You are on page 1of 2

Penggunaan Meterai dalam suatu Dokumen atau Perjanjian

Penggunaan meterai di dalam suatu dokumen-dokumen yang terkait dengan nilai tertentu suatu aktivitas bisnis merupakan suatu hal yang lazim bagi kalangan umum. Namun, tidak semua kalangan tersebut mengetahui makna dibalik penggunaan meterai dalam dokumen-dokumen tersebut. Pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah fungsi dari meterai tersebut? apakah dengan tidak digunakannya meterai di dalam dokumen dapat mengakibatkan keabsahan dokumen tersebut? Apakah pengaruh penggunaan meterai di dalam suatu dokumen? Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini. Secara tegas situs Perum Peruri menyatakan meterai Republik Indonesia sebagai salah satu dokumen sekuriti negara yang dipergunakan sebagai tanda keabsahan dan legalitas dokumen surat perjanjian dan penjualan, dikeluarkan oleh Direktoral Jenderal Pajak Republik Indonesia dan pencetakannya dipercayakan kepada Perum Percetakan Uang RI.1 Namun pernyataan tersebut perlu untuk diperhatikan ulang, terutama pada kata-kata yang dipergunakan sebagai tanda keabsahan dan legalitas dokumen. Apa yang dimaksud dengan tanda keabsahan dokumen pada dasarnya tidak mempunyai pengaruh berkaitan dengan ketidakadaan suatu meterai di dalam suatu dokumen. Apa karena dokumen tidak terdapat materai menjadikan dokumen tersebut tidak sah atau ilegal?, tentu tidak. Hal tersebut pada dasarnya berkaitan dengan hukum perjanjian, merujuk kepada ketentuan buku III KUHP sama sekali tidak ada satu pasal pun yang isinya mengatur mengenai bea meterai, apalagi mewajibkan menggunakan atau menempelkan meterai pada setiap perjanjian yang dibuat.2 Hal tersebut mengarah pada tidak terkaitnya keabsahan suatu perjanjian yang tidak dibubuhi meterai. Keabsahan suatu perjanjian diukur dari persyaratan yang terdapat di dalam pasal 1320 KHUP3, dan tidak terdapat ketentuan yang mensyaratkan mengenai penggunaan meterai di dalam suatu dokumen perjanjian. Dasar hukum mengenai penggunaan meterai terdapat pada Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UU 13/1985) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai (selanjutnya disebut PP 24/2000). Pada kedua peraturan tersebut pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan meterai, seperti definisi, objek dan tarif yang terkena bea meterai, ketentuan mengenai pemeteraian kembali, dan ketentuan pidana yang berkaitan dengan bea meterai. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU 13/1985, keabsahan suatu perjanjian tidak ditentukan oleh ada tidaknya meterai. Meterai hanya dipergunakan sebagai bukti bahwa telah membayar pajak kepada negara. Pasal tersebut secara tergas berbunyi sebagai berikut:
1 2

Perum Percetakan Uang RI, Meterai, diakses melalui http://www.peruri.co.id/index.php/produk/meterai. FX Suhardana, Contract Drafting, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008. hlm. 146. 3 1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

Andito Aodijulistio, SH., MHum.

Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini

Kemudian berdasarkan Pasal 1 PP 24/2000 ditegaskan mengenai kriteria dokumen yang wajib dikenakan bea meterai, seperti sebagai pembuktian perbuatan perdata, akta notaris, akta PPAT, surat/dokumen yang mempunyai memuat jumlah uang, surat berharga, dan dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan. Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk: a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; b. akta-akta notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya; d. surat yang memuat jumlah uang: 1) yang menyebutkan penerimaan uang; 2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; 4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan; e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengendalian, yaitu : 1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; 2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa suatu surat, dokumen, ataupun perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis, baik itu dibawah tangan atau berupa akta otentik yang dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikenakan bea meterai. Sedangkan kewajiban dalam pengenaan meterai dalam dokumen yang mempunyai besaran nilai nominal tertentu terdapat dalam pasal 2 ayat (2) PP 24/2000, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah). (2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e : a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai; b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah); c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penggunaan meterai yang digunakan dalam surat, dokumen, ataupun perjanjian berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak kepada negara untuk besaran nilai nominal tertentu dan sebagai alat bukti peristiwa perdata. Sehingga dengan penggunaan meterai pada suatu perjanjian secara langsung tidak akan mempengaruhi keabsahan suatu perjanjian, karena keabsahan perjanjian tidak bergantung pada ada atau tidaknya meterai pada perjanjian tersebut melainkan karena syarat-syarat suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHP.

Andito Aodijulistio, SH., MHum.

You might also like