You are on page 1of 24

DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG PERIODE 1990 2009 Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

h Ekonomi Pertanian Dosen Pengampu : Prof. Drs. Waridin, M.Si., Ph.D

Disusun oleh: Fitria Dwi Ariesta 12020110120024

Muhammad Sahirul Alim 12020110130059 Fitri Bahari Emir Putra Ramadhani 12020110130077 C2B009044

ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Lahan juga dibutuhkan oleh hampir semua kegiatan ekonomi, sehingga tak heran kelangkaanya meningkat dengan pesat karena lahan merupakan sumber daya yang tak dapat diperbarui. Fakta membuktikan bahwa diantara berbagai jenis sumber daya, lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat strategis. Masalah lahan mempunyai implikasi sosial ekonomi yang sangat luas dan penuh komplikasi. Derivasi permasalahan yang terkait dengan struktur penguasaan lahan tidak hanya menyangkut permasalahan efisiensi produksi, tetapi juga aspek keadilan sosial. Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini akhirnya menimbulkan permasalahan kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Indonesia, negara kaya sumber daya alam setelah lebih dari 20 tahun bergelut dengan masalah pangan dengan mengerahkan berbagai sumberdaya, Indonesia pada akhirnya mampu mencapai swasembada beras padatahun 1984. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pencapaian swasembada beras tersebut telah diikuti oleh peningkatan peluang bagi setiap rumah tangga untuk dapatmengkonsumsi beras dalam jumlah yang mendekati tingkat kebutuhannya. Berkat intervensi pemerintah melalui BULOG ketahanan pangan juga relatif terjamin dalam pengertian fluktuasi musiman penawaran dan harga beras dapat ditekan. Dua faktor kunci keberhasilan pencapaian swasembada beras tersebut adalah: (1) meningkatnya produktivitas usahatani karena perbaikan teknologi usahatani, dan (2) tersedianya anggaran

pemerintah yang cukup karena oil boom untuk membiayai berbagai proyek dan program pengembangan teknologi usahatani serta proses sosialisasinya di tingkat petani serta pengembangan infrastruktur pertanian seperti irigasi, lembaga penyuluhan, dan sebagainya. Dewasa ini, kedua faktor kunci tersebut di atas semakin melemah, sehingga masalah pengadaan pangan khususnya beras kembali menjadi salah satu isu pokok pembangunan nasional. Isu tersebut muncul karena pertumbuhan produksi beras sejak tercapainya swasembada ternyata tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan konsumsi, sehingga impor beras terus meningkat sejak tahun 1987 dan pada tahun 1998 volume impor beras diperkirakan sebesar 5,8 juta ton. Disamping itu, peluang bagi peningkatan produksi pangan yang mengandalkan pada peningkatan produktivitas usahatani juga semakin sulit diharapkan akibat kejenuhan teknologi produksi beras. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, maka upaya peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan pun harus dilakukan salah satunya adalah melalui pencetakan sawah baru dan peningkatan jaringanirigasi telah dilakukan. Namun, upaya tersebut belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan produksi pangan, karena terbentur pada berbagai kendala teknis dan kendala anggaran. Areal sawah baru yang dikembangkan terutama di luar Jawa ternyata kurang produktif akibat kendala biofisik tanah sehingga dampak perluasan areal baru tersebut tidak cukup berarti bagi peningkatan produksi pangan nasional, padahal biaya investasi yang diperlukan sangat mahal dan membutuhkan jangka waktu yang lama bagi pemantapan ekosistem sawah baru tersebut. Di tengah perubahan struktur perekonomian seperti sekarang ini, studi tentang dinamika penguasaan lahan menjadi cukup penting, karena lahan sekarang bukan lagi merupakan salah satu faktor produksi, melainkan sekarang lebih sering juga menjadi komoditas sehingga konflik-konflik sosial yang terjadi semakin rumit. Lahan dibutuhkan oleh hampir semua aktivitas ekonomi. Program-program pemerintah tentunya membutuhkan dukungan dari penelitian-penelitian semacam ini yang akan memberikan data dan informasi yang dibutuhkan pemerintah sebagai implementasi dari program pemererintah tersebut. Dalam paper ini kami akan mencoba menganalisis dinamika penguasaan lahan di kabupaten Semarang. Kami menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro yang mana terletak di kabupaten Semarang tersebut. Untuk itu kami merasa mempunyai tanggung jawab untuk peduli pada lingkungan sekitar kami agar masyarakat yang hidup di lingkungan sekitar kampus Universitas Diponegoro bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Dan juga kami memilih komoditas padi sebagai objek penelitian adalah karena berdasarkan studi pustaka menunjukan bahwa dampak dari konversi lahan sawah di jawa selama periode 18

tahun(1981-1998) menyebabkan hilangnya produksi gabah sebesar 50,9 juta ton atau sekitar2,82 juta ton per tahun (jumlah kehilangan ini sama dengan impor beras indonesia selama 1981-1997 sekitar 1,5-2,7 ton per tahun). Dengan adanya hasil ini, kami kira penting untuk membahas bagaimana perkembangan produksi berasi negeri kita selama ini dengan mengambil contoh perkembangan produksi beras di kabupaten Semarang.

RUMUSAN MASALAH 1. Apa sajakah dampak dari alih fungsi lahan yang sering terjadi belakangan ini? 2. Apa urgensi dari pengendalian alih fungsi lahan? 3. Bagaimana keadaan dinamika penguasaaan lahan di kabupaten Semarang perode 19902009? 4. Bagaimana pengaruh rasio lahan padi terhadap produktivitas padi kabupaten Semarang? 5. Bagaimana solusi yang ditawarkan dalam menangani alih fungsi lahan pertanian tersebut?

TUJUAN Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pertanian dengan dosen pengampu Prof. Waridin sebagai media penyaluran gagasan dan opini penulis menjadi referensi bagi Pemerintah Daerah setempat yang bertugas dalam bidang pertanian.

BAB II PEMBAHASAN

KAJIAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU

Tanah dalam Produksi Pertanian Tanah atau lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi ke luar. Dalam pertanian, terutama di negara kita, faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang paling penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan dengan faktor-fakor produksi yang lain, selain itu juga bagaimanapun petani memasukan berbagai unsur modal ke dalam tanah misalnya pupuk dan air yang sudah menyumbang pada kesuburan tanahnya. Tanah merupakan satu faktor produksi seperti halnya modal dan tenaga kerja dapat pula dibuktikan dari tinggi rendahnya balas jasa (sewa bagi hasil) yang sesuai dengan permintaan dan penawaran tanah itu dalam masyarakat dan daerah tertentu. Jelas disini bahwa tanah tidak berbeda dengan modal biasa. Yang selalu dicarikan hasil tertinggi oleh permiliknya. Tidak lah benar untuk menganggap bahwa tanah bukan faktor poduksi anya karena tidak banyak terjadi jual beli dan pemindahan hak milik tanah. Sebagai faktor produksi, tanah mendapat bagian dari hasil produksi karena jasanya dalam produksi itu. Pembayaran atas jasa tanah ini disebut dengan sewa tanah (rent). Soal sewa tanah ini banyak mendapat perhatian dari para ahli dan tulisan-tulisan mengenai itu secara teoritis banyak ditemukan dalam literatur. Davida Ricardo, seorah ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dikenal sebagai salah seorang penulis terkemukan dalam soal sewa tanah dengan teorinya tentang sewa tanah differensial, dimana ditunjukan denga bahwa tinggi rendahnya sewa tanah disebabkan oleh perbedaan tingkat kesuburan tanah, makin subur tanah maka akan makin tinggi nilai sewa tanah tersebut. Tinggi rendahnya sewa tanah ini maka akan berpengaruh juga terhadap harga hasil komoditi yang diproduksikan dari tanah tersebut. Misal jiga harga beras dari tanah tersebut makin naik, berarti harga sewa tanah tersebut juga naik. Sewa tanah mempunyai nilai atau harus dibayar karena memang sifat peranannya inelastis sempurna. Hal ini disebabkan karena jumlah tanah di muka bumi ini adalah terbatas

selain itu juga tanah merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources). Hal ini akan menyebabkan timbulnya kelangkaan yangdisebut dengan scarcity rent. Baik pada differential rent maupun scarcity land faktor yang menonjol dan yang mempunyai peranan penitng adalah bertambahnya jumlah penduduk/manusia yang memerlukanya sedangkan disisi lain tanah sendiri jumlahnya selalu tetap. Dengan berkembangnya perekonomian maka kebutuhan manusia akan tanah tidaklah terbatas pada kebutuhan untuk memproduksikan bahan makanan dan sandang tetapi juga untuk perumahan dan untuk industri, jasa dan sebagainya. Oleh karena itu sewa tanah kini sewa tanah tidak lagi ditentukan oleh faktorr kelangkaan dan perbedaan kesuburan saja, tetapi kini juga oleh harga komoditi yang diproduksikan dan pembayaran untuk keperluan lain. Dapat diambilkan tanah tanah untuk industrialisasi misalnya dapat menarik harga sewa yang lebih tinggi, karena nilai hasil produksinya juga lebih tinggi. Memang tak bisa dipungkiri bahwa proses industrialisasi, proses urbanisasi serta transformasi struktural perekonomian kini merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan harga tanah. Dengan berkembagnya penduduk dan perekonomian maka nilai tanah pasti akan terus naik dan tidak mungkin turun karena sekali lagi tanah merupakan satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Degradasi dan Konservasi Tanah Tanah adalah salah satu faktor produksi yang tahan lama sehingga biasanya tidak diadakan depresiasi atau penyusutan, bahkan dengan perkembangan penduduk dan perekonomian nilai tanah akan selalu mengalami kenaikan. Pernyataan sebenranya tidak terlalu benar juga karena bagaimanapun juga tanah yang dikerjakan secara terus menerrus akan berkurang juga tingkat kesuburanya.` Ini juga yang disoroti oleh Mudrajad Kuncoro dalam ekonomika pembangunan, menurutnya aktivitas aktivitas manusia selanjutanya akan mempunyai eksternalitas. Salah satu dampaknya adalah degradasi kualitas sumber daya alam. Degradasi ini terkait dengan degradasi kawasan hutan, jenis tumbuhan, jenis tumbuhan, tanah dan jenis satwa. Degradasi sumber daya alam tersebut juga semakin diperparah dengan praktik kejahatan seperti illeggal logging, illegal fishing, kerusakanm dan degradasi infrastuktur, konflik penguasaan lahan, inkonsistensi tata ruang dan berbagai keputusan yang kurang memperhatkan aspek

kelestarian sumber daya alam.

Pengalih fungsi lahan pertanian merupakan bagian dari penyimpangan dalam pemanfaatan tata ruang, selama ini tata ruang yang ada jarang dikendalikan secara optimal. Ini terjadi karena selama ini memang perkonomian diserahkan pada mekanisme pasar sehingga semuanya ditentukan oleh permintaan dan penawatan tanah, akibatnya penglihan fungsi lahan benar benar tidak terkontrol. Dalam mengatasi degradasi lahan tersebut disinilah letak pentingnya konsevasi dilakukan. Konservasi berbeda dengan penggunaan tanah secara ekoonmis. Pengertian ekonomis hanya membandingkan hasil dan biaya, sedangkan konservasi lebih menekankan fungsi tanah secara ekologis. Namun penggunaan tanah secara ekonomis dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang seperti AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan) akan berartipula konservasi. Konservasi sendiri diartikan sebagai upaya mengurangi laju pengusahaan tanah sekarang untuk memungkinkan pengussahaan yang lebih besar kemudian hari. Bentuk bentuk konservasi ada berbagai macam salah satunya adalah usaha penghijauan, sedangkan petani juga bisa mengadakan rotasi tanaman dan usaha usaha konservasi lainya. (kajian pustaka diatas sebagian besar berasal dari Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, 1977). Studi Studi Penelitian Terdahulu 1. 1) Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendalianya ( Bambang Irawan dan Supena Priyatno ). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari ukuran konversi lahan sawah dan implikasinya terhadap produksi berasi nasional dan bagaimana usaha pemerintah mengendalikan konversi lahan sawah tersebut. Hasil dari penelitian ini adalahPengurangan lahan sawah (konversi) baik secara nasional tomaupun menurut propinsi dan kabupaten menunjukkan angka yang bervariasi. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan data hasil Survey Pertanian (SP) diperoleh gambaran bahwa dalam kurun waktu 18 tahun (19811998) di Jawa telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 1 juta hektar atau rata-rata sekitar 55 ribu hektar per tahun. Namun karena adanya kegiatan pencetakan lahan sawah baru, maka luas lahan sawah yang tersedia di Jawa sebenarnya menyusut sekitar 484 ribu hektar atau sekitar 27 ribu hektar per tahun.

Kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan produksi per satuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil. Kecenderungan demikian terjadi karena konversi lahan sawah sesmakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi pencetakan sawah semakin terbatas. Dengan demikian, pada kenyataannya bahwa penurunan produksi Padi tidak bisa dihindarkan. Akibat konversi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperhitungkan secara akumulasi telah hilang sebesar 50,9 juta ton gabah atau sekitar 2,82 juta ton gabah per tahun. Bila dihitung setara beras, maka kehilangan produksi pangan tersebut adalah sekitar 1,7 juta ton beras pertahun. Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 1984-1997 yang berkisar 1,5 2,5 juta tonberas per tahun. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan, maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi pangadaan beras nasional.

Upaya pengendalian konversi lahan sawah ini menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi pada akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat kendla kejenuhan teknologi. Sudah cukup banyak upaya pemerintah untuk pengendalian konversi lahan sawah ini. Namun pendekatan yang diterapkan baru sebatas pendekatan hukum (law enfercement) yang masih banyak kelemmahannya. Sehingga peraturan-peraturan tentang lahan belum mampu mengendalikan kegiatan konversi lahan sawah di Jawa. Tiga kelemahan mendasar adalah : (1) obyek lahan yang dilindungi dari kegiatan konversi terutama ditentukan olehkondisi fisik lahan (contoh: irigasi teknis) padahal kondisi fisik tersebut begitu mudah utuk dimodifikasi dengan rekayasa tertentu; (2) Pertaturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi; (3) Kelemahankelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu untuk meraih keuntungan

pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 2) Struktur Penguasaan dan Kelembagaan Lahan di Lahan Sub Optimal Implikasinya Bagi Peningkatan Produksi Padi ( Saptana, Ashari dan Bambang Sayaka, 2007 ). Tujuan dari penelitian adalah mencoba mengemukakan struktur penguasaan dan kelembagaan lahan di lahan sub optimal dan juga implikasinya terhadap peningkatan produksi beras. Hasil dari penelitian ini adalah lahan sub optimal memiliki tingkat kesuburan tanah yang cukup baik namun memiliki kerterbatasan dalam infrasuktur pendukungnya. Struktur penguasaan lahan baik pemilikan dan penggarapan relatif tinggi dibandingkan dengan lahan sawah irigasi teknis. Demikian juga dalam distribusi penguasaan lahannya, memiliki ketimpangan yang rendah. Terjadi fenomena pergeseran kelembagaan lahan pada lahan suboptimal dimana terjadi pergeseran dari sistem bagi hasil ke sistem sewa, sedangkan di lura jawa terjadi pergeseran dari sistem gadai ke sistem bagi hasil. 3) Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia ( Supadi dan Sri Heru Susilowati, 2004 ). Hasil dari penelitian ini adalah pengalih fungsi lahan melalui jual beli yang diikuti dengan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian meningkat pesat sejak pelita IV. Dorongan tersebut juga diikuti dengan kenyataan bahwa nilai tambah hasil non pertanian secara satuan luas lebih tinggi dari pada pertanian. Alih fungsi lahan kearah penggunaaan yang lebih intensif selalu diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan tuntutan kualitas hidup masyarakat. Selama dasawarsa 1990 an secara keseluruhan luas daerah areal pertanian meningkat, sedangakan luas hutan menurun. namun di lain pihak pengelolaan daerah pertanian tersebut masih minim, ini dibuktikan dengan masih banyaknya sleeping land. Selama periode 1983-1993 proporsi penyusutan lahan di Jawa mencapai1, 02 Juta ha (79, 31 %). Penyusutan lahan pertanian telah menurunkan rata-rata pemilikan lahan dan meningkatkan proporsi petani gurem. Tingkat partisipasi rumah tangga dalam pemilikan lahan sawah selama periode 1994 1998 menunjukan terdapat peningkatan tingkat partisipasi rumah tangga dalam pemilikanlahan sawah, sedangkan tingkat partisispasi lahan sawah tegalas mengalami penurunan. Peningkatan partsipasi rumah tangga lahan sawah diikuti dengan penurunan rata-rata luas pemilikan lahan sawah

per rumah tangga. Fenomena ini menunjukan ketimpangan pengusaan lahan sawah makin besar sedangkan ketimpangan penguasaan lahan sawah tegalan mengecil. Semakin tinggi nilai komoditas yang diusahakan, maka ketmpangan distribusi penguasaan lahan akan tinggi juga, juga terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat aksesebilitas suatu daerah yang akan meningatkan nilah lahan daerah, selanjutnya juga berpotensi meningkatkan tingkat ketimpangan penguasaan lahan daerah tersebut. 4) Struktur Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Tani ( Dewi K.S. Swastika, Adimesra Djaulin dan Rachmat Ramli ). Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan kondisi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan petani di daerah pasang surut Kapuas dan Lahan Kering Barito Selatan.

Hasil penelitian ini adalah di lahan pasang surut Basarang, kabupaten Kapuas, luas pemilikan lahan ratarata 2.19 ha sawah pasang surut dan sekitar 0.26 ha pekarangan. Dari sawah pasang surut seluas 2.19 ha, baru sekitar 0.70 ha diusahakan untuk pertanian. Rendahnya pemanfaatan lahan ini sebagian disebabkan oleh keterbatasan tenaga kerja, modal usaha, dan kondisi lahan yang berat akibat rusaknya sistem tata air yang ada

Ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan di daerah pasang surut tergolong sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gini indeks masing-masing di daerah tersebut sebesar 0.42 dan 0.49. Ketimpangan dalam pemilikan lahan lebih kecil dari penggarapan. Hal ini disebabkan karena kemampuan petani menggarap lahan lebih beragam dari pada pemilikan.

Di lahan kering Dusun Tengah, Barito Selatan, rata-rata pemilikan lahan cukup luas, yaitu sekitar 1.93 ha lahan kabun untuk karet, dan 1.33 ha lahan kosong untuk pekarangan dan tanaman semusim. Ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan sangat rendah, yang ditunjukkan oleh gini indeks berturutturut sebesar 0.28 dan 0.27.

Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama, yaitu masingmasing 63 persen dari total pendapatan rumah tangga di lahan pasang

surut dan 90 persen dari total pendapatan rumah tangga di lahan kering. Perbedaan kontribusi sektor pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga di kedua kabupaten lokasi penelitian terutama disebabkan oleh perbedaan keragaman lapangan kerja di luar sektor pertanian.

Pengeluaran rumah tangga petani baik yang berpendapatan rendah, sedang, maupun tinggi sebagian besar di alokasikan untuk kebutuhan pangan. Pangsa pengeluaran untuk pangan ini berkisar 65-74 persen di lahan pasang surut dan 62-67 persen di lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga petani baik di lahan pasang surut maupun di lahan kering relatif belum mampu meningkatkan kualitas hidup dalam hal sandang (pakaian), papan (rumah), pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sekunder lainnya. Hal ini juga menandakan bahwa kemampuan petani dalam pemupukan modal bagi peningkatan mutu usahtani masih rendah.

5) Analisis Dampak Alih fungsi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian di Kabupaten Pemalang ( Utami Wiji Prasetyani, 2010 ). Hasil dari penelitian ini adalah Pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Pemalang masih banyak terjadi dan kegiatan tersebut banyak yang tidak menggunakan perizinan. Sampai saat ini proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke pertanian masih banyak kendala.

6) Strategi Pengendailian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat ( Muhammad Iqbal dan Sumaryanto ).Tujuan dari penelitian ini adalah penulis mencoba merepresentasikan partisipasi masyarakat sebagai salah satu strategi pengendalianalin alih fungsi lahan pertanian. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu

padapartisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan danperaturan yang ada. Namun perlu digarisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak akan terwujud bila tidak diiringi dengan pendekatan dalam bentuk sosialisasi dan advokasi. Hal demikian mengingat

masyarakat sendiri memiliki tipologi kemajemukan yang antara lain dicirikan oleh perbedaan (stratifikasi) sosial dengan ikatan kaidah, institusi, dan perilaku.

Pola yang bersifat penekanan atau bujukan (inducement) seyogyanya dihindari dan digantikan dengan pendekatan yang berlandaskan tipologi kemajemukan masyarakat diiringi dengan pemahaman dan apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom) setempat. Dalam skala makro, salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan adalah yang bersifat filosofis eksistensi lahan dan manusia. Mengingat lebih gencarnya proses alih fungsi lahan di Pulau Jawa, maka prioritas strategi pengendaliannya adalah berlandaskan falsafah manusia mengikuti lahannya (uwong manut tanahe). Salah satu maknanya, apabila penempatan dan pengelolaan lahan diatur sedemikian rupa secara partisipatif, maka masyarakat akan mengikuti aturan-aturan tersebut. Jadi, fokus utamanya adalah penegakan (enforcement) perundang-undangan dan peraturan alih fungsi lahan secara konsekuen. Sebaliknya, untuk wilayah di luar Pulau Jawa dimana masyarakatnya relatif memiliki lahan lebih luas, perlu dibenahi sumberdaya manusianya seiring penegakan perundang-undangan dan

peraturan pengendalian alih fungsi lahan (tanah manut uwonge).

METODE PENDEKATAN Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan produktivitas padi kabupaten semarang sebagai variabel dependen, sedangkan sebagai variabel independen dalam penelitian ini yaitu rasio lahan padi kabupaten semarang dan luas kabupaten semarang. Definisi Operasional Variabel 1. Produktivitas Padi Merupakan yang mana produktivitas berarti tingkat produksi dibagi dengan lahan panen padi Kabupaten Semarang. 2. Rasio lahan padi dan Luas Kabupaten Semarang merupakan rasio dari perbandingan luas panen padi kabupaten semarang dengan luas wilayah kabupaten Semarang.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan mempunyai sifat berkala (time series). Data yang dipilih adalah data lahan, produksi serta produktivitas padi Kabupaten Semarang pada kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2009. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Situs Database Departemen Pertanian Indonesia.

Metode Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan tehnik untuk mendapatkan informasi melalui catatan, literatur, dokumentasi dan lain . lain yang masih relevan dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi dari Situs Departemen Pertanian Indonesia. Data yang diperoleh adalah data dalam bentuk tahunan untuk masing-masing variabel.

Metode Analisis Kami menggunakan analisis studi pustaka, deskrptif dan analisi regresi. Analisis studi pustaka untuk menjawab permasalah pada rumusan masalah pertama, kedua dan kelima. Analisis studi deskrptif digunakan untuk menganalisis rumusan masalah ketiga.

Hasil Pembahasan Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.

Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: - Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; - Daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; - Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; - Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Semakin sedikitnya tanah pertanian agaknya mendapat perhatian khusus, sehingga kemudian dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 ditentukan bahwa pencegahan konversi lahan pertanian dan kehutanan untuk kegiatan non pertanian dan kehutanan merupakan salah satu langkah pokok untuk terpeliharanya fungsi kawasan konservasi dan kawasan lindung; berkurangnya lahan kritis pertanian dan kehutanan; berkurangnya konflik atas tanah; dan berkembangnya kelembagaan masyarakat yang mampu mengolah lahan secara terpadu. Alasan petani menjual lahannya antara lain: - Karena melihat kondisi sawah yang tanahnya tidak bisa diharapkan untuk berproduksi optimal; - Harga tanah di sekitar lokasi meningkat pesat; - Kebutuhan ekonomi yang tidak bisa dihindari, misalnya makan, sekolah, dan lain-lain. Alih fungsi lahan yang semula untuk pertanian menjadi tanah non pertanian adalah faktor utama dari semakin sedikitnya tanah pertanian. Selain berkurangnya lahan untuk pertanian, dalam arti untuk menghasilkan bahan-bahan pangan dan menyediakan lapangan pekerjaan sebagai fungsi utama dari tanah pertanian tersebut, maka dapat diartikan pula semakin berkurangnya tanah yang subur berakibat pada rusaknya ekosistem, yaitu sebagai penyerap/penampung air hujan, pencegah banjir dan erosi dan perlindung atas lingkungan. Semakin seringnya banjir dan tanah longsor adalah salah satu akibat yang disebabkan semakin bertambahnya tanah kritis, baik itu karena pengalihfungsian tanah pertanian menjadi tanah non pertanian ataupun penatagunaan tanah yang tidak tepat. Efek positifnya adalah semakin kuatnya perputaran ekonomi masyarakat yang berimbas pada kemampuan daya beli. Setelah kebutuhan pokok pangan dan sandang,

kebutuhan pokok berikutnya yang dicari adalah pemenuhan sarana tempat tinggal. Pengembangan rumah tinggal oleh beberapa developer bukan tanpa konsekuensi, karena kegiatan ini memaksa (walaupun tidak 100 %) diversifikasi fungsi lahan pertanian di kabupaten Semarang. Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu : 1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian. 2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas. 3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga dipengaruhi oleh: (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Dari Gambar 1 dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat yaitu: - Pertama, titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi lahan pertanian. - Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument hukum (peraturan perundangundangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif, kompensasi) dan zonasi (batasanbatasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. - Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan. Selanjutnya, fokus perhatian terhadap eksistensi dan partisipasi pemangku kepentingan dapat dicermati dengan metode analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Analisis ini berhubungan dengan penilaian kelembagaan dan analisis sosial dalam kerangka sosial kelembagaan. Implementasinya, analisis pemangku kepentingan merupakan kerangka logis (logical framework) rancangan kegiatan partisipatif.

Berdasarkan hasil pencarian indikator dalam pertanian dengan komoditi padi di kabupaten Semarang didapatkan jumlah luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan padi pada tahun 1990-2009 seperti tampilan grafik di bawah ini.

Jumlah Luas Panen Padi di kabupaten Semarang Tahun 1990-2009


120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Luas Panen

Grafik 1

Jumlah Produksi Padi di kabupaten Semarang Tahun 1990-2009


250000 200000 150000 100000 50000 0 Tahun 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

Grafik 2

Jumlah Produktivitas Padi di kabupaten Semarang Tahun 19902009


60 50 40 30 20 10 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun 2008

Grafik 3 Dari data yang diambil ditunjukkan bahwa pada keadaan luas lahan padi di kabupaten Semarang tahun 2009 meningkat sangat pesat sebesar 96.458 ha. Begitu juga terjadi pada jumlah produsi padi di kabupaten Semarang pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 202.887 ton. Namun, untuk kondisi jumlah produktivitas padi di kabupaten Semarang terjadi peningkatan yang tinggi pada tahun 2007 sejumlah 51,97 Ku/Ha. Solusi yang ditawarkan dalam menangani alih fungsi lahan pertanian tersebut yaitu (1) pengaturan tentang kepemilikan dan penguasaan lahan; (2) peningkatan kesempatan kerja non pertanian; (3) penciptaan sumber pendapatan berbasis non pertanian; (4) program pengembangan agroindustri usaha peternakan seperti unggas, ruminansia kecil dan komoditas pertanian bernilaiekonomi tinggi yang bersifat hemat lahan; (5) pembangunan non pertanian lainnya seperti industri kerajinan dan lain-lain. Selain itu, perlu diperhatikan rata-rata luas pemilikan lahan pertanian dan perlu pencegahan untuk pengurangan lahan pertanian di masa mendatang. Program yang juga penting untuk memperbaiki struktur penguasaan lahan adalah perluasan areal pertanian dan mendorong mobilitas penduduk ke wilayah yang kepadatan agrarisnya rendah.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN Alih fungsi lahan yang semula untuk pertanian menjadi tanah non pertanian adalah faktor utama dari semakin sedikitnya tanah pertanian. Selain berkurangnya lahan untuk pertanian, dalam arti untuk menghasilkan bahan-bahan pangan dan menyediakan lapangan pekerjaan sebagai fungsi utama dari tanah pertanian tersebut, maka dapat diartikan pula semakin berkurangnya tanah yang subur berakibat pada rusaknya ekosistem, yaitu sebagai penyerap/penampung air hujan, pencegah banjir dan erosi dan perlindung atas lingkungan. Ada tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat yaitu: 1. Titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku kepentingan; 2. Fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan; 3. Sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan. Pada tahun 2009, didapatkan data keadaan luas lahan padi dan jumlah produksi padi di kabupaten Semarang tahun 2009 meningkat sangat pesat, sedangkan pada tahun 2001 kedua variable ini mengalami penurunan. Namun, untuk kondisi jumlah produktivitas padi di kabupaten Semarang terjadi peningkatan yang tinggi pada tahun 2007 dan penurunan dialami pada tahun 1991, tetapi penurunan tidak terlalu terlihat. Solusi yang dapat ditawarkan yaitu (1) pengaturan tentang kepemilikan dan penguasaan lahan; (2) peningkatan kesempatan kerja non pertanian; (3) penciptaan sumber pendapatan berbasis non pertanian; (4) program pengembangan agroindustri usaha peternakan seperti unggas, ruminansia kecil dan komoditas pertanian bernilaiekonomi tinggi yang bersifat hemat lahan; (5) pembangunan non pertanian lainnya seperti industri kerajinan dan lain-lain. Selain itu, perlu diperhatikan rata-rata luas pemilikan lahan pertanian dan perlu pencegahan untuk pengurangan lahan pertanian di masa mendatang. Program yang juga penting untuk memperbaiki struktur penguasaan lahan adalah perluasan areal pertanian dan mendorong mobilitas penduduk ke wilayah yang kepadatan agrarisnya rendah.

REFERENSI Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat, dalam jurnal Ekonomi Pertanian. Bogor: Pusat Analisis Sosial dan Kebijakan Pertanian Sastraatmaja, Entang. 2006. Dilema Konversi Rakyat, dalam kumpulan jurnal Pikiran Rakyat. Jakarta Sudireja, Rija. 2007. Sulitnya Mempertahankan Areal dan Produksi Padi, dalam kumpulan jurnal Pikiran Rakyat. Jakarta Supadi dan Sri Hery Susilowati. 2004. DinamikaPenguasaan Lahan Pertanian di Indonesia, dalam Icaser Working Paper. Jakarta: Departemen Pertanian Http:// www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_6.htm. Diunduh pada hari Rabu, 8 Mei 2012

LAMPIRAN

Sub Sektor Komoditi Level Propinsi Kabupaten/Kota Status Angka Tahun Status Angka Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber Data Luas Produksi Panen (Ton) (Ha) 39,507.00 170,601.00 39,107.00 167,766.00 40,508.00 183,920.00 40,543.00 178,716.00 35,608.00 156,507.00 40,157.00 178,532.00 40,032.00 179,652.00 38,222.00 171,270.00 35,507.00 160,683.00 33,119.00 150,527.00 33,383.00 164,297.00 29,970.00 146,345.00 35,095.00 177,207.00 30,537.00 158,445.00 32,457.00 165,768.00 33,333.00 169,618.00 34,941.00 177,296.00 32,862.00 170,787.00 33,216.00 166,409.00 96,458.00 202.887,00

: : : : : : : :

Tanaman Pangan Padi Kabupaten/Kota Jawa Tengah Kab. Semarang Status Saat Ini 1990-1999 Angka Tetap

Departemen : Pertanian

You might also like