603) untuk WBC. Diskusi Berdasarkan data in vitro dan hewan uji sebelumnya dimana HBP yang dilepaskan netrofil memicu kebocoran vaskuler, peneliti membuat hipotesis bahwa nilai HBP plasma mungkin berkorelasi dengan keparahan infeksi dan khususnya dengan terjadinya kegagalan sirkulasi.Hasil dari penelitian

menunjukkan korelasi yang dekat antara peningkatan nilai HBP plasma dan terjadinya hipotensi, gagal organ, dan syok septik. Dua puluh empat (92,3%) dari 26 pasien dengan syok septik mengalami peningkatan nilai HBP plasma di awal. Sebanyak 44 pasien lainnya dengan sepsis berat, 37 (84,1%) mengalami peningkatan. Sebaliknya, di antara 100 pasien dengan sepsis tidak berat, hanya 7 pasien yang mengalami peningkatan HBP.Selain itu, semua 43 pasien dengan

infeksi yang lebih ringan tanpa SIRS, menunjukkan HBP di bawah nilai cut-off, walaupun beberapa dari pasien tersebut didiagnosis pneumonia atau bakteremia. Data menunjukkan bahwa nilai HBP normal pada pasien demam dengan tersangka infeksi akan, dengan probabilitas tinggi (NPV 94,5%), menyingkirkan risiko berkembang menjadi sepsis berat. HBP diseksresi oleh netrofil, dan masih diteliti apakah HBP merupakan biomarker yang reliabel untuk sepsis berat pada pasien dengan, misalnya, neutropenia akibat obat, Namun demikian, beberapa pasien dengan sepsis berat mengalami netropenia transien, dan pada pasien tersebut, mungkin penggunaan rasio HBP:sel darah putih dapat meningkatkan sensitivitas diagnostik dari pengukuran HBP. Beberapa dari pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini kemudian didiagnosis penyakit non-infeksi.Hal yang menarik, dari 20 pasien tersebut, 11 mengalami kegagalan sirkulasi akibat berbagai kondisi klinis non-

infeksi.Berlawanan dengan pasien dengan infeksi berat, semua kecuali 1 pasien dengan hipotensi non-septik memiliki nilai HBP yang rendah.Data tersebut mendukung hipotesis dimana HBP memiliki peran patogenik spesifik dalam kegagalan sirkulasi pada pasien dengan sepsis berat. Beberapa peneliti yang lain, khususnya intensivis, telah menekankan bahwa pemberian dini antibiotik adekuat dan resusitasi cairan intravena memberi pengaruh besar pada mortalitas pada pasien dengan syok septik. Untuk setiap jam penundaan pengobatan yang tepat, mortalitas meningkat 7,5%. Hal penting dalam penelitian ini, peningkatan nilai HBP plasma mendahului perkembangan klinis dari kegagalan sirkulasi selama beberapa jam pada kebanyakan pasien. Dua puluh sembilan dari 32 pasien pada kelompok sepsis berat (n=70) menunjukkan peningkatan nilai HBP plasma sampai 12 jam sebelum kegagalan sirkulasi terbukti. Implikasi dari temuan tersebut adalah deteksi peningkatan nilai HBP plasma pada pasien demam seharusnya menjadi peringatan segera untuk dokter mengintensifkan resusitasi cairan dan memulai terapi antibiotik yang tepat. Namun demikian, HBP jelas bukan marker untuk infeksi bakterial semata, karena sejumlah pasien dengan bakteremia dan infeksi bakterial invasif yang lain menunjukkan nilai HBP normal.

Penelitian ini memiliki sejumlah kekuatan.Sampel penelitian besar dan melibatkan rentang tampilan klinis dan diagnosis yang luas. Subjek dengan demam dan tersangka infeksi yang diikutsertakan menunjukkan spektrum pasien yang tampaknya akanditemui jika HBP digunakan sebagai tes untuk sepsis berat di masa depan. Namun demikian, sejumlah keterbatasan dapat dipertimbangkan. Pasien yang menerima terapi imunosupresif atau dengan netropenia karena keganasan hematologi dieksklusi dari penelitian ini.Penelitian selanjutnya penting untuk mengevaluasi penggunaan pengukuran HBP pada pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bersifat penelitian non-konsekutif single-center, dan bias seleksi dapat menimbulkan populasi non-representatif. Perhitungan nilai prediktif berdasarkan pada estimasi prevalensi sepsis berat (dengan atau tanpa syok septik) sebesar 30%. Jika pengukuran HBP plasma akan digunakan pada populasi dengan prevalensi sepsis berat yang lebih rendah secara signifikan, misalnya, sebagai tes skrining untuk semua pasien demam pada klinik rawat jalan, PPV akan menurun. Di sisi lain, NPV akan meningkat secara signifikan. Walaupun klinisi independen menentukan diagnosis untuk setiap pasien, penggunaan kriteria klinis dan bukti mikrobiologis tidak memastikan penyebab pasti dari gejala pada semua pasien.Hal ini dapat menimbulkan misklasifikasi pada beberapa kasus.Angka kematian keseluruhan yang relatif rendah mungkin menunjukkan bahwa banyak pasien dengan penyakit yang lebih ringan ikut dimasukkan. Namun demikian, penelitian ini juga dilakukan di departemen gawat darurat, angka kematian 12% pada pasien dengan sepsis berat sesuai dengan mortalitas 10% pada penelitian ini.

Gambar 3.Nilai heparin-binding protein (HBP) meningkat sebelum onset kegagalan sirkulasi.Tiga puluh dua dari pasien kelompok sepsis berat diikutsertakan sebelum hipotensi yang signifikan terbukti terjadi.Setiap titik mewakili 1 pasien.Nilai HBP dan waktu dari pengambilan sampel plasma sampai terjadinya hipotensi juga ditunjukkan.

Dibandingkan dengan marker lain yang diteliti, HBP merupakan prediktor terbaik untuk kegagalan vaskuler. Pengaruh langsung HBP terhadap permeabilitas endotel mungkin dapat dibuktikan.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian terapi suportif yang adekuat pada pasien demam dengan peningkatan nilai HBP plasma dapat mengurangi risiko terjadinya kegagalan sirkulasi.

You might also like