You are on page 1of 12

Pengertian kepailitan dan Dasar hukum kepailitan Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang

karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran. Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya. Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata Bankrupct adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dimana semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih atau persero-persero Sejarah Dan Perkembangan Aturan Kepailitan Di Indonesia Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri. Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi

menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK). Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali. Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998. Perkembangan Substansi Hukum Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain: 1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time. 2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.

3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan. 4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek. 5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan. Pertanyaan: UU Kepailitan melindungi siapa? apakah Melindungi Pihak Kreditor atau Debitor? Jawab: Melndungi hak kedua-dua pihak baik kreditor maupun debitor, hal tersebut terdapat dalam pasal-pasal UUK. Mengenai Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pembahasan mengenai Hukum Kepailitan selanjutnya. Syarat-Syarat Untuk Mengajukan Permohonan Pailit

Terdapat Lebih dari satu Kreditor, adapun dapat dikatakan lebih dari satu Hutang. Dari Hutang-utang tersebut terdapat salah satu Hutang yang sudah Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih.

Siapakah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit? Adapun Udang-undang mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailiit, yaitu: 1. Pihak Debitor itu sendiri 2. Pihak Kreditor 3. Jaksa, untuk kepentingan umum 4. Dalam hal Debitornya adalah Bank, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia

5. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka pihak yang hanya dapat mengajukan permohonan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) 6. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-Asuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan Publik maka pihak yang mengajukan adalah Mentri Keuangan. Yang perlu diingat sehubungan dengan para pihak-pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat diketahui apabila seorang pemohon tersebut adalah Debitor orang-perorangan dalam prosesnya maka harus ditinjau terlebih dahulu apakah pihak tersebut masih terikat dalam suatu perkawinan dan apakah perkawinan tersebut mempunyai perjanjian pemisahan harta?. Hal sangat penting sekali sebab orang yang terikat dalam suatu perkawinan(baik suami maupun istri) yang tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta (maka ada harta bersama/campuran) tidak dapat mengajukan permohonan pailit tanpa sepengetahuan pasangannya(suami /istri) , adapun alasannya arena pailit itu mempunyai akibat hukum terhadap harta. Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:

UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran; UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134. Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)

http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html

Sejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia Document Transcript

1. SEJARAH HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA<br />HAK ISTIMEWA YANG HARUS DIDAHULUKAN:1. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1137 ayat (1)KUH Perdata:<br />Hak (tagihan, penulis) dari Kas Negara, Kantor Lelang, dan badan publil lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah, harus didahulukan dalam melaksanakan hak tersebut, dan jangka wakktu berlakunya hak tersebut diatur dalam berbagai undangundang khusus mengenai hal-hal itu.<br />Hak-hak yang sama dari persatuanpersatuan (gemeenschappen) atau kumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen) yang berhak atau baru kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea, diatur dalam peraturan-peraturan yang sudah ada akan akan diadakan tentang hal itu. <br />(Termasuk tagihan pajak, bea dan biaya Kantor Lelang merupakan Hak Istimewa yang hams didahulukan pelunasannya dari tagihan yang dijamin dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan Debitor pailit dilikuidasi.)2. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam ayat (3) Pasal 21 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan Undang- undang No. 9 Tahun 1994.<br />3. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1139 ayat (1) KUH Perdata, yaitu biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak.<br />4. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1149 angka (1) KUH Perdata, yaitu biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.5. Imbalan Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUK dan Pasal 67D jo Pasal 69 UUK.Sumber Hukum Kepailitan Indonesia:<br />1. KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134.<br />2. Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No.348 sepanjang belum diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan.<br />3. Undangundang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atal Undang-undang Kepailitan.<br />4. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 90.<br />SEJARAH HUKUM KEPAILITAN INDONESIA<br />PendahuluanPada tanggal 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Pembahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara R.I. Tahun 1998 No. 87 (Undang-undang Kepailitan). Perpu tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat

untuk menjadi undang-undang dan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undangundang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI I Tahun 1998 No. 135).<br />Undang-undang Kepailitan Sebelum 1945<br />Mula-mula, kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348). Peraturan ini berlaku untk pedagang saja.Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348.<br />Adanya dua buah peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang hams ditempuh; biaya tinggi; terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.<br />Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud tersebut, maka pada tahun 1905 telah diundangkad Faillissementsverordening (S. 1905217). <br />Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening November ter invoering van de Faillissementsverordening Faillissementsverordening Pasall 899 sampai (S. 1906-348), maka Pasal Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal I 1906.Dengan Buku berlakunya III, Bab tersebut, dengan dicabutlah:<br />1. Seluruh Buku HI dari WVK.<br />2. Reglement op de Rechtsvordering, Ketujuh, 915.Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh

pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan sebagai berikut:<br />- Golongan Eropa<br />Golongan Bumiputra<br />Golongan Timur Asing yang dibagi lagi ke dalam:<br />Golongan Timur Asing Cina dan<br />- Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab dan Iain-Iain).<br /> Undang-undang Kepailitan Sejak 1945<br />Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun sejarah yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan). Kurun-kurun sejarah itu ialah tahun 1945-1947, tahun 1947-1998 dan tahun 1998-sekarang.Tahun 1945-1947<br />Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai berikut:<br />" Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini" .<br />Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.<br />Tahun 1947<br />Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissmenten 1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagj penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai, sehingga dengan demikian Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.Tahun 1947-1998<br />Di dalam praktik, Faillissementsverordening relatif sangat sedikit digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan itu di tengah-tengah masyarakat, kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke masyarakat sangat minim. Awalnya, Faillissementsverordening itu hanya berlaku untuk pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang Barat saja. Akibatnya, Faillissementsverordening itu tidak dirasakan sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, dan karena itu pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.Faktor penyebab lain ialah karena sebagian besar masyarakat pedagang atau pengusaha pribumi Indonesia dan para pengusaha menengah dan kecil masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar-besar. Pada umumnya pula mereka masih melakukan transaksi dalam lingkungan yang terbatas. Sebagian besar

masyarakat pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem hukum bisnis Barat. Antara lain mereka belum:<br />- melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas,<br />- menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat berharga,<br />-melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.<br />Karena persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan peradilan, maka masyarakat merasa tidak ada sarana yang efektif yang dapat digunakan Kreditor untuk dapat melindungi kepentingannya, khususnya agar Debitor yang nakal dapat melunasi kewajibannya, jika perlu dengan melakukan paksaan secara hukum melalui pengadilan.<br />Tahun 1998-Sekarang<br />Pada bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang kemudian diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.<br />Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.<br />Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak Debitor yang hubungi oleh para Kreditornya karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.<br />Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Mengingat upaya restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan Faillissementsverordening yang berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka masyarakat Kreditor, terutama masyarakat Kreditor luar negeri, menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti atau diubah. <br />IMF sebagai

pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para Kreditor luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, maka IMF mendesak pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissementsverordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para Kreditornya. <br />Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan, dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening).<br />Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul Perpu tersebut, karena selama ini Faillissementsverordening kita kenal dengan naffi* sebutan " Peraturan Kepailitan" dan bukan " Undang-undang KepaiW* an" . Oleh penyusun Perpu, kata " verordening" dalam FaillissementS' verordening telah diterjemahkan dengan kata " Undang-undang" - Perpu No. 1 Tahun 1998. Kemudian diterbitkannya Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 maka 5 bulan kemudian Perpu Kepailitan dan perubahan atas Kepailitan itu ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998.<br />Pada saat tulisan ini selesai dibuat, suatu tim di bawah Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM telah selesai menyusun draft RUU tentang Kepailitan yang baru itu dan telah diajukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Mengingat dugaan sebelumnya bahwa pelaksanaan Perpu No. 1 Tahun 1998 (yang telah menjadi UU No. 4 Tahun 1998) akan menimbulkan banyak kekecewaan, dan ternyata dugaan itu terbukti, maka kebutuhan untuk mempunyai undang-undang kepailitan yang lebih baik sudah sangat mendesak pada saat ini. Diharapkan RUU tentang Kepailitan yang baru itu dapat diundangkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.<br />Latar Belakang Perubahan<br />Faillissementsverordening Menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Untuk memahami terjadinya perubahan terhadap Faillissementverordening hingga menjadi Undang-undang Kepailitan, yaitu UU No. 4 1998, perlu diketahui latar belakang mengapa perubahan itu dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan adalah: <br />- Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian

nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepan Kreditor.<br />Untuk memberikan kesempatan kepada pihak Kreditor pada perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif.<br />- Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang & Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku, yaitu Faillissementsverordening atau Undangundang tentang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi penyelesaian utang-piutang tadi. Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh Debitor dan para Kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utangpiutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelengaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya.<br />- Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap be-berapa ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.- Penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif, yaitu: penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan kepailitan. <br />- Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang

dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Kreditor, atas kekayaan Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. <br />- Peneguhan fungsi Kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Kurator. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Kurator berikut kewajiban mereka.- Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak di antara Kreditor yang memegang Hak Tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan-perikatan yang telah dibuat Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.<br />- Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam bagian KEDUA Undang-undang Kepailitan.<br />Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang mau menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga berupa Pengadilan Niaga dengan hakim-hakimnya yang & bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga bukan merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.<br />- Mengenai Pengadilan Niaga, dapat dikemukakan bahwa Pengadilan Niaga bukan merupakan badan peradilan baru di luar badan-badan peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut, tetapi hanya sekadar merupakan chamber khusus yang baru dalam Peradilan Umum. Jadi, bukan badan peradilan yang berdiri sendiri. Dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. <br />- Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.<br />-

Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 bukan merupakan Undang-undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekadar mengubah dan menambah Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 Jo S. 1906 No. 348. Faillissementsverordening terdiri dari 279 pasal, sedangkan UU No. 41 Tahun 1998 mencabut 6 pasal (Pasal 14A, 19, 218, 219, 221 dan 272) dan 1 ayat (Pasal 149 ayat (3)). Terdapat 93 pasal yang diubah dan menambah 10 pasal baru. Dengan demikian jumlah pasal UU No. 4 Tahun 1998 adalah 282 pasal.<br />RUU Kepailitan.<br />Pada waktu Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan untuk ditetapkan sebagai undang-undang, terjadi perbedaan pendapat di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu tersebut. Salah satu syarat IMF akan memberikan dana adalah apabila Indonesia mempunyai UU Kepailitan dan akhirnya disepakatilah bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4 Tahun 1998 diundangkan, yaitu sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru kepada DPR RI.<br />Sesuai dengan kesepakatan tersebut seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999 Pemerintah sudah harus menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998. Namun karena berbagai alasan dan hambatan ternyata RUU tersebut tertunda penyelesaiannya. Pada hakikatnya perbedaanya tidak terlalu, tetapi ada beberapa ketentuan2 lama yang dihapuskan.<br />

http://www.slideshare.net/joehasan/sejarah-hukum-kepailitan-di-indonesia

You might also like