You are on page 1of 96

PENEGAKAN DIAGNOSIS FARINGITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT ET CAUSA GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Dibuat oleh: Dianita Rachmawati,Modifikasi terakhir pada 20 hour(s) 9 minute(s) ago ABSTRAK GERD (Gastroesofageal reflux disease) adalah kondisi dimana cairan yang berasal dari lambung mengalami regurgitasi ke dalam esophagus. Cairan lambung yang mengalami regusrgitasi biasanya mengandung asam dan pepsin yang diproduksi di lambung Asam lambung inilah yang dapat menyebabkan inflamasi esophagus dan bila sampai laring dan faring dapat pula menyebabkan faringitis dan laryngitis. Gejalanya meliputi rasa seperti terbakar yang disertai perasaan nyeri saat menelan. Keyword : Faringitis Kronis , Gastro-Esophageal Refluks Disease (GERD) KASUS Seorang laki-laki berusia 51 tahun dating ke Poliklinik THT dengan keluhan nyeri pada tenggorokan sejak 2 hari yang lalu. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk maupun pilek. Pasien mengaku tenggorokannya terasa kering dan panas seperti terbakar serta adanya nyeri saat menelan. Pasien merasakan di tenggorokannya seperti ada yang mengganjal. Keluhan ini sering dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 bulan yang lalu terutama setelah maagnya kambuh. Riwayat menderita sakit maag dan sering mengeluhkan mual dan terasa panas seperti terbakar pada dada yang terutama dikeluhkan saat pasien mengkonsumsi kopi/teh. Pasien juga merasakan demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri ulu hati disertai mual sejak 2 hari yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, compos mentis, Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88x/menit, suhu afebris, laju pernapasan 22x/menit. Pada pemeriksaan tenggorokan didapat dinding faring hiperemis, terdapat granul dan neovaskularisasi, tidak terdapat pembesaran tonsil, limfonodi tak teraba. Pada pemeriksaan abdomen didapat nyeri pada bagian epigastrium. DIAGNOSIS Faringitis Kronis et causa Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) TERAPI Terapi pada pasien ini berupa Proton Pump Inhibitor yaitu Omeprazol 1x20 mg. DISKUSI GERD (Gastroesofageal reflux disease) adalah kondisi dimana cairan yang berasal dari lambung mengalami regurgitasi ke dalam esophagus. Cairan lambung yang mengalami regusrgitasi biasanya mengandung asam dan pepsin yang diproduksi di lambung. Asam lambung inilah yang dapat menyebabkan inflamasi esophagus dan bila sampai laring dan faring dapat pula menyebabkan faringitis dan laryngitis. GERD disebabkan oleh kadar asam lambung yang tinggi, sedangkan faktor- factor yang dapat mempengaruhi terjadinya GERD antara lain : sfingter bawah esophageal, hiatal hernia, kontraksi esophageal dan pengosongan lambung. Tanda dan gejalanya meliputi Rasa seperti terbakar adalah gejala yang paling sering terjadi, erosi pada esophagus (erosive esofagitis), Suara parau (disfonia) kronik karena edema dan lesi inflamasi pada plika vokalis, Clearing faring kronis karena iritasi serta peningkatan sekresi mukosa faring serta kesulitan menelan (odinofagi), Tenggorokan serasa tercekik. Pada kasus ini pasien mengeluh nyeri seperti terbakar dan panas di tenggorokannya yang disertai nyeri saat menelan yang dirasakan selama 2 hari yang lalu tetapi kambuh-kambuhan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mempunyai riwayat sakit maag Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan esophagogram, endoscopy, laryngoscopy, esophageal pH monitoring, dan esophageal motility studies. Akan tetapi pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan tersebut karena

keterbatasan alat. Terapi pada GERD adalah dengan pemberian obat-obat yang dapat mengurangi kadar asam lambung, dapat berupa golongan antacid, H2 blocker ataupun Proton Pump Inhibitor. Yang disertai dengan manajemen terapi non medikasi yang terdiri atas , Hindari makanan berlemak, minuman berkafein (seperti soda, kopi, dsb), cokelat, mint, makanan pedas, makanan berbahan dasar tomat, bawang putih dan merah, berhenti merokok , tidak minum alcohol , mengurangi berat badan jika berlebih, tinggikan kepala ketika tidur ,kurangi makan saat malam , setelah makan tunggu beberapa jam (minimal 4 jam) sebelum tidur atau berbaring, biarkan lambung kosong terlebih dulu, diet tinggi karbohidrat, protein dan rendah lemak, mengindari pakaian yang ketat , menghindari konsumsi obat-obatan yang menurunkan tekanan sfingter esophagus seperti teofilin, agen antikolinergik, alfa adrenergic antagonis, beta-agonis, kalsium channel blocker, nitrat, serta obat-obatan NSAID seperti aspirin. KESIMPULAN GERD (Gastroesofageal reflux disease) adalah kondisi dimana cairan yang berasal dari lambung mengalami regurgitasi ke dalam esophagus. Asam lambung inilah yang dapat menyebabkan inflamasi esophagus dan bila sampai laring dan faring dapat pula menyebabkan faringitis dan laryngitis. Gejalanya meliputi rasa seperti terbakar yang disertai perasaan nyeri saat menelan. Pada pasien ini didiagnosis faringitis kronis et causa gastroesofageal reflux disease (GERD) didapat dari anamnesis yaitu rasa panas seperti terbakar dan nyeri saat menelan, keluhan ini kambuh jika maagnya kambuh sejak 2 bulan yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik yaitu dinding faring hiperemis, terdapat granul dan neovaskularisasi yang menunjukkan kondisi kronis pada faring (faringitis kronis). REFERENSI Acerra, John, M.D. Acute Pharyngitis. Diakses dari www.emedicine.com. Ahuja, Vanita,M.D, Yencha, Myron,M.D, Lassen, Lorenz,M.D. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux Disease. Diakses dari www.americanacademyofamilyphysicians.com. Soepardi, Effiaty,Sp.THT, Iskandar, Nurbaiti, Sp.THT. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.2007.FKUI:Jakarta. Weinberg DS, Kadish SL. The diagnosis and management of gastroesophageal reflux disease.Med Clin North Am 1996;80:41129. PENULIS Dianita Rachmawati, Ilmu Penyakit THT, RSUD Salatiga

Intubasi Endotracheal Tube pada Pasien Struma Nodusa Non Toksik dengan General Anestesi
Dibuat oleh: M. Sudrajat,Modifikasi terakhir pada 4 hour(s) 18 minute(s) ago ABSTRAK Endotracheal Tube (ETT) adalah sejenis alat yang digunakan di dunia medis untuk menjamin saluran napas tetap bebas, ETT banyak digunakan oleh dokter dengan spesialisasi anestesi dalam pembiusan dan operasi. ETT dimasukkan kedalam trakea pasien untuk memastikan tidak tertutupnya trachea sebagai saluran pernapasan dan udara pernapasan dapat masuk kedalam paru-paru. ETT adalah alat yang paling tepercaya dalam menjamin saluran napas tetap bebas. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Kata Kunci: Endotracheal Tube, Struma Nodusa Non Toksik KASUS Seorang wanita usia 47 tahun datang ke poli bedah RS Jogja dengan keluhan terdapat benjolan pada leher depan, benjolan dirasakan sejak beberapa bulan ini. Benjolan ikut bergerak ketika menelan, tidak ada nyeri telan dan nyeri tekan. Pasien

belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, riwayat hipertensi, penyakit jantung, DM, asma, dan alergi disangkal. Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat hipertensi, peyakit jantung, DM, asma dan riwayat alergi dalam keluarga disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72 x/menit, respirasi rate 18 x/menit, suhu 36,5 oC. Pada pemeriksaan leher tampak massa pada leher bagian depan, diameter 4 cm, massa bergerak ketika menelan. Pada perabaan leher teraba massa pada leher depan, konsistensi lunak, nyeri tekan (-), permukaan licin dan rata tidak berbenjol benjol. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. T3 dan FT4 N. Pemeriksaan foto thorax menunjukkan pulmo dan besar jantung dalam batas normal. DIAGNOSIS Struma Nodusa Non Toxic, ASA I TERAPI Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah Ondancentron HCl 4 mg intravena, Ketorolac 30 mg intravena. Anestesi dilakukan dengan teknik general anestesia, dengan teknik semi closed, respirasi terkontrol dengan endotracheal. Induksi dengan Propofol 100 mg intravena. Pemeliharaan dengan N2O 2,5 liter/menit, O2 2,5 liter/menit, dan halotane 1,5 vol%. Pada pasien ini dilakukan monitoring melalui monitor elektronik dan inspeksi keadaan umum pasien, meliputi tekanan darah, respirasi, nadi, dan saturasi oksigen. Setelah operasi pasien diposisikan miring, pengawasan vital sign setiap 30 menit, kepala diekstensikan, oksigenasi sampai pasien sadar, setelah sadar dapat diet bebas, dan IVFD RL 20 tetes per menit. DISKUSI Pada kasus ini, pasien mengeluh muncul benjolan pada leher depan kanan. Oleh dokter spesialis bedah didiagnosis struma nodusa dan direncanakan untuk dilakukan operasi. Pasien mendapatkan tindakan general anestesi untuk operasinya. Pada pelaksanaan operasi, dipasang intubasi endotrakheal pada pasien sebagai pengelolaan jalan nafas. Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali. Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi, salah satu caranya adalah dengan melakukan intubasi endotrakheal. Intubasi endotrakheal adalah tindakan memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan. Intubasi endotrakheal mempunyai tujuan mempermudah pemberian anestesi, mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung, mempermudah pengisapan sekret trakheobronkhial, pemakaian ventilasi mekanis yang lama, mengatasi obstruksi laring akut. Walaupun intubasi endotrakheal mempunyai banyak keuntungan, namun pada keadaan tertentu melarang penggunaan intubasi endotrakheal, diantaranya beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan dilakukan intubasi endotrakheal, trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebrae servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi endotrakheal. Intubasi endotrakheal tidak selalu mudah dilakukan untuk semua pasien, kesukaran yang biasa dijumpai adalah pasien dengan otot-otot leher pendek dengan gigi geligi yang lengkap, recording lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul, jarak antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang elebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. Gigi incisivum yang menonjol, kesukaran membuka rahang. Abnormalitas pada servikal spine, kontraktur jaringan leher. Pada tindakan operasi kasus ini, penggunaan intubasi endotrakheal dimaksudkan untuk mengamankan jalan nafas dan menjamin ventilasi pernafasan. Karena intubasi endotrakheal merupakan metode terbaik untuk membebaskan dan mempertahankan jalan nafas pada praktek anestesi dan resusitasi. Selain terdapat indikasi diatas, pada pasien tidak ditemukan

kontraindikasi penggunaan intubasi endotrakheal. Sehingga pemasangannya pada pasien ini tergolong aman. Tindakan intubasi endotrakheal ini sebenarnya dapat menyebabkan rangsangan simpatis yang membangkitkan respon kardiovaskuler, menyebabkan kenaikan sementara laju jantung dan tekanan darah. Untuk mengurangi laju lonjakan kardddiovaskuler tersebut diperlukan intubasi dengan cepat dan mulus. Pada pasien ini dilakukan intubasi endotrakheal dalam waktu < 1 menit. Prosedur pemasangan intubasi juga sudah tepat yaitu dimulai dengan persiapan posisi leher pasien dalam keadaan fleksi dan kepala ekstensi, pada pemeriksaan tidak didapatkan malampati, pemberian muscle relaxan dan oksigenasi, penggunaan laringoskop, pemasangan pipa endotrakheal mengontrol letak pipa dan ventilasi. Setelah tindakan anestesi selesai, pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya komplikasi dari tindakan intubasi, tidak ada malposisi dan trauma jalan nafas, gangguan refleks berupa hipertensi maupun takikardi. DAFTAR PUSTAKA - Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com - Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. - Mangku, Gde dan Senapathi, Tjokorda GA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta. - Mansjoer, Arif dkk. 2005. Intubasi Trakea, Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. - Muhiman, M. 2000. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi Intensif. FK UI. PENULIS Mohammad Sudrajat. 20060310204. Bagian Ilmu anestesiologi. Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta. 2012

Corpus Alienum pada Pekerja Bengkel


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Kemarin 08:10 ABSTRAK Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas secara Corpus alienum pada mata adalah istilah untuk benda asing yang terdapat pada mata serta merupakan salah satu penyebab cedera mata yang paling sering mengenai sclera, kornea, dan konjungtiva. Apabila suatu korpus alienum masuk ke dalam bola mata maka bisa terjadi reaksi infeksi serta dapat dimungkinkan timbul kerusakan bola mata. Oleh karena itu corpus alienum harus diambil secepatnya untuk menghindari reaksi inflamasi dan kerusakan lebih lanjut. Keywords: Corpus Alienum, mata Kasus Seorang laki-laki 53 tahun 5 hari yang lalu ketika di bengkel tempatnya bekerja pasien merasa mata kirinya kelilipan, kemudian terasa mengganjal terutama saat memejamkan mata/berkedip. Pegal (+), silau (+), Pandangan kabur (-), nerocos (-). Keesokan harinya pasien berusaha mengambil kelilipan tersebut menggunakan kertas, namun masih terasa mengganjal. Belum diobati, sebelumnya pernah mengalami hal serupa dan sembuh. Pemeriksaan Subyektif PEMERIKSAAN OD OS Visus Jauh 20/20 20/20 Refraksi Emetrop Emetrop Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan Proyeksi Sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan Proyeksi Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan Pemeriksaan Obyektif PEMERIKSAAN OD OS PENILAIAN 1. Sekitar mata (supersilia) Kedudukan alis baik, jaringan parut (-) Kedudukan alis baik, jaringan parut (-) 2. Kelopak mata - Pasangan Simetris Simetris - Gerakan Tidak ada gangguan gerak Tidak ada gangguan gerak - Lebar rima Ptosis (-), pseudoptosis (-) Ptosis (-), pseudoptosis (-) - Kulit Hiperemis (-), tumor (-) Hiperemis (-), tumor (-) - Tepi kelopak Silia lengkap, trikiasis (-) Silia lengkap, trikiasis (-) - Margo intermarginalis Tanda peradangan (-) Tanda peradangan (-) 3.

Apparatus Lakrimalis - Sekitar gland. lakrimalis Tanda radang (-) Tanda radang (-) - Sekitar sakus lakrimalis Tanda radang (-) Tanda radang (-) - Uji flurosensi Tidak dilakukan Tidak dilakukan - Uji regurgitasi (-) (-) 4. Bola mata - Pasangan Simetris Simetris - Gerakan Gangguan gerak (-) Gangguan gerak (-) - Ukuran Makroftalmos (-) Mikroftalmos (-) Makroftalmos (-) Mikroftalmos (-) 5. TIO Palpasi kenyal Palpasi kenyal 6. Konjungtiva - Palpebra superior Hiperemi (-) Hiperemi (-) - Forniks Hiperemi (-) Hiperemi (-) - Palpebra inferior Hiperemi (-) Hiperemi (-) - Bulbi Hordeolum (-), hiperemis (-), kalazion (-) Hordeolum (-), hiperemis (-), kalazion (-) 7. Sclera Ikterik (-) Ikterik (-) 8. Kornea - Ukuran 12 mm O 12 mm O Kecembungan Lebih cembung dari sclera Lebih cembung dari sclera - Limbus Benjolan (-) Nevus (-) Benjolan (-) Nevus (-) - Permukaan Licin, berkilau Licin, tampak ada benda hitam kecil - Medium Jernih Jernih - Dinding Belakang KP (-) KP (-) - Uji flurosensi Tidak dilakukan Tidak dilakukan - Placido Konsentris reguler Konsentris reguler 9. Kamera Okuli anterior Ukuran Tidak dangkal Tidak dangkal - Isi Jernih, hifema (-) Jernih, hofema (-) 10. Iris - Warna Coklat Coklat - Pasangan Simetris Simetris - Gambaran Gambaran kripti baik Gambaran kripti baik - Bentuk Bulat Bulat 11. Pupil - Ukuran 3 mm 3 mm - Bentuk bulat bulat - Tempat Ditengah iris Ditengah iris - Tepi Reguler Reguler - Refleks direct + + - Refleks indrect + + 1. Lensa - Ada/tidak Ada Ada - Kejernihan Jernih Jernih - Letak Di tengah belakang iris Di tengah belakang iris - Warna kekeruhan Tidak ada Tidak ada 13. Korpus Vitreum Jernih Jernih 14. Refleks fundus (+) warna orange (+) warna orange Diagnosis - OD : Emetrop, sehat - OS : Corpal gram pada permukaan kornea mata kiri Terapi 1. Amotio corpal : - Diberikan anestesi pada mata kanan pasien dengan pantokain 0,5% sebanyak 1 tetes. - Dagu dan dahi pasien diposisikan menghadap dan menempel pada biomikroskop serta pandangan mata mengarah pada satu titik secara tetap sebagai fiksasi ketika pengambilan benda asing dilakukan. - Pengambilan benda asing dilakukan dengan menggunakan jarum ukuran 25-27, dan debris kornea yang tertinggal dihilangkan dengan cutton but steril. - Setelah pengambilan, bila dirasa benda asing menancap cukup dalam, dapat dilakukan seidel test untuk memastikan ada tidaknya perforasi kornea. 2. Setelah pengambilan benda asing, diberikan salep antibiotik (gentamisin 0,3%). Pemakaian salep tersebut juga berfungsi sebagai lubrikan. Sedangkan antibiotik tetes diberikan pada pasien untuk pemakaian di rumah (gentamisin 3 mg/ml) 4 kali dalam sehari. Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya superinfeksi. 3. Analgesik, dapat diberikan asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari, mengingat kornea yang memiliki banyak serabut saraf sehingga dapat menimbulkan nyeri yang cukup mengganggu bagi pasien. 4. Hendaknya penggunaan kortikosteroid topical harus dihindari karena dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya superinfeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Diskusi Pada kasus ini, pasien mengeluhkan mata kirinya terasa mengganjal, pegal silau dan nyeri. Bermula sejak lima hari sebelum kedatangannya ke poli, pasien tersebut merasa kelilipan ketika sedang bekerja di bengkel dan keesokan harinya pasien berusaha mengeluarkan kelilipan tersebut menggunakan kertas namun masih tetap mengganjal. Dari anamnesis, pasien belum pernah menggunakan obat untuk mengatasi keluhan pada mata kirinya. Setelah anamnesis, dilakukan pemeriksaan subjektif dan objektif pada kedua mata pasien. Pemeriksaan subjektif yang dilakukan berupa pemeriksaan visus jauh dan pemeriksaan refraksi. Didapatkan hasil visi jauh pada baik mata kanan maupun kiri sebesar 20/20, yang menandakan bahwa pasien tidak mengalami kelainan refraksi (emetrop), sehingga tidak ada koreksi yang diberikan. Adapun pada pemeriksaan objektif pada kedua mata dapat diambil kesimpulan seluruh elemen mata kanan (OD) dan kiri (OS) dapat dinilai dari anterior hingga posterior, dan didapatkan data bahwa semua elemen mata dalam kondisi baik kecuali pada permukaan kornea mata kiri tampak suatu bintik kecil benda asing, yang diduga

merupakan gram yang menempel ketika pasien sedang bekerja di bengkel 5 hari sebelumnya. Namun permukaan kornea masih licin dan mengkilap, dan tak tampak adanya infiltrat ataupun kelainan lain yang menyertai. Benda asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa kelompok: 1. Benda logam (metalik), seperti emas, perak, platina, timah hitam, besi tembaga.Terbagi menjadi benda logam magnet dan bukan magnet. 2. Benda bukan logam (non metalik), seperti batu, kaca, bahan tumbuh-tumbuhan, bahan pakaian. 3. Benda inert, yaitu benda yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan reaksi jaringan mata, bila terjadi reaksi hanya ringan saja dan tidak mengganggu fungsi mata, seperti emas, platina batu, kaca, dan porselin. 4. Benda reaktif, terdiri dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata sehingga mengganggu fungsi mata, seperti timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga, dan bulu ulat. Akibat Benda Asing pada Mata Benda asing dapat mengakibatkan : 1. Trauma Erosi konjungtiva atau kornea. Erosi ini timbul apabila benda asing yang masuk tidak sampai menembus bola mata tetapi hanya tertinggal pada konjungtiva atau kornea. 2. Trauma Tembus Trauma tembus adalah suatu trauma dimana sebagian atau seluruh lapisan kornea dan sclera mengalami kerusakan. Trauma ini dapat terjadi apabila benda asing melukai sebagian lapisan kornea atau sclera dan tertinggal di dalam lapisan tersebut. Pada keadaan ini tidak terjadi luka terbuka sehingga organ di dalam bola mata tidak mengalami kontaminasi. Benda asing dengan kecepatan tinggi akan menembus seluruh lapisan sclera atau kornea serta jaringan lain dalam bola mata kemudian bersarang di dalam bola mata ataupun dapat sampai menimbulkan perforasi ganda sehingga akhirnya benda asing tersebut bersarang di dalam rongga orbita atau bahkan dapat mengenai tulang orbita. Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps iris, lensa, ataupun badan kaca. 3. Perdarahan Perdarahan intraokular dapat terjadi apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema (perdarahan dalam bilik mata depan) atau perdarahan dalam badan kaca. 4. Reaksi Jaringan Mata Reaksi yang timbul tergantung jenis benda tersebut apakah benda inert atau reaktif. Pada benda yang inert, tidak akan memberikan reaksi ataupun kalau ada hanya berupa reaksi ringan. Benda reaktif akan memberikan reaksireaksi tertentu dalam jaringan mata. Bentuk reaksinya tergantung macam serta letak benda asing tersebut di dalam mata. Benda organik kurang dapat diterima oleh jaringan mata dibanding benda anorganik. Benda logam dengan sifat bentuk reaksi yang merusak adalah besi berupa siderosis dan tembaga. Timah hitam dan seng merupakan bendan reaktif yang lemah reaksinya. 5. Siderosis Merupakan reaksi jaringan mata akibat penyebaran ion besi ke seluruh mata dengan konsentrasi terbanyak pada jaringan yang mengandung epitel, yaitu : epitel kornea, epitel pigmen iris, epitel kapsul lensa, dan epitel pigmen retina. Timbulnya siderosis sebenarnya sangat dini tetapi tidak memberikan gejala klinik yang jelas sampai beberapa waktu lamanya. Gejala siderosis tampak 2 bulan sampai 2 tahun setelah trauma. Gejala klinik berupa : gangguan penglihatan yang mula-mula berupa buta malam kemudian penurunan tajam penglihatan yang semakin hebat dan penyempitan lapang pandang. Pada mata tampak endapan karat besi pada kornea berwarna kuning kecoklatan, pupil lebar dengan reaksi lambat, bintik-bintik bulat kecoklatan pada lensa dan iris berubah warna. 6. Kalkosis Reaksi jaringan mata akibat pengendapan ion tembaga di dalam jaringan terutama jaringan yang mengandung membrane seperti membrane Descement, kapsul anterior lensa, iris, badan kaca, dan permukaan retina. Tembaga dapat memberikan reaksi purulen. Gejala klinik kalkosis timbul lebih dini dari pada siderosis yaitu beberapa hari setelah trauma. Tembaga dalam badan kaca dapat menimbulkan ablasio retina sebagai akibat jaringan ikat di dalam badan kaca yang menarik retina. 7. Neovaskularisasi Kornea Neovaskularisasi dipercaya sebagai akibat dari adanya suatu peradangan ataupun hipoksia dalam suatu kondisi sistem imun kornea yang tidak seimbang.

Trauma epitel dan/atau hipoksia pada kornea dapat menstimulasi pembentukan faktor-faktor angiogenik oleh sel-sel epitel lokal, keratosit, dan leukosit infiltrative (seperti makrofag, neutrofil). Beberapa dari faktor tersebut (fibroblast growth factors, IL-1, dan vascular endothelial growth factors/ VEGF) telah diidentifikasi dari kornea dan cairan air mata. Faktor angiogenik menstimulasi terjadinya degradasi enzimatik terlokalisasi pada membran dasar ujung pembuluh darah perilimbal, sehingga sel-sel endothelial pembuluh darah bermigrasi dan berproliferasi untuk membentuk suatu pembuluh darah baru. Kesimpulan Pada trauma dimana benda asing berada di permukaan mata tanpa adanya luka perforasi seperti yang terjadi pada kasus ini, umumnya prognosis baik karena benda tersebut dapat langsung dikeluarkan dan akibatnya sangat ringan tanpa meninggalkan bekas ataupun hanya nebula bila di kornea. Pada trauma dimana benda asing menyebabkan luka perforasi sehingga benda asing tersebut berada di dalam bola mata, maka prognosisnya tergantung jenis-jenis benda asing. Referensi 1. Ilyas, Sidarta. (2003). Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2. Vaughan, Daniel. G., Asbury, Taylor., dan Riordan-Eva, paul. (2000). Oftalmologi Umum. Edisi keempat belas. Jakarta : Widya Medika. 3. Cao, Carlos. (2009). Foreign Body Removal, Cornea : Treatment and Medication. Diakses dari www.emedicine.medscape.com pada tanggal 22 Februari 2011. 4. Sitepu, M., Bahri, C., Mahmud, M.D. 1978. Cermin Dunia Kedokteran : Corpus Alienum Intra Oculi. Bagian Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan Penulis Sekar Mutiara (20060310001). Program Profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Penyakit Mata. RSUD Tidar - Magelang.

Anestesi Umum pada Incisi FAM


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Kemarin 08:08 ABSTRAK Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen obat anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik analgesia dan releksasi otot, didapatkan menggunakan obatobatan yang berbeda secarah terpisah. Teknik ini sesuai untuk prosedur pembedahan tertentu untuk mengendalikan pernapasan. Dalam anestesi umum pasien dapat bernafas spontan, dibantu atau dikontrol oleh anestesiologis. Prosedur pembedahan yang memerlukan pelumpuhan otot seperti bedah thorax, atau bedah abdomen yang luas diperlukan control pernapasan yang adekuat. Sementara itu untuk pembedahan dimana pasien masih sufisien untuk bernapas spontan, sehingga relaksan otot tidak diperlukan lagi dan dapat menghemat biaya anestesi. Sebagian besar obat-obat anestesi menyebabkan depresi fungsi respirasi secara sentral. Anestesi umum dibagi menjadi 2 menurut cara pemberiannya yaitu pemberian secara intravena dan secara inhalasi. Keywords: Kista Ovarium, Kasus Seorang wanita umur 40 tahun datang dengan keluhan terdapat benjolan di payudara kanan, benjolan sejak 1 bulan SMRS muncul benjolan pada payudara kanan dan terasa nyeri walau tidak ditekan. Riwayat KB suntik sekitar 3,5 tahun dan menyusui, Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, anggota keluarga tidak punya keluhan yang sama. Pada pemeriksaan fisik terdapat benjolan di payudara kanan diameter 2 cm Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan Darah Kimia Darah GDS 87.4 Ureum 31.7 (N : 10-50) Creatinin 0.84 (N : 0.6-1.2) SGOT 22.6 (N : <38) SGPT 18.1 (N : <42) Darah Lengkap dbn Pemeriksaaan Radiologi Foto Polos Thorax Pulmo/ cor dbn EKG Hasil : dbn Diagnosis FAM Terapi Ceftriaxon - Ketorolac - Operasi : incisi Diskusi Pada kasus wanita umur 40 tahun datang dengan

keluhan terdapat benjolan di payudara kanan dilakukan pembedahan dengan anestesi umum. Obat anestesi inhalasi yang pertama kali digunakan untuk membantu pembedahan adalah N2O, kemudian menyusul eter, kloroform, etil klorida, etilen, sikloropan, trikloro etilen, fluoroksan, etil-vinil-eter, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Halotan digunakan untuk menginduksi dan mempertahankan anestesi. Penggunaan halotan merupakan kontra indikasi pada pasien kelainan jantung (hipotensi, aritmia), gangguan hepar, dan demam tinggi, sebelumnya ada riwayat hiperpireksia (suhu badan melebihi 41,1 derajat celcius) ganas atau rentan terhadap hipertermia malignan. Induksi : 2- 4 % halotan (anak-anak 1,5-2 % halotan) dalam O2 atau O2/N2O. Hal-hal ini yang perlu diperhatikan adalah : a. hindari penggunaan berulang dalam jangka waktu 3 bulan b. gunakan hiperventilasi sedang selama bedah saraf c. pastikan kecukupan ventilasi ruangan d. hindari pemakaian pada kehamilan dan menyusui e.dapat mengganggu kemampuan mengendrai kendraan dan mengoperasikan mesin. f. fekromositoma, myastenia gavis. Interaksi obat : a. mempotensiasi aksi relaksan otot non depolarisasi b. meningkatkan efek relaksan otot aminoglikosida c. meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap adrenalin, simtomitetika lainnya, aminofilin dan theofilin, anti depresan trisiklik. d. memperparah hipotensi yang disebabkan oleh efek pemblokan ganglionik tubokurarin. Efek samping halotan : a. bradikardi dan hipotensi selama induksi b. aritmia jantung selama anestesi c. hiperpireksia ganas jarang terjadi d. kerusakan hati e. menggigil selama pemulihan f. mual dan muntah setelah operasi Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat dipakai untuk rumatan, tambahan analgesi regional atau membantu prosedur diagnostic. Obatobatan yang sering dipakai adalah thiopental, ketamin, propofol, dan opioid. Ketamin dapat menyebabkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, dan pasca anestesi dapat menyebabkan mual muntah, pandangan kabur, dan mimpi buruk (halusinasi). Sehingga kontra indikasi untuk pasien hipertensi. Bila hendak diberikan sebelumnya sebaiknya diberikan sedasi (midazolam). Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dan hanya boleh diencerkan dengan menggunakan dekstrose 5%. Untuk induksi, opioid (morfin, petidin, pentanil) diberikan dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga sering digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endrotrakeal kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dilkendalikan. A. Tujuan : a. Membersihkan saluran trakeabronkial b. Mempertahankan jalan napas agar tetap adekuat c. Mencegah aspirasi d. Mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenisasi B. Indikasi : a. Tindakan resusitasi b. Tindakan anestesi c. Pemeliharaan jalan napas d. Pemberian ventilasi mekanis jangka panjang C. Persiapan set intubasi : Sebelum mengerjakan intubasi dapat diingat kata STATICS S = Scope, Laringoscop dan Stetoskop T = Tubes, Pipa Endotrakeal A = Air Way, Pipa oroparing/Nosoparing, Ambubag T = Tape, Plester I = Indroducer, Stilet , Mandrin C = Conektor/sambungan-sambungan S = Suction, Penghisap Lendir a. Laringoskop - Blade lengkung (macintos) biasa digunakan laringoscop dewasa - Blade lurus, laringoskopi dengan blode lurus (misalnya blade magill). Biasanya digunakan pada bayi dan anak. b. Pipa Endotrakeal Terbuat dari karet atau plastik, pipa plastik yang sekali pakai untuk operasi tertentu, misalnya didaerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa tertekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran balon (cuff) pada ujung distal . pada anak-anak pipa endotrakeal tanpa balon. Ukuran laki-laki dewasa berkisar 8,0-9,0 mm, wanita 7,5-8,5 mm. untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20-23 cm. c. Pipa orofaring/nasoparing Alat ini dugunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah. d. Plester, untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi e. Stilet atau forcep intubasi Digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal sebagai alat

bantu saat insersi pipa. Forcep intubasi (magill/digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring f. Alat penghisap (suction ).digunakan untuk membersihkan jalan napas Kesimpulan Pada kasus ini pasien di lakukan anestesi umum. Teknik yang digunakan harus tepat dan harus dilakukan monitor yang ketat selama jalannya operasi. Berdasarkan berat ringannya penyakit maka pasien digolongkan pada ASA 1 yang berarti pasien penyakit bedah tanpa disertai gangguan sistemik. Referensi 1. Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-264. 2000. Jakarta. 2. www.emedicine.com. General Anesthesi. Diakses pada tanggal 24 Januari 2012 3. www.medicinenet.com. General Anesthesi. Diakses pada tanggal 25 Januari 2012 4. http://www.Wikipedia.com/Anestesiologi. Diakses pada tanggal 25 Januari 2012 Penulis Sekar Mutiara (20060310001). Program Profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi. RSUD Tidar - Magelang.

PENATALAKSANAAN RHINITIS ALERGIKA PADA PEREMPUAN USIA 24 TAHUN


Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Kemarin 06:45 ABSTRAK Rhinitis alergika adalah suatu penyakit hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus-menerus atau intermiten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman, tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan pilek disertai ingus encer, bersin-bersin, gatal serta hidung tersumbat yang dirasakan sudah 5 hari sebelum datang ke poliklinik, Gejala dirasakan paling berat pada pagi hari dan pada saat kecapean serta bila terkena debu . Pasien mengaku alergi dengan debu, sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien sering bersin-bersin apabila terkena debu. Ditambah dengan adanya pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka pasien ini didiagnosis sebagai rhinitis alergika. Kata kunci: Rhinitis Alergika, Reaksi hipersensitivitas tipe II Kasus Seorang pasien perempuan berusia 24 tahun datang ke poli THT dengan keluhan pilek disertai ingus encer, bersin-bersin, gatal serta hidung tersumbat yang dirasakan sudah 5 hari sebelum datang ke poliklinik, Gejala dirasakan paling berat pada pagi hari dan pada saat kecapean serta bila terkena debu. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien mengaku alergi dengan debu, sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien sering bersin-bersin apabila terkena debu. Riwayat asma (-). Anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat alergi, asma dan penyakit lainnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: baik, kesadaran: compos mentis, pemeriksaan Vital Sign: Tekanan darah :120/70 mmHg Respirasi: 20x / menit Suhu: febris Nadi: 80x / menit. Pada Pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan tampak mukosa hidung udem (+), berwarna putih kepucatan (livid ) (+), sekret encer (+), conca udem (+), hiperemis (-), septum nasi deviasi (-). Pada pemeriksaan telinga dan tenggorokan tidak ditemukan adanya kelainan. Diagnosis Rhinitis Alergika Terapi Non Famakologi : Edukasi: Menghindari kontak dengan alergen penyebab Farmakologi: Ozen tab 2x1 Coldizo 2x1 Diskusi Rhinitis alergika adalah suatu penyakit hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

utama. Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibedakan atas : Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis).1. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)2. Gejala keduanya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus-menerus atau intermiten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman, tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan. Dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh. Penyebab tersering adalah alergen inhalan (dewasa) dan ingestan (anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Diperberat oleh faktor non spesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban yang tinggi. Pada reaksi alergi ini dilepaskan berbagai zat mediator yang akan menimbulkan gejala klinis. Zat mediator utama dan terpenting adalah histamin yang memiliki efek dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler, iritasi ujung-ujung saraf sensoris dan aktivasi sel-sel kelenjar sehingga sekret diproduksi lebih banyak. Serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan. Rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi. Tidak ada demam. Gejala sering tidak lengkap. Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit telah berlangsung lama (>2 tahun) adalah bayangan gelap didaerah bawah mata (allergic shinner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Lamalama akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria atau eksim. Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Diluar serangan, mukosa kembali normal, kecuali bila telah berlangsung lama. Penatalaksanaan rhinitis alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar . Menghindari pencetus (allergen) dengan cara mengamati benda-benda apa yang menjadi pencetus (debu, serbuk sari, bulu binatang, dll). Jika perlu, pastikan dengan skin test kemudian jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika harus berkebun, gunakan masker wajah. Terapi simptomatis dilakukan melalui pemberian antihistamin dengan atau tanpa vasokonstriktor atau kortikosteroid per oral atau lokal. Preparat yang dipakai adalah agonis alfa adrenoreseptor, terutama untuk mengatasi sumbatan hidung. Diberikan peroral, biasanya dalam kombinasi dengan antihistamin seperti pseudoefedrin fenilpropanolamin. Pemberian topikal harus hemat dan jangka pendek (4-10 ahri). Efek kortikosteroid baru terasa setelah pemakaian agak lama. Pemakaian lokal dengan preparat baru, seperti beklometason, flunisolid, dan budesonid untuk jangka panjang cukup aman. Pemakaian peroral dengan pemberian intermiten atau tapering off hanya untuk kasus berat, diberikan 2 minggu sebelum pemberian topikal agar pemberian topikal efektif. Dapat diberikan natrium kromolat dalam bentuk inhalasi untuk pencegahan. Untuk hipertropi konka, pasien harus dirujuk agar dapat dilakukan kauterisasi konka inferior dengan nitras agenti atau triklor asetat. Jika hipertropi sudah berat dapat dilakukan konkotomi. Imunoterapi diindikasikan untuk severe persistein. Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap alergen, sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh senyawa tersebut. Kesimpulan Rhinitis alergika adalah suatu penyakit hipersensitivitas tipe I yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama. Pada kasus ini didiagnosis rhinitis alergika. Penatalaksanaan yang tepat yaitu dengan menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Terapi simptomatis dilakukan

melalui pemberian antihistamin dengan atau tanpa vasokonstriktor atau kortikosteroid per oral atau lokal. Referensi 1. Lawrence, R. 1997. Penyakit Telinga Luar. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2. Michael, A, Rhinitis, website www.worldallergy.org/professional /allergic_diseases_center/rhinitis/rhinitis_indepth.php 2007 3. Peter, A, 1997, Anatomi dan Fisiologi Terapan, BOIES Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Penulis Farida Aryani, 20060310016, BRSD KRT Setjonegoro Wonosobo, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

LOW BACK PAIN PADA PASIEN LAKILAKI USIA 35 TAHUN


Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Kemarin 06:42 ABSTRAK Low Back Pain (LBP) adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang dan samping luar. Keluhan ini dapat demikian hebatnya hingga penderitanya mengalami kesulitan dalam setiap pergerakan sampai harus istirahat dan dirawat di rumah sakit. Pada pasien ini, memiliki gejala nyeri pinggang sampai kaki kanan setelah mengangkat beban yang berat, saat buang air besar merasa nyeri pinggang bertambah bila mengejan, pemeriksaan fisik ditemukan lasegue (+). Kata kunci : Low back pain, nyeri Kasus Satu bulan sebelum masuk RS, pasien mulai mengeluh nyeri pinggang yang menjalar sampai ke kaki kanannya. Pasien merasakan gejala ini setelah mengangkat beban yang berat. Pasien adalah seorang petani yang sering mengangkat hasil tani. Awalnya pasien tidak mengobati nyerinya, hanya dibiarkan saja. Riwayat dipijit disangkal. Hari masuk rumah sakit, pasien datang ke IGD membawa rujukan dari puskesmas dengan keterangan nyeri pinggang sampai ke kaki kanan yang dirasakan sudah 1 bulan. Pasien mengatakan tidak ada gangguan dalam buang air kecil. Saat buang air besar merasa nyeri pinggang bertambah bila mengejan. Riwayat penyakit serupa disangkal, Riwayat Jatuh terduduk disangkal, Riwayat TBC / batuk lama disangkal, Riwayat penyakit tumor disangkal. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan reflek patologis, reflek fisiologis dalam batas normal. Kekuatan pada kaki kanan bebas terbatas dan kekuatannya sulit dinilai karena nyeri. Pemeriksaan radiks medula, ditemukan lassegue 300, patrick dan kontra patrik negatif. Foto radiologi V.Lumbosacral : Kurvatura melurus,, Trabekulasi tulang cukup baik,, Tampak osteophyt anterior corpus vertebra lumbales,, DIV L II-III menyempit,, FIV tak menyempit,, Pedikel intak,, kesan : Spondylosis lumbalis, Spondyloarthrosis L II-III. Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal. Diagnosis Diagnosis Klinis : Low Back Pain cum Ischialgia Diagnosis Topik : Radiks spinalis lumbal II III Diagnosis Etiologi : et causa Spondilogenik dd. HNP Terapi Inj. Ketorolac 1 amp/12 jam, Fisioterapi, Amitriptilin 2 x 12,5 mg. Diskusi LBP (low back pain/nyeri punggung bawah) adalah suatu gejala dan bukan suatu diagnosis, dimana pada beberapa kasus gejalanya sesuai dengan diagnosis patologisnya dengan ketepatan yang tinggi, namun di sebagian besar kasus, diagnosis tidak pasti dan berlangsung lama. Dengan demikian maka LBP yang timbulnya sementara dan hilang timbul adalah sesuatu yang dianggap biasa. Namun bila LBP terjadi mendadak dan berat maka akan membutuhkan pengobatan, walaupun pada sebagian besar kasus akan sembuh dengan sendirinya. LBP yang rekuren membutuhkan lebih banyak perhatian, karena harus merubah pula cara hidup penderita dan malahan juga perubahan pekerjaan. Nyeri

ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. LBP yang lebih dari 6 bulan disebut kronik. Pesien didiagnosis etiologi HNP dengan manifestasi iskialgia didasarkan atas anamnesis: adanya nyeri pada punggung bawah yang timbul tak tergantung dengan waktu siang atau malam, memberat terutama bila berjalan, batuk ataupun mengejan, telah disertai dengan defisit neurologis berupa adanya tanda rangsangan laseque (+).Tanda Laseque atau modifikasinya yang positif menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal khususnya L5 atau S1. Tanda Laseque adalah tanda pre-operatif yang terbaik untuk suatu HNP. Adanya tanda Laseque lebih menandakan adanya lesi pada L4-5 atau L5-S1 daripada herniasi lain yang lebih tinggi (L1-4). Harus diketahui bahwa tanda Laseque berhubungan dengan usia dan tidak begitu sering dijumpai pada penderita yang tua dibandingkan dengan yang muda (<30tahun). Pada pasien ini faktor yang menjadi resiko dari penyebab terjadinya low back pain adalah faktor pemakaian yang terlalu banyak (wear and tear), karena sejalan dengan usia yang menuju berumur pertengahan. Selain hal ini penderita juga sering mengangkat beban berat yang akan memberikan trauma berulang secara berkepanjangan pada struktur tulang belakang karena pasien seorang petani dan hampir setiap hari mengangkat beban. Pada penderita ini secara radiologis x-foto polos terlihat penyempitan ruang intervertebralis, tampak osteofit korpus vertebra. Hal ini menggambarkan telah terjadinya trauma mekanik pada vertebra yang terjadi secara berulang dalam waktu yang lama. Dalam penanganan umum penderita diberikan informasi dan edukasi tentang hal-hal seperti: sikap badan, tirah baring dan mobilisasi. Medikamentosa diberikan terutama untuk mengurangi nyeri yaitu dengan analgetika. Sering obat yang sesuai untuk penanganan dimulai dengan asetaminofen dan/atau nonsteroidal antiinflammatory drug. Untuk LBP akut secara fakta didapatkan bahwa tidak terdapat NSAID spesifik yang lebih efektif terhadap yang lainnya. Medikasi lain yang dapat diberikan sebagai tambahan adalah relaksan otot, antidepresan trisiklik, dan antiepileptika seperti fenitoin, karbamazepin, gabapentin, dan topiramat. Kesimpulan LBP (low back pain/nyeri punggung bawah) adalah suatu gejala dan bukan suatu diagnosis. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. Faktor resiko dari penyebab terjadinya low back pain bisa karena faktor pemakaian yang terlalu banyak. Penanganan pasien, diberikan informasi dan edukasi tentang hal-hal seperti: sikap badan, tirah baring dan mobilisasi serta diberikan medikamentosa mengurangi nyeri. Referensi 1. Mansjoer, Arief.dkk. Kapita selekta kedokteran jilid 2. Media Aesculapius FK-UI. Jakarta. 2008. 2. Mumenthaler,M.Neurologi.Binarupa Aksara. Jakarta.1995 3. Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri punggung bawah. Dalam: Nyeri Neuropatik, patofisioloogi dan penatalaksanaan. Editor: Meliala L, Suryamiharja A, Purba JS, Sadeli HA. Perdossi, 2001 Penulis Farida Aryani, 20060310016, BRSD KRT Setjonegoro, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENATALAKSANAAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM PADA PRIMIGRAVIDA UMUR KEHAMILAN 13 MINGGU

Dibuat oleh: Dianita Rachmawati,Modifikasi terakhir pada Minggu 11:44 ABSTRAK Hiperemesis gravidarum adalah muntah berlebihan yang terjadi sampai umur kehamilan 20 minggu, sehingga mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan terdapat aseton dalam urin bukan karena penyakit seperti appendisitis, pielititis, dan sebagainya. Pada kasus ini, seorang wanita G1P0A0 usia 24 tahun hamil 13 minggu dengan mual muntah berlebihan sejak 1 bulan yang lalu. Muntah > 10 kali sehari dengan volume 1/2-3/4 gelas. Yang dimuntahkan berupa makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelumnya, pada muntahan tidak terdapat darah. Tiap makan langsung muntah. Penatalaksanaan non farmakologi berupa bed rest, pengawasan KU, VS, PPV, Diet biasa. Farmakologis berupa Infus, multivitamin dan antiemetik. KASUS Seorang wanita, 24 tahun, G1P0A0 umur kehamilan 13 minggu datang dengan keluhan mual dan muntah sejak 1 bulan yang lalu. Muntah awalnya hanya terjadi pada pagi hari dan setelah makan dan minum. Satu-dua minggu sebelum masuk rumah sakit, muntah dialami lebih dari 10 kali per hari dengan volume 1/2-3/4 gelas. Yang dimuntahkan berupa makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelumnya, pada muntahan tidak terdapat darah. Keluhan mual dan muntah semakin bertambah berat setelah makan dan minum, dan berkurang saat istirahat. Badan terasa lemah, aktivitas sehari-hari terganggu. Pasien sering merasa haus dan bibir terasa kering. Nafsu makan dirasakan menurun karena pasien takut muntah. BAB dan BAK dirasakan semakin menurun. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati dan kadang demam. Pasien mengaku mempunyai rasa takut dan cemas terhadap kehamilannya yang pertama. Riwayat sakit kuning, asma, alergi obat, konsumsi jamu, Diabetes Mellitus, Hipertensi disangkal. Riwayat sakit kuning, alergi, DM, hipertensi, jantung dalam keluarga disangkal. pasien menikah 1x lamanya 9 bulan. Pada pemeriksaan pasien compos mentis dan tampak lemas, dengan TD : 70/50 mmHg, nadi : 92 x/menit, suhu : 37C, respirasi teratur dalam batas normal. Pada pemeriksaan thoraks dan ekstremitas dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium. Pemeriksaan USG, janin dalam keadaan baik. DIAGNOSIS G1P0A0 umur kehamilan 13 minggu dengan hiperemesis gravidarum TERAPI Non farmakologi berupa bed rest, Pengawasan KU, VS, PPV, Diet biasa. Farmakologis berupa Infus D5% 20 tpm, Cernevit 1x1 drip dan Ondansetron 8mg/drip. DISKUSI Hiperemesis gravidarum adalah muntah berlebihan yang terjadi sampai umur kehamilan 20 minggu, muntah begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, dan terdapat aseton dalam urin bukan karena penyakit seperti appendisitis, pielititis, dan sebagainya. Beberapa cara untuk penanggulangan hiperemesis lebih lanjut : 1. Isolasi. Penderita disendirikan dalam kamar tenang, tatapi cerah dan peredaran udara yang baik, catat dan perhatikan cairan yang keluar dan masuk. Hanya dokter dan perawat yang boleh masuk ke dalam penderita, sampai muntah berhenti dan penderita mau makan. 2. Rehidrasi dengan cairan parenteral. Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glucose 5% dalam cairan garam fisiologik sebanya 2-3 liter sehari. Bila perlu ditambahkan kalium dan vitamin, khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein dapat diberikan pula aam amino secara intravena. Dibuat control cairan yang masuk dan keluar. Air kencing perlu diperiksa sehari hari terhadap protein terhadap protein, aseton, khlorida dan bilirubin. 3. Terapi Psikologik, Perlu diyakinkan pada penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan, kurangi pekerjaan yang berat serta menghilangkan masalah dan konflik, yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini. 4. Terapi medikamentosa. Apabila dengan cara diatas keluhan dan gejala tidak mengurang maka diperlukan pengobatan, tetapi perlu diingat untuk tidak memberikan obat teratogen. Sedativa yang sering diberikan

adalah Phenobarbital. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6, antihistamiika juga dianjurkan. 5. Terapi radikal terminasi kehamilan. Dalam keadaan terminasi kehamilan dapt dilakukan. Hal ini disebabkan karena terapi tidak berhasil bahkan keadaan umumnya semakin buruk. Indikasi terminasi kehamilan adalah ensefalopati Wernicke, perdarahan retina, gangguan kardiovaskular, gangguan liver dan gangguan ginjal. KESIMPULAN Hiperemesis gravidarum adalah muntah berlebihan yang terjadi sampai umur kehamilan 20 minggu. Pada kasus ini pasien menderita hiperemesis gravidarum pada saat usia kehamilannya 13 minggu. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor psikis dari pasien yang takut dan khawatir akan kehamilannya yang pertama. Terapi yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk, yang terpenting adalah rehidrasi. REFERENSI Cunningham, F.G, dkk., 2005, Obstetri Williams, ed. 21, Jakarta: EGC. Fairwether.1968. Nausea and Vomity in Pregnancy. Am J Obst. & gynec. vol.102;135-171. Mannor SM. 1981. Hyperemesis Gravidarum. In : Iffty L, Kaminetzky HA eds. Principles and Practise of Obstetric and Perinatology. Vol. 12. Toronto : A Wiley Medical Publication.. 1155-1164. Mochtar, Prof.dr.Rustam.1991. Sinopsis Obstetri. EGC:Jakarta. Prawirohardjo, Sarwono, et al. 2008. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. PENULIS Dianita Rachmawati, Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RSUD Salatiga

Penggunaan Bupivacaine pada Pasien BPH Tindakan Open Prostatektomi


Dibuat oleh: Anita Permatasari,Modifikasi terakhir pada Minggu 09:41 Abstrak Bupivacaine merupakan obat anestesi lokal golongan amida, obat ini mencegah permulaan dan konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Isi Seorang laki-laki, umur 56 tahun datang karena tidak bisa buang air kecil. Riwayat susah buang air kecil sudah satu minggu, nyeri dan merasa kurang puas bila buang air kecil dengan suspect BPH.Diagnosis prabedah : BPH. Jenis pembedahan : open prostatektomi. Diagnosis BPH Jenis pembedahan : open prostatektomi. Diskusi Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan menggunakan Bupivacaine spinal 0,5 % 15 mg, yang mana pada 1 ampul terdapat volume 4 ml dan setiap ml terkandung 5 mg Bupivacain HCl dan 80 mg dekstrose monohidrat. Rumus empirik: C16H26N2O.HCl.H2O Farmakodinamik: Bupivacaine merupakan obat anestesi lokal golongan amida, obat ini mencegah permulaan dan konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Farmakokinetik: durasi analgetik pada T10-T12 selama 2-3 jam, Bupivacain HCl menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ektremitas bawah selama 2-2,5 jam. Obat ini juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena. Penghambatan motorik pada otot abdominal membuat larutan sesuai untuk operasi abdominal selama 45-60 menit. Dosis bupivacaine spinal injeksi untuk dewasa yang dianjurkan adalah: anestesi spinal untuk operasi : 10, 15 ,20 mg Bupivacaine spinal injeksi. Distribusi larutan injeksi anestesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang paling penting adalah volume larutan injeksi dan posisi dari pasien. Onset aksi dengan bupivakain adalah cepat dan anestesi tahan lama. Durasi anestesi secara signifikan lebih lama dengan bupivakain dibandingkan dengan anestesi lokal lain yang umum digunakan. Ini juga telah mencatat bahwa ada periode analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi,

selama waktu kebutuhan analgesik kuat berkurang. Dilihat dari berat jenisnya obat ini termasuk obat hiperbarik yaitu berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008. Sedangkan dalam obat ini memiliki berat jenis 1,0278. Kondisi hiperbarik akan memungkinkan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi, sehingga meminimalkan komplikasi spinal anestesi. Dalam obat ini yang membuat keadaan hiperbarik adalah kandungan dekstrose 80 mg, sehingga menambah berat jenis obat. Anestesi lokal jenis Amide seperti bupivakain dimetabolisme terutama di hati melalui konjugasi dengan asam glukuronat. Pasien dengan penyakit hati, terutama mereka dengan penyakit hati yang berat, mungkin lebih rentan terhadap toksisitas potensi anestesi lokal tipe amida. Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk anestesi lokal. ekskresi urin dipengaruhi oleh perfusi ginjal dan faktor yang mempengaruhi pH urin. Hanya 5% dari bupivakain diekskresikan tidak berubah dalam urin. Kesimpulan Pada kasus ini penggunaan obat bupivacaine untuk spinal anestesi sudah tepat, karena obat ini memiliki onset yang cepat dan anestesi yang tahan lama. Selain itu obat ini termasuk obat hiperbarik jika dilihat dari berat jenisnya, sehingga memungkinkan perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Referensi 1. Muhardi. Pilihan Cara Anestesia. Dalam: Basuki Gunawarman, Muhadi Muhiman, Latief Said, editor. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1989. hal 123. 2. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York. 2006. 3. Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Mosby. 2004 4. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott Williams and Wilkins, USA. 2001 Penulis Anita Permatasari, Stase Ilmu Anestesi dan Reanimasi, RS Jogja, Yogyakarta.

PENEGAKAN DIAGNOSIS KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK PEREMPUAN USIA 10 BULAN
Dibuat oleh: Dianita Rachmawati,Modifikasi terakhir pada Minggu 08:51 ABSTRAK Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI membuat klasifikasi kejang demam pada anak menjadi 2 yaitu Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam Kompleks (KDK). Keyword : kejang demam, kejang demam sederhana KASUS Seorang anak perempuan usia 10 bulan dengan berat badan 9,3 kg, dibawa oleh ibunya ke IGD RSUD Salatiga, rujukan Puskesmas karena mengalami kejang. Sehari sebelumnya anak demam mendadak, terus-menerus, semakin lama semakin meningkat. Kejang terjadi pada sore harinya 1 kali, saat demam berupa gerakan kaku seluruh tubuh anak dan berlangsung kurang lebih 5 menit. Pasien sempat dibawa ke puskesmas dan mendapat diazepam per rectal. Setelah mengalami kejang, pasien lemas dan tertidur kemudian sadar. Pasien masih mau makan dan minum ASI seperti saat tidak sakit, BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat kejang sebelumnya (+) sekitar 5 menit saat usia 9 bulan dan diopname, riwayat kejang demam pada keluarga (+). Tidak ada riwayat perdarahan (mimisan ataupun perdarahan gusi) dan ruam

kemerahan seluruh tubuh maupun batuk pilek. Riwayat trauma kepala (-), riwayat terluka/tertusuk benda tajam (-), sakit pada mata dan telinga (-). Pemeriksaan fisik : Keadaan umum : compos mentis, tampak lemah, Suhu : 37.5 C, Heart Rate:92x/menit, Pernafasan : 40 x/menit, tanda rangsang meningeal (-), status gizi baik. Pemeriksaan thoraks dan abdomen dalam batas normal. DIAGNOSIS Kejang Demam Sederhana (KDS) TERAPI Pada pasien ini diberikan Infus KaEN 3B 20 tpm, dan per oralnya diberikan pulvis yang terdiri dari PCT 100 mg, Luminal 5 mg diberikan 3x sehari. DISKUSI Pada pasien ini mengalami kejang demam sederhana. Hal ini sesuai dengan kriteria dari Unit Kerja Neurologi IDAI, dimana kriteria kejang demam sederhana (KDS/Simple Febrile Seizure) Singkat dan disertai demam Durasi kurang dari 15 menit Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik Umumnya akan berhenti sendiri Tanpa gerakan fokal Tidak berulang dalam 24 jam Pada bayi dan anak dengan kejang dan demam yang perlu diperhatikan adalah apakah terdapat gangguan perkembangan neurologis, riwayat kejang tanpa demam, epilepsi pada keluarga, kejang fokal, kejang lama (>15 menit), kejang pertama pada usia < 12 bulan, dan kejang demam multipel. Adapun penegakan diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi struktural pada sistem saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis KDS berdasarkan adanya riwayat demam sebelumnya dan kejang terjadi 1x selama 5 menit, tidak berulang dalam 24 jam. KESIMPULAN Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (> 38C). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis kejang demam sederhana. Serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau umum. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. REFERENSI Hassan, Rupeno. Dr., Alatas, Hussein. Dr. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian IKA-FKUI, Infomedika. Ismael, Sofyan Prof.Dr.SpA(K)., dkk. 2005. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Konsensus Penanganan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Nelson, Waldo.E.MD., dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 3. Jakarta: EGC. Pusponegoro, Hardiono.D., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sutaryo, Dr, dr, SpA(K). 2005. Standar Pelayanan Medis RS. DR.Sardjito Edisi III Jilid 2. Yogyakarta: Medika FK-UGM. Price, Sylvia, Anderson. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit. EGC: Jakarta. Rudolph AM. 2002. Febrile Seizures Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange. PENULIS Dianita Rachmawati, Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Salatiga.

ANASTESI SUBARACHNOID BLOCK PADA HERNIOTOMI LAKI-LAKI USIA 60 TAHUN DENGAN HERNIA INGUINALIS LATERALIS REPONIBLE

Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 07:01 Abstrak Anastesi Subarachnoid Block atau spinal anastesi adalah suatu bentuk anastesi regionaldengan cara memasukkan obat anastesi lokal ke ruang subarachnoid menggunakan jarum halus. Kata kunci : subarachnoid block, herniotomi Kasus: Seorang laki-laki umur 60 tahun datang dengan keluhan benjolan di lipat paha kiri keluar masuk sejak 6 bulan yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan benjolan yang teraba pada regio inguinalis sinistra ukuran 2x3x2 cm2, kenyal dan dapat direposisi, Three Finger Test positif, Valsava test positif dan terdapat suara bising usus pada auscultasi. Pasien didiagnosa hernia inguinalis lateralis reponible dan direncanakan operasi dengan ,menggunakan anastesi subarachnoid block. Pemeriksaan status operatif pasien ASA I dan malampati score I. Anastesi menggunakan premedikasi Antiemesis (Ondancetron HCL i.v) dan analgesik non opiat (Ketorolac i.v) serta induksi dengan Bupivakain i.v. Diagnosis Pasien didiagnosa Hernia Inguinalis Lateralis Reponible Terapi Rencana Operasi Herniotomi menggunakan anastesi subarachnoid block Diskusi Pada kasus ini pasien seorang laki-laki usia 60 tahun dengan diagnosis hernia inguinalis sinistra reponible akan dilakukan herniotomi. Jenis anestesi yang digunakan adalah regional anestesi dengan teknik Sub Arachnoid Block. Teknik spinal anestesi ini dipilih sesuai indikasi yaitu bedah abdomen bawah serta tidak ada kontra indikasi baik absolut maupun relatif untuk dilakukan spinal anastesi. Indikasi lain bagi dilakukannya anastesi subarachnoid block adalah jika pasien mempunyai kontraindikasi dilakukannya intubasi endotrakeal. Premedikasi yang digunakan pada kasus ini adalah ondancentron HCL 4 mg dan ketorolac tromethamine 30 mg yang diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah paska operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman, sebagai analgetik digunakan dengan tujuan untuk mengurangi rasa nyeri. Dosis ondancentron HCL dan ketorolac yang dianjurkan adalah 2-4 mg pada dewasa dan 10-30 mg dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacain 15 mg. Kerja bupivacain adalah menghambat konduksi saraf yang menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Selama operasi terjadi perdarahan kurang lebih 100 cc. Karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak diperlukan transfusi darah. Kesimpulan Seorang laki-laki umur 60 tahun datang dengan keluhan benjolan di lipat paha kiri keluar masuk sejak 6 bulan yang lalu. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pasien didiagnosis hernia inguinalis lateralis reponible dan direncanakan operasi dengan menggunakan anastesi subarachnoid block sesuai indikasi yaitu bedah abdomen bawah serta tidak ada kontra indikasi baik absolut maupun relatif untuk dilakukan spinal anastesi. Referensi: 1. Raanan Cohen-Kerem, M.D ; Anasthesi in Abdominal surgical intervention, The American Journal of Surgery 190 (2005) 467473 2. Hilda Pedersen, MD ; Subarachnoid Block Technique ; Anasthesiology (2000) ; 51 ; 439-451 Penulis Farida Aryani, Bagian Ilmu Anestesi, BRSD KRT Setjonegoro, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Perdarahan Postpartum Dini ec Retensi Plasenta pada Pasien 27 Tahun P2A0


Dibuat oleh: Ridwan Muttaqin,Modifikasi terakhir pada Minggu 07:00 ABSTRAK Dalam persalinan, kala uri/kala III sangat perlu untuk diperhatikan, karena kelalaian dapat menyebabkan resiko perdarahan yang dapat membawa kematian. Kala uri ini berlangsung mulai dari bayi lahir sampai uri keluar lengkap. Biasanya, uri akan lahir spontan dlam 15-30

menit, dapat ditunggu sampai 1 jam, tetapi tidak boleh ditunggu bila terjadi banyak perdarahan. Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi lahir. Retensio plasenta ini merupakan penyebab perdarahan postpartum kedua setelah atonia uteri. Perdarahan postpartum dini atau primer adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir. Pada kasus ini terdapat seorang wanita, 27 tahun, datang ke RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo melalui IGD dengan keluhan plasenta belum keluar setelah melahirkan 6 jam yang lalu, pasien mengeluarkan banyak darah. Apabila plasenta belum lahir dalam setengah sampai 1 jam setelah bayi lahir, apalagi bila terjadi perdarahan, maka harus segera dikeluarkan. Tindakan yang dapat dikerjakan adalah mencoba mengeluarkannnya dengan perasat crede maupun manual plasenta diikuti dengan perbaikan keadaan umum pasien. Keyword : Perdarahan Postpartum Dini, Retensi Plasenta, Manual plasenta KASUS Seorang wanita, 27 tahun, datang ke RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo melalui IGD dengan keluhan plasenta belum keluar setelah melahirkan 6 jam yang lalu. Sebelumnya pasien melahirkan bayi perempuan secara spontan, sehat, BBL belum ditimbang, ditolong dukun, kemudian ari-ari ditunggu tidak keluar, pasien mengeluarkan darah banyak. Keluarga pasien memanggil bidan, dicoba dilakukan manual plasenta tidak berhasil. Riwayat Obstetri : I : 2001, rumah, bidan, lahir spontan, aterm, , 3500 gr, sehat. II: 2009, rumah, dukun, lahir spontan, aterm, , BBL belum ditimbang, sehat. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum : lemah, kesakitan, anemis (Hb 5,4 gr%); Kesadaran : Compos mentis; Tanda vital : hipotensi, takikardi, suhu afebris Status Obstetrik Pemeriksaan Luar: Inspeksi : Keadaan umum CM, lemah, kesakitan, anemis, terdapat perdarahan pervaginam. Palpasi : Tinggi Fundus Uteri setinggi 1 jari diatas pusat, kontraksi uterus lemah. Pemeriksaan Dalam (vaginal toucher) Tampak tali pusat yang telah diklem pada introitus vagina, vulva uretra tenang, dinding vagina licin, pembukaan 56 cm, laserasi jalan lahir minimal, darah (+) aktif. DIAGNOSIS Perdarahan postpartum dini ec retensi plasenta PENATALAKSANAAN Perbaikan KU : Pemberian infus RL 2 jalur; Tranfusi PRC sampai Hb10; Oxytosin 1A/drip Tindakan : manual plasenta DISKUSI Dalam persalinan, kala uri/kala III sangat perlu untuk diperhatikan, karena kelalaian dapat menyebabkan resiko perdarahan yang dapat membawa kematian. Kala uri ini berlangsung mulai dari bayi lahir sampai uri keluar lengkap. Biasanya, uri akan lahir spontan dlam 15-30 menit, dapat ditunggu sampai 1 jam, tetapi tidak boleh ditunggu bila terjadi banyak perdarahan. Pada pasien ini setelah 5 jam melahirkan plasenta belum juga terlepas sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan postpartum dini. Perdarahan postpartum dini atau primer adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir. Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi lahir. Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkan plasenta. Retensio plasenta ini merupakan penyebab perdarahan postpartum kedua setelah atonia uteri. Retensio plasenta dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1. Plasenta belum lepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam, yang menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi (a) Plasenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam; (b) Plasenta inkreta, dimana vili koreales tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium; (c) Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium tetapi belum menembus serosa; (d) Plasenta perkreta, yang menembus serosa atau peritonium dinding rahim. 2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan terjadi perdarahan banyak, atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Untuk mengetahui apakah plasenta telah

lepas dari tempat implantasinya, dipakai beberapa perasat antara lain: 1. Perasat Kustner. Tangan kanan memegang atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri menekan daerah diatas simfisis. Bila tali pusat ini masuk kembali kedalam vagina, berarti plasenta belum lepas dari dinding uterus. Bila tetap atau tidak masuk kembali kedalam dinding vagina, berarti plasenta lepas dari dinding uterus. Perasat ini harus dilakukan dengan hati-hati. Apabila hanya sebagian plasenta lepas maka dapat terjadi perdarahan. 2. Perasat Strassmann. Tangan kanan meregang atau menarik sedikit tali pusat. Tangan kiri mengetok-ngetok fundus uteri. Bila terasa getaran pada tali pusat yang diregangkan ini, berarti plasenta belum lepas. Bila tidak terasa getaran, berarti plasenta sudah lepas. 3. Perasat Klein. Wanita tersebut disuruh mengejan. Tali pusat tamapk turun kebawah. Bila pengedanannya dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina, berarti plasenta belum lepas. 4. Perasat Creede. Dengan cara memijat uterus seperti memeras jeruk agar plasenta lepas dari dinding uterus hanya dapat digunakan bila terpaksa, misalnya perdarahan. Perdarahan postpartum masih merupakan salah satu sebab utama kematian ibu dalam persalinan. Karena itu ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menolong persalinan dengan komplikasi perdarahan postpartum, yaitu: 1. Penghentian perdarahan 2. Cegah terjadinya syok 3. Penggantian darah yang hilang Apabila plasenta belum lahir dalam setengah sampai 1 jam setelah bayi lahir, apalagi bila terjadi perdarahan, maka harus segera dikeluarkan. Tindakan yang dapat dikerjakan adalah : 1. Coba 1-2 kali dengan perasat creede. 2. Keluarkan plasenta dengan tangan (manual plasenta). Jika teknik manual plasenta diperlukan, maka harus dilakukan analgesia atau anestesia yang memadahi. Teknik tindakan aseptik harus dipakai, dan dianjurkan penggunaan sarung tangan steril yang menutupitangan operator sampai lengan bawah. Teknik manual plasenta yaitu tangan kiri diletakkan di fundus uteri, tangan kanan dimasukkan dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi plasenta dilepas disisihkan dengan tepi jari-jari tangan bila sudah lepas ditarik keluar. Lakukan eksplorasi apakah ada luka-luka atau sisa-sisa plasenta dan bersihkan. 3. Bila perdarahan banyak, maka berikan tranfusi darah. 4. Berikan obat-obatan uterotonika dan antibiotik. KESIMPULAN Perdarahan postpartum dini yang disebabkan retensi plasenta merupakan kasus yang sering dijumpai, oleh karena itu dalam menangani persalinan kala uri/kala III sangat perlu untuk diperhatikan. Kala uri ini berlangsung mulai dari bayi lahir sampai uri keluar lengkap. Biasanya, uri akan lahir spontan dlam 15-30 menit, dapat ditunggu sampai 1 jam, tetapi tidak boleh ditunggu bila terjadi banyak perdarahan. Penatalaksanaan yang cepat dibutuhkan pada kasus ini yaitu dengan memperbaiki keadaan umum pasien, melakukan tindakan manual plasenta, dan memberikan obat-obatan uterotonika dan antibiotik. REFERENSI 1. Eastman, N.J., 1956, William Obstetrics (edisi 18), Apleton - Century -- Crofts, New York EGC, Jakarta 2. Bandung Wibowo, B., & Wiknjosastro, G.H., 1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta Penulis Ridwan Muttaqin 20060310005 Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi, RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

Hernia Repair pada Pria 69 Tahun dengan Hernia Inguinalis Dextra Reponibel
Dibuat oleh: Ridwan Muttaqin,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:57 ABSTRAK Hernia inguinalis lateralis adalah tonjolan dari perut di lateral pembuluh epigastrica inferior, yang keluar melalui dua pintu dan saluran yaitu annulus dan canalis inguinalis. Hernia

inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Lebih banyak pada pria dibandingkan pada wanita. Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Operasi hernia atau hernia repair terdiri dari herniotomi, herniorafi, dan hernioplasti. Pada kasus ini, Bp. Z, laki-laki usia 69 tahun mengeluh ada benjolan di lipat paha kanan yang timbul saat berdiri dan menghilang saat berbaring. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis hernia inguinalis lateralis dextra reponibel. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan operasi hernia repair. Setelah operasi, pasien ini diberi injeksi antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi dan injeksi analgetik untuk mengurangi nyeri setelah operasi. Kata Kunci : Hernia repair, Hernia inguinalis lateralis KASUS Pasien Bp. Z, laki-laki berumur 69 tahun datang ke poli bedah RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo dengan keluhan terdapat benjolan di lipat paha kanan. Keluhan dirasakan semenjak 3 bulan yang lalu. Pada awalnya benjolan sebesar ibu jari pada lipat paha kanan, kemudian lama lama benjolan pada lipatan paha kanan membesar. Benjolan timbul bila pada posisi berdiri dan beraktivitas dan menghilang dengan posisi tiduran. Pasien tidak mengeluh nyeri, mual, muntah, serta demam. Nafsu makan, flatus, BAK, BAB tidak ada gangguan. Pasien kemudian memutuskan untuk di rawat di Rumah Sakit. Pasien belum pernah menderita penyakit serupa. Riwayat penyakit gula, darah tinggi disangkal. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum tampak tenang, gizi cukup, kesadaran kompos mentis, tanda vital: TD 120/80 mmHg, frek nadi 80 x/menit, frek nafas 20 x/menit, suhu 36,5oC. Teraba benjolan di regio inguinalis dextra, konsistensi kenyal, licin, nyeri tekan (-), bising usus (+). Pemeriksaaan penunjang seperti darah dan rontgen thorak dalam batas normal. DIAGNOSIS Pasien ini didiagnosis dengan hernia inguinalis lateralis dextra reponibel TERAPI Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi hernia repair dengan metode bassini untuk mereposisi atau mengembalikan usus yang masuk ke dalam lubang inguinlis lateralis. Setelah operasi pasien diberikan injeksi antibiotik berspektrum luas 1 gram yang diberikan 3 kali sehari intravena untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi serta injeksi analgetik 30 mg yang diberikan 2 kali dalam sehari intravena untuk mengurangi nyeri setelah operasi. DISKUSI Pada kasus ini, pasien 69 tahun mengeluh adanya benjolan di lipat paha kanan, yang semakin hari semakin membesar. Benjolan timbul bila pada posisi berdiri dan beraktivitas dan menghilang dengan posisi tiduran. Pasien tidak mengeluh nyeri, mual, muntah, serta demam. Nafsu makan, flatus, BAK, BAB tidak ada gangguan. Berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis hernia inguinalis lateralis dextra reponibel, sehingga perlu dilakukan tindakan operasi hernia repair. Hernia inguinalis lateralis adalah tonjolan dari perut di lateral pembuluh epigastrica inferior, yang keluar melalui dua pintu dan saluran yaitu annulus dan canalis inguinalis. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Lebih banyak pada pria dibandingkan pada wanita. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada annulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Disamping itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut. Pada orang sehat ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur muskulus oblliqus internus abdominis yang menutupi annulus inguinalis internus ketika berkontraksi, dan adanya fascia transversa yang kuat menutupi trigonum hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot. Pengobatan operatif merupakan satusatunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Indikasi diadakan operasi: 1. Hernia inguinalis yang mengalami inkarserata,

meskipun keadaan umum jelek. 2. Hernia reponibel pada bayi dengan umur lebih dari 6 bulan atau berat badan lebih dari 6 kilogram. Jalannya operasi menggunakan obat anastesi lokal berupa procain dengan dosis rnaksimum 200 cc. Jika digunakan anastesi lokal, digarnbarkan incisi berbentuk belah ketupat dan diberikan kira-kira 60 ml xylocain 0,5 persen dengan epinefrin. Operasi hernia ada 3 tahap 1. Herniotomy yaitu membuka dan memotong kantong hernia serta mengembalikan isi ke cavum abdominalis. 2. Herniorafi yaitu mulai dari mengikat leher hernia dan menggantungkannya pada conjoint tendon. 3. Hernioplasty yaitu memberi kekuatan pada dinding perut dan menghilangkan locus minnoris resistentiae. Hernioplasty ada bermacarnmacam menurut kebutuhannya: 1. Ferguson Yaitu funiculus spermaticus ditaruh di sebelah dorsal dari musculus obliqus externus dan internus abdominis dan muskulus obliqus internus dan transversus dijahitkan pada ligamenturn inguinale dan meletakkan funiculus spermaticus di dorsal, kemudian aponeurosis muskulus obliqus externus dijahit kembali sehingga tidak ada lagi kanalis inguinalis. 2. Bassini Muskulus obliqus internus dan muskulus transversus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinale. Funikulus spermaticus diletakkan ventral dari muskulus tadi tetapi dorsal dari aponeurosis muskulus obliqus eksternus sehingga kanalis inguinalis kedua muskuli tadi memperkuat dinding belakang dari kanalis inguinalis, sehingga locus minoris resistantiae hilang. 3. Halstedt Di lakukan untuk memperkuat atau menghilangkan locus minonis resistentiae. Ketiga muskulus, muskulus obliqus eksternus abdominis, muskulus obliqus internus abdominis, muskulus obliqus transversus abdominis, funikulus spermatikus diletakkan di sub kutis. 4. Shouldice Membuka lantai inguinalis dan mengimbrikasi fascia transversalis dengan teknik jahitan kontinyu. Setelah dilakukan operasi untuk mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan injeksi antibiotik yang berspektrum luas seperti golongan ampisilin, klindamisin serta aminoglikosida. Selain itu, dapat juga diberikan injeksi analgetik untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri setelah operasi KESIMPULAN Berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik, Bp. Z didiagnosis hernia inguinalis lateralis dextra reponibel dan akan dilakukan operasi hernia repair. Setelah dilakukan operasi, pasien diberikan injeksi antibiotic 3 x 1 gram untuk menghindaari infeksi pasca operasi serta analgetik 2 x 30 mg untuk mengurangi nyeri pasca operasi. REFERENSI Darmokusumo, K, (1993), Buku Pegangan Kuliah Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Kuijjer, P. J, prof. Dr, (1991), Kapita Selekta Pemeriksaan Bedah, cetakan IV, 62- 66, EGC, Jakarta. Sabiston (1994), Buku Ajar Bedah, bagian 2, 228- 230, EGC, Jakarta. Sjamsidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.570-579 Penulis Ridwan Muttaqin 20060310005. Bagian Ilmu Bedah RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

Bells palsy pada pengendara sepeda motor


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:57 ABSTRAK Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Kata kunci :

bells palsy, unilateral, kasus Pasien perempuan usia 40 tahun datang ke Poliklinik Saraf dengan keluhan Pasien merasakan mata kanan sulit menutup setelah melakukan perjalanan jauh mengendarai sepeda motor, keluhan disertai pipi kanan terasa kebas, gigi kanan sulit untuk mengunyah dan mata kanan sering nerocos / berair. Pasien kontrol rutin di poliklinik syaraf dan berencana fisioterapi untuk ke-8 kalinya. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya ataupun menderita DM dan hipertensi. Sedangkan keluarga pasien tidak ada yang menderita seperti ini ataupun menderita DM dan hipertensi. Vital Sign Tensi : 110 / 70 mmHg Nadi : 86 x/menit Respirasi : 18 x/menit Suhu : 36,5 C Anamnesis Sistem Neurologi : Nyeri pinggang (), Panas (-), pusing (-), kesadaran menurun (-),kelemahan anggota gerak (-), kejang (-), kelemahan wajah bagian kanan, mata kanan tidak bisa menutup rapat (+), Respirasi : Batuk (-), pilek (-), sesak napas (-) Kardiovaskular : Pucat (-), debar-debar (-), Gastrointestinal : Muntah (-), mual (-), nyeri perut (-), perut kembung(-), sakit pada anus (-) Urogenital : BAK lancar, nyeri BAK (-) Muskuloskeletal : lemah anggota gerak (-) Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diperoleh bahwa diagnosis kerja pada kasus ini adalah bells palsy dextra Terapi Metil Prednisolon 3x1 Citizin 2x1 B1 tab 1 1 0 B2 tab 1 1 0 Fisioterapi DISKUSI Pada kasus ini bells palsy terjadi pada seorang wanita 40 tahun datang dengan dengan keluhan Pasien merasakan mata kanan sulit menutup setelah melakukan perjalanan jauh mengendarai sepeda motor, keluhan disertai pipi kanan terasa kebas, gigi kanan sulit untuk mengunyah dan mata kanan sering nerocos / berair. Riwayat sering terpapar angin saat bekerja d merupakan salah satu factor terjadinya bells palsy. Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi akibat proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Proses inflamasi pada nervus fasialis menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal akan melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentuk kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, edema, demielinisasi atau iskemik pada nervus facialis dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Penyebab edema dan iskemia masih diperdebatkan. Di masa lalu, terdapat teori yang mengatakan bahwa Bells Palsy dapat terjadi karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka menyebabkan nervus facialis sembab dan edema, sehingga terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Namun, saat ini beberapa penulis percaya bahwa virus herpes simpleks (HSV) adalah penyebab umum Bells Palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik. Beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion genikulatum pasien Bells palsy. Murakami at all melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Mereka mengasumsikan bahwa virus adalah yang paling memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke atas akson dari saraf sensorik dan berada dalam sel-sel ganglion. Pada saat stres, virus akan aktif kembali, menyebabkan kerusakan lokal myelin serabut saraf tersebut. Dengan demikian, Bells palsy mungkin merupakan akibat sekunder terhadap infeksi virus, dan atau merupakan reaksi autoimun yang menyebabkan demielinisasi nervus facialis. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.

Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Pada lesi LMN, kelainan bisa terletak di pons, di sudut serebelopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu. Gejalagejala pengiring seperti augesia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus facialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang menyarafi muskulus stapedius. KESIMPULAN Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien ini ditemukan diagnosis Bells palsy yang merupakan suatu neuropati perifer pada N.VII dengan gejala paralisis wajah unilateral. Onsetnya akut serta dapat dibedakan dengan penyebab lain seperti paralisis wajah unilateral dengan ketiadaan gejala dan tanda gangguan susunan saraf pusat dan gejala telinga dan fossa posterior. REFERENSI 1. Dewanto, George; dkk. (2009). Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC 2. Hanako, Seiri. (2010). Bells Palsy. Diakses pada tanggal 30 Juli 2010 dari http://annsilva.wordpress.com/2010/04/0 3. Harsono (editor). (2007). Kapita Selekta Neurologi. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 4. Japardi, Iskandar. (2004). Nervus Facialis. Diakses pada tanggal 31 Juli 2010 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream 5. Lo, Bruce. (2010). Bells Palsy. Diakses pada tanggal 29 Juli 2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/791311-print

GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN PEMERIKSAAN USG PADA WANITA USIA 65 TAHUN
Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:59 Abstrak Seorang wanita usia 65 tahun mengeluh pusing berputar, nafsu makan berkurang dan badan terasa lemas sejak seminggu yang lalu. Pasien juga merasakan BAK sangat jarang disertai nyeri pinggang. Pemeriksaan USG abdomen menunjukkan ukuran ginjal normal, PCS tak melebar, parenchyma hiperechoik, batas medula tidak jelas sehingga memberi kesan radangkronis pada ginjal kanan dan kiri. Hasil laboratorium darah menunjukkan keadaan anemia dengan ureum dan kreatinin yang sangat tinggi sehingga mengarahkan pada diagnosis akhir sebagai gagal ginjal kronik. Kata kunci : gagal ginjal, kronik, ultrasonografi Kasus Pasien wanita, usia 65 tahun, datang dengan keluhan pusing berputar, nafsu makan menurun dan badan terasa lemas sejak seminggu yang lalu. Pasien juga merasakan sangat jarang BAK dan nyeri pinggang kanan dan kiri kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu. Dalam 1 tahun terakhir pasien merasa badan terasa pegal dan lemas, dan beberapa kali mondok di RS karena nyeri pinggang bawah. Riwayat penyakit ginjal, jantung, hipertensi, DM dan stroke pada pasien dan

keluarga disangkal. Keadaan umum pasien tampak pucat dan lemas dengan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/800 mmHg, nadi 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit dan suhu 39,30C. Kedua konjungtiva tampak anemis, limfonodi leher tidak teraba, JVP tidak meningkat, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen didapatkan hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan di regio epigastrium dan hypochondrium dextra. Pada ekstremitas tidak didapatkan adanya edema. Pemeriksaan darah rutin didapatkan nilai yang rendah pada beberapa komponen yaitu Hb 9,0 gr/dL, eritrosit 1,9.106/l, hematokrit 19 % dan trombosit 363.103/l. Kimia darah menunjukkan peningkatan ureum 149,3 mg% dan kreatinin 9,7 mg%. Pemeriksaan USG menunjukkan besar hepar normal, struktur parenchyma normal dengan sistema vaskular dan billiare tidak melebar; lien dalam batas normal; besar normal, PCS tak melebar, parenchyma hiperechoik, batas medula tidak jelas; ren dextra besar normal, PCS tak melebar, batas korteks medula tidak jelas, parenchyma hiperechoic; ren sinistra besar normal, PCS tak melebar, batas korteks medula tidak jelas; dinding vesika urinaria reguler, batu (-), endapan (-); besar uterus normal, massa (-). Sehingga didapatkan kesan adanya radang kronik pada ginjal kanan dan kiri. Diagnosis radiologis Proses radang kronik ren dextra dan ren sinistra Diskusi Gagal ginjal kronik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronik biasanya didahului dengan penyakit gagal ginjal berupa suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit gagal ginjal diperkirakan 100 kasus per juta penduduk tiap tahun, dan meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal tiap tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk tiap tahun. Pendekatan diagnosis menggunakan temuan gambaran klinis, laboratoris, radiologis dan histopatologi ginjal. USG abdomen pada pasien gagal ginjal kronik biasanya ditandai dengan korteks yang lebih hiperechoic hingga hampir sama dengan sinus renalis. Selain itu dapat ditemukan pula ukuran ginjal yang mengecil dan batas korteks medula yang tidak jelas. Pasien pada kasus ini menunjukkan abnormalitas berupa gambaran hiperechoic pada parenkim ginjal kanan sehingga menimbulkan kecurigaan adanya radang pada ginjal kanan. Normalnya, parenkim ginjal pada bagian korteks memiliki sonodensitas yang lebih rendah dari pada hepar, sehingga bersifat hipoechoic. Sonodensitas yang lebih tinggi dapat ditemukan pada parenkim sinus renalis karena komposisi lemak yang dimilikinya. Gambaran sonodensitas parenkim yang meningkat mungkin disebabkan proses inflamasi akibat riwayat konsumsi jamu dan obat-obatan yang sangat mungkin bersifat nefrotoksik. Besar kedua ginjal yang masih normal pada USG menandakan proses penyakit ginjal kronik yang masih awal dimana berkurangnya massa ginjal belum jelas terlihat. Gambaran PCS yang tidak melebar dan tidak ditemukannya batu pada struktur ginjal kanan dan kiri menyingkirkan kemungkinan proses obstruktif sebagai etiologi pada kasus ini. Hasil pemeriksaan USG harus dikolaborasikan dengan temuan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratoris. Gambaran klinis pasien menunjukkan temuan bermakna berupa anemis, sesak nafas, kelemahan badan, hipertensi, urin yang keruh dan penurunan berat badan. Pemeriksaan laboratoris memastikan penurunan Hb yang jauh dari normal, peningkatan asam urat serta kadar ureum dan kreatinin yang sangat tinggi. Dari perhitungan LFG dengan kadar kreatinin 9,20 mg% didapatkan nilai 6,03 % yang berarti pasien telah memasuki kriteria penyakit gagal ginjal derajat 5 yaitu gagal ginjal sehingga memerlukan terapi hemodialisa atau transplantasi ginjal. Seluruh temuan tersebut mendukung diagnosis gagal ginjal kronis sebagai

diagnosis utama. Temuan klinis berupa batuk dan penurunan berat badan menimbulkan kecurigaan adanya proses TB paru. Namun hal ini tersingkirkan dengan tiadanya temuan proses spesifik yang khas pada foto thoraks. Kedua temuan tersebut masih sangat mungkin disebabkan oleh proses penyakit ginjal kronik yang memang memiliki kerentanan mengalami infeksi saluran nafas, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Kesimpulan Pemeriksaan radiologis harus selalu dikolaborasikan dengan temuan gambaran klinis dan laboratoris. Gambaran klinis dan pemeriksaan kimia darah pada kasus ini mengarahkan pada diagnosis gagal ginjal kronik dan didukung dengan pemeriksaan USG yang menunjukkan gambaran yang khas. Daftar Pustaka 1. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FK UI 2. Malueka, R. G. 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendikia Press 3. Sudoyo, A. W. 2005. Buku Ajar Imu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI Penulis Farida Aryani, Bagian Ilmu Radiologi, RSUD Setjonegoro Wonosobo, Fakultas Ilmu Kesehatan Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Manajemen Diare Akut dengan Dehidrasi Ringan/Sedang pada Bayi Usia 8 Bulan
Dibuat oleh: Ridwan Muttaqin,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:54 ABSTRAK Diare adalah episode keluarnya tinja cair sebanyak lebih dari tiga kali, atau lebih dari satu kali keluarnya tinja cair yang berlendir atau berdarah dalam satu hari. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang dari 5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-10% dan dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10%. Dari hasil pemeriksaan, pasien mencret dan muntah lima kali dalam sehari, tidak ada lendir maupun darah, badan panas, ubun-ubun besar cekung, mata agak cekung, air mata sedikit, bibir agak kering. Sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami diare akut dengan dehidrasi ringan/sedang, mendapat pengobatan oralit, parasetamol sirup (3x1sendok takar/ hr), domperidon sirup 3 x 2,1-4,2 mg/ hari ( 3 x sendok takar/ hari) selama 5-7 hari, dan tablet zinc 1x20 mg. Kata Kunci: Diare akut, Dehidrasi ringan/sedang, Bayi KASUS Dari alloanamnesis didapatkan: 3 HSMRS bayi usia 8 bulan mencret dan muntah 6 x sehari, tidak ada lendir maupun darah. Bila dikasih makanan, bayi muntah. BAK lancar, tidak ada batuk. Badan tidak panas, selama lima hari itu bayi tidak diberi obat. 1 HSMRS bayi tetap mencret, badan mulai panas, tidak menggigil dan tidak ada kejang. Tidak ada riwayat alergi makanan, di lingkungan tempat tinggal tidak ada yang mengalami sakit serupa. Riwayat makanan: ASI sejak lahir s/d sekarang, bubur, biscuit, nasi lembek + kuah sayur diberikan mulai usia 7 bulan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan: UUB cekung (+), mata agak cekung, air mata (+) sedikit, bibir agak kering, leher dan thorax dbn, abdomen: palpasi turgor cukup. Ekstremitas; akral hangat. Rasa haus (+). DIAGNOSIS Diare akut dengan dehidrasi ringan/sedang TERAPI Oralit setiap BAB 50-100 cc (< 24 bulan), parasetamol sirup (3x1sendok takar/ hr) untuk menurunkan demam, domperidon sirup 3 x 2,14,2 mg/ hari ( 3 x sendok takar/ hari) untuk anti muntah selama 5-7 hari, tablet zinc 1x20 mg selama 10 hari berturut-turut. DISKUSI Prinsip penatalaksanaan diare adalah mempertahankan kebutuhan cairan tubuh supaya tidak terjadi dehidrasi karena penyebab diare yang paling banyak adalah rotavirus. Penatalaksanaan diare: 1. Berikan cairan sesuai indikasi Tanpa dehidrasi: ASI

semaunya, kemudian oralit setiap kali mencret atau muntah dengan dosis: < 1 tahun: 50-100cc, 1-5 tahun 100-200 cc, > 5 tahun : semaunya. Dehidrasi Berat: < 1 tahun, 20-30 cc/kgBB dalam 1 jam, dilanjutkan 70 cc/kgBB dalam 5 jam berikutnya, >1 tahun 20-30 cc/kgBB dalam 1/2 jam dilanjutkan 70 cc/kgBB dalam 2 jam berikutnya. Dehidrasi ringan sedang : 50 -100 cc/kgBB (2-4 jam), Oralit setiap BAB 50-100 cc (< 24 bulan), 100-200 cc (> 24 bulan). Pilihan Cairan: Beri RL (utama) atau NaCl. Jika pasiennya tidak dapat makan diberi Dekstros dan RL Jika muntah2 maka berikan Dekstros dan NaCl, tetapi jika pasien muntah + diare utamakan RL Oralit. Cara Pemberian: 1. IV _ Untuk dehidrasi berat 2. Enteral _Untuk dehidrasi ringan, sedang tetapi anak tidak mau/ tidak dapat minum atau jika kesadaran menurun 3. Oral _Bila kesadaran anak baik, anak mau minum, biasanya diberikan untuk dehidrasi ringan dan sedang 2. Observasi kondisi fisik pasien terutama status hidrasi KESIMPULAN Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit sehingga dapat menyebabkan dehidrasi. Prinsip penatalaksanaan diare pada dasarnya adalah untuk mempertahankan kebutuhan cairan tubuh supaya tidak terjadi dehidrasi yaitu dengan terapi cairan sesuai indikasi. REFERENSI Alatas H, Hassan R. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. Jakarta. FKUI; 1999 Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diare akut dalam Standart Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I 2004 ; 49-52 Penulis Ridwan Muttaqin 20060310005 Bagian Ilmu Kesehatan Anak. RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

PENANGANAN STEVEN JHONSOSN SYNDROME PADA WANITA USIA 45 TAHUN


Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:54 Abstrak Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan. Angka kejadian syndrom steven johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Syndrom steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkakdan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan padamulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan simtem imom seperti HIV dan AIDS serta lapus angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam. Kasus Seorang perempuan, 45 tahun datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan kulit melepuh di sekitar wajah, leher, dan tangan. Awalnya pasien datang ke praktik dokter gigi untuk mengobati nyeri pada gusi nya yang di rasakan berdenyutdenyut. Oleh dokter diberi beberapa obat, antikonvulsi dan analgesik serta vitamin. Sehari kemudian, pasien demam dan timbul bintik-bintik merah dan lepuhan di sekitar wajah, kulit menjadi kasar, berair, bercak-bercak coklat kehitaman. Keadaan ini juga timbul di leher, ketiak dan selangkangan. Pasien juga mengeluh gatal dan mengalami kesulitan untuk makan dan

minum. Pasien diperiksakan ke dokter dan mendapatkan salep antibiotika, tetapi tidak menunjukkan perbaikan . Kelainan kulit serupa belum pernah dialami oleh pasien maupun pada silsilah keluarga. Keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis. Kulit wajah, leher dan kedua tangan dijumpai papul eritema dan vesikel batas jelas multipel tersebar merata disertai erosi dan krusta kehitaman. Konjungtiva mata hiperemis. Diskusi Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: Kulit: berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Selaput lendir orifisium: membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang tebal (krusta hemoragik). Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan esofagus) dan saluran nafas atas. Mata:: konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Pada kasus ini, kelainan kulit di wajah, leher, ketiak dan kedua tangan sesuai dengan teori yaitu berupa eritem, vesikel, erosi dan krusta. Sedangkan di bibir terdapat krusta kehitaman (krusta hemoragik). Serta terdapar kemerahan pada konjungtiva mata. Diagnosis ditujukan sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannyadengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi,kelainan pada mukosa, demam. Terapi - Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terutama penderita yang sukar menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. - Kortikosteroid: metil prednisolon 80-120 mg per oral (1,5-2 mg/kgBB/hari) atau pemberian deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. - Antihistamin, terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. - Antibiotik yang dipilih yang jarang menimbulkan alergi, spektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari, gentamisin 1-1,5 mg/kgBB/dosis, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. - Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle, untuk bibir yang kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%. - Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi atau saline. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sufadiazin perak. Kesimpulan Syndrom steven johnson merupakan syndrom yang mengenai julit, selaput lendir, di orifisum dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa entema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. Beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu meliputi alergi obat ( misalnya, penisilin, analgetik, anti peuritik ). Infeksi mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, parasit ). Neoplasma dan faktor endoktrin, faktor fisik, dan makanan. Pada syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa : kelainan kulit yang terdiri dari batuk eritema, vesikel dan bula, kelainan selaput lendir di orivisium, dan kelainan mata yang ditemukan konjungtivitis kornea. Referensi 1. Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2. Siregar, R. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 3. Tedjapranata, M. 2009. Sindrom Steven Johnson. Diakses Desember 2012, dari http://22-sindrom-steven-johnson.htm Penulis Farida Aryani, Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin BRSD KRT Setjonegoro Wonosobo, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Penegakan diagnosis pada asfiksia neonatorum


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:52 Abstrak Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, dan setelah kelahiran. Sebagian kasus asfiksia pada bayi baru lahir merupakan kelanjutan dari asfiksia intrauterin. Maka dari itu, diagnosa dini pada penderita asfiksia mempunyai arti penting dalam merencanakan resusitasi yang akan dilakukan. Setelah bayi lahir, diagnosis asfiksia dapat dilakukan dengan menetapkan nilai APGAR. Penilaian menggunakan skor APGAR masih digunakan karena dengan cara ini derajat asfiksia dapat ditentukan sehingga penatalaksanaan pada bayi pun dapat disesuaikan dengan keadaaan bayi. Keywords: asfiksia neonatorum, APGAR History Bayi preterm 30 minggu tidak langsung menangis saat lahir, biru di seluruh tubuh, denyut jantung 82x/menit, tidak ada refleks rangsang. Setelah dilakukan resuitasi pada menit kelima kulit bayi menjadi lebih merah namun masih biru pada ektstermitan dan bayi terlihat meringis, keadaan yang lain masih sama. Pada menit kesepuluh denyut jantung menjadi 110x/menit, keadaan lainnya sama. Ibu merasa kekurangan gizi saat hamil dan menyangkal memiliki penyakit-penyakit DM, hipertensi dan asma. Pemeriksaan fisik bayi : BB : 900 gr PB : 36 cm LK : 29 cm LD : 22 cm LLA : 6.5 cm Diagnosis BBLER, kurang bulan, sesuai masa kehamilan, asfiksia neonatorum Terapi Resusitasi Oksigen 1 LPM Cefotaxim inj 2 x 40 mg Dexa inj 2 x 0.5 mg Vit K inj 1 x 1mg Gentamisin drops 1 ODS Diskusi Pada kasus bayi tidak langsung menangis saat lahir, biru di seluruh tubuh, denyut jantung 82x/menit, tidak ada refleks rangsang. Setelah dilakukan resuitasi pada menit kelima kulit bayi menjadi lebih merah namun masih biru pada ektstermitan dan bayi terlihat meringis, keadaan yang lain masih sama. Pada menit kesepuluh denyut jantung menjadi 110x/menit, keadaan lainnya sama. Ibu merasa kekurangan gizi saat hamil dan menyangkal memiliki penyakit-penyakit DM, hipertensi dan asma. Pada kasus tersebut di diagnosis BBLER, kurang bulan, sesuai masa kehamilan, asfiksia neonatorum dimana BBLER adalah <1000gr dan dikatakan kecukupan bulan pada 37-42 minggu. Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah disekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikasis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen

kembali ke bagian jantung kiri, dimana akan dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. Kesimpulan Penegakan diagnosis asfiksia neonatorum dapat dilihat berdasar pemeriksaan klinis, dan skor APGAR. Ringan APGAR score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O2 terkendali. Sedang APGAR score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat bernafas normal kembali. Normal atau ringan Sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa. Referensi 1. Manuaba IBG.Ilmu Kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan bidan.(2002) Jakarta : EGC 2. Dinkes RI. Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003 .(2007) Jakarta : World Health Organization. 3. Wijaya, 2009. Kondisi Angka Kematian Neonatal-Angka Kematian Bayi. http://www.infodokter.com/index.php?optio=com-content8.id=92. 4. Mochtar R. Sinopsis obstetri. ed 3. (2003) Jakarta : EGC. 5. IDAI. Asfiksia Neonatorum.Standar Pelayanan Medis Kesehatan anak . (2004) Jakarta

Penatalaksanaan Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut Pada Pasien Wanita Usia 50 Tahun
Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:51 Abstrak Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan intraokular yang relatif tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan pandang yang khas dan atrofi saraf papil. Glaukoma disebut sebagai pencuri penglihatan sebab pada sebagian besar kasus glaukoma sering tidak dirasakan oleh penderita. Proses kerusakan saraf optik berjalan secara perlahan sampai akhirnya terjadi kebutaan total. Kasus glaukoma primer sudut tertutup akut dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik subyektif maupun obyektif. Pemeriksaan subyektif tekanan intraokular mata dengan digital dapat membantu untuk mendiagnosis glaukoma. Kasus Seorang wanita usia 50 tahun datang ke Poliklinik Mata dengan keluhan mata kiri merah sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya kecil namun makin lama makin melebar karena sering dikucek-kucek. Sejak 1 minggu terakhir mata kiri terasa mengganjal, silau, jika melihat sinar seperti ada bayangan pelangi dan pandangan kabur perlahan-lahan hingga tidak bisa melihat disertai nyeri cekot-cekot pada mata menjalar hingga ke kepala. Blobok, nyrocos dan riwayat trauma disangkal. Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran composmentis, tanda-tanda vital TD 150/80 mmHg, nadi 82 x/menit, RR 20 x/menit, suhu afebris. Pada pemeriksaan subyektif didapatkanhasil VOD 6/6, VOS 0, proyeksi sinar dan persepsi warna OD baik sedangkan OS buruk. Pemeriksaan obyektif diperoleh hasil TIO OD N0,

TIO OS N+1, pada OS didapatkan edema kornea, pupil mid dilatasi, reflex pupil (-) dan ptosis. Prognosis pada pasien tersebut buruk, sehingga untuk ke depannya pasien diharapkan untuk melakukan iridektomi profilaksis pada mata sebelahnya untuk mencegah serangan glaukoma pada mata tersebut. Diagnosis OS Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut. Terapi Terapi yang diberikan berupa tetes mata timolol maleat 0,5% 2x1 tetes pada mata kiri untuk mengurangai TIO dan diberikan terapi simtomatik paracetamol 500 mg untuk mengurangi nyeri cekot-cekot pada mata, digunakan jika perlu. Diskusi Kasus ini merupakan glaukoma primer sudut tertutup akut berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik subyektif dan obyektif yang ditemukan. Pemeriksaan TIO dengan menggunakan palpasi digital dapat membantu mendiagnosis glaukoma, mengingat alat tonometeri tidak ada. Pada pasien ini sudah mengalami kebutaan permanen. Hal ini diakibatkan karena terlambatnya pasien datang ke pusat pelayanan kesehatan untuk mengobati penyakitnya. Prognosis pada pasien ini termasuk buruk. Untuk mencegah terjadinya serangan glaukoma pada mata sebelahnya sebaiknya dilakukan iridektomiprofilaksis. Terapi yang diberikan pada pasien tersebut berupa tetes mata timolol 0,5% 2x1 tetes mata kiri dan paracetamol 500 mg jika perlu. Tujuan terapi tersebut adalah untuk menurunkan tekanan TIO segera mungkin dan mengurangi nyeri cekot-cekot pada mata yang sakit. Kesimpulan Kasus glaukoma primer sudut tertutup akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik subyektif dan obyektif. Pemeriksaan TIO secara palpasi digital dapat membantu menegakkan diagnosis glaukoma walau hanya menilai secara subyektif. Penatalaksanaan terapi ditujukan untuk mengurangi TIO dan gejala simtomatik yang muncul. Referensi 1. Ilyas, Sidarta. 2003. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.---------. 2005. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata Edisi Pertama. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 3. Vaughan, Daniel, et. al. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya Medika. Penulis Farida Aryani, Ilmu Kesehatan Mata BRSD KRT Setjonegoro Wonosobo, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENANGANAN PRE-EKLAMPSIA BERAT PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL ATERM BELUM DALAM MASA PERSALINAN PADA WANITA USIA 19 TAHUN
Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:49 Abstrak Pasien umur 19 tahun memeriksakan kandungan saat mendekati waktu HPL. Dalam pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan darah pasien 170/110 dengan proteinuri positif 3. Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang terjadi bukan karena kelainan neurologis. Superimposed preeklampsia adalah timbulnya preeklampsia atau eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik. Penatalaksanaan preeklampsia berat dapat ditangani secara aktif dan konservatif, aktif berarti kehamilan diakhiri/ terminasi

bersama dengan pengobatan medisinal sedangkan konservatif berarti kehamilan dipertahankan bersama pengobatan medisinal dengan prinsip tetap melakukan pemantauan janin dengan USG atau kardiotokografi. Kata Kunci : Preeklampsia berat, penatalaksanaan. Kasus Pasien kiriman bidan dengan keterangan: wanita, 19 tahun G1P0A0, hamil aterm, dengan keterangan Preeklampsia Berat (PEB). Pasien merasa hamil 9 bulan, kenceng-kenceng belum dirasakan. Air kawah belum terasa merembes atau pecah. Lendir darah belum keluar. Keluhan pasien sekarang adalah pusing yang dirasakan sejak 2 hari SMRS, disertai mual-mual. Buang air kecil lancar tak ada keluhan. Buang air besar lancar tidak ada keluhan. Kontrol ANC teratur di bidan. Riwayat Diabetes Melitus, hipertensi, penyakit jantung, asma disangkal. Leopold I Teraba bokong janin di fundus uteri.. Leopold II Teraba janin tunggal, letak memanjang, punggung di batas samping kanan uterus, teraba bagian kecil di batas kiri uterus. Leopold III Teraba kepala di bagian bawah uterus. Leopold IV Kepala masuk panggul, teraba 4/5 bagian. Janin teraba tunggal, letak memanjang, puka, prestasi kepala, kepala masuk panggul, teraba 4/5 bagian. His (-). DJJ (+) 132 x/menit/teratur. Tinggi fundus uteri 31 cm. Taksiran berat janin 2945 gram. Pemeriksaan dalam Vulva/ uretra tenang, dinding vagina licin, serviks lunak tebal,pembukaan (-),selaput ketuban(+), preskep, kepala turun H1-2, STLD (+), AK (-). TD : 170 / 110 mmHg, Nadi : 100 kali / menit, RR : 24 kali / menit, Suhu : 36,8oC dengan pemeriksaan proteinuri positif tiga Diagnosis Preeklampsia Berat, Primigravida, hamil aterm, bdp Penatalakasaan Terapi: - Stabilisasi Hemodinamik - O2 2-3 liter - SM 4 gr Bolus, selanjutnya drip 6 gr/ 500 ml RL - Nifedipine 3 x 10 mg jika TD 160/ 110 mmHg atau MAP 125 mmHg - Observasi His dan DJJ Diskusi Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 170/ 110 mmHg, nadi 100 x/ menit, edema pada ekstremitas atas dan bawah. Pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin +3 (positif). Dari data diatas dapat ditegakkan diagnosis preeklampsia berat. Saat pasien datang belum dalam persalinan, dan direncanakan dilakukan induksi dengan misoprostol 25 ug/ vag/ tab per 6 jam. Induksi dilakukan sampai tab III. Penatalaksaan pada pasien ini adalah stabilisasi hemodinamik, pemberian O2 2-3 liter/ menit, dan obat antihipertensi. Untuk pencegahan terjadinya kejang pada pasien ini diberikan Sulfas Magnesikus 4 gr Bolus, selanjutnya drip 6 gr/ 500 ml R. Pada kasus diatas selain pemberian SM juga diperlukan tentang syarat boleh diberikan dan dilakukan penghentiannya. Selain itu harus diperhatikan juga tentang persiapan antidotum jika diperlukan. Penatalaksanaan preeklampsia berat dapat ditangani secara aktif dan konservatif, aktif berarti kehamilan diakhiri/ terminasi bersama dengan pengobatan medisinal sedangkan konservatif berarti kehamilan dipertahankan bersama pengobatan medisinal dengan prinsip tetap melakukan pemantauan janin dengan USG atau kardiotokografi. I. Penanganan aktif Penderita sebaiknya segera dirawat di ruangan khusus. Penderita ditangani aktif bila ada 1 atau lebih kriteria ini : A. Ada tanda-tanda impending eklampsia B. Ada HELLP Syndrome C. Ada kegagalan penanganan konservatif D. Ada tanda-tanda gawat janin E. Usia kehamilan 35 minggu atau lebih Pada penanganan aktif ini juga diberikan oksigen nasal kanul 4-6 liter/ menit. Pengobatan medisinal dengan anti kejang MgSO4. II. Penanganan konservatif Pada kehamilan < 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik, dilakukan penanganan konservatif yaitu dengan medisinal sama dengan penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda perbaikan menuju preeklampsia ringan, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera diterminasi. Penderita tetap diberikan oksigen nasal 4-6 L/ menit. Kesimpulan 1. Pada penderita diatas dapat didiagnosis PEB berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. 2. Penanganan pre eklampsia berat terdapat dua cara yaitu dengan penanganan aktif dan penanganan konservatif Referensi 1. Sibai B., Dekker G., Kupfermine M.,

2005. Lancet 365: 785-99. Department of Obstetrics and Gynaecology. University of Cincinnati College of Medicine, USA. 2. Mansjoer, A., Triyanti, K. Savitri, R., Wardhani, I. K., Setiowulan, W., Preeklampsia/ Eklampsia dalam : Kapita Selekta Kedokteran, Ed. Ke-3 jilid 1, Jakarta: Media Aesculapius, FK-UI, 1999; 270-273. 3. Prawiroharjo, S., Wiknjosastro, H. Preeklampsia dan Eklampsia dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta 1999; 24: 281301. 4. Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J, Gilstrap, L.C., Hauth, J.C., Wenstrom, K.D., Hipertensi Dalam Kehamilan, Obstetri Williams (21st ed), Suyono, J., Hartono, A., Pendit, B., (Alih Bahasa), Jakarta : EGC, 2005 : 773-824. 5. Mochtar. R., Toksemia Gravidarum dalam Sinopsis Obstetri, Edisi 2 Hal 201, 1998. Jakarta : EGC. 6. Josoprawiro, M., Hipertensi pada Kehamilan Preeklampsia-Eklampsia. FKUI. Jakarta. 1992. 7. Waspodo, Djoko., dkk. Preeklampsia/ Eklampsia dalam : Buku Acuan Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta 2005; Bab 1-9. Penulis Farida Aryani, Ilmu Kandungan BRSD KRT Setjonegoro Wonosobo, Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diagnosis dini pada penderita asma bronkhiale


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:48 Abstrak Asma adalah saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. bersifat sementara Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga. Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan lendir - perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Keywords: asma, gejala dini History Seorang laki-laki umur 36 tahun datang opname dengan keluhan utama sesak nafas hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu, sesak berbunyi ngik-ngik disertai keluhan batuk dan berdahak putih. Selama 2 minggu pasien sudah datang ke RS utuk di nrbulizer sebanyak sembilan kali penyakit dahulu ada riwayat asma dan tidak memiliki riwayat alergi lainnya. Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit serupa maupun alergi. Pemeriksaan Umum Keadaan Umum : Tampak Sesak Kesadaran : Compos Mentis Vital Sign : TD : 100/70 mmhg S : 37,2 C N : 96 X / mnt P : 28 X / mnt Inspeksi : Retraksi ( - ), Ketinggalan gerak nafas ( - ) Palpasi : Ketinggalan gerak nafas ( - ), vokal fremitus simetris ( + ) Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (+) halus, Wheezing (+/+), ekspirasi memanjang Diagnosis Asma bronkhial Terapi 1. oksigen : 2-4 lt/menit. 2. Infus D5 % + 1 1/2 amp Aminophilin 12 tpM 3. Mp 5 - 3 0 4. Ranitidin 3 x 1 tab 5. Ambroxol 3 x 1 tab 6. Salbutamol 3 x 2 mg 7. Cefotaxim 2 x 500 mg 8. Nebulizer ventolin/8 jam

Diskusi Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien ini menderita hipertensi grade II dengan keluhan utama Seorang laki-laki umur 36 tahun datang opname dengan keluhan utama sesak nafas hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu, sesak berbunyi ngik-ngik disertai keluhan batuk dan berdahak putih. Selama 2 minggu pasien sudah datang ke RS utuk di nrbulizer. Pemeriksaan fisik menunjukan adanya ronkhi basah dan wheezing pada auskultasi ke-2 lapang paru hal ini semakin menyakinkan bahwa keluhan sesak nafas pada pasien dikarenakan asma bronkhiale. Diagnosis untuk penderita asma bronkhiale 1. Anamnesa : - Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. - Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal. - Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain. 2. Pemeriksaan Fisik : - Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk. Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi. - Paru : Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah. Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang. - Pada serangan berat : tampak sianosis N > 120 X/menit Silent Chest : suara mengi melemah 3. Gambaran klinis Status Asmatikus : - Penderita tampak sakit berat dan sianosis. - Sesak nafas, bicara terputus-putus. - Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat. - Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma. Kesimpulan Asma apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan komplikasi serius. Beberapa hal yang perlu diketahui dan dikerjakan oleh penderita dan keluarganya adalah memahami sifat-sifat dari penyakit asma bahwa penyakit asma tidak bisa sembuh secara sempurna, bahwa penyakit asma bisa disembuhkan tetapi pada suatu saat oleh karena faktor tertentu bisa kambuh lagi, bahwa kekambuhan penyakit asma minimal bisa dijarangkan dengan pengobatan jangka panjang secara teratur. Maka dari itu pasien beserta keluarga harus memahami gejala-gejala awal asma. Referensi 1. Hisyam, Barmawi. (2008). Asma Bronkiale. Handout Kuliah Blok 16 Kardiovaskular dan Respirasi. MISC FKUMY 2005: Jogjakarta 2005 2. Sundaru, Heru; Sukamto, (2006). Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006 3. GINA (2010). Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. Diakses pada tanggal 6 Februari 2010 dari www.ginasthma.org 4. GINA (2010). At A Glance Asthma Management Reference. Diakses pada tanggal 6 Februari 2010 dari www.ginasthma.org

KELOID PADA PASIEN POST VARISELA


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:46 Abstrak Keloid adalah hasil dari pertumbuhan berlebih jaringan fibrosa padat yang biasanya berkembang setelah penyembuhan cidera kulit. Jaringan melampaui batas luka asli, biasanya tidak mengalami regresi, dan cenderung rekuren setelah eksisi. Gambaran pertama keloid (dicatat pada papirus) dikenal dengan teknik bedah yang digunakan di Mesir pada tahun 1700 SM. Selanjutnya, pada 1806, Alibert menggunakan istilah cheloid, berasal dari Yunani chele, atau capit kepiting atau cakar yang menunjukan potensi lesi meluas secara lateral Keyword: keloid, Isi Perempuan 19 tahun mengeluh 10 tahun yang lalu pasien terkena cacar air, bekas luka menebal dan warna lebih gelap dari kulit sekitarnya. Bekas luka kadang terasa gatal dan perih. 2 tahun yang lalu kaki kanan pasien terkena kenalpot, bekas luka menebal dan warna lebih gelap

dari kulit sekitarnya. Bekas luka kadang terasa gatal dan perih. Pemeriksaan Fisik Regio Thorak : tampak skar hiperpigmentasi, ireguler, berbatas tegas, tunggal Regio Thorak posterior - superior : tampak skar hiperpigmentasi, ireguler, berbatas tegas, multipel Regio Cruris dextra : tampak skar hiperpigmentasi, ireguler, berbatas tegas, tunggal Palpasi : tampak adanya peebalan keras pada skar Diagnosis Keloid Terapi Injeksi Kortikosteroid Triamcinolon : 10-40 mg/ml intralesi. cryotherapy : untuk keloid <6mm. diberikan 10-30 detik dan diulang 3x selama sesi perawatan. Diulang tiap bulan. Pulsed Dye Laser (PDL) dengan panjang gelombang 585595nm Terapi farmakologi : 5-flurouracil, imiquimod 5% cream, onion extract, interferon, immunotherapy. Diskusi Pada pasien ini, temuan klinis yang didapat tampak skar hiperpigmentasi, ireguler, berbatas tegas, tunggal pada regio thorak superior-inferior, tampak skar hiperpigmentasi, ireguler, berbatas tegas, tunggal pada regio cruris dextra dan pada penekanan tampak adanya peebalan keras pada skar. Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8 minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40% dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi penebalan ini akan berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi datar, putih, lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi ketidakseimbangan antara fase anabolik dan katabolik dari proses penyembuhan, lebih banyak kolagen yang diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala arah. Skar sampai diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis. Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau jaringan parut) : Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras, lesi awal biasanya kemerahan, lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging, lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa lainnya). Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yng berhenti tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil.Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai Keloid pada daerah tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari puncaknya.Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi reguler, tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang irreguler.Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan banyak keloid seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Kesimpulan penyebabi keloid masih diperdebatkan, namun trauma memegang peranan penting, dikatakan keloid dapat timbul setelah trauma atau setelah lesi lainnya. Keloid juga sangat berhubungan erat dengan faktor genetik. Referensi 1. Brian Berman, MD. Keloid and Hypertrophic Scar. 2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1057599-overview#showall 2. Gregory juckett, MD, MPH. Management of Keloids. 2009. Available at : http://www.aafp.org/afp 3. James studdiford, MD. The Management of Keloids: hands-on versus hand-off. 2008. Available at :http://www.jabfm.org 4. Oliver Seifert. Keloid scarring: bencah and bedside. 2009. Available at : http://www.4shared.com/office/zNg7qoMr/Keloid20scarring1.html 5. Gauglitz Gerd, MD. Hypertrophic Scarring and Keloids. 2009. Available at : http://www.molmed.com

PENEGAKAN DIAGNOSIS BATU SALURAN KEMIH DENGAN KOMPLIKASI HERNIA INGUNALIS PADA PRIA USIA 65 TAHUN
Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:46 ABSTRAK Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sudah 8 bulan sakit ketika buang air kecil, tiba-tiba menetes menjadi lancar kembali ketika berubah posisi tubuh. Merasa buang air kecil tidak puas,kadangkadang BAK mengedan. Nyeri dirasakan menjalar ke batang kemaluan dan lipat paha. Pasien juga mengeluh keluar benjolan dilipat paha kiri terutama saat mengedan, bersin dan batuk. Benjolan dapat masuk sendiri, benjolan dirasakan sejak 4 bulan terakhir. Kata kunci: batu saluran kemih, hernia, penatalaksanaan KASUS Pasien datang ke Poli Bedah dengan keluhan buang air kecil menetes yang sudah di rasakan 8 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan nyeri yang menjalar dari paha sampai dengan batang kemaluan. Pasien sering mengedan ketika buang air kecil, buang air kecil dirasakan lancar kembali apabila pasien merubah posisi sebelum buang air kecil. Selain itu pasien juga mengeluhkan keluarnya benjolan sebesar duku dilipat paha kiri yang dialami sejak 2 bulan terakhir, benjolan tersebut dapat masuk kembali, benjolan keluar ketika pasien mengedan, batuk dan bersin. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami sakit sama, pasien juga menyangkal adanya kemungkinan anggota keluarga yang mengalami hal serupa. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan keadaan umum Compos Mentis, TD 120/80mmHg, nadi 80x/menit isi tegangan cukup, suhu 36,80C. Pada regio inguinal pasien dengan posisi berdiri, terlihat benjolan sebesar buah duku dit paha kiri, finger test (+). DIAGNOSIS Batu Kandung Kemih (Batu vesica Urinaria/Vesicolhitiasis) dgn komplikasi Hernia Inguinalis TERAPI Terapi operatif : vesikotomi dan hernioktomi DISKUSI Batu vesika urinaria adalah suatu keadaan ditemukannya batu di dalam vesika urinaria. Di Indonesia diperkirakan insidensinya lebih tinggi dikarenakan adanya beberapa daerah yang termasuk daerah stone belt dan masih banyaknya kasus batu endemik yang disebabkan diet rendah protein, tinggi karbohidrat dan dehidrasi kronik. Pada umumnya komposisi batu kandung kemih terdiri dari : batu infeksi (struvit), ammonium asam urat dan kalsium oksalat. Berasal dari batu ginjal atau ureter yang turun, akibat statis pada striktur uretra, kontraksi leher buli-buli, sistokel, bulineurogenik dan divertikel, infeksi traktus urinarius, hiperparatiroid atau adenoma paratiroid, diet yang banyak mengandung kalsium dan oksalat. Gejala yang sering ditemukan pada pasien antara lain: a. Rasa nyeri waktu miksi (disuria, stranguria), dirasakan refered pain pada ujung penis, skrotum, perineum, pinggang, sampai kaki. b. Hematuria diserta urine yang keruh c. Pancaran urine tiba-tiba berhenti dan keluar lagi pada perubahan posisi d. Polakisuria (sering miksi) e. Pada anak nyeri miksi ditandai oleh kesakitan, menangis, menarik-narik penis, miksi mengedan

sering diikuti defekasi atau prolapsus ani. Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Etiologi dari hernia yaitu:1. Kongenital (Terjadi sejak lahir adanya defek pada suatu dinding rongga). 2. Didapat (akquisita) Hernia ini didapat oleh suatu sebab yaitu umur, obesitas, kelemahan umum, lansia, tekanan intra abdominal yang tinggi dan dalam waktu yang lama misalnya batuk kronis, gangguan proses kencing, kehamilan, mengejan saat miksi, mengejan saat defekasi, pekerjaan mengangkat benda berat. Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah faktor kongenital yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang dapat menyebabkan masuknya isi rongga pertu melalui kanalis inguinalis, faktor yang kedua adalah faktor yang dapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka akan menonjol keluar dari anulus ingunalis ekstermus. REFERENSI 1. Purnomo, B, Basuki. Dasardasar Urologi. Ed-2. Jakarta : CV.Sagung Seto, 2009. 57-68 2. Hassan, Rusepno. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta : Penerbit UI, 1985. 840-843. 3. Shires, Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed-6. Jakarta : EGC, 2000. 588-589. 4. Pearle, S, Margaret. Urolithiasis Medical and Surgical Management. USA : Informa healthcare, 2009. 1-6. 5. www.wordpress.com 6. www.medicastore.com PENULIS Farida Aryani. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FKIK UMY. RSUD Setjonegoro. Wonosobo

PENATALAKSANAAN SIROSIS HEPATIS PADA WANITA USIA 49 TAHUN


Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:45 ABSTRAK Seorang pasien datang dengan keluhan perut membesar disertai perut sebah dan terasa sakit. Pasien pernah mondok di RSU KRT Setjonegoro 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama, pasien tidak kontrol secara teratur. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati,sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis sirosis hepatis. Kata kunci: sirosis hepatis, diagnosis KASUS Pasien datang dengan keluhan perut membesar, perut sebah dan terasa sakit. Pasien juga mengeluh sukar untuk tidur. Pasien mengaku BAB dan BAK biasa. Pasien pernah mondok di RSU KRT Setjonegoro 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang sama, pasien tidak kontrol secara teratur. Pasien menyangkal sebagai peminum minuman keras, konsumsi obat-obatan dan jamu. Pasien juga menyangkal ada keluarga yang memiliki sakit yang sama. Pada pemeriksaan fisik: KU baik, kesadaran Compos Mentis, pernafasan reguler. Vital sign TD130/80 mmHg, Nadi 92x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur. Respiratori rate 22x/menit dan Suhu 37,40C. Sklera pada mata kanan dan kiri ikterik. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan asites, pekak beralih (+) dan undulasi (+). Pemeriksaan penunjang SGOT/SGPT 44/48 U/L nilai normal (L < 36, P< 31/ L< 46, P< 29), HbsAg (+) positif. DIAGNOSIS Sirosis Hepatis TERAPI Terapi pada pasien dengan sirosis adalah bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya

sirosis. Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sehari. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. DISKUSI Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan. Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Untuk mengetahui grade dari sirosis hepatis dapat dengan menggunakan Kriteria modifikasi Child Pugh, kriteriaini diperlukan untuk pemberian terapi yang tepat pada sirosis hepatis. Dibawah ini bagan dari Kriteria modifikasi Child-Pugh: Grade (1) (2) (3) Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0-3,0 >3,0 Albumin serum (mg/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8 Asites - Mudah dikontrol Sulit dikontrol Ensefalopati Minimal Berat/Koma Penatalaksanaan sirosis hepatis terbagi menjadi 2, yaitu: a. sirosis kompensata Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya: alcohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. b. sirosis dekompensata i. Asites. Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sehari. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari.7 ii. Ensefalopaty hepatic. Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bias digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.7 iii. Varises esophagus. Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Peritonitis bacterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur keseimbangan garam dan air. Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu. REFERENSI 1. 3rr0rists. Sirosis Hepatis. 2009. Available from http://3rr0rists.com/computer/sirosis-hepatis.html 2. Anonym. Living With Hepatitis : Sirosis Hati. 2007. Available from http://b3d70.wordpress.com/2007/07/31/sirosishati/ 3. Husnul Mubarak. Sirosis Hati (Sirosis Hepatis). 2008. Available from http://cetrione.blogspot.com/2008/05/sirosis-hati-sirosis-hepatis.html 4. Mansjoer. A. dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Media Aesculapius FKUI. Jakarta. 2001. Hal 508-510 5. Medicastore. Sirosis. Available from http://medicastore.com/penyakit/615/Sirosis.html 6. Pharma NH2. Anatomi Dan Fisiologi Hati.

2010. Available from http://nh2pharma.blogspot.com/2010/03/anatomi-dan-fisiologi-hati.html 7. Sudoyo. A.W,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat Jilid I. Pusat Penertiban Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006. Hal 445-448 PENULIS Farida Aryani. Bagian Interna. FKIK UMY. RSUD Setjonegoro.Wonosobo.

Diagnosis Pada Pasien Dengan Kasus Mola Hidatidosa


Dibuat oleh: Sekar Mutiara,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:44 Abstrak Mola hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari kelainan pertumbuhan trofoblas plasenta atau calon plasenta dan disertai dengan degenerasi kistik villi dan perubahan hidropik.( (Prof. Dr. Sarwono, 1997). Mola hidatidosa adalah tumor jinak dari trofoblast dan merupakan kehamilan abnormal dimana fetus tidak ditemukan tetapi hanya gelembung dan jaringan saja. Gelembung-gelembung tersebut sebenarnya adalah villi chorialis yang berisi cairan sehingga tegang dan berbentuk buah anggur. ( Rustam E harahap, 1997 ) Keywords: hipertensi, gejala dini History Seorang wanita usia 19 tahun datang dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak tanggal 2 Juni 2011. Pada awalnya, perdarahan yang keluar tidak banyak, berwarna merah kehitaman dan tidak disertai prongkol prongkol. 7 hari sebelum masuk rumah sakit perdarahan dari jalan lahir dirasa semakin banyak, berwarna merah kehitaman, dan tidak disertai prongkol prongkol. Pasien juga mengeluhkan adanya sakit perut saat perdarahan. Sakit dirasakan ketika sedang berjalan, dan bertambah sakit ketika sedang duduk serta membaik ketika sedang berbaring. Pasien tidak mengeluh adanya pusing pusing, maupun mual muntah. Pasien mengaku hamil 3 bulan dan sudah berkeluarga dengan suami sekarang selama 1 bulan. Pasien mengeluhkan riwayat jatuh dan dipijat sebelum masuk rumah sakit. Status Ginekologis Vaginal Touche: TFU tak teraba flx : (+) fl : (-) v/u/v tenang dinding vagina licin portio sebesar jempol tangan, lunak OUE tertutup corpus uteri setelur bebek AP/CD tenang Pemeriksaan Laboratorium Darah: Hb : 11,1 g / dl AL : 18,40 / ul AE : 4,20 / ul Ht : 38,4 vol% PLT : 588 / ul HbsAg : Diagnosis Mola hidatidosa Terapi - IUFD RL 20 tpm + Oksitosin 5u - ekstra Metergin 0,2 iv Metergin 3 x 1 - Kalnex 3 x 1 - Virilon 1 x 1 Diskusi Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan yang dilakukan pasien ini menderita kehamilan mola hidatidosa dengan keluhan utama Seorang wanita umur 19 tahun dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak tanggal 2 Juni 2011. Pada awalnya, perdarahan yang keluar tidak banyak, berwarna merah kehitaman dan tidak disertai prongkol prongkol. 7 hari sebelum masuk rumah sakit perdarahan dari jalan lahir dirasa semakin banyak, berwarna merah kehitaman, dan tidak disertai prongkol prongkol. Pasien juga mengeluhkan adanya sakit perut saat perdarahan. Sakit dirasakan ketika sedang berjalan, dan bertambah sakit ketika sedang duduk serta membaik ketika sedang berbaring. Pasien tidak mengeluh adanya pusing pusing, maupun mual muntah. Pasien mengaku hamil 3 bulan dan sudah berkeluarga dengan suami sekarang selama 1 bulan. Pasien mengeluhkan riwayat jatuh dan dipijat sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan vaginal touch ditemukan TFU tak teraba, flx : (+) fl : (-), v/u/v tenang, dinding vagina licin, portio sebesar jempol tangan, lunak, OUE tertutup, corpus uteri setelur bebek dan AP/CD tenang. Patogenesis Mola Hidatidosa Tidak sempurnanya aliran darah fetus (fetal circulatori inadequacy) yang terjadi pada sel telur patologik, yaitu pada hasil pembuahan dimana embrionya mati pada kehamilan 3-5 minggu, pembuluh darah villi tidak berfungsi penimbunan cairan dijaringan mesenkhim villi. Struktur

trofoblas abnormal hiperplasia, displasia, neoplasia. Fungsi abnormal absorbsi cairan yang berlebihan kedalam villi, proses penekanan, kerusakan pembuluh darah, kematian bayi. Adanya gangguan dari pertahanan imonologis terhadap trofoblas. Adanya kelainan sitogenetik. Dimana terdapat sel telur patologik yang tidak mempunyai kromosom maternal (empty egg) B-hCG meningkat - aktifitas ovarium meningkat (ovarium kistik) - estrogen tinggi menimbulkan efek hipertiroidisme dari aktifitas B-hCG yang tinggi. Gejala Mola hidatidosa Amenore Pembesaran uterus Perdarahan pervaginam dan nyeri perut bawah Pengeluaran Gelembung Mola Gestosis/Toksemia / Pregnancy Induced Hypertension / Toxaemia Like Syndrome Kelainan Kelenjar Tiroid Adanya tanda-tanda kehamilan disertai perdarahan. Perdarahan ini bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini maka umumnya penderita mola hidatidosa masuk rumah sakit dalam keadaan anemia. Hiperemesis gravidarum. Tanda-tanda pre eklampsia pada trimesteer I. Tanda-tanda tirotoksikosis. Umumnya uterus lebih besar dari usia keehamilan. Tidak dirasakan adanya tanda-tanda geraakan janin, balotemen negatif kecuali pada mola parsial. Kesimpulan Mola hidatidosa sering kali terjadi karena faktor ovum yaitu dengn cara spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua serum memasuki ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan dalam pembuahan. Referensi 1. Anonim., 2006. Mola Hidatidosa http://en.wikipedia.org/wiki/Mola 2. Cuningham, F, G., MacDonald, P, C., Gant, N, F. 1995. Obstetri William. EGC. Jakarta. 3. Norwitz, Errol & Schorge,John.2007. at a Glance Obstetri & Ginekologi edisi kedua. EMS. Jakarta . 4. Saifuddin, A.B., Wiknjosastro, H., Affandi B., Waspodo, D., 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka. Jakarta. 5. Wiknjosastro, H., Saifuddin, B, A., Rachimhadhi, T. 2006. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

Penatalaksaan Uveitis Anterior Sinistra pada Laki-Laki 32 Tahun


Dibuat oleh: Ridwan Muttaqin,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:44 Penatalaksaan Uveitis Anterior Sinistra pada Laki-Laki 32 Tahun ABSTRAK Pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke poli mata RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo dengan keluhan mata kanan nyerocos 1 bulan dan terasa pegal. Dari autoanamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis uveitis anterior sinistra. Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plikata), kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Manajemen uveitis anterior bertujuan untuk mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan badan kaca. Pasien mendapat terapi antibiotic dan kortikosteroid topikal berupa tetes mata yang berisi tobramycin dan dexametason 1 tetes tiap 2 jam pada mata kanan serta antibiotic dan kortikosteroid sistemik berupa Amoxicilin 3 x 500 mg selama 5 hari, dan dexametason 3 x 1 tablet. Kata kunci : Diagnosis, Uveitis Anterior, Kortikosteroid KASUS Pasien datang dengan keluhan mata kiri nyerocos 1 bulan dan terasa seperti kelilipan, mengganjal, gatal (-), nyeri (+), sekret (-), mata kabur (+), perih (+), nyeri bila

ditekan (+). Jika bangun tidur mata merah dan nyerocos. Jika terkena cahaya yang agak terang mata terasa silau (+). Mata kanan bila mengendarai motor selalu nyeri, perih dan gatal. Pasien juga mengeluhkan pusing yang kumat-kumatan hanya di mata sebelah kiri jika mata kembali nyerocos. Sebelumnya pasien sudah berobat di Puskesmas, sudah diberi tetes mata dan antibiotik tapi belum ada perubahan yang berarti, hanya mata merah sedikit berkurang. Dari pemeriksaan fisik mata kiri kornea bening, infiltrat (-), injeksi silier (+), Pupil anisokor, reflek cahaya (-),COA keruh, Sinekia Posterior (+), edema iris (+), Iris warna keruh, kripta (-). DIAGNOSIS Uveitis Anterior Orbicularis Sinistra TERAPI Cendo Tobroson ( gtt 1 / 2 jam OD), Amoxicilin tablet 3 x 500 mg, Dexametason tablet 3 x 1 mg DISKUSI Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plikata), kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea, dan sklera. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Manajemen uveitis anterior adalah bertujuan untuk mencegah kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior, kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan badan kaca. Secara umum pengobatan uveitis adalah kortikosteroid topikal atau sistemik. Dan dapat juga menggunakan sikloplegik topikal. Pengobatan imunosupresan dapat digunakan pada pasien dengan uveitis berat. Pemilihan terapi tergantung pada resiko komplikasi yang terjadi pada uveitis dimana yang paling sering adalah katarak, sistoid macular edema, hipotoni, dan glaucoma. Beberapa macam pengobatan uveitis anterior antara lain dengan menggunakan :Sikloplegik, Sikloplegik topikal berguna untuk mencegah terjadinya sinekia posterior dan untuk meringankan nyeri karena spasme siliar ; Kortikosteroid, merupakan pengobatan uveitis yang utama. Indikasi pemberian kortikosteroid adalah mencegah komplikasi berupa sistoid macular edema, sinekia posterior; imunosupresan agen, bekerja dengan cara membunuh limfosit. Indikasi pengobatan imunosupresan agent adalah pada inflamasi intraokuler yang mengancam visus dan apabila dengan pengobatan kortikosteroid tidak membaik; Cyclosporine, Pengobatan cyclosporine merupakan pengobatan yang paling spesifik terhadap fungsi imun. Dan terakhir denan pembedahan. Dalam kasus ini pasien diberikan terapi berupa tetes mata Tobroson ,tablet dexametasone serta amoxicillin. Tetes mata Tobroson yang mengandung tobramicyn dan dexametasone diharapkan berguna untuk mengurang peradangan yang terjadi dan untuk mencegah infeksi sekunder karena banyak flora normal di dalam mata yang merupakan golongan gram negative makanya digunakan antibiotic tobramicyn untuk menghindari aktifasi bakteri-bakteri gram negative tersebut di mata. Sedangkan dexametasone serta amoxicillin berguna untuk terapi sistemiknya. KESIMPULAN : Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan berbagai penyebab. Uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari 6 minggu dan dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu. Secara umum pengobatan uveitis adalah kortikosteroid topikal atau sistemik. Dan dapat juga menggunakan sikloplegik topikal. Pada pasien ini diberi tetes mata Tobroson yang mengandung tobramicyn dan dexametasone. Pemberian antibiotic dalam kasus ini berguna untuk mencegah infeksi sekunder karena banyak flora normal di dalam mata yang merupakan golongan gram negative makanya digunakan antibiotic tobramicyn untuk menghindari aktifasi bakteri-bakteri gram negative tersebut di mata. REFERENSI : 1. Ilyas Sidarta, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, ed II, FKUI, Jakarta: 2002 2. Wijana Nana, Uvea, Ilmu Penyakit Mata, hal 126-127 3. Vaughan G Daniel, anatomi dan Embriologi Mata, Oftalmologi Umum ed 14, Widya Medika, Jakarta: 2000 hal8-9 Penulis : Ridwan Muttaqin (20060310005) Bagian Ilmu Penyakit mata RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

PENATALAKSANAAN KASUS DIARE DENGAN KEJANG PADA ANAK USIA 5 TAHUN


Dibuat oleh: Farida Aryani,Modifikasi terakhir pada Minggu 06:42 Abstrak Kejang disebabkan oleh kelainan intrakarnial, ekstrakranial dan gangguan metabolik. Kejang dengan demam disebabkan oleh kelainan intrakranial dan ekstrakranial, kejang tanpa demam disebabkan oleh kelainan metabolik atau epilepsi. Diare atau gastroenteritis (GE) adalah suatu infeksi usus yang menyebabkan keadaan feses bayi encer dan/atau berair, dengan frekuensi lebih dari 3 kali perhari, dan kadang disertai muntah. Pada kasus ini, pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang 2x bersifat umum 3 menit tanpa didahului oleh panas/demam. Pasien juga mengeluh BAB cair 4x tanpa disertai lendir dan darah, BAB berwarna kuning, tidak ada bau yang khas, muntah 7x sedikit-sedikit, muntah berisi makanan dan minuman yang dimakan oleh pasien. Penatalaksanaan pasien pada kasus diatas adalah dengan penanganan kejang dan penanggulangan diare. Kata kunci (keyword) ; kejang, diare, demam, penatalaksanaan Kasus Pasien datang ke IGD dengan keluhan kejang 2x bersifat umum 3 menit tanpa didahului oleh panas setelah kejang pasien tertidur, bangun dan kemudian menangis. BAB cair 4x tanpa disertai lendir dan darah, BAB berwarna kuning, tidak ada bau yang khas, muntah 7x sedikit-sedikit, muntah berisi makanan dan minuman yang dimakan oleh pasien. Pasien tidak pernah mondok di Rumah Sakit sebelumnya, tidak ada riwayat kejang. Pada keluarga yang pernah mengalami kejang, yaitu kakak perempuan pasien. Pada pemeriksaan fisik di temukan keadaan umum tampak baik, kesadaran composmentis , nadi 80x/menit isi dan tegangan cukup dan teratur, suhu badan 36,50C, pernafasan 32x/menit, berat badan 11.6kg. pemeriksaan lab darah rutin angka leukosit 10,57. 103/l, pemeriksaan lab (tinja) warna kuning, lendir (-), Konsistensi lembek, darah (-), Bau khas, nanah (-). Diagnosis Diare dengan kejang Terapi Penanganan pada pasien di atas adalah dengan memberikan diazepam sebagai penanganan kejang pada pasien. Kemudian pemberian terapi pada diare untuk penanggulangan kemungkinan terjadinya kejang berulang dengan melakukan lima lintas penanganan diare. Diskusi Kejang adalah bangkitan kejang akibat kenaikan suhu rektal tubuh. Kejang terbagi menjadi 2 yaitu kejang dengan demam dan kejang tanpa demam. Pada kejang dengan demam penyebab demamnya bisa diakibatkan oleh infeksi yang berasal dari luar susunan syaraf pusat, yang paling berbahaya adalah infeksi intrakranial berupa meningitis atau encefalitis. Selain itu kejang dengan demam juga dapat diakibat kan oleh gangguan elektrolit berat yang disertai dengan demam, serangan epilepsi yang disertai dengan demam, kecurigaan penyebab kejang berasal dari infeksi intrakranial adalah apabila umur anak < 6 bulan, kejang lama atau kejang frekuen atau kejang periodik. Sedangkan pada gangguan eletrolik apabila anak ada riwayat menderita diare muntah atau gangguan ginjal kronik. Selain itu infeksi juga dapat berasal dari organ lokal yang mengalami infeksi, contohnya pada otitis media akut, faringitis, tonsilitis. Kejang tanpa demam dapat disebabkan oleh epilepsi tanpa kejang dan berulang, hipo/hiperglikemia, gangguan elektrolit tanpa demam, keracunan, trauma, hipoksia. Pada pasien kejang perlu diperhatikan adalah lamanya kejang, berulang/ tidak, umum/fokal. Hal ini diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan kejang demam. Diare atau gastroenteritis (GE) adalah suatu infeksi usus yang menyebabkan keadaan feses bayi encer dan/atau berair, dengan frekuensi lebih dari 3 kali perhari, dan kadang disertai muntah. Diare menyebabkan

kehilangan garam (natrium) dan air secara cepat, yang sangat penting untuk hidup. Jika air dan garam tidak digantikan cepat, tubuh akan mengalami dehidrasi. Kematian terjadi jika kehilangan sampai 10% cairan tubuh. Diare timbul akibat dari mekanisme dasar yaitu gangguan osmotik, gangguan sekresi dan gangguan motilitas usus. Penyebab diare terbagi menjadi 4 faktor, yaitu faktor infeksi terbagi menjadi 2 yaitu infeksi eneral dan infeksi parenteral. Infeksi interal adalah infeksi yang berasal dari saluran pencernaan itu sendiri sebagai penyebab utama diare. Sedangkan untuk parenteral adalah adanya faktor diluar sistem pencernaan yang mengakibatkan timbulnya diare, yaitu seperti Otitis Media Akut, Tonsilofaringitis dan lainnya, untuk infeksi pareneteral terutama terjadi pada anak berumur dibawah 2 tahun. Faktor malabsorbsi terbagi menjadi 3, yaitu: a. Malabsorbi karbohidrat (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak dibawah 2 tahun diare terjadi akibat intoleransi laktosa. b. Malabsorbsi lemak dan yang terakhir c. Malabsorbsi protein. Faktor makanan yang terpenting adalah kualitas makanan yang diberikan. Makanan basi atau beracun dapan menyebabkan diare. Pada beberapa anak alergi makanan juga dapat memicu timbulnya diare. Faktor psikologis rasa takut dan cemas dapat menimbulkan diare, terutama pada anak yang lebih besar. a. Untuk menanggulangi kejang ada 6 faktor yg perlu dilakukan, yaitu: Mengatasi kejang dengan memberikan diazepam yang disesuaikan dosisnya dengan berat badan, yaitu untuk anak dengan berat < 10kg maka diberikan 5mg/supp, anak dengan berat > 10kg maka diberikan 10mg/supp. Hati-hati dalam pemberian diazepam, karena efek samping yang diberikan berupa penekanan pada pusat pernafasan.1 - Pengobatan penunjang yaitu dengan menjaga kondisi vital pasien. Membuka pakaian yang melekat ketat, memposisikan kepala miring agar tidak terjadi aspirasi apabila pasien tiba-tiba muntah. Mengecek fungsi vital tubuh/vital sign. - Pengobatan rumat adalah pengobatan yg diberikan setelah pemberian diazepam. Obat yang dipilih adalah yang memiliki onset yang lama yaitu fenobarbital dengan dosis 5mg/kgBB dibagi menjadi 2 dosis. Namun hati-hati dalam penggunakan fenobarbital dalam jangka waktu panjang, yaitu perubahan sifat anak menjadi hiperaktif , perubahan siklus tidur (mengantuk). b. Untuk penanggulangan diare, dilakukan lima lintas diare, yaitu: Memperbaiki hidrasi cairan dengan memberikan cairan rehidrasi dengan tetesan sebagai berikut: anak < 1tahun, 30cc/1 jam pertama dilanjutkan dengan 70cc/5jam. Anak > 1tahun, 30cc/30menit dilanjutkan dengan 70cc/2,5jam. - Nutrisi, pemberian nutrisi sangat penting pada anak diare, untuk mencegah kemungkinan anak kekurangan nutrisi diakibatkan oleh diare. - Pemberian zinc, diberikan sampai dengan 10 hari walaupun anak sudah tidak diare lagi, hal ini dilakukan karena zinc dipercaya mampu memberikan pertahanan terhadap serangan ulang diare. - Antibioti spektrum luas, diberikan untuk mengobati diare yang disebabkan bakteri. Namun penggunaan antibiotik perlu hati-hati untuk mencegah kemungkinan terjadinya diare yang disebabkan oleh antibiotik. Edukasi, berikan ibunya pendidikan tentang penanganan anak diare dirumah, diajarkan untuk mengetahui cara pembuatan cairan rumatan dirumah. Referensi 1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA FK UI ; Jakarta 2. Nia Karia, dr. Sp A., M.Kes. PDF Kejang Pada Anak. Di download pada tanggal 6 November 2010 3. Bambang Edi, dr. Sp A. Studi Guide Ilmu Kesehatan Anak. FKIK UMY; Yogyakarta 4. http: //www.med.umich.edu/1libr/pa/pa_diarrhbr_hhg.hmt Penulis Farida Aryani. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FKIK UMY. RSUD Setjonegoro. Wonosobo

Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan ODS Hordeolum Palpebra Superior et Inferior pada Anak Laki-laki Usia 1 tahun
Dibuat oleh: Meila Supeni,Modifikasi terakhir pada Minggu 05:03 Abstrak Hordeolum adalah suatu peradangan supuratif pada kelenjar Zeiss atau kelenjar Moll atau kelenjar Meibom yang kebanyakan disebabkan oleh bakteri stafilokokus, umumnya Stafilokokus aureus (Ilyas, 2004), dan jarang disebabkan oleh Streptokokus. Seorang anak lakilaki berusia 1 tahun 9 bulan datang ke poliklinik mata RSUD Temanggung dengan keluhan utama benjolan di kelopak mata kanan dan kiri. Keywords : ODS, hordeolum, palpebra superior et inferior Isi Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 9 bulan datang ke poliklinik mata RSUD Temanggung dengan keluhan utama benjolan di kelopak mata kanan dan kiri. Kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit timbul benjolan di bagian kelopak mata kanan, kemudian muncul benjolan di kelopak mata kiri. Anak tidak rewel, tidak demam, mata tidak merah, dan tidak berair. Sejak lahir pasien mempunyai riwayat sering belekan, yaitu sudah lima kali. Riwayat sakit serupa sebelumnya disangkal. Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan yang sama. Di tempat tinggal pasien terdapat usaha pengumpul barang bekas / rongsok. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis (sadar penuh). Pemeriksaan tanda vital didapatkan nadi 144 x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36,3 oC. Pemeriksaan fisik pada segmen depan kedua mata : super silia ODS simetris. Kelopak mata simetris, OD terdapat 2 benjolan di palpebra inferior, OS terdapat 5 benjolan di palpebra superior dan inferior yang hiperemis. Apparatus lakrimalis ODS normal, bola mata ODS normal (pasangan sejajar, gerakan normal, ukuran normal), tekanan bola mata ODS normal, sklera ODS normal, kornea ODS (ukuran, kecembungan, limbus, permukaan) normal, kamera okuli anterior ODS (kedalaman normal, isi jernih), iris ODS (warna coklat, pasangan simetris, bentuk sirkuler), pupil ODS (ukuran 3 mm, bentuk lingkaran, tempat sentral, reflek direk +, reflek indirek +), lensa ODS jernih. Diagnosis ODS hordeolum palpebra superior et inferior Terapi infus KaEN 1 B 12 tpm amoxan syrup 3 x 1 cth cendo ulcori pembedahan berupa eksplorasi, ekstirpasi, dan hordeotomi pada ODS palpebra superior dan inferior. Diskusi Dalam kasus ini seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 9 bulan datang ke poliklinik mata RSUD Temanggung dengan keluhan utama benjolan di kelopak mata kanan dan kiri. Hordeolum adalah peradangan kelenjar yang sering terjadi dengan infeksi dari kuman Stafilokokus. Ditandai dengan pembengkakan terbatas (sirkumsrip) merah dan ada perlunakan yang akut. Ada pembentukan nanah yang lanjut menjadi abses (Ghozi, 2002). Gambaran Klinis Menurut Ilyas (2004) gambaran klinik hordeolum dapat dibagi menjadi gejala subjektif berupa rasa mengganjal dan rasa sakit yang akan bertambah jika menunduk dan gejala objektif berupa benjolan setempat, merah mengkilap, sakit bila ditekan, terletak di pangkal bulu mata. Gejala biasanya berawal sebagai pembengkakan terbatas (sirkumsrip) memerah dan nyeri bila di tekan. Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan penderita merasa ada sesuatu yang mengganjal di mata. Biasanya hanya sebagian kecil daerah kelopak yang membengkak. Ditengah daerah yang membengkak sering kali terlihat bintik kecil yang berwarna kekuningan. Bisa berbentuk abses yang cenderung pecah dan mengeluarkan nanah. Biasanya disertai dengan konjungtivitis (Vaughan & Asbury, 2000). Hordeolum terlihat tidak jelas, kemerahan, membengkak dan udematus, serta menimbulkan rasa gatal pada tepi

kelopak mata dekat ujung medial dan lateral. Batas/ujung hordeolum mencapai garis bulu mata 1 mm dari pinggir kelopak. Pembengkakan dan udem yang bertambah, disertai rasa gatal, akan memberikan rasa sakit. Setelah 1 minggu, hordeolum akan pecah, bagian tengah akan terlihat kuning kehijau-hijauan, memperlihatkan penampilan khas stafilokokus. Dengan ini penyembuhan dimulai dan berakhir dalam waktu 2 minggu (Miller, 1990). Hordeolum muncul secara tidak terduga dan berturut-turut. Kadang-kadang lebih dari satu hordeolum bisa muncul pada saat yang bersamaan pada kelopak mata yang sama (Philips, 1984). Penatalaksanaan Antibiotik diindikasikan bila dengan kompres hangat selama 24 jam tidak ada perbaikan, dan bila proses peradangan menyebar ke sekitar daerah hordeolum (Haryadi, 2011). 1. Antibiotika topikal Bacitracin atau tobramicin salep mata diberikan setiap 4 jam selama 7-10 hari. Dapat juga diberikan eritromicin salep mata untuk kasus hordeolum eksterna dan hordeolum interna ringan . 2. Antibiotik sistemik Diberikan bila terdapat tanda-tanda bakteremia atau terdapat tanda pembesaran kelenjar limfe di preaurikular. Pada kasus hordeolum internum dengan kasus yang sedang sampai berat, dapat diberikan chepalexin atau dicloxacilin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 7 hari. Bila alergi penisilin atau chepalosporin dapat diberikan clindamicin 300 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari atau klaritromycin 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari (Haryadi, 2011). Pembedahan Bila dengan pengobatan tidak berespon dengan baik, maka prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada hordeolum (Haryadi, 2011). Kesimpulan Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 9 bulan datang dengan keluhan utama benjolan di kelopak mata kanan dan kiri. Pemeriksaan fisik pada segmen depan kedua mata OD terdapat 2 benjolan di palpebra inferior, OS terdapat 5 benjolan di palpebra superior dan inferior yang hiperemis. Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah infus KaEN 1 B 12 tpm, amoxan syrup 3 x 1 cth, cendo ulcori, pembedahan berupa eksplorasi, ekstirpasi, dan hordeotomi pada ODS palpebra superior dan inferior. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan referensi. Daftar Pustaka Eva, P.R., Whitcher, J.P. 2007 Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. EGC, Jakarta. Ghozi, M., 2002 Buku Ajar Oftalmologi, Fakultas Kedokteran UMY, Yogyakarta. Haryadi, W., 2011 Hordeolum. Diakses pada tanggal 18 Desember 2011 dari http://www.docstoc.com/docs/42221138/Referat---Hordeolum Hollwhich, F. 1993 Oftalmology, 2nd ed. Binarupa Aksara, Jakarta. Ilyas, M. 2004 Ilmu Penyakit Mata, 3rd ed. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Mansur, A. 1999 Kapita Selekta Kedokteran, 3rd ed. Media Aesculapius, Jakarta. Miller, J.H. 1990 Parsons Disease Of The Eye, Churchill Livingstone Ltd., New York. Philips, C.I. 1984 Basic Clinical Ophtalmology, Medical Division of Longman Group UK. Ltd., London.a Vaughan, D. G., Asbury, T., Eva, P.R., 2000 Ophtalmologi Umum, 14th ed. EGC, Jakarta. Wijana, N.S.D. 1993 Ilmu Penyakit Mata 3rd ed. FKUI, Jakarta. Meila Supeni, Bagian Ilmu Penyakit Mata, RSUD Temanggung, Jawa Tengah

Anestesi Spinal pada Pasien Mioma Uteri dengan Anemia


Dibuat oleh: Meila Supeni,Modifikasi terakhir pada Minggu 04:56 Anestesi Spinal pada Pasien Mioma Uteri dengan Anemia Abstrak Anestesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar. Anestesi

spinal ( anestesi lumbal, blok subarachnoid ) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke cranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal). Pasien P1A0 usia 38 tahun datang dengan keluhan keluar darah banyak, prongkol-prongkol. Keywords : anestesi spinal, mioma uteri, anemia Isi Pasien datang sendiri P1A0 akseptor implant ( riwayat implant 21 tahun). Keluhan keluar darah banyak prongkol-prongkol sejak 2 hari SMRS. Riwayat menstruasi rutin tiap bulan. Keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital TD 100/70 mmHg, Nadi 80x/menit, suhu 36,5 celcius, respirasi 20x/menit. Pemeriksaan kepala : mata anemis (+), pemeriksaan VT : V/U tertutup, porsio mecucu, uterus sebesar telur bebek. Pemeriksaan laboratorium Hb turun 7,6 mmHg, Hmt turun 24, jumlah eritrosit turun 2,55, jumlah limfosit turun 17,7, jumlah netrofil naik 79,3. Pemeriksaan USG, kesan menyokong gambaran mioma uteri. Diagnosis Mioma uteri Terapi Transfusi PRC IV kalf SF 2 x 1 Ca Glukonas Operasi Diskusi Dalam kasus ini pasien datang sendiri P1A0 akseptor implant ( riwayat implant 21 tahun). Keluhan keluar darah banyak prongkol-prongkol sejak 2 hari SMRS. Riwayat menstruasi rutin tiap bulan. Teknik anestesi Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara. Pasang infuse, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat anestesi local. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi Krista iliaka kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5 Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1 Setelah tindakan antiseptic daerah pungung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal kea rah cranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligament, yang terakhir ditembus adalah durameter subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik local ke dalam ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrine IV 5 mg, infuse 500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah Bupivakain Bupivakain (Decain, Marcain) adaah derivate butil yang 3 kali lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi dareah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. Derajat relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Pethidin Pethidin merupakan narkotik yang sering digunkan untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan, dan dapat diantagonis dengan naloxon. Pethidin dapat menyebabkan vasodiatasi perifer, sehingga dapat menyebaban hipotensi orthostatic. Hal ini akan lebih berta lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon turunnya CO2, mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut. Kesimpulan : Pasien datang sendiri P1A0 akseptor implant (riwayat implant 21 tahun) dengan keluhan keluar darah banyak, prongkol prongkol sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat menstruasi rutin tiap bulan. Keadaan umum sedang, tampak pucat. Hb turun 7,6 mmHg. Diagnosis suspek myoma uteri. Akan

dilakukan histerektomi setelah perbaikan Hb dengan spinal anestesi. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan teori. Daftar Pustaka 1. Caesarean section (editorial). Didapat dari : URL, : http://www.wikipedia.org. 1 Maret 2006 (diakses tanggal 16 Mei 2012). 2. Oyston J. A guide to spinal anaesthesia for caesarean section. Didapat dari : URL, : http://www.oyston.com. Oktober 2000 (diakses tanggal 16 Mei 2012) 3. Tohaga E. Hubungan antara dosis preload dengan perubahan tekanan darah pada operasi dengan teknik anestesi spinal. Semarang : 1998 Meila Supeni, Bagian Ilmu Anestesi, RSUD Temanggung, Jawa Tengah

Diagnosis dan Penatalaksanaan Sinusitis pada Wanita Usia 24 Tahun


Dibuat oleh: Meila Supeni,Modifikasi terakhir pada Minggu 04:53 Diagnosis dan Penatalaksanaan Sinusitis pada Wanita Usia 24 Tahun Abstrak Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Wanita usia 24 tahun datang ke poliklinik THT dengan keluhan utama nyeri kepala pada kepala bagian atas dan depan. Keywords : rhinitis, sinusitis, multisinusitis Isi Wanita usia 24 tahun datang ke poliklinik THT dengan keluhan utama nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan pada bagian atas dan depan. Keluhan dirasakan sejak 2,5 tahun yang lalu. Riwayat berobat ke dokter dan diberi asam mefenamat, dan bila pusing pasien meminum obat tersebut. Pasien sering flu dan alergi terhadap dingin dan debu, pasien juga sering merasa terdapat dahak di tenggorokan. Dua minggu sebelum datang ke RS, keluhan bertambah berat yaitu nyeri kepala, flu, pingsan dua kali. Satu minggu sebelum ke RS, penciuman agak berkurang, telinga kanan kadang-kadang berdengung. Riwayat sering terpapar bahan-bahan pestisida dan asap rokok (+). Keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital TD 110/60 mmHg, Nadi 100x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 36,3 celcius. Pemeriksaan hidung dan sinus paranasal, inspeksi dalam batas normal, palpasi nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-). Rhinoskopi anterior : konka hipertrofi (+), mukosa edem (+), hiperemi (+). Pemeriksaan CT Scan kesan sinusitis sphenoidalis bilateral, maksilaris bilateral, dan ethmoidalis dekstra. Pemeriksaan laboratorium jumlah leukosit meningkat 13,2, jumlah trombosit meningkat 467. Diagnosis Multisinusitis Terapi Infus RL 20 tpm Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam Inj. Kalmethason 1 gr/8 jam Inj. Kalnex 500 mg/8jam Operasi CWL dekstra, NAW sinistra, ethmoidektomi Diskusi Dalam kasus ini pasien wanita usia 24 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala, nyeri kepala dirasakan sejak 2,5 tahun yang lalu. Pasien mengeluh penciuman agak berkurang, sejak 1 minggu sebelum datang ke RS. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Diagnosis Sinusitis Penegakkan diagnosis sinusitis secara umum : 1. Kriteria Mayor Sekret nasal yang purulen Drenase faring yang purulen Purulent post nasal drip Batuk Foto rontgen (Waters radiograph atau air fluid level) : penebalan lebih 50% dari antrum Coronal CT scan : penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus 2. Kriteria Minor

Edem periorbital Sakit kepala Nyeri di wajah Sakit gigi Nyeri telinga Sakit tenggorok Nafas berbau Bersin-bersin bertambah sering Demam Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri Kemungkinan terjadinya sinusitis jika : Gejala dan tanda : 2 mayor 1 minor dan 2 kriteria minor Terapi Tujuan terapi sinusitis : mempercepat penyembuhan , mencegah komplikasi , mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip : Membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan , antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin, jika sudah resisten dapat dipilih amoksisilin klavulanat atau jenis sefalosporin generasi 2, diberikan 10 14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang , analgetika mukolitik , steroid oral / topikal ,pencucian rongga hidung dengan NaCl / diatermi , antihistamin,irigasi sinus maksila, imunoterapi, tindakan operatif. Kesimpulan Wanita usia 24 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala, merasa terdapat dahak di tenggorokan, penciuman agak berkurang. Riwayat alergi debu dan dingin. Riwayat sering terpapar bahan pestisida dan asap rokok. Pemeriksaan rhinoskopi anterior konka hipertrofi (+), mukosa edem (+), hiperemi (+). Pemeriksaan CT scan kesan, sinusitis sphenoidalis bilateral, maksillaris bilateral, dan ethmoidalis dekstra. Pengobatan infuse RL 20 tpm, inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam, inj. Kalmethason 1 gr/8jam, inj. Kalnex 500 mg/8jam, operasi CWL dekstra, NAW sinistra, ethmoidektomi. Diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan referensi. Daftar Pustaka Etiologi, Patofisiologi, dan Penatalaksanaan Sinusitis, 2009. Diakses tanggal 18 Oktober 2011 Highler, P., Adams, B., 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Ed: 6. Jakarta : EGC Soepardi, EA., Iskandar, N., 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Ed: 5. Jakarta: FK UI Meila Supeni, Bagian Ilmu THT, RSUD Temanggung, Jawa Tengah

Penegakan Diagnosis apendicitis akut


Dibuat oleh: Anita Permatasari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:39 Abstrak Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix. Appendicitis pada umumnya disebabkan oleh obstruksi dan infeksi pada appendix. Beberapa keadaan yang dapat berperan sebagai faktor pencetus antara lain sumbatan lumen appendix oleh mukus yang terbentuk terus menerus atau akibat feses yang masuk ke appendix yang berasal dari secum. Feses ini mengeras seperti batu dan disebut fecalith. Isi Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan rasa nyeri pada perut kanan bawah. Rasa nyeri perut ini dirasakan sejak dua hari yang lalu. Pada awalnya rasa nyeri dirasakan di daerah ulu hati, kemudian dirasakan bertambah nyeri terutama di perut bagian kanan bawah, disertai demam, mual, dan muntah. Pasien merasa nafsu makannya agak berkurang. Pasien mengeluhkan susah buang air besar (sudah 3 hari sulit BAB, BAB kotoran keras, tidak ada lendir, tidak ada darah). Pasien tidak mengeluhkan gangguan BAK, BAK lancar, tidak ada rasa nyeri pada saat BAK, warnanya kuning seperti biasa, tidak disertai darah. Satu bulan yang lalu nyeri pada perut kanan bawah sudah pernah dialami pasien, pasien berobat ke puskesmas dan rasa nyeri hilang setelah minum obat. Diagnosis Appendisitis Akut Diskusi Gejala Klinis Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain 1. Nyeri abdominal. Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samarsamar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila

terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. 2. Mual-muntah biasanya pada fase awal. 3. Nafsu makan menurun. 4. Obstipasi dan diare pada anak-anak. 5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi C.-38,3biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7 Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi . Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer . 2. Palpasi Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: - Nyeri tekan di Mc. Burney. - Nyeri lepas. Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang . 3. Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata. Pemeriksaan Colok Dubur Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Tanda-Tanda Khusus 1. Psoas Sign Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif. Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah . 2. Rovsing Sign Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah . 3. Obturator Sign Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah . Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium - Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat . - Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis . 2. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak . 3. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. 4. Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. 5. CTScan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. 6. Laparoscopi Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix. Referensi 1. Helwick, CA, Appendicitis, Gale Encytopedia of medicine. htm. 2. Hamami, AH, dkk, Usus Halus Appendiks, Kolon, dan Anorektum, dalam Sjamsuhidajat, R, De jong. W, Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997, hal 865-75. Anita Permatasari, Stase Ilmu Bedah, RSUD. Jogja, Yogyakarta

peran pemeriksaan penunjang Tubex TF dalam mendeteksi dini demam Tiphoid


Dibuat oleh: Anita Permatasari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:25 Abstrak Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Penyakit ini biasanya mewabah pada musim hujan. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan olehSalmonella typhi . Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Isi Seorang laki-laki datang ke rumah sakit dengan keluhan panas sejak 6 hari yang lalu. Panas terutama dirasakan pada sore menuju malam hari. pasien sudah meminum obat penurun panas tetapi tidak kunjung sembuh. Selain itu pasien mengeluh mual dan muntah beberapa kali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesan umum tampak berbaring, dan lemah, kesadaran compos mentis GCS E4V5M6. pemeriksaan abdomen supel, bising usus (+) normal, dan terdapat nyeri tekan di ulu hati dan perut sebelah kanan atas. Diagnosis pelvimetri radiologik,Demam Tiphoid Diskusi Pemeriksaan penunjang USG. Penularan penyakit tifoid ini melalui makanan dan minuman yang tercemar kuman Salmonella .Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik, sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. Gejala klinis pada penderita: 1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan demam tidak tinggi yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. 2. Gejala pencernaan dapat berupa obstipasi / sulit buang air besar, diare, mual, muntah, dan kembung, dan lidah kotor dengan tepi kemerahan. Klinis: panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%), dan diare (31%). Pemeriksaan fisik: Kesadaran delirium (16%), somnolen (5%), sopor (1%), lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%), splenomegali (7%). Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium yang selama ini banyak dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu Widal tes. Pemeriksaan ini mengukur kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Kelemahan pemeriksaan ini adalah sensitivitas yang kurang, memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit demam typhoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman Salmonella (lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella ( Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik lebih sensitive, dan lebih praktis untuk deteksi dini infeksi akibat

kuman Salmonella typhi. TUBEX TF adalah sustu test diagnostic invitro semi kuantitatif <10 menit untuk deteksi Demam Tifoid akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi Ig M tersebut dalam menghambat ( inhibisi ) reaksi antara antigen berlabel partikel latex magnetic ( reagen warna coklat ) dan monoklonal antibodi berlabel latex warna ( reagen warna biru ), selanjutnya ikatan inhibisi tersebut di sparasikan oleh suatu daya magnetic. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi Ig M S. typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna. Keunggulan pemeriksaan TUBEX TF : Mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella typhi, karena antibody IgM muncul pada hari ke 3 terjadinya demam. Mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella ( > 95 %). Hanya dibutuhkan sample darah sedikit. Hasil dapat diperoleh lebih cepat. Tubex TF Prinsip: Tubex mendeteksi adanya IgM pada daerah didalam serum pasien dengan kemampuan untuk menghalangi adanya reaksi antigen yang dilapisis warna coklat dan darah yang diserang kuman dan dilapisi bahan reaksi biru. Hasil dibaca secara visual terhadap suatu skala warna. Alat dan Bahan: Tubex TF rapid typhoid detection Tubex color scale Tubex TF Brown reagen Blue reagen Serum Prosedur Kerja: 1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan 2. Kemudian masukan serum 45 l kedalam rak tubex 3. Tambahkan 45 l brown reagen 4. Homogenkan dan diamkan selama 2 menit 5. Tambahkan 90 l blue reagen, shake pada tubex TF selama 2 menit 6. Lakukan pembacaan pada tubex color scale setelah 5 menit Kesimpulan Tubex mendeteksi adanya IgM pada daerah didalam serum pasien dengan kemampuan untuk menghalangi adanya reaksi antigen yang dilapisis warna coklat dan darah yang diserang kuman dan dilapisi bahan reaksi biru. Tubex mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI) memungkinkan pengoperasian semudah Widal serta secanggih ELISA. Dengan pemeriksaan Tubex TF diharapkan diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan lebih dini sehingga pengobatan yang tepat dapat segera diberikan, dengan demikian dapat menurunkan angka kematian akibat kompikasi demam typhoid. Referensi 1. Afiani, Arina. I. 2011. Deteksi Dini Demam Typhoid dengan Tubex TF. Yogyakarta. 2. Irasfan, A. 2010. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/24896159 3. Nathan, Felix. 2010. Tinjauan Tubex TF Sebagai Alat Diagnostik Penunjang pada Demam Typhoid. 4. Pramita Lab. 2009. Diagnosis Demam Tifoid dengan Pemeriksaan Tubex. Yogyakarta Anita Permatasari, Stase Ilmu Penyakit Dalam, RSUD. Jogja, Yogyakarta

penanganan Diare Cair Akut


Dibuat oleh: Anita Permatasari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:23 Abstrak Diare dapat didefinisikan sebagai meningkatnya frekuensi buang air besar dan berubahnya konsistensi menjadi lunak atau bahkan cair. Diare cair akut adalah buang air besar lembek dan cair bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari. Isi Pasien demam sejak 7 hari yang lalu. Diare sehari >5x, cair ampas, lendir (+), darah (+). Makan dan minum seperti biasanya. Post mondok RS 2 hari, setelah pulang panas lagi. Didiagnosis diare cair akut desentriform dengan leukositosis. Diagnosis Diare Cair Akut Desentriform dengan leukositosis. Diskusi Cara mendiagnosis pasien diare adalah dengan menentukan 3 hal yaitu persistensinya, etiologinya dan derajat dehidrasinya. Dari anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya diare berlangsung akut atau kronik. Frekuensi defekasi sehari serta kira-kira banyaknya feses setiap

kali BAB, konsistensi tinja, warnanya (hitam seperti the, hijau, kuning, putih), baunya (busuk/anyir), serta tinja disertai lender dan/atau darah. Konsistensi tinja yang cair dengan warna seperti air cucian beras mungkin mengarahkan diagnosis pada kolera, tinja lembek yang disertai lender dan darah, apabila disertai dengan tenesmus seringkali khas untuk amebiasis intestinal. Selain rasa mulas, tenesmus serta kolik, perlu ditanyakan mengenai keluhan-keluhan lain yang menyertai diare misalnya terdapat muntah, sesak nafas, kejang, gangguan kesadaran, kencing berkurang, lemas, lecet di dubur, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah memeriksa pasien untuk menetukan derajat dehidrasi, jika terdapat dehidrasi pada anak. Dilakukan pemeriksaan pada keadaan umum pasien,ubun-ubun besar, turgor kulit, mata (palpebra), air mata, selaput lendir, urin. Cari adanya darah, lendir dalam tinja. Dasar penatalaksanaan pada pasien diare 1. Rehidrasi Salah satu komplikasi diare yang paling sering terjadi adalah dehidrasi. Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari memberikan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti air tajin, kuah sayur atau sup. Bila terjadi dehidrasi, anak harus segera dibawa ke petugas kesehatan. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) yang dianjurkan WHO selama 3 dekade terakhir ini menggunakan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa telah berhasil menurunkan angka kematian akibat dehidrasi pada diare, karena kombinasi gula dan garam dapat meningkatkan penyerapan cairan di usus. Sesuai dengan anjuran WHO saat ini dianjurkan penggunaan CRO dengan formula baru yaitu dengan komposisi Natrium 75 mmol/L, Kalium20 mmol/L, Klorida 65 mmol/L, Sitrat 10 mmol/L, Glukosa 75 mmol/L. Total osmolaritas 245 mmol/L. rehidrasi disesuaikan dengan derajat dehidrasi. Plan A (penderita diare tanpa dehidrasi) a. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi b. Beri tablet zinc c. Beri makanan untuk mencegah kurang gizi d. Edukasi Bawa anak kepada petugas kesehatan jika anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita : demam, buang air besar cair lebih sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, tinja berdarah. e. Rawat jalan Plan B (penderita diare dengan dehidrasi tak berat) a. Menentukan oralit untuk 3 jam pertama Jumlah oralit yang diperlukan =75ml/kgBB Umur Sampai 4 bln 4 12 bln 12 24 bln 2 5 thn BB < 6 kg 6 10 kg 10 12 kg 12 -19 kg Jml cairan 200 400 400 - 700 700 900 900-1400 b. Menunjukkan pada orang tua cara pemberian oralit Minum sedikit-sedikit tapi sering Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Lanjutkan ASI selama anak mau c. Beri tablet zinc 10 hari Setelah 3 jam,ulangi penilaian dan klasifikasikan kembali derajat dehidrasinya. Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan Plan C ( penderita diare dengan dehidrasi berat) Anakanak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi I.V secara cepat yang diikuti dengan rehidrasi oral a. Mulai berikan cairan I.V segera Larutan I.V terbaik adalah RL, jika RL tidak tersedia dapat diganti NaCl 0,9% Pemberian : 100ml/kgBB Pertama, berikan 30 ml/kg dalam Selanjutnya, berikan 70 ml/kg dalam <12 bulan 1 jam (*) 5 jam 12 bulan 30 menit (*) 2,5 jam (*) ulangi kembali jika denyut nadi radial masih lemah / tidak teraba 2. Dukungan nutrisi Makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat, untuk pengganti nutrisi yang hilang serta mencegah agar tidak menjadi gizi buruk. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. ASI tetap diberikan selama terjadinya diare pada diare cair akut maupun pada diare akut berdarah dan diberikan dengan frekuensi lebih sering dai biasanya. Anak umur 6 bulan keatas sebaiknya mendapat makanan seperti biasanya. Pengobatan dietatik a. Anak > 1 tahun dan anak < 1 tahun dengan BB < 7 kg Jenis makanana : Susu (ASI, susu formula rendah laktosa dan asam lemah tak jenuh, misal LLM) Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi tim) Susu khusus, yaitu susu yang tidak mengandung laktosa, atau sesuai dengan kelainan yang ditemukan b. Anak > 1 tahun dengan BB

> 7 kg Jenis makanan : makanan padat atau makanan cair/susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah 3. Suplementasi zinc Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, dapat mengurangi lama dan beratnya diare dan dapat mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Dosis zinc : anak-anak < 6 bulan = 10 mg (1/2 tablet)/hari anak-anak > 6 bulan = 20 mg (1 tablet)/hari Cara pemberian tablet zinc, untuk bayi tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. Tunjukkan cara penggunaan tablet zinc kepada orang tua dan meyakinkan bahwa pemberian tablet zinc harus diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak sudah sembuh. Zinc merupakan mikronutrien yang penting sebagai kofaktor lebih dari 90 jenis enzim. Zinc berperan dalam penguatan system imun, telah ditunjukkan bahwa zinc berperan penting dalam modulasi sel T dan sel B. Serta zinc berperan dalam menjaga keutuhan epitel usus. 4. Antibiotik selektif Antibiotik tidak diberikan pada kasus diare cair akut kecuali dengan indikasi yaitu pada diare berdarah dan kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional, akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium defficile yang akan tumbuh dan menyebaban diare sulit disembuhkan. Selain itu,pemberian antibiotic yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik. 5. Edukasi orang tua Nasehat kepada orang tua untuk segera membawa anak kembali kepetugas kesehatan jika ada demam, tinja berdarah, muntah berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering atau belum membaik dalam 3 hari. Indikasi rawat inap pada diare aut berdarah adalah malnutrisi, usia < 1 tahun, menderita campak pada 6 bulan terakhir, adanya dehidrasi,dan disentri yang disertai dengan komplikasi. Kesimpulan Dari anamnesis diperoleh pasien BAB cair > 10 x / hari, 1 hari SMRS, BAB cair ampas berwarna kuning, lendir (-), darah (-). Muntah 2x setelah makan dan minum, perut kembung. Demam sejak hari sabtu jam 17.00. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda dehidrasi yaitu anak tampak rewel, cubitan pada kulit perut kembalinya agak lambat, air mata kering, mukosa bibir tampak kering. Dari hasil pemeriksaan fisik menunukkan anak demam, tampak rewel, mata agak cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut kering. Cubitan kulit abdomen kembali sedang, dan turgor kulit sedang. Ekstremitas hangat, tidak ada ruam kemerahan maupun petekie, dan perfusi jaringan baik. Hasil pemeriksaan darah rutin ada kecurigaan kearah infeksi bakterial dan anemia mikrositik hipokromik. Dari hasil anamnesis , pemeriksaan fisik serta pemriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien Berdasarkan hasil anamnesis dapat disimpulkan, pasien mengalami diare akut dengan dehidrasi sedang. Seharusnya diberikan infus RL 75 cc /kgbb dalam 3 jam. Pada pasien ini diberikan zinc 1 tablet karena umur pasien lebih dari 6 bulan, fungsi zinc pada diare yaitu dapat mengurangi lama dan beratnya diare, serta dapat mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan. Referensi 1. Anonim,2008, Panduan tatalaksana diare. DEPKES 2. Hassan, Rupeno. Dr., Alatas, Hussein. Dr. 1985. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian IKA-FKUI, Infomedika. 3. Anonim, 2010. Intoleransi laktosa. Diakses dari www.medicastore.com 4. WHO. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Diare 5. IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Anita Permatasari, Stase Ilmu Kesehatan Anak, RSUD. Jogja, Yogyakarta

Penegakan Diagnosis PEB Pada Wanita Usia 40 tahun

Dibuat oleh: Mu'allim Hawari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:50 Penegakan Diagnosis PEB Pada Wanita Usia 40 tahun Abstrak Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut penyakit teori; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Diduga faktor imunologis memegang peranan penting yg mengakibatkan terjadinya kerusakan organ organ secara menyeluruh. Kata kunci :preeklampsia, PEB, penyakit teori Kasus Seorang wanita, usia 40 tahun, datang dari UGD dengan rujukan dari BPS dengan keterangan PEB, pasien merasa hamil 8 bulan, kenceng kenceng belum dirasakan, air ketuban belum merembes, lender darah tidak ada, gerak janin terasa. Mual, muntah, pusing, pandangan kabur, nyeri ulu hati tidak dirasakan. Riwayat ANC : ANC dilakukan di rumah sakit. RPD : Riwayat asma, diabetes, hipertensi dan penyakit jantung disangkal, Riwayat hipertensi pada kehamilan dibenarkan, Riwayat toxoplasmosis baru diketahui sejak anak ke 3. RPK :Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit dengan keluha yang sama. Riwayat penyakit asma, diabetes, hipertensi, penyakit jantung disangkal. Riwayat obstetric : I. /lahir mati/RS/8 bulan II. / lahir mati/RS/7 bulan III. /lahir mati/RS/6 bulan IV. /lahir mati/RS/4 bulan V. Hamil ini (29 minggu) Vital Sign : TD = 180/120 mmHg, N = 92 x/menit, RR = 22 x/menit, t = 36,5 C Kepala : palpebra edem -/-, thoraks : C/P dbn, Abdomen : dbn, akral : hangat, edem -/- STATUS OBSTETRI a) Inspeksi perut membesar, membujur sesuai masa kehamilan. b) Palpasi Leopod I : Teraba bagian besar, bulat, lunak, jumlah 1, TFU setinggi setengah jarak pusat dengan processus xypoideus. Leopod II : Kanan Teraba bagaian-bagian kecil janin Kiri Teraba bagian panjang janin Leopod III : Teraba bagian bulat, keras, belum masuk panggul, teraba 5/5 bagian Leopod IV : Konvergen His : Negatif, DJJ = 140 x/menit, TFU : 23 cm, TBJ = 1705 gram c) Pemeriksaan Dalam : v/u tenang, diding vagina licin, servix tebal, lunak, dibelakang tidak ada pembukaan, STLD negatif, selaput ketuban negatif, air ketuban negative Pemerikssan Laboratorium : Proteinuria : +++ Diagnosis PEB, grandemultigravida, hamil pre term, belum dalam persalinan Terapi Menejemen konservatif Infus RL Injeksi MgSO4 40% 8 gr (boka/boki) masing masing 4 gr / 10cc, dilanjutkan 4 gr per 6 jam Injeksi Dexamethason 2 x 1 ampul Nifedipin 3 x 10 mg Observasi vital sign Observasi HIS dan DJJ Diskusi Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut penyakit teori; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Diduga faktor imunologis memegang peranan penting yg mengakibatkan terjadinya kerusakan organ organ secara menyeluruh. Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/110 mmHg disertai proteinuria dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini ibu dikatakan mengalami preeklampsia berat karena mengalami hipertensi, yaitu tekanan darahnya sebesar 170/110 mmHg dan disertai proteinuria +3. Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeclampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena terjadi penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial. Pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Pada preeklampsia terjadi perubahan pada ginjal

yang disebabkan oleh aliran darah kedalam ginjal menurun sehingga mengakibatkan filtrasi glomerulus berkurang atau mengalami penurunan. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriole ginjal menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air. Tanda lain dari preeklampsia berat yang tidak dijumpai pada kasus ini adalah : Oliguria, jumlah produksi urine < 500 cc / 24 jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah. Hal ini terjadi karena pada preeklampsia filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis menurun; pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria atau anuria. Gangguan visus : mata berkunang-kunang karena terjadi vasospasme, edema/ ablation retina. Hal ini dapat diketahui dengan oftalmoskop. Gangguan Serebral : kepala pusing dan sakit kepala karena vasospasme / edema otak dan adanya resistensi pembuluh darah dalam otak. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen karena regangan selaput hati oleh perdarahan/ edema atau sakit akibat perubahan pada lambung. Edema paru dan sianosis. Edema paru merupakan penyebab utama kematian pada penderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi ini terjadi sebagai akibat dekompensasio kordis kiri. Pertumbuhan janin terhambat ( IUGR ) Terapi preeklampsia berat menggunakan injeksi MgSO4 40% 8 gram (boka/boki), terapi rumatannya 4 gram tiap 6 jam selama 24 jam . injeksi dexamethasone 2 x 1 amp selama 24 jam. Pemberian Nifedipin 3x 10 mg peroral juga efektif pada pasien ini. Kesimpulan Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut penyakit teori; namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/110 mmHg disertai proteinuria dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu. Daftar pustaka 1. Cunningham, F.G. et all, 2003, Williams Obstetrics, 21st ed, McGraw-Hill Companies. Mochtar, R., 1998, Toksemia Gravidarum, dalam: Sinopsis Obstetri, Jilid I edisi II, EGC,Jakarta. 2. Wagner, L., (2004), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2011, mei 20) Penulis Muallim Hawari, program profesi pendidikan dokter, bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUD Panembahan Senopati.

Penegakan Diagnosis Gagal Ginjal Kronis Dan Nefrolitiasis Pada Laki Laki Usia 86 Tahun
Dibuat oleh: Mu'allim Hawari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:51 Penegakan Diagnosis Gagal Ginjal Kronis Dan Nefrolitiasis Pada Laki Laki Usia 86 Tahun Abstrak Arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama disebut : nefrosklerosis jinak. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intra renal. Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial. Kata kunci : gagal ginjal kronis, arteriosklerosis Kasus Seorang pasien usia 86 tahun datang dengan keluhan Perut terasa sebah, mual dan pinggang sebelah kiri terasa sakit 2 minggu SMRS OS mulai mengeluh sakit

pinggang, BAK berwarna coklat seperti air teh, dan BAB berwarna coklat-kehitaman. OS merasa berat badan banyak berkurang, nafsu makan berkurang, mual dan muntah. OS mulai merasakan sulit BAB. Dari hasil USG Ren dextra echostruktur sedikit meningkat, batas cortex dan medulla mengabur, tampak lesi hiperechoic dengan acoustic shadow, Ren sinistra normoechoic, SPC tak melebar Lien normoechoic, ukuran normal Diagnosis Chronic Renal Disease Dextra dengan Nephrolitiasis Ren Sinistra dan Lien Normal Diskusi Arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama disebut : nefrosklerosis jinak. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intra renal. Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial. 1. Gagal ginjal kronik Gagal ginjal baik akut maupun kronik memberikan gambaran kortek yang hiperekoik dibandingkan dengan korteks normal, bahkan sono densitasnya hampir sama dengan sinus densitas sinus renalis. Pada stadium awal biasanya ukuran ginjal masih normal, umumnya bilateral, tapi pada gagal ginjal yang lanjut ukuran ginjal mengecil dengan batas yang sangat ireguler akibat proses fibrosis. Sedangkan gagal ginjal yang unilateral biasanya diakibatkan oleh trombosis vena renalis, renal transpalant rejection dan pielonefritis akut Pada penyakit penyakit dimana korteks mengalami perkapuran misalnya pada glomerulonefritis kronik, nekrosis korteks dan oksalosis, maka ditemukan gambaran korteks atau subkortikal selain hiperekoik, juga adanay bercak-bercak yang disertai acoustic shadow dibawahnya. Piramis ginjal pada awal gagal ginjal umumnya masih baik, namun pada fase lanjut akan sangat mengecil, bahkan menghilang, perubahan sinus renalis yang terjadi pada gagal ginjal ditandai dengan berkurangnya bahkan menghilangnya sistem collecting. Dalam kasus-kasus tertentu umpamanya leukemia, amiloidosis, pada awalnya disertai dengan nefgromegali. 2. Nephrolitiasis Neprolitiasis tampak sebagai suatu opasitas dengan reflektif yang tinggi didaerah sinus renalis, yang disertai suatu acoustic shadow di distalnya. Kadang-kadang terutama pada keadaan non distended urinary tract, eko dari batu umumnya tidak dapat dibedakan dengan ekogenik dari struktur sinus renalis. Kesimpulan Gagal ginjal baik akut maupun kronik memberikan gambaran kortek yang hiperekoik dibandingkan dengan korteks normal, bahkan sono densitasnya hampir sama dengan sinus densitas sinus renalis. Neprolitiasis tampak sebagai suatu opasitas dengan reflektif yang tinggi didaerah sinus renalis, yang disertai suatu acoustic shadow di distalnya. Daftar pustaka 1. Peterson JC. Gagal Ginjal Kronik . Dalam :Trisher CC, Wilcox CS : Buku Saku Nefrologi. Terjemahan Widayanti D.ed 3. Jakarta. EGC, 1997 : 103-16. 2. Wilson LM. Gagal Ginjal Kronik. Dalam : Price SA, Wilson LM : Patofisiologi. Terjemahan Augrah P. ed 4. Jakarta. EGC, 1995 : 812 - 43. 3. Sidabutar RP, Suharjono, Kapojos EJ. Gagal Ginjal Kronik : Dalam Suparman, ed. Ilmu Penyakit Dalam II. ed 1. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 1994 : 349 - 62. 4. Ilyas Muhammad, Boer Azwar . Ultrasonografi. Ginjal dalam Rasad Sjahriar, Radiologi Dignostik, Gaya Baru, Jakarta, 2005. Penulis Muallim Hawari, program profesi pendidikan dokter, bagian Ilmu Radiologi RSUD Panembahan Senopati.

Anestesi Umum Dengan Menggunakan LMA Pada Pasien FAM Sinistra


Dibuat oleh: Mu'allim Hawari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:41 Anestesi Umum Dengan Menggunakan LMA Pada Pasien FAM Sinistra Abstrak Anestesi umum ( general anestesi ) adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Kata kunci : anestesi umum, general anestesi Kasus Seorang pasien wanita usia 19 tahun dengan diagnosis FAM Sinistra direncanakan akan dilakukan operasi. Dari hasil pemeriksaan pre operasi visit ASA I didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, maupun Asma. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Airway :Clear, TMD >6,5, Malampathi II. Breathing : Spontan , Respirasi Rate: 20 x/m, Suara paru vesikuler di kedua lapang paru, whezing (-/-), ronkhi (-/-). Circulation didapatkan TD : 120/80 mmhg, HR : 82x/m reguler. Disability :compos mentis, E4V5M6, Berat Badan 40 kg. Hasil pemeriksaan penunjang : Foto Rontgen Thorax: Cor dan Pulmo dalam batas normal. Pemeriksaan Laboratorium : Hasil darah lengkap, elektrolit, dan kimia darah dalam batas normal. HbsAg negatif, dan pasien bergolongan darah A. Diagnosis FAM sinistra dengan rencana GA dengan LMA, ASA I Terapi Pre medikasi Midazolam 2,5 mg, Fentanyl 50 g, Induksi Propofol 100mg, Pemeliharaan O2, N2O, Isofluran, Obat-obat Ondansetron 4mg IV, Ketorolac 30mg IV Diskusi Anestesi adalah peristiwa hilangnya sensasi, perasaan ( panas, raba, posture ) dan nyeri bahkan hilangnya kesadaran, sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan pembedahan. Trias Anestesi : 1. Analgesia ( Hilangnya nyeri ) 2. Hipnotik ( Hilang kesadaran ) 3. Relaksasi otot ( Muscle Relaxan ) Pada general anestesi nyeri dihilangkan secara sentral disertai hilangnya kesadaran, bersifat pulih kembali (reversibel). Sebelum pasien diberi obat anestesi, dilakukan pramedikasi, yaitu sebelum dilakukan induksi anestesi, dengan tujuan: - Meredakan kecemasan dan ketakutan - Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus - Mengurangi mual dan muntah - Membuat amnesia - Memperlancar induksi anestesi - Meminimalkan jumlah obat anestesi yang dibutuhkan - Mengurangi reflek dari pasien yang membahayakan Obat obatan Premedikasi : 1. Sedativa, transquilizer 2. Analgetika narkotika 3. Alkaloid belladona : - Anti sekresi - Mengurangi efek vagal terhadap jantung dari obat-obat - Impuls afferent abdomen, thorax, mata 4. Anti emetik Klasifikasi Status Fisik : ASA I : Pasien normal / sehat - ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan - ASA III : Pasien dgn peny. Sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas - ASA IV : Pasien dengan peny. Sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya mengancam kematian ASA V : Pasien emergensi / muribund, dengan atau tanpa operasi hidupnya tidak lebih dari 24 jam Kesimpulan Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Klasifikasi status fisik ASA I, ASA II, ASA III, ASA IV, ASA V. Daftar pustaka 1. Boulton, T.B, Anestesiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994, hal 90. 2. Dobson, M.B, Penuntun Praktis Anestesi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal 56,84. 3. Drajat, M.T, Kumpulan Kuliah Anestesiologi, Aksara Medisina, Salemba, Jakarta, 1986, hal 99-102. 4. Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, Jakarta, 1989, hal. 67-69. Penulis Muallim Hawari, program profesi pendidikan dokter, bagian Anestesiologi Dan Reanemasi RSUD Panembahan Senopati.

Penegakan Diagnosis Akut Abdomen


Dibuat oleh: Mu'allim Hawari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:32 Penegakan Diagnosis Akut Abdomen Abstrak Akut abdomen adalah suatu keadaan perut yang dapat membahayakan penderita dalam waktu singkat jika tidak dilakukan tindakan yang cepat

dan tepat. Penyebab akut abdomen adalah Radang Akut, Trauma pada perut, Tumor intraabdomen, Obstruksi, Perforasi, Torsi, Kelainan Kongenital. Kata kunci : akut abdomen, gawat abdomen Kasus Seorang wanita berusia 55th, datang dengan keluhan utama nyeri perut. nyeri perut dirasakan sejak 3 hari yang lalu, nyeri perut awalnya dirasakan di daerah pusar, kemudian menjalar ke seluruh bagian perut disertai muntah warna putih, BAB terakhir 2 hari yang lalu, diare (-), flatus terakhir 1 hari yang lalu, BAK lancar. RPD: HT -, DM -, Asma -, Peny. Jantung -, dan riwayat operasi sebelumnya disangkal. Perut : Inspeksi : distensi +, dump contour -, dump stefung -, sikatrik -. Auskultasi : peristaltik menurun, metalik sound , Perkus i : hipertimpani semua kuadran, Palpasi : nyeri tekan semua kuadran, defans muskular +, masa +. USG Abdomen : Gambaran : Abdomen mengabur/ Faekal material prominent . Kesan : Curiga peritonitis/ Ileus. Ro. Abdomen 3 posisi : Gambaran : Dilatasi usus (+), Hearing bone (+), Air fluid lever (+), Udara bebas (-), Kesan : Ileus obstruktif letak tinggi Diagnosis Peritonitis dengan ileus obstruktif Terapi Direncanakan Laparatomi, Puasa, Infus RL 20 tpm, Inj. Ceftriaxon 2x1 gram, Inj. Metronidazol 3 x 500 mg Diskusi Akut abdomen adalah suatu keadaan perut yang dapat membahayakan penderita dalam waktu singkat jika tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Penyebab akut abdomen adalah sebagai berikut : Penyebab Contoh Radang Appendisitis akut, perforasi appendiks, perforasi tukak lambung, perforasi usus tifus, pankreatitis akut, adneksitis akut, kolesistisis akut Ileus obstruktif Hernia inkarserata, volvulus usus Iskemia Hernia strangulata, volvulus, kelainan atau penyumbatan vaskular Perdarahan Kehamilan ektopik, aneurisma pecah Cedera Perforasi organ berongga, perdarahan limpa atau hati Tanda permeriksaan fisik pada berbagai gambaran gawat abdomen Keadaan Tanda klinis penting Awal perforasi saluran cerna atau saluran lain Perut tampak cekung (awal), tegang, bunyi usus menurun, pekak hati hilang, nyeri tekan, defans muskular Peritonitis Penderita tidak bergerak,bunyi usus hilang (lanjut), nyeri batuk, nyeri gerak, nyeri lepas, defans muskular, tanda infeksi umum, KU merosot Massa infeksi atau abses Massa nyeri (abdomen, pelvis, rektal), nyeri tekan, uji lokal (psoas), tanda umum radang Obstruksi usus Distensi perut, dump steafung, terdengar borborigmi, nyeri kolik, tak ada rangsang peritoneum Ileus paralitik Distensi, peristaltik menurun atau hilang, tidak ada nyeri lokal Perdarahan Pucat, syok, mungkin distensi, berdenyut jika aneurisma aorta, nyeri tekan lokal jika KET Ro. Abdomen 3 posisi Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain: 1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance). 2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level. 3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance. Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu: 1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum. 2. Air fluid level 3. Herring bone appearance Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik. Pada kasus

peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi). Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah. 1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen. 2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow). 3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal. Kesimpulan Dari keluhan pasien nyeri perut yang dominan, muntah, gangguan defekasi, flatus (-), dapat mengarah pada gejala peritonitis dengan kemungkinan lainnya ileus. Dari pemeriksaan fisik pun juga menunjukan hal serupa, berupa distensi, defans muskular, peristaltik menurun, nyeri tekan seluruh bagian perut. Ro. Abdomen 3 posisi juga mendukung ileus obstruktif. Sehingga jatuh pada kesimpulan peritonitis dengan ileus, setelah dilakukan laparatomi ternyata penyebabnya adalah appendisitis perforasi yang pada akhirnya menyebabkan adesi usus yang menyebabkan obstruksi. Penatalaksanaan dari peritonitis adalah laparatomi eksplorasi itu sendiri. Daftar pustaka Sjamsuhidayat, R., dan De Jong, 2010, Buku Ajar ILMU BEDAH, EGC, Jakarta Penulis Muallim Hawari, program profesi pendidikan dokter, bagian Bedah RSUD Panembahan Senopati.

Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome


Dibuat oleh: Mu'allim Hawari,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:29 Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome Abstrak Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Infeksi dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti1. Dalam 50 tahun terakhir ini insidensinya telah meningkat 30 kali lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke negara-negara baru terutama di negra sub tropis. Virus Dengue menyebabkan infeksi yang bersifat simptomatik maupun asimtomatik. Infeksi dengue simtomatik merupakan infeksi sistemik dalam perjalanan penyakit yang sangat dinamis3, sulit diramalkan, dengan spectrum penyakit yang luas dan bermanifestasi klinis mulai dari gejala yang ringan sampai berat. Kata kunci : dengue haemorrhagie fever, dengue fever, demam berdarah. Kasus Seorang anak perempuan, 10 tahun datang dengan diantar kedua orang tuanya dengan keluhan utama panas. Panas dirasakan sejak minggu sore (5 hari SMRS), panas langsung tinggi, nyeri perut +, muntah + disertai darah, bapil -, diare-, BAB biasa, warna kuning kecoklatan, mimisan -, dan pusing +. RPD : DF/DHF -, kejang -, TB anak -, Alergi . RPK : kejang -, alergi -, TB paru . Lingkungan : radius 100m banyak yang terkena chikungunya. BB: 20 kg, HR : 120x/menit, RR : 24x/menit, Suhu : 371C, TD: 100/80 mmHg. Kepala : edem palpebra -/-, bibir kering +, Thoraks : pulmo :SDV menurun/+, amforik +/-. Cor : dbn, Abdomen : NT + semua regio, Asites +, Peristaltik + Normal, hepatomegali , Akral : dingin, nadi lemah Diagnosis DSS hari ke V dengan hematemesis Terapi Terapi cairanuntuk DSS sesuai dengan algoritme WHO 2009 7cc/kgBB/jam 10cc/kgBB/30 menit-1jam Inf. RL 20cc/kgBB/secepatnya 5cc/kgBB/jam. Jika 2X pengulangan 20 cc/kgBB tidak membaik maka diganti dengan cairan koloid max 10 -30cc/kgBB/jam Diskusi Demam

dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Infeksi dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti1. Dalam 50 tahun terakhir ini insidensinya telah meningkat 30 kali lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke negara-negara baru terutama di negra sub tropis. Virus Dengue menyebabkan infeksi yang bersifat simptomatik maupun asimtomatik. Infeksi dengue simtomatik merupakan infeksi sistemik dalam perjalanan penyakit yang sangat dinamis3, sulit diramalkan, dengan spectrum penyakit yang luas dan bermanifestasi klinis mulai dari gejala yang ringan sampai berat. Dengue shock syndrome adalah derajat demam berdarah yang paling berat, yang merupakan kumpulan gejala klinis yang mengarah kepada shock. Kriteria diagnosis dengue fever menurut WHO 2009 seperti dibawah ini. Kriteria untuk Dengue warning signs Probable dengue Tinggal / bepergian ke daerah endemik Panas dan 2 kriteria dibawah : Mual, muntah Rash Nyeri sendi RL test positive Leukopenia Warning sign Laboratory-confirmed dengue (important when no sign of plasma leakage) Warning signs* Abdominal pain or tenderness Persistent vomiting Clinical fl uid accumulation Mucosal bleed Lethargy, restlessness Liver enlargment >2 cm Laboratory: increase in HCT concurrent with rapid decrease in platelet count *(requiring strict observation and medical intervention) Severe plasma leakage leading to: Shock (DSS) Fluid accumulation with respiratory distress Severe bleeding as evaluated by clinician Severe organ involvement Liver: AST or ALT >=1000 CNS: Impaired consciousness Heart and other organs Terapi cairan untuk DSS sesuai dengan algoritme WHO 2009 Terapi dimulai dengan Inf. Kristaloids 20cc/kgBB/secepatnya 5cc/kgBB/jam setiap penurunan7cc/kgBB/jam10cc/kgBB/30 menit-1jam dilihat tanda tanda vital pasien (akral, nadi, tekanan darah) dalam who 2009 disertakan pula penilaian HMT untuk melihat kekentalan darah. Selama resusitasi carian ada beberapa hal yang harus selalu dipantau AT/HMT / 6jam, balance cairan, vital sign, fungsi hati, Ro. Thoraks PA, diit cair. Jika 2X pengulangan 20 cc/kgBB tidak membaik maka diganti dengan cairan koloid max 10 -30cc/kgBB/jam . Kesimpulan Penanganan utama dari DSS adalah resusitasi cairan karena kebocoran plasma yang disebabkan karena reaksi imunitas. Penanganan yang lainnya hanya bersifat simptomatis saja. Daftar pustaka 1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6 2. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005IDELINES FOR DIAGNOSIS, 3. World Health Organization. DENGUE GUIDELINES FOR DIAGNOSIS, TREATMENT, PREVENTION AND CONTROL.2009 Penulis Muallim Hawari, program profesi pendidikan dokter, bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Panembahan Senopati.

Anastesi pada Pasien Perempuan Usia 75 tahun


Dibuat oleh: Nur'afni Mz Matoka,Modifikasi terakhir pada Minggu 09:22 Abstrak Menurut WHO, klasifikasi usia disebut usia tua adalah >65 tahun. Semua perubahanperubahan fisiologi yang terjadi pada geriatri membuat kita perlu berhati-hati dalam peberian obat anestesi sehingga pada penilaian status fisik geriatri walaupun keadaan sehat dikategorikan menjadi ASA II. Eliminasi obat anestesi pada usia tua lambat, pasien geriatri juga memiliki

resiko tinggi untuk terjadinya komplikasi postoperasi akibat pengaruh obat. Efek dari sisa anestesi dapat mengakibatkan lambatnya pemulihan mental dan psikomotorik postoperasi sehingga membutuhkan monitoring yang intensif segera setelah operasi dan membutuhkan waktu untuk opname setelah operasi lebih lama. Isi Ny. M usia 75 tahun dating dengan keluhan terdapat benjolan pada wajah sebelah kanan sejak 1 tahun yang lalu, mual (-), muntah (-), batuk pilek (-), BAB/BAK tidak ada keluhan. Riwayat penyakit serupa (-), riwayat HT (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat alergi obat dan makanan (-), riwayat operasi sebelumnya (-). Pemeriksaan vital sign, fisik, laboratorium dalam batas normal. . Diagnosis Tumor facialis dextra ASA II Terapi - Pasien dirawat inap - Inf. RL 24 tpm Diskusi Pra-anestesia Penilaian pasien manula prabedah harus dilakukan dengan seksama, mengingat bahwa manula kemungkinan sudah menderita hipertensi, gagal jantung, gangguan ritme jantung, penyakit paru kronik, diabetes, gagal ginjal kronik atau penyakit degenerasi lain. Apabila mungkin, keadaan pasien harus dioptimumkan, bila perlu dengan menunda pembedahan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Premedikasi sebaiknya diberikan dengan hati-hati dan dosis sekecil mungkin. Biasanya hanya diperlukan diazepam 5 mg melalui mulut (peroral). Atropin atau alkaloid beladona yang lain biasanya tidak diperlukan. Selama Anestesia Apabila dimungkinkan sebaiknya diberikan analgesik regional (non-sistemik). Hal ini dikarena pasien yang sadar pada analgesik regional memungkinkan petugas lebih mudah dan lebih cepat mengenal serangan angina atau perubahan serebral akut. Dosis obat anestetika umum maupun lokal pada lansia harus dikurangi, dan diberikan menurut kebutuhan, secara titrasi dengan mengingat bahwa waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat-obat yang sudah diminum oleh pasien pra anesthesia. Pemantauan yang dilakukan disesuaikan dengan keadaan pasien. EKG sebaiknya dipantau secara rutin. Pasca Anestesia Ada kemungkinan bahwa kesulitan untuk bernafas pasca bedah dini lebih sering terjadi pada manula. Faktor yang meningkatkan kejadian penyakit pernafasan pasca bedah adalah kegemukan, manula perokok, nyeri, pembedahan darah abdomen atas atau toraks, dan distensi abdomen. Kesimpulan Pasien diatas merupakan pasien perempuan usia 75 tahun dengan tumor facialis dextra. Meskipun dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dalam batas normal, pemantauan sebelum, selama, dan sesudah operasi harus dilakukan seoptimal mungkin, mengingat pada usia lanjut telah terjadi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat menyebabkan perubahan atau perbedaan dalam interaksi obat-obatan. Referensi 1. Anonim. 2010. Anastesi Geriatri. Di akses tanggal 14 Mei 20012 dari www.scribd.com/doc/82710494/Anestesi-Geriatri-2 2. Boulton, T.B dan Blogg, C.E. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC: Jakarta. 3. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI: Jakarta. 4. Omoigui, S. 1997. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia. Edisi Kedua. EGC: Jakarta. 5. Pramono, A. 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. FK UMY: Yogyakarta. Penulis NurAfni Mz. Matoka, Program Pendidikan Profesi Dokter, Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi, RSUD Djojonegoro, Kab. Temanggung, Jawa Tengah.

Gambaran Ultrasonografi (USG) pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)


Dibuat oleh: Nur'afni Mz Matoka,Modifikasi terakhir pada Minggu 09:20

Abstrak Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam cervik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim. Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai aterm. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien Isi Ny. R usia 27 tahun dengan keluhan nyeri perut. HPHT 10 Agustus 2011, HPL 17 Mei 2012, UK 14 minggu 5 hari, ANC 2x di bidan, TT (-), PP test (+), minum jamu (-), KB suntik dilepas 3 tahun yang lalu, nikah 1x lama 12 tahun, RPD (-), RPK (-). Pemeriksaan fisik: keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis,vital signs: TD = 120/80, N = 100x/menit, RR = 28x/menit, T = 36,60 C. Abdomen: datar, bising usus (+) normal, timpani, supel, nyeri tekan (+) perut bawah, TFU 3 jari di atas pusat, genitalia: VT: O/U tenang, (-), nyeri goyang portio (-), STLD (-). Pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Diagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) Terapi Terapi yang diberikan pada pasien ini: - Infus RL 24 tpm - USG - PP test ulang Tindakan operasi: salphingektomi sinistra Diskusi Pemeriksaan ultrasonografi yang dimulai oleh Donald di Glasgow pada akhir tahun 1950 an atau awal tahun 1960 menjadi tonggak penting bagi penilaian janin. Meningkatnya resolusi dan portabilitas telah mendukung meluasnya penggunaan ultrasound pada awal kehamilan sampai dengan saat persalinan. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa pemeriksaan ultrasonografi merupakan satu-satunya tehnik yang dapat digunakan untuk menentukan viabilitas janin secara dini dan menentukan kehamilan kembar. Indikasi penggunaan ultrasonografi : 1. Penggunaan ultrasonografi rutin : konfirmasi adanya kehamilan intrauterine, enentuan usia kehamilan ( menggunakan CRL Crown Rump Length , BPD Biparietal Diameter Femur Length ), identifikasi kehamilan kembar, mengenali adanya kelainan kongenital major. 2. Penggunaan khusus : diagnosa abortus iminen konfirmasi viabilitas janin, perdarahan antepartum lokasi plasenta, pertumbuhan janin ( rasio kepala torax , perkiraan berat janin, penentuan volume air ketuban , placental grading ), penilaian kasus resiko tinggi ( penyakit maternal, peningkatan serum AFP alpha feto pritein , riwayat anomali kongenital ), pasca persalinan ( sisa produk konsepsi ). 3. Masa panggul. Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif, artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan. Kesimpulan Pasien usia 27 tahun dengan keluhan nyeri perut. Pasien ini didiagnosis dengan Kehamilan Ektopik Terganggu (KET). Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien. Pada pemeriksaan USG dapat dinilai kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan. Referensi 1. Ekayuda, I. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 2. Bangun, R. 2009. Karakteristik Ibu Penderita Kehamilan Ektopik Terganggu. Di akses tanggal 15 Mei 2012 dari repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14667/1/09E00840.pdf 3. Malueka, R. G. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press: Yogyakarta. 4. Ndruru, A. 2012. Kehamilan Ektopik Terganggu. Di akses tanggal 15 Mei 2012 dari www.scribd.com/doc/93358433/kehamilan-ektopik-terganggu 5. Trisnawati, I. 2011. Kehamilan Ektopik Terganggu. Di akses tanggal 15 Mei 2012 dari www.docstoc.com/docs/83566160/kehamilan-ektopik-terganggu Penulis NurAfni Mz. Matoka,

Program Pendidikan Profesi Dokter, Bagian Ilmu Radiologi, RSUD Djojonegoro, Kab. Temanggung, Jawa Tengah.

Manajemen Komprehensif pada Pasien dengan Dispepsia


Dibuat oleh: Nur'afni Mz Matoka,Modifikasi terakhir pada Minggu 09:01 Abstrak Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti "pencernaan yang jelek". Per definisi dikatakan bahwa dispepsia adalah ketidaknyamanan bahkan hingga nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas. Semua orang dalam hidupnya pasti pernah mengalami dispepsia. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan dapat mengalami hal ini. Satu diantara 4 orang pasti mengalami hal ini. Dispepsia merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mencerminkan gangguan saluran cerna. Kumpulan gejala tersebut adalah rasa tidak nyaman, mual, muntah, nyeri ulu hati, bloating (lambung merasa penuh/sebah), kembung, sendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi) hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus. Isi Tn. R usia 45 tahun datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 jam yang lalu. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, kambuh-kambuhan dan terutama jika pasien terlambat makan. Mual (-), muntah (-). Pasien juga adalah seorang perokok. Riwayay sakit serupa sebelumnya (+), DM (-), HT (-). RPK (-). Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Sekarang ini pasien tinggal dengan seorang istri dan tiga orang anak. Hubungan antara anggota keluarga terjalin dengan baik, demikian juga hubungan dengan lingkungan sekitar. Penilaian APGAR didapatkan hasil 8, dengan demikian fungsi keluarga sehat. Family SCREEM tidak ditemukan hal patologis. Kondisi rumah dan lingkungan tempat tinggal cukup layak untuk ditempati. Lain-lain dalam batas normal. Diagnosis Diagnosis holistik: laki-laki 45 tahun dengan dispepsia, susp. Gastritis kronik, gaya hidup (pola makan) tidak teratur dan perokok. Terapi - Ondansetron 3 x 1 Diskusi Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia. Manajemen holistik yang diberikan pada pasien ini berupa promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative. Promotif berupa edukasi berupa hal-hal yang dapat menyebabkan nyeri ulu hati, pola hidup sehat, seperti makan teratur, nutrisi seimbang. Preventif berupa pola makan sehat dan teratur, hindari hal-hal yang dapat meningkatkan asam lambung, seperti alkohol, makanan yang pedas, rokok dan stress, serta istirahat cukup, control kesehatan secara rutin. Kuratif diberikan ondansetron 3 x 1. Rehabilitatif berupa berupa pola makan sehat dan teratur, hindari hal-hal yang dapat meningkatkan asam lambung, seperti alcohol, makanan yang pedas, rokok dan stress, serta istirahat cukup Kesimpulan Pasien ini didiagnosis dengan dispepsia, susp. Gastritis kronik, gaya hidup (pola makan) tidak teratur dan perokok. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Referensi 1. Anonim1. 2011. Dispepsia. Di akses tanggal 16 Mei 2012 dari www.medicinesia.com/harian/dispepsia/ 2. Anonim2. 2011. Dispepsia. Di akses tanggal 16 Mei 2012 dari http://medicastore.com/penyakit/508/Dispepsia.html 3. Anonim3. 2012. Dispepsia. Di akses

tanggal 16 Mei 2012 dari www.scribd.com/doc/79538923/Dispepsia 4. Manjoer, A. 2000, Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Medika aeusculapeus: Jakarta. 5. Suryono, S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. FK UI: Jakarta. Penulis NurAfni Mz. Matoka, Program Pendidikan Profesi Dokter, Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga, Puskesmas Tegalrejo, Kab. Sleman, Yogyakarta.

Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Low Back Pain et causa Hernia Nukleus Pulposus
Dibuat oleh: Pony Pebriyanti,Modifikasi terakhir pada Minggu 05:39 Abstrak Low Back Pain atau Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah , dapat merupakan nyeri lokal (inflamasi), maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri yang berasal dari punggung bawah dapat berujuk kedaerah lain atau sebaliknya yang berasal dari daerah lain dan dirasakan di daerah punggung bawah/refered pain. Kata Kunci : Low Back Pain, Hernia Nukleus Pulposus, Diagnosis, Penatalaksanaan. Kasus Pasien laki-laki usia 53 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri punggung bawah yang dirasakan sejak 6 bulan lalu. Pasien juga mengeluh kesemutan yang menjalar dari pinggang sampai dengan paha kiri bagian belakang. Keluhan dirasakan semakin memberat jika duduk lama, berjalan agak jauh dan mengendarai sepeda motor. Terdapat riwayat trauma 4 tahun yang lalu jatuh dari tangga dengan posisi terduduk. Pasien sering mangalami trauma ringan dan berulang berupa berkendara sepeda motor di jalan yang rusak saat berangkat maupun pulang bekerja. Pemeriksaan Fisik. Keadaan umum: Cukup, Kesadaran: Compos mentis, Vital Sign; TD: 120/80 mmHg, Nadi: 84 x/menit, Rr: 20 x/menit, T: 36,7 C. Pemeriksaan Lasegue: (-/-), Valsava: (-), Patrick tes: (-), Kontra patrik tes: (-), Nafsiger: (-). Pemeriksaan penunjang berupa foto MRI didapatkan adanya ekstrusi DIV L4-5 dan protrusi L5-S1 dengan canal stenosis dan penyempitan neural foramen setinggi level tersebut, sinistra > dextra. Diagnosis Hernia Nukleus Pulposus verterba lumbosakral. Terapi - Asam Mefenamat 3x500 mg - Diazepam 2 x2 mg - Fisioterapi vertebra lumbosakral. Diskusi Hernia Nukleus pulposus (HNP) atau potrusi Diskus Intervertebralis (PDI) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (protrusi diskus) atau ruptur pada diskus vertebrata yang diakibatkan oleh menonjolnya nukleus pulposus yang menekan anulus fibrosus. Penegakan Diagnosis : 1. Anamnesis Dalam anamnesis perlu ditanyakan kapan dan bagaimana mulai timbulnya, lokasi nyeri, sifat nyeri, kualitas nyeri, apakah nyeri yang diderita diawali kegiatan fisik, faktor yang memperberat atau memperingan, ada riwayat trauma sebelumnya dan apakah ada keluarga penderita penyakit yang sama. Adanya riwayat mengangkat beban yang berat dan berulangkali, timbulnya low back pain dan riwayat trauma. Gambaran klinisnya berdasarkan lokasi terjadinya herniasi. 2. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi : - Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah. b. Palpasi : Adanya nyeri (tenderness) pada kulit bisa menunjukkan adanya kemungkinan suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological overlay). Kadang-kadang bisa ditentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan menekan pada ruangan intervertebralis atau dengan jalan menggerakkan ke kanan ke kiri prosesus spinosus sambil melihat respons pasien. 3. Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium rutin penting untuk

melihat laju endap darah (LED), kadar Hb, jumlah leukosit dengan hitung jenis, dan fungsi ginjal. 4. Pemeriksaan Radiologis : a. Foto rontgen biasa (plain photos) Sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai penyempitan ruangan intervertebral, spondilolistesis, perubahan degeneratif, dan tumor spinal. b. CT scan Merupakan sarana diagnostik yang efektif bila vertebra dan level neurologis telah jelas dan kemungkinan karena kelainan tulang. c. MRI (akurasi 7380%) biasanya sangat sensitif pada HNP dan akan menunjukkan berbagai prolaps. Namun para ahli bedah saraf dan ahli bedah ortopedi tetap memerlukan suatu EMG untuk menentukan diskus mana yang paling terkena. MRI sangat berguna bila: - vertebra dan level neurologis belum jelas kecurigaan kelainan patologis pada medula spinal atau jaringan lunak - untuk menentukan kemungkinan herniasi diskus post operasi - kecurigaan karena infeksi atau neoplasma Ischialgia. Nyeri bersifat tajam, seperti terbakar, dan berdenyut sampai ke bawah lutut. Gejala Klinis a. Ischialgia merupakan nyeri yang terasa sepanjang perjalanan nervus ischiadicus sampai ke tungkai. b. Dapat timbul gejala kesemutan atau rasa baal. c. Pada kasus berat dapat timbul kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon patella (KPR) dan Achilles (APR). d. Bila mengenai konus atau kauda ekuina dapat terjadi gangguan defekasi, miksi dan fungsi seksual. Keadaan ini merupakan kegawatan neurologis yang memerlukan tindakan pembedahan untuk mencegah kerusakan fungsi permanen. e. Nyeri bertambah dengan batuk, bersin, mengangkat benda berat, membungkuk akibat bertambahnya tekanan intratekal. TERAPI a. Terapi Konservatif Tujuan terapi konservatif adalah mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi fisik pasien dan melindungi dan meningkatkan fungsi tulang punggung secara keseluruhan. 90% pasien akan membaik dalam waktu 6 minggu, hanya sisanya yang membutuhkan pembedahan. Terapi konservatif untuk HNP meliputi: 1. Tirah baring Tujuan tirah baring untuk mengurangi nyeri mekanik dan tekanan intradiskal, lama yang dianjurkan adalah 2-4 hari. Posisi tirah baring yang dianjurkan adalah dengan menyandarkan punggung, lutut dan punggung bawah pada posisi sedikit fleksi. 2. Medikamentosa - Analgetik standar (parasetamol, kodein, dan dehidrokodein yang diberikan tersendiri atau kombinasi). - NSAID: penghambat COX-2 (ibuprofen, naproxen, diklofenak) dan penghambat COX-2 (nabumeton, etodolak, dan meloxicam). - Analgesic kuat : potensi sedang (meptazinol dan pentazosin), potensi kuat (buprenorfin, dan tramadol), dan potensi sangat kuat (diamorfin dan morfin). - Kortikosteroid oral: pemakaian masih menjadi kontroversi namun dapat dipertimbangkan pada kasus HNP berat untuk mengurangi inflamasi 3. Diatermi/kompres panas/dingin Tujuannya adalah mengatasi nyeri dengan mengatasi inflamasi dan spasme otot. Pada keadaan akut biasanya dapat digunakan kompres dingin, termasuk bila terdapat edema. Untuk nyeri kronik dapat digunakan kompres panas maupun dingin. 4. Korset lumbal Korset lumbal dapat digunakan untuk mencegah timbulnya eksaserbasi akut atau nyeri pada NPB kronis. Sebagai penyangga korset dapat mengurangi beban pada diskus serta dapat mengurangi spasme. 5. Latihan Direkomendasikan melakukan latihan dengan stres minimal pada punggung seperti jalan kaki, naik sepeda atau berenang. Latihan lain berupa kelenturan dan penguatan. b. Terapi Operatif Tujuannya untuk mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik. Tindakan operatif pada HNP harus berdasarkan alasan yang kuat yaitu berupa: - Defisit neurologik memburuk. - Gangguan otonom (miksi, defekasi, seksual). - Paresis otot tungkai bawah. - Terapi Konservatif gagal Macammacam operasi : 1. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral 2. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks 3. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra 4. Disektomi dengan peleburan : Graf tulang (Dari

krista illaka atau bank tulang) yang digunakan untuk menyatukan dengan prosessus spinosus vertebrata. Tujuan peleburan spinal adalah untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi kekambuhan. Kesimpulan Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien pada kasus didapatkan diagnosis LBP et causa HNP. Terapi yang diberikan pada pasien adalah fisioterapi vertebra lumbosakral, pemberian obat anti inflamasi non steroid dan muscle relaxan. Terapi operatif tidak dilakukan karena tidak ditemukan adanya defisit neurologik, gangguan otonom (miksi, defekasi, seksual), paresis otot tungkai bawah dan didaptkan perbaikan klinis dengan pemberian terapi konservatif. Daftar Pustaka 1. Lumbantobing, S.M., Tjokronegoro, A., Junada, A. 1983. Nyeri Pinggang Bawah. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Nursamsu, H. K. 2002. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri Pinggang. Malang. Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Brawijaya. 3. Cailliet, R. 1979. Low Back Pain Syndrome; Second Edition, F. A Davis Company, Philadelphia. 4. Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta. 5. Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat: Jakarta Penulis Pony Pebriyanti, Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Temanggung.

Klasifikasi dan Gejala Klinis Decompensatio Cordis NYHA II


Dibuat oleh: Pony Pebriyanti,Modifikasi terakhir pada Minggu 05:31 Abstrak Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Kata kunci : Decompensatio cordis, Klasifikasi, Gejala klinis. Kasus Seorang pasien perempuan, usia 41 tahun, seorang Ibu Rumah Tangga, datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu. Sesak dirasakan di seluruh bagian dada, disertai nyeri dada sebelah kiri tidak menjalar ke tangan maupun tembus ke punggung. Sesak nafas terutama dirasakan setelah pasien beraktifitas. Sesak berkurang bila pasien istirahat. Pasien sering sesak nafas saat malam hari. Pasien membutuhkan 2-3 bantal saat tidur supaya tidak sesak. Saat sesak pasien tidak mengeluarkan bunyi ngik-ngik, pasien tidak sesak bila terkena debu atau udara dingin dan tidak mempunyai riwayat asma atau merokok. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan tanda vital tekanan darah 130/80, frekuensi nadi 80 x/menit dengan irama ireguler dan isi tegangan kuat, frekuensi pernafasan 36 x/menit dan suhu 360C , tekanan vena jugular tidak meningkat. Pada auskultasi thoraks suara jantung S1-2 ireguler, tidak terdapat bising. Pada pemeriksaan pulmo tidak ditemukan adanya ronkhi dan wheezing. Pada pemeriksaan abdomen tampak flat, bunyi usus (+) normal, timpani, tak ada nyeri tekan, hepar/lien tak teraba. Pada pemeriksaan penunjang berupa EKG didapatkan adanya iskemik anterolateral. Diagnosis Decompensatio Cordis NYHA II Terapi - Tirah baring dengan posisi duduk - O2 nasal kanul 1-2 liter/menit - Infus Ringer laktat 20 tetes per menit - Injeksi furosemid 2x1 Amp - KSR tablet 2x1 tab. Diskusi Berdasarkan New York Heart Association (NYHA) hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat diklasifikasi sebagai berikut: I. Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari II. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambatan aktivitas hanya sedikit, akan tetapi jika ada kegaiatan berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta angina III.

Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat. IV. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas. Tanda dan gejala Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sistem pulmonal antara lain : a. Lelah b. Angina c. Cemas d. Oliguri. e. Kulit dingin dan pucat Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain : a. Dyspnea b. Batuk c. Orthopea d. Reles paru e. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan : a. Edema perifer b. Distensi vena leher c. Hari membesar d. Peningkatan central venous pressure (CPV Kesimpulan Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien pada kasus mengalami gagal jantung. Terapi pada pasien ini adalah tirah baring, pemberian oksigen, diuretic dan coronary dilator. Referensi 1. Tabrani. 1998. Agenda Gawat Darurat. Jilid 2. Penerbit Alumni Bandung. 2. Guyton. 1991. Fisiologi Manusia. EGC: Jakarta. 3. Dongoes M.E, Marry F, Alice G. 1997. Nursing Care Plans. F.A davis Company, Philadelphia. 4. Lippincot, New York Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Pendekatam Holistik. EGC: Jakarta. 5. Price, S. A. 1993. Patofisiologi. Penerbit EGC, Jakarta. Penulis Pony Pebriyanti, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Temanggung.

General Anestesi pada Tonsilektomi Wanita Usia 26 tahun


Dibuat oleh: Pony Pebriyanti,Modifikasi terakhir pada Minggu 05:33 Abstrak General Anestesia merupakan tindakan anestesi yang dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias Anestesi meliputi: Hipnotik, Analgesic, Relaksasi serta Stabilisasi Otonom. Tonsilektomi didefinisikan sebagai metode pengangkatan seluruh tonsil, Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Kata kunci: General anestesi, tonsilektomi. Kasus Pasien perempuan usia 26 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan berulang. Pasien mengeluh selama 7 hari merasa tenggorokan kering dan terasa sakit, disertai batuk, pilek dan tidak demam. Riwayat keluhan serupa (+). Pasien mengeluh mengalami kambuhan 3 kali dalam sebulan yang sudah ia alami selama 3 bulan ini. Riwayat penyakit asma (-), riwayat penyakit kencing manis (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat alergi obat (-), tidak ada riwayat trauma, riwayat operasi sectio caesaria 3 tahun lalu. Keadaan umum cukup, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36,5 C, respirasi: 22 x / menit. Diagnosis Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis. Status operatif : - Teknik : General anestesi; Obat induksi: Trivam, Atracurium. - Status ASA : I (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi), Vital sign awal : TD: 120/80, N: 80, RR: 20x/menit, Suhu: 36 0C Terapi Anestesi yang diberikan: - Induksi anestesi : Untuk premedikasi, diberikan SA 0,25 mg, sedacum 2 mg ondancetron 4 mg. - Maintenance : Untuk mempertahankan status anestesi digunakan kombinasi Enflurane O2 dan N2O. Diskusi Keadaan Pre Operatif: Pasien menjalani program puasa kurang lebih selama 8 jam sebelum operasi dimulai. Saat pasien berada di ruang operasi dilakukan penggukuran tanda vital dan didapatkan hasil TD 120/80 mmHg, Nadi 80 x/menit dan SPO2 100. Setelah itu pasien diberikan induksi

yaitu trivam 100 mg dan atracurium 20 mg sebagai pelemas otot pernafasan. Jenis Anestesi: Anestesi umum, respirasi kontrol menggunakan pipa endotrakeal no: 7 Keadaan Post Operasi: Operasi selesai dalam waktu 20 menit, agen inhalasi dimatikan sehingga hanya O2 saja yang diberikan dan dilakukan ekstubasi. Ekstubasi dilakukan setelah operasi selesai kemudian rongga mulut dan trakea dibersihkan dengan suction untuk menghilangkan lendir dan darah yang dapat menghalangi jalan nafas. Teknik anestesi yang dilakukan adalah general anestesi, respirasi kendali dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal agar dapat mempertahankan bebasnya jalan nafas. Pemilihan teknik anastesi yang paling aman bagi pasien, dengan memilih resiko terkecil bagi pasien. Kesimpulan Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pasien adalah tonsilitis kronis dan akan dilakukan Tonsilektomi. Saat ini indikasi utama tonslektomi adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Teknik yang digunakan adalah general anestesi; Obat induksi yaitu trivam 100 mg dengan status ASA I. Referensi 1. Adams, G.L. 1994. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL,Boies buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta. 337-40 2. Hatmansyah. 1993. Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran no 89. 18-21 3. Latief. said, dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi 2. FK UI : Jakarta Penulis Pony Pebriyanti, Bagian Anestesi RSUD Temanggung.

Stroke Non Hemoragik pada Laki-laki Usia 60 Tahun dengan Riwayat Hipertensi Tak Terkontrol
Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 04:14 ABSTRAK Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke non hemoragik didefinisikan, secara patologis, sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak adekuat yang disebabkan oleh penyumbatan. Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya deficit neurologic secara mendadak/sub, didahului gejala prodormal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun KEYWORD : STROKE NOKE HEMORAGIK, STROKE ISKEMIK ISI Pasien laki-laki berusia 60 tahun dibawa oleh keluargadan tetangganya dengan keluhan kepala mendadak pusing dan lumpuh pada anggota gerak sebelah kiri. Keluarga juga mengatakan bicara pasien tidak jelas. Sejak bangun tidur pasien mengeluh kepalanya nyeri dan badannya lemas, kemudian anggota gerak sebelah kanan menjadi lemah dan bicaranya pelo. Tidak ada riwayat keluhan yang sama sebelumnya, tetapi pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 8 tahun yang lalu namun tidak pernah kontrol. Pasien juga tidak pernah menjaga pola makannya. Di keluarga pasien tidak ada riwayat keluhan yang sama, namun ayah pasien juga penderita tekanan darah tinggi. Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis, tekanan darah 200/130 mmHg, nadi 92 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu 36,3oC. GCS E3V5M6. Pemeriksaan neurologis nervus kranialis didapatkan kelainan pada nervus X (vagus) berupa bicara pelo dan kesulitan menelan. Refleks patologis positif pada sisi tubuh sebelah kanan. Kekuatan otot anggota gerak kanan menurun (atas 1-1-1, bawah 1-1-1). Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin dan urin rutin dalam batas normal.

Tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan maupun MRI atas pertimbangan biaya DIAGNOSIS Stroke non hemoragik/iskemik TERAPI Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi rawat inap, pemasangan infus, anti hipertensi, diuretik, anti edema otak, neurotropik dan anti agregasi trombosit. Juga dilakukan pemantauan ketat terhadap keadaan umum, tanda-tanda vital dan adanya penurunan kesadaran. DISKUSI Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke non hemoragik didefinisikan, secara patologis, sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak adekuat yang disebabkan oleh penyumbatan. Stroke non haemoragik, sangat erat hubungannya dengan atherosclerosis. Kata atherosclerosis digunakan bagi sekelompok kelainan yang mengakibatkan menebalnya serta mengurangnya kelenturan dinding pembuluh darah arteri. Secara garis besar faktor resiko stroke dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang tidak dapat dikontrol yaitu umur, ras/bangsa, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan faktor resiko yang dapat dikontrol seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok, hiperlipidemia dan kolesterol, obesitas, aneurisma pembuluh darah serebral, kelainan jantung / penyakit jantung, policitemia, kurang aktivitas fisik dan penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi cerebrovaskular. Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/sub, didahului gejala prodormal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun. Gangguan neurologi fokal otak dapat berupa : 1. Gangguan motoris : kelemahan atau kelumpuhan separo anggota gerak, kekakuan pada satu ekstremitas atau separo tubuh, mulut dan atau bibir mencong, lidah mencong, pelo, melihat dobel (diplopia), kelopak mata sulit di buka (ptosis), gerakan tak terkendali (chorea/atetosis), kejang, tersedak (aspirasi), tidak keluar suara (disfoni/afoni) 2. Gangguan sensoris : gangguan perasaan (deficit sensoris), kesemutan (parestesi), rasa tebal-tebal (hipestesi), tidak bisa membedakan rabaan (anestesi), pendengaran terganggu (tinnitus/deafness), penglihatan terganggu (gangguan visus) 3. Gangguan bicara : sulit berbahasa (disfasia), tidak bisa bicara (afasia motorik), tidak bisa memahami bicara orang (afasia sensorik), tidak dapat mengerti apa yang dilihat (visual agnosia), tidak dapat menulis (agrafia), kepandaian mundur (predemensia), tidak dapat berhitung (acalculia), pelupa (demensia) 4. Gangguan psikiatris : mudah menangis (force crying), mudah tertawa (force laughing), depresi, bingung, gangguan otonom, keringat, seksual, sindroma menggerutu 5. Gangguan kongnitif : yaitu pasien mengalami kesulitan untuk mengorganisasikan informasi secara efisien dan terarah, dan juga paisen mengalami kesulitan dalam mengingat perintah yang diberikan kepadanya. Pada pasien, gejala dimulai pada pagi hari yaitu timbulnya nyeri kepala dan rasa lemas, kemudian disusul dengan kelemahan anggota gerak dan kesulitan bicara secara mendadak pada siang harinya. Tidak didapatkan adanya penurunan kesadaran. Gangguan neurologi fokal otak yang didapatkan adalah gangguan motoris berupa hemiparesis kanan, dan pelo. Pada pasien, pada pemeriksaan neurologis didapatkan reflek patologis positif pada anggota gerak sebelah kanan. Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan urin rutin dalam batas normal. Akan tetapi tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan maupun MRI atas pertimbangan biaya. Penatalaksanaan stroke dibedakan menjadi 2 fase, yaitu fase akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit) yang bertujuan untuk menyelamatkan neuron dan mencegah meluasnya proses patologik yang akan mengganggu fungsi otak, terapi berupa pemantauan jalan nafas, sirkulasi, tekanan darah dan kadar gula darah, diberikan anti edema otak, anti agregasi trombosit, antikoagulansia dan neurotropik. Dan fase pasca akut yang dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi medis dan pencegahan terulangnya stroke yaitu melalui terapi rehabilitasi dan menghindari faktor resiko. KESIMPULAN Pada pasien ini didiagnosis Stroke Non hemoragik. Pada pasien stroke dapat mengalami beberapa

gangguan yang sangat akan berpengaruh pada kualitas hidup. Penatalaksanaannya juga dibagi atas dua fase yang fase akut dan fase pasca akut yang mempunyai kegunaan masing-masing. REFERENSI 1. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta 2. SPM neurologi, 2009 3. Seri IR Neurologi 2005. Segi Praktis Pemeriksaan Neurologi. 2005. UPF Ilmu Penyakit Saraf FK UNS Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Saraf, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

Penegakan Diagnosis Fibroadenoma Mammae pada Wanita dengan Riwayat Benjolan di Payudara
Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 04:07 ABSTRAK Fibroadenoma mammae (FAM) atau yang biasa dikenal dengan tumor payudara membuat kaum wanita selalu cemas tentang keadaan pada dirinya. Yang perlu ditekankan adalah kecil kemungkinan dari fibroadenoma ini untuk menjadi kanker yang ganas Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang sering terjadi dipayudara. Fibroadenoma dapat didiagnosis dengan tiga cara, yaitu dengan pemeriksaan fisik (phisycal examination), dengan mammography atau ultrasound, dengan Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) KEYWORD : Fibroadenoma Mammae, Tumor jinak, Diagnosis ISI Pasien seorang perempuan berusia 30 datang ke Poli Bedah dengan keluhan terdapat benjolan sebesar telur puyuh pada payudara kiri sejak 1 bulan yang lalu. Benjolan tersebut kenyal, bisa digerakkan, dan terasa nyeri jika ditekan dan pada waktu mestruasi.. Tidak ada cairan yang keluar dari puting susu. Tidak disertai demam, mual, maupun muntah. BAB dan BAK lancar. Pasien belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama. DIAGNOSIS Fibroadenoma Mammae DISKUSI Penegakkan Diagnosis Fibroadenoma dapat didiagnosis dengan tiga cara, yaitu dengan pemeriksaan fisik (phisycal examination), dengan mammography atau ultrasound, dengan Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC). Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik diperiksa benjolan yang ada dengan inspeksi pada saat berbaring, duduk, dan membungkuk apakah terlihat benjolan, kerutan pada kulit payudara (peau dorange), dan dengan palpasi pada daerah tersebut, dari palpasi itu dapat diketahui ukurannya, jumlahnya, apakah mobil atau tidak, kenyal atau keras, bernodul atau tidak, dan mengeluarkan cairan dari putting susu atau tidak. Aspirasi Jarum Halus Dengan AJH diperoleh diagnosis tumor apakah jinak atau ganas, tanpa harus melakukan sayatan atau mengiris jaringan, sehingga keraguan seorang penderita apakah dirinya menderita kanker atau tidak segera terjawab dengan cepat dan akurat. Dibawah mikroskop tumpor tersebut tampak seperti berikut : a. Tampak jaringan tumor yang berasal dari mesenkim (jaringan ikat fibrosa) dan berasal dari epitel (epitel kelenjar) yang berbentuk lobus-lobus; b. Lobuli terdiri atas jaringan ikat kolagen dan saluran kelenjar yang berbentuk bular (perikanalikuler) atau bercabang (intrakanalikuler); c. Saluran tersebut dibatasi sel-sel yang berbentuk kuboid atau kolumnar pendek uniform. Mammografi Suatu teknik pemeriksaan soft tissue teknik. Adanya proses keganasan akan memberikan tanda-tanda primer dan sekunder. Tanda primer berfibrosis reaktif, comet sign, adanya perbedaan yang nyata ukuran VE dan rontgenologik dan adanya mikrokalsifikasi. Tanda-tanda sekunder berupa retraksi, penebalan kulit, bertambahnya vaskularisasi, perubahan posisi palpila dan areola adanya bridge

of tumor, keadaan daerah dan jaringan fibroglanduler tidak teratur, infiltrasi dalam jaringan lunak di belakang mammae dan adanya metastis ke kelenjar. Mammografi ini dapat mendeteksi tumor-tumor yang secara palpasi tidak teraba, jadi sangat baik untuk diagnosis dini dan screening. Hanya saja untuk mass screening cara ini adalah cara yang mahal dan dianjurkan digunakan secara selektif saja misalnya pada wanita dengan adanya faktor resiko tadi, ketetapan 83-95%, tergantung dari teknis dan ahli radiologinya. Ultrasonografi Dengan pemeriksaan ini hanya dapat dibedakan lesi solid dan kistik pemeriksaan lain dapat berupa: termografi, xerografi. Dilakukan untuk mencari jauhnya ekstensi tumor atau mencari metastasis jauh. Pemeriksaan ini umumnya hanya dilakukan apabila diperlukan (atas indikasi) pemeriksaan laboratorium untuk melihat toleransi penderita, juga dapat melihat kemungkinan adanya metastasis misalnya alkali fosfatase KESIMPULAN Pasien di diagnosis dengan Fibroadenoma Mammae. Penegakannnya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang mempunayia kelebihan masing-masing. REFERENSI Roubidoux, Marilyn A. 2009. Breast, Fibroadenoma. University of Michigan Health System. Medscape. Sjamsuhidayat R, De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wanhari, Ari. Asuhan keperawatan Fibroadenoma Mammae. 2008. Jakarta. Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Bedah, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien Anemia


Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 04:00 ABSTRAK Pada pada pasien diperoleh nilai Hb 10 g/dl. Hal ini perlu dikaji apakah anemia akan berpengaruh terhadap anestesi yang diberikan.Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung. KEYWORD : Anesyesi, Anemia, Penatalaksanaan ISI Seorang wanita 41 tahun datang ke rs.jogja dengan keluhan benjolan pada perut bawah. Benjolan tersebut sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh perutnya sering terasa sakit pada saat menstruasi, mual (-), muntah (-). Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat operasi sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit asma (-), jantung (-), hipertensi (-), DM (-), ginjal (-), alergi obatobatan dan makanan (-). Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit asma alergi, jantung, hipertensi, ginjal dan DM disangkal. PEMERIKSAAN FISIK : Keadaan umum: cukup baik, gizi baik, tampak sesak Kesadaran : composmentis .Vital sign : TD:130/80 mmHg. N: 82 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup RR : 24 x/menit S : 36C laboratorium AL : 5,5 Hb : 10,0 AT : 303 DIAGNOSIS Mioma Uteri ASA II TERAPI Persiapan PRC 2 kolf DISKUSI Strategi untuk Mengelola Anemia . Transfusi Darah - Dalam beberapa situasi, transfusi darah mungkin menjadi prosedur yang diperlukan, tetapi keprihatinan tentang risiko mereka telah membatasi penggunaannya. Transfusi darah memiliki banyak efek samping dikenal termasuk potensi penularan penyakit menular, alergi dan reaksi transfusi hemolitik, dan immunomodulation alogenik transfusi darah harus dihindari sebisa mungkin karena adanya berbagai risiko yang terkait dan juga karena transfusi belum terbukti untuk meningkatkan pasca operasi. hasil. Teknik Konservasi Darah - Dalam operasi dengan kehilangan darah tinggi yang diharapkan, strategi

untuk mengurangi kehilangan darah operatif dapat membantu mencegah anemia pasca operasi dan dapat mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk transfusi darah alogenik. Strategi ini termasuk teknik bedah teliti, penggunaan darah autologous, hemodilusi normovolemic akut dan penyelamatan sel, untuk beberapa nama. Eritropoiesis-Merangsang Agen (ESA) dan Besi - ESA ditambah besi terapi dapat digunakan untuk memperbaiki anemia sebelum operasi dan telah ditunjukkan untuk mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah. Selain untuk mengurangi kebutuhan transfusi, manajemen anemia dengan eritropoietin dan besi telah ditunjukkan untuk mempercepat eritropoiesis, Hb pemulihan, dan meningkatkan kualitas hidup dan fungsi pada pasien bedah. 13-15 Pengakuan dan pengobatan anemia selama periode praoperasi memberikan ahli bedah lebih banyak pilihan untuk berurusan dengan darah yang hilang selama operasi. Komprehensif manajemen anemia bisa mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk transfusi perioperatif alogenik, dan memberikan hasil yang lebih baik. Menurut Dr Shander, "Mengenali dan mengobati anemia sebelum operasi elektif adalah sangat penting, dan bisa menjadi intervensi menyelamatkan jiwa. KESIMPULAN Pada kasus diatas didapatka pasien dengan diagnosis Mioma uteri dengan status operasi ASA II Karena mempunyai HB 10 mg/dl. Perlu diperhatikan persiapan pasien pada saat akan melakukan anestesi. Persiapan pasien dengan benar dapat membantu dalam prognosis pasien. REFERENSI 1. Pramono, Ardi, Sp.An, dr. 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY. 2. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FK UI. 3. Mallett, SV. 2002. Perioperative Anaemia and Its Management. The Medicine Publishing Company Ltd. 4. Habler O., Pape, A., Meier, J., Zwiler, B. 2005. Perioperative Limits Of Anaemia. In EUROANESTHESIA 2005. 5. CBO guideline taken from SAMENVATTING RICHTLIJN BLOEDTRANSFUSIE, translated by G.M. Woerlee in Anemia and Anesthesia downloaded from http://www.anesthesiaweb.org/anemia.php Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

Kelebihan dan kekurangan IVP untuk Mendiagnosis Uretherolithiasis


Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 03:57 ABSTRAK IVP Adalah suatu tindakan untuk memvisualisasikan anatomi, dan fungsi ginjal ureter dan kandung kencing. Termasuk didalamnya fungsi pengisian dan pengosongan buli. Dengan IVP, radiologist dapat melihat dan mengetahui anatomy serta fungsi ginjal, ureter dan blass. Pemeriksaan IVP ini selain mempunyai kelebihan , juga mempunyai kekurangan KEYWORD : IVP, Kelebihan, kekurangan ISI Pasien Ny. S, 45 tahun.Datang dengan keluhan nyeri pinggang sebelah kiri yang menjalar ke lipat paha dan kemaluan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien merasakan gejala tersebut kambuh kambuhan. Pasien juga merasakan gejala semakin memberat saat pasien beraktivitas. Selain itu, pasien juga merasakan BAK terasa nyeri dan panas. Pasien juga merasa BAK sedikit dan sering (> 5x / 24 jam), BAK warna kuning kemerahan, + 1 gelas, anyang anyangan (-), pasien tidak merasakan nyeri kepala, nafsu makan menurun dan demam, mual (+), muntah (-), pasien juga tidak merasakan sesak nafas dan nyeri dada serta tidak terdapat keluhan gangguan BAB. Foto BNO : Suspek Ureterolithiasis sinistra sepertiga proksimal, Foto IVP : Ureterolithiasis sinistra sepertiga proksimal + 2 x 1 cm dengan ureterectasia dan hidronefrosis grade I. DIAGNOSIS Ureterolithiasis sinistra sepertiga proksimal

dengan ISK DISKUSI Kelebihan 1. Bersifat invasif. 2. IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari adanya batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan pembedahan 3. Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat dilakukan. 4. Radiasi relatif rendah 5. relatif aman Kekurangan 1. Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh. 2. Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3 mSv, sama dengan rata-rata radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun. 3. Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan lanjut. 4. Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil KESIMPULAN Pada pemeriksaan BNO IVP didapatkan diagnosis pasien Ureterolithiasis sinistra sepertiga proksimal dengan ISK . BNO IVP bila dilakukan sesuai indikasi dan prosedur yang sesuai dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Hal ini sangat berguna untuk tidakan terapi selanjutnya REFERENSI 1. Malueka ,RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka cendekia press. Yogyakarta 2. www.tanyadokter.com/bnoivp Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Radiologi, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

Diagnosis dan Insomnia Penatalaksanaan pada Wanita Usia 40 Tahun


Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 03:54 ABTRAK Insomnia digolongkan dengan berbagai macam golongan dan penyebab penggunanaan obat Anti insomnia terutama pada kasus transient dan shorterm insomnia. Pemilihan obat juga didasarkan atas sifat dari gangguan tidurnya KEYWORD : Insomnia, Terapi ISI Pasien Ny.S ,40 tahun datang ke Puskesmas Kasihan 1 dengan keluhan sulit tidur pada waktu malam atau siang hari . Keluhan ini dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien merasa sering mengeluarkan keringat dingin, dan kesemutan pada kedua tangannya. Hal ini membuat pasien merasa berat saat melakukan pekerjaan. Pasien juga merasa berat badannya menurun padahal nafsu makan seperti biasa. Hal ini membuat pasien merasa khawatir terhadap dirinya. DIAGNOSIS Gangguan campuran anxietas dan depresi (F 41.2) dengan diagnosis banding Insomnia non organik (F51.0) TERAPI amitriptilin 1x1/2 tab DISKUSI Diagnosis dan penatalaksanaan Insomnia Pembahasan Butir-butir diagnostik Sindrom insomnia adalah: 1. Membutuhkan waktu lebih dari jam untuk tidur atau tidur kembali setelah terbangun sehingga siklus tidak utuh atau menimbulkan gangguan kesehatan 2. Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari , bermanifestasi dalam gejala : penurunan kemampuan kerja, hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin. Sindrom insomnia dapat terbagi 3 tipe : 1. Transient insomnia , hanya berlangsung selama 2-3 hari 2. Sortterm insomnia, berlangsung selama 3 minngu 3. Longterm insomnia , berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama dan biasanya disebabkan oleh kondisi medik atau psikiatrik tertentu. Indikasi penggunanaan obat Anti insomnia terutama pada kasus transient dan shorterm insomnia sanga berhati-hati pada kasus dengan longtem insomnia. Selalu diupayakan mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar tersebut. Obat anti insomnia Benzodiazepine sedatives: Digunakan untuk meningkatakan kualitas dan kuantitas tidur temazepam (Restoril),flurazepam (Dalmane), triazolam (Halcion),estazolam (ProSom, Eurodin), lorazepam(Ativan), and clonazepam (Klonopin) Nonbenzodiazepine sedatives: eszopiclone (Lunesta),zaleplon (Sonata),

and zolpidem (Ambien), Chloral Hydrate, Phenobarbital Antidepressants : amitriptyline [Elavil, Endep] andtrazodone [Desyrel]) Antihistamines diphenhydramine(Benadryl) or doxylamine] Pemilihan obat: Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan : 1. Initial insomnia : sulit masuk dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan adalah yang bersifat sleep inducing Anti insomnia yaitu golongan benzodiazepin 2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit untuk masuk kembali ke proses tidur selanjutnya. Obat yang digunakan yaitu yang bersifat prolong latent phase anti insomnia yaitu golongan heterosiklik anti depresan 3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Obat yang dibutuhkan adalh bersifat sleep maintaining anti insomnia yaitu golongan phenobarbital Antihistamin dapat juga digunakan untuk terapi insomnia karena mempunyai efek sedative, tetapi tidak dapt digunakan untuk insomnia kronik. Kesimpulan : Pasien pada kasus ini mendapatkan terapi antiinsomnia yaitu amitriptilin, yang termasuk kedalam obat golongan antidepressant. Indikasi penggunanaan obat Anti insomnia terutama pada kasus transient dan shorterm insomnia. Pemilihan obat juga didasarkan atas sufat dari gangguan tidurnya Daftar Pustaka Maramis. W.F, Catata Ilmu kedokteran jiwa, Edisi VI, Airlangga University Press. Surabaya.2004 Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya, 2003 - www. Medscape.com/insomnia/2011 Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

Penegakan Diagnosis Pasien Primigravida Dengan Riwayat Perdarahan Pada Kehamilan Muda
Dibuat oleh: Febrina Kautsar,Modifikasi terakhir pada Minggu 03:45 ABSTRAK Perdarahan dalam kehamilan muda perlu sangat diwaspadai . Ada beberapa macam kemungkinan diagnosisnya. Hal tersebut sangat berhubungan dengan terapi yang dilakukan. Perdarahan dalam kehamilan ini sering dihubungkan dengan resiko terjadinya abortus.Abortus adalah keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas. Dimana masa getasi belum mencapai 22 minggu dan beratnya kurang dari 500gr. Abortus yang terjadi tiga kali atau lebih disebut abortus habitualis. KEYWORD : Perdarahan, kehamilan muda, abortus ISI Pasien datang ke RSUD wirosaban pada tanggal 27 oktober 2010 jam 16.00 WIB di UGD dengan keluhan merasa hamil 3 bulan, mengeluarkan darah banyak, prongkol-prongkol lewat jalan lahir disertai nyeri perut. Keluhan perdarahan mulai di rasakan sejak tadi pagi, namun hanya berupa flek-flek, dan pada sore harinya pasien merasakan perdarahan lagi, dalam jumlah yang lebih banyak disertai nyeri perut bagian bawah, dan beberapa saat kemudian keluar perongkolan. Sudah terlambat haid 3 bulan dan sudah di lakukan PP test dan hasil positif Status Generalis Keadaan umum : Baik.Kesadaran : Compos mentis.Vital SignTekanan Darah: 110/80mmHg. Nadi : 82 x /menit. Respirasi : 24x/menit.Suhu : 36,50 C. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.Status Ginekologi : G1P0A0. Pemeriksaan Luar: Inspeksi : Perut datar. Auskultasi : Peristaltik usus normal. Palpasi : Defans muskuler (- ), nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (- ), massa (-), TFU tidak teraba. Perkusi : Tympani, nyeri ketok (-). Pemeriksaan Dalam :Pemeriksaan inspekulo : Vulva : Tenang. Uretra : Tenang. Vagina : Dinding licin, ada darah. Portio/ serviks : Portio livide, keluar darah lewat OUE. OUE : Terbuka, tampak jaringan sisa

kehamilan. Pemeriksaan Colok Vagina : Vulva : Tenang. Uretra : Tenang. Vagina : Dinding licin. Serviks/Portio : Portio lunak (hegar sign +), teraba jaringan. OUE : Terbuka dan teraba jaringan. Uterus : Sebesar telur bebek.Parametrium : Tidak ada nyeri. Massa/tumor : Tidak ada. DIAGNOSIS Abortus Inkompletus TERAPI Kuretase DISKUSI Pada awal abortus terjadi pendarahan yang menyebabkan janin terlepas. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu janin biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan 814 minggu villi koriales menembus desidua secara mendalam, plasenta tidak dilepaskan sempurna sehingga banyak perdarahan. Pada kehamilan diatas 14 minggu, setelah ketubah pecah janin yang telah mati akan dikeluarkan dalam bentuk kantong amnion kosong dan kemudian plasenta. Tindakan klinik yang dapat kita lakukan untuk mengetahui terjadinya abortus antara lain: 1) terlambat haid kurang dari 20 minggu 2) pemeriksaan fisik yang terdiri dari keadaan umum tampak lemah, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, dan suhu badan normal atau meningkat 3) perdarahan pervagina yang disertai keluarnya jaringan janin, mual, dan nyeri pinggang akibat kontraksi uterus 4) pemeriksaan ginekologi meliputi inspeksi vulva dengan melihat perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan janin, dan tercium/tidak bau busuk dari vulva Inspekulo 5) perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada/tidak jaringan keluar dari ostium, dan ada/tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium 6) colok vagina dengan melihat porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada saat perabaan adneksa, dan kavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan antara lain: 1) tes kehamilan akan menunjukkan hasil positif bila janin masih hidup bahkan 2-3 hari setelah abortus 2) Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup 3) Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion Tabel diagnosis dan diagnosis banding perdarahan pada kehamilan muda perdarahan cervix uterus Gejala/tanda diagnosis Bercak-sedang tertutup Sesuai usia gestasi Kram perut bawah, uterus lunak Abortus iminens tertutup Sedikit membesar Limbung/pingsan Nyeri perut bawah Nyeri goyang portio Massa adnexa Cairan bebas intra abdomen Kehamilan ektopik terganggu Tertutup/terbuka Lebih kecil Sedikit/tanpa Nyeri perut Riwayat ekspulsi hasil konsepsi Abortus komplit Sedang-masif terbuka Sesuai usia gestasi Kram /nyeri perut bawah Belum terjadi ekspulsi hasil konsepsi Abortus insipiens terbuka Sesuai usia gestasi Kram /nyeri perut bawah Ekspulsi sebagian hasil konsepsi Abortus inkomplit terbuka Lunak dan lebih besar dari usia gestasi Mual muntah Kram perut bawah Sindroma mirip pre eklamsia Tak ada janin, keluar jaringan seperti anggur Abortus mola KESIMPULAN Berdasarkan hal diatas pasien dapat didiagnosis dengan abortus inkompletus. Terapi yang dilakukan adalah kuretase. Untuk dapat mengetahui macam-macam penyebab perdarahan pada kehalian muda perlu sangat diperhatikan pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik. REFERENSI Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Syah Kuala, Abortus, Hemorrhagi Utama Obstetri dan Ginecology, Widya medika, 1998. Cunningham. F. et. All. Abortus, Obstetri William, ed. 18. EGC, Jakarta, 1995. Taber, B, M. D. Kapita Selekta : Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, cetakan I, EGC, Jakarta, 1994. Wiknjosastro. H, Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1997. Penulis Febrina Kautsar, Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi, RS Jogja, Yogyakarta. 2012

PENEGAKKAN DIAGNOSIS SEPSIS NEONATORUM


Dibuat oleh: Adryansyah,Modifikasi terakhir pada Minggu 16:26 oleh Ratih Juwita Abstrak Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis yang terjadi akibat invasi mikroorganisme ke dalam aliran darah, dan timbul pada satu bulan pertama kehidupan. Sepsis pada periode neonatal menunjukkan adanya penyakit sistemik simptomatik dan bakteri dalam darah. Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL). Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus atau riketsia. Faktorfaktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok, yaitu ; faktor maternal, neonatal dan lingkungan. Tanda klinis sepsis neonatorum seperti: hipertermia, hipotermia, distres pernapasan, apneu, sianosis, ikterik, hepatomegali, letargi, anoreksia, kesulitan minum, muntah, distensi abdomen, dan diare. Pemilihan antibiotik untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman penyebab tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat kesehatan. Keywords : Sepsis neonatorum awitan dini ec Serratia liquefaciens, NKB-SMK, BBLASR History : Bayi lahir dari ibu G2P2A0 kehamilan 28 minggu lahir secara spontan ditolong bidan, lahir tunggal. Berat lahir pasien 950 gram dengan panjang badan 40 cm, anus (+), jenis kelamin perempuan. Menurut ibu, pasien lahir langsung menangis namun lemah, terlihat agak sesak, kulit tidak tampak kuning, tidak biru. APGAR Score 6/8. Pasien tidak terdapat perdarahan, tidak kejang, tidak terdapat kelainan bawaan. Tiga hari sebelum melahirkan, ibu pasien mengeluh mencret 4-5 kali per hari, air lebih banyak dari ampas, warna coklat kehitaman, tidak terdapat lendir maupun darah segar, bau biasa, keluar menyemprot. Mencret disertai rasa mulas. Demam timbul bersamaan dengan mencret. Demam cukup tinggi, suhu tidak diukur, demam dirasakan sepanjang hari. Demam disertai sakit kepala. Buang air kecil tidak nyeri, terkadang ada rasa anyang-anyangan, warna kuning jernih, tidak ada darah. Ibu mengaku selama hamil terdapat keputihan tidak terlalu banyak, warna bening kental, tidak berbau. Ibu tidak ada tekanan darah tinggi, tidak ada riwayat kencing manis, dan tidak pernah mengkonsumsi obatobatan, jamu maupun merokok. Selama hamil ibu pasien rutin kontrol ke bidan sebanyak 1 kali per bulan. Pada pemeriksaan fisik awal tanggal 17 Desember 2011 didapatkan: bayi tenang, respon (+) lemah, ikterik (-), pucat (-), sianosis (-), frekuensi denyut jantung 134 kali/menit, frekuensi napas 62 kali/menit, suhu 38C. Kepala normochepal, jejas (-). Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-. Mukosa bibir lembab (+). KGB colli tidak teraba membesar. Dada simetris, retraksi sela iga (-). Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-). Abdomen datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) normal. Akral hangat, CRT <2 detik. Anus (+). Hasil laboratorium didapatkan anemia normositik normokrom; leukopenia; trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal, glukosa darah dan elektrolit dalam batas normal; terapi Oksigen nasal 0,5 l/menit, Rawat inkubator (suhu 36,5 37,5 C),Cefotaxim 2x50 mg (iv), Gentamisin 2x4 mg (iv),Monitor keadaan umum dan tanda vital Diskusi Dari ilustrasi kasus diatas, merumuskan dari data anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka mengarah pada suatu diagnosis yaitu sepsis neonatorum awitan dini. Pendekatan diagnosis dilakukan sesuai dengan algoritma sepsis neonatorum di bawah ini. Tanda klinis pada sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman, seperti: hipertermia, hipotermia, distres pernapasan, apneu, sianosis,

ikterik, hepatomegali, letargi, anoreksia, kesulitan minum, muntah, distensi abdomen, dan diare.Adanya gejala klinis yang tidak spesifik tersebut, diperlukan analisa faktor risiko sepsis neonatorum, yaitu faktor risiko mayor: ketuban pecah >24 jam, ibu demam saat intrapartum (suhu >38 C), korioamnionitis, denyut jantung janin menetap >160 kali/menit dan ketuban berbau; serta faktor risiko minor: ketuban pecah >12 jam, ibu demam saat intrapartum (suhu >37,5 C), nilai APGAR rendah (menit ke-1 <5, menit ke-5 <7), bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) <1500 gram, usia gestasi <37 minggu, kehamilan ganda, keputihan yang tidak diobati, dan infeksi saluran kemih (ISK) atau tersangka ISK yang tidak diobati. Faktor risiko positif bila terdapat minimal 1 faktor risiko mayor atau 2 faktor risiko minor. Pada pasien ini terdapat 2 faktor risiko minor, yaitu bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) 950 gram dan usia gestasi 28 minggu (<37 minggu). Menurut Kongres European Perinatal Medicine ke II di London, bayi kurang bulan (prematur) adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu (259 hari). Dengan demikian, usia pasien 28 minggu termasuk dalam kategori bayi prematur. Berat lahir pasien 950 gram dengan panjang badan 40 cm. Berat lahir <1000 gram disebut bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR). Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi tersebut disebut Neonatus Kurang Bulan Sesuai untuk Masa Kehamilan (NKB-SMK). Dengan adanya faktor risiko positif, maka diperiksa septic marker (hitung leukosit, hitung trombosit, IT rasio dan CRP), minimal 2 septic marker positif. Pada pasien didapatkan hasil laboratorium tanggal 17-12-2011 menunjukkan adanya leukopenia dan hasil laboratorium tanggal 17-12-2011 didapatkan trombositopenia serta CRP positif. Kesimpulan : Pada pasien ini penegakkan diagnosis yang cepat dan tepat akan mempermudah dalam pengobatan dan penyembuhan pasien agar memperoleh prognosis yang baik, yaitu dengan mengetahui riwayat gejala bayi melalui anamnesis kepada ibu serta mengetahui faktor resiko penyebab terjadinya sepsis sesuai dengan algoritma sepsis neonatorum Referensi : DAFTAR PUSTAKA 1. Divisi Perinatologi. Sepsis Neonatorum. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. 2007. Jakarta. p403-10 2. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I Edisi III. 1992. Jakarta: EGC. p678 3. Anonim. Sepsis Neonatorum. 2009. Diakses dari http://akperla.blogspot.com/2009/06/sepsisneonaturum.html 4. Mustarim. Sepsis Neonatorum dan Upaya Pencegahannya di RS Dengan Fasilitas Terbatas. 2010. Diakses dari http://ilmudokter-aurora.blogspot.com/2010/01/sepsisneonatorum-dan-upaya.html Ratih Juwita Parwitasari 20060310015, Ilmu Kesehatan Anak FKIK UMY RSUD Tidar Magelang.

Penanganan Sindrom Guillain Barre pada Pediatri


Dibuat oleh: Yanuar Surya Pratama,Modifikasi terakhir pada Sat 12 of May, 2012 [11:28 UTC] Abstrak Kelemahan tungkai adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus gangguan neuromuskular. Guillain-Barre syndrome (GBS) merupakan penyebab utama paralisis flaksid akut di negara-negara Barat.Penyebab lain adalah infeksi polio,miastenia gravis,racun botulisme,hipo/hiperkalemi. Deteksi GBS harus cermat sehingga komplikasi dapat segera diatasi dan dapat diberikan penatalaksanaan yang tepat. Kata kunci : Sindrom Guillain Barre,paralisis akut Kasus Anak umur 6 tahun datang dengan keluhan utama kaki dan tangan tidak dapat digerakkan. Lima hari sebelum masuk rumah sakit anak menderita cacar air dengan panas tinggi.

Anak hanya berobat ke bidan untuk menurunkan panas dan sembuh. Sehari sebelum masuk rumah sakit cacar air sudah sembuh akan tetapi kaki dan tangan susah digerakkan dan anak tidak dapat bangun dari tempat tidur. Tidak ada keluhan yang menyertai keluhan utama,mual (),muntah (-),sesak (-),BAB (+),BAK (+),nyeri kepala (-),nyeri perut (-).Riw kelahiran baik,RPD dengan TB yang sudah dinyatakan sembuh,status gizi kurang.Pada pemeriksaan fisik semua dalam batas normal,pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 456,, tetraparese,kekuatan 2/2/2/2,reflek fisiologis (-),reflek patologis (-),eutrofi,klonus (-),meningeal sign (-),nervi craniales dalam batas normal. Lab dalam batas normal dengan K 3,5 mmol/L. Diagnosis Paralisis Flaksid Akut DD Guillain Barre Syndrome,Poliomyelitis,Miastenia Gravis,Hipokalemi Terapi RL 20 tpm Paracetamol 3x1/2 tab Vit B 1x1 tab Konsul saraf Diskusi Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer Penatalaksanaan Awal Pada kasus berat, sangat dibutuhkan alat bantu pernafasan serta perawatan khusus. Sekitar 30% penderita membutuhkan bantuan ventilasi mekanik; selain itu kondisi pasien yang cepat memburuk tanpa dapat diprediksikan membuat penderita GBS membutuhkan perawatan inap untuk observasi fungsi respirasi. Perhatian khusus terutama ditujukan pada perawatan suportif dan pencegahan komplikasi, antara lain kegagalan nafas dan disfungsi otonomik. Pengukuran maksimal forced vital capacity (FVC), gas darah arterial, tekanan darah, dan fungsi otot bulbar harus selalu dimonitor selama fase progresif. Tanda gagal nafas antara lain perburukan FVC, tekanan maksimal respirasi, dan hipoksemia akibat atelektasis. Fatigue otot respirasi ditandai dengan keringat dingin, takikardia, dan nafas cepat diantara percakapan pendek. Monitoring FVC dilakukan setiap jam, jika FVC kurang dari 18 ml/kg atau terjadi disotonomia kardiovaskuler, penderita harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Intubasi dilakukan bila FVC kurang dari 12-15 ml/kg, tekanan O2 arteri dibawah 70 mmHg serta tanda fatigue respirasi yang berat. Trakeostomi dilakukan bila diperkirakan bantuan nafas lebih dari 10 hari. Terapi Spesifik Imunopatogenesis dari penyakit GBS, terapi akut ditujukan terutama untuk melawan proses imunopatogenesis, antara lain terapi pertukaran plasma (plasmapheresis) dan injeksi immunoglobulin dosis tinggi intravena (IVIG) Jadwal plasmapheresis berkisar antara 4 hingga 6 kali (40-50 ml/kg) dengan mesin kontinu selang sehari. Digunakan larutan saline dan albumin sebagai cairan pengganti plasma. Manfaat terapi paling jelas apabila terapi dimulai 2 minggu setelah onset. Relaps terjadi pada 10% pasien dalam kurun waktu 3 minggu pasca-terapi. Pada kasus ini digunakan plasmaparesis dengan NaCl isotonik tanpa pemberian imunoglobulin karena tidak adanya obat. Pasien ini tidak memerlukan ventilator karena masih dapat bernafas spontan. Kesimpulan Penatalaksanaan GBS perlu diperhatikan secara cermat dan tepat. Hal ini dikarenakan penyakit ini dapat melumpuhkan otot pernafasan sehingga dapat menyebabkan kematian. Evaluasi adanya sesak napas perlu dilakukan untuk memikirkan keperluan pemakaian ventilator. Terapi spesifik menggunakan imunoglobulin atau plasmaparesis. Referensi 1.Guillain-Barr Syndrome. [update 2009]. Available from: http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp?channel_id=0&disease_id=325&sec tion_name=condition_info. 2.Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: ButterworthHeinemann; 1996. p.1911-16 3.Miller Andrew. Guillain-Barre Syndrome. [updated Dec 19, 2007]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview. 4.Guillain-

Barre Syndrome (GBS) Support Group. Available from: http://www.dailystrength.org/news/Guillain-Barre-Syndrome-GBS Guillain-Barr Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm 5.Tarwoto, Ns. S.Kep.2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta, Sagung Seto Penulis Yanuar Surya Pratama,2006310148,SMF Ilmu Kesehatan Anak,RSUD Saras Husada Purworejo,2012

PEMERIKSAAN PENUNJANG FOTO ABDOMEN pada PENEGAKAN DIAGNOSIS AKUT ABDOMEN et causa PERITONITIS GENERALISATA
AKMAL FALAH 20060310152 Dibuat oleh: Akmal Falah,Modifikasi terakhir pada Sat 12 of May, 2012 [08:57 UTC] Abstrak Akut abdomenmerupakan suatu kegawatan pada abdomen dimana memerlukan tindakan segera untuk penanganannya. Akut abdomen yang sering adalah peritonitis. Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keywords: Akut abdomen, Peritonitis, Pemeriksaan penunjang Kasus Pasien seorang laki-laki usia 46 tahun datang dengan keluhan teras sebah, mual dan nyeri perut tumpul pada seluruh lapang abdomen. Keluhan dirasa setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan raya saat mengendarai kendaraan bermotor roda dua. Pasien mengaku setang motor mengenai perutnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya defans musculer dan nyeri tekan di semua lapang abdomen. Pemeriksaan radiologi BNO 2 posisi hasil menunjukkan adanya peningkatan jumlah udara usus, dilatasi usus, air fluid level (-), free air (+), kontur ren dextra dan sinistra tidak jelas, vertebra spur ().pemeriksaan pelvis menunjukkan struktur tulang baik, tidak tampak fraktur. Sedangkan pada pemeriksaan USG tampak cairan bebas intraabdominal pada horizon pouch, tampak gambaran hypoechoic dengan tepi hyperechoic,batas tegas, bulat bulat / lonjong di subcutis di daerah infraumbilical. Diagnosis Akut Abdomen e.c. Peritonitis Generalisata Terapi Pro Laparatomi. Infus RL 20 tpm, Injeksi Ketorolac 2 x 1 Ampul, Injeksi Cefotaxime 2 x 1 Ampul, Injeksi Kalnex 2 x 1 Ampul Diskusi Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada kecurigaan adanya peritonitis perlu dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu sebagai berikut: 1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP). 2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. 3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi

AP . Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah: 1. Pada posisi supine, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan adanya kekaburan pada cavum abdomen. 2. Pada posisi semi erect, didapatkan free air pada subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow). 3. Pada posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. Foto kontras barium merupakan pemeriksaan yang penting dalam membantu menegakkan diagnosis curiga tumor. Ketepatan diagnosis akan meningkat bila digunakan kontras ganda, yaitu kontras positif (barium) dan negatif (udara). Pemeriksaan Gastroduodenoskopi dilakukan bila ada keluhan dan tanda yang mencurigakan ke arah penyakit lambung dan atau duodenum serta untuk tindak lanjutnya Dengan endoskopi, kelainan yang langsung dilihat dapat difoto untuk dokumentasi. Selain itu, jaringan atau cairan patologis dapat diambil untuk pemeriksaan kimia, sitologi atau patologi Foto thorax dan foto LLD abdomen sangat sensitif untuk mendeteksi udara bebas intraperitoneum dalam volume kecil ( < 5 ml ). Penyebab tersering gambaran ini adalah perforasi usus akibat luka atau trauma tembus dan infark dinding usus. Pada foto thorax tegak, udara berbentuk bulan sabit tampak di bawah hemidiafragma. Udara sub diafragmatik harus dibedakan dengan pneumothoraks subpulmonal. Bila tidak yakin apakah terdapat udara bebas intraperitoneum atau tidak, fotoLLD pada abdomen bagian atas akan menunjukkan udara bebas dalam bentuk bulan sabit dengan densitas rendah di sebelah lateral dari tepi lateral lobus kanan hati. Pada foto terlentang abdomen,udara bebas sulit dideteksi. Ada dua tanda yang dapat membantu : tanda Rigler, yaitu adanya gas di dinding usus sisi manapun, dan tanda garis ligamentum falsiform hepatis yang terbentuk di kuadran kanan atas oleh udara bebas. Kesimpulan Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.Peritonitis dapat terjadi akibat suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada kecurigaan adanya peritonitis perlu dilakukan foto polos abdomen 3 posisi Referensi Arif Manjoer, suprohaita, Wahyu I.W, Wiwiek S, 2000, Trauma Abdomen, Kapita selekta kedokteran. Dudley a.f,1992, Trauma Abdomen, Hamilton Bailey, Ilmu bedah gawat darurat, UGM University Press, ed:11,514-526. Soelarto Rekso Prodjo,1995, Trauma Abdomen, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,Bagian Bedah Staf pengajar FKUI, Rs.Dr.Cipto Mangunkusumo,51-57. Penulis Akmal Falah. 20060310152. Bagian Ilmu Radiologi. RSUD SETJONEGORO WONOSOBO

PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID pada ANAK USIA 10 TAHUN


akmal falah 20060310152 Dibuat oleh: Akmal Falah,Modifikasi terakhir pada Sat 12 of May, 2012 [08:40 UTC] Abstrak Demam Tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Penatalaksanaan demam tifoid meliputi medikamentosa dengan antibiotik dan terapi suportif

(pemenuhan kebutuhan cairan dan kalori, diet dengan nutrisi yang baik). Seorang pasien anak laki-laki usia 14 tahun datang dengan keluhan demam naik turun sejak 12 hari sebelum masuk rumah sakit disertai diare. Keyword : antibiotik, demam tifoid Kasus Pasien datang ke IGD dengan keluhan panas sejak 8 hari yang lalu. Panas terjadi terus menerus, suhu dirasakan naik turun, saat sore hari panas meninggi, lalu menurun di pagi hari, demam dirasakan tidak terlalu tinggi, Pasien BAB cair 3 kali sehari, tidak terdapat lendir atau darah, tidak nyeri saat BAB, nafsu makan berkurang, minum normal/biasa, haus dan lemas. 4 hari SMRS pasien dibawa ke Puskesmas kemudian diberi 3 macam obat, setelah minum obat panas belum mereda, obat tidak dihabiskan. 1 hari SMRS pasien masih panas, tidak menggigil, tidak batuk, tidak pilek, tidak muntah. Buang air kecil lancar, tidak ada nyeri saat buang air kecil, tidak anyang-anyangan. Sudah tidak buang air besar cair, nafsu makan berkurang, minum biasa.Pasien tidak memiliki riwayat batuk berdahat lebih dari 2 minggu, tidak ada riwayat kontak dengan penderita TB, tidak berkeringat dimalam hari, menurut orang tua pasien berat badan naik dalam beberapa bulan, lebih suka jajan di sekolah atau pinggir jalan. Pada pemeriksaan fisik KU: Pasien Tampak Lemas, Mengantuk, Kesadaran: Apatis-Somnolen, Vital Sign: Nadi: 96 kali permenit, teratur, isi dan tegangan cukup, Respirasi: 24 kali permenit, tipe thorakoabdominal, Suhu: 39,1C, Tekanan Darah: 110/60MmHg, Berat Badan: 50kg, Tinggi badan: 170cm, BMI: 17,3 Kg/cm2. Pada pemeriksaan penunjang : AL: 5.95 uL, AE: 4.26 juta uL, Hb: 11.9 g/dL, Hct: 36.67%, AT: 240.000, SGOT: 155 U/l, SGPT: 250 U/l, Widal TyH: 1/320, Widal TyO: 1/320 Diagnosis Demam Tifoid Terapi Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan medikamentosa diberikan cefotaxime sebagai antibiotik diberikan secara intravena dengan dosis 1 g 2 kali sehari, paracetamol tiap 4-6 jam 3x1 tab bila panas, diberikan infusKaEn 3B 2100 cc/24 jamuntuk membantu mencukupi kebutuhan cairan dan membantu jalur masuk obat parenteral, diberikan makanan rendah serat, bubur saring 3x1 porsi, TKTPdan memperbaiki gizi pasien. Diskusi Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh mikroba gram negatif Salmonella SP. Salmonella yang banyak dikenal di klinis adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,Bdan C. Salmonella typhi sangat resisten dan dapat hidup lama di air keruh, makanan yang tercemar atau terkontaminasi dan pakaian yang tercemar. Mikroba Salmonella yang ikut makanan sampai di usus menembus mukosa usus halus, melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah, ke organ-organ terutama hati dan limpa, mengadakan replikasi dan kemudian kembali ke darah dan menyebar ke kelenjar limfoid Ileum (Plaques Peyeri), menimbulkan radang dan membentuk tukak. Penyebab dari demam typhoid adalah salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai sekurangkurangnya tiga macam antigen yaitu antigen somatik (O) yang terdiri dari zat komplek oligosakarida, antigen flagelar (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (VI) yang terdiri dari polisakarida. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makro molekul liposakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan disebut endotoksin. Salmonella Thiphi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik. Kuman Salmonellathipi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan Limfoid Plaque Peyeri di ilium terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe

mesenterial yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid disebabkan oleh endotoksemia, Tapi kemudian berdasarkan penelitian, eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tyfoid. Endotoksin salmonella typhi berperan pada patogenesis demam tyfoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak. Demam pada tyfoid disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Antibiotik yang dapat diberikan: Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selam 10 hari, Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral selama 10 hari, Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari, Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral dibagi 2 dosis selama 10 hari. Pemilihan antibiotik pada kasus demam tifoid sekarang perlu mendapat perhatian karena dilaporkan sudah banyak timbul resistensi pada sefalosporin generasi ketiga. Antipiretik dapat diberikan Parasetamol dengan dosis 10 mg/kgBB/kali. Dapat diberikan setiap 4 jam apabila suhu tubuh pasien tidak juga turun. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran, Deksametason 1-3 mg/kgBB/hari IV, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik. Cairan dan kalori, terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah, Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskuler dan jaringan, Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2, Pelihara keadaan nutrisi, Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit. Diet dengan makanan tidak berserat dan mudah dicerna, setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup. KESIMPULAN Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit endemis,merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Pasien ini didiagnosis demam tifoid berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini penatalaksanaan meliputi tirah baring, pemenuhan kebutuhan cairan, pemberian antibiotik dan antipiretik, serta diet makanan rendah serat dengan nutrisi yang baik . REFERENSI Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2008 Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC: Jakarta. 2000. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2004. PENULIS Akmal Falah. 20060310152 Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FKIK UMY. RSUD Setjonegoro. Wonosobo.

Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnosis Infeksi Saluran Kemih Pada Anak 5 Tahun

Dibuat oleh: Nur Aini Abd. R Balatif,Modifikasi terakhir pada Fri 11 of May, 2012 [15:17 UTC] Abstrak Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyakit yang sering ditemukan pada anak, di samping infeksi saluran cerna. ISK merupakan penyakit penting pada anak, karena menyebabkan gejala tidak menyenangkan pada anak. Bila tidak ditanggulangi secara serius, ISK dapat menyebabkan komplikasi berupa batu saluran kemih, hipertensi, ataupun gagal ginjal yang memerlukan tindakan cuci darah atau cangkok ginjal. Karena itu, perlu mengenal ISK sedini mungkin agar dapat ditata laksana dengan adekuat untuk menghindari akibat yang lebih buruk. keyword : Diagnosis, infeksi saluran kemih, pemeriksaan laboratorium. Kasus Seorang pasien anak laki-laki usia 5 tahun dengan berat badan 15 kg datang dengan keluhan pasien merasa sakit perut daerah bawah pusat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit yang makin meningkat, nyeri saat BAK (+), terasa panas (+), tidak membaik saat berubah posisi, BAK menjadi keruh, mual (), muntah (-) panas hilang timbul, pilek (-), sakit sekitar pinggang (-), BAK jernih, BAB Baik seperti biasanya tidak keras ataupun cair 1x perhari, tidak terjatuh atau terbentur sebelumnya, merasa ada benjolan pada perut (-), tidak pernah mengunakan pempers, dari pemeriksaan lab urine rutin ditemukan lekosit yang meningkat dalam urin. Pasien didiagnosis sebagai infeksi saluran kemih. Diagnosis infeksi saluran kemih Terapi pada kasus ini diberikan Infus Ringer laktat 15 tetes permenit Antibiotik pilihan : Gol. Seflosporin : cefotaxim 150 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis : 4 x 525 mg (I.V ) selama 7-10 hari Antipiretik Paracetamol tab : 10-15 mg/kgBB/kali : 3 x 1/3 tab (bila panas) Diskusi Infeksi Saluran Kemih (ISK) menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Pertumbuhan bakteri mencapai lebih dari 100.000 unit koloni per ml urine segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari digunakan sabagai batasan diagnosis ISK. ISK merupakan penyebab demam kedua tersering setelah infeksi akut saluran napas atas pada anak usia kuran 2 tahun. Pada kelompok usia ini angka ISK mencapai 5%. ISK pada neonatus kurang bulan adalah sebesar 3% sedangkan neonatus cukup bulan 1%. Pada anak kurang dari 10 tahun ISK ditemukan pada 3,5% anak perempuan dan 1,1% anak lelaki. Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah penderita ISK dari komplikasi pembentukan parut ginjal dengan segala konsekuensi seperti hipertensi dan gagal ginjal kronik. Langkah diagnostik untuk menegakkan ISK antara lain : Anamnesa. Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas, dari asimtomatik sampai gejala sepasis yang berat. Pada neonatus usia 2 bulan, gejalanya dapat menyerupai infeksi atau sepsis berupa demam, apatis, berat badan tidak naik, muntah, mencret, anoreksia, problem minum dan sianosis (kebiruan) Pada bayi gejalanya berupa demam, berat badan sukar naik atau anoreksia Pada anak besar gejalanya lebih khas seperti sakit waktu kencing, frekuensi kencing meningkat, nyeri perut atau pinggang, mengompol, anyang anyangan (polakisuria) dan bau kencing yang menyengat. Pemeriksaan fisik Dijumpai demam, nyeri ketok pinggang (sudut kostovertebra), nyeri tekan perut bawah (supra simfisis), kelainan pada organ genitalia eksterna seperti fimosis, hipospadia, epispadia, kelainan tulang belakang seperti spina bifida. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan urin (kencing) dijumpai protein, leukosit (Leukosit > 5 LPB), hematuria (eritrosit > 5 LPB) Diagnosis pasti dengan ditemukannya bakteriuria bermakna pada kultur urine Pemeriksaan penunjang lain digunakan unuk mencari faktor resiko seperti USG perut dan bila perlu dilanjutkan dengan miksio sisto uretrogram (MSU) dan pielografi intravena (PIV) Pemeriksaan Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk menentukan jumlah leukosit dan bakteri dalam urin. Jumlah leukosit yang dianggap bermakna adalah >10 / lapang pandang besar (LPB). Apabila didapat leukosituri yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur. Pemeriksaan langsung kuman patogen dalam urin sangat tergantung kepada pemeriksa. Apabila ditemukan satu atau lebih kuman pada pemeriksan

langsung, perlu dilakukan pemeriksaan kultur. Kultur Urin Deteksi jumlah bermakna kuman patogen (significant bacteriuria) dari kultur urin masih merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. Bila jumlah koloni yang tumbuh > 105 koloni/ml urin, maka dapat dipastikan bahwa bakteri yang tumbuh merupakan penyebab ISK. Sedangkan bila hanya tumbuh koloni dengan jumlah < 103 koloni / ml urin, maka bakteri yang tumbuh kemungkinan besar hanya merupakan kontaminasi flora normal dari muara uretra. Jika diperoleh jumlah koloni antara 103 - 105 koloni / ml urin, kemungkinan kontaminasi belum dapat disingkirkan dan sebaiknya dilakukan biakan ulang dengan bahan urin yang baru. Faktor yang dapat mempengaruhi jumlah kuman adalah kondisi hidrasi pasien, frekuensi berkemih dan pemberian antibiotika sebelumnya . Perlu diperhatikan pula banyaknya jenis bakteri yang tumbuh. Bila >3 jenis bakteri yang terisolasi, maka kemungkinan besar bahan urin yang diperiksa telah terkontaminasi Tabel 3. Kriteria untuk diagnosis bakteriuria bermakna Penegakkan Diagnosis Jumlah koloni bakteri per ml urin Pengambilan spesimen Sistitis akut nonkomplikata pada wanita > = 103 cfu/ml Urin pancaran tengah Pielonefritis nonkomplikata pada wanita >=104 cfu/ml Urin Pancaran Tengah ISK komplikata > 105 cfu/ml > 104 cfu/ml Urin Pancaran tengah pada wanita Kateter (wanita) Algoritme penanggulangan ISK : Kesimpulan Infeksi Saluran Kemih (ISK) menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Penegakan diagnosa ISK melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dengan ditemukannya bakteriuria bermakna pada kultur urine. Pada spesimen urin suprapubik, berapapun bakteri yang terdapat pada urin adalah relevan. Bakteriuria asimtomatik ditegakkan apabila 2 urin kultur bakteri strain sejenis diambil >24jam menunjukkan bakteriuria sebanyak >= 105 cfu/ml. Referensi 1. Pusponegoro, Hardiono dkk. 2004. Standar Pelayanan medis Kesehatan Anak. IDAI 2. World Health Organization. 2009. Pedoman pelayanan Kesehatn Anak di Rumah Sakit rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia 3. Enday Sukandar, 2007. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. In: Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta, Indonesia: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 553-557. 4. Kumalawati J. Diagnosis bakteriologik infeksi saluran kemih dengan biakan urin. Lokakarya pemeriksan laboratorium klinik pada penyakit infeksi. Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM. 1993. 5. McBryde C, Redington J. Diagnosis and management urinary tract infections : asymptomatic bacteriuria, cystitis and pyelonephritis. Primary Care Case Review 2001 (4) ; 3 14. Penulis Nur Aini Abd. R Balafif / 20060310038, Stase Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Saras Husada, Yogyakarta.

Ganbaran Radiologi Pada Pasien dengan Fraktur Femur


Dibuat oleh: Nur Aini Abd. R Balatif,Modifikasi terakhir pada Fri 11 of May, 2012 [15:16 UTC] ABSTRAK : Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Kata Kunci : Fraktur femur, Imobilisasi, Radiologi. Kasus : Pasien laki -laki 32 tahun datang dengan keluhan nyeri paha tengah setelah jatuh dari sepeda motor. Kesulitan berjalan (+), luka luar pada paha (-). KU : tampak kesakitan ,Kesadaran

: Compos Mentis, GCS E4V5M6 ,Vital Sign :TD : 140/80, N : 92x/m, R : 24x/m, T :afebris, Status Lokalis Regio Femoralis :Pada regio femoralis dextra tampak terpasang spalk, nyeri gerak aktif nyeri gerak pasif dan krepitasi sdn ,Rontgen Femur dextra AP/Lat: Kompleta communited fraktur femur dextra 1/3 medial cum angulationem, Aposisi kurang baik dan alignment jelek Diagnosis : Kompleta communited Fraktur Femur dextra 1/3 medial Diskusi : Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.Tujuan pemeriksaan radiologis : a. Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi, b. Untuk konfirmasi adanya fraktur, c. Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya, d. Untuk menentukan teknik pengobatan, e. Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak, f. Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler, g. Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru . Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua: a. Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada anteroposterior dan lateral, b. Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur, c. Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua angota gerak terutama pada fraktur epifisis, d. Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang., e. Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid, foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan : a. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans, b. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler. Kesimpulan : Untuk membantu menegakkan diagnosis pada fraktur femur dapat dilakukan pemereiksaan radiologi berupa foto AP dan lateral femur. rontgen tersebut juga dapat digunakan untuk membantu memudahkan dalam perencanaan orif, untuk menentukan letak dan bentuk pasti dari frakturnya, dapat juga diakukan pemeriksaan radiologi lainnya seperti : bone scans, Referensi 1. Apley, AG. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika. Ekayuda, I. 2005. Radiologi Diagnostik FK UI. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta. Palmer, PES dkk. 2002. Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum. Jakarta: EGC. Partono, Muki. 2009. Osteoarthritis. http://mukipartono.com/osteoartritis/ Sjamsuhidajat R, Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, ed revisi, EGC. Jakarta: 1998. 2. Djoko Simbardjo. Fraktur Batang Femur. Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bagian Bedah FKUI. 3. Sjahriar R, Radiologi Diagnostik, ed kedua, FKUI, Jakarta, 2010. 4. R. Putz, R. Pabst, Sobbota, Atlas Anatomi Manusia, ed 21, RGC, Jakarta, 2005. Penulis Nur Aini Abd. R Balafif, 20060310038, Bagian Ilmu Radiologi, RSUD Saras Husada, Kab. Purworejo, Jawa Tengah.

Penatalaksanaan OD Hipermetropi Presbiopi OS Presbiopi pada Pasien Usia 60 Tahun


Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:30 UTC] Abstrak Hipermetropi merupakan keadaan dimana kekuatan pembiasan sinar pada mata tidak cukup kuat untuk memfokuskan sinar pada bintik kuning (macula lutea), sehingga mata menfokuskan sinar di belakang retina. Hipermetropia merupakan kelainan refraksi dimana dalam

keadaan mata istirahat semua sinar sejajar yang datang dari benda-benda pada jarak tak terhingga dibiaskan dibelakang retina, dan sinar-sinar divergen yang datang dari benda-benda yang jaraknya dekat dibiaskan lebih jauh lagi di belakang retina. Presbiopia, yang biasa juga disebut penglihatan tua (presby = old = tua; opia = vision = penglihatan) merupakan keadaan normal sehubungan dengan usia, di mana kemampuan akomodasi seseorang telah mengalami penurunan sehingga sampai pada tahap di mana penglihatan pada jarak dekat menjadi kurang jelas dan terjadi pada orang yang telah lanjut usia (diatas 40 tahun). Keyword : Hipermetropi, Lensa, Presbiopi, Refraksi ISI Pasien Ny. R. Usia 60 tahun datang dengan keluhan pandangan mata kabur saat membaca jarak dekat. Pandangan terasa jelas saat menjauh dekatkan bahan bacaannya. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengaku mata terasa cepat lelah saat membaca terlalu lama. Pandangan mata tidak kabur saat melihat jauh. Pasien juga mengeluh tidak adanya pandangan ganda. Pasien tidak ada riwayat pemakaian kacamata sebelumnya. Keluhan serupa pada keluarga (-). Pada pemeriksaan kartu Snellen didapatkan visus jauh untuk OD 6/7,5 dan OS 6/6. Sedangkan 6/6, dan OS 6/6. Untuk visusuntuk koreksi OD 6/7,5 sferis + 0,50 D dekat didapatkan OD add sferis + 3,00 D dan OS add sferis + 3,00 D. DIAGNOSIS OD Hipermetropi Presbiopi OS Presbiopi TERAPI OD: Kacamata lensa sferis + 3,00 D dan koreksi visus dengan lensa sferis + 0,50 D untuk melihat dekat atau membaca OS: Kacamata lensa sferis + 3,00 D untuk melihat dekat atau membaca DISKUSI Pada hipermetropia diperlukan lensa cembung atau konveks untuk mematahkan sinar lebih kuat ke dalam lensa. Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberiakn tajam penglihatan normal. Pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Hal ini untuk memberikan istirahat pada mata akibat hipermetropia fakultatifnya diistirahatkan dengan lensa positif. Pada pasien hipermetropia aksial memerlukan kekuatan lensa yang lebih tinggi untuk menggeser sinar ke macula lutea dibanding dengan hipermetropia lain. Pada setiap kekuatan lensa +1 dioptri akan terjadi pembesaran benda yang dilihat sebesar 2%. Penderita yang memakai kacamata positif akan terlihat seolah-olah matanya menjadi besar. Dengan kacamata positif tebal akan terjadi kesukaran melihat seperti gangguan penglihatan tepi dan aberasi sferis. Penanganan presbiopia adalah dengan membantu akomodasinya menggunakan lensa cembung (plus). Jika penderita presbiopia juga ingin memakai kacamata untuk penglihatan jauhnya, atau mempunyai status refraksi ametropia, maka ukuran dioptri lensa cembung itu diaplikasikan ke dalam apa yang disebut sebagai addisi. Addisi adalah perbedaan dioptri antara koreksi jauh dengan koreksi dekat. Berikut ini merupakan addisi rata rata yang ditemukan pada berbagai tingkatan usia : 40 tahun +1,00 D. 45 tahun +1,50 D. 50 tahun +2,00 D. 55 tahun +2,50 D. 60 tahun +3,00 D. Dalam menentukan nilai addisi, penting untuk memperhatikan kebutuhan jarak kerja penderita pada waktu membaca atau melakukan pekerjaan sehari hari yang banyak membutuhkan penglihatan dekat. Karena jarak baca dekat pada umumnya adalah 33 cm, maka lensa S +3,00 D adalah lensa plus terkuat sebagai addisi yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini, mata tidak melakukan akomodasi bila melihat obyek yang berjarak 33 cm, karena obyek tersebut berada pada titik focus lensa S +3,00 D tersebut. Jika penderita merupakan seseorang yang dalam pekerjaannya lebih dominan menggunakan penglihatan dekat, lensa jenis fokus tunggal (monofocal) merupakan koreksi terbaik untuk digunakan sebagai kacamata baca. Lensa bifocal atau multifocal dapat dipilih jika penderita presbiopia menginginkan penglihatan jauh dan dekatnya dapat terkoreksi. Selain dengan lensa kacamata, presbiopia juga dapat dikoreksi dengan lensa kontak multifocal, yang

tersedia dalam bentuk lensa kontak keras maupun lensa kontak lunak. Hanya saja, tidak setiap orang dapat menggunakan lensa kontak ini, karena membutuhkan perlakuan dan perawatan secara khusus. Metode lain dalam mengkoreksi presbiopia adalah dengan tehnik monovision (penglihatan tunggal), di mana salah satu mata dikondisikan hanya bisa untuk melihat jauh saja, dan mata yang satunya lagi dikondisikan hanya bisa untuk melihat dekat. Alat koreksi yang dipakai bisa berupa lensa kacamata atau lensa kontak. Ada beberapa orang yang dapat menggunakan metode ini, sementara sebagian besar yang lain dapat pusing pusing atau kehilangan kedalaman persepsi atas obyek yang dilihat. KESIMPULAN Pada Kasus ini, Pasien Ny. R. Usia 60 tahun datang dengan keluhan pandangan mata kabur saat membaca jarak dekat. Pandangan terasa jelas saat menjauh dekatkan bahan bacaannya. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengaku mata terasa cepat lelah saat membaca terlalu lama. Pandangan mata tidak kabur saat melihat jauh. Pasien juga mengeluh tidak adanya pandangan ganda. Pasien tidak ada riwayat pemakaian kacamata sebelumnya. Keluhan serupa pada keluarga (-). Pada pemeriksaan kartu Snellen didapatkan visus jauh untuk OD 6/7,5 dan OS 6/6. Sedangkan untuk koreksi OD 6/7,5 sferis + 0,50 D 6/6, dan OS 6/6. Untuk visus dekat didapatkan OD add sferis + 3,00 D dan OS add sferis + 3,00 D. Pasien terdiagnosa OD Hipermetropi Presbiopi OS Presbiopi. Referensi 1.Riordan-Eva P, White OW. Optik & Refraksi. In: Vaughan DG, Asbury T, RiordanEva P. Oftalmologi Umum. 14th ed. Alih Bahasa: Pendit BU. Jakarta: Widya Medika, 2000. 2.Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. In: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009. 3.Wijana N. Refraksi. In: Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: 1983 Penulis Barii Hafidh Pramono, Ilmu Bagian Penyakit Mata, RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. 2012

Manajemen Jalan nafas dengan Laryngeal Mask Airway pada Pasien Appendiktomi dengan ASA I
Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:22 UTC] Abstrak Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflek-reflek proteksi jalan nafas, maka dari itu sangatlah penting untuk mengendalikan jalan nafas pasien saat dilakukan operasi. Pengendalian jalan nafas dalam anestesi, salah satunya dapat dengan menggunakan LMA. LMA adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan. Indikasi pemasangan LMA yaitu sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi endotrakheal untuk manajemen airway. LMA bukanlah suatu penggantian endotrakheal, ketika pemakaian endotrakheal menjadi suatu indikasi, pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan. Keyword : Anastesia, LMA, Manajemen Jalan Nafas ISI Pasien perempuan berusia 38 tahun telah didiagnosis appendisitis dan akan dilakukan operasi appendiktomi. Pada pemeriksaan sebelum dilakukan operasi didapatkan hasil dari anamnesa yaitu pasien tidak memiliki riwayat asma, tidak memiliki riwayat alergi, tidak memiliki riwayat diabetes melitus, tidak memiliki riwayat hipertensi, tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Hasil dari pemeriksaan fisik, Airway: clear, M II, Breathing: spontan, respiration rate 18x/menit, terdapat suara dasar vesikuler, tidak terdapat suara ronkhi, circulating : tekanan darah 110/70

mmHg, heart rate 78 x/menit, dissability : compos mentis. Pasien dikategorikan ASA I. DIAGNOSIS Appedensitis Akut TERAPI Appendictomy DISKUSI Pada pasien ini, LMA dipilih sebagai manajemen airway karena merupakan alternatif dari ventilasi face mask. Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan endotrakheal tube selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan endotrakheal tube pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih kurang dari pada dengan endotrakheal tube. Pada pasien ini tidak ditemukan kontraindikasi untuk pemakaian LMA, sehingga pengendalian jalan nafas dengan LMA dapat dilakukan. KESIMPULAN Pada Kasus ini, Pasien perempuan berusia 38 tahun telah didiagnosis appendisitis dan akan dilakukan operasi appendiktomi. Pada pemeriksaan sebelum dilakukan operasi didapatkan hasil dari anamnesa yaitu pasien tidak memiliki riwayat asma, tidak memiliki riwayat alergi, tidak memiliki riwayat diabetes melitus, tidak memiliki riwayat hipertensi, tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Hasil dari pemeriksaan fisik, Airway: clear, M II, Breathing: spontan, respiration rate 18x/menit, terdapat suara dasar vesikuler, tidak terdapat suara ronkhi, circulating : tekanan darah 110/70 mmHg, heart rate 78 x/menit, dissability : compos mentis. Pasien dikategorikan ASA I. Saat pelaksanaan operasi, pasien dibius secara general anestesi melalui inhalasi dan untuk pengendalian jalan nafasnya dilakukan dengan LMA. Referensi 1.Verghese C, Brimacombe JR. Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910 patients : safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996 ; 82 : 129 133 2.Cook TM, Lee G, Nolan JP. The ProSeal laryngeal mask airway ; a review of the literature. Can j Anesth 2005 ; 52 : 739 760 3.El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ.Proseal laryngeal mask airway versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic response and emergence characteristic. Anesthesiology 2003 ; 99 : A571 Penulis Barii Hafidh Pramono, Ilmu Bagian Anastesiologi dan Reanimasi, RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. 2012

Pemberian Diazepam Terhadap Pasien Generalized Tetanus Grade II


Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:20 UTC] Abstrak Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. tetanus umum terdiri atas 3 derajat, yakni derajat I atau ringan, derajat II

atau sedang, derajat III atau berat. Derajat I atau ringan bercirikan masa inkubasi lebih dari 14 hari, periode onset > 6 hari, trismus positif tapi tidak berat, sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada, lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari. Derajat II atau sedang bercirikan masa inkubasi 10-14 hari, periode onset 3 hari atau kurang, trismus dan disfagi ada, kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada. Derajat III atau berat bercirikan masa inkubasi < 10 hari, periode onset < 3 hari, trismus dan disfagia berat, kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia. Keyword : Berat, Ringan, Sedang, Tetanus ISI Penderita laki-laki, 51 tahun dengan keluhan demam, tidak dapat menelan, tidak dapat membuka mulut, otot kaku dan keras disekujur tubuh terutama di bagian leher, dan mengalami kejang secara perlahan-lahan. Penderita juga mengtakan perut keras seperti papan dan terguncang sendirinya. Penderita juga mengaku sulit bernafas. Penderita tergores seng berkarat 9 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kaku kuduk (+), kerniq sign (+), Lasseque (+). DIAGNOSIS Generalized Tetanus Grade II TERAPI O2 2L/menit Infus NaCl + diazepam IV ampul Infus Metronidazole ATS 100.000 u/i.v selama 2 hari Mecobalamin 1 ampul/ i.v Rawat Luka DISKUSI Diazepam, turunan benzodiazepin, telah lama dilaporkan efektif dalam pengobatan tetanus. Selanjutnya, beberapa laporan lain menyatakan bahwa diazepam dibandingkan dengan agen terapeutik lainnya menawarkan manfaat yang signifikan dalam pengobatan tetanus. Manfaat ini diberikan ke antikonvulsan dikombinasikan dan tindakan relaksasi otot kejang otot pada tetanus dan kekakuan. Juga, ia memiliki efek sedatif dan ansiolitik. Tidak seperti barbiturat, diazepam, diberikan dalam dosis tinggi, dilaporkan menyebabkan depresi pernapasan kecil. Diazepam dapat diberikan secara oral melalui selang nasogastrik, rektum, atau dengan infus intravena. Diazepam intramuskular ditandai dengan penyerapan menentu. Bioavailabilitas setelah pemberian oral dan rektal diazepam dilaporkan menjadi baik, dengan hampir lengkap plasma tingkat penyerapan dan puncaknya terjadi dalam 30-90 menit. Algoritma pemberian diazepam apabila pasien datang dengan keluhan kejang maka diberikan diazepam 10 mg i.m. kemudian dievaluasi, apabila masih kejang berikan lagi 10 mg maksimal 3x pemberian. Apabila masih kejang, maka masuk ICU. Namun apabila sudah tidak kejang masuk ke maintenance dimana alur ini sama dengan pemberian diazepam saat pertama kali dan langsung tidak kejang. Maintenance ini diberikan dengan dosis 20mg/kgBB/24 jam diberikan dalam 8 dosis setiap 3 jam. Apabila tidak kejang dalam 48-72 jam maka dosis diturunkan 10-15%. Apabila masih kejang, maka dosis dinaikkan perlahan dan jarak interval dosis menjadi 2 jam. KESIMPULAN Pada kasus ini, penderita lakilaki, 51 tahun dengan keluhan demam, tidak dapat menelan, tidak dapat membuka mulut, otot kaku dan keras disekujur tubuh terutama di bagian leher, dan mengalami kejang secara perlahanlahan. Penderita juga mengtakan perut keras seperti papan dan terguncang sendirinya. Penderita juga mengaku sulit bernafas. Penderita tergores seng berkarat 9 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan kaku kuduk (+), kerniq sign (+), Lasseque (+). Pemberian diazepam pada pasien ini ternyata efektif sebagai pemberian terapi antikonvulsan dan sebagai relaksasi kejang otot dan kekakuan otot. Referensi 1.Weinberg WA. Control of the neuromuscular and convulsive manifestations of severe systemic tetanus: case report with a new drug Valium (Diazepam). Clinical Pediatrics 1964;71:226-8. 2.Rey M, Diop-Mar I, Robert D. Tetanus: Important new concepts. In: Veronesi R, editor(s). Excerpta Medica. Amsterdam, 1981:207-37 3.Arrate JK, Ugidos M, Garcia Rodrigo. Neonatal tetanum treatment with high doses of diazepam. Espanoles de Pediatria 1980;13:243-6. 4.Fox GS, Wynands JE, Bhambhami M. A clinical comparison of diazepam and thiopentone as induction agents to general

anaesthesia. Canadian Anaesthetists' Society Journal 1968;15:281-90. 5.Dalen JE, Evans GL, Banas JS, Brooks HL, Paraskos JA, Dexter L. The haemodynamic and respiratory effects of diazepam (Valium). Anesthesiology 1969;30:259-63 Penulis Barii Hafidh Pramono, Ilmu Bagian Penyakit Syaraf, RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta. 2012

Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Asma Bronkhial Serangan Ringan Episodik Jarang
Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:14 UTC] Abstrak Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronkhial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubahubah baik secara spontan maupun hasil pengobatan. Asma bronkhial tebagi atas tiga macam serangan yakni serangan ringan, sedang, dan berat. Selain itu asma bronkhial juga terbagi tiga episodik yakni episodik jarang, sering dan resisten. Keyword : Asma Bronkhial, Serangan, Episodik. ISI Pasien Ny. E.W usia 47 tahun datang dengan keluhan sesak nafas. Saat terjadi sesak nafas terdengar suara mengi atau ngik-ngik. Pada saat terjadi sesak nafas, pasien merasa lebih nyaman ketika dalam keadaan menunduk. Sesak napas pernah dirasakan sekitar 3 bulan yang lalu. Dalam keadaan sesak nafas, pasien masih bisa beraktivitas dan kooperatif. Pasien mengaku sesak nafas kali ini mengganggu aktivitas. Pasien mengaku belum minum obat apapun sebelumnya. Pasien juga bukan pengguna obat semprot untuk sesak nafas. Selain itu pasien mengeluh batuk dan keluar dahak putih kental selama sesak nafas. BAK (+) BAB (+) normal seperti biasa. Suami pasien bukan perokok. Ibu pasien sebelumnya mempunyai riwayat asma bronkhial. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara wheezing (+/+), dan tidak ada peningkatan apapun pada pemeriksaan laboratorium. DIAGNOSIS Asma Bronkhial Serangan Ringan Episodik Jarang. TERAPI infus RL 8 tpm nebulizer ventolin ampul/8 jam k/p acitromisin 1x500 ambroxol 3x1 metilprednisolon ampul/ 12 jam salbutamol 3x2 mg DISKUSI Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteroid dapat membentuk makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2 membentuk leukotrien. Prostaglandin, tromboksan dan metabolit asam arakidonat lain. Kinerja makrokortin terhadap fosfolipase A2. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi pembentukan mediator oleh sel inflamasi, menghalangi penglepasan mediator dan menghalangi respons yang timbul akibat lepasnya mediator. Kortikosteroid dapat menekan pembentukan mast netrofil, eosinofel, kininogen di plasma. Selain itu juga dapat menghambat penglepasan basofil, makrofag, eosinofil, basofil. Kortikosteroid juga mampu menghalangi penggabungan terhadap leukosit. Kortkosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur. Cara pemberian yang paling baik adlah inhalasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang dapat menurunkan kebutuhan terhadap kortikosteroid sistemik. Pada pemakaian kortikosteroid inhalasi jangka panjang dapat timbul efek samping kandidiasis orofaring, disfonia. Efek smaping itu dapat dicegah dengan pemakaian spacer atau dengan

mencuci mulut sesudah pemakaian alat. Obat kortikosteroid sistemik diberikan apabila obat ibhalsi masih kurang efektif dalam mengontrol asma. Obat sistemik juga diberikan pada saat terjadi serangan asma yang berat. Pada penderita asma akut berat ternyata pemberian kortikosteroid intravena yakni triamnisolon asetonid 40 mg memberikan perbaikan klinis dan faal paru yang lebih baik secara bermakna. Contoh obat kortikosteroid inhalasi, beclomethasone dipropionate bentuk sediaan inhalasi aerosol dengan dosis 200 g 2x sehari, budesonide bentuk inhalasi aerosol 200 g 2x sehari serbuk inhalasi dengan dosis 200-1600 g sehari, dan fluticasone inhalasi aerosol 100-250 g 2x sehari KESIMPULAN Pasien Ny. E.W datang dengan keluhan sesak nafas. Saat terjadi sesak nafas terdengar suara mengi atau ngik-ngik. Pada saat terjadi sesak nafas, pasien merasa lebih nyaman ketika dalam keadaan menunduk. Sesak napas pernah dirasakan sekitar 3 bulan yang lalu. Dalam keadaan sesak nafas, pasien masih bisa beraktivitas dan kooperatif. Pasien mengaku sesak nafas kali ini mengganggu aktivitas. Selain itu pasien mengeluh batuk dan keluar dahak putih kental selama sesak nafas. Ibu pasien sebelumnya mempunyai riwayat asma bronkhial. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara wheezing (+/+). Pada pasien ini diberikan kortikosteroid sebagai salah satu terapi yang direncanakan. Referensi 1.Feek MC. Oral corticosteroid use. Medicine Digest Asia 1992;10:1720.Medical Progress 1995;22:18-25. 2.Brogden RN, Tavish DM. Budesonide its use updated. Medical Progress 1993;20:19-21. 3.Ikhsan M, Yunus F, Mangunnegoro H. Efek beklometason dipropionat dan ketotifen terhadap hiperaktivitas bronkus pada penderita asma. J Rerpir Indo 1995;15:146-55. 4.Park CS. Use of inhaled corticosteroids in adult with asthma. Medical Progress 1999;20:17-20. Penulis Barii Hafidh Pramono, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. 2012

Kriteria Ikterik Neonatorum (Hiperbilirubinemia Indirect) DD Observasi Infeksi Neonatus pada Bayi Prematur
Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:07 UTC] Abstrak Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis (terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan hal yang patologis misalnya pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan slauran empedu dan sebgaainya. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Keyword : Hiperbilirubinemia, Ikterus Neonatorum, Ikterus Patologis ISI Bayi usia 23 hari datang dengan keluhan berat badan bayi lahir rendah, prematur. Bayi tersebut mempunyai riwayat lahir spontan, APGAR skor 5/6, berat badan lahir 1600 gram, panjang badan 41 cm pada usia kehamilan 31+5 minggu. Sesaat setelah dilahirkan, diketahui bayi dilakukan rangsang taktil dikarenakan tidak menangis. Pada ibu diketahui riwayat ketuban pecah dini (+) 72 jam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total 24,81 mg/dl; bilirubin direct: 0,61 mg/dl; bilirubin indirect: 24,21. DIAGNOSIS Observasi Ikterik Neonatorum DD Infeksi Neonatus

TERAPI O2 Headbox 5L/ menit Infus D5% 5 tetes/menit Cefixim peroral 2x10 mg Fototerapi 24 jam Diit ASI DISKUSI 1.Kriteria ikterus neonatorum patologis: -Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan -Bilirubin total (indirek) Bayi Cukup Bulan 13 mg/dL; Bayi Kurang Bulan 10 mg/dL -Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL dalam 24 jam atau > 0,5 mg/dL/jam -Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL -Ikterus timbul 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl -Ikterus yang disertai proses hemilisi (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6-PD, dan sepsis). -Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl/jam atau lebih 5 mg/dl/hari. -Ikterus menetap sesudah bayi umur 10 hari (bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada BBLR. 2.Keadaan yang menimbulkan ikterus patologis -Penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidak cocokkan golongan darah ibu dan anak seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya. -Kelainan dalam sel darah merah seperti pada defisiensi G6-PD (glukosa -6 fosfat dehidrokinase), talasemia dan lain-lain. -Hemolisis : hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir. -Infeksi : septikemia, meningitis, infeksi saluran kemuh, penyakit karena toksoplasmosis, sifilis, rubela, hepatitis. -Kelainan metabolik : hipoglikemia, galaktosemia Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti sulfonamida, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn dan sebagainya. -Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, penyakit Hirschprung, stenosis pilorik, mekonium ileus, dan sebagainya. 3.Kriteria Ikterus neonatorum fisiologis -Warna kuning terjadi pada hari ke 2 atau ke 3 dan tampak jelas pada hari ke 5 -6 dan menghilang pada hari ke 10. -Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl dan akan hilang pada hari ke-14. -Penyebab : kurang protein Y dan Z, enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya. 4.Keadaan ikterus dipengaruhi oleh: -Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluarannya. Terdapat pada hemolisis yang meningkat pada ketidak cocokkan golongan darah (Rh, ABO antagonis, defisiensi G-6-PD). -Gangguan dalam uptake dan konjugasi hepar disebabkan imaturitas hepar, kurangnya substrat atau konjugasi (mengubah) bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapat enzim glukoronil transferase (G-6-PD) -Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke hepar. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat pada otak (terjadi kernikterus). -Gangguan dalam ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau diluar hepar. 5.Penyebab hiperbilirubinemia indirek A. Peningkatan produksi bilirubin Penyakit hemolitik -Inkompatibilitas (Rh, ABO) -Defek membran ( sperositosis, elliptositosis, infantil pykoniositosis) -Defisiensi enzim: G6-PD, hexokinase, pyruvate kinase -Infeksi neonatus -Hematoma Peningkatan Red Blood Cells -Polysitemia B. Penurunan metabolisme bilirubin 1. Pengurangan uptake - Shunt porta caval - Hipoxia - Sepsis Asidosis - Penyakit jantung kongenital 2. Penurunan konjugasi - Defisiensi glukuronil transferase (Crigler-Najjar syndrom) -Gilberts syndrom -Hiperbilirubinemia familial (LuceyDriscoll syndrom) - Hypothiroidisme - Panhypopituitarisme 3. Perubahan siklus enterohepatik Breastfeeding Asam lemak bebas, steroids, breast milk glukoronidase. -Hypomotilitas usus menahan mekonium -Penurunan flora usus Bayi baru lahir, penggunaan antibiotik. KESIMPULAN Bayi usia 23 hari datang dengan keluhan berat badan bayi lahir rendah, prematur. Bayi tersebut mempunyai riwayat lahir spontan, APGAR skor 5/6, berat badan lahir 1600 gram, panjang badan 41 cm. Sesaat setelah dilahirkan, diketahui bayi dilakukan rangsang taktil dikarenakan tidak menangis. Pada ibu diketahui riwayat ketuban pecah dini (+) 72 jam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total 24,81 mg/dl; bilirubin direct: 0,61 mg/dl; bilirubin indirect: 24,21. Pada bayi ini dimungkinkan penyebab terjadinya hiperbilirubinemia indirect dikarenakan pemecahan sel darah merah yang terlalu cepat, delayed

feeding, rendahnya level serum albumin, terlambatnya maturitas dari hepatika postnatal.. Referensi 1.Behrman., Kliegman. & Arvin. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak ( edisi: 15, vol 2). Jakarta : EGC. 1397. 2.Saunders A. Jaundice. (2002). Hiperbilirubinemia. Pediatric decision making strategies to accompany Nelson of pediatrics, 16th ed. Philadelphia: Saunders. 3.Thiloho HE, Rosenberg AA. (2000). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : IDAI. 147-169. 4.Current pediatric diagnosis and treatment. (2011). Edisi ke 20.USA: Mc graw hill; h.10-18. Penulis Barii Hafidh Pramono, Ilmu Bagian Kesehatan Anak, RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. 2012

Penatalaksanaan Vakum Ekstraksi pada Ibu Primigravida Hamil Postdate atas indikasi Kala II Tak Maju
Dibuat oleh: Barii Hafidh Pramono,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [23:01 UTC] Abstrak Vakum ekstraksi adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan ekstraksi tenaga negatif (vakum) pada kepalanya. Vakum ekstraksi merupakan tindakan obstetri yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Prinsip dari vakum ekstraksi adalah membuat suatu caput succadeneum artifisialis dengan cara memberikan tekanan negatif pada kulit kepala janin melalui alat ekstraktor vakum. Syarat dilakukan vakum ekstraksi antara lain janin idup, janin dapat dilahirkan pervaginam, pembukaan portio lengkap, penurunan kepala janin di Hodge III, kepala janin sudah mengalami engagement, kepala janin harus dapat dipegang mangkuk vakum, ketuban sudah pecah atau dipecahkan, kontraksi masih baik, ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan. Keyword : Caput Succadeneum Artifialis, Janin, Vakum Ekstraksi. ISI Pasien Ny. W Usia 20 tahun datang rujukan dari bidan. Pasien datang dengan keluhan kencang-kencang teratur pukul 23.00 WIB, ada keluar lendir darah positif, ketuban sudah pecah di bidan jam 05.30 WIB. Air ketuban berwarna hijau keruh. Umur kehamilan 40+4 minggu. Keesokan paginya pukul 08.30 WIB Frekwensi his 2-3/30-40/kuat. Pada pemeriksaan dalam vulva uretra tenang, dinding vagina licin, portio tidak teraba, pembukaan lengkap, selaput ketuban (-), presentasi kepala, kepala tetap di H3-4, UUK jam 12, STLD (+), AK (-). 1 jam kemudian bayi belum lahir, pada pemeriksaan dalam didapatkan vulva uretra tenang, dinding vagina licin, portio tidak teraba, pembukaan 10cm, selaput ketuban (-), presentasi kepala, kepala tetap di H3-4, UUK jam 12, STLD (+), AK (-). DIAGNOSIS Dalam Persalinan Kala II Tak Maju TERAPI Terminasi Kehamilan dengan Vakum Ekstraksi DISKUSI 1.Indikasi Vakum Ekstraksi Vakum ekstraksi untuk mengakhiri persalinan dilakukan apabila keadaan ibu atau janin memerlukan penyelesaian dalam waktu singkat. Indikasi dilakukannya vakum ekstraksi ini diantaranya penyakit jantung kompensata, eklampsia, seksio sesarea pada persalinan sebelumnya yang merupakan indikasi dari pihak ibu, sedangkan gejala gawat janin merupakan indikasi dari pihak janin. Pada umumnya kala II lama dengan presentasi belakang kepala merupakan indikasi pula untuk melakukan vakum ekstraksi berhubung dengan meningkatnya bahaya bagi ibu dan janin. Dalam hubungan ini, pengawasan khususnya terhadap janin harus dilakukan dengan teliti. Apabila his cukup kuat dan persalinan belum selesai setelah kala II lamanya pada seorang primigravida 11/2 - 2 jam dan 1/2 jam pada seorang multipara, sebaiknya pada presentasi belakang kepala dengan

kepala janin di dasar panggul, persalinan diselesaikan. Pada umumnya dalam hal ini ubun-ubun kecil sudah di depan 2.Kontraindikasi Vakum Ekstraksi Kontra indikasi dilakukannya vakum ekstraksi antara lain janin preterm, malpresentasi (dahi, puncak kepala, muka, bokong), panggul sempit. 3.Pemasangan Vakum Ekstraksi Pasien dalam posisi litotomi. Vulva dan sekitarnya dibersihkan dengan kapas sublimat atau kapas lisol dan kemudian dengan tinctura jodii 2%. Kandung kencing dan rectum harus kosong. Dilakukan pemeriksaan dalam sekali lagi dengan teliti dengan perhatian khusus pada pembukaan, sifat portio dan vagina, turunnya kepala janin dan posisinya. Anestesi blok pudendus jika perlu, dilakukan. Dipilih mangkok yang akan dipakai. Mangkok dicelup dalam air sabun steril atau dibasahi seluruhnya dengan spiritus-sabun (jangan menggunakan minyak karena licin dan mudah lepas), lalu dimasukkan ke dalam vagina. Mula- mula mangkok dalam posisi agak miring (tidak menghadap vulva) dimasukkan ke dalam introitus vagina sambil menekan komissura posterior ke belakang dan kemudian diselipkan ke dalam vagina. Kemudian mangkok diputar, sehingga menghadap ke kepala janin. Dalam presentasi belakang kepala mangkok dipasang pada oksiput atau sedekat-dekatnya. Apabila oksiput tidak jelas letaknya atau presentasi lain, maka mangkok dipasang dekat pada sakrum ibu, terlebih bila kepala masih tinggi. Letak mangkok pada kepala harus sedemikian rupa sehingga arah tarikan nantinya tegak lurus dengan mangkok. Kemudian dengan satu atau dua jari diperiksa di sekitar mangkok apakah ada jaringan portio atau vagina terjepit. Apabila ada jaringan terjepit, maka harus segera dilepaskan dari jepitan. Oleh asisten, udara dari pompa dikeluarkan sehingga tercapai tekanan negatif dalam botol, pipa-pipa dan mangkok. Kulit kepala janin disedot ke dalam mangkok dan mangkok melekat pada kepala. Supaya mangkok melekat dengan benar, mangkok harus diisi penuh dengan kulit dan jaringan bawah kulit secara perlahan-lahan. Dengan pompa lekatan erat dicapai dengan meningkatkan tekanan negatif dalam 3 tahap. Mula-mula dipompa sampai minus 0,2 kg/cm2 kemudian ditunggu 2 menit lagi, lalu dipompa sampai minus 0,4 kg/cm2 dan ditunggu lagi 2 menit. Akhirnya dipompa sampai minus 0,6. Biasanya tekanan ini sudah cukup. Apabila perlu ditambah lagi sampai minus 0,7 atau 0,8. Setelah tekanan yang diinginkan tercapai masih ditunggu 2 menit lagi sebelum tarikan definitif dimulai bersama-sama dengan his sambil wanita disuruh meneran seperti pada pimpinan partus biasa dengan kedua lengan wanita merangkul dan menarik lipat lutut ke arah kepala ibu. Ada kalanya his sudah timbul sebelum tekanan yang dikehendaki tercapai. Dalam hai ini ekstraktor vakum sudah boleh ditarik secara hati-hati supaya mangkok jangan sampai lepas dan supaya kepala janin lebih turun. Apabila his hilang tarikan jangan dilepas sama sekali, akan tetapi tarikan ringan diteruskan secara kontinu supaya kepala tidak terlampau mundur. Dengan demikian pada his berikutnya ibu meneran lagi dan kepala sekarang maju dengan titik permulaan yang lebih rendah letaknya. Tarikan definitif dilakukan apabila sudah dicapai tekanan 0,6 atau 0,7 kg/cm2. Selama itu pemeriksaan dalam ulangan harus dilakukan beberapa kali, sedikitnya setiap kali setelah tekanan dinaikkan untuk memeriksa apakah ada jaringan terisap ke dalam mangkok. Lamanya tindakan sebaiknya tidak melebihi 20 menit; maksimum 40 menit. Ekstraksi yang terlampau lama dianggap berbahaya bagi anak. 4.Cara Tarikan Pada Vakum Ekstraksi Seperti telah dijelaskan di atas tarikan definitif pada ekstraktor vakum sinkron dengan his dan tenaga meneran. Di luar his, tarikan definitif tidak boleh dilakukan karena kurang efektif. Jadi tarikan pada ekstraktor vakum sifatnya berkala (intermiten). Dulu ekstraksi ini dipakai juga dengan tarikan kontinyu pada pembukaan kecil, misalnya 4 cm dengan mangkok nomor 3, untuk mempercepat pembukaan. Akan tetapi sekarang usaha ini tidak dilakukan lagi karena waktu tindakan terlampau lama dan dianggap berbahaya bagi anak. Arah tarikan harus sesuai dengan turunnya kepala (seperti pada cunam) dan tegak lurus dengan mangkok: -Kepala tinggi, arah tarikan ke dorsal -Kepala tengah,

arah tarikan datar -Kepala di dasar panggul, arah tarikan ke atas/ventral Mula-mula tarikan dilakukan oleh tangan kanan pada pegangan yang berbentuk palang, sambil tangan kiri berusaha supaya mangkok tidak mudah lepas dari kepala. Tiga jari tangan kiri dimasukkan ke dalam vagina: ibu jari ditempatkan di pinggir mangkok bagian depan, jari telunjuk dan jari tengah di kepala anak, ventral dari mangkok. Apabila tangan kanan mengadakan ekstraksi, bersamaan ibu jari menekan mangkok bagian depan pada kepala. Jadi ada kerjasama (sinkronisasi) antara tangan kanan dan tangan kiri. Dengan pegangan tiga jari ini (Drei-fingergriff) mangkok tidak mudah lepas karena menurut pengalaman mangkok biasanya lepas di pinggir depan lebih dulu. Bagi orang yang banyak pengalaman dengan ekstraktor vakum jarang lepas sama sekali, karena sewaktu mangkok mulai mau lepas terdegar bunyi sedotan seperti bunyi peluit. Secara reflektoris tarikan segera dihentikan sehingga mangkok tidak jadi lepas. Dalam hal demikian jaringan lunak mudah tersedot ke dalam mangkok, sehingga perlu diperiksa dalam lagi. Apabila kepala sudah hampir lahir, tangan kiri mengambil alih ekstraktor vakum dengan memegang pipa karetnya (bukan pegangannya) dekat pada vulva sambil pipa dililit-lilitkan pada jari-jari. Tangan kanan yang sekarang bebas menyokong dan melindungi perineum. Arah tarikan dengan tangan kiri itu adalah ke atas (ventral). Setelah seluruh kepala lahir, bahu dan badan anak dilahirkan seperti biasa. Kemudian ventil dilepas (sekrupnya dikendorkan) perlahan-lahan supaya udara masuk ke dalam botol dan tekanan negatif hilang. Mangkok dapat dilepaskan dari kepala anak. Apabila mangkok sukar lepas karena sangat erat hubungannya dengan kapala, maka pipa karet yang menghubungkan botol dengan pegangan dilepaskan lebih dahulu. Dengan ekstraktor vakum, lahirnya kepala dapat diusahakan perlahan-lahan seperti pada partus spontan. Karena itu perlukaan jalan lahir ringan. Pertimbangan episiotomi menurut keadaan. 5.Kriteria Vakum Ekstraksi Waktu dilakukan traksi, mangkok lepas sebanyak tiga kali. Mangkok lepas pada waktu traksi kemungkinan disebabkan tenaga vakum terlalu rendah, tekanan negatif dibuat terlalu cepat, sehingga tidak terbentuk kaput suksedaneum yang sempurna yang mengisi seluruh mangkok, selaput ketuban melekat antara kulit kepala dan mangkok sehingga mangkok tidak dapat mencengkam dengan baik, bagian-bagian jalan lahir (vagina, portio) ada yang terjepit ke dalam mangkok, kedua tangan kiri dan kanan penolong tidak bekerja sama dengan baik, traksi terlalu kuat, cacat (defect) pada alat, misalnya kebocoran pada karet saluran penghubung, adanya disproporsi sefalopelvik. Setiap mangkok lepas pada waktu traksi, harus diteliti satu persatu kemungkinan- kemungkinan di atas dan diusahakan melakukan koreksi, dalam waktu setengah jam dilakukan traksi, janin tidak lahir. KESIMPULAN Pada kasus ini, Ny. W mengalami tidak adekuat mengejan sehingga bayi belum lahir lebih dari 1 jam setelah dipimpin persalinan, keadaan ini sudah memenuhi kriteria kala II tak maju yaitu 2 jam untuk primigravida atau bila dalam 1 jam primigravida kepala tidak turun atau putar paksi tidak terjadi. Dalam keadaan ini, harus dilakukan terminasi kehamilan dengan vakum ekstraksi atau forsep jika tidak dapat menyebabkan gawat janin. Pada kasus ini tindakan yang dipilih adalah vakum ekstraksi, dan syarat-syarat vakum sudah terpenuhi yaitu pembukaan lengkap, presentasi kepala. cukup bulan (tidak prematur), janin hidup dan tidak ada gawat janin, penurunan kepala di H3-4, kontraksi baik dan ibu kooperatif dan masih mampu mengejan Referensi 1.Mochtar, Rustam. 1998. Sinpsis Obstetri. Jakarta : ECG. 2.Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan. Jakarta : ECG. 3.Prawirohario, Sarwono. 2002. Asuhan Maternal dan Nonatal. Jakarta : YBPSP. 4.Sastrawinata, Sulaiman. 1993. Obstetri Fisiologi. Bandung : Fakultas kedokteranUniversita Padjajaran Bandung. Penulis Barii Hafidh Pramono, Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta. 2012

Terapi Konjungtivitis Bakterial Pada Anak Laki-laki usia 1 tahun


Dibuat oleh: Bombong Nurpagino,Modifikasi terakhir pada Tue 08 of May, 2012 [15:07 UTC] Abstrak Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Pada kasus ini seorang anak laki-laki berusia 1 tahun, dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kedua mata merah sudah sejak 1 minggu yang lalu. Mata merah terus menerus semakin merah dan bengkak. Mata merah disertai dengan keluhan gatal, berair (nyrocos), kedua kelopak mata melengket terutama saat bangun pagi hari dan keluar kotoran mata. Keyword : konjungtivitis, bakterial Kasus Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun, datang dengan keluhan kedua mata merah sejak 1 minggu yang lalu. Mata merah terus menerus semakin merah dan bengkak. Mata merah disertai dengan keluhan gatal, berair (nyrocos), kedua kelopak mata lengket terutama saat bagun pagi hari dan keluar kotoran. Pada riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan keluhan serupa sebelumnya maupun riwayat trauma mekanis pada mata. Pasien sudah pernah diperiksa di puskesmas dan diberi obat tetes, namun tidak ada perubahan. Pada pemeriksaan subyektif mata, visus pasien tidak dapat dinilai. Pada pemeriksaan obyektif ditemukan konjungtiva ODS hiperemis, sekret OD (+) dan OS (+), sekret berwarna kehijauan. Injeksi konjuntiva OD (+) dan OS (+). Permukaan kornea ODS jernih dan ukuran kedalaman COA dalam dan isinya jernih. Iris ODS berwana hitam dengan gambaran kripta dan bentuk radier. Reflek direk (+) dan reflek indirek (+). Diagnosis Konjungtivitis Bakterial ODS Terapi Pasien diberi terapi medikamentosa berupa Xytrol tetes mata 6 kali sehari ODS, dan Amoksisilin dan deksametason masing-masing 1/3 tablet dalam bentuk puyer yang diberikan 3 kali sehari. Sedangkan untuk edukasi diberikan saran untuk menghindari kontaminasi terhadap mata yang sehat dan mata orang lain. Diberikan instruksi kepada keluarga pasien untuk tidak menggosok mata pasien kemudian menyentuh mata yang sehat. Mencuci tangan setiap kali selesai memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap. Handuk atau sapu tangan yang baru yang terpisah yang digunakan untuk membersihkan mata yang sakit. Diskusi Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan. Manifestasi Klinis Tanda-tanda konjungtivitis, antara lain : konjungtiva berwarna merah (hiperemi) dan membengkak, produksi air mata berlebihan (epifora), kelopak mata bagian atas nampak menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan sel-sel konjungtiva bagian atas, pembesaran pembuluh darah di konjungtiva dan sekitarnya sebagai reaksi nonspesifik peradangan, pembengkakan kelenjar (folikel) di konjungtiva dan sekitarnya, terbentuknya membran oleh proses koagulasi fibrin (komponen protein) dan dijumpai sekret dengan berbagai bentuk (kental hingga bernanah). Konjungtiva yang mengalami iritasi akan tampak merah dan mengeluarkan kotoran. Konjungtivitis karena bakteri mengeluarkan kotoran yang kental dan

berwarna putih. Konjungtivitis karena virus atau alergi mengeluarkan kotoran yang jernih. Kelopak mata bisa membengkak dan sangat gatal, terutama pada konjungtivitis karena alergi. Gejala lainnya adalah mata berair, mata terasa nyeri, mata terasa gatal, pandangan kabur, peka terhadap cahaya, terbentuk keropeng pada kelopak mata ketika bangun pada pagi hari. Penatalaksanaan Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien dan atau keluarga pasien harus diberi edukasi bagaimana cara menghindari kontraminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit. Asuhan khusus harus dilakukan oleh personal asuhan kesehatan guna mengindari penyebaran konjungtivitis antar pasien. Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan sulfonamide (sulfacetamide 15 %) atau antibiotika (Gentamycine 0,3 %; chlorampenicol 0,5 %). Konjungtivitis karena jamur sangat jarang sedangkan konjungtivitis karena virus pengobatan terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, konjungtivitis karena alergi di obati dengan antihistamin (antazidine 0,5 %, rapazoline 0,05 %) atau kortikosteroid (misalnya dexametasone 0,1 %). Penanganannya dimulai dengan edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3 kali sehari dengan artifisial tears dan salep dapat menyegarkan dan mengurangi gejala pada kasus ringan. Sikloplegik hanya dibutuhkan apabila dicurigai adanya iritis. Pada banyak kasus Prednisolon asetat (Pred forte), satu tetes, QID cukup efektif, tanpa adanya kontraindikasi. Apabila etiologinya dicurigai reaksi Staphylococcus atau acne rosasea, diberikan Tetracycline oral 250 mg atau erythromycin 250 mg QID PO, bersama dengan pemberian salep antibiotik topikal seperti bacitracin atau erythromycin sebelum tidur. Metronidazole topikal (Metrogel) diberikan pada kulit TID juga efektif. Karena tetracycline dapat merusak gigi pada anak-anak, sehingga kontraindikasi untuk usia di bawah 10 tahun. Pada kasus ini, diganti dengan doxycycline 100 mg TID atau erythromycin 250 mg QID PO. Terapi dilanjutkan 2 sampai 4 minggu. Pada kasus yang dicurigai, pemeriksaan X-ray dada untuk menyingkirkan tuberkulosis. Kesimpulan Penatalaksanaan pada kasus ini dengan medikamentosa berupa Xytrol tetes mata 6 kali sehari ODS, dan Amoksisilin dan deksametason masing-masing 1/3 tablet dalam bentuk puyer yang diberikan 3 kali sehari. Sedangkan untuk edukasi diberikan saran untuk menghindari kontaminasi terhadap mata yang sehat dan mata orang lain. Diberikan instruksi kepada keluarga pasien untuk tidak menggosok mata pasien kemudian menyentuh mata yang sehat. Mencuci tangan setiap kali selesai memegang mata yang sakit, dan menggunakan kain lap. Handuk atau sapu tangan yang baru yang terpisah yang digunakan untuk membersihkan mata yang sakit. Referensi 1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009 2. Ilyas, Sidarta, Tanzil, Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2000. 3. Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan Eva, Paul. Oftalmologi Umum (General Ophthalmology). Ed. 14. Widya Medika, Jakarta : 2000. 4. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Abadi Tegal, Jakarta: 1993. 42-50.14. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2, 134.15. Putz, R. & Pabst R. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000 Penulis Bombong Nurpagino, S.Ked (20060310080). Bagian Ilmu Penyakit Mata. RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo.

You might also like