You are on page 1of 33

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN SEXUAL ABUSE (PENGANIAYAAN SEKSUAL)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik. sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003). Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan. Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen).

Tujuan Penulisan o Tujuan umum Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan sexual abuse
o

Tujuan khusus

Mahasiswa mampu melakukan pengkajian secara menyeluruh, baik bio psiko, sosio Mahasiswa mampu menemukan masalah keperawatan yang sering dialami oleh penderita sexual abuse Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan anak yang mengalami retardasi mental Mahasiswa mampu merumuskan tujuan keperawatan untuk mengatasi masalah anak dengan sexual abuse Mahasiswa mampu merumuskan rencana perawatan untuk mengatasi masalah keperawatan yang dialami anak dengan sexual abuse Mampu melakukan penyusunan rencan evaluasi atas tindakan yang akan dilakukan pada anak yang menderita sexual abuse

TINJAUAN TEORI

1. Definisi Sexual Abuse Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anakanak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009). Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan.

Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism).

2. Etiologi/Penyebab Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain: 1. Teori biologis 1. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu 2. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif 3. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan 4. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakitpenyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif 2. Teori psikologis 1. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi 2. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh. Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa 3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial) Pengaruh sosial. Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang. Pengaruh-pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga. Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.

Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.

Ritualistic abuse Institutional abuse Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.

Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006). Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 511 Juni 2005:14) menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah lama menduda. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).

1. Psikopatologi

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbedabeda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain : 1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar. 2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain. 3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari : 1. Pelaku membuka pakaiannya sendiri 2. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri 3. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya 4. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap 5. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian lainnya 6. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi 7. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban 8. Sodomi 9. Petting 10. Penetrasi alat kelamin pelaku Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu. Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008). Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut : 4. 5. 6. 7. Stress: akut, traumatic PTSD (post traumatik stress disorder) Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri Rasa takut, cemas Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008). Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis. Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis. Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki-laki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki. Laki-laki harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan. Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006). Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002 dalam Maria, 2008) : 8. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan korban. 9. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh

korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter. Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk Pathways 1. Manifestasi Klinik Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual. Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama: 1. Balita 1. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral. 2. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat. 2. Anak usia prasekolah Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut: 1. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit. 2. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

3. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual. 1. Anak usia sekolah Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian. 2. Remaja Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa. Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain : 1. Infeksi saluran kemih yang sering 2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk 3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara sering atau gelisah saat duduk 4. Sering muntah 5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya 6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain 7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

1. Pemeriksaan Penunjang Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.

2. Penatalaksanaan Medis dan Perawatan 1. Perawatan

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse. 2. Pertama, the dynamics of sexual abuse. Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual. 3. Kedua, protective behaviors counseling. Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah. 4. Ketiga, survivor/self-esteem counseling. Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaanperasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka. 5. Kelima, cognitif terapy. Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaanperasaan seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar. Menurut Suda (2006) jika mengacu pada manifesto kelompok pemenang penghargaan Nobel Perdamaian, ada upaya untuk meminimalisirnya. 6. Pertama, menerapkan prinsip antikekerasan aktif, dengan menolak kekerasan dengan segala bentuknya; 7. Kedua, menumbuhkan sikap murah hati berbagi waktu dan materi dengan tujuan mengakhiri keterkucilan, ketidakadilan, tekanan politik, dan ekonomi; 8. Ketiga, mempertahankan kebebasan berpendapat dan keanekaragaman budaya dengan mengedepankan dialog dan sikap mau mendengarkan orang lain. . 9. Pengobatan Pemberian antidepresan sesuai indikasi dapat membantu anak mengatasi perasaan sedih dan putus asa serta kemjauan dalam terapi, Usia anak dan situasi penganiayaan seksual mempengaruhi kedalaman depresi anak (Doenges, et.al. 2007) BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK (SEXUAL ABUSE)

1. Pengkajian Menurut Hidayat (2005) pengkajian perkembangan anak berdasarkan umur atau usia anak antara lain 1. Neonatus (0-28 hari) 1. Apakah ketika dilahirkan neonatus menangis ? 2. Bagaimana kemampuan memutar-mutar kepala ? 3. Bagaimana kemampuan menghisap ? 4. Kapan mulai mengangkat kepala ? 5. Bagaimana kemampuan motorik halus anak (misalnya kemampuan untuk mengikuti garis tengah bila kita memberikan respons terhadap jari atau tangan) ? 6. Bagaimana kemampuan berbahasa anak (menangis, bereaksi terhadap suara atau bel) ? 7. Bagaimana kemampuan anak dalam beradaptasi (misalnya tersenyum dan mulai menatap muka untuk mengenali seseorang ? 2. Masa bayi /Infant (28 1 tahun) 1. Bayi usia 1-4 bulan. 1. Bagaimana kemampuan motorik kasar anak (misalnya mengangkat kepala saat tengkurap, mencoba duduk sebentar dengan ditopang, dapat duduk dengan kepala tegak, jatuh terduduk dipangkuan ketika disokong pada posisi berdiri, komtrol kepala sempurna, mengangkat kepala sambil berbaring terlentang, berguling dari terlentang ke miring, posisi lengan dan tungkai kurang fleksi danm berusaha untuk merangkan) ? 2. Bagaimanan kemampuan motorik halus anak (misalnya memegang suatu objek, mengikuti objek dari satu sisi ke sisi lain, mencoba memegang benda dan memaksukkan dalam mulut, memegang benda tetapi terlepas, memperhatikan tangan dan kaki, memegang benda dengan kedua tangan, menagan benda di tangan walaupun hanya sebentar)? 3. Bagimana kemampuan berbahasan anak (kemampuan bersuara dan tersenyum, dapat berbunyi huruf hidup, berceloteh, mulai mampu mengucapkan kata ooh/ahh, tertawa dan berteriak, mengoceh spontan atau berekasi dengan mengoceh) ? 4. Bagaimana perkembangan adaptasi sosial anak (misalnya : mengamati tangannya, tersenyum spontan dan membalas senyum bila diajak tersenyum, mengenal ibunya dengan penglihatan,

penciuman, pendengaran dan kontak, tersenyum pada wajah manusia, walaupun tidur dalams ehari lebih sedikit dari waktu terhaga, membentuk siklus tidur bangun, menangis menjadi sesuatu yang berbeda, membedakan wajah-wajah yang dikenal dan tidak dikenal, senang menatap wajah-wajah yang dikenalnya, diam saja apabila ada orang asing) ? 2. Bayi Umur 4-8 bulan 1. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya dapat telungkup pada alas dan sudah mulau mengangkat kepala dengan melakukan gerakan menekan kedua tangannya dan pada bulan keempat sudah mulai mampu memalingkan ke kanan dan ke kiri , sudah mulai mampu duduk dengan kepala tegak, sudah mampu membalik badan, bangkit dengan kepala tegak, menumpu beban pada kaki dan dada terangkat dan menumpu pada lengan, berayun ke depan dan kebelakang, berguling dari terlentang ke tengkurap dan dapat dudu dengan bantuan selama waktu singkat) ? 2. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya : sudah mulai mengamati benda, mulai menggunakan ibu jari dan jari telunjuk untuk memegang, mengeksplorasi benda yangs edang dipegang, mengambil objek dengan tangan tertangkup, mampu menahan kedua benda di kedua tangan secara simultan, menggunakan bahu dan tangan sebagai satu kesatuan, memindahkan obajek dari satu tangan ke tangan yang lain) ? 3. Bagaimana kemampuan berbahasan anak (misalnya : menirukan bunyi atau kata-kata, menolek ke arah suara dan menoleh ke arah sumber bunyi, tertawa, menjerit, menggunakan vokalisasi semakin banyak, menggunakan kata yang terdiri dari dua suku kata dan dapat membuat dua bunyi vokal yang bersamaan seperti ba-ba)? 4. Bagaimana kemampuan beradaptasi sosial anak (misalnya merasa terpaksa jika ada orang asing, mulai bermain dengan mainan, takut akan kehadiran orang asing, mudah frustasi dan memukul-mukul dengan lengan dan kaki jika sedang kesal)? 3. Bayi Umur 8-12 bulan 1. Bagaimana kemampuan motorik kasar anak (misalnya duduk tanpa pegangan, berdiri dengan pegangan, bangkit terus berdiri, berdiri 2 detik dan berdiri sendiri) ? 2. Bagaimana kemampuan motorik halus anak (misalnya mencari dan meraih benda kecil, bila diberi kubus mampu memindahkannya, mampu mengambilnya dan mampu memegang dengan jari dan ibu jari, membenturkannya dan mampy menaruh benda atau kubus ketempatnya)? 3. Bagaimana perkembangan berbahasa anak (misalnya : mulai mengatakan papa mama yang belum spesifik, mengoceh hingga mengatakan dengan spesifik, dapat mengucapkan 1-2 kata)? 4. Bagaimana perkembangan kemampuan adaptasi sosial anak (misalnya kemampuan bertepuk tangan, menyatakan keinginan,

sudah mulai minum dengan cangkir, menirukan kegiatan orang lain, main-main bola atau lainnya dengan orang) ? 3. Masa Toddler 1. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya: mampu melanhkah dan berjalan tegak, mampu menaiki tangga dengan cara satu tangan dipegang, mampu berlari-lari kecil, menendang bolan dan mulai melompat)? 2. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya : mencoba menyusun atau membuat menara pada kubus)? 3. Bagaimana kemampuan berbahasa anak (misalnya : memiliki sepuluh perbendaharaan kata, mampu menirukan dan mengenal serta responsif terhadap orang lain sangat tinggi, mampu menunjukkan dua gambar, mampu mengkombinasikan kata-kata, mulai mampu menunjukkan lambaian anggota badan) ? 4. Bagaimana kemampuan anak dalam beradaptasi sosial (misalnya: membantu kegiatan di rumah, menyuapi boneka, mulai menggosok gigi serta mencoba memakai baju) ? 4. Masa Prasekolah (Preschool) 1. Bagaimana perkembangan motorik kasar anak (misalnya: kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1-5 detik, melompat dengan satu kaki, berjalan dengan tumit ke jari kaki, menjelajah, membuat posisi merangkan dan berjalan dengan bantuan) ? 2. Bagaimana perkembangan motorik halus anak (misalnya : kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki, menggambar dua atau tiga bagian, memilih garis yang lebih panjang dan menggambar orang, melepas objek dengan jari lurus, mampu menjepit benda, melambaikan tangan, menggunakan tangannya untuk bermain, menempatkan objek ke dalam wadah, makan sendiri, minum dari cangkir dengan bantuan menggunakan sendok dengan bantuan, makan dengan jari, membuat coretan diatas kertas)? 3. Bagaimana perkembangan berbahasa anak (misalnya : mampu menyebutkan empat gambar, menyebutkan satu hingga dua warna, menyebutkan kegunaan benda, menghitung atau mengartikan dua kata, mengerti empat kata depan, mengertio beberapa kata sifat dan sebagainya, menggunakan bunyi yntum mengidentifikasi objek, orang dan aktivitas, menirukan bebagai bunyi kata, memahami arti larangan, berespons terhadap panggilan dan orang-orang anggota keluarga dekat)? 4. Bagaimana perkembangan adaptasi sosial anak (misalnya : bermain dengan permainan sederhana, menagis jika dimarahi, membuat permintaan sederhana dengan gaya tubuh, menunjukkan peningkatan kecemasan terhadap perpisahan, mengenali anggota keluarga) ? 5. Masa school age 1. Bagaimana kemampuan kemandirian anak dilingkungan luar rumah ? 2. Bagaimana kemampuan anak mengatasi masalah yang dialami disekolah ? 3. Bagaimana kemampuan beradaptasi sosial anak (menyesuaikan dengan lingkungan sekolah)? 4. Bagaimana kepercayaan diri anak saat berada di sekolah ?

5. Bagaimana rasa tanggung jawab anak dalam mengerjakan tugas di sekolah? 6. Bagaimana kemampuan anak dalam berinteraksi sosial dengan teman sekolah ? 7. Bagaimana ketrampilan membaca dan menulis anak ? 8. Bagaimana kemampua anak dalam belajar di sekolah ? 6. Masa adolensence 1. Bagaimana kemampuan remaja dalam mengatasi masalah yang dialami secara mandiri ? 2. Bagaimanan kemampuan remaja dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan bentuk dan fungsi tubuh yang dialami ? 3. Bagaimana kematangan identitas seksual ? 4. Bagaimana remaja dapat menjalankan tugas perkembangannya sebagai remaja ? 5. Bagaiman kemampuan remaja dalam membantu pekerjaan orang tua di rumah (misalnya membersihkan rumah,memasak) ? Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain : 7. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan. 8. Integritas ego 1. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena tindakannya terhadap orang tua. 2. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.) 3. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya 4. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang paling dominan/menonjol) 5. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut (terutama jika ada pelaku) 6. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan) 7. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain 9. Eliminasi 1. Enuresisi, enkopresis. 2. Infeksi saluran kemih yang berulang 3. Perubahan tonus sfingter. 10. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai . 11. Higiene 1. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.

2. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak terpelihara. 12. Neurosensori 1. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia 2. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi. 3. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi. 4. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain. 5. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban selamat). 6. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa) 7. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal 13. Nyeri atau ketidaknyamanan Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon, sakit kepala) 14. Keamanan 1. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter. 2. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal. 3. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan risiko tinggi 4. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari bahaya di dalam rumah 15. Seksualitas 1. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain. 2. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir. 3. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak). 16. Interaksi sosial

Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

2. Diagnosa Keperawatan Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain : 1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang 2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah 3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama. 4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan 5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif 7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri 8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama 9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi

3. Intervensi Keperawatan Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa keperawatan diatas antara lain : 1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang

Tujuan : Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang sehat, memulai proses penyembuhan psikologis. Intervensi: 1. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan (saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup. Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak 2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkaytkan rasa percaya 3. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti segera Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas 4. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki Rasional : Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti

5. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat) 2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah Tujuan : Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihanpilihan yang tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan (dimensi waktu ditentukan secara individu) Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara individual) Intervensi : 1. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan 2. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan wawancara Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan seksual pada anak, kemungkinan besar ia tidak jujur sepenuhnya tentang cederanya atau pengalaman seksualnya 3. Jika seoran anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya, pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha

untuk melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan hal tersebut 4. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus dibuat oleh anak Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik 5. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup hotline krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat konseling. Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri. 3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama. Tujuan : Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya dengan perawat dan melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi waktu ditentukan secara individu) Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang konsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya. Intervensi : 1. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatab yang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku

agresif, rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien 2. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera dilaporkan sebagai suatu kecelakaan, apakah penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan kemampuan perkembangan anak ? Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan memelihara anak mungkin menempatkan orang tua penyiksa pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai dalam deskripsi kejadian, dan adanya usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam suatu wawancara yang dalam. 3. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari cerita anak tersebut Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu lingkungan yang tidak mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini 4. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan seksual anak. Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tandatanda ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera pada anak. Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru, pengasuhpengasuh anak, pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan anggota penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.

4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan pengabaian anak Tujuan : Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial dengan kriteria hasil : 1. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa terpaksa untuk menipulasi orang lain 2. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial 3. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi Intervensi: 4. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga diri 5. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri 6. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa bahwa dia berharga bagi waktu anda 7. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang lihatnya sebagai negatif Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping individu yang efektif 8. Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu mekanisme sikap defensif. Memberikan bantuan yang positif bagi

identifikasi masalah dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh anak 9. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri 5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan Tujuan : Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang, sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap stres . Intervensi : 1. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat yang positif dan tulus Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan anak dengan staf atau perawat 2. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan dengan musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik 3. Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang sebenarnya dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan tersebut padanya Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara masalahmasalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan

4. Perawat harus mempertahankan suasana tentang Rasional : Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain 5. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis Rasional : Keamanan anak adalah prioritas keperawatan 6. Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun juga anak harus berhati-hati terhadap penggunaannya Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu mengembangkan kecurigaan pada beberapa individu yang dapat salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi 7. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwaperistiwa tertentu yang mendahului serangannya. Berhasil pada responsrespons alternatif pada kejadian selanjutnyta Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit jika terjadi lagi 8. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjukkepada anak mengenai kemungkinan efek-efek samping yang memberi penharuh berlawanan Rasional : Obat-obatan terhadap ansietas (misalnya diazepam, klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efekefek yang tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak dengan terapi 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif Tujuan : Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7 jamn setiap malam dengan kriteria hasil: 1. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur 2. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat 3. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama 6 sampai 7 jam tanpa terbangun Intervensi :

4. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu tidur Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat diberikan 5. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu pola tidur anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya 6. Duduk dengan anak sampai dia tertidur Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman 7. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kafein dihilangkan dari diet anak Rasional : Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu tidur 8. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya : gosok punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu hangat dan mandi air hangat) Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa tidur 9. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari jadwal ini Rasional : Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada suatu siklus rutin dari istirahat dan aktivitas 10. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada malam hari dan dalam keadaan ketakutan Rasional : Kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman 7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa menjadi defensif, perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran waham kebesaran dengan kriteria hasil :

1. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab terhadap perilakunya sendiri 2. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan 3. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain 4. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi kelompok tanpa bersikap defensif Intervensi : 5. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar Rasional : memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat membantu untuk memperbaiki konsep diri 6. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan dan bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri Rasional : Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses perubahan ke arah resolusi 7. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima Rasional : Anak mungkin kurang pengetahuan tentang bagaiamna dia diterima oleh orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan 8. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran dengan respons-respons yang lebih sesuai Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk menghadapi situasi-situasi yang sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi 9. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang dapat diterima Rasional : Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan

10. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis, konkret dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaransasaran ini Rasional : Keberhasilan akan meningkatkan harga diri 11. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan Rasional : Karena keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah, bantuan mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-metode koping baru tertentu terbukti tidak efektif

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama Tujuan : Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih konsisten dan efektif dalam berespons perilaku anak dengan kriteria hasil : 1. Mengungkatkan dan mengatasi perilaku negatif pada anak 2. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang diperlukan Intervensi : 3. Berikan informasi dan material yang berhubungan dengan gangguan anak dan teknik menjadi orang tua yang efektif Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang tepat dapat meningkatkan keefektifan peran orang tua 4. Dorong individu untuk mengungkapkan perasaan secara verbal dan menggali alternatif cara berhubungan dengan anak Rasional : Konseling suportif dapat membantu keluarga dalam mengembangkan strategi koping 5. Beri umpan balik positif dan dorong metode menjadi orang tua yang efektif

Rasional : Penguatan positif dapat meningkatkan harga diri dan mendorong kontinuitas upaya 6. Libatkan saudara kandung dalam diskusi keluarga dan perencanaan interaksi keluarga yang lebih efektif Rasional : Masalah keluarga mempengaruhi semua anggota keluarga dan tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat dalam terapi tersebut 7. Libatkan dalam konseling keluarga Rasional : terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah global yang mempengaruhi seluruh struktur keluarga. Gangguan pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga 8. Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi, termasuk kelompok pendukung orang tua, kelas menjadi orang tua Rasional : mengembangkan sistem pendukung dapat meningkatkan kepercayaan diri dan keefektifan orang tua. Pemberian model peran atau harapan untuk masa depan 9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi Tujuan : Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang penyebab masalah perilaku, perlunya terapi dalam kemampuan perkembangan dengan kriteria hasil : 1. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan mencari informasi secara mandiri 2. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat temperamen Intervensi : 3. Berikan lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi dirinya sendiri, aktivitas kelompok kecil. Hindari tempat yang terlalu banyak stimulasi, seperti bus sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai Rasional : Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat menurunkan distraktibilitas. Kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan untuk tepat pada tugas dan membantu klien mempelajari interaksi yang tepat dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi

4. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan dengan penjelasan langkah demi langkah Rasional : Keterampilan belajar yang terurut akan meningkat. Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah, mempraktikkan contoh situasional. Keterampilan efektif dapat meningkatkan tingkat prestasi 5. Ajarkan anak dan keluarga tentang penggunaan psikostimulan dan antisipasi respons perilaku Rasional : penggunaan psikostimulan mungkin tidak mengakibatkan perbaikan kenaikan kelas tanpa perubahan pada ketrampilan studi anak 6. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat, anak, dan keluarga Rasional : keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi tidak terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan karena kurangnya komunikasi interdisiplin.

Evaluasi Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Anak tidak mengalami ansietas panik lagi Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan 9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain 10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif BAB IV ISUE TENTANG SEXUAL ABUSE DI MASYARAKAT DAN PEMBAHASAN

1. Isue Di Masyarakat Tentang Sexual Abuse Korban pelecehan seksual (sexual abuse), dengan anak-anak sebagai korbannya, terus berjatuhan. Kompas pada 11 Mei 2008 memberitakan seorang remaja usia 18 tahun melakukan sodomi terhadap lima bocah usia 11 hingga 15 tahun, tetangganya sekaligus teman mengajinya. Selain itu, Kompas pada 13 Mei 2008 juga memberitakan, seorang kakek berusia 57 tahun divonis 8 tahun penjara karena memerkosa dua anak perempuan usia 12 dan 13 tahun. Kasus sodomi kembali diberitakan Kompas pada 17 Mei 2008, yakni yang dilakukan oleh tersangka berusia 23 tahun terhadap korban berusia 7 tahun sebanyak 6 kali selama tiga bulan terakhir.

1. Pembahasan Kasus yang terungkap selalu merupakan puncak gunung es karena banyak kasus serupa tidak pernah terungkap. Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius, seperti perdarahan di dubur atau vagina. Padahal, masih ada begitu banyak kasus yang tidak menimbulkan trauma fisik yang berarti, namun berdampak serius pada dimensi psikologis korban. Malu, takut, depresi, trauma, dan rasa tidak berdaya, membuat sebagian besar korban dan keluarga korban enggan melaporkan malapetaka yang menimpa mereka. Belum lagi perasaan bahwa masalah mereka justru akan bertambah rumit saat melapor. Korban harus menanggung stigma dari masyarakat ketika aib yang menimpa mereka diketahui banyak orang. Aparat penegak hukum yang kurang memahami masalah ini juga memperparah trauma yang terjadi karena mengajukan pertanyaan yang justru menyudutkan korban. Belum lagi kemungkinan bahwa pelaku sering dihukum ringan atau dibebaskan dengan alasan kurangnya bukti. Kekurangpahaman akan masalah seksual dan penyimpangannya turut menyuburkan perbuatan keji pelaku. Pernyataan orangtua salah seorang korban sodomi, yang mengira anaknyalah yang memerkosa karena ia laki-laki, menegaskan kekurangmengertian sebagian masyarakat kita akan masalah ini. Padahal, korban memerlukan penanganan segera untuk mengurangi penderitaannya dan mencegah masalah yang mungkin muncul di kemudian hari. Sering terjadi bahwa beberapa korban berjatuhan oleh pelaku yang sama. Selain itu, ada korban yang mengalami pelecehan beberapa kali, juga oleh pelaku yang sama. Ini dapat terjadi karena kelihaian sang pelaku memanipulasi korban melalui paksaan, ancaman, bujukan, dan penyuapan. Sering kali pelaku melakukan kamuflase memanfaatkan kecenderungan masyarakat kita yang ramah dan suka saling menolong. Sifat baik masyarakat ini, ironisnya, justru mempermudah pelaku memangsa korbannya. Kondisi

anak yang belum matang secara kognisi, emosi, maupun seksual, turut dimanfaatkan pelaku untuk melaksanakan niatnya secara berulang. Faktor ketidakmatangan korban usia muda ini patut menjadi fokus perhatian. Dalam hal korban melibatkan diri dalam perbuatan seks secara sukarela, pelaku tetap harus dianggap bersalah karena telah mengeksploitasi ketidakmatangan korban demi kepuasan dirinya. Akibat perbuatan pelaku, integritas korban menjadi hancur dan kepribadiannya tercabik. Kombinasi paradoksal antara rangsangan seksual dengan rasa malu, bersalah, marah, dan kesedihan mendalam, sangat berpengaruh negatif terhadap perkembangan psikoseksual anak. Hampir bisa dipastikan bahwa korban yang menderita pelecehan seksual berulang kali dan berkelanjutan mengalami masalah mengintegrasikan kesadaran, perasaan, dan emosinya. Sebagian korban menderita stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder). Mereka juga menghukum diri dengan berbagai cara, antara lain dapat muncul dalam bentuk gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik (merasa sakit serius padahal sehat secara fisik), kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau depresi berkepanjangan (Calhoun & Atkeson, 1991). Remaja yang semasa kecilnya menjadi korban seks juga sangat rentan terhadap stres, cenderung menarik diri dari sekolah dan teman sebaya, bermasalah secara seksual, mengalami masalah perilaku, dan lebih besar kemungkinannya menyalahgunakan zat psikoaktif (Bagley dalam Rekers, 1995). Studi yang luas, yang dilakukan Bagley, menunjukkan adanya dampak yang secara signifikan lebih serius pada anak yang mengalami pelecehan berkali-kali dibandingkan dengan anak yang mengalami kejadian itu hanya sekali. Meski tidak ditemukan gejala kejiwaan yang berarti pada beberapa korban, sebagian korban sebenarnya mengalami penundaan kemunculan gejala itu. Artinya, gejala kejiwaan serius baru muncul setelah mereka dewasa. Patut menjadi catatan bahwa anak laki- laki korban pelecehan seksual, yang mengalami penolakan dan diabaikan dalam keluarganya, berpotensi menjadi pelaku pedofilia (orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah) pada masa remaja atau masa dewasa mereka (Bagley dalam Rekers, 1995). Kenyataan ini menunjukkan bahwa film porno sebagai alasan terjadinya sodomi lebih sering merupakan penyebab sekunder. Artinya, pelaku sebetulnya adalah penderita pedofilia, korban pelecehan seks di masa kecil mereka, dan yang tidak dapat mengendalikan nafsunya ketika memperoleh rangsangan dari film porno. Ini tidak berarti bahwa pelaku yang melakukan pelecehan seksual tidak dapat dituntut tanggung jawabnya. Berulangnya tindakan pelecehan tanpa diketahui masyarakat sekitar menunjukkan adanya perencanaan yang disengaja oleh pelaku untuk menjerat korbannya. Korban pelecehan seksual berusia muda seyogianya menjadi perhatian kita. Mereka memerlukan penanganan yang segera dan manusiawi. Penanganan yang adekuat dapat mencegah problem menjadi semakin serius, juga menghentikan jatuhnya lebih banyak korban. Kita perlu mengurangi penderitaan korban, antara lain dengan tidak

mengeksploitasi pengalaman getir yang mereka alami di media massa. Stigmatisasi terhadap korban juga perlu dihindarkan dan hal ini perlu dipahami termasuk oleh aparat penegak hukum. Orangtua diharapkan memperhatikan keharmonisan rumah tangga mereka. Penelitian menunjukkan, anak yang dididik dengan baik dalam keluarga harmonis memungkinkan mereka memperoleh kepercayaan diri tinggi dan berdaya tahan lebih tangguh sehingga mereka tidak mudah menjadi korban seksual berkepanjangan. Keterbukaan dan penerimaan orangtua terhadap anak akan memampukan anak mengomunikasikan secara bebas apa saja yang mereka alami. Dengan demikian, anak punya keberanian untuk segera melaporkan tindak pelecehan seksual bila mereka atau teman mereka mengalaminya. Eratnya relasi orangtua-anak membantu orangtua memantau pergaulan anaknya dan mencegah lebih banyak problem yang terkait dengan masalah relasi sosial anaknya. Selain itu, teladan kehidupan seksualitas orangtua yang bersih adalah unsur positif yang memberi arah bagi anak sehingga anak mampu mengembangkan kehidupan seks yang sehat pula. Orangtua juga perlu diberi informasi dan pendidikan seks yang sehat. Mereka perlu memperoleh bekal untuk menghindarkan anaknya menjadi korban seks teman atau orang dewasa. Salah satu upaya yang banyak dilakukan di negara maju adalah dengan mengajarkan kepada orangtua bagaimana membuat anak mampu membedakan sentuhan yang pantas (sebagai pertanda kasih sayang) dengan yang tidak pantas (yang diarahkan pada daerah erogen). Bila ada sentuhan yang tidak pantas mereka terima, orangtua perlu memberi rasa aman kepada anak agar ia dapat bercerita lebih detail. Kebanyakan anak yang mengalami pelecehan seksual dapat memberi gambaran detail tentang aktivitas seks yang seharusnya belum dipahami oleh anak seusia mereka. Berbagai tindak pelecehan seksual yang terjadi mengindikasikan adanya penyakit sosial di masyarakat kita. Mudahnya pelaku pelecehan seks memperoleh film porno menunjukkan semakin tolerannya kita terhadap penyimpangan seksual di sekitar kita.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin banyak muncul dipermukaan. Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap

penegakan hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga (Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya. Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk

1. Saran Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan : 1. Perawat Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual. 2. Sekolah Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah. 3. Keluarga/Orang tua

Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan secara konsisten dan berimbang. DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan keperawatan Psikiatri (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!. http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses tanggal 26 April 2009

FKUI. (2006). Pendahuluan Sebuah Tinjauan . http://www.freewebs.com/ childabusea1/.htm. Diakses tanggal 26 April 2009

Freewebs, (2006). Pola Child Sexual Abuse. forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 26 April 2009

http://www.freewebs.com/

Pramono, B. (2009). Penyiksaan Anak. http://groups.yahoo.com/group/ urantiaindonesia/message/1516. Diakses tanggal 26 April 2009

Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 26 April 2009

Maria. (2008). Hadapi Mempertimbangkan http://apindonesia.com

Kekerasan

Seksual Pada Faktor

Anak

Hendaknya Tetap Psikologis

/new/index.php?option=com_content&task=view&id=1656&Itemid=62. Diakses tanggal 26 April 2009

Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!. http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 26 April 2009

Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC

You might also like