You are on page 1of 16

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian masalah akad dalam asuransi syariah termasuk salah satu tema
yang penting untuk di bahas dan di teliti. Karena setiap transaksi dalam islam
harus berdasarkan akad yang telah ditentukan sebelum terjadinya transaksi.
Suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua
atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri.
Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya
tersembunyi dalam hati.
Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus
diungkapkan dalam suatu pernyataan atau akad. Pernyataan pihak-pihak yang
berakad itu disebut Ijab dan Qabul. Sedangkan premi adalah kewajiban peserta
untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.

B. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan mengenai Akad Dan Premi Dalam
Asuransi Syariah,yang meliputi :
A. Aqad (akad) Dalam Asuransi Syariah
B. Akad Dalam Asuransi Konvensional
C. Pedoman Umum Asuransi Syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN
Akad Dan Premi Dalam Asuransi Syariah
A. Aqad (akad) Dalam Asuransi Syariah
1. Pengertian Akad dan Aqad (akad) Dalam Asuransi Syariah
Lafal akad, berasal dari lafal Arab Al-Aqd yang berarti perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan Al-Ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad
didefinisikan dengan:
Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada
obyek perikataan.
1

Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya
adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara. Misalnya,
kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain.
2

Sedangkan pencantuman kalimat berpengaruh pada obyek perikatan
maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang
melakukan Ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan Qabul). Dalam
teori hukum kontrak secara syariah (Nazarriyati Al-`Uqud), setiap terjadi
transaksi, maka akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
3


1
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life And general): Konsep Dan Sistem
Operasional, Cet-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal.38
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Media Pratama, 2000), hal. 97
3
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life And general), hal. 39
3
1. Kontraknya sah,
2. Kontraknya fasad, dan
3. Aqadnya batal.
Untuk melihat kontrak itu jatuhnya kemana, maka perlu diperhatikan
instrumen mana dari aqad yang dipakai dan bagaimana aplikasikasinya.
Az-Zarqa menyatakan bahwa dalam pandangan syara suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak
yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau
keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam
hati.
Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus
diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu
disebut Ijab dan Qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan
oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginannya secara pasti untuk
mengikatkan diri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab
yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri.
4

Atas dasar ini, lanjut Az-Zarqa, setiap pernyataan pertama yang
dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikatkan diri dalam suatu
akad disebut Mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang
diungkapkan pihak lain setelah Ijab disebut Qabil (pelaku Qabul); tanpa
membedakan antara pihak mana yang memulai pernyataan pertama itu.

4
Ibid, hal. 39
4
Misalnya dalam akad jual beli, jika pernyataan untuk melakukan jual
beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut dengan Mujib sedangkan
pembeli disebut dengan Qabil. Pernyataan ijab tidak selalu datangnya dari
pembeli, melainkan boleh juga dari penjual. Apabila ijab dan qabul telah
memenuhi syarat-syaratnya, sesuai dengan ketentuan syara, maka terjadilah
perikatan antara pihak-pihak yang melakukan ijab dan qabul dan muncullah
segala akibat hukum dari akad yang disepakati itu.
Dalam kasus jual beli, misalnya, akibatnya adalah berpindahnya
pemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual berhak menerima
harga barang. Dalam akad ar-rahn (jaminan utang), misalnya, pihak penerima
jaminan berhak untuk menguasai barang jaminan (Al-Marhun) sebagai jaminan
utang dan pihaknya yang menjamin barang (Al-Rahin) berkewajiban melunasi
utangnya. Ijab dan qabul ini, dalam istilah fiqh disebut juga dengan Shighat Al-
Aqd (ungkapan/pernyataan akad)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam
kitabnya yang terkenal Majmu` Fatawa

mengatakan: Akad dalam Islam
dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan.
Sebab pada asalnya harta seseorang muslim lain itu tidak halal, kecuali jika
dipindahkan haknya dengan kesukaan hatinya (kerelaan). Akan tetapi hatinya
tidak akan suka, kecuali apabila ia berikan miliknya itu dengan kerelaan bukan
terpaksa, dengan ketulusan bukan karena tertipu atau terkecoh.
5


5
Ibid, hal. 40
5
Keadilan itu diantaranya ada yang jelas dapat diketahui oleh setiap
orang dengan akalnya, seperti halnya pembeli wajib menyerahkan harga dan
penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli secara jelas, dan
dilarang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, wajib jujur dan
berterus terang, haram berbuat bohong dan berkhianat, dan bahwa hutang itu
mesti dibalas dengan melunasinya dan mengucapkan pujian.


Untuk maksud itu maka akad-akad dalam mu`amalah sangat luas
sampai mencakup segala apa saja yang dapat merealisir kemaslahatan-
kemaslahatan. Sebab mu`amalah pada dasarnya adalah boleh dan tidak
terlarang, dan kaidah-kaidahnya memberi kemungkinan mengadakan macam-
macam akad baru yang dapat merealisir pola-pola mu`amalah baru pula. Hal
inilah yang merupakan kemudahan, keluasan dan keuniversalan ajaran Islam.
Namun demikian kejelasan akad dalam praktek muamalah penting dan
menjadi prinsip karena akan menentukan sah tidaknya mu`amalat tersebut
secara syar`i. Apakah akad yang dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad
As-Salam (meminjamkan barang), akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah
(pengelolaan tanah dan bagi hasil), akad Ijarah (sewa), Mudharabah, Wakalah
dan seterusnya.
6

Demikian pula halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan dan
peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (Aqd Tabaduli) atau akad tolong-
menolong (Aqd Takafuli) atau akad lainnya seperti yang disebutkan diatas.


6
Ibid, hal. 40
6
B. Akad Dalam Asuransi Konvensional
Dalam asuransi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan
dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional akad yang melandasinya
semacam akad jual beli (Aqd Tabaduli). Karena akadnya adalah akad jual beli,
maka syarat-syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar
ketentuan-ketentuan syariah. Syarat-syarat dalam transaksi jual beli adalah
adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga dan akadnya.
7

Pada asuransi konvensional, penjual, pembeli, barang yang
diperjualbelikan atau yang akan diperoleh serta ijab kabul (akad) jelas, akan
tetapi yang menjadi masalah adalah harganya (berapa besar premi yang akan
dibayar) kepada perusahaan asuransi.
Padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi
pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan yang diperjanjikan ini jelas,
akan tetapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi tidak jelas, tergantung usia
kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Firman Allah SWT:
.4` == }g` O4:1G`
) p^O)) *.-
Artinya:
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah (At-Taghabun:11)
Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun
suatu akad. Jumhur ulama fiqh menyatakan rukun akad terdiri atas:
8


7
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 12, hal. 15
8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hal. 99
7
1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (Shighat Al-Aqd)
2. Pihak-pihak yang berakad (Al-Mutaaqidain)
3. Obyek akad (Al-Maqud Alaih)
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu
Shighat Al-Aqd (ijab dan qabul), sedangkan pihak-pihak yang berakad dan
obyek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad, tetapi termasuk
syarat-syarat akad, karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah
suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang
berakad dan obyek akad berada diluar esensi akad.
Shighat al-aqd merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui
pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. Shighat
al-aqd ini diwujudkan melalui ijab dan qabul. Dalam kaitannya dengan ijab
dan qabul ini, para lama fiqh mensyaratkan:
9

1 Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad, yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri
berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
2 Antara ijab dan qabul itu terdapat kesesuaian
3 Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-
masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu.
Ijab dan qabul ini bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan, dan
isyarat. Dalam akad jual beli, misalnya, pernyataan ijab diungkapkan dengan
perkataan saya jual buku ini dengan harga Rp. 10.000, dan pihak lainnya
menyatakan qabul dengan perkataan saya beli buku ini dengan harga Rp.
10.000. Pernyataan ijab dan qabul melalui tulisan juga demikian, dan harus
memenuhi ketiga syarat yang dikemukakan di atas.

9
Ibid, hal. 100
8
Dalam pernyataan kehendak untuk melakukan suatu akad melalui
tulisan ini, para ulama membuat suatu kaidah fiqh yang menyatakan bahwa:
Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan. Artinya, pernyataan yang jelas
yang dituangkan dalam bentuk tulisan, kekuatan hukumnya sama dengan
ungkapan langsung melalui lisan.
Dalam buku Panduan Syarikat Takaful Malaysia , dijelaskan tentang
rukun akad:
10

1 Aqid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan Aqd (misalnya Takaful dan
peserta),
2 Ma`kud `alaihi yaitu sesuatu yang diakadkan atasnya (barang dan
bayaran), dan
3 Sighat (ijab dan kabul). Ma`kud `alaihi dalam asuransi konvensional
oleh ulama dianggap masih gharar, karena akad yang melandasinya
adalah aqdun muawadotun maliyatun (kontrak pertukaran harta
benda) atau aqd tabaduli (akad jual beli).
Sementara itu pada asuransi syariah, akad yang melandasinya bukan
akad jual beli (aqd tabaduli), atau akad mu`awadhah sebagaimana halnya pada
asuransi konvensional, tetapi akad tolong menolong (Aqd takafuli), dengan
menciptakan instrumen baru untuk menyalurkan dana kebajikan melalui akad
tabarru` (hibah).



10
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life And general),hal. 42
9
C. Pedoman Umum Asuransi Syariah
Majelis Ulama Indonesia, melalui Dewan Syariah Nasional,
mengeluarkan fatwa khusus tentang: Pedoman Umum Asuransi Syariah
sebagai berikut:
11

Pertama: Ketentuan Umum
A. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling
melindung dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
B. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba
(bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan
maksiat.
C. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersil.
D. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
E. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
F. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad

11
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah
10
Kedua: Akad Dalam Asuransi
A. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas
akad tijarah dan atau akad tabarru`.
B. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah,
sedangkan akad tabarru` adalah hibah.
C. Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan:
Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
Cara dan waktu pembayaran premi
Jenis akad tijarah dan atau akad tabarru` serta syarat-syarat
yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakad.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
A. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal
(pemegang polis).
B. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah
Keempat: Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru`
A. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila
pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya
sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan
kewajibannya
B. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah
11
Kelima: Jenis Asuransi dan Akadnya
A. Dipandang dari segi jenis, asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian
dan asuransi jiwa
B. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah
mudharabah dan hibah
Keenam: Premi
A. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad
tabarru`
B. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi dapat
menggunakan rujukan table mortalita untuk asuransi jiwa dan table
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukan unsur riba dalam perhitungannya.
Fatwa tersebut diatas, sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan
asuransi syariah di Indonesia terutama menyangkut bagaimana akad-akad
dalam bisnis asuransi syariah dan ketentuan lain yang terkait dengannya.
Pada suatu kesempatan, kami diskusi dengan Doktor Jafril Khalil dalam kaitan
Fatwa DSN-MUI diatas, beliau pakar asuransi syariah yang kebetulan disertasi
doktornya tentang akad-akad asuransi. Kami berkesimpulan bahwa akad-akad
dalam asuransi syariah tidak hanya sebatas pada akad Tabarru` dan
mudharabah saja, akan tetapi beberapa akad-akad tijarah lainya yang ada dalam
fiqh Islam, seperti misalnya al-musyarakah, al-wakalah, al-wadiah, asy-
Syirkah, Al-Musamahah, dan sebagainya dibenarkan oleh syara` untuk
digunakan dalam asuransi syariah.
M.M. Billah, dalam kaitan dengan akad-akad dalam asuransi syariah,
lebih cenderung tidak menggunakan istilah tabarru`, tapi menggunakan istilah
al-musahamah (contribution/kontribusi). Hal ini mungkin sebagai solusi dari
12
perdebatan bahwa dalam akad tabarru` tidak boleh ada pengembalian lagi
(mudharabah). Karena premi (tabarru`) sudah diikhlaskan dan hanya
mengharapkan ridha Allah swt.
Sementara dalam prakteknya pada asuransi syariah saat ini., terutama
pada term insurance (life) dan pada seluruh produk general insurance terdapat
yang disebut mudharabah, yang diberikan kepada nasabah apabila tidak terjadi
klaim. Disini terjadi kerancuan karena disatu sisi dikatakan bahwa pada akad
tabarru` tidak mengharapkan pengembalian kecuali pahala dari Allah, tapi
dalam prakteknya nasabah mendapat pengembalian berupa mudharabah (bagi
hasil) jika tidak terjadi klaim.
Berdasarkan hukum Islam untuk membuat polis takaful (asuransi
syariah) harus ada subyek pokok yang beresiko, yang mana atas subyek pokok
tersebut, dua pihak (pengelola dan peserta) harus menyetujui proposal (ijab)
dan persetujuan (qabul) yang mana kedua pihak setuju untuk berbagi tanggung
jawab dalam menyediakan jaminan materi yang memadai terhadap resiko yang
nyata tapi tidak terduga atas subyek pokok.
Dengan kata lain ketentuan dalam polis takaful (asuransi syariah)
adalah proposal (ijab), penerimaan (qabul), penerbitan cover note (dokumen
sementara untuk polis yang disediakan pengelola bagi peserta) dan pembayaran
takaful kontribusi (Al-Musahamah).
Al Zuhaili juga dalam kitabnya menjelaskan tentang Syarikat al-
Musahamah. Syarikat Al Musahamah kata syaikh al-Zuhaili adalah merupakan
salah satu jenis syarikat harta (syarikah al amwal) yang penting. Modal syarikat
13
ini adalah terdiri dari modal-modal kecil yang jumlahnya banyak, dan dimana
setiap bagian tersebut disebut saham.
Agus Haryadi memberi ilustrasi tentang konsep al-musahamah seperti
ketika kita ingin main bola, kemudian masing-masing iuran atau kontribusi
sesuai kemampuan yang dimiliki untuk keperluan bersama yaitu beli bola.
Kemudian bola terbelih dan dipakailah bersama. Setelah permainan selesai
kemudian bola tadi diberikan kepada seorang diantaranya untuk dibawa
pulang. Demikian seterusnya kadang bola tersebut dipakai lagi bersama.
Konsep akad Al-Musamahah seperti ini lebih mirip dengan konsep
asuransi yang sementara ini banyak dipakai oleh asuransi syariah yang ada di
beberapa negara termasuk di Indonesia. Dengan melandaskan diri pada prinsip
takafuli, asuransi syariah (terutama untuk asuransi jiwa) menerapkan dua
bentuk akad diawal penerimaan premi, yakni akad tabungan investasi dan akad
kontribusi. Akad tabungan investasi berdasarkan prinsip al-mudharabah
sementara kontribusi berdasarkan prinsip hibah.
Hibah ini dilakukan secara berjamaah dan mengandung efek saling
menanggung. Besarnya hibah sekitar 5% dari total premi, selebihnya (95%)
akan masuk ke dalam tabungan investasi nasabah. Perusahaan asuransi syariah
akan menempatkan dana tabungan dan kontribusi tadi pada proyek-proyek
investasi yang halal dan menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
Lafal akad, berasal dari lafal Arab Al-Aqd yang berarti perikatan,
perjanjian, dan pemufakatan Al-Ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad
didefinisikan dengan: Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada obyek perikataan.
Akad dalam praktek muamalah penting dan menjadi prinsip karena
akan menentukan sah tidaknya mu`amalat tersebut secara syar`i. Apakah akad
yang dipakai adalah akad jual-beli (tabaduli), akad As-Salam (meminjamkan
barang), akad Syirkah (kerjasama), akad Muzara`ah (pengelolaan tanah dan
bagi hasil), akad Ijarah (sewa), Mudharabah, Wakalah dan seterusnya.
Dalam asuransi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan
dalam masalah akad. Pada asuransi konvensional akad yang melandasinya
semacam akad jual beli (Aqd Tabaduli). Karena akadnya adalah akad jual beli,
maka syarat-syarat dalam akad tersebut harus terpenuhi dan tidak melanggar
ketentuan-ketentuan syariah. Syarat-syarat dalam transaksi jual beli adalah
adanya penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga dan akadnya.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun
suatu akad. Jumhur ulama fiqh menyatakan rukun akad terdiri atas:


1 Pernyataan untuk mengikatkan diri (Shighat Al-Aqd)
2 Pihak-pihak yang berakad (Al-Mutaaqidain)
3 Obyek akad (Al-Maqud Alaih)
Adapun Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut:


1. Asuransi Syariah (Ta`min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling
melindung dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru` yang memberikan pola
15
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada poin (1) adalah
yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba
(bunga), zulmu (Penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan
maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersil.
4. Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersil.
5. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad






DAFTAR PUSTAKA

16
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life And general): Konsep Dan
Sistem Operasional, Cet-1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan,
(Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999)
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Media Pratama, 2000)
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid 12
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah

You might also like