You are on page 1of 23

Jika kita melihat fenomena yang terjadi saat ini, secara jelas kita lihat terjadi pembajakan Software

dimana-mana, dan salah satu dari jenis Software yang mengalami pembajakan tersebut adalah Software yang berbasis Close Source (Sumber Tertutup) dan memiliki lisensi resmi, dilindungi oleh Undang-Undang dan tidak bisa digunakan secara bebas dan gratis karena pembuat atau penyedia Software berbasis Close Source ini berorientasi dengan tujuan komersil, sehingga tidak semua orang bisa mengakses Software tersebut, dan kadang jika kita mau memiliki dan mengakses Software yang berbasis Close Source ini, tidak jarang kita harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan lisensi penggunaan Software ini. Akan tetapi, karena perkembangan teknologi yang semakin pesat, serta sangat mudah diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun sehingga banyak terjadi penyelewengan seperti pembajakan tersebut, ini dikarenakan semakin tingginya kebutuhan akan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak diimbangi kesejahteraan ekonomi yang merata di seluruh kalangan masyarakat, sehingga fenomena pembajakan ini marak terjadi dimana-mana. Dan Software yang sifatnya Close Source dan memiliki lisensi resmi dan dilindungi oleh Undang-Undang sekalipun tidak luput dari pembajakan dan pembajakannnya pun banyak terjadi dimana-mana. Pembajakan yang dilakukan oleh orang-perorangan, kelompok atau sebuah komunitas yang dalam istilah dalam dunia Cyber disebut juga dengan Hacker yang melakukan pembajakan dengan menggunakan program yang biasa disebut dengan Patch, Crack,dan Keygen yang diciptakan untuk membajak sebuah Software yang bersifat Close Source dan berlisensi agar bisa digunakan secara penuh dan kadang melebihi batas standar penggunaan Software yang telah dirancang dan diatur

sedemikian rupa, akan tetapi dengan diciptakannya Patch, Crack, dan Keygen ini maka sebuah Software yang bersifat mulanya bersifat Close Source tersebut dapat diutak atik kembali sesuai dengan keinginan Si Hacker atau pengguna lain itu sendiri. Open Source Software yang juga merupakan sebuah hasil kekayaan intelektual juga patut mendapatkan perlindungan hukum layaknya Close Source Software yang memiliki lisensi resmi akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya dalam hal perlindungan dalam lingkup kekayaan intelektual. Close source Software sangat jelas perlindungannya karena telah memiliki ijin resmi dalam menciptakan, membuat, membatasi pengguna, bahkan untuk mengkomersilkan Software yang telah dibuatnya. Sedangkan Open Source Software yang memiliki sumber terbuka dan sangat mudah diakses, dikembangkan, dimodifikasi ataupun disempurnakan tersebut ini sifatnya masih mengambang karena di satu sisi Pencipta atau Pembuat Open Source Software memberikan Source Code dari sebuah Software agar bisa dikembangkan, dimodifikasi, ataupun disempurnakan, tetapi di sisi lain kita ketahui Open Source Software merupakan hasil dan bagian dari sebuah kekayaan intelektual yang patut untuk dihargai dan mendapatkan perlindungan hukum di dalamnya. Berdasarkan fenomena dan uraian di atas maka

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 1418). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri[2]. Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah

Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat

merendahkan

nilai-nilai keagamaan, dapat menimbulkan

ataupun gangguan

menimbulkan atau bahaya

masalah kesukuan atau ras, terhadap pertahanan

keamanan negara,

bertentangan

dengan norma kesusilaanumum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)[2]. ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta. Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau

perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

A. Hak Kekayaan Intelektual 1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Sebagai manusia yang diberi akal pikiran, maka sewajarnya jika masingmasing dari kita memiliki kemampuan baik dalam menciptakan, mengembangkan kreasi-kreasi, melakukan inovasi serta penyempurnaan dari sebuah karya hasil dari buah akal pikiran manusia itu sendiri, jadi sebuah karya yang menjadi hasil pemikiran dan buah tangan tersebut memiliki ciri khas yang bersifat identik dengan pembuat dan pencipta yang menghasilkan sebuah karya melalui kreasi-kreasi yang dibuatnya, dimana karya hasil pikiran dan buah tangan manusia tersebut merupakan contoh sebuah Kekayaan Intelektual yang setiap manusia berhak atas segala karya yang telah ia ciptakan dan ia kembangkan tersebut. Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat HKI atau akronim HaKI adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Inggris dan Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia, Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan

Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.1 Jika kita melihat dari segi substantif, HKI dapat di deskripsikan sebagai Hak atas Kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. HKI dikategorikan sebagai Hak Kekayaan mengingat dari Kekayaan intelektual tersebut melahirkan karya-karya intelektual berupa pengetahuan, seni, sastra, teknologi yang dalam mewujudkannya membutuhkan pengorbanan tenaga, biaya, waktu, dan pikiran. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya intelektual menjadi bernilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karyakarya intelektual tersebut.2 Hal tersebut di atas didukung oleh teori HKI yang sangat di pengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang Hak Milik, dimana dalam bukunya Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia. 3

1 2

Hadi Setia Tunggal, Tanya Jawab Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI), Harvarindo, 2012, hlm. 1. Budi Agus Riswandi, Hak Cipta di Internet, Aspek Hukum dan Permasalahannya, F.H.UII press, Yogyakarta, 2004, hlm.31. 3 Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi. UIR Press. 2010, hlm 7.

Benda tersebut diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan objek hak milik. Sebagai benda, sifat-sifat hak kebendaan melekat juga pada HKI, dimana salah satu sifat kebendaan tersebut adalah dapat dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan HKI mengacu pada pengalihan benda bergerak, yaitu dapat dilakukan secara langsung (hand to hand), tanpa melalui proses balik nama. HKI dapat dialihkan melalui juan beli, pewarisan, hibah, atau perjanjian. Salah satu jenis perjanjian untuk mengalihkan HKI adalah perjanjian lisensi. Lisensi diartikan sebagai salah satu bentuk pemberian izin untuk memanfaatkan HKI milik pihak lain melalui pembayaran royalti.

2. Sejarah Perkembangan Hak Kekayaan Intelektual Secara historis, Undang-Undang mengenai HKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah Paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai Paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai Undang-Undang Paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah Paten, Merek Dagang dan Desain. Kemudian Berne Convention 1886

untuk masalah Copyright atau Hak Cipta. Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HKI anggota PBB. Sebagai tambahan pada tahun 2001 World Intellectual Property Organization (WIPO) telah menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia. Setiap tahun, negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia

menyelenggarakan beragam kegiatan dalam rangka memeriahkan Hari HKI Sedunia Sejak ditandatanganinya persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan atau General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya melalui Undangundang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lampiran yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI) adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang merupakan jaminan bagi keberhasilan diselenggarakannya hubungan perdagangan antar Negara secara jujur dan adil, karena : a) TRIPs menitikberatkan kepada norma dan standard b) Sifat persetujuan dalam TRIPs adalah Full Complience atau ketaatan yang bersifat memaksa tanpa reservation

c) TRIPs memuat ketentuan penegakan hukum yang sangat ketat dengan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti dengan sanksi yang bersifat retributif. Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).

Secara historis, Peraturan Perundang-Undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undangundang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan Undang-Undang Merek tahun 1885, Undangundang Paten tahun 1910, dan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua Peraturan Perundang-Undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, seluruh Peraturan Perundang-Undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. UndangUndang Hak Cipta dan Undang-Undang Merek tetap berlaku, namun tidak demikian

halnya dengan Undang-Undang Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda

Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat Peraturan Nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.

Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti Undang-Undang Merek Kolonial Belanda. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan Undang-Undang Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.

10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris yang dikenal dengan Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.

Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan Undang-Undang Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan Undang-Undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.

19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan PerundangUndangan, Departemen Kehakiman.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi

Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. Undang-Undang Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.

28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Merek tahun 1961.

Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).

Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundangundangan di bidang HKI, yaitu Undang-Undang Hak Cipta 1987 jo. Undang-Undang No. 6 tahun 1982, Undang-Undang Paten No. 6 Tahun 1989 dan Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992.

Akhir tahun 2000, disahkan tiga Undang-Undang baru dibidang HKI yaitu : UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004, Undang-Undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UndangUndang No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002, disahkan Undang-

Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan Undang-Undang yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di keluarkannya Undang-Undang tersebut.

3. Ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual

Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1) Hak Cipta (Copyrights), yang diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah yang diantaranya diantaranya:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta ditetapkan Tanggal 5 April 1989.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 tentang Penterjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan

Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ditetapkan Tanggal 14 Januari 1989. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta ditetapkan Tanggal 6 Maret 1986.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik (Optical Disc) ditetapkan Tanggal 5 Oktober 2004.

2) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup :

Paten (Patent), yang pengaturannya tercantum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 serta Peraturan Pemerintah yang diantaranya:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Paten ditetapkan Tanggal 29 Agustus 1995.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1993 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten ditetapkan Tanggal 22 Februari 1993 .

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1991 tentang Pendaftaran Khusus Konsultan Paten ditetapkan Tanggal 11 Juni 1991 .

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah ditetapkan Tanggal 5 Oktober 2004.

Merek (Trademark), yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah yang diantaranya:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek ditetapkan Tangga1 29 Agustus 1995.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993.

Perlindungan Varietas Tanaman (Plant Variety Protection), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah yang diantaranya:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran dan Penggunaan Varietas Turunan Esensial;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan Penggunaan Varietas yang Dilindungi oleh Pemerintah

Rahasia dagang (Trade secret), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000

Desain Industri (Industrial Design), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri ditetapkan Tanggal 4 Januari 2005.

Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2006 tentang Tata Cara Permohonan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

4. Teori Hukum Perlindungan HKI Menurut Sherwood, terdapat lima teori dasar perlindungan HKI yang diantaranya: 1) Reward Theory Reward Theory memiliki makna yang sangat mendalam, yaitu pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh penemu, pencipta, atau pendesain, sehingga ia harus diberi penghargaan sebagai imbangan atas upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya

intelektualnya.

2) Recovery theory Dalam Recovery Theory, dinyatakan bahwa penemu, pencipta, atau pendesain, yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga untuk menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya.

3) Incentive theory

Dalam Incentive Theory dikaitkan antara pengembangan kreatifitas dengan memberikan insentif kepada para penemu, pencipta, atau pendesain. Berdasarkan teori ini, insentif perlu diberikan untuk

mengupayakan terpacunya kegiatan penelitian yang berguna.

4) Risk Theory Dalam Risk Theory dinyatakan bahwa karya mengandung risiko HKI yang merupakan hasil penelitian dan mengandung risiko yang memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya. Dengan demikian, adalah wajar memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung risiko tersebut.

5) Economic Growth Stimulus Theory Dalam Economic Growth Stimulus Theory diakui bahwa perlindungan atas HKI merupakan alat pembangun ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan atau HKI yang efektif.

Hak terkait atau neighboring rights pada Negara common law pada umumnya diatur bersamaan dengan hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta. Namun, di Negara civil law seperti Perancis dan Jerman, Hak Terkait dianggap sebagai hak yang ada diluar Undang-Undang Hak Cipta dan diatur secara sui generis (berdiri dengan sendirinya). Sedangkan di Indonesia,

TRIPs tidak secara defenitif menetapkan Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta, kecuali program komputer (Article 10(1)) dan kompilasi data (Article 10(2)). Mengacu pada Berne Convention Article 2 (1) sampai 8 menetapkan: Article 2 (1): the expression literary and artistic works shall include every production...; Article 2 (3): translaltion, adaptation arrangements of music and other alteration of literary and artistic works; Article 2 (5): Collections of literary or artistic works such as encyclopedias and analogies which by reason of the selection and arrangements of their contents... Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta tidak terbatas pada apa yang ditentukan dalam Article 2 Berne Convention yang pada dasarnya terdiri dari: Ciptaan asli (original works) dan Ciptaan turunannya (derivative) dari bidang Ciptaan sastra (literary), ilmu pengetahuan (scientific) dan Ciptaan seni (artistic) apapun media ekspresi yang digunakan. Namun Negara juga diberikan kebebasan untuk menentukan di dalam peraturan perundang-undangannya bahwa Ciptaan secara umum atau dengan kategori tertentu tidak diberikan perlindungan sampai Ciptaan tersebut diwujudkan dalam bentuk material. Negara juga diberikan kebebasan untuk memperluas penerapan perlindungan bagi Ciptaan seni terapan, desain dan model, paling tidak dilindungi sebagai Ciptaan artistik. Hal ini penting untuk mengisi kekosongan hukum, misalnya bila suatu Negara belum memiliki Undang-Undang mengenai Desain Industri, maka perlindungan dapat diberikan melalui Hak Cipta.

Konsep

hak

cipta

di Indonesia merupakan Inggris (secara

terjemahan artinya

dari "hak

konsep copyright dalam bahasa

harafiah

salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin. Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum. Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negaranegara berdaulat. Dalam konvensi ini,copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk

mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan Hak Eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara

eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.

Istilah pengarang (Author Right) berkembang dari daratan Eropa yang menganut sistem Civil Law, sedangkan istilah Hak Cipta (Copyright) bermula dari negara yang menganut sistem Common Law. Pengertian Hak Cipta asal mulanya hanya menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta. Istilah Hak Cipta (Copyright) tidak jelas siapa yang pertama kali memakainya, tidak ada satupun perundang-undangan yang secara jelas menggunakannya pertama kali. Menurut Stanley Rubenstein, sekitar tahun 1740 tercatat pertama kali orang menggunakan istilah Copyright. Di Inggris pemakaian istilah Hak Cipta

Hak Cipta (lambang internasional )

adalah Hak Eksklusif Pencipta atau

Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak Cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu pemberitahuan Hak Cipta (Copyright Notice).. Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ), atau kata "copyright", yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang Hak Cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan Hak Ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan Hak Cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta. Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu. Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni, karya cipta, atau ciptaan. Ciptaan tersebut dapa mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karyakarya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi (dalam yurisdiksi tertentu), serta desain industri.

You might also like