You are on page 1of 4

Menggagas Eksistensi dan Peran Badan Kepegawaian Negara (BKN)

Prakata Pengelolaan kepegawaian oleh Pemerintah Republik Indonesia baru mulai dilaksanakan tiga tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tepatnya pada tanggal 30 Mei 1948 dengan dibentuknya Kantor Urusan Pegawai (KUP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948. Tugas pokok KUP adalah mengurus segala sesuatu mengenai kedudukan dan gaji pegawai negeri, serta mengawasi supaya peraturan-peraturan kepegawaian dijalankan secara tepat. Barangkali, inilah pangkal tolak dari peringatan ulang tahun Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang dirayakan setiap tanggal 30 Mei. Momentum terbitnya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dengan perubahan nomenklatur Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) menjadi Badan Kepegawaian Negara (BKN), menjadi awal kelahiran kembali BKN dengan baju baru. Harapan perubahan paradigma fungsi penatausahaan yang selama ini melekat telah dicanangkan dan berubah menjadi paradigma pengelolaan atau manajemen kepegawaian. Dalam konteks ini, orientasi pembinaan di bidang kepegawaian merupakan fungsi yang semestinya dipedomani oleh BKN. Pembinaan kepegawaian menjadi hal yang sangat relevan untuk terus menerus dilakukan. Pembinaan dalam bidang kepegawaian mengacu pada Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS) sebagaimana tercantum dalam Undan-undang Nomor 43 Tahun 1999, yang memuat norma-norma, standar-standar dan prosedur-prosedur kepegawaian yang semestinya dilakukan. Muara dari pembinaan kepegawaian ini sangat bermanfaat bagi upaya meningkatkan kinerja aparat birokrasi yang pada saat ini menjadi fokus perhatian dalam menjalankan perannya sebagai abdi masyarakat. Pembinaan kepegawaian dimasa mendatang tentu tidaklah mudah, namun berbagai tantangan akan dihadapi BKN dalam implementasinya. Salah satunya dikarenakan masih adanya kelemahan-kelemahan dalam administrasi kepegawaian, baik di lingkup Pusat maupun di Daerah. Seorang pejabat BKN pernah memberikan contoh riil dalam hal ini; kasus pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil menjadi rawan sengketa dikarenakan tidak banyaknya aturan kepegawaian yang mendukung terhadap diangkatnya pegawai honorer tersebut. Apalagi, temuan BKN terhadap sekian ribu tenaga honorer yang telah diangkat menjadi CPNS dan diindikasikan akan dibatalkan menjadi permasalahan tersendiri yang akan dihadapi BKN dimasa yang akan datang. Disisi lain, pembinaan kepegawaian juga seringkali terkendala oleh kepentingan-kepentingan politis. Masih menurut seorang pejabat BKN, pada proses pembuatan atau perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), khususnya RPP Kepegawaian, DPR seringkali ikut campur dalam penyusunan materi-materinya. Padahal, semestinya DPR lebih berkonsentrasi pada penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU), bukan pada turunan undangundangnya. Disamping itu, euforia otonomi daerah juga telah banyak menimbulkan sengketa kepegawaian di Daerah. Kasus-kasus pengangkatan dan pencopotan pejabat-pejabat daerah tanpa memperhatikan persyaratan-persyaratan kepegawaian menjadi sengkarut kepegawaian yang sering muncul di daerah. Menghadapi dan mengantisipasi hal-hal di atas, BKN dituntut mampu menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Pegawai di masing-masing unit kerja, baik yang bersifat pendukung atau operasional, diharapkan untuk selalu meningkatkan kinerjanya. Dalam hal ini, para pegawai dituntut untuk memiliki tingkat kemampuan dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya, baik secara teknis maupun praktek kepegawaian. Dengan demikian, masing-masing unit kerja BKN pun dituntut untuk memiliki concern yang tinggi dan meningkatkan kinerjanya dalam merencanakan maupun dalam menyelenggarakan program

dan kegiatan-kegiatannya sehingga mendukung terwujudnya tujuan organisasi. Permasalahan Kepegawaian Pasca tumbangnya Orde Baru, harapan terhadap reformasi dalam segala kehidupan kenegaraan dan pemerintahan bagaimanapun telah memberikan hasil-hasilnya. Reformasi di bidang politik telah menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis, pemilihan umum (pileg, pilpres, dan pilkada) yang berjalan secara baik/stabil, otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dan sebagainya. Reformasi di bidang ekonomi pun telah menghasilkan berbagai kemajuan ekonomi dan bertumbuh pesatnya usaha-usaha kecil (UKM). Dan, yang penting lagi Indonesia juga dianggap relatif lebih mampu menghadapi gelombang resesi dunia yang melanda akhir-akhir ini. Hanya, reformasi di bidang tata pemerintahan (governance) masih dianggap belum berjalan sesuai dengan harapan. Menurut Sofian Effendi (2009), reformasi di bidang tata pemerintahan (birokrasi) ternyata belum dapat melayani reformasi di bidang politik dan reformasi di bidang ekonomi. Artinya, aparatur pemerintah belum mampu secara optimal dalam mendukung berjalannya reformasi di bidang politik dan reformasi di bidang ekonomi. Banyak kendala yang menjadi hambatan masih terseoknya reformasi di bidang tata pemerintahan ini. Beberapa pakar administrasi menyebutkan, salah satu penyebabnya adalah konsep reformasi birokrasi itu sendiri belum jelas. Namun, Sofian Effendi (2009) lebih melihat belum kokohnya tiga pilar reformasi tata pemerintahan itulah yang justru menjadi penyebabnya. Tiga pilar reformasi tata pemerintahan dimaksud adalah Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemeneg PAN), sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan kebijakan makro kepegawaian; Badan Kepegawaian Negara (BKN), sebagai lembaga pengelola sumber daya aparatur (SDM); dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), yang menjadi lembaga pelaksana penelitian dan pengembangan/kediklatan sumber daya aparatur. Ketiga pilar ini dilihat belum memiliki sinergi yang kuat untuk menggolkan reformasi di bidang tata pemerintahan atau reformasi birokrasi. Sementara itu, Miftah Thoha (2009) menyatakan ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia yakni dengan mewujudkan perpaduan tiga unsur pokok, yaitu: pertama, kelembagaan, dalam hal ini perlu adanya pengaturan kelembagaan (structural setting) dalam birokrasi di Indonesia. Perencanaan kelembagaan birokrasi Indonesia perlu ditata dan diperbaiki, terutama terkait dengan jumlah lembaga dan jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu, perlu telaahan terhadap kelembagaan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) diantara lembaga-lembaga yang dibentuk. Kedua, sistem, yakni sistem yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi lembagalembaga pemerintahan. Dan, ketiga, sumber daya manusia atau aparatur pemerintah, dalam hal ini adalah kualitas aparaturnya dan juga perekrutan aparatur yang harus mendasarkan pada standar kebutuhan pegawai. Dari ketiga hal tersebut, ternyata pada saat ini masih kurang adanya perhatian yang serius untuk memperbaikinya. Lalu, bagaimanakah dengan kondisi Pegawai Negeri Sipil saat ini? Bila dikaitkan dengan tujuan ideal yang selama ini didengung-dengungkan berkaitan dengan keberadaan Pegawai Negeri Sipil, sebagai perwujudan: Profesional, Netral dan Sejahtera; maka terdapat gambaran bahwa: pertama, Pegawai Negeri Sipil yang terlihat telah bersikap profesional baru mencapai 40%, sedangkan sisa lainnya masih belum mencapai tahap profesional atau belum efisien (Miftah Thoha, 2009). Salah satu penyebab kondisi ini adalah pola rekrutmen Pegawai Negeri Sipil yang sarat dengan kepentingan-kepentingan berbagai pihak dan belum mendasarkan pada analisis kebutuhan. Bahkan, banyak pihak menyatakan pengangkatan tenaga honorer dan pengangkatan Sekdes menjadi Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu contoh buruk dari pola rekrutmen Pegawai Negeri Sipil. Kedua, netralitas Pegawai Negeri Sipil saat ini juga masih belum sesuai dengan harapan.

Netralitas yang semestinya dipedomani oleh seluruh PNS yakni: netral atau non-diskriminasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan netral dari tarikan-tarikan politik (pejabat politik); belum dapat diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu yang menjadi sebab dari kondisi ini adalah dikarenakan pola pengangkatan pejabat dalam menduduki jabatan lebih berorientasi pada pertimbangan politik daripada pertimbanganpertimbangan kapasitas dan kapabilitasnya. Dikarenakan keterpilihan dalam menduduki jabatan oleh pejabat politik (elected person), maka netralitas dalam mengemban tugas pelayanan kepada masyarakat masih belum dipedomani. Ketiga, jika bicara tentang kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil, ini pun juga belum sesuai yang diharapkan. Salah satunya dikarenakan sistem penggajian yang dianggap belum berjalan dengan baik dan berkeadilan, baik internal equity maupun external equity. Kondisi kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil tidak hanya memprihatinkan ketika status dan jabatan masih melekat, namun lebih dari itu adalah ketika Pegawai Negeri Sipil menginjak masa pensiun. Sistem penggajian dan sistem pensiun Pegawai Negeri Sipil yang masih berlaku sekarang dianggap menjadi penyumbang utama situasi-situasi tersebut. Eksistensi dan Peran BKN Melihat situasi dan kondisi di atas dan telah berlangsung sekian lama, maka menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah eksistensi BKN masih diperlukan?. Dan, apa peran BKN dalam ikut mewujudkan reformasi tata pemerintahan (baca: birokrasi)?. Dua pakar administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada, Sofian Effendi dan Miftah Thoha, sepakat menyoroti masih perlunya eksistensi BKN lebih pada peran pemersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Inonesia (NKRI). Dalam kondisi keanekaragaman yang melekat pada masyarakat Indonesia, diperlukan suatu lembaga atau otoritas yang berfungsi sebagai pemersatunya. Pendapat di atas, pada hakekatnya sejalan dengan tujuan awal kelahiran BKN (Kantor Urusan Pegawai/KUP), yakni sebagai upaya perekat persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil. BKN, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang, dituntut untuk mendukung upaya tersebut, dan memperkuatnya dengan membentuk sistem kepegawaian yang baik. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam sistem kepegawaian ini harus bersifat nasional, yakni terkait dengan pengangkatan pegawai, pensiun, pangkat, kenaikan pangkat, gaji, pengembangan pegawai dan sebagainya. Dengan kata lain, Badan Kepegawaian Negara merupakan suatu lembaga yang berfungsi memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal di atas sejalan dengan pendapat Miftah Thoha (2009) yang menjelaskan bahwa untuk mendukung upaya persatuan dan kesatuan bangsa semestinya sistem kepegawaian yang diberlakukan di Indonesia adalah menganut unitary system. Artinya berkaitan dengan norma, standar dan prosedur kepegawaian yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia harus ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Lebih jauh, pakar administrasi tersebut menegaskan desentralisasi terhadap norma, standar dan prosedur kepegawaian justru akan dapat memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya, apa peran BKN yang perlu dilakukan untuk ikut mensukseskan reformasi tata pemerintahan atau reformasi birokrasi? Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam menghadapi situasi saat ini adalah diantaranya membuat aturan-aturan kepegawaian yang tegas dan profesional. Kebijakan-kebijakan di bidang kepegawaian semestinya dilakukan dengan menelorkan alternatif-alternatif yang optimal yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan kepegawaian. Senada dengan hal tersebut, Sofian Effendi (2009) memberikan masukan langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan BKN dimasa mendatang, yakni: (1) mengembangkan master plan kepegawaian nasional; (2) memberikan fokus perhatian pada pembuatan regulasi-

regulasi sistem kepegawaian yang berbasis merit; (3) membuat regulasi tentang sistem penggajian yang seragam dan tidak bervariasi; dan (4) memberikan fokus perhatian pada reformasi sistem pensiun. Penutup Setelah perubahan nama BAKN menjadi BKN, yang berarti penanggalan kata Administrasi, merupakan tonggak awal kelahiran kembali BKN dalam perannya mengelola kepegawaian nasional. Dalam perannya ini BKN tidak hanya berfokus menata administrasi saja, akan tetapi juga menata sumber daya manusia (aparatur). Disamping itu, BKN dituntut pula untuk ikut menciptakan aparatur negara yang profesional, netral dan memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Dengan demikian, pada peringatan ulang tahun ke-61 ini, langkah awal yang mungkin harus dilakukan BKN adalah melakukan instrospeksi terhadap peran BKN itu sendiri. Wassalam. *) Diterbitkan pada Jurnal Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara, Jakarta: Juni 200

You might also like