Professional Documents
Culture Documents
Keterkaitan antara Sistem Religi dengan Peran Perempuan dalam Rumah Tangga Gabungan (Joint Family System)
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkawinan adalah suatu kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang berlainan jenis, yakni laki-laki dan perempuan. Dalam prakteknya, maka perkawinan lebih pada suatu proses perjalanan kehidupan yang menyangkut banyak aspek, misalnya aspek emosi, aspek ekonomi, aspek sosial, aspek budaya, serta aspek legalitas yang menuntut pengakuan secara resmi oleh masyarakat sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku.1 Predikat untuk menjadi seorang isteri, tidak langsung dilahirkan atau melekat begitu saja pada seorang perempuan. Menjadi isteri merupakan seorang perempuan yang dijadikan sebagai isteri, di mana menjadi isteri ini mendatangkan sejumlah hal-hal yang harus dimainkan dalam kehidupannya sebagai isteri, atau menjadi kewajiban di mana dengan bertindak sesuai kewajiban ini, maka ia dapat dikatakan sebagai isteri sesuai dengan tuntutan masyarakat. 2 Kewajiban atau aturan yang bersifat tidak tertulis yang harus seorang perempuan laksanakan ini dinamakan peran. Dengan demikian, maka peran menjadi isteri sangat diperlukan untuk mewujudkan suatu tatanan keluarga yang utuh. Dalam konsep masyarakat muslim maka peran seorang isteri lebih ditekankan pada fungsi reproduksi dan fungsi pengasuhan, yakni tempat menanam benih suami, mengandung anak-anak, melahirkan anak-anak, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak-anak. Sedangkan fungsi seksualitasnya diatur dalam aturan khusus dalam Quran yang menjelaskan mengenai tata cara berpenampilan, etika, serta tata pergaulan hidup yang harus dijalankan oleh seorang perempuan yang memeluk agama Islam. Adapun fungsi produksi perempuan tidak terlalu ditekankan, atau diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu serta bersifat longgar, dalam artian seorang perempuan boleh melakukan pencarian nafkah namun hal ini bukanlah suatu hal yang bersifat keharusan. Pencarian nafkah utama merupakan kewajiban seorang suami (male breadwinner). Dengan kata lain perempuan yang mencari nafkah bukanlah seorang pencari nafkah utama dan ia tak mempunyai kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan nafkah yang ia dapatkan tersebut. Keberhasilan suatu keluarga dalam membentuk suatu rumah tangga yang sejahtera tidak lepas dari peran seorang perempuan. Konsep pekerjaan perempuan dalam suatu rumah tangga inti mempunyai batasan pekerjaan yang tak pernah terbatas. Perempuan dalam suatu rumah tangga inti (nuclear family) pada umumnya mempunyai tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsi reproduktif mereka, antara lain mengasuh anak-anak, mendidik anak-anak, mendampingi suami, memasak makanan untuk keluarga, dan lainnya. Pada masyarakat yang lebih kompleks, maka peran perempuan bertambah, yakni mereka bertindak sebagai pembantu pencari nafkah (second breadwinner). Meskipun dalam prakteknya kondisi seperti ini sering terjadi, namun selalu ada peran dikotomis dalam budaya masyarakat patriarkis, di mana
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga: tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Halaman 22-23. 2 Simone Beauvoire menjelaskan bahwa menjadi seorang perempuan bukanlah suatu bawaan biologis, namun menjadi perempuan adalah suatu hal yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat. Penulis mengadopsi pemikiran Simone Beauvoire dengan menyatakan bahwa menjadi isteri bukanlah suatu bawaan biologis yang secara otomatis melekat pada perempuan, akan tetapi menjadi isteri merupakan suatu peran yang harus disandang oleh perempuan yang sudah menjalani perkawinan, di mana menjadi isteri ini mempunyai peran yang secara sosial dikonstruksikan juga oleh masyarakat. Simone Beauvoire (1972) dalam The Second Sex. Dikutip oleh Waters, Malcolm. Modern Sociological Theory Chapter 8: Gender and Feminism. New York: Sage Publication. 2000.
1
menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah, dan perempuan merupakan pekerja di sektor domestik yang hanya berkutat pada ranah privat. Dengan demikian, posisi perempuan dalam hal ini merupakan hak milik dari laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga. Asumsi perempuan menempati posisi subordinat semakin diteguhkan dengan pelabelan-pelabelan khusus terhadap perempuan yang sejalan dengan budaya tempat mereka dibesarkan. Dalam budaya Jawa misalnya, Notopuro mencatat bahwa peran perempuan Jawa yang dianggap ideal dalam kultur masyarakat Jawa adalah 3M yakni masak, macak, dan manak. Apron seperti ini bisa diartikan bahwa fungsi utama perempuan selalu berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan persepsi ideal masyarakat mengenai kefeminininan seorang perempuan, antara lain melahirkan, berhias untuk menyenangkan laki-laki, dan memasak untuk keluarga mereka.3 Salah satu bentuk keluarga yang jamak ditemui di beberapa negara yang berafiliasi dengan peradaban Indus adalah keluarga gabungan. Goode mengistilahkan hal ini dengan keluarga gabungan dengan melihat pada bentuk keluarga di India dan berbagai negara-negara muslim di Asia Selatan, maka sistem keluarga gabungan (joint family) merupakan sistem yang dianut oleh keluarga-keluarga yang menganut sistem coparcenary, yang berarti suatu rumah tangga yang didiami oleh orang-orang yang berhak atas hasil-hasil milik keluarga.4 Keluarga gabungan ini merupakan kumpulan saudara-saudara laki-laki generasi mana pun bersama dengan anak-anak laki-laki mereka pada generasi berikutnya, ditambah dengan anak-anak lakilaki generasi ketiga, mencakup semua saudara laki-laki pada setiap generasi dalam garis lurus, dari beberapa saudara laki-laki tertentu selama unit tersebut masih lengkap. Sistem keluarga model Hindu ini menekankan pada saudara-saudara laki-laki karena menurut adat Hindu anak laki-laki sejak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Meskipun banyak dari keluarga inti yang mempunyai gagasan untuk masuk ke dalam sistem keluarga gabungan mempunyai kecenderungan untuk semakin menurun jumlahnya dari tahun ke tahun, namun keluarga gabungan tidak bisa diabaikan begitu saja, dan tak bisa dianggap hanya sebagai mitos belaka. Hal ini disebabkan karena pewarisan nilai kultural secara terus menerus yang mengakibatkan sistem keluarga gabungan tetap ada dari sejak jaman purba sampai sekarang. Sebagai contoh adalah konteks keluarga gabungan yang terdapat di India. Peradaban India yang merupakan tinggalan dari peradaban zaman purba banyak mencatat bahwa keluarga gabungan merupakan suatu bentuk paling ideal dalam membentuk keluarga. Pewarisan nilai-nilai keluarga gabungan pada hakekatnya berasal dari zaman kerajaan yang diwariskan secara turun temurun. Kitab-kitab kuno yang ditemukan sejak zaman Dinasti Chola, Raja yang besar Kaisar Asoka dan era sekuler Kaisar Akbar mengemukakan bahwa keluarga yang dianggap ideal dan sejahtera adalah suatu keluarga yang terdiri dari sepasang orangtua, anak laki-laki pertama beserta isterinya (menantu), anak dari anak laki-laki pertama tersebut (cucu) dan saudara-saudara lainnya yang belum menikah. Dengan demikian, maka keluarga yang dianggap ideal adalah keluarga yang terdiri atas dua generasi atau lebih yang merupakan ciri utama dari keluarga gabungan.5 Pada bentuk keluarga inti, maka perempuan secara konstruksi gender ditugaskan untuk menduduki peran sebagai pengurus ranah domestik. Perempuan bertugas untuk menyiapkan
Ki Hajar Dewantara dalam Notopuro, Hardjito. Peranan Wanita dalam masa Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984. Halaman 45. 4 Goode, William J. Sosiologi Keluarga: The Family. Diterjemahkan oleh Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bina Aksara. 1983. Halaman 91. 5 Utama, Ananda. Kebudayaan India. Artikel Ilmiah Jumat, 15 April 2011 Gunadarma University. http://www.indianchild.com/culture%20_1.htm
3
segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah tangga, mendidik dan merawat anak-anak, di samping tugas kodratisnya untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui. Pembagian peran perempuan seperti ini, merupakan suatu pembagian secara seksis maupun gender. Identitas gender bersifat fleksibel serta disesuaikan dengan relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat secara luas. Keluarga gabungan merupakan bentuk keluarga yang nyata bersifat patriarkis. Budaya patriarkis merupakan budaya yang mengutamakan laki-laki dan mensubordinasi perempuan. Mengapa keluarga gabungan dapat dikatakan sebagai bentuk keluarga yang patriarkis? Karena keluarga gabungan pada umumnya merupakan keluarga yang ditinggali oleh para individu yang berhak mendapatkan warisan atau hasil-hasil milik keluarga. Dalam prakteknya, maka keluarga gabungan merupakan keluarga yang ditinggali oleh saudara-saudara laki-laki dari generasi manapun, bersama anak-anak laki mereka pada generasi berikutnya. Saudara perempuan yang telah menikah sangat jarang tinggal bersama dalam keluarga gabungan karena kepercayaan Hindu yang menyebutkan bahwa perempuan lahir di rumah orangtuanya, dan meninggal di rumah suaminya.6 Dengan demikian, maka perempuan yang tinggal dalam keluarga gabungan adalah ibu anak laki-laki yang dikatakan sebagai mertua dan isteri dari anak laki-laki yang dikatakan sebagai menantu.
Gambar 1. Ilustrasi Keluarga Gabungan di India. Berdasar konstruksi patriarkis bahwa peran perempuan dalam suatu keluarga adalah sebagai pendamping, pengasuh, dan pemelihara dengan ruang kerja yang tak berbatas, maka dalam suatu keluarga gabungan beban kerja seorang perempuan akan semakin bertambah berat. Perempuan tersebut harus mampu berperan pada banyak hal, yakni peran sebagai isteri, peran sebagai ibu, peran sebagai menantu, dan peran sebagai saudara ipar, di mana perempuan ini juga mengalami kontak dengan anggota keluarga yang berada di dalam keluarga gabungan tersebut secara terus menerus. Dengan demikian, maka seorang perempuan dalam keluarga
6
gabungan harus mengurusi segala urusan yang sebenarnya berada di luar jangkauan tanggung jawabnya, dikarenakan keluarga intinya merupakan bagian dari keluarga gabungan sehingga perempuan ini dituntut untuk bertanggung jawab atas kepentingan keluarga gabungan yang didiaminya pula. Berdasar pada tinjauan latar belakang diatas, maka makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan seberapa jauh peran seorang dalam suatu keluarga gabungan. 2. Perumusan Masalah Keluarga gabungan merupakan suatu bentuk keluarga yang akan menempatkan perempuan dengan beban kerja yang berganda. Pertama, perempuan tersebut harus mengatur keluarga inti (nuclear family) kepunyaannya sendiri, yang terdiri atas suami, dan anak-anaknya. Kedua, tuntutan yang bisa jadi datang dari keluarga gabungannya dan masyarakat sekitarnya akan menempatkan perempuan sebagai subjek ideal yang harus juga bertanggung jawab terhadap keluarga gabungan yang didiaminya. Dengan demikian, perempuan tersebut dituntut untuk menjadi pengelola keluarga dari dua keluarga yang didiaminya, yakni keluarga inti dan keluarga gabungan yang hidup bersamanya. Konstruksi masyarakat patriarkis yang bersenyawa dalam keluarga gabungan akan menuntut peran perempuan guna menangani hal tersebut. Dari penjelasan singkat di atas, maka penulis berusaha merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang membuat perempuan harus berada dalam sistem rumah tangga gabungan (joint family system)? 2. Bagaimanakah peran perempuan dalam suatu keluarga gabungan? 3. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah Berpijak dari latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan sejauh mana peran seorang isteri dalam suatu keluarga gabungan (joint family system). Dari latar belakang serta perumusan masalah secara garis besar yang telah dikemukakan diatas, maka penulis akan menitik beratkan tujuan penulisan makalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan seorang perempuan harus berada dalam sistem rumah tangga gabungan (joint family system). 2. Menganalisis peran perempuan dalam suatu keluarga gabungan Dari penulisan makalah ini, maka diharapkan akan mendatangkan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat akademik: penulisan makalah ini diharapkan bisa memberikan kontribusi pada kajian keilmuan, khususnya kajian-kajian ilmu sosial. 2. Manfaat teoretis: penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan sumbangan teoretis, terutama teori-teori dominan yang digunakan dalam penulisan makalah ini, antara lain teori sosial beraliran interaksionisme simbolik, dan teori sosialis feminis.
BAB II ANALISIS TERHADAP KELUARGA GABUNGAN 1. Pengertian Keluarga Gabungan Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga, dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak orang lain.7 Keluarga luas (extended family) merupakan keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masing-masing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (extended family) digunakan suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis keturunan laki-laki.8 Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut. Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di rural dan bukan pada daerah industri. Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi para anggotanya. Kedua, keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri saudara laki-laki dari anak laki-laki paling tua tersebut. Peraturan mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka.9 Dalam suatu keluarga luas, maka ada salah satu bentuk variasi dari keluarga luas tersebut, yakni apa yang disebut dengan keluarga gabungan. Goode mengatakan bahwa keluarga gabungan yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini, tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka menganggap diri mereka sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama,
Suhendi, Hendi dan Ramdhani Wahyu. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia. 2001. Halaman 41. 8 Goode, William. Op. Cit. Halaman 92. 9 Ibid. Halaman 92.
7
termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta milik bersama itu.10 Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain, keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat lokal yang lahir dan berada didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan.11 Keluarga inti memang memberikan banyak kebebasan dari tradisi dan cara hidup yang lama, dengan konsekuensi relasi yang terbina antara orangtua dan anak akan memudar karena jauhnya tempat tinggal. Hal inilah yang berusaha diantisipasi dalam suatu keluarga gabungan. Terlalu dekatnya hubungan antara orangtua dan anak, serta doktrin agar orangtua disantuni serta diperlakukan dengan sebaik-baiknya merupakan penyebab utama mengapa keluarga gabungan tidak pernah diabaikan dalam suatu bentuk keluarga. 2. Faktor-Faktor yang mendasari terbentuknya keluarga gabungan I Gede Wiranata dalam buku antropologi budayanya memberikan pemahaman bahwa terdapat tiga hal yang bisanya terjadi sehingga budaya tersebut dapat terus terlestarikan, yaitu melalui: pertama, proses internalisasi, yakni suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup individu sejak di lahirkan sampai hampir meninggal untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu dan emosi yang kemudian membentuk kepribadiannya, dan semua ini nyatanya sangat dipengaruhi berbagai stimulasi yang terdapat dalam lingkungan sosialnya, budayanya dan alam sekitarnya. Artinya bahwa individu dalam banyak hal tidak lepas dari kondisi sosial bidaya di mana mereka di besarkan dan bergaul dengan masyarakat, sehingga dengan sendirinya setiap individu akan terpengaruhi oleh keadaan tersebut. Kedua, proses sosialisasi yakni di mana seorang individu menerima pengaruh, peranan, tindakan orang-orang di sekitarnya, seperti kakak, adik mertua, paman, pembantu dan lain-lain. Proses sosialisasi ini akan sangat bervariasi karena di pengaruhi oleh struktur masyarakat, susunan kebudayaannya serta lingkungan sosial yang bersangkutan. Ketiga, proses Enkulturasi adalah proses sosial di mana individu belajar menyesuaikan diri dalam alam pikiran serta sikapnya terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam lingkungan masyarakatnya.12 Berkaitan dengan proses-proses tersebut dalam kenyataannya di masyarakat tidak semua individu secara mulus melewati tahapan proses tersebut. Ada beberapa individu yang sukar untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan berbagai faktor yang di jumpainya dalam masyarakat. Hal ini dapat di akibatkan beberapa hal misalnya, tingkat pendidikan individu pada sistem sosial dan budaya dimana mereka tinggal, pengaruh budaya luar dan lain sebagainya yang kadang-kadang akan merusak, mempengaruhi atau terjadi akulturasi dengan budaya yang asli. Keluarga gabungan merupakan salah satu bentuk keluarga yang sering ditemukan pada negara-negara yang masih mempunyai afiliasi dengan peradaban sungai Indus, sehingga pengaruh Hindu sangat kuat, sekalipun negara tersebut sudah menjadikan Islam sebagai agama mayoritas dalam negara tersebut (sebagai contoh negara Pakistan dan Bangladesh). Keluarga Hindu menganut adat bahwa keluarga merupakan semua ego yang diturunkan dari satu nenek moyang, termasuk di dalamnya isteri dan anak-anak perempuan mereka yang belum menikah.
Goode. Op.Cit. Halaman 92. Khairuddin. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1985. Halaman 10. 12 Wiranata, I Gede AB. Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Halaman 33.
10 11
Ketika suatu keluarga mempunyai anak perempuan, dan anak perempuan tersebut telah menikah, maka anak perempuan tersebut berhenti menjadi anggota keluarga ayahnya dan kemudian berganti menjadi anggota keluarga suaminya. Keluarga gabungan menempatkan orang tua tinggal bersama dalam satu atap dengan seluruh atau sebagian anak-anak mereka, di mana bisa jadi anak-anak mereka sudah berkeluarga atau bahkan sudah mempunyai cucu. Dengan demikian, dalam suatu keluarga gabungan seringkali terjadi empat generasi tinggal bersama dalam satu atap. Sistem keluarga gabungan berlaku selama puluhan tahun karena berbagai faktor. Adapun factor-faktor penyebab terjadinya keluarga gabungan berlangsung terus menerus serta menjadi suatu bentuk keluarga yang tetap dipertahankan dalam kultur masyarakat Hindu adalah sebagai berikut: a. Keyakinan Religi Faktor pertama karena adat Hindu yang menempatkan anak laki-laki sebagai penjaga warisan keluarga, serta keyakinan taboo, yang tidak memperbolehkan menjual aset keluarga tersebut (misalnya rumah, lahan, bangunan usaha, dan lainnya). Taboo adalah suatu prinsip keyakinan yang dilarang, atau jika hal tersebut dilanggar maka ada semacam keyakinan bahwa musibah akan menimpa para pelanggarnya. Keyakinan dalam ajaran Hindu dan Islam juga menempatkan bahwa anak-anak laki-laki merupakan hak dari ibu-ibu mereka. Dengan demikian, seorang ibu dalam suatu keluarga Hindu dan Islam mempunyai wewenang penuh dalam mengatur hidup anak-anak laki-laki mereka, termasuk di antaranya hak meminta tinggal bersama dengan anak-anak laki-laki mereka sekalipun anak-anak laki-laki mereka telah menikah. Agama Islam menganut pemahaman, di mana menempatkan sosok ibu berkedudukan tiga kali lebih penting daripada sosok ayah. Ajaran yang menempatkan ibu sebagai sosok yang harus dihormati ini ditunjukkan dalam ayat Quran sebagai berikut: Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan13 Sedangkan hadist nabi menyatakan bahwa: Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab, Ibumu. Kemudian siapa? tanyanya lagi. Ibumu, jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, Kemudian siapa? Ibumu. Kemudian siapa? tanya orang itu lagi. Kemudian ayahmu, jawab Rasulullah.14 Studi yang dilakukan di Karachi, yang merupakan kota industri di Pakistan mencatat hasil bahwa sebagian besar penduduk Pakistan baik laki-laki atau perempuan lebih menyukai untuk tinggal bersama orangtua mereka dalam suatu keluarga gabungan. Mereka bahkan tidak menggunakan alasan perkawinan sebagai alasan supaya bisa meninggalkan orangtua mereka untuk tinggal dalam keluarga yang baru. Dalam penelitian di Karachi itu, maka responden lakilaki justru lebih banyak yang mengemukakan gagasan untuk tinggal bersama dengan keluarga mereka dibandingkan dengan responden perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan yang telah menikah harus mengikuti keluarga suaminya, sehingga gagasan untuk tetap tinggal dengan orangtua mereka dianggap sebagai gagasan yang kurang masuk akal dan tidak sesuai dengan norma sosial setempat.15
Wasiat Luqman Al-Hakim kepada kedua anaknya. Dalam Quran Surat Luqman ayat 14. 14 Diriwayatkan oleh HR. Bukhari dan Muslim. 15 Razzaq, Sadia. Influence of Joint Family System on Socio Economic Development of Pakistan.
13
Agama Hindu mempunyai cara pandang yang hampir sama dengan agama Islam dalam hal penghormatan terhadap orangtua. Banyak tradisi di India yang menurunkan nilai bahwa penghormatan terhadap orangtua merupakan aspek penting dalam kehidupan. Studi yang telah dilakukan di India pada tahun 1990 berusaha menggali tentang seberapa jauh industrialisasi di India mempengaruhi tatanan terhadap keluarga gabungan. Hasil menunjukkan bahwa keluarga gabungan merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan Hindu yang kemudian diusahakan untuk dipertahankan oleh pemeluk Hindu terutama di India. Industrialisasi dalam skala besar sekalipun pengaruhnya kurang signifikan terhadap keinginan orang-orang India untuk tetap tinggal bersama orangtua mereka dalam satu keluarga gabungan. Banyak ritual dalam ajaran Hindu yang melibatkan restu orangtua, misalnya mencari berkah dan keselamatan dalam hidup dengan cara menyentuh kaki, memasangkan tikka setelah ritual penghormatan terhadap dewi Parwati di pagi hari, menyuapkan laddo atau manisan untuk keselamatan, keberuntungan, serta kebahagiaan dalam hidup. Peran ibu sangat penting dalam ritual-ritual agama Hindu, terutama relasi yang berkaitan dengan anak laki-lakinya. Ibu dalam budaya India disebut sebagai Debata na tarida atau dewa yang terlihat, sangat berpengaruh terhadap ritual-ritual yang dilakukan dalam ajaran agama Hindu. Dengan demikian, nilai religi dalam Hindu menekankan bahwa seorang anak tidak akan pernah bisa terlepas dengan keberadaan orangtuanya. Hal inilah yang menyebabkan kehadiran fisik orangtua sangat penting di India, sehingga keluarga gabungan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pemahaman ini. Latar Belakang Ekonomi Factor keduanya bisa jadi karena alasan ekonomi. Kasus ini sering terjadi di kota-kota berbasis industri. Sistem ini bisa berlaku selama puluhan tahun karena beberapa alasan penghematan atas pengeluaran rumah tangga yang besar, misalnya, semua anak-anak tinggal di kota yang sama dengan orangtua mereka, mencari jodoh yang sama dengan kota tempat mereka tinggal, dan akhirnya anak tersebut tinggal dalam satu atap dengan orangtua mereka. Dengan demikian, maka pengeluaran keluarga tersebut bisa ditekan seminimal mungkin. Hal ini mendatangkan keuntungan juga kerugian. Salah satu keuntungannya adalah penghematan pada keluarga inti (nuclear family) dari anak-anak laki-laki yang tergabung dalam keluarga gabungan tersebut. Sedangkan kerugiannya adalah tidak mampunya anak-anak laki-laki untuk mandiri dengan keluarga mereka karena sedikit banyak orangtua pasti akan ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.16 Menurut adat India, mas kawin atau jehez berasal dari pihak keluarga perempuan. Bagi orang tua yang punya anak perempuan, mas kawin adalah beban terberat dalam hidup. Punya anak perempuan yang tidak menikah sangat memalukan. Tetapi menikahkan anak perempuan
Didownload dari www.articlebase.com>home>page>newsandsociety>culture. 1 Februari 2010 Download pada tanggal 14 Mei 2012. 16 Parma, Anjali. Essay and Article on: Advantage and Disadvantage of Joint Family System. Dalam Top Quality Essays and Article. Didownload dari www.seopressor.com. 26 Maret 2012 Download pada tanggal 14 Mei 2012.
b.
juga sangat mahal, sampai menelan biaya puluhan ribu Rupee atau ratusan juta Rupiah sebagai mas kawin yang dibayar kepada calon suaminya. Mas kawin atau jehez bisa berupa uang dalam nominal tertentu, namun bisa juga harta bawaan yang harus dibawa oleh pihak perempuan sebelum ia meninggalkan rumah orangtuanya dan kemudian menjadi anggota keluarga dari suaminya.17 Jehez merupakan permintaan dari pihak suami berdasar atas level atau status dari suami tersebut. Seorang suami yang berpendidikan tinggi, tampan, atau berasal dari keluarga berkedudukan tinggi maka jehez yang dimintanya akan semakin banyak. Jehez merupakan system yang tidak bisa dipisahkan dari negara-negara yang berafiliasi dengan peradaban sungai Indus. Dengan demikian, meskipun negara-negara tersebut merupakan negara-negara muslim, namun syarat menyediakan jehez masih melekat dan masih dilaksanakan oleh sebagian dari penduduk negara tersebut. Untuk menghilangkan kesan mengikuti ajaran agama Hindu, mana pemeluk agama Islam mengistilahkannya dengan istilah jahez atau mehr di Pakistan, atau dowry atau daeri di daerah-daerah selatan India.18 Sistem religi dalam Hindu yang mengharuskan pemeluknya mengeluarkan sejumlah biaya untuk memenuhi ritual sesuai dengan ajaran dalam agama Hindu, kewajiban membayar mas kawin bagi keluarga yang memiliki anak perempuan, dan keyakinan untuk tidak menjual aset atau warisan keluarga menjadikan keluarga gabungan ini menunjuk salah seorang diantara mereka yang bertugas sebagai manajer dalam pengeluaran rumah tangga. Di India, manajer ini dikenal dengan nama Karta yang berarti makmur. Pada umumnya, karta adalah adik laki-laki ayah (paman) dari pemimpin keluarga gabungan. Dalam suatu keluarga gabungan, maka paman merupakan figur yang dianggap bisa dipercaya karena paman mempunyai hak atas kepemilikan harta bersama keluarga tersebut.19 Penelitian berbasis ekonomi yang dilakukan di Pakistan mendapatkan hasil bahwa gaya hidup keluarga gabungan memunculkan apa yang dinamakan dengan ketidakmandirian secara finansial.20 Penelitian ini mengemukakan bahwa keluarga gabungan sebenarnya bagus dalam hal mengeratkan ikatan kekerabatan, namun beresiko dalam hal kemandirian keluarga secara ekonomi yang merupakan pilar untuk pertumbuhan ekonomi negara secara holistik. Banyak alasan yang muncul mengapa keluarga gabungan ditunjuk sebagai penyebab munculnya ketidak mandirian finansial suatu keluarga, antara lain anggota keluarga dalam keluarga gabungan tidak memiliki jaminan pendapatan yang tetap. Individu yang menjadi bagian dari anggota keluarga gabungan mau tidak mau harus mendonasikan sejumlah pendapatannya untuk mendukung jalannya keluarga gabungan tersebut. Di sisi lain, ada beberapa anggota keluarga gabungan yang lain yang kondisi finansialnya tidak sejahtera tidak bisa turut mendukung pengeluaran dalam keluarga gabungan tersebut. Akibatnya, akan terjadi kesenjangan ekonomi antara anggota keluarga gabungan yang satu dengan keluarga yang lain, di mana salah satu pihak menjadi terus menerus menjadi donor, sedang pihak yang lain hanya terus menerus menjadi penerima. Peran manajer rumah tangga (karta) dalam suatu keluarga gabungan juga turut andil menjadi penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi dalam keluarga gabungan. Seperti yang telah disampaikan pada bahasan sebelumnya, bahwa dalam keluarga gabungan sering didiami oleh beberapa saudara, maka terjadi pengabaian oleh karta terhadap anggota keluarga lain yang
Anonim. Dowry: A Socio Cultural Perspective. Didownload dari www.islamawareness.com. Download pada tanggal 14 Mei 2012. 18 Ibid. Halaman 2 19 Donner, Henrike. Domestic Goddesses: Maternity, Globalization and Middle-Class Identity in Contemporary India. Ashgate Publishing Ltd, Hampshire, United Kingdom. ISBN 0754649423. 2008. 20 Razzaq, Saddia. Op. Cit. Halaman 2.
17
10
tinggal dalam keluarga tersebut yang tidak mau membantu pengeluaran keluarga. Dalam hal ini karta bisa bersikap lebih menguntungkan anggota keluarga yang merupakan anggota keluarga intinya sendiri dibanding dengan anggota keluarga lain yang bukan merupakan bagian dari anggota keluarga intinya. Tak jarang juga terjadi, karta sendiri tidak pandai mengatur ekonomi keluarga, yang berakibat tak terkendalinya pengeluaran rumah tangga sehingga keluarga gabungan tersebut mengalami kebangkrutan. Selain itu penyebab lainnya karta yang pada masa mudanya bertanggung jawab untuk menanggung semua beban tagihan pengeluaran dan konsumsi dalam suatu rumah tangga gabungan, maka seiring dengan berjalannya waktu dengan bertambahnya usia, sang karta pensiun sehingga tidak mampu untuk mencukupi semua pengeluaran tagihan tersebut, di mana di sisi lain pengeluaran untuk keperluan rumah tangga yang lain justru semakin bertambah. Hal-hal tersebut yang menjadi pemicu mengapa banyak rumah tangga gabungan yang mengalami kebangkrutan dan kemiskinan komunal. c. Bentuk Perlawanan terhadap Budaya Asing Gandhi seorang tokoh pergerakan India yang meluaskan ajaran satyagraha menyerukan bahwa semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, Gandhi sangat menolak praktek kolonialisme yang dilakukan oleh Inggris terhadap India. Untuk melawan Inggris tanpa kekerasan, maka ia menyerukan kepada rakyat India untuk melakukan boikot terhadap semua produk buatan Inggris dan menyerukan kepada seluruh rakyat India untuk menggunakan produk lokal (swadeshi).21 Konsep perlawanan Gandhi ini sangat ampuh dan membawa hasil yang signifikan bagi sebuah perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme. Bentuk perlawanan sebenarnya dilakukan atas dasar asumsi bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh semua perusahaan industri milik koloni Inggris terhadap rakyat India tidak menghasilkan apapun selain kemiskinan yang tidak kunjung usai, serta membawa dampak yang lebih menyedihkan, yakni matinya industri rumah tangga di India. Sebagai bentuk perlawanan, Gandhi mengampanyekan untuk menggunakan barang yang dihasilkan oleh rakyat India sendiri dari industri rumah tangga berskala kecil di desa dan gubuk penduduk. Gandhi memulainya dengan memperkerjakan perempuan pedesaan India untuk memintal, menenun, serta menjahit kain sampai berwujud pakaian yang mereka gunakan sehari-hari. Bentuk perlawanan rakyat India dengan model ini ternyata sangat efektif dan memukul industri penjajah sehingga pemerintah kolonial tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan industrinya. Dampak positif lainnya, para perempuan India yang dipekerjakan tersebut mampu menggerakkan roda perekonomian serta mencukupi kebutuhan keluarga sehingga rumah tangga mereka terbebas dari kelaparan yang sering dijumpai pada masa kolonialisme Inggris. Ajaran satyagraha yang pada intinya menolak segala bentuk penjajahan baik secara fisik maupun secara ideologis terhadap India ini kemudian diperluas perlawanannya dalam segala bidang. Salah ketahanan kultur dalam keluarga India yang dipertahankan sampai saat ini adalah sistem rumah tangga gabungan. India merupakan bangsa yang sangat mengagungkan kebersamaan dalam setiap segi kehidupan, sehingga prinsip keluarga gabungan ini tetap dipertahankan hingga sekarang. Setiap anggota keluarga dalam keluarga gabungan tidak akan pernah merasa sendiri karena ia merupakan bagian integral dari keluarga tersebut. Dalam kultur India pula, maka keluarga inti dianggap sebagai keluarga yang individualistis, serta identik dengan kultur Barat, sehingga anggota keluarga yang hidup berpisah dengan keluarga gabungan tanpa adanya alasan yang krusial juga dianggap sebagai individu yang egois.
Prana, Wied. Gandhi Manusia bijak dari Timur: Biografi Singkat Mahatma Gandhi 1869-1948. Yogyakarta: Garasi. 2010. Halaman 169.
21
11
Lepas dari semua itu, menurut R.E. Baber (1953) dalam bukunya Marriage and The Family, faktor-faktor yang melandasi individu sebagai mahluk sosial untuk membentuk suatu keluarga bisa juga didasarkan pada alasan untuk pemenuhan hasrat berkumpul bersama secara kontinyu dengan orang yang dicintainya. Saling memberi dan menerima, saling memperhatikan dan saling memenuhi kebutuhan, serta saling mencintai dan mengasihi. Hal tersebut merupakan alasan membentuk keluarga yang paling rasional dan masuk akal. Pola hidup berkeluarga pada dasarnya merupakan realisasi fitrah manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk pribadi yang pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Illahi. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja bersifat lahiriah atau jasmaniah seperti dalam bentuk hubungan seksual, melainkan juga merupakan penyatuan keseluruhan pribadi kedua belah pihak. Sejak dari hal-hal kecil dalam kehidupan bersama sehari-hari sampai kepada rasa saling memiliki, saling memaski dunia masing-masing, dan saling bantu membantu. Itu semuanya merupakan pencerminan kasih sayang dan saling membutuhkan antara kedua belah pihak. Dengan demikian kedua belah pihak dapat saling menyempurnakan diri. Dan hal ini akan bertambah lagi apabila telah lahir anak-anak mereka.22 Sejalan dengan posisinya sebagai partisipan dalam subkultur dan kebudayaan tertentu dengan berbagai aspeknya, keluarga sebenarnya juga berperan sebagai penerus kebudayaan. Konsepnya sederhana, kebudayaan masyarakat sekitar yang masuk ke dalam suatu keluarga akan diterima, diolah dan kemudian oleh keluarga, disengaja atau tidak akan tersampaikan pada anak melalui peran orientasinya. Dengan kedudukan dan perannya tersebut, maka keluarga sering dikatakan sebagai primary group.23 Alasannya, kelompok kecil ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga. 3. Peran Perempuan dalam suatu Keluarga Gabungan Kaum perempuan memiliki kodrat kehidupan yang berupa: kodrat perempuan sebagai ibu, sebagai istri, sebagai individu perempuan, dan sebagai anggota masyarakat. Setiap unsur kodrat yang dimiliki memerlukan tanggung jawab yang berbeda dengan peran dirinya sebagai anggota masyarakat, dan akan berbeda pula dengan peran dirinya sebagai individu. Meskipun demikian masing-masing unsur tersebut tidak boleh saling bertentangan.24 Alison Jaggar, seorang feminis beraliran Marxis mengemukakan bahwa dalam suatu tatanan ideologi yang melandaskan pada sistem kapitalis, maka pihak yang disubordinasi akan mengalami suatu kondisi alienasi, yang merujuk pada konsep yang sama yang digunakan oleh Karl Marx ketika menyoroti masalah buruh yang hanya menjadi mesin-mesin produksi serta terus menerus bekerja, yang bertujuan untuk menjaga proses produksi terus berjalan. Jaggar, sama dengan Marx menganggap bekerja merupakan suatu kegiatan yang memanusiakan
Baber, Ray Erwin. Marriage and The Family. McGraw-Hill Book Company: Univeristy of California. 1939. Didigitalkan tanggal 26 Oktober 2007. Didownload dari googlebooks.com. Download pada tanggal 27 Mei 2012. 23 Wangsanegara, Soewaryo. Ilmu Sosial Dasar: Modul 1 sampai dengan 3 Cetakan Pertama. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1986. 24 Sujarwa, Rachmad. Polemik Gender, antara Realitas dan Refleksi: Sebuah Kajian Sosiologi Fenomenologis cetakan pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Halaman 91.
22
12
manusia (par exellence) yang menghubungkan manusia dengan tubuh dan pikirannya, alam, beserta manusia lainnya. Dalam konsep feminisme, maka Jaggar berpendapat bahwa ketika seorang perempuan mengambil pilihan untuk menjalani perkawinan, maka ia harus dalam kondisi siap serta sadar akan keberadaan tubuh keperempuanannya. Alison Jaggar mengaplikasikan konsep alienasi perempuan, di mana ia mengatur pembahasan ini dalam suatu fragmentasi, bahwa perempuan itu mengalami alienasi pada tiga komponen penting dalam hidup sebagai perempuan, yaitu seksualitas, reproduksi, serta intelektualitas. Seorang perempuan, dituntut untuk melakukan diet, latihan, serta berpakaian yang sesuai dengan standar kecantikan yang menarik minat lakilaki. Jika dalam konsep borjuis-proletar Marx, seorang proletar dituntut untuk berusaha ekstra guna menghasilkan produksi untuk meraup profit; maka perempuan dituntut untuk berusaha keras supaya mendapat persetujuan atas kecantikannya (male gaze), di mana jika para laki-laki menyetujui bahwa perempuan ini cantik, maka value atas perempuan tersebut mengalami peningkatan, sehingga ia bisa memasuki tahapan proses kehidupan selanjutnya, yakni fragmen reproduksi. Konsep motherhood, seperti halnya seksualitas juga mengalienasi seorang perempuan sesuai dengan konstruksi sistem masyarakat yang ada pada tempat dimana ia berada yang akan memutuskan sejauh mana ia mempunyai hak untuk menetapkan sistem reproduksinya, misal jumlah anak yang akan dikandungnya. Kasus dalam masyarakat yang tenaga kerja anak bisa dimanfaatkan sebanyak tenaga kerja orang dewasa, maka seorang perempuan akan dituntut untuk bisa hamil sebanyak mungkin selama fisiknya memungkinkan untuk melakukan hal itu. Kebalikan dari hal ini, maka pada suatu tatanan masyarakat yang anak-anak dianggap sebagai beban ekonomi dan pertumbuhan suatu negara, maka banyak perempuan yang kemudian mendapat hukuman ketika ia hamil, atau ketika ia memutuskan untuk mengandung, maka karena pertimbangan ekonomi, haknya untuk mengandung dihalangi oleh tatanan masyarakat dan negara, misalnya dengan cara kontrasepsi, sterilisasi, atau aborsi. Selanjutnya siklus ketika seorang perempuan bertugas sebagai pengasuh, maka tekanan pengasuhan yang diberikan kepada ibu sangatlah besar. Sang ibu harus membesarkan anakanaknya sesuai dengan kontruksi masyarakat; dimana di dalamnya terdapat pranata, adat, tuntutan, dan norma serta doktrin yang berlaku di masyarakat; dan bukan dengan sistem pengasuhan yang kadang tidak diinginkan oleh sang ibu itu sendiri. Standarisasi dalam suatu konstruksi masyarakat, secara keji akan menempatkan sang ibu tersebut untuk berlomba supaya membesarkan anaknya sesuai dengan konsep ideal dalam masyarakat; bukannya menjadi anak-anak yang siap untuk menghadapi hidup, namun pada konsep anak-anak yang sempurna yang dianggap ideal dalam masyarakat; yang mempunyai nilai akademik bagus, berbadan sehat, berfisik rupawan, serta berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada akhirnya hal ini akan menempatkan perempuan yang berperan sebagai ibu mengalami alienasi dengan kapasitas intelektualnya. Jaggar beranggapan bahwa perempuan sebagai ibu ini akan selalu merasa tidak yakin serta disudutkan sebagai ibu yang tidak berhasil jika anak-anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan konsepsi ideal dalam suatu masyarakat. Perempuan yang berada dalam konstruksi masyarakat yang didominasi sudut pandang patriarkis, akan selalu berada dalam pihak yang dipersalahkan, baik atas kesalahan yang tidak disengaja yang berasal dari dirinya, atau kesalahan yang berasal dari ketidaksesuaian konstruksi ideal masyarakat jika anak yang dibesarkannya tidak sesuai dengan kriteria tersebut. Ketika seorang perempuan menjalani suatu perkawinan, maka secara otomatis ia akan berada dalam tatanan masyarakat di mana ia bertempat tinggal setelah terjadi pernikahan tersebut. Dengan demikian, maka nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat tersebut
13
yang akan menjadi patokan bagaimana ia berperan menjadi seorang perempuan dalam kesehariannya. Perempuan, bersedia atau tidak bersedia harus menjadi sosok yang baru yang bisa jadi, perempuan ini menjadi sosok berbeda di banding dengan ketika perempuan ini belum menjalani perkawinan, misalnya. Maka dari itu, konsekuensi dari perempuan yang menjalani perkawinan adalah perempuan tersebut harus bersedia untuk menjadi asing karena perempuan ini bisa saja berada dalam situasi yang belum pernah ia alami sebelumnya. 25 Adapun dalam penulisan makalah ini, maka penulis akan menganalisis mengenai apa saja peran perempuan dalam suatu perkawinan berdasar pada teori yang telah dikemukakan oleh Alison Jaggar tersebut. a. Peran perempuan dalam keluarga gabungan berkaitan dengan fungsi seksualitas Seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa keluarga gabungan merupakan warisan dari kebudayaan yang patriarkis, maka seksualitas perempuan merupakan salah satu peran yang harus dijalani oleh perempuan namun juga berpotensi untuk mengalienasi dirinya ketika ia memasuki kehidupan perkawinan. Perempuan muda merupakan sosok yang paling menderita dengan adanya konsep kecantikan yang ditetapkan oleh standarisasi masyarakat. Perempuan hanya merasa bahwa tubuhnya itu adalah objek yang harus merepresentasikan citra ideal masyarakat mengenai kecantikan. Dalam budaya patriarkis, maka perempuan yang cantik akan dianggap sukses sebagai seorang perempuan karena seorang perempuan hanya dituntut untuk menjadi cantik, di mana kecantikan ini akan mampu membawa dirinya untuk dipilih oleh seorang laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Nawal El Saadawi yang terkenal sebagai feminis yang aktif menggugat kekuasaan lelaki dan budaya patriarki melakukan kritikan secara keras terhadap perempuan muda khususnya di Mesir yang hanya berlomba-lomba untuk memenuhi standar kecantikan yang sesuai dengan apa yang diidealkan dalam tatanan masyarakat yang merupakan cerminan dari media. Hal ini disebabkan karena dalam budaya patriarki, di mana menempatkan perempuan dalam posisi yang pasif menunggu laki-laki untuk meminang dirinya. Perempuan muda ini kemudian menganggap bahwa tujuan akhir dalam hidupnya hanyalah pernikahan. Nawal mengatakan bahwa sifat pasif perempuan Arab bukanlah berasal dari ajaran agama Islam serta bukanlah watak bawaaan yang melekat, namun dibebankan oleh masyarakat kepada perempuan tersebut. Perempuan yang bersifat pasif kemudian hanya bersikap menunggu dan tidak mempunyai pilihan lain selain memanfaatkan tubuhnya dalam rangka mewujudkan apa yang disyaratkan untuk memenuhi konsep kecantikan. Hal ini berlangsung terus menerus serta tidak disadari oleh perempuan, karena melekatnya semacam doktrin yang ditekankan terhadap perempuan bahwa perempuan cukup menjadi cantik agar diinginkan laki-laki yang akan datang kepadanya serta melamar dirinya untuk dijadikan isteri dari laki-laki tersebut. Akibat dari persepsi yang menjerumuskan ini, maka perempuan menjadi kehilangan unsure-unsur pokok kepribadiannya yang penting, kehilangan kualitas kemanusiannya dan berubah menjadi objek, salah satu bagian tubuh, komoditas, dan instrument untuk merepresentasikan gagasan akan kecantikan. Ironisnya, generasi laki-laki Arab muda juga terpengaruh tatanan patriarkis tersebut. Mereka yang hidup dalam suatu system yang menomor satukan laki-laki kemudian cenderung merasa dalam posisi nyaman serta mewarisi nilai-nilai patriarkis dari generasi sebelumnya. Laki-laki Arab sama halnya dengan laki-laki lain hanya membutuhkan objek pemuasan seksual,
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Arus utama Pemikiran Feminis. Pengantar: Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. 2010. Halaman 183185.
25
14
atau dalam arti lain perempuan yang cantik. Perempuan yang cerdas dan berpengalaman adalah ancaman tersendiri terhadap struktur patriarkis dan pada gilirannya akan menjadi ancaman terhadap kedudukan palsu yang diterima seorang laki-laki dalam struktur masyarakat patriarki. Perempuan cerdas tidak akan dipilih jika dibanding dengan perempuan cantik yang diutarakan melalui sindiran Nawal, bahwa laki-laki lebih memilih kucing manis yang buta. Perempuan yang cerdas dianggap mampu melawan laki-laki ketika laki-laki tersebut melakukan eksploitasi inheren dalam suatu lembaga perkawinan.26 Ekstrimnya pandangan Nawal tampaknya dilatar belakangi oleh kegundahannya dalam melihat kenyataan yang terjadi pada perempuan Mesir. Dalam pandangan Islam itu sendiri, maka hubungan suami istri diibaratkan sebagai pakaian antara yang satu bagi yang lain. Suami merupakan pakaian bagi istri dan istri merupakan pakaian bagi suami. Laki-laki merupakan kepala rumah tangga, dan isteri merupakan pendampingnya. Peran suami dan isteri dalam Islam adalah suatu peran yang sifatnya komplementer, bukan substisioner. Dengan kata lain suami dan isteri bersifat saling melengkapi sesuai dengan fitrah sebagai manusia. Salah satu hal yang menjadi kajian penting dalam kajian-kajian bertema gender adalah suatu kasus mengenai perkosaan yang dialami oleh perempuan ketika ia masuk dalam ikatan perkawinan. Idrus dan Bennett menyatakan bahwa perkosaan merupakan suatu keadaan di mana perempuan tidak ingin melakukan hubungan seksual, namun ia dipaksa untuk melakukan hubungan seksual tersebut, sekalipun ajakan untuk berhubungan seksual tersebut berasal dari suaminya sendiri. Posisi subordinat perempuan dalam ideologi agama dijustifikasi dengan memunculkan doktrin kodrat (merujuk pada sifat-sifat dan takdir perempuan) dalam rangka untuk melakukan penyangkalan terhadap ketidakadilan gender. Istilah ikut suami seringkali muncul dalam interpretasi populer mengenai retorika dalam agama yang bertujuan untuk menuntut perempuan mengenai peranan serta hubungan gender yang patut sambil berusaha menganggap bahwa pengabdian dan kepasrahan perempuan adalah suatu hal yang ideal.27 Pada akhirnya, maka alienasi yang dialami oleh perempuan berkaitan dengan peran yang dibebankan kepadanya dalam suatu perkawinan dapat menjadi suatu hal yang dijustifikasi oleh masyarakat secara keseluruhan. Peran perempuan dalam perkawinan yang berkaitan dengan peran seksualitasnya menjadi suatu hal yang bersifat kodratis. Kondisi yang tampak di lapangan, keberatan yang dialami oleh perempuan dalam peran seksualitas yang kemungkinan ia alami dalam suatu perkawinan tidak akan ia tunjukkan ke publik. Bisa jadi hal ini merupakan suatu hal yang ditabukan, atau diterima oleh perempuan sebagai suatu hal yang memang sudah menjadi kodratnya. Apabila hal ini ia tunjukkan, maka bisa jadi perempuan ini dianggap telah membuka aib suami dan keluarganya sendiri, sehingga pandangan yang diberikan masyarakat kepadanya semakin negatif.
El Sadawi, Nawal. Perempuan dalam Budaya Patriarki: The Hidden Face of Eve. Penerjemah Zulhilmiyasri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Halaman 140-150. 27 Idrus, N dan Bennet LR. Presumed Consent: Marital Violence in Bugis Society. In Manderson, L dan Bennet, LR., editors. Violence Against Women in Asian Societies.. London UK: Routledge Curzon. 2003. Halaman 41-60 Dalam Greiff Shaina. Tak Ada Keadilan dalam Justifikasi: Kekerasan terhadap Perempuan atas Nama Budaya, Agama, dan Tradisi. Dalam Publikasi Kampanye: Violence is Not Our Culture. Maret 2010. Halaman 17
26
15
b. Peran perempuan dalam keluarga gabungan berkaitan dengan fungsi pengasuhan Dalam tradisi India, maka sosok perempuan diasosiasikan dengan cinta, keluarga dan kesabaran.28 Budaya perjodohan (arranged marriage) yang berlangsung secara turun temurun di India, seringkali menempatkan seorang perempuan muda yang dibawa dalam suatu keluarga gabungan dalam posisi nilai tawar yang rendah. Budaya India menekankan bahwa perempuan yang berstatus sebagai isteri mempunyai beban dalam mengurus semua hal yang berkaitan dalam urusan domestik. Perempuan ini tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar dengan beban yang tak seimbang ini. Menantu perempuan dalam rumah tangga India dituntut untuk menaati perintah suami, di mana suami ini harus tunduk kepada ibunya. Oleh karena itu, maka seorang menantu India harus sangat tunduk terhadap ibu mertuanya.29 Kontradiksi terjadi, ketika sebagian besar orangtua di India dan Pakistan tidak ingin melibatkan anak-anak perempuan yang belum menikah untuk membantu dalam tugas-tugas rumah tangga. Seorang menantu perempuan dalam keluarga gabunganlah yang bertugas untuk membereskan semuanya, termasuk beban-beban yang mungkin ditimbulkan dari anak-anak perempuan muda (adik ipar) suaminya tersebut. Akibatnya bagaikan alur lingkaran setan, maka adik perempuan suami ini menjadi malas dan tidak bertanggung jawab terhadap segala urusan rumah tangga. Ketika perempuan-perempuan muda ini kemudian menikah, maka mereka akan tidak mampu mengatasi beban dan tanggung jawab yang diberikan kepada seorang isteri India. Perempuan yang bisa mengutarakan pendapat akan melawan suatu hal yang dianggap sebagai ketidak adilan gender ini, dengan membujuk suaminya untuk berpisah dan membentuk suatu keluarga inti sendiri, misalnya, namun juga sering ditemui para perempuan yang bungkam serta menganggap bahwa pembagian tugas yang tidak seimbang ini merupakan konsekuensi kodrati mereka sebagai perempuan.30 Anak-anak yang dilahirkan dalam suatu keluarga gabungan adalah bagian integral dari keluarga gabungan tersebut. Dengan demikian, maka tidak terjadi pemisahan antara anak dari pasangan yang satu dengan yang lain. Hal ini menimbulkan sebab yang positif maupun negatif. Dampak positif dari pengasuhan bersama anak-anak dalam suatu keluarga gabungan adalah terbentuknya jiwa sosial di antara anak-anak tersebut, karena mereka selalu bersama dan berbagi satu sama lain. Sedang dampak negatifnya adalah timbulnya kecemburuan jika seorang cucu mendapat perlakuan yang lebih istimewa dibanding dengan anak lainnya. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya cucu yang lebih dimanjakan oleh orangtua suami mungkin merupakan cucu dari anak laki-laki yang lebih sukses, atau bisa jadi sebaliknya, cucu dari anak laki-laki yang kurang mapan dalam hal finansial sehingga orangtua dari anak laki-laki tersebut terlalu melindungi puteranya dengan memberikan bantuan finansial yang berpotensi menimbulkan kecemburuan anak-anak yang lain. Dewasa ini, kecenderungan suatu keluarga untuk membentuk keluarga gabungan bisa dikatakan sangat bergantung pada kondisi ekonomi dari keluarga tersebut. Studi masalah keluarga yang dilakukan di Pakistan menyatakan bahwa sistem keluarga gabungan masih layak dipertahankan hanya di keluarga dengan kondisi ekonomi yang berlimpah. Hal ini disebabkan karena dalam keluarga dengan kondisi ekonomi yang mapan, maka masalah kecemburuan antara anak yang satu dengan anak yang lain akan bisa diminimalisir. Akan tetapi, ada suatu hal
Roy, Sumit. The Joint Family Tradition: Confession I grew up in a joint family that was trying hard to delay the inevitable. Didownload dari http://www.humanbeams.com/seelife/jointfamily.html Download pada tanggal 15 Mei 2012. 29 Ibid. Par 3. 30 Razzaq, Sadia. Op. Cit. Par 5.
28
16
yang perlu digaris bawahi lebih lanjut, yakni berhubungan dengan pola pengasuhan anak. Dalam suatu keluarga dengan strata ekonomi menengah ke atas, maka seorang anak seringkali sangat dimanjakan oleh orangtua mereka. Besar kemungkinan ketika anak ini menikah, maka ia belum tentu bersedia dibebani urusan domestik termasuk merawat mertua serta saudarasaudara muda dari suaminya. 31 Keluarga gabungan jarang terjadi pada keluarga kelas menengah di Pakistan. Kondisi ini disebabkan karena masalah ekonomi dalam suatu keluarga menjadi sumber perselisihan utama jika keluarga gabungan tetap dipertahankan. Pada akhirnya, maka rumah tangga netral yang sesuai dengan prinsip Islam yang kemudian dipertahankan sebagai bentuk keluarga yang paling menguntungkan banyak pihak. Tugas seorang isteri dalam Islam hanya terfokus pada merawat suami dan anak-anaknya, namun jika terjadi kondisi khusus, maka sang isteri juga diwajibkan untuk merawat orangtua kandung dan mertuanya. Dalam konsep peran seorang perempuan sebagai pengasuh (mothering), maka Jaggar sependapat dengan konsep yang diajukan oleh Adrinne Rich dalam Of Woman Born. Jaggar melihat bahwa praktek pengasuhan anak pada akhirnya akan mengalienasi, memisahkan, serta mengasingkan seorang ibu terhadap anak-anaknya. Kondisi strukturasi patriarkis menghendaki suatu kebergantungan mutual yang ekstrim antara seorang ibu dengan anak-anaknya sehingga kemudian seorang ibu mendefinisikan anak-anaknya mengacu kepada kebutuhannya sendiri untuk mendapatkan pengakuan, baik dalam hal makna, cinta, maupun pengakuan secara sosial. Anak berubah menjadi produk yang merupakan representasi keberhasilan pengasuhan seorang ibu. Tak jarang anak dijadikan produk yang harus lebih baik hidupnya daripada diri ibu itu sendiri.32 Dorothy Dinnerstein seorang feminis psikoanalisis melihat kecenderungan bahwa seorang anak secara pelan tapi pasti memisahkan diri dari ibunya dan melihat ibunya adalah suatu objek yang melakukan terlalu sedikit atau terlalu banyak terhadap mereka.33 Dinnesrtein melihat bahwa konsep pengasuhan paling ideal adalah ketika seorang perempuan yang menjadi ibu, mampu memposisikan dirinya sebagai teman untuk anak-anaknya, bukannya seseorang mahluk pengasuh yang dikonstruksikan masyarakat menjadikan anak-anaknya sebagai seorang anak yang sempurna. Ketika seorang ibu bertindak sebagai objek pengasuh belaka, dan tidak mampu memposisikan dirinya sebagai teman anak-anaknya maka pada saat itu akan muncul batas strukturasi pengasuhan yang mengalienasi perempuan tersebut dari anak-anaknya. c. Peran perempuan dalam keluarga gabungan berkaitan dengan kapasitas intelektual Sebuah alternatif lain, selain mengaitkan subordinasi perempuan dengan hubungan produksi adalah suatu anggapan bahwa hakikat subordinasi perempuan terletak dalam relasi sosial reproduksi. Sebagian besar feminis Marxis mendefinisikan pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan yang tidak produktif namun tetap dipandang sebagai upaya untuk mereproduksi daya kerja. Sedangkan secara khusus, maka dapat dikatakan bahwa perempuan di sisi lain selain peran keibuan adalah mempunyai peran untuk mereproduksi tenaga kerja serta analisis terhadap kekuatan dan relasi produksi secara umum.34
Ibid. Par 6. Tong, Rosemarie Putnam. Op. Cit. Halaman 185. 33 Ibid. Halaman 185. 34 Pembedaan antara produksi dan reproduksi bukan hanya merupakan hal yang semu dan tidak masuk akal, namun hal ini juga merupakan bantahan terhadap klaim Marx bahwa dua proses tersebut sepenuhnya saling berhubungan, karena bagi Marx, setiap proses produksi secara bersamaan adalah juga proses reproduksi. Beechey (1979) dan Walby (1986) dalam Barrett dan McIntosh (1979: 102)
31 32
17
Dalam suatu strukturasi masyarakat yang patriarkis sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh para Marxian, maka perempuan memang memiliki semacam kekalahan historis karena perempuan mempunyai fungsi biologis sebagai agen reproduksi. Karenanya, ketika masa kepemilikan pribadi muncul, maka sejumlah laki-laki mempunyai kepentingan untuk mewariskan hak milik pada keturunannya, dan karena hal tersebut, mereka membutuhkan fungsi biologis yang dimiliki oleh perempuan dan kemudian berusaha memiliki dan memonopoli kemampuan reproduksi perempuan tersebut melalui lembaga pernikahan yang sah.35 Kembali pada alienasi model Alison Jaggar, maka dalam tatanan masyarakat patriarkis, peran perempuan sebenarnya tak lebih dari apa yang dikiaskan oleh para Marxian tersebut. Perempuan hanyalah bertindak sebagai agen produksi maupun reproduksi yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Seorang perempuan, yang bisa jadi dirinya mempunyai suatu gagasan yang berkaitan dengan kemampuan intelektualitasnya, misalnya, maka perempuan tersebut akan merasa tidak yakin bahwa apa yang dikemukakannya itu benar, selama subordinasi dari lakilaki perempuan tersebut meragukan hal itu. Perempuan cerdas dengan kapasitas intelektual yang memadai katakanlah, maka ia mempunyai suatu ketakutan karena efek subordinasi patriarki akan membuatnya beranggapan bahwa ia hanya berpura-pura memiliki kapasitas intelektual, namun bukan pemilik sesungguhnya dari intelektualitas itu sendiri. Oleh karena itu, selama seorang perempuan hidup dalam suatu masyarakat yang kerangka wacananya diciptakan oleh laki-laki, maka selamanya perempuan tersebut hanya dianggap sebagai seorang pelengkap, bukan penemu, pelopor, ataupun perintis. Perempuan yang berada dalam suatu keluarga gabungan, maka ia hanya akan berada dalam suatu lingkaran penjara didalam penjara berkaitan dengan kapasitas intelektualnya. Penjara pertama adalah penjara berupa perkawinan itu sendiri. Suatu masalah yang bisa dikatakan kecil, misalnya pemberian nama anak maka tak jarang seorang perempuan harus mendiskusikan wacana pemberian nama ini kepada suaminya. Padahal jika kita telusuri, maka pemberian nama anak mutlak sepenuhnya adalah hak perempuan karena perempuan yang mengandung anak tersebut selama sembilan bulan sepuluh hari. Dengan demikian dari contoh kecil ini, maka dapat kita simpulkan bahwa perempuan sering tidak dipercaya untuk mengambil suatu keputusan sendiri. Kenyamanan perempuan semakin terusik ketika keluarga besar suaminya ikut memberi nama anak yang dilahirkannya. Perempuan ini berada dalam posisi yang sulit, di mana ketika ia tidak menyetujui usulan keluarga besar suaminya, maka ia akan dianggap salah, namun ketika ia menyetujuinya sementara hati nuraninya tidak menyetujuinya maka selamanya ia hanya akan menjadi figur yang palsu tanpa mempunyai kemampuan untuk menghadapi ketidaknyamanan atas kondisi yang menjadikannya palsu tersebut. 4. Penutup Tradisi yang berkaitan dengan sistem religi merupakan faktor utama yang membuat seorang perempuan harus berada dalam keluarga gabungan. Peran perempuan yang berada dalam suatu keluarga gabungan bersifat tak terbatas. Selain perempuan ini harus bertanggung jawab terhadap keluarga batih mereka sendiri, maka perempuan juga harus melaksanakan tugas yang diberikan dari keluarga luas tempat ia tinggal.
Dalam Jackson, Stevi. Teori Sosial Feminis: Hubungan Reproduksi dan Kontrol terhadap Seksualitas Perempuan. Dalam Jackson, Stevi dan Jackie Jones. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer. Terjemahan dari Contemporary Feminist Theories, ed. Stevie Jackson dan Jackie Jones. New York University Press: 1998. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra. Yogyakarta: Jalasutra. 2009. Halaman 32. 35 Ibid. Halaman 32.
18
DAFTAR ACUAN Buku Teks: El Sadawi, Nawal. Perempuan dalam Budaya Patriarki: The Hidden Face of Eve. Penerjemah Zulhilmiyasri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Goode, William J. Sosiologi Keluarga: The Family. Diterjemahkan oleh Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bina Aksara. 1983. Jackson, Stevi dan Jackie Jones. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer. Terjemahan dari Contemporary Feminist Theories, ed. Stevie Jackson dan Jackie Jones. New York University Press: 1998. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Jalasutra. Yogyakarta: Jalasutra. 2009. Khairuddin. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahaya. 1985. Notopuro, Hardjito. Peranan Wanita dalam masa Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1984. Prana, Wied. Gandhi Manusia bijak dari Timur: Biografi Singkat Mahatma Gandhi 1869-1948. Yogyakarta: Garasi. 2010. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga: tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Suhendi, Hendi dan Ramdhani Wahyu. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka Setia. 2001. Sujarwa, Rachmad. Polemik Gender, antara Realitas dan Refleksi: Sebuah Kajian Sosiologi Fenomenologis cetakan pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Arus utama Pemikiran Feminis. Pengantar: Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. 2010. Wangsanegara, Soewaryo. Ilmu Sosial Dasar: Modul 1 sampai dengan 3 Cetakan Pertama. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1986. Waters, Malcolm. Modern Sociological Theory Chapter 8: Gender and Feminism. New York: Sage Publication. 2000. Wiranata, I Gede AB. Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Jurnal Ilmiah: Donner, Henrike. Domestic Goddesses: Maternity, Globalization and Middle-Class Identity in Contemporary India. Ashgate Publishing Ltd, Hampshire, United Kingdom. ISBN 0754649423. 2008.
19
Makalah: Greiff, Shaina. Tak Ada Keadilan dalam Justifikasi: Kekerasan terhadap Perempuan atas Nama Budaya, Agama, dan Tradisi. Dalam Publikasi Kampanye: Violence is Not Our Culture. Maret 2010. Artikel: Anonim. Dowry: A Socio Cultural Perspective. Didownload dari www.islamawareness.com. Download pada tanggal 14 Mei 2012. Parma, Anjali. Essay and Article on: Advantage and Disadvantage of Joint Family System. Dalam Top Quality Essays and Article. Didownload dari www.seopressor.com. 26 Maret 2012 Download pada tanggal 14 Mei 2012. Roy, Sumit. The Joint Family Tradition: Confession I grew up in a joint family that was trying hard to delay the inevitable. Didownload dari http://www.humanbeams.com/seelife/jointfamily.html Download pada tanggal 15 Mei 2012. Utama, Ananda. Kebudayaan India. Artikel Ilmiah Jumat, 15 April 2011 Gunadarma University. http://www.indianchild.com/culture%20_1.htm Download tanggal 15 Mei 2012. Internet: Baber, Ray Erwin. Marriage and The Family. McGraw-Hill Book Company: University of California. 1939. Didigitalkan tanggal 26 Oktober 2007. Didownload dari googlebooks.com. Download pada tanggal 27 Mei 2012. Razzaq, Sadia. Influence of Joint Family System on Socio Economic Development of Pakistan. Didownload dari www.articlebase.com>home>page>newsandsociety>culture. 1 Februari 2010 Download pada tanggal 14 Mei 2012.
20