You are on page 1of 7

SEKILAS TENTANG WHISTLEBLOWER SYSTEM DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi. Whistle blower bukanlah sesuatu yang baru melainkan sesuatu yang sudah lama ada. Whistle Blower menjadi sangat populer di Indonesia karena akhir-akhir ini sangat marak pemberitaan yang menimpa Komisi Pemilihan Umum dengan pihak Whistle Blower (Khairiansyah, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)). Kita perlu ketahui bahwa skandal perusahaan tidak hanya menyangkut keuangan melainkan segala hal yang melanggar hukum dan dapat menimbulkan tidak hanya kerugian tetapi ancaman bagi masyarakat. Contoh kasus di negara lain Jeffrey Wigand adalah seorang Whistle Blower yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pengungkap sekandal perusahaan The Big Tobbaco. Perusahaan ini tahu bahwa rokok adalah produk yang addictive dan perusahaan ini menambahkan bahan gcarcinogenic di dalam ramuan rokok tersebut. Kita tahu bahwa gcarcinogenic adalah bahan berbahaya yang dapat menimbulkan kanker. Yang perlu diingat bahwa Whistle Blower tidak hanya pekerja atau karyawan dalam bisnis melainkan juga anggota di dalam suatu institusi pemerintahan (Contoh Khairiansyah adalah auditor di sebuah institusi pemerintah bernama BPK).

Ada beberapa tipe dari whistleblower. Salah satu tipe dari whistle blower yang paling sering ditemukan adalah tipe internal Whistle Blower, yaitu seorang pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada di dalam perusahaan tersebut. Selain itu juga ada tipe external Whistleblower adalah pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak diluar institusi, organisasi atau perusahaan tersebut. Biasanya tipe ini melaporkan segala tindakan melanggar hukum kepada Media, penegak hukum, ataupun pengacara, bahkan agenagen pengawas praktik korupsi ataupun institusi pemerintahan lainnya. Secara umum seorang whistle blower tidak akan dianggap sebagai orang perusahaan karena tindakannya melaporkan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Secara lengkapnya seorang whistle blower telah menyimpang dari kepentingan perusahaan. Jika pengungkapan ternyata dilarang oleh hukum atau diminta atas perintah eksekutif untuk tetap dijaga kerahasiaannya maka laporan seoarang whistle blower tidak dianggap berkhianat. Bagaimanapun juga di amerika serikat tidak ada kasus dimana seorang whistle blower diadili karena dianggap berkhianat. Terlebih lagi di dalam U.S federal whistleblower statues, untuk dianggap sebagai seoarang whistle blower seorang pekerja harus secara beralasan yakin bahwa seseorang atau institusi atau organisasi ataupun perusahaan telah melakukan tindakan pelanggaran hukum. Istilah whistleblower merupakan istilah baru dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Namun di Indonesia terdapat istilah saksi mahkota atau Crown Witness. Dimana salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman. Sistem ini di negara Eropa Kontinental seperti Belanda, Prancis dan Italia sudah lama diterapkan dengan menggunakan konsep

protection of cooperating person. Sedangkan di negara-negara Anglo Saxon, memiliki asas plea bargaining yang pada intinya sama dengan konsep protection of cooperating person. Namun, konsep whistleblower lebih banyak diusung oleh Negara-Negara Anglo Saxon, khususnya Amerika, dan Negara-Negara Commonwhealth (Negara-negara Jajahan Inggris). Konsep whistleblower dengan konsep protection of cooperating person adalah dua hal yang sangat berbeda. Pada konsep whistleblower, si pengungkap fakta sama sekali tidak dipidana sedangkan pada konsep protection of cooperating person, si pengungkap fakta tetap bisa dipidana namun mendapat keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada Pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (Justice Collaborators) dalam mengungkap kerumitan kasus. Di Indonesia, konsep whistleblower tidak diatur secara tegas. Jika melihat definisi pada Penjelasan Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban, maka ada kemiripan antara istilah whistleblower dengan Pelapor. Bahkan di dalam wacana yang berkembang, konsep whistleblower juga dikaitkan dengan saksi yang berasal dari kelompok Pelaku, misalnya Kasus Agus Condro dan Kasus M. Nazaruddin. Sehingga di Indonesia sebenarnya lebih cenderung mengadopsi konsep protection of cooperating person dibandingkan konsep whistleblower.

Tabel PerbandinganWhistleblower Dan Protection Of Cooperating Person

Whistleblower Subyek Mantan atau Masih sebagai Pegawai suatu instansi

Protection Of Cooperating Person 1. Bagian dari kel pelaku 2. Mantan/Masih sbg Pegawai 1. Balas Dendam 2. Mengharapkan Keringanan Pidana

Motivasi

Kesadaran Diri & Hukum

3. Keinsyafan Pemidanaan Tdk Dpt Dipidana Dipidana dengan keringanan Koneksitas Tdk terlibat baik Terlibat dugaan Tindak secara langsung/tdk Pidana langsung Hukum Memberikan Ket Memberikan Keterangan Acara diluar Sidang diluar Sidang, jika dipandang perlu Jaminan 1. Pasal 5 UU 1. Pasal 5 UU Perlindungan Perlindunga Perlindungan Saksi n Saksi dan dan Korban (UU Korban (UU PSK) PSK) 2. Pasal 10 2. Pasal 10 ayat (1) ayat (1) UU UU Perlindungan Perlindunga Saksi dan Korban n Saksi dan (UU PSK) Korban (UU PSK) 3. Tertutup oleh Media 4. Jaminan Pekerjaan Sehingga Pasal 10 UU PSK tersebut lebih cenderung memiliki kesamaan kepada asas plea bargaining yang dimiliki oleh United States of America (USA), dimana asas plea bargaining tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut. SEMA itu Cacat Hukum

Dengan ditolaknya rekomendasi LPSK akan implementasi dari disetujuinya permohonan perlindungan dari Komjen Pol Susno Duadji dan ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU PSK, maka pada tanggal 19 Juli 2011 lalu diadakanlah pertemuan antar institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, LPSK dan Mahkamah Agung. Dimana MA berjanji akan mengeluarkan pengaturan lebih lanjut, maka pada tanggal 10 Agustus 2011 dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Tindak Pidana Tertentu. Di dalam SEMA No. 4/2011 tersebut sudah mengadopsi definisi mengenai whistleblower sebagaimana umumnya. Dimana pada point 8 (a) SEMA No. 4/2011 menegaskan sebagai berikut: Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa sistem hukum di Indonesia menyamakan kedudukan Pelapor sebagai whistleblower. Namun keberadaan SEMA tersebut justru bertentangan dengan UU PSK itu sendiri dengan dimasukannya point 8 (b) yang menegaskan sebagai berikut: Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan oleh Terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari Terlapor. Mari kita dibandingkan dengan Pasal 10 ayat (1) UU PSK, yang menegaskan sebagai berikut: Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jika di dalam UU PSK telah tertutup bagi Pelapor sebagai whistleblower, yang memiliki itikad baik, untuk dituntut baik secara pidana maupun perdata, namun SEMA No. 4/2011 justru peluang untuk dituntut oleh Terlapor kembali dibuka. Hal ini Penulis simpulkan berdasarkan kalimat ..penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari Terlapor. Kalimat tersebut mengandung makna, bahwa jika perkara yang dilaporkan oleh seorang whistleblower selesai disidangkan, maka kemudian perkara yang dilaporkan oleh Terlapor akan dapat di proses. Sehingga seorang whistleblower akan menghadapai tuntutan pidana dan/atau perdata atas perkara yang ia laporkan. Jelas didalam SEMA tersebut, MA menggunakan kalimat bersayap yang dapat ditarik ulur penafsirannya. Mengapa tidak ditegaskan saja bahwa seorang whistleblower yang dengan itikad baik tidak bisa dilaporkan kembali karena laporannya. Penulis berpendapat bahwa SEMA ini justru bertentangan dengan UU PSK. Dari penelusuran Penulis ke berbagai peraturan perundang-undangan di berbagai negara, hanya di Indonesia pengaturan mengenai whistleblower diatur di dalam SEMA. Sedangkan di negaranegara lain, whistleblower diatur di dalam UU tersendiri. Bahkan tidak dijadikan satu dengan

UU Perlindungan Saksi. Untuk perlindungan saksi biasanya disebut dengan Witness Protection Act, sedangkan untuk whistleblower biasanya diatur dalam Public Interest Disclousure Act atau Public Disclousure Act. SEMA Yang Butuh SEMA Dari pencarian Penulis mengenai makna dan fungsi dari suatu Surat Edaran, akhirnya Penulis menemukan referensi yang mendefinisikan makna dan fungsi dari Surat Edaran, yaitu: Surat edaran adalah jenis surat dinas yang berisi penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu ketentuan atau peraturan dari pejabat tertentu kepada bawahan atau karyawan. Sehingga SEMA atau Surat Edaran Mahkamah Agung adalah merupakan surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang cara pelaksanaan suatu peraturan perundangundangan dalam ruang lingkup kewenangannya. Nah, anehnya SEMA No 4/2011 ini masih membutuhkan petunjuk lebih lanjut. Dalam banyak hal SEMA tersebut justru tidak memberikan petunjuk pelaksanaannya, yaitu antara lain sebagai berikut: 1. Di dalam UU PSK, Pelapor hanya diberikan imunitas terhadap tuntutan baik pidana maupun perdata. Berhak kah Pelapor untuk menikmati Pasal 5 UU PSK, karena Pasal 5 UU PSK hanya ditujukan kepada Saksi dan Korban? 2. Bila terjadi conflict of interest, seperti pada kasus Komjen Pol Susno Duadji, institusi mana yang berwenang memberikan perlindungan hukum? Karena SEMA ini hanya berlaku pada ruang lingkup penuntutan dan pemeriksaan di dalam sidang. Sedangkan pada tahap Kepolisian hanya sebagai tembusan artinya tidak mengikat kepada POLRI. 3. SEMA sebagai petunjuk dan pedoman pelaksanaan tidak menjelaskan mengenai berapa besar keringanan hukuman yang akan diberikan kepada justice collaborators ? Karena di USA, keringanan hukuman ditegaskan sekitar 35% dari ancaman pidana atau penurunan pelanggaran dua atau tiga tingkat. Berkaca kepada Kasus Agus Condro yang dituntut 1 tahun 5 bulan oleh JPU dan mendapat keringanan oleh Majelis Hakim karena Agus Condro sebagai pelapor hanya 3 bulan, menjadi 1 tahun 3 bulan. Sebegitu besarnya kasus yang diungkap oleh Agus Condro, namun hanya mendapat keringanan 3 bulan. 4. Digolongkan sebagai apakah ketika seseorang melaporkan dugaan tindak pidana dan ternyata ia juga sebagai salah satu pelaku? Saksi Pelaku ataukah Pelapor? 5. Bagaimana jika seorang Pelapor kehilangan imunitasnya karena ada itikad tidak baik? Apakah laporannya secara otomatis ditolak atau bagaimana? 6. LPSK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan apakah seseorang layak mendapat perlindungan hukum atau tidak. Jika dianggap layak, maka seseorang akan berada di dalam salah satu status, saksi kah, saksi pelaku kah, korban kah atau Pelapor kah? Persetujuan atas suatu permohonan dituangkan ke dalam sebuah perjanjian. Apakah kemudian Perjanjian tersebut kemudian dijadikan acuan oleh Jaksa untuk menyusun tuntutannya ataukah Perjanjian itu dijadikan salah satu alat bukti yang meringankan oleh Hakim? Karena di dalam SEMA, ditegaskan agar Hakim tetap wajib mempertimbangkan. 7. Di dalam point 7 SEMA No 4/2011, ditegaskan agar Hakim memberikan keringanan pidana bagi justice collaborators atau bentuk perlindungan lainnya. Ini juga point

yang menyesatkan, karena kewenangan untuk memberikan perlindungan hukum yang diberikan oleh UU PSK adalah kepada LPSK bukan kepada Hakim. Kecuali ditegaskan atas permintaan Hakim kepada LPSK untuk memberikan perlindungan hukum, karena di dalam proses pemeriksaan saksi pelaku pantas untuk dilindungi. 8. Terkait dengan point 7 SEMA No 4/2011, apakah bisa seorang saksi pelaku yang mengajukan permohonan kepada Hakim untuk diberikan perlindungan hukum, terkait dengan Pasal 29 point (a) jo Pasal 32 ayat (1) huruf (b) UU PSK. Dimana disebutkan bahwa atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan. Inilah keanehan-keanehan SEMA yang awalnya diharapkan sebagai petunjuk pelaksana dari Pasal 10 UU PSK, justri semakin menambah panjang permasalahan. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai definisi whitleblower yang berbeda dengan hukum asalnya, sehingga pengaturan melalui SEMA No. 4/2011 justru semakin menampakkan kejanggalan dalam pola pikir hukum nya.

You might also like