You are on page 1of 18

1. 2. 3. 4. 5. 6.

DEWI RAHAYU INTAN PERMATA SARI AZIS ROSIDIQ SITI NURAISAH TUTUR KURNIARAHMAH SANDY SEFRIYANTO PEDIDIKAN GEOGRAFI NONREG2011 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju setelah terbelenggu oleh kolonialisme dan imperalisme, dicapai melalui pembangunan yang cepat sehingga berimplikasi pada penggunaan sumber daya alam yang berlebihan yang menyebabkan degradasi sumber daya alam. Pembangunan berkelanjutan mengandung konsep tentang proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan selaras dalam meningkatkan potensi saat ini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia dan diarahkan untuk terjaminnya keberlanjutan ekologi; ekonomi; sumberdaya; sistem managemen; dan teknologi (United Nations Documents, 1987). Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Strategi pengelolaan sumberdaya wilayah dan ruang mempertimbangkan aspek perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban, pemantauan dan pengawasan, pengaturan, pengendalian dan pelestarian. Langkah strategik dalam pengelolaan potensi geografis adalah mengutamakan pengelolaan sumberdaya yang dapat diperbaharui; penghematan dan pelestarian sumberdaya alam beserta lingkungannya; penerapan dan pengembangan rencana penggunaan lahan dan penataan pembangunan wilayah; melindungi sumberdaya alam yang memberikan manfaat spasial ekologikal; merehabilitasi berbagai kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem; mereklamasi lahan yang rusak akibat kegiatan manusia; mengelola sumberdaya alam berbasis spasial dan berwawasan lingkungan serta kebencanaan alam; meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan; menguatkan kelembagaan dan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan; menerapkan konsep pengelolaan sumberdaya wilayah terintegrasi secara fisik, biotis, sosio kultural berbasis community based development; dan mempolakan pembangunan spasial ekologikal dan sosio kultural pada kawasan

fungsional. Penerapan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan akan memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan, meningkatnya pendapatan asli daerah, pengelolaan aset pembangunan efektif dan bencana lingkungan maupun kerusakan sumberdaya alam dapat diminimalisir (Worosoprodjo, 2008). Penyelenggaraan kehutanan untuk kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS dan mempertahankan kecukupan kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional (Pemerintah Republik Indonesia, 1999). Pengelolaan DAS menjadi sangat sentral mengingat fungsinya dalam menjaga keseimbangan hidrologi DAS sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial. Hidrologi DAS mengkaji pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di DTA bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir dan iklim di daerah hulu dan hilir. Pengelolaan DAS merupakan managemen terintegrasi dari sektor hulu,tengah dan hilir yang terkait dengan daur hidrologi dimana secara biogeofisik daerah hulu DAS merupakan daerah konservasi yang berfungsi melindungi seluruh bagian DAS, daerah hilir merupakan daerah pemanfaatan dan daerah tengah merupakan area transisi. Fungsi DAS hulu yang sangat strategis menyebabkan fokus perencanaan pada area tersebut mengingat kerusakan DAS pada bagian hulu berdampak pada pendangkalan sungai akibat meningkatnya sedimentasi. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan banjir pada daerah tengah dan hilir DAS (Asdak, 1995). 1.2 Identifikasi Masalah 1.3 Tujuan

II. Pembahasan

Sungai Batanghari; Provinsi Sumatera Barat dan Jambi dengan DAS seluas 4.426.004 ha

Secara gografis, Daerah Aliran Sungai Batanghari terletak antara 0 43' sampai 3 46' LS 0 derajat dan 100 45' sampai 104 25' BT dengan luas total sekitar 4,9 juta ha. Sekitar 80% dari luasan DAS tersebut termasuk dalam wilayah Provinsi Jambi, sedangkan sisanya sekitar 20% terletak pada wilayah Sumatera Barat. DAS Batanghari khususnya daerah hulu didominasi daerah berbahan induk kuarter vulkanik dan tersier dengan bentang lahan berupa pegunungan dan vulkan, sedangkan daerah tengah dan hilir didominasi oleh bahan induk tersier dan kuarter, berupa daerah dataran yang sudah tertoreh dan daerah aluvial.

Sebagian besar topografi wilayah DAS Batanghari bervariasi mulai dari topografi datar hingga bergunung. Bentuk datar pada umumnya dijumpai pada wilayah Sub-DAS Batanghari Hilir, sedangkan bentuk berombak dan berbukit umumnya terdapat pada bagian tengah,terutama di wilayah Sub-DAS Batang Sumai dan Sub-DAS Batang Tabir, serta di bagian hilirSub-DAS Batang Tebo dan bagian hilir Sub-DAS Batanghari Hulu.

Subdasnya: Batanghari Hulu,

Batang Tebo, Batang Tabir Batang Sumai, Batang Merangin Tembesi Batanghari Hilir

Sub-DAS Batang Merangin Tembesi

Menurut Tikno (2000), Sub-DAS Batang Merangin Tembesi mempunyai bentuk memanjang seperti bulu burung dengan anak-anak sungai berada di kiri dan kanan yang mengalir ke sungai utama yang berada dibagian tengahnya. Karakteristrik morfometri seperti ini mempunyai frekuensi debit banjir yang sangat kecil tetapi jika terjadi banjir akan berlangsung lama. Debit rerata dari tahun 1975-1995 berkisar antara 99,31-292,82 m3/detik dengan puncak debit rerata bulanan tertinggi pada bulan Januari sebesar 280,82 m3/detik; Maret sebesar 292,82 m3/detik; dan Desember sebesar 243,53 m3/detik. Debit rerata terendah pada bulan Juli sebesar 100,93 m3/detik dan Agustus sebesar 99,31 m3/detik. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerentanan banjir pada Sub-DAS Batang Merangin Tembesi berkisar pada bulan Januari, Maret, dan Desember. Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2009), pada periode 2002-2007 kejadian banjir di Jambi terjadi pada Kabupaten Muaro Jambi (11 kasus) dan Kerinci (9 kasus) yang menunjukkan bahwa kejadian banjir pada DAS hulu dan tengah yang dominasi kejadian pada DAS tengah yaitu wilayah Kabupaten Muaro Jambi. Tetapi pada tahun 2010 dampak banjir terparah pada daerah DAS hulu dengan data pada

No 1.

Tanggal 14 Maret 2010

Lokasi Kabupaten Kerinci

Dampak 1 orang meninggal 8 orang luka 1.340 jiwa mengungsi 250 rumah rusak berat 500 rumah rusak ringan 3 sekolah rusak ringan 3 tempat ibadah rusak ringan 280 rumah terendam 2.586 rumah terendam

2. 3.

17 Marat 2010 18 Maret 2010

Kabupaten Merangin Kabupaten Sarolangun

Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2010

Tekanan dan ancaman dirasakan dari hulu hingga hilir DAS Batanghari yang berasal dari perambahan dan kerusakan hutan, konversi lahan, perubahan tutupan lahan serta kebijakan pengelolaan kawasan yang tumpang tindih dengan berbasis pada batasan administratif tanpa melihat aspek bioregion DAS sehingga kepentingan lingkungan selalu terpinggirkan oleh orientasi perekonomian sektoral. Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi dan meluasnya lahan kritis yang berdampak meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau

Sub-DAS Batang Tabir

Pemanfaatan ruang di Daerah Aliran Sungai Batang Tabir bagian hulu membutuhkan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur kegiatan budidaya sehingga mengurangi resiko dan dampak bencana dikemudian hari. Diketahui saat ini kondisi Sub DAS Batang Tabir bagian hulu di kawasan Hutan adat terutama di Desa Lubuk Bedorong terjadi perubahan fungsi kawasan yang harusnya menjadi kawasan lindung atau konservasi malah menjadi kawasan budidaya, keadaan ini juga diperparah dengan teknik pengelolaan lahan yang tidak mendukung upaya konservasi. Dijelaskan Mulad BP. DAS Jambi, Berbagai upaya penyelamatan fungsi lindung Sub DAS Batang Tabir bagian hulu telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sehingga dalam penelitian ini akan dirumuskan suatu upaya atau arahan pengendalian pemanfaatan lahan di Sub DAS Batang Tabir Bagian Hulu. Metode penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya penurunan fungsi hidrologi Sub DAS Batang Tabir bagian hulu adalah dengan teknik pemantapan, kemudian merumuskan zona pengendaliannya melalui analisis keakurasi data yang didasarkan pada tingkat erosi, kemiringan dan ketinggian. Kemudian Mulad melalui analisisnya menjelaskan, maka disusunlah prinsip-prinsip pengendalian pemanfaatan pada tiap zona. Berdasarkan pada hasil analisisa overlay, didapatkan 3 zona pengendalian pemanfaatan lahan berdasarkan pada tingkat resiko bencana longsor, yaitu zona resiko tinggi, sedang, dan rendah. Prinsip pengendalian pemanfaatan lahan pada masing-masing zona adalah dengan mengatur jenis kegiatan budidaya yang diizinkan, mengatur intensitas pemanfaatan dan ketentuan teknik konservasi lahan serta prasarana minimum yang dibutuhkan. Menurut Mulad, Dari pembahasan yang telah dilakukan, arahan pengendalian pemanfaatan lahan Sub DAS Batang Tabir bagian hulu antara laian pada zona resiko tinggi dilarang dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya dan teknik konservasinya berupa teknik sipil, vegetatif, dan perlindungan terhadap sungai dan mata air; kedua, pada zona resiko sedang pemanfaatannya sebagai kawasan budidaya sangat terbatas dan harus memenuhi syarat

konservasi dengan kombinasi antara teknik sipil dan vegetatif; dan ketiga, pada zona resiko rendah kegiatan budidaya tetap diizinkan namun juga harus memenuhi syarat konservasi.

Ketersediaan data debit (aliran sungai) di setiap wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah sangat penting bagi kegiatan program perencanaan dan pengembangann sumberdaya air. DAS Batanghari yang yang terletak di Propinsi Jambi, dengan luas total 4,537,881 Ha, yang terbagi menjadi 6 (enam) Sub DAS yaitu: Batanghari Hulu; Batang Tebo; Batang Tabir; Batang Sumai; Batang Merangin-Tembesi dan Batanghari Hilir dimana secara keseluruhan mempunyai potensi sumberdaya air yang cukup tinggi. Dalam analisis debit ini menggunakan dua pendekatan yaitu : analisis debit rerata bulanan dan analisis kurva duration debit (discharge duration curve). Hasil analisis kurva duration debit untuk estimasi debit andalan (probability 80%) di beberapa Sub DAS adalah sebagai berikut: Batang Tebo sebesar 60 m3/det; Batang Tabir sebesar 27 m3/det; Merangin Tembesi sebesar 53 m3/det dan Batanghari HilirMuara Tembesi sebesar 1000m3/det.

Kerusakan Daerah Aliran Sungai Batanghari

Lahan Kritis Kerusakan kawasan hutan dan lahan kritis Kerusakan hutan akan menimbulkan lahan kritis yang untuk merehabilitasinya dibutuhkan biaya yang besar dalam jangka waktu yang lama. Tabel 1.3 menyajikan luas lahan kritis yang terdapat di Propinsi Jambi untuk dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sekitar 60,80% dari luas lahan kritis di Propinsi Jambi terletak dalam kawasan DAS Batanghari. Berkurangnya kawasan hutan yang menjadi penyangga keseimbangan ekosistem pada wilayah DAS dapat disebabkan oleh berbagai sebab, antara lain konversi hutan menjadi lahan perkebunan, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit, pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), atau pembukaan lahan untuk areal transmigrasi. Luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 1999 sekitar 300.000 ha dan pertumbuhan luas perkebunan ini hingga tahun 1999 di DAS Batanghari mencapai angka 34% pertahun. Jumlah perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2002 tercatat 13 buah dengan kapasitas 3,5 juta ton TBS setiap tahun (Mahendra Taher, 2003). Di samping memiliki efek menguntungkan ditinjau dari pergerakan ekonomi rakyat, pembukaan kebun kelapa sawit ini juga mengancam masalah lingkungan DAS. Pada Sub-DAS Batanghari Hulu yang termasuk wilayah propinsi Sumatera Barat, luas perkebunan kelapa sawit tercatat 119.217 ha. Erosi dan sedimentasi

Wilayah DAS Batanghari di daerah hulu pada umumnya bertopografi berat, mempunyai curah hujan yang tinggi, serta bentukan tanah yang berasal dari bahan induk vulkanis. Tiga faktor ini merupakan unsur yang sangat berperanan terhadap erosi. Jika tutupan lahan terbuka, misalnya akibat proses deforestasi, maka dapat diperkirakan

bahwa laju erosi yang terjadi akan besar. Kerusakan pada Sub-DAS Batanghari Hulu dengan jenis tanah ordo Andisols , terutama dari Kabupaten Solok sudah berjalan sangat intensif. Tingginya curah hujan mengakibatkan tingginya erosi dan sedimentasi yang masuk perairan sungai Batanghari. Sedimen yang terangkut dari kawasan ini akan bergabung dengan aliran Batang Tebo, Batang Pelepat, dan Batang Tabir. Hasil perhitungan erosi oleh BPDAS Agam-Kuantan pada Sub Sub-DAS Gumanti yang terletak di wilayah hulu Sub-DAS Batanghari Hulu dalam data RTL-RLKT memberikan nilai erosi sebesar 54,91 ton/ha/tahun. Keruhnya air sungai diduga karena seringnya terjadi longsor pada hulu dan sisi sungai, terjadinya pembukaan lahan baru tanpa perlakuan konservasi tanah, semakin kritisnya lahan pada hulu sungai, dan banyaknya penebangan liar.

Lihat dan Download Informasi Selengkapnya Pada Link di Bawah ini di Sini

http://nicemonkeyman.blogspot.com/2009/06/menengok-sungai-batanghari.html Luas Hutan Tak Lagi Sesuai UU Kehutanan Kondisi tutupan lahan di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari terbaru berdasarkan citra landsat TM7 tahun 2005 tutupan lahan yang berupa hutan di DAS Batang Hari seluas 1.285.744,94 hektar atau hanya tinggal 24.42 persen. Abdullah Khusairi-Padang Hal ini dipaparkan oleh aktivis lingkungan, Syafrizaldi kepada koran ini akhir pekan lalu. Tutupan lahan yang terjadi di Sumbar, seluas 336.898,06 atau 40.07 persen. Hal ini karena ada TNKS. Sedangkan wilayah Jambi tutupan hutan hanya 948.846,88 hektar atau hanya sekitar 21.44 persen. Padahal dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan minimal tutupan hutan dalam suatu DAS minimal 30 persen, ujarnya.

Minimal 30 persen untuk suatu wilayah dimaksudkan agar daya dukung lingkungannya stabil atau seimbang dengan luas wilayah. Kurang dari angka 30 persen, maka kondisi suatu wilayah labil terhadap ancaman dan bahaya lingkungan. Rincian Sub DAS Batang Hari yang masuk wilayah Sumbar, tutupan lahan TNKS masih mencapai 42 persen di Solok Selatan. Dimana terdapat Sub Das, Batang Sangir, Batang Jujuhan, Batang Pangian, Batang Gumanti, Batang Hari Hulu. Dari analisa yang pernah dilakukan KKI Warsi mencatat pemberian konsesi kepada 16 HPH seluas 1.008.104 hektar di daerah aliran sungai Batang Hari telah memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan hutan di dalam daerah tangkapan air. Akibat lemahnya pengawasan terbukti 10 HPH dengan luas areal 888.000 hektar (berdasarkan SK HPH lama yang telah dicabut) tidak bekerja menurut kaidah-kaidah konservasi, jelas Syafrizaldi. Dampak dari kehancuran lahan ini terjadinya gangguan terhadap keanekaragaman hayati, degradasi tanah, polusi air karena pemurnian hasil tambang mengakibatkan, terancamnya biota-biota air dan satwa pengguna air lainnya serta gangguan kesehatan bagi masyarakat, sekitar yang terpaksa menggunakan air yang tercemar tersebut, fragmentasi kawasan lindung dan kawasan konservasi lainnya. Sub DAS yang sudah diambang batas toleransi UU Kehutanan terdapat di Dharmasraya, yang hanya tinggal 27,32 persen, Sawahlunto Sijunjung 27, 39 persen. Hal yang sama juga terjadi di Merangin, Tebo, Bungo. Enam Sub DAS besar yaitu Sub-DAS Batang Hari Hulu, Batang Tebo, Batang Tabir, Batang Sangir, dan Batang Merangin-Tembesi. Sebagian besar hulu sub DAS terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pemanfaatan DAS Batang Hari mulai dari sebagai jalur transportasi, keperluan irigasi, keperluan air bersih dan berbagai proyek besar yang bersandar dengan DAS Batang Hari, seperti pembangunan PLTA Merangin, pembangunan pelabuhan Muara Sabak dan lain sebagainya. Penurunan tutupan hutan, masalah sedimentasi, peningkatan frekuensi banjir tahunan dan sulitnya air bersih di musim kemarau kini menjadi salah satu ciri DAS Baranghari, sekaligus menandakan bahwa DAS Batang Hari telah masuk sebagai DAS sangat kritis di Indonesia. Dari tahun ke tahun semakin terasa bahwa daya dukung DAS ini terhadap kehidupan masyarakat semakin menurun dan jika tidak ada upaya serius dari semua pihak maka

sedimentasi, turunnya kualitas air bersih, serta musibah banjir akan semakin parah melanda DAS ini. Kenyataannya, saat ini hampir semua daerah memang telah mengeluhkan berbagai dampak tersebut. Hal ini disebabkan hutan sebagai pendukung utama sistim hidrologi suatu DAS terus mengalami kerusakan. Penurunan daya dukung DAS Batanghari ini, karena konservasi lahan dalam skala besar menjadi perkebunan, transmigrasi, pertambangan. Pengelolaan HPH yang tidak sesuai aturan,dan maraknya illegal logging juga sebagai penyumbang terbesar semakin berkurangnya kemampuan DAS Batanghari. Program transmigrasi diyakini ikut menyumbang tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata setahun sebesar 1,89 persen selama kurun waktu 1986-1996 dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional pada kurun waktu tersebut adalah 1,49. Disamping itu pemukiman akan berkembang mengikuti pola ketersediaan aksesibilitas seperti jalan dan sungai. Kondisi dan prediksi penduduk ini memperlihatkan bahwa tekanan pertumbuhan penduduk pada sebagian besar Daerah Aliran Sungai Batang Hari dimasa datang akan semakin memberatkan bagi daya dukung Sumberdaya Alam pada Daerah Aliran Sungai Batang Hari. Demikian juga dengan pemberian izin untuk perkebunan besar kelapa sawit dan program transmigrasi pada bagian hulu DAS Batang Hari bagian Utara yaitu Kabupaten Bungo, Tebo, Solok, dan Sawahlunto/Sijunjung dan beberapa daerah lainnya. Kebijakan tersebut telah menyebabkan ratusan ribu hektar hutan telah beralih menjadi perkebunan sawit dan pemukiman. Saat inipun di hulu Batang Hari sekitar bagian selatan kabupaten Solok sedang berlangsung konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit lebih kurang 25.000 hektar. Kerusakan hutan DAS Batang Hari juga disebabkan oleh maraknya illegal logging dan illegal sawmill. Sebuah penggergajian kayu/sawmill ini memerlukan sedikitnya 10 meter kubik per hari, berarti secara keseluruhan diperlukan 3.000 meter kubik per hari. Jika satu hektar hutan rata-rata menghasilkan 30 meter kubik, Itu sama artinya dengan terjadinya penggundulan hutan 100 hektar perhari, 3.000 hektar per bulan, atau 36.000 hektar pertahun. Disamping itu Jambi juga mengalami defisit bahan baku kayu bulat (logs) yang mencolok antara industri pengolahan kayu hulu dan jatah tebangan tahunan lestari sebesar 2,7 juta meter kubik per tahun. Defisit sebesar itu telah menambah tekanan terhadap daerah

lainnya karena bagaimanapun kenyataannya sampai saat ini industri-industri tersebut tetap berjalan. Aktifitas tambang baik yang dilakukan oleh rakyat maupun oleh perusahaan pertambangan juga memberikan tekanan tersendiri. Aktifitas tambang rakyat biasanya terbatas pada mineral tertentu seperti emas. Sedangkan perusahaan pertambangan umumnya melakukan penambangan batubara. Secara umum jenis-jenis bahan tambang yang terkandung di Daerah Aliran Sungai Batang Hari adalah emas, tembaga, marmer, porselen, batu kapur, minyak bumi, batubara, besi, perak, batu tulis, asbes, timah, granit, kalsit, grafit, silika, kuarsit, pasir kuarsa, air raksa, dan beberapa jenis bahan tambang lainnya. Pada 5 kabupaten di hulu DAS Batang Hari (Solok, Swl/Sijunjung, Merangin, Kerinci, dan Bungo) saat ini terdapat total areal Kuasa Pertambangan (KP) seluas 220.362 hektar dan areal Kontrak Karya (KK) seluas 1.026.035 hektar. Permasalahan-permasalahan yang melanda DAS batanghari ini perlu segera dicarikan solusinya, jelas Syafrizal. Ia mengusulkan agar dua provinsi mengambil kebijakan tepat agar tidak jauh kerusakan terjadi. Dalam kurun 8 tahun Dharmasraya tutpan hutan Dharmasraya hilang sebanyak 9.899,84 hektar, atau sekitar 3,30 persen. Pada tahun 1994 adalah sebesar 31,55 persen dari luas total wilayah Kabupaten Dharmasraya sedangkan pada tahun 2002, dari hasil analisis diketahui bahwa tutupan hutan di kabupaten ini adalah sebesar 28,25 persen dari luas total wilayah kabupaten ini. Berdasarkan analisa peta citra lansat etm+7 yang terbaru tutupan hutan Dharmasraya pada 2005 tinggal 27,88 persen. Data dari Dinas dan perkebunan Kabupaten Dharmasraya tahun 2005 juga menyebutkan bahwa kerusakan hutan akibat konversi seluas +/- 87 ha, sedangkan akibat illegal loging seluas +/- 750 ha. Sementara pada tahun 2006 terjadi kerusakan hutan akibat konversi seluas +/- 975 ha dan illegal loging seluas +/- 225 ha, paparnya lagi. *** http://meysanda.wordpress.com/2008/04/13/das-batang-hari-makin-kritis/ DAS Batanghari di Tengah Ancaman Pengerusakan dan Pencemaran Laporan:

DAERAH Aliran Sungai (DAS) Batanghari, mesti dapat diselamatkan dari ancaman pengerusakan dan pencemaran. DAS Batanghari di Tengah Ancaman Pengerusakan dan Pencemaran DAERAH Aliran Sungai (DAS) Batanghari, mesti dapat diselamatkan dari ancaman pengerusakan dan pencemaran. Sebab, kalau dilihat kondisinya sekarang ini terhadap sungai terbesar kedua dengan luas daerah tangkapan air (water catchment area) hampir mencapai 4,9 juta hektar sudah berada di atas ambang toleransi. Seperti bukti, masih terus dilakukannya pembuangan limbah karet dan pembangunan sejumlah gedung di pinggiran DAS tersebut. Secara administratif, DAS Batanghari meliputi Provinsi Sumatera Barat dan Jambi dan terbagi dalam enam Sub-DAS besar yaitu Sub-DAS Batang Hari Hulu, Batang Tebo, Batang Tabir, Batang Sangir, dan Batang Merangin-Tembesi. Sebagian besar hulu sub DAS terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). DAS ini telah dikategorikan sebagai salah satu DAS kritis di Indonesia, beberapa indikator yang sudah terlihat adalah hilangnya kemampuan DAS menyimpan air di musim kemarau, meningkatnya frekwensi banjir tahunan, tidak memadai lagi akses pasokan air bersih dan irigasi untuk masyarakat, tingginya sedimentasi, yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa sistem lingkungan yang mendukung proses daur hidrologi sedang mengalami kerusakan. Ditinjau dari berbagai segi, DAS Batang Hari memiliki peran sangat penting. Secara ekologis, DAS Batang Hari sangat penting karena meliputi berbagai type ekosistem alami (selain ekosistem sungainya sendiri) mulai dari ekosistem pesisir/muara, lahan basah, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi, hutan hujan pegunungan dengan vegetasi sub alpin dan alpin. Dibidang transportasi, pemanfaatan sungai Batang Hari sebagai prasarana transportasi oleh masyarakat telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun. Sebelum akhir 70-an (sebelum trans Lintas Sumatera dibuka), transpotasi air merupakan pilihan utama. Namun saat ini kapasitas angkutan yang dapat melewati sungai semakin terbatas dan saat ini rata-rata hanya di bawah 3.000 DWT karena dasar sungai semakin dangkal. DAS ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat karena sekitar 2,8 juta jiwa hidup dalam wilayah ini (BPS, 2003). Sekitar 10.388 hektar sawah irigasi teknis, 12.800 hektar sawah irigasi setengah teknis, 11.758 hektar sawah irigasi sederhana, dan 26.108 hektar sawah irigasi swadaya memanfaatkan DAS Batang Hari sebagai sumber airnya. Total produksi padi sawah pada tahun 2003 mencapai 649.173 ton gkg. Saat ini di

salah satu ruas tengah Sungai Batang Hari di Sungai Dareh Sitiung, Sumatera Barat, sedang dikerjakan Batang Hari Irrigation Project (BHIP) yang direncanakan mampu mengairi sawah seluas 18.936 ha pada 35 Jorong/Nagari di Provinsi Sumatera Barat dan lima desa di Provinsi Jambi. Proyek irigasi Batang Hari ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari proyek terdahulu yaitu Proyek Irigasi Sungai Dareh Sitiung (SEDASI) yang pada awalnya diharapkan mampu mengairi lahan sawah seluas 20.000 hektar. Namun kenyataannya, irigasi SEDASI yang dibangun tahun 1982-1986 hanya mampu mengairi 39 persen lahan yang direncanakan. Hal ini disebabkan oleh merosotnya debit andalan Sungai Palangko dan Batang Siat yang merupakan sungai utama dalam sistem irigasi SEDASI. Penurunan debit pada sungai Batang Siat selama 15 tahun terakhir ini telah mengakibatkan berkurangnya kapasitas maximum saluran dari 10,5 m3/detik (tahun 1986) menjadi 6,1 m3/detik (2001). Konversi lahan secara besar-besaran di hulu Batang Siat menjadi perkebunan kelapa sawit oleh PT TKA, PT Famili Raya Group, dan konversi untuk kebutuhan lainnya seperti transmigrasi diyakini merupakan penyebab utama penurunan debit tersebut. Dengan proyek baru Irigasi Batang Hari ini tidak ada jaminan kasus irigasi SEDASI tidak terulang selama penanganan permasalahan tetap sektoral seperti selama ini. Bagi Provinsi Jambi, DAS Batang Hari memiliki nilai lebih strategis lagi. Saat ini sedang direncanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Merangin pada sub DAS Merangin yang memiliki kapasitas terpasang 250 MW. Disamping untuk memenuhi kebutuhan listrik regional Provinsi Jambi, kelebihan arus juga direncanakan akan dijual ke Singapura. Nilai strategis lainnya adalah Pelabuhan Muara Sabak di hilir Sungai Batang Hari yang direncanakan sebagai pintu gerbang ekonomi kawasan ini umumnya dan Provinsi Jambi khususnya ke kawasan Segitiga Pertumbuhan Singapura-Batam-Johor (Sibajo), daerah kerjasama Indonesia-Malaysia-Singapura Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan pasar APEC. Namun akibat berbagai dampak pengelolaan sumberdaya alam di hulu dan tengah, pelabuhan ini dihantam persoalan sedimentasi yang sangat tinggi. Berdasarkan data Pemda Jambi, jika bobot kapal yang bersandar di Muara Sabak sekitar 15.000 DWT (kapal-kapal untuk ekspor-impor), maka diperlukan pengerukan minimal 5.345.500 meter kubik deposit sepanjang alur sungai dengan lebar 100 meter untuk draught 9,5 meter karena saat ini hanya bisa untuk kapal berbobot 3.000 DWT. Selain itu diperlukan pula pemeliharaan alur

pelayaran sebanyak 298.540 meter kubik per tahun. Biaya besar yang harus dikeluarkan untuk pengerukan tersebut merupakan biaya tambahan yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan jika pengelolaan DAS Batang Hari ini terencana dari hulu sampai ke hilir. Dengan berbagai bentuk pemanfaatan terhadap sumberdaya alam pada DAS Batang Hari di atas jelaslah bahwa keberadaannya memang sangat penting dan strategis. Namun daya dukung DAS ini terhadap kehidupan masyarakat dari tahun ke tahun terus menurun karena belum adanya suatu rencana pemanfaatan yang berkelanjutan. Bahkan menyangkut fungsi hidroorologi sebagai salah satu fungsi penting DAS, kondisinya semakin mengenaskan. Hasil analisa kondisi tutupan lahan di dalam DAS Batang Hari (berdasarkan citra landsat TM7 tahun 2002) diketahui bahwa luas tutupan hutan total DAS Batang Hari jika dilihat menurut luas kabupaten-kabupaten yang terkait di dalamnya hanya tinggal 26 persen saja atau hanya 32,683.74 km2 dari total luas keseluruhan 10 kabupaten terkait yaitu 63,732.00 km2. Bahkan jika perhitungan hanya dibatasi pada tutupan lahan dalam DAS Batang Hari serta kontribusi masing-masing kabupaten terhadap DAS juga memperlihatkan hasil yang memprihatinkan. Dari luas DAS 42,841.33 km2, yang berupa hutan hanya 14,196.50 km2 (atau 33,14 persen), yang bukan lagi berupa hutan seluas 26,358 km2 (61,53 persen), dan tidak ada data 2,285.98 km2 (5,33 persen). Kondisi di atas menjelaskan kenapa DAS ini memang layak dikategorikan sebagai DAS sangat kritis karena hutan merupakan pendukung utama sistem hidroorologis suatu DAS. Dari tahun ke tahun semakin terasa bahwa daya dukung DAS ini terhadap kehidupan masyarakat semakin menurun dan jika tidak ada upaya serius dari semua pihak maka sedimentasi, turunnya kwalitas air bersih, serta musibah banjir akan semakin parah melanda DAS ini. Kenyataannya, saat ini hampir semua daerah memang telah mengeluhkan berbagai dampak tersebut. Sejak bulan September 2002, WARSI telah memulai upaya mendorong pendekatan bioregion dalam pengelolaan DAS Batang Hari. Substansi pendekatan bioregion yaitu suatu pendekatan pengelolaan wilayah/teritori tanah dan air yang cakupannya tidak ditentukan oleh batasan administrasi/politik, tetapi oleh batasan geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Pendekatan ini diupayakan karena kuatnya kecenderungan yang muncul pada sebagian pemerintah kabupaten sejak penerapan otonomi daerah, yaitu melihat potensi sumberdaya alam (khususnya hutan) yang ada dalam wilayah administratifnya bebas dieksploitasi untuk kepentingan daerah. Hutan hanya dilihat secara parsial sebagai sumber

PAD yang potensial dan cepat menghasilkan. Akibatnya, jika selama ini pembangunan yang sangat sektoral teknis seperti pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit, pertambangan, pemberian izin HPH dsb telah menimbulkan kerusakan hutan yang parah, maka dengan fenomena ini ancaman tersebut ditambah dengan adanya ego administratif. Dengan pendekatan bioregion, keberadaan DAS Batang Hari di kawasan ini mesti bisa dilihat sebagai celah untuk sebuah titik masuk pendekatan baru. Apalagi DAS ini meliputi dua provinsi yaitu Sumatera Barat dan Jambi. Akan tetapi mendorong DAS untuk dijadikan sebagai basis pengelolaan sumberdaya alam di masa datang juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Hal ini disebabkan banyak aspek di antaranya pengertian dan batasan sebuah DAS yang beragam diantara berbagai pihak. Disamping itu pemahaman tentang DAS sendiri cenderung akan menggiring pembahasan lebih ke arah aspek fisik. Padahal persoalan dan ancaman utama terhadap hutan tersisa pada era otonomi daerah ini adalah paradigma dan fenomena kedaerahan yang semakin menguat, pembangunan yang berorientasi ekonomi sesaat, dan salah kaprah menjadikan PAD sebagai indikator keberhasilan otonomi daerah. Itulah sebabnya pendekatan bioregion yang dijadikan pilihan. Pada tahap awal di tahun 2002, WARSI telah mencoba melakukan penjajakan awal melalui kegiatan Membangun Kesepahaman Bersama. Kegiatan awal ini diperlukan mengingat luasnya wilayah, kompleksnya persoalan, serta beragamnya pihak yang terlibat, sehingga dukungan politis dari pengambil kebijakan dari pusat dan daerah sangat diperlukan. Disamping itu sangat perlu untuk mengetahui tanggapan berbagai pihak yang berkepentingan mulai dari masyarakat, pengusaha perkebunan dan kehutanan, perguruan tinggi, pengelola kawasan konservasi, organisasi non pemerintah, DPRD, dan pihak-pihak lainnya. Tanggapan para pihak ternyata cukup positif. Dari rangkaian kegiatan awal ini dapat disepakati suatu Nota Kesepahaman Bersama para pihak yang diharapkan dapat menjadi landasan kedepan untuk meneruskan upaya pengelolaan sumberdaya alam DAS Batang Hari dengan pendekatan bioregion. Perkembangan terbaru, BP DAS AgamKuantan di Sumatera Barat bahkan telah mengambil langkah maju dengan membentuk forum DAS Sumatera Barat, sementara di Jambi telah muncul Pokja DAS Batanghari. Bagi WARSI secara kelembagaan, perkembangan ini sangat berarti karena dapat memperkuat berbagai upaya konservasi lainnya yang telah dan sedang dikerjakan. Sejak tahun 1992 WARSI telah terlibat dalam upaya mengintegrasikan kegiatan konservasi dan peningkatan

ekonomi masyarakat desa sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang merupakan hulu DAS Batang Hari. Di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), sejak tahun 1996 sampai saat ini WARSI sedang terlibat upaya pengelolaan kawasan dengan melibatkan kelompok Orang Rimba. Kawasan taman nasional ini juga berada dalam DAS Batang Hari. Di samping itu sejak tahun 2000 sampai saat ini WARSI sedang mengupayakan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (community based forest management) yang lokasinya juga berada pada beberapa sub DAS Batang Hari yaitu sub DAS Pelepat dan sub DAS Merangin. (nf)

Sumber: http://116.213.48.92//artikel/65532.shtml http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=65532

You might also like