You are on page 1of 37

PROPOSAL PENELITIAN TESIS Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang

Disusun oleh : ANISA, SH 09 21211 002

Program Kekhususan : Hukum Pidana

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

2012

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 1

PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A PADANG 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi. Banyak kajian yang telah dilakukan1 salah satunya oleh Political Economic Risk And Consultancy (PERC) pada tahun 2004 memposisikan indonesia sebagai negara terkorup di Asia. 2 Realitas seperti itu memang menyakitkan rasa kebangsaan kita, namun kita tidak mampu membantahnya karena memang demikianlah adanya hingga saat ini. 3 Korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia, yang telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa indonesia di dalam pergaulan masyarakat internasional.

Sungguh sebuah prestasi yang memalukan bagi masa depan bangsa ini yang terkenal hidup bersahaja, ramah dan berbudaya tinggi. 4 Aneh nya, berbagai upaya telah ditempuh untuk memberantas korupsi, namun belum
. Hasil Survei Political Ekonnomi Risk Consultancy (PERC) tahun 2010, Menempatkan Indoesia Sebagai Negara Terkorup di Asia, www.antikorupsi.com di akses pada tanggal 28 November 2011 2 . www.bukumizam.com diakses tanggal 1 Desember 2011 3 . Elwi Danil, 2005, Melawan Hukum Sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi, Disampaikan Dalam Seminar dan Lokakarya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa, Padang, hal 1 4 . Teguh Sulistya dan Aria Zurnetti, 2005, Konsep Efektif Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme di Indonesia, dalam majalah Projustisia, Padang , hal 27
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 2
1

mampu menurunkan peringkat Indonesia dalam deretan negara terkorup di dunia. Bahkan korupsi di Indonesia sekarang tak ubahnya seperti cendawan dimusim hujan,5 kian hari semakin banyak.

Tindak pidana korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measure), untuk itu peran serta seluruh komponen masyarakat dalam hal pencegahan dan penindakan perkara korupsi sangat diperlukan. Hal ini dipertegas oleh Basrief Arief, yang menyatakan bahwa meningkatnya aktivitas tindak pidana korupsi yang tidak terkendali, tidak saja akan berdampak terhadap kehidupan nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.6

. Sudi Pratiyo.2005, Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, di sampaikan pada diskusi bulanan bertema strengthening Regulation Enforcement Integrity Assurance and Public Participation On Local Budget In West Sumatera di selenggarakan oleh PusatKajian Hukum Wilayah Barat UniversitasAndalas, Padang, hal. 2 6 Basrief Arief, 2006, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta), Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia, hal. 87.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 3

Sejak beberapa tahun belakangan, korupsi7 telah menjadi permasalahan yang sangat serius di Indonesia, termasuk beberapa kota di daerah Sumatera Barat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, menyatakan Kota Bukittinggi sebagai daerah yang terdapat dugaan kasus korupsi paling tinggi di Sumatera Barat. Dari hasil monitoring, Kota Bukittinggi menduduki peringkat teratas terdapatnya dugaan kasus korupsi di Sumbar, kemudian baru disusul Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok," kata Staf LBH Padang Divisi Pendampingan Hukum dan Paralegal Deddi Alparesi, di Padang, Jumat 9 Desember 2011. Dia menambahkan, dari monitoring LBH Padang dugaan kasus korupsi didaerah itu saat ini telah mencapai 17 kasus, sedangkan di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat 16 kasus, dan Kabupaten Solok sebanyak 13 kasus. Hasil monitoring LBH Padang terkait kasus korupsi di provinsi itu berdasarkan audit dan laporan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPK), data Kejaksaan, laporan masyarakat, serta hasil dari investigasi media massa setempat. Munculnya Kota Bukittinggi sebagai daerah paling rawan akan korupsi di Provinsi Sumbar dari data LBH Padang, terkait dengan banyaknya proyek pengadaan barang dan jasa di wilayah tersebut, dimana sekor itu juga merupakan penyumbang peluang terbesar terjadinya korupsi di daerah itu. Dari 19 kota dan kabupaten di Sumbar yang didata LBH Padang, untuk lingkungan
. Korupsi Berasal dari kata corruption dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokkan, lihat dalam Elwi Danil, 2011, Korupsi (Konsep, tindak Pidana dan Pembahasannya), PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal.3. sedangkan Robert Klitgarrd, mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan seseorang yang dilakukan secara tidak halal dengan meletakkan kepentingan pribadinya diatas kepentingan rakyat serta cita-cita, menurut sumpah akan dilayaninya, dengan ,menggunakan instrument-intrument kebijakan atau prosedurprosedur sederhana, baik disektor swasta maupun pemerintahan. Lihat dalam Robert Klidgard, 2001, MembasmiKorupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. xix
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 4
7

pemerintahan Provinsi Sumbar juga masuk dalam monitoring, dimana diwilayah itu tercatat sebanyak deapan kasus dugaan korupsi. Selain Kota Bukittinggi, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok, yang menduduki peringkat tiga teratas jumlah dugaan korupsi, berikutnya diikuti oleh Kota Padang dan Kabupaten 50 Kota dengan 11 kasus, Kabuapaten Sijunjung serta Kabupaten Pasaman Barat 10 kasus, Kabupaten Agam sembilan kasus, Kabupaten Dhamasraya delapan kasus. Berikunya diikuti Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kabupaten Solok Selatan, Kota Padangpanjang masingmasing enam kasus, Kota Payakumbuh, Kota Sawahlunto lima kasus, Kabupaten Mentawai, Kota Pariaman tiga kasus, serta yang terendah adalah Kota Solok dan Kabupaten Pasaman dengan dua kasus. Total kasus dugaan korupsi di Sumbar sendiri berdasarkan catatan LBH Padang pada tahun 2011 ini telah mencapai 157 kasus, dan jumlah tersebut didata sejak tahun 2007.8

Melihat hal diatas sungguh ironis, karena korupsi akan menjadi faktor penghambat pembangunan di segala bidang. Uang yang idealnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, membayar gaji guru, dan sebagainya menjadi terhambat karena anggaran telah dikorupsi oleh pejabat. Dampak lain, korupsi juga memperbesar tindak pidana pencucian uang. Dampak diataslah yang kita cemaskan bila

. http://eksposnews.com/view/6/29476/Bukittinggi-Peringkat-Paling-Atas-Korupsi-diSumbar.html. Diakses pada hari senen tanggal 30 Januari 2012. Jam. 13.00 Wib
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 5

kabupaten dan kota melakukan tindak pidana korupsi karena jumlah uang di daerah jauh lebih kecil.9

Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi. Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor. Pada hakikatnya tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi-lah yang menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi, merusak system hokum dan menghambat jalannya pemerintahan yang demokritis. Dengan kata lain, korupsi sudah menggoyakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak digolongkan sebagai kejahatan biasa tapi sudah merupakan kejahatan luar biasa.10 Bahkan sebagian kalangan menilai bahwa saat ini tindak

http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6140:tingkat -persepsi-korupsi-kota-padang-relatif-buruk&catid=12:refleksi&Itemid=82. Diakses tanggal 1Desember 2011 .Tim Task Force, 2008, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-undang Pengadilan Khusus Korupsi, Konsorium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, hal 2
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 6
10

pidana itu telah berubah menjadi kelaziman 11 di dalam praktek kehidupan bangsa ini. Bila berdasar pada konsep rasionalitas12 ini, maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal13 secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah dirumuskan terlebihdahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk menetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan dilakukan. Dikarenakan sifatnya yang luar biasa tersebutlah sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Salah satu upaya luar biasa yang dimaksud adalah dengan melakukan pembinaan yang serius di lembaga pemasyarakatan. Dengan adanya pembinaan serius terhadap

. Hasril Hartanto, Proses Recruetment Hakim Pengadilan Khusus Korupsi, Majalah Hukum dan Keadilan Teropong, MAPPI-FHUI, Jakarta, hal. 24 12 . Rasionalitas: Kekuatan Memikir. Lihat juga dalam Tim Prima Pena, 2006, Kamus ilmiah Populer, Surabaya, Gita Media Press, hal. 400 13 . Kebijakan Kriminal adalah: Usaha-usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, dengan menggunakan konsepsi dengan cara Penal dan juga kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahtan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu, ini berarti menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana atau dengan cara penal, yang nantinya juga digabungkan dengan usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Tujuan utama dari usaha-usaha nan penal ini adalh memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu yang secara tidak lansung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Menurut Radzinowicz kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventive itu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas dan akhirnya menggkoordinasikan keseluruhnya itu kedalam suatu kegiatan negara yang teratur .Lihat dalam Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dan Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 34
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 7

11

narapidana

14

tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan maka

kedepannya diharapkan dapat memperbaiki narapidana agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan tidak menularkan prilaku buruk tersebut kepada orang lain. Sepanjang 2011, intensitas kasus korupsi di Sumatra Barat meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun 2010. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat, angka korupsi sepanjang 2011 mencapai 157 kasus, pada 2010 hanya 84 kasus. Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan (PHP) LBH Padang Roni Saputra kepada Media Indonesia, mengatakan, sepanjang 2011 ini hanya 64 kasus yang sudah divonis pengadilan. LBH Padang juga menemukan 12 kasus yang baru ditangani secara khusus.15 Dengan melihat peningkatan kasus korupsi di Sumatera Barat dari tahun ketahun, hal ini tentu sangat menarik untuk melihat proses pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, mengingat pembinaan terhadap narapidana baik secara lansung maupun tidak lansung akan berpengaruh terhadap penanggulangan kejahatan, khususnya terhadap tindak pidana korupsi.

. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga pemesayarakatan. Lihat dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 15 .http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/09/282437/126/101/-Korupsi-diSumbar-Mencapai-157-Kasus-Tahun-Ini. Diakses pada hari Kamis, tanggal 1 Desember, Jam. 8.00 Wib

14

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 8

Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai sub system dalam peradilan pidana 16 yang mempunyai perangkat struktur yang bekerja secara koheren, koordinatif dan integrative 17 agar dapat mencapai effisiensi (penghematan) dan efektifitas (ketepatgunaan) yang maksimal

sehingga nantinya mampu mengusahakan agar orang yang pernah melakukan tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya 18 upaya tersebut tentu saja dengan melakukan serangkaian pembinaan terhadap orang yang pernah melakukan tindak pidana tersebut. Dalam tataran ideal, pembinaan yang dilakukan di lembaga

pemasyarakatan tentu harus memperhatikan latar belakang narapidana misalnya tingkat pendidkan dan pekerjaan yang bersangkutan. Hal tersebut dibutuhkan dalam pembinaan agar hasil yang dicapai maksimal. Khusus terhadap narapidana tindak pidana korupsi, harus dipahami umumnya narapidana tersebut berlatar belakang pendidikan yang tinggi dan memiliki jabatan yang strategis (pejabat), tentu sangat tidak mungkin pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi dipersamakan dengan narapidana lainnya apabila lembaga pemasyarakatan hendak mencapai hasil yang maksimal dalam
16

. Muladi, 1998, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal, 21 17 . Koheren adalah: Bersifat harmonis atau konsisten, atau melekat, berhubungan dan bersangkut paut. Integrative (Integritas): kesempurnaan kesatuan keterpadauan, ketulusan hati kejujuran, dan tidak suap. Tim Prima pena, Op Cit hal. 253 . Marjono Reksodiporo, 1998, HAM dan Sitem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan keadilan, sebagaimana dikutip oleh Shinta Agustina, Menuju Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu di Indonesia (Kajian terhadap RUU dari Perspektif HAM), 2001, Makalah dalam Diskusi Publik tentang membangun dukungan dari masyarakat dalam proses Advocasi RUU KUHAP, Padang, hal, 1s
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND) 9
18

melakukan pembinaan. Atas dasar latar belakang pemikiran itulah, fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan pengkajian dalam bentuk penelitian dengan judul : PELAKSAAN PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KELAS II A PADANG. 1.2 RumusanMasalah Beranjak dari hal di atas maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang? 2. Bagaimana Hambatan yang ditemukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi? 3. Bagaimakah Upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi? 1.3 TujuanPenelitian Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Untuk Mengungkapkan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang?

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

10

2. Untuk mengungkapkan Hambatan yang ditemukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi? 3. Untuk melihat Upaya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam mengatasi Hambatan pelaksanaan Pembinaan Terhadap

Narapidana Tindak Pidana Korupsi? 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang, dalam mencapai tujuan pemidanaan. 2. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau manfaat bagi pihak-pihak, seperti penegak hukum terutama petugas LAPAS dalam proses pemberian pembinaan terhadap narapidana korupsi. 1.5 Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Dalam penulisan penelitian ini adapun teori yang digunakan adalah: A. Teori tentang Penegakan Hukum
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

11

Salah satu sebab kegagalan pemerintah memberantas korupsi adalah karena tindakan-tindakan yang diambil tidak dilakukan secara sistematis dan terfokus pada sektor tertentu. Ada dua sektor penting yang harus ditangani secara serius yakni sektor perijinan dan sektor penegakan hukum. Di Indonesia semua departemen, instansi dan pemerintahan daerah memiliki peraturan dan jaringan perijinan masing-masing, sehingga perijinan telah menjadi bagian dari hidup kita dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta berusaha atau berbisnis.19 Tindakan pemberantasan korupsi juga harus difokuskan kepada sektor penegakan hukum, law enforcement harus ditingkatkan. Berarti yang lebih utama bukan peraturan hukum yang mesti dikuatkan hati nuraninya, ditebalkan imannya dan dibangkitkan keberaniannya untuk memberantas korupsi. 20 Ada enam instansi atau institusi yang terkait dengan penegakan hukum yakni, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, kementrian hukum dan hak asasi manusia, mahkamah agung dan pengacara yang harus mempunyai komitmen, semangat dan pemahaman yang sama dalam proses hukum terhadap tindak pidana korupsi. Menurut Baharuddin Lopa mencegah kolusi dan korupsi tidak begitu sulit, apabila setiap manusia secara sadar menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sebab

. Frans Seda, Memberantas Korupsi didua Sektor Publik, Kompas, hal. 7, edisi hari Senin tanggal 22 Desember 2003. 20 . Dyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hal. 10.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

19

12

betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakuakan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan tetap terjadi dan faktor mentallah yang paling menentukan.21 Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada tiga pendekatan berdasarkan alur proses korupsi, yaitu: 22 1) Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, 2) Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi, dan 3) Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi. Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat, yaitu strategi preventif, strategi detektif dan strategi represif.23 Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkannya pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi, dengan dasar pemikiran ini banyak hal yang harus digunakan sebagai asal dari strategi preventif dan melibatkan berbagai pihak. Strategi detektif, harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui
21

dalam waktu yang sesingkat-

. Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Buku Kompas, hal. 2. 22 . Soedarjono, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang Komprehensif dan Terintegrasi, Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan korupsi di Indonesia, Jakarta 15 September 1997, hal. 2. 23 . Ibid, hal. 3.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

13

singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan cepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan disegala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Komisi Pembernatasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan antara lain kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, bahkan penyidikan tanpa memerlukan ijin khusus. KPK berwenang mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejahatan terhadap perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggaraan negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan perkara tersebut.24 Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991, terjadi pergeseran posisi kedudukan kejaksaan Republik Indonesia, tidak lagi sebagai alat negara penegak hukum, tetapi oleh pasal 2 ayat (1) dinyatakan sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, meskipun di dalam menjalankan fungsinya di bidang penuntutan
24

. Dyatmiko Soemodihardjo, Op.Cit, hal. 7.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

14

tidak mengalami perubahan tetapi menyangkut penyidikan hanya diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya terhadap tindak pidana tertentu antara lain penyidikan terhadap tindak pidana korupsi melalui Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, ketika Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan, fungsi penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi terjadi pergeseran, tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia.25 Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut

mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah:26 1) Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undangnya saja. Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materil, berarti peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
. Chaerudin, dkk, Op.Cit, hal. 75-76 . Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 8.
26 25

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

15

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia tentunya akan menjadi objek untuk dianalisa dan dibandingkan terhadap kelima faktor tersebut di atas. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung sebagai aparat penegak hukum juga akan terlihat upayanya dalam meminimalisasi rintangan atau hambatan dari sudut pandang kelima faktor ini. B. Teori pemidanaan Penempatan narapidana pada LAPAS di Indonesia tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. LAPAS melalui sistem

pemasyarakatannya adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana sehingga pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari konsep umum pemidanaan. 27 Perdebatan mengenai tujuan pemidanaan ini telah berlangsung sejak lama. Hal ini disebabkan karena perbedaan teori dalam melihat tujuan pemidanaan tersebut. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut melahirkan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan yang dapat dijadikan acuan dan perbandingan
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Rafika Aditama, Bandung, 2006, hal. 103
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
27

16

dalam memahami tujuan pemidanaan. Secara garis besar dapat dikemukakan teori tentang pemidanaan sebagai berikut : a) Teori absolut/ retributif

Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.28 Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa pidana adalah hal yang mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. 29 Teori ini menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya. Penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana ini merupakan suatu hal yang memang sengaja ditimpakan karena diyakini juga mempunyai manfaat yang berbeda-beda. 30 Namun, Andi Hamzah lebih tegas menyatakan bahwa pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan dan tidaklah perlu memikirkan manfaat dijatuhkannya pidana tersebut. 31 Pendapat ini

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, hal.10-11. 29 Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 26. 30 JE.Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali, hal 201. 31 Andi Hamzah, Loc.Cit
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

28

17

terkesan lebih tegas dari pernyataan sebelumnya karena penjatuhan pidana itu terlepas dari manfaat yang akan ditimbulkannya. Dari beberapa pandangan terhadap teori retributif di atas terdapat dua pandangan yaitu, teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Teori retributif murni beranggapan bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan yang diperbuat, sedangkan penganut paham retributif tidak murni menyatakan harus ada batasan-batasan untuk menentukan sepadannya pidana dengan kesalahan. b) Teori relatif/teori tujuan

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief pidana bukanlah untuk sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya jangan melakukan kejahatan). 32 Teori ini mengutamakan terciptanya ketertiban masyarakat melalui tujuan untuk membuat si pelaku tindak pidana tidak melakukan kejahatan lagi. Teori relatif ini dalam hukum pidana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prevensi umum (generale preventie) dan prevensi khusus (specialle preventie). Kedua bentuk ini mempunyai fokus perhatian yang berbeda, namun pada dasarnya keduanya adalah saling melengkapi. Sebagaimana dijelaskan
32

. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

18

E.Utrech bahwa prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar, sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.33 Prevensi umum menekankan bahwa dengan melakukan pemidanaan terhadap sipelaku, maka anggota masyarakat lainnya tidak melakukan suatu kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu adalah terhadap pelaku itu sendiri. Pemidanaan terhadap sipelaku adalah agar tidak diulanginya lagi kejahatan tersebut. Dalam hal ini pidana itu mempunyai fungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya. c) Teori gabungan

Teori ini menurut Andi Hamzah bervariasi juga, ada yang menitik beratkan kepada pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan seimbang dengan unsur pencegahan. 34 Van Bemmelen sebagai salah satu tokoh teori gabungan ini mengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi, pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.35 Teori gabungan ini mengkombinasikan dua tujuan pemidanaan

33 34

. Djisman Samosir, hal.12 . Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31. 35 . Ibid, hal.32.


Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

19

yaitu pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyakat. Dari ketiga teori pemidanaan tersebut terlihat bahwa pemikiran tentang tujuan pemidanaan itu bergerak kearah yang lebih baik. Munculnya teori absolut dengan sifat yang tegas terhadap perilaku jahat dirasa sangat keras dan tidak memberi peluang terhadap tujuan lebih besar yang ingin dicapai dalam menjatuhkan pidana. Sehingga melalui teori relatif dimunculkan konsep tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan. Kemudian disempurnakan lagi dengan munculnya teori gabungan dengan menekankan tujuan pemidanaan yang seimbang. Sehingga dengan teori ini akan terangkum semua tujuan yang ada pada masing-masing teori sebelumnya. Muladi mengelompokkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu, teori absolut (retributif), teori teleologis, dan teori retributif teleologis.36 Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan seseorang sehingga teori ini berorientasi kepada unsur perbuatan dan terletak pada telah dilakukannya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan. Sanksi ini merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
36

. Muladi, 2004, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, : Penerbit PT.Alumni, hal.49-

51.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

20

Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi merupakan sarana mencapai tujuan yang bermanfaat guna melindungi masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka sanksi bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori yang ketiga yaitu teori retributif-teleologis yang memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural. Sifat plural dari teori tersebut terlihat karena teori ini menggabungkan prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab suatu tindakan yang salah dan menyimpang. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Teori retributif-teleologis menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus. Pencegahan dan sekaligus rehabilitasi kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana dalam melakukan pemidanaan. Di Indonesia, mengenai teori yang menjadi dasar sistem pemasyarakatan dapat dilihat melalui dua pendapat. Pendapat tersebut yaitu, pendapat yang menyatakan bahwa teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

21

relatif dan pendapat yang menyatakan bahwa teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori integratif. Pendapat mengenai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan adalah teori relatif atau tujuan disampaikan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa tidak sulit untuk mengatakan, bahwa sistem itu termasuk teori yang memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat, jadi jelas tidak dapat digolongkan kedalam teori pembalasan37. Pendapat ini dapat dibenarkan karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan melalui pembinaan pada LAPAS tidak terlepas dari maksud untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan. Sehingga dengan maksud tersebut, maka diupayakan perlakuan-perlakuan yang mengarah kepada tujuan yang akan dicapai. Pendapat berikutnya disampaikan oleh Muladi yang menyebutkan bahwa di Indonesia tujuan pemidanaan yang tepat diterapkan adalah teori integratif. Hal ini dengan alasan bahwa pada saat ini masalah pemidanaan menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan perhatian yang lebih banyak terhadap hak asasi manusia serta keinginan untuk menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Sehingga pilihan terhadap teori integratif ini menghendaki adanya pendekatan multidimensi terhadap dampak pemidanaan.
38

Pendapat ini menekankan kepada suatu

maksud bahwa didalam sistem pemasyarakatan tersebut tidak semata-mata


37

. Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit PT.Alumni, hal.99. 38 . Muladi, Ibid, hal. 53.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

22

mengutamakan tujuan yang akan dicapai dan melepaskan diri sepenuhnya dari maksud pengimbalan atas perbuatan pelaku tindak pidana. Sistem pemasyarakatan merupakan penyempurnaan dari sistem

kepenjaraan yang berangkat dari pemikiran perlunya perlakuan yang lebih baik terhadap narapidana. Meskipun pada dasarnya pelaksanaan sistem

pemasyarakatan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, namun unsur pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh narapidana tetap saja tidak dapat dipisahkan dalam pemikiran tujuan tersebut. Pendapat yang disampaikan oleh Muladi tersebut lebih tepat dan dapat diterima sebagai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dimana, teori integratif ini lebih jauh mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana dari berbagai aspek termasuk mengenai hak-hak asasi manusia. Didalam teori integratif tersebut terkandung maksud pembalasan dan tujuan yang hendak dicapai. Unsur teori retributif terlihat dengan adanya upaya untuk mengekang kebebasan seseorang yang bersalah dalam jangka waktu tertentu sebagai balasan atas perbuatannya. Pengekangan kebebasan tersebut dilakukan pada LAPAS Tertutup atau RUTAN dengan sistem maksimum security. Namun, pengekangan kebebasan tersebut tidak semata-mata hanya sebagai bentuk pembalasan terhadap perbuatan narapidana tetapi hal tersebut diselenggarakan untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah satu unsur teori relatif. Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori integratif, hanya saja unsur-unsur teori yang lebih lebih dominan muncul
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

23

didalam penerapannya akan tergantung kepada tahap-tahap pembinaan yang dilaksanakan pada sistem pemasyarakatan. C. Teori Sistem Pemasyarakatan Teori ini dikemukakan oleh Saharjo tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. 39 Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh keputusan Konferensi Dinas Para Pemimpin Kepenjaraan pada ktanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah dan tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina. Amanat Presiden RI dalam Konferensi Dinas menyampaikan arti penting terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia. Yaitu mengubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini amanat Presiden tersebut, disusunlah suatu petrnyataan tentang hari lahir

pemasyarakatan RI pada hari senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.40

39

. Riza Kestra Pernata,2004, Pelaksanaan Pola Binaan melalui Konsep LABOR EDUCATION Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang, Universitas Andalas, hal. 15 40 . Dwidja Priyatno, Op Cit, hal 97-98
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

24

Di dalam teori sistem pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Saharjo tersebut memuat prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan.41 1) Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna bagi masyarakat 2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara 3) Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa mealainkan dengan membimbing 4) Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga 5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tiak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga dan negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk kemajuan negara 7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila 8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat 9) Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan 10) Sarana pisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan system pemasyarakatan.

41

. Ibid, hal. 98

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

25

D. Teori Tentang Tujuan atau Doelthheorieen Teori tentang tujuan atau doelthheorieen adalh teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu semata-mata pada satu tujuan tetentu, dimana tujuan tersebut dapat berupa:42 1) Teori pencegahan umum atau Algemenee Preventive Theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahtan-kejahatan. 2) Teori pencegahan khusus atau Bijzondere Preventive Theorieen, yang ingin mencapai tujuan dari pidana itu dengan membuat jera, dengan memepertbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahtan lagi. 2. Kerangka Konseptual Untuk menghindari kerancuan didalam memahami pengertian judul yang dikemukakan, maka perlu adanya definisi dan beberapa konsep. Konsep yang penulis maksud tersebut antara lain : 1) Pelaksanaan Pelaksanaan berasal dari kata dasar laksana jika digunakan sebagai kata sifat, maka mempunyai arti perbuatan. Kemudian awalan pe dan

. P.A.F. Lumintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

42

26

akhiran an yang melekat pada kata dasar laksana menjadi kata kerja yang berarti proses, cara, perbuatan melaksanakan.43 2) Pembinaan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 3) Narapidana Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Narapidana adalah seseorang terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 4) Tindak pidana korupsi Dalam bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
. KBBI Dalam Jaringan, http://pusatbahasa.diknas.go.id, Diakses pada Tanggal 11 Februari 2011.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)
43

27

5) Lembaga Pemasyarakatan Adapun pengertian Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.44 1.6 Metode Penelitian A. Tipe dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris), yaitu suatu penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai data awalnya kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.45 Penelitian ini mengkaji Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dengan pendekatan kasus, yakni pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.46

. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Lembaran Negara R.I Tahun 1995 Nomor 77, Pasal 1 ayat 3 45 . Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 133 46 . Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain : Pertama, pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang den regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yng sedang ditangani, pendekatan ini untuk menelaah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya; Kedua, pendekatan historis ialah pendekatan pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi,; Ketiga, pendekatan komperatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain menegnai hal yang sama; Keempat, adalah pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

44

28

B. Sumber Data dan jenis Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari: 1. Penelitian kepustakaan (library research). Di dalam penelitian kepustakaan data yang diperoleh adalah data sekunder yakni data yang sudah terolah atau tersusun. Data sekunder mencakup dokumendokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujub laporan dan bukubuku yang relevan dengan penelitian.47 Data sekunder ini diperoleh dari: a) Bahan hukum Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yaitu berupa peraturan

perundang-undangan seperti : 48 Undang-udang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Peraturan perundang-undangan yang terkait

diantaranya, Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukm Acara Pidana, Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

dengan isu hukum yang dihadapi; Kelima adalah pendekatan kasus, Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prada Media Grup, Jakarta, hal. 94-95 47 . Soejono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, penerbit Universitas indonesia, Jakarta, hal. 12 48 . Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum Edisi II, Ed.1 Cet.5, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 116-117.
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

29

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terkait dengan penelitian yang dialkukan, diantaranya adalah:49 Rancangan Undang-undang Hasil Penelitaian Hukum sebelumnya Teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana melalui literatur yang dipakai Dan juga bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, minsalnya kamus hukum Seosilo Prajogo, Ensiklopedia dan sebgainya.50 2. Penelitian Lapangan ( field research). Penelitian dilakukan di Lapangan guna mendapatkan data primer. Penelitian dilakukan lansung pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang. Jenis data berupa: a. Data Primer. Data yang diperoleh lansung dari pimpinan Lembaga Pemasryarakatan Kelas II A Padang dan Narapidana tindak pidana korupsi.

49 50

. Ibid hal. 116-117. . Ibid.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

30

b. Data sekunder. Data ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. C. Populasi dan Sampel Polpulasi merupakan himpunan variabel yang dijadikan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang akan menjadi populasi adalah narapidana tindak pidana korupsi dan pimpinan LAPAS Kelas II A padang. Sedangkan sampel dalam penelitian nanti adalah 10 narapidana tindak pidana korupsi dan 5 pimpinan LAPAS Kelas II A Padang, yang terdiri dari 1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (1 orang) 2. Kepala bagian pembinaan (1 orang) 3. Petugas teknis bagian pembinaan ( 3 Orang) Penetapan sampel berdasarkan pada pengmbilan data melalui purposive sampling yaitu peneliti sendiri yang akan menentukan subjek yang akan di wawancara. Subjek akan diwawancara adalah orang-orang yang dianggap relevan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengn cara terstruktur dan menggunakan pedoman wawancara.51

. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, wawancara pada umumnya dibagi dalam dua golongan yaitu: Pertama, wawancara berencana, yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya; Kedua, wawancara tak berencana yaitu suatu wawancara yang tidak disertai dengan suatu daftar pertanyaan, wawancara ini dibagi lagi menjadi wawancara berstruktur yaitu wawancara walaupun tidak berencana, tapi memiliki struktur yang rumit seperti wawancara untuk mengumpulkan data pangalaman seseorang. Jenis wawancara selanjutnya adalah wawancara tak berstruktur, yang kemudian dibagi lagi menjadi dua yakni wawancara terfokus yaitu wawancara yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat pada pokok permasalahan tertentu, dan wawancara bebas yakni wawancara yang
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

51

31

D. Jenis-jenis Alat Pengumpulan Data Jenis-jenis alat pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Studi Dokumen Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, setiap bahan hukum itu harus diperiksa ulang validitasnya (keabsahan berlakunya) dan reliabilitasnya (hal atau keadaan yang dapat dipercaya), sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian. 2. Wawancara Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawabanjawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada

seseorang.52 E. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisis, 53 dalam penelitian ini setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka
tidak terpusat artinya pertanyaan yang diajukan tidak terpusat pada suatu permasalahan pokok, pertanyaannya dapat beralih-alaih dari suatu pokok permasalahan ke pokok permasalahan lainnya. Lihat dalam Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 84-85. 52 . Ibid 53 . Bambang Waluyo, 1999, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72
Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

32

peneliti melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan cara meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulakn oleh pencari data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu reliabilitas data yang hendak dianalisis.54 2. Analisa Data Analisa data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data, untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum. Setelah didapatkan data-data yang diperlukan, maka peneliti melakukan analisis kualitatif, 55 yakni dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang didapatkan dilapangan denga bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian, kemudian ditarik kesimpulan nyang dijabarkan dalam penulisan deskriptif. F. Lokasi Penelitian Penelitian lapangan penulis lakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang. Provinsi Sumatera Barat. G. Sistematika Penulisan Sebelumnya telah dikemukakan mengenai latar belakang penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup penulisan serta metode
54 55

. Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit, hal. 168-169 . Bambang Waluyo, Op Cit, hal. 77

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

33

penelitian untuk menjelaskan arah penulisan ini. Dengan demikian perlu kiranya dikemukakan sistematika penulisan secara keseluruhan. Adapun sistematika penulisan ini adalah : Bab I. Pendahuluan, pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum tentang pidana penjara dalam lintas sejarah, sistem pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana, Bab III. Pembahasan, dalam bab ini penulis akan membahas tentang pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi, di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, dan upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang dalam mengatasi kendala tersebut. Bab IV. Penutup, pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

34

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

35

LAPORAN PERKEMBANGAN PENELITIAN Nama Jurusan Universitas Judul Korupsi : Anisa. SH : Ilmu Hukum (Pidana) : UNAND : Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang NB: Judul Penelitian sekarang merupakan hasil dari 3 kali perobakan judul sebelumnya, adapun judul sebelumnya adalah: 1. Penerapan Prinsip Miranda Warning dan Miranda rules, Terhadap Pemeriksaan tersangka oleh Penyidik Di Bandingkan dengan Prinsip Pretumtion Of Innoncent. Tinjauan Yuridis terhadap Pemberian Grasi Terhadap terpidana Korupsi (Studi Khasus di Pengadilan Negeri Kelas I A padang). Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Padang

2.

3.

Adapun Kendala yang dihadapi Peneliti, sehingga menyebabkan perobahan judul adalah: 1. 1. Untuk judul pertama. Peneliti mengalami kesulitan dalam menemukan literatur yang membahas tetang judul tersebut diatas Hal yang berkaitan dengan Judul tersebut diatas, sebelumnya belum pernah di tulis oleh pihak lain Belum ada undang-undang tertulis yang mengatur tentang Miranda rule dan Miranda warning yang menjadi tema utama dalam penelitiann ini Setelah di lakukan Pra penelitian, ternyata ditemukan minimnya pengetahuan aparat penegak hukum tentang keberadaan prinsip

2.

3.

4.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

36

miranda warning dan miranda rule, hal ini menimbulkan penulis dalam melakukan penelitian. 5. Komisi pembimbing menyarankan peneliti untuk melakukan reseach di Luar Negeri, tepatnya di negara-negara yang memakai prinsip miranda rule dan miranda warning contohnya Amerika. Waktu peneliti tidak memungkinkan ntuk melakukan penelitian ke negara tersebut, mengingat kontrak yang study yang harus di slesaikan dalam jangka 1 tahun ke depan, dan juga kendala akomodasi dan kemammpuan peneliti sendiri.

6. 1.

Untuk Judul Kedua Kesulitan Penulis untuk masuk ke Institusi yang bersangkutan dengan judul tersebut diatas, untuk pengambilan data. Ex. Di Lapas Cipinang dan Mahkahmah Agung. Berkaitan dengan data-data narapidana tindak pidana korupsi yang mendapatkan grasi, dan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Agung terkait pemberian putusan Grasi tersebut. Untuk judul ketiga Untuk judul ketiga ini masih dalam proses, sebelumnya Peneliti sendiri telah melakukan beberapa kali pra penelitian, dengan mengunjungi beberapa Lapas lapas yang ada di Sumatera Barat, seperti, Lapas Padang, Bukitinggi, Payakumbuh, dan Rutan Batusangkar.

2.

Proposal Penelitian Tesis, ANISA, SH. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang, Universitas Andalas (UNAND)

37

You might also like