You are on page 1of 6

I.

SEJARAH NEGARA SINGAPURA Republik Singapura adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer (85 mil) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Singapura memiliki sejarah imigrasi yang panjang. Penduduknya yang beragam berjumlah 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia, dan Kaukasoid. 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana dimana para Pekerja asing membentuk 50% dari sektor jasa dalam perekonomian Singapura. Negara ini merupakan negara nomor 2 di dunia setelah Monako. Sehingga dari hal ini banyak para ahli yang menyebut Singapura sebagai negara paling terglobalisasi di dunia dalam Indeks Globalisasi tahun 2006. Singapura adalah negara republik parlementer dengan sistem pemerintahan parlementer yang mewakili berbagai konstituensi. Konstitusi Singapura menetapkan demokrasi perwakilan sebagai sistem politik negara ini. Partai Aksi Rakyat (PAP) mendominasi proses politik dan telah memenangkan kekuasaan atas Parlemen di setiap pemilihan sejak menjadi pemerintahan sendiri tahun 1959. Freedom House menyebut Singapura sebagai "sebagian bebas" dalam "laporan Freedom in the World" dan The Economist menempatkan Singapura pada tingkat "rezim hibrida", ketiga dari empat peringkat dalam "Indeks Demokrasi". Tampuk kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Presiden Singapura, secara historis merupakan jabatan seremonial, diberikan hak veto tahun 1991 untuk beberapa keputusan kunci seperti pemakaian cadangan nasional dan penunjukan jabatan yudisial. Meski jabatan ini dipilih melalui pemilu rakyat, hanya pemilu 1993 yang pernah diselenggarakan sampai saat ini. Cabang legislatif pemerintah dipegang oleh parlemen. Pemilihan parlemen di Singapura memiliki dasar pluralitas untuk konstituensi perwakilan kelompok sejak Undang-Undang Pemilihan Parlemen diubah tahun 1991. Anggota parlemen terdiri dari anggota terpilih, non-konstituensi dan dicalonkan. Mayoritas anggota parlemen terpilih dputuskan melalui pemilihan umum dengan sistem pertama-melewati-pos dan mewakili Anggota Tunggal atau Konsituensi Perwakilan Kelompok.

Singapura memiliki hubungan diplomatik dengan 175 negara, meski tidak menempatkan seorang komisi tinggi atau kedutaan di beberapa negara. Singapura adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Persemakmuran, ASEAN dan Gerakan NonBlok. Atas alasan geografis yang jelas, hubungan dengan Malaysia dan Indonesia adalah yang terpenting tetapi politik domestik tiga negara sering mengancam hubungan mereka. Singapura juga memiliki hubungan yang baik dengan beberapa negara Eropa, termasuk Perancis, Jerman, dan Britania Raya, negara yang disebutkan terakhir memiliki hubungan melalui Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama Malaysia, Australia dan Selandia Baru. Singapura juga berhubungan baik dengan Amerika Serikat, negara yang memiliki kekuatan penyeimbang di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan kekuatan regional. Singapura mendukung konsep regionalisme Asia Tenggara dan menjalankan peran secara aktif di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), yang juga didirikan Singapura. Negara ini juga merupakan anggota dari forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), yang memiliki sekretariat di Singapura. Negara ini juga memiliki hubungan dekat dengan sesama negara ASEAN, Brunei, dan memiliki fasilitas pelatihan angkatan darat di sana. Singapura dalah salah satu negara pertama yang memiliki hubungan normal dengan Republik Rakyat Cina setelah membuka diri tahun 1978. Negara ini mengakui kebijakan Satu Cina RRC dan memiliki hubungan dagang yang luas dengan negara itu, meski juga mempertahankan hubungan diplomatik dengan Republik Cina di Taiwan.

II.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM DI NEGARA SINGAPURA Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan undangundang, institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya sulaman perca ala Singapura, setiap helai sistem hukum itu dijalin bersama sedemikian sehingga membentuk kaleidoskop yurisprudensi dan diikat dengan identitas nasional yang unik. Sistem hukum tersebut sudah tentu akan menyebabkan suatu tekanan seperti tekanan yang dialami karena adanya perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan politik-hukum yang timbul seiring dengan meningkatnya globalisasi dan regionalisasi. Karenanya, Singapura harus bereaksi dengan cepat dan tangkas dalam membuat undang-undang dan institusiinstitusi baru, atau menyesuaikan undang-undang dan institusi-institusi yang sudah ada. Dalam hal ini, Singapura telah siap dan bersedia belajar dari perkembanganperkembangan hukum yang terjadi di luar negeri, jika memiliki kesamaan aspirasi. Kadang-kadang, cara-cara penyelesaian masalah yang sudah kuno harus diganti dengan ide-ide baru yang telah teruji dengan modifikasi-modifikasi yang tepat agar sesuai dengan keadaan setempat. Dalam proses adaptasi, belajar dan perubahan berkesinambungan yang (kadang kala) sulit ini, bagaimanapun, peranan sejarah tetap amat berguna sebagai petunjuk (meskipun tidak sempurna) menuju hukum Singapura yang sekarang dan di masa yang akan datang. Singapura menganut sistem hukum common law dari negara Inggris, hal ini disebabkan karena sebagai negara bekas jajahan dari Inggris, Singapura telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya dalam bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar common law Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara. Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (misalnya Filipina). Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis, tidak seperti halnya sistem common law. Pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam

proses litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang hukum. Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan masa yang lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, telah mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act 2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004) dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed). Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-prinsip keadilan fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan yang inheren dalam sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris, pengadilan-pengadilan Chancery [Chancery courts] menjalankan Equity secara terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun, demarkasi sejarah tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini. Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-upaya hukum secara common law (Ganti rugi/Damages) dan secara equity (termasuk Putusan Sela/Injunctions dan Pelaksanaan Janji Tertentu/Specific Performance) dalam persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah ada penghapusan pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory Estoppel.

III.

SISTEM PENDAFTARAN TANAH DI NEGARA SINGAPURA Sistem Torrens adalah sistem pendaftaran tanah dimana dalam sistem ini digunakan sertifikat sebagai tanda bukti hak kepemilikan tanahnya. Dalam sistem Torrens, yang didaftar adalah hak yang timbul dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan terhadap tanah yang bersangkutan. Setiap terjadi perubahan terhadap tanah tersebut maka perubahan wajib dicatat dalam buku tanah dan sertifikat. Namun demikian, walaupun sertifikat merupakan surat tanda bukti kepemilikan tanah, ternyata sertifikat belum memberi jaminan kepastian hukum yang mutlak bagi pemegangnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem publikasi yang diterapkan oleh masing masing negara. Robert Richard Torrens yang pada waktu itu menjabat gubernur di Australia menciptakan sistem pendaftaran tanah yang lebih sederhana sehingga memudahkan orang memperoleh keterangan dengan cara yang mudah. Sistem pendaftaran Torrens dikenal dengan nama sistem pendaftaran hak (Registration of titles). Dasar filsafah sistem Toorens dalam pendaftaran tanah adalah menggunakan sistem pendaftran hak, dimana setiap penciptaan hak baru dan perbuatan perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan kemudian harus dibuktikan dalam suatu akta. Namun dalam penyelenggaraan pendaftraannya bukan akta yang didaftar, melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan perubahannya kemudian. Akta hanya merupakan sumber datanya, untuk pendaftaran hak dan perubahannya yang terjadi kemudian disediakan suatu daftar isian (register) dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertifikat, yang merupakan salinan register (certificate ot titles). Konsepsi hukum tanah di Singapura adalah konsepsi feodal, dimana semua tanah adalah milik raja (pemerintah). Rakyat hanya bisa menguasai dan memakai tanah milik raja. Yang dimiliki bukan tanahnya namun adalah haknya (hak untuk memakai tanahnya ) sehingga ada yang disebut estate-nya. Ada 2 macam estate, yaitu a. b. Estate yang jangka waktunya ditentukan (lease hold estate) Estate yang tidak ada jangka waktunya (free hold estate) Semula tanah di Singapura tidak ada pendaftarannya, sehingga baik lease hold estate maupun free hold estate tidak didaftar. Kemudian dalam perkembanganya diciptakanlah tanda buktinya yang berupa grant, yang merupakan tanda bukti dari pemerintah. Apabila hak memakai tanah itu dialihkan atau dipindahkan kepada pihak lain maka pengalihannya dibuatkan akta penyerahan hak (deeds of convenyance atau DOC). Adanya DOC yang

ditandatangani oleh penjual dan pembeli maka DOC bisa didaftar. Apabila DOC didaftar maka diperoleh dua keuntungan yang tidak ada pada deeds yang tidak didaftar, yaitu: a. Jika terjadi sengketa di pengadilan maka deeds yang sudah didaftar dianggap sebagai surat tanda bukti haknya, sehingga dapat dibuktikan haknya secara lebih baik b. Jika ada orang yang mengaku dan merasa berhak atas tanah itu maka dalam sengketa, yang mendaftar adalah pemegang hak yang baru. Sehingga melihat hal ini maka dapat dimengerti bahwa Singapura menerapkan dua sistem pendaftaran tanah yaitu sistem pendaftaran hak dan sistem pendaftran akta. Untuk memudahkan dalam inventarisasi data tanah maka pemerintah Singapura menerapkan sistem Torrens, khususnya dalam hal pengalihan hak, dimana setiap terjadi pengalihan maka dibuatkan akta namun bukan aktanya yang didaftar namun hak yang timbul dari pengalhan tersebut. Sehingga dua sistem ini masing - masing berfungsi bahwa pada sistem pertanahan akta digunakan untuk mendaftar tanah tanah yang ada dan jika terjadi pengalihan hak baru digunakan sistem Torrens atau sistem pendaftran hak (Registration of titles). Sistem Torrens menganut sistem publikasi posistif yaitu negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar dan orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Pada sistem ini dalam proses pendaftarannya harus benar benar diteliti bahwa pihak yang meminta pendaftaran memang adalah yang berhak atas tanah yang didaftar tersebut, dalam arti yang bersangkutan memperoleh tanah dengan secara sah dari pihak yang benar berwenang memindah tangankan hak atas tanah tersebut sesuai dengan batas batas tanah yang benar benar penuh. Dalam sistem publikasi positif ini terdpat tiga ungkapan, yaitu: The Register is Everything yang berarti dalam melakukan perbuatan hukum mengenai bidang tanah yang sudah didaftar, orang cukup melihat data fisik dan data yuridis yang ada dalam folio dari register yang bersangkutan; dan Indefeasible Title, yaitu hak yang tidak dapat diganggu gugat, serta Title by Registration, yaitu diartikan disini adalah pemegang hak yang sebenarnya tidak lagi dapat menuntut pembatalannya, sungguhpun kemudian terbukti data yang dimaksud itu tidak benar.

You might also like