You are on page 1of 6

Rekonstruksi Interkonektifitas Maharah dalam Pembelajaran Bahasa Arab Bagi Tingkatan al Mubtadi (Madrasah Ibtidaiyah)

Posted: Juli 13, 2011 in Semua Tentang Tarbiyah

0
A. Pendahuluan

1.

1.

Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai problematika pembelajaran bahasa Arab, tentu tidak akan habisnya. Karena selama pembelajaran itu berlangsung, dan selama manusia masih mengajarkan dan mempelajari bahasa Arab, maka selama itu pula problematika-problematika baru dan anomali[2]pembelajaran akan muncul. Langkah selanjutnya, tergantung kepada yang mengalami[3] dan yang mengamati[4], apakah mereka akan mencari dan menerapkan solusi yang telah didapat, ataukah hanya berdiam diri menunggu keajaiban, karena memang bahasa Arab mempunyai nilai lebih dibanding bahasa lain di bumi[5]. Pembelajaran bahasa Arab[6], dalam hal ini adalah terkonteks di Indonesia sudah dimulai sejak tingkatan mutaqaddim(Madrasah Ibtidaiyah) yang kebanyakan madrasah memulai pembelajarannya dari kelas 4 Ibtidaiyah[7]. Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan di tingkat wustha (Madrasah Tsanawiyah). Berbagai kendala dan permasalahan muncul dalam pembelajaran di kedua tingkatan ini. Namun tragisnya, para fasilitator[8] dan supervisor[9] jarang sekali memperhatikannya. Karena permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang wajar, sesuatu yang lumrah. Karena memang pada tingkatan ini, para peserta didik belum lama mempelajari bahasa Arab. Lain halnya, apabila permasalahan itu muncul di tinkatan ulya (Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi), para pengajar akan merasakan langsung masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa Arab ini. Masalah tersebut tidak dapat dianggap sebagai angin lalu saja, tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar seperti yang telah terjadi di tingkatanmutaqaddim dan wustha sebelumnya. Terasa kekecewaan dan kegelisahan yang dirasakan oleh para pengajar dan dosen bahasa Arab. Namun, kekecewaan itu tidak diimbangi dengan adanya usaha pencarian solusi atas permasalahan tersebut. Bahkan, dapat dikatakan bahwa permasalahan tersebut kelihatan dibiarkan saja. Maka, hasilnya akan sama, masalah tidak terpecahkan, dan nantinya, akan menjadi sesuatu yang lazim terjadi seperti halnya di dua tingkatan sebelumnya[10]. Menghadapi permasalahan, merupakan sesuatu yang pasti adanya, sesuatu yang memang wajib ada di kehidupan ini. Seperti halnya permasalahan pembelajaran bahasa Arab yang telah penulis utarakan sebelumnya. Lalu, merujuk pada latar belakang permasalahan yang ada, di dalam makalah ini akan mencoba memberikan salah satu alternatif solusi yang dapat diaplikasikan guna memecahkan permasalahan, yaitu rekonstruksi interkonektifitas maharah dalam pembelajaran bahasa Arab bagi tingkat al Mutaqaddim (Madrasah Ibtidaiyah).

1.

2.

Rumusan Masalah

Selaras dengan latar belakang masalah di atas, maka spesifikasi permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. 2. 3.

a. b. c.

Apa yang dimaksud dengan prinsip interkonektifitas dalam pengembangan pembelajaran bahasa Arab? Bagaimana kondisi para peserta mutaqaddim dalam pembelajaran bahasa Arab yang menganut madzhab klasik[11]? Mengapa rekonstruksi interkonektifitas maharah dalam pembelajaran bahasa Arab bagi tingkatan al

mutaqaddim perlu dilakukan? Dan bagaimana cara penerapannya? 1. 2. B. 1. Pembahasan Prinsip Interkonektifitas

Prinsip, dalam bahasa Arab adalah , pondasi, dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prinsip berarti kebenaran yg menjadi pokok dasar berpikir, bertindak. Sedangkan interkonektifitas adalah frasa[12] yang terdiri dari 2 kata, inter dan konektifitas. Kedua kata tersebut berakar dari bahasa Inggris, inter dan connectivity. Kata inter berarti dalam, sedangkan kata konektifitas berarti hubungan. Jika kedua kata digabung, mempunyai makna hubungan antara satu dengan yang lain. Dalam konteks kurikulum, interkonektifitas dalam pembelajaran merupakan salah satu prinsip yang harus diterapkan. Karena, jika pembelajaran dilaksanakan tanpa menggunakan prinsip tadi, pembelajaran tidak akan ada hubungannya sama sekali dengan pembelajaran selanjutnya. Misalnya dalam pembelajaran bahasa Arab. Pada tingkatan ula, peserta didik dibekali mata pelajaran bahasa Arab dengan metode .]31[ Maka, pada kelas berikutnya pembelajaran bahasa Arab akan berisi penerapan mufradat yang telah diperoleh dalam bentuk kalimat sederhana. Kemudian, pada tingkatan berikutnya, peserta didik akan dibekali dengan grammar yang menjadi aturan standar dalam berbahasa Arab. Dan selanjutnya peserta didik diajari tentang estetika dalam berbahasa Arab. Seperti mata pelajaran balaghah. Lalu, menyoroti latar belakang permasalahan, dan juga realita yang telah terjadi, bukankah pembelajaran bahasa Arab telah menggunakan prinsip interkonektifitas? Akan tetapi mengapa mutu dari pembelajaran bahasa Arab itu juga masih rendah? Bukti yang dapat diajukan adalah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran bahasa Arab rendah, bahkan lebih rendah dari KKM mata pelajaran bahasa Inggris yang notabene keduanya adalah sama-sama bahasa asing. Lalu, hal apa yang melatarbelakangi kesenjangan seperti itu?

Anak-anak merupakan bibit yang harus disemikan dan dikembangkan sesuai dengan bakat dan potensi masingmasing. Bahkan, terdapat sekolah yang sangat mengagungkan bakat dan potensi anak sejak kecil. Sekolah tersebut memberi fasilitas bagi setiap anak yang mempunyai potensi yang berbeda[14]. Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab, terdapat kelucuan. Mengapa fenomena kesulitan pembelajaran bahasa asing pada tingkatan ula ini tidak banyak medapat sorotan dan usaha untuk memperbaikinya? Memang benar, pembelajaran bahasa asing memang berbeda dengan pembelajaran bahasa ibu. Namun, ironis sekali bila permasalahan tinggallah permasalahan, tidak dicarikan solusinya. Padahal, dalam kajian psikologi, anak merupakan bibit emas yang harus disemai. Jika mendapat permasalahan dan kesulitan, harus dicarikan solusinya[15]. Selain dari sudut pandang psikologi, dalam kajian kebahasa-Arab-an, terdapat urut-urutan maharah dalam pembelajaran yang sesuai. Urutan yang benar adalah istima, kalam, qiroah dan yang terakhir adalah kitabah. Mengapa urutan maharah seperti demikian? 1. a. Istima adalah maharah mendengar. Maharah ini dijadikan maharah pertama karena agar peserta didik lebih

mengenal ujaran-ujaran lisan berbahasa Arab dan membiasakannya. Atau bisa juga sebagai sarana untuk memperbanyak mufradat. 2. b. Kalam, adalah praktik dari maharah sebelumnya, istima. Dan juga sebagai pengaplikasian istima dengan cara

merangkai kalimat sederhana dari mufradat yang didengar.

3. 4.

c. d.

Qiroah adalah maharah yang bertujuan mengenali dan membaca tulisan Arab. Kitabah, adalah maharah menulis, pengenalan kaidah-kaidah dalam bahasa Arab, seperti Nahwu dan Sharf[16].

Maka, ketika belajar bahasa Arab bercampur dengan pembelajaran kaidah bahasa Arab, maka peserta didik akan berpikir berkali-kali sebelum mengucapkan kalimat atau ujaran. Karena ia mempunyai tanggungan akademik berupa kebenaran dan kesalahan tarkib bahasa Arab yang telah didapatnya dari mata pelajaran Nahwu. 1. 2. Pembelajaran Bahasa Arab Madzhab Klasik

Sebagaimana yang telah diutarakan oleh pemakalah pada pembahasan sebelumnya, bahwa dalam pembelajaran bahasa Arab, setidaknya terdapat 2 permasalahan:

1.

1.

Kurang perhatiannya para pendidik juga orang tua dalam pembelajaran bahasa Arab, lebih-lebih ketika peserta didik

medapat kesulitan dalam belajar. Mereka menganggapnya itu hal yang lazim terjadi dalam pembelajaran bahasa asing. Karena memang mereka belum belajar banyak bahasa asing tersebut. 2. 2. Kurikulum madzhab klasik yang mencekoki peserta didiknya tentang kaidah-kaidah bahasa dalam usia dini.

Memang benar, ada pendapat dari pakar psikolinguistik yang beraliran kognitivistik, Schank, yang berkata bahwa pembelajaran bahasa pada anak-anak, sebelumnya harus diajarkan kaidah-kaidah bahasa tersebut. Agar anak dapat mengekspresikan konsep yang ada dalam pikirannya. Akan tetapi, sekali lagi, menurut pemakalah, hal itu akan menjadi halangan bagi anak untuk mengekspresikan ujaran-ujaran bahasa Arab. Karena anak merasa tertekan, betul atau salahkah tarkib ujaran dalam pikiranku ini?[17]. Maka, melihat realita di atas, maka kurikulum institusi yang menggunakan muatan local berupa mata pelajaran Nahwu dapat dikaji ulang. Pemakalah tidak mengusulkan agar muatan local tersebut dicabut, akan tetapi lebih setuju jika mata pelajaran tersebut diberikan kepada tingkat wustha.

1.

3.

Membangun Interkonektifitas Maharah dalam Pembelajaran Bahasa Arab

Akan tetapi, bagaimana jika pihak lembaga sekolah tetap saja mempertahankan muatan lokal,Nahwu dan Sharf, tadi dimasukkan dalam kurikulum tingkat mutaqaddim/ ula? Solusi alternatif yang pemakalah ajukan adalah rekonstruksi interkonektifitas maharah bahasa Arab. Rekonstruksi adalah membangun kembali tanpa menghancurkan pondasi bangunan yang ada. Dalam konteks ini, bangunan yang ada ialah kurikulum[18] lembaga pendidikan yang memasukkan muatan lokal kaidah bahasa Arab dalam kurikulum tingkat mutaqaddim. Pengaplikasian rekonstruksi interkonektifitas maharah bahasa Arab ini adalah menghubungkan kembali maharahmaharah yang tercecer dalam setiap mata pelajaran kebahasa-Arab-an. Yaitu ketika mata pelajaran bahasa Arab berlangsung, para pengajar tidak perlu meributkan kaidah-kaidah mereka, apakah benar atau tidak. Karena yang terpenting adalah aplikasi, ,praktik. Karena apabila memikirkan kaidah, maka inspirasi yang ada di dalam pikiran anak akan buntu dan mampat. Selain tanpa memikirkan benar salah dalam kaidah, juga perlu dipertimbangkan lagi adalah urutan maharah tadi, istima,kalam, qiroah kemudian kitabah. Pemakalah tidak meng-kotak-kotakakan maharh, akan tetapi urutan tersebut akan memudahkan peserta didik untuk belajar bahasa Arab. Dan tidak boleh dilupakan, tentu saja metode pembelajaran bahasa Arab haruslah dapat merangsang anak didik untuk selalu mengaplikasikan. 1. C. Kesimpulan

Setelah mengamati realita yang ada, dan pemaparan pemakalah sendiri, kesimpulan yang didapat adalah:

1.

1.

Kurang perhatiannya para pendidik juga orang tua dalam pembelajaran bahasa Arab, lebih-lebih ketika peserta didik

medapat kesulitan dalam belajar. Mereka menganggapnya itu hal yang lazim terjadi dalam pembelajaran bahasa asing. Karena memang mereka belum belajar banyak bahasa asing tersebut. 2. 2. Kurikulum madzhab klasik yang mencekoki peserta didiknya tentang kaidah-kaidah bahasa dalam usia dini.

Memang benar, ada pendapat dari pakar psikolinguistik yang beraliran kognitivistik, Schank, yang berkata bahwa pembelajaran bahasa pada anak-anak, sebelumnya harus diajarkan kaidah-kaidah bahasa tersebut. Agar anak dapat mengekspresikan konsep yang ada dalam pikirannya. 3. 3. Perlunya rekonstruksi interkonektifitas maharah dalam pembelajaran bahasa Arab bagi tingkatan mutaqaddim guna

memperoleh bibit dan output yang handal berbahasa Arab. 1. D. Daftar Pustaka

Mustafa, Saiful, Istratijiyyah Talim al Lughah al Arabiyyah bi al Alab al Lughawiyyah, disampaikan dalam Seminar Internasional Bahasa Arab dengan tema Tantangan Bahasa Arab sebagai Bahasa Multidimensi dalam Pengajaran di Era Global, di STAIN Pekalongan, 11 Desember 2010 Pusat Bahasa Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa: 2008), hlm. 93 Setiawan, Ebta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/

Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, cet.7, Jakarta, PT Rineka Cipta: 1996 Zabidi, Abdullah, Bahasa Arab Jawan, Kembang, t.p.: t.t. http://adab.sunan-ampel.ac.id/?page_id=1064 yang diakses pada tanggal 10 Februari 2011 pada pukul 04.00 WIB

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/prinsip-pengembangangan-kurikulum.html diakses pada tanggal 05 Februari 2011.

[1] Dalam bahasa Indonesia berarti kompetensi. Kompetensi adalah 1 kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu); 2 Ling kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/

Makalah ditujukan guna pemenuhan tugas akhir semester V mata kuliah Metodologi Pengajaran Bahasa Arab yang diampu oleh Bapak Inami Pemakalah adalah mahasiswa semester V program studi Pendidikan Bahasa Arab STAI Mathaliul Falah [2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Anomali adalah ketidaknormalan; penyimpangan dr normal; kelainan. penyimpangan atau kelainan, dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa; penyimpangan dari keseragaman sifat fisik, sering menjadi perhatian ekplorasi (missal anomali waktu-lintas, anomali magnetic, anomali air dan sebagainya). Lihat Pusat Bahasa Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa: 2008), hlm. 93 [3] Yang dimaksud yang mengalami dalam hal ini adalah subyek yang berada di Tempat Kejadian Perkara atau yang berada dalam proses pembelajaran misalnya. Subyek ini dapat berupa guru, sebagai fasilitator dalam pembelajaran, dapat juga berupa peserta didik.

[4] Sedangkan yang mengamati, adalah subyek di luar proses yang berlangsung di dalam TKP tadi. Peneliti, supervisor adalah contohnya. [5] Pencitraan seperti ini merujuk kepada sabda Rasul yang artinya: Cintailah Arab karena tiga hal, karena Aku orang Arab, Quran dalam bahasa Arab, dan bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab [6] Bedakan antara belajar bahasa arab ( ) dan belajar tentang bahasa Arab (.) Belajar bahasa Arab adalah pembelajaran yang lebih ditekankan kepada praktik, bukan kepada kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini lebih dimaksudkan agar para peserta pembelajaran tidak terpaku atau tidak akan terlalu banyak berpikir ketika akan mengutarakan dalam bahasa Arab, karena bukankah . Berbeda dengan belajar tentangbahasa Arab. Yang dimaksud dengan belajar tentang bahasa Arab adalah peserta didik mempelajari elemen-elemen yang terkandung dalam bahasa Arab. Misalnya, bahasa Arab dipandang darisudut kaidah-kaidahnya, ataupun dipandang dari segi linguistik dan budaya yang terkandung di dalamnya. Konteks pembelajaran bahasa Arab dalam makalah ini mencakup dua hal tersebut, belajar bahasa Arab dan belajar tentang bahasa Arab. Karena selain diajarkan belajar bahasa Arab, seperti , ataupun ,peserta didik juga diajari mata pelajaran yang belajar tentang bahasa Arab, yaitu dari segi kaidah, dan .

[7] Hasil survey terhadap beberapa madrasah di daerah sekitar pemakalah, kecamatan Tayu dan sekitar. Akan tetapi, ada juga pembelajaran bahasa Arab yang telah dilaksanakan ketika kelas 3 Ibtidaiyah. [8] Dalam KBK, pemaknaan Pengajar, atau Guru semakin jarang digunakan. Hal ini merujuk pada substansi KBK, yaitu student centered. Jika dahulu asas teacher centered berlaku dengan adanya proses transfer ilmu, maka pembelajaran pada zaman sekarang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik. Itulah sebabnya kata Guru mengalami perluasan makna sebagai Pembimbing, Fasilitator dan bisa juga Pelatih. [9] Salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor, pengawas utama dalam jajaran pengurus di sekolah. [10] http://adab.sunan-ampel.ac.id/?page_id=1064 yang diakses pada tanggal 10 Februari 2011 pada pukul 04.00 WIB [11] Yang dimaksud dengan madzhab klasik adalah metode pembelajaran klasik yang lebih mengutamakan hafalan dan bukan pemahaman. [12] Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yg bersifat nonpredikatif. Misalnya gunung tinggi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ [13] ini diaplikasikan pada pertama kali pembelajaran bahasa Arab dilaksanakan. Pada kelas 3 Ibtidaiyah, terdapat pembelajaran bahasa Arab yang dilakukan dengan metode sajak. Seperti contoh berikut: 2

Penerapan hafalan dengan menggunakan metode sajak merupakan hal yang fantastis, dalam bahasa pemakalah. Karena anakanak dengan mudah menghafalkannya. Lihat, Abdullah Zabidi, Bahasa Arab Jawan, (Kembang, t.p.: t.t.) [14] Sekolah tersebut adalah Qaryah Thayyibah. Lembaga pendidikan ini menerapkan metode seperti itu agar bakat dan potensi anak dapat tergali, ditemukan dan dikembangkkan. .

[15] Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, cet.7, (Jakarta, PT Rineka Cipta: 1996), hlm. 90

[16] Saiful Mustafa, Istratijiyyah Talim al Lughah al Arabiyyah bi al Alab al Lughawiyyah, disampaikan dalam Seminar Internasional Bahasa Arab dengan tema Tantangan Bahasa Arab sebagai Bahasa Multidimensi dalam Pengajaran di Era Global, di STAIN Pekalongan, 11 Desember 2010 [17] Hasil bincang-bincang dengan pengajar mata pelajaran Bahasa Arab di MTs Miftahul Huda Tayu, Ibu Nailul Furhatin, S.Pd.I, pada tanggal 29 Desember 2010. [18] Tujuan kurikulum, dalam arti makro, ditelurkan dari tujuan pendidikan, lalu tujuan pendidikan nasional, kemudian tujuan tingkat satuan pendidikan, yang dalam hal ini terdapat 3 tingkat satuan pendidikan dasar, menengah dan kejuruan yang masing-masing mempunyai tujuan yang khas. Tujuan tingkat satuan pendidikan tersebut kemudian dijabarkan dalam tujuan institusi lalu dijabarkan dalam tujuan kurikuler. Dan yang terakhir dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran. Jadi, pemaknaan kurikulum itu bisa berarti luas dan sempit. Lihat http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/prinsippengembangangan-kurikulum.html diakses pada tanggal 05 Februari 2011.

You might also like