You are on page 1of 228

ISBN 978-979-8461-63-3

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara

Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Bandung, 15 Juli 2009

Editor : Binarko Santoso Pramusanto I.G. Ngurah Ardha Husaini Datin Fatia Umar Darsa Permana Slamet Suprapto Tatang Wahyudi Retno Damayanti Fauzan

D M AN A SUMBERDAY

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA 2009

IN

ER AL

I RG ENE

Hak Cipta / Penerbit

MIRA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman No. 623, Bandung 40211 Telepon : 022 - 6030483, Fax : 022 - 6003373

Penasihat Kepala Badan Litbang ESDM Penanggung Jawab Kepala Puslitbang tekMIRA Panitia Pengarah Kuswandani, Suganal, Edwin Daranin R.M. Nendaryono, Siti Rochani Dewan Redaksi Binarko Santoso Staf Redaksi Doeto Poespojoedo, Umar Antana Bachtiar Efendi, Arie Aryansyah, Hatif Hidayat Moderator Datin Fatia Umar, Miftahul Huda, Edwin Daranin Yenny Sofaety, R.M. Nendaryono, Stefano Munir Notulis Kuswandani, Wiroto, Isyatun Rodliyah Sri Sugiarti, Dedi Yaskuri, Hasniati Artika Nuryadi Saleh

ISBN 978-979-8461-63-3 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

KATA PENGANTAR

Dalam rangka mensosialisasikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menggantikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) telah menyelenggarakan Kolokium Pertambangan 2009 pada tanggal 15 Juli 2009, Kolokium yang bertemakan Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dihadiri oleh para pejabat pemerintah di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha, para peneliti dan pejabat fungsional lainnya, mahasiswa serta masyarakat luas yang terkait dengan pengembangan pertambangan mineral dan batubara. Sebagai lembaga litbang di bidang teknologi mineral dan batubara, Puslitbang tekMIRA diharapkan dapat berperan secara aktif dalam meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana amanat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini diharapkan pula dapat diperoleh masukan dari pelaku industri dan masyarakat pertambangan tentang posisi, peran, dan kontribusi litbang mineral dan batubara dalam menunjang pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Prosiding ini merupakan rangkuman dari seluruh makalah yang dipresentasikan dalam Kolokium, serta diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan mengenai perkembangan pertambangan, penelitian, dan kajian yang berhubungan dengan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Melalui prosiding ini, siapapun dapat melihat sampai sejauhmana para peneliti Indonesia telah berkiprah dalam memajukan sektor pertambangan mineral dan batubara nasional. Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan, perusahan, instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun seluruh pembicara dan peserta, atas pemikiran atau karya-karya terbaiknya, sehingga Prosiding ini memiliki nilai keilmiahan yang baik. Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan dan penerbitan Prosiding ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan dan penerbitan Prosiding di masa yang akan datang.

Bandung, 15 Juli 2009

Tim Penyunting

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA ACARA KOLOKIUM PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA BANDUNG, 15 JULI 2009
Yang kami hormati, Para Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen ESDM atau yang mewakilinya, Para Pejabat Eselon II di Lingkungan Departemen ESDM atau yang mewakilinya, Para Profesor Riset dan Pejabat Fungsional di Lingkungan Badan Litbang ESDM, Undangan dan Hadirin yang Berbahagia Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh, Salam Sejahtera bagi Kita Semua, Selamat Pagi, Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wataalla, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat perkenan-Nya kita dapat menghadiri acara Kolokium yang diselenggarakan oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA). Penyelenggaraan kolokium di Puslitbang tekMIRA dan juga Puslitbang lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, memang sudah menjadi agenda tahunan yang diharapkan dapat menampilkan karya yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, industri, dan masyarakat luas. Perlu dicatat pula, kolokium di lembaga litbang akan menjadi tolok ukur sampai sejauhmana para peneliti dan pejabat fungsional kita lainnya mampu mengembangkan diri dalam upaya berkontribusi bagi kemajuan sektor ESDM di tanah air. Saudara-saudara Sekalian, Kolokium Puslitbang tekMIRA kali ini bertemakan Kontribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saya menilai tema kolokium 2009 ini sebagai bentuk tanggung jawab Puslitbang tekMIRA untuk berperanserta dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang menyangkut isi pasal 95 huruf c tentang kewajiban perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan/atau batubara di dalam negeri, serta pasal 146 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan litbang mineral dan batubara. Kedua pasal tersebut merupakan spirit dan juga momentum yang akan lebih memacu kegiatan litbang mineral dan batubara di tanah air, sekaligus menjadi stimulus bagi Puslitbang tekMIRA agar menghasilkan karya litbang yang lebih baik dan berbobot serta mampu bersaing dengan lembaga litbang sejenis. Peserta Kolokium yang Saya Hormati, Terkait dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang berhubungan dengan pasal 95 huruf c dan pasal 146, saya minta kepada seluruh jajaran di Puslitbang tekMIRA untuk

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ii

melaksanakan beberapa hal berikut ini: Pertama, tingkatkan kualitas sumber daya manusia. Sebagai lembaga litbang, saya yakin Puslitbang tekMIRA memiliki sumber daya manusia (SDM) yang telah mampu melaksanakan penelitian secara profesional, dan dapat bersaing dengan para pakar di dalam negeri maupun di forum internasional. Namun, sebagaimana dialami oleh hampir seluruh instansi pemerintah, Puslitbang tekMIRA juga pasti merasakan kebijakan zero growth yang ditetapkan beberapa tahun yang lalu. Kesenjangan antara senior dengan yunior yang semakin melebar, memerlukan percepatan regenerasi dan transfer of knowledge. Untuk itu, solusi yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan kepada karyawan yunior untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kursus atau pertemuan ilmiah, magang pada perusahaan besar, dan hal-hal lain yang pada intinya dapat sarana untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun keberadaan karyawan yunior ini merupakan modal dasar bagi eksistensi Puslitbang tekMIRA ke depan. Kedua, fokus kepada pemecahan permasalahan yang sedang dan kemungkinan akan dihadapi oleh industri pertambangan mineral dan batubara. Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa lembaga litbang harus menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia yang digelutinya, bukan menara gading yang tidak tersentuh dengan melakukan penelitian sesuai keinginannya sendiri. Persoalannya adalah, apakah Puslitbang tekMIRA akan menjadi leader atau follower dalam industri mineral dan batubara di tanah air? Saya katakan bahwa Puslitbang tekMIRA mesti fokus pada keduanya. Ini berarti, di satu sisi, Puslitbang tekMIRA harus dapat mengatasi permasalahan sebagai langkah penanggulangan, tetapi, di sisi lain, juga harus dapat memprediksi arah kecenderungan yang terjadi sebagai langkah antisipasi agar tidak berada pada kondisi status quo dan melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin atau business as usual. Ketiga, fokus kepada litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sekaligus memperhitungkan keekonomiannya. Dalam beberapa hal, nilai tambah dan keekonomian selalu berjalan beriringan, artinya peningkatan nilai tambah akan mengakibatkan suatu material bernilai lebih tinggi dan menguntungkan. Tetapi tidak selamanya peningkatan nilai tambah akan memberi keuntungan jika dijual ke pasaran. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya kompetitor yang berharga lebih murah, atau daya serap pasar masih kecil dan tidak sebanding dengan biaya produksi. Oleh karena itu, ke depan, Puslitbang tekMIRA harus berani memulai kegiatan litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, tetapi sekaligus menguntungkan jika dilempar ke pasaran. Keempat, tingkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang bernuansa desentralisasi artinya pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berada di pemerintah daerah, mengharuskan kita untuk secara lebih intens menjalin kerja sama dengan mereka. Saya tahu Puslitbang tekMIRA telah lama melakukan hal itu, sehingga tidak terlalu sulit untuk meningkatkannya. Namun perlu saya garis bawahi, kerja sama tersebut harus dapat menghasilkan sesuatu yang tidak saja menguntungkan Puslitbang tekMIRA, tetapi juga bermanfaat bagi pemerintah dan Daerah serta masyarakat pertambangan; tidak saja memberikan kontribusi terhadap kemajuan bidang pertambangan mineral dan batubara, tetapi juga kemakmuran bagi masyarakat. Selain dengan pemerintah daerah, peningkatan kerja sama dengan lembaga litbang lain, baik di dalam maupun di luar negeri, perlu mendapat prioritas utama. Hal ini penting dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan Puslitbang tekMIRA menghadapi tantangan masa kini dan masa depan, serta untuk mengukur di mana posisi Puslitbang tekMIRA berada. Seluruh kerja sama antara Puslitbang tekMIRA dengan pemangku kepentingan sudah seharusnya bersifat saling bermanfaat bagi kedua belah pihak.

iii

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Kelima, optimalkan peralatan yang ada, serta tingkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa. Saya telah menyinggung masalah ini pada acara Sinkronisasi Kegiatan Litbang di Lingkungan Badan Litbang ESDM pada 14-15 April 2009 yang lalu. Saya tidak perlu mengulas lebih dalam, namun satu hal patut diingat bahwa jika keinginan untuk melengkapi dan memutakhirkan dengan sarana dan prasarana penelitian mutakhir tidak terpenuhi bukan berarti kita harus berdiam diri, lalu stagnan. Kita harus berbuat sesuatu, yaitu dengan berupaya meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa pada peralatan teknologi tinggi. Oleh karena itu saya mengajak peneliti Puslitbang tekMIRA dan juga peneliti Puslitbang lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, untuk membuktikan sampai sejauhmana inovasi dan kreativitas Saudara-saudara andaikata sarana peralatan baru tersebut tidak terpenuhi. Keenam, jaga soliditas di lingkungan Puslitbang tekMIRA. Ada ungkapan sederhana yang sudah lama kita kenal dan tahu artinya, yaitu bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Untuk itu, siapapun Saudara, apapun latar belakang pendidikan Saudara, dan di manapun Saudara ditempatkan, jangan pernah merasa yang satu lebih superior daripada yang lain. Berjalanlah dalam koridor Rencana Stratejik yang telah dibuat oleh Saudara-saudara sendiri, lalu bicara dan berbuatlah dengan bahasa yang sama dalam ikatan kesatuan yang kuat. Insya Allah, permasalahan seberat apapun akan menjadi jauh lebih ringan dan tidak sulit untuk dipecahkan. Undangan dan Hadirin Sekalian, Demikian sambutan dan arahan yang dapat saya sampaikan. Harapan saya kepada seluruh jajaran Puslitbang tekMIRA, bahkan seluruh keluarga besar Badan Litbang ESDM, semoga dapat memaknai dan mengimplementasikannya demi tercapainya tujuan kita memajukan sektor ESDM pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Saya berharap Saudara-saudara dapat menyongsong era desentralisasi di bidang pertambangan mineral dan batubara ini dengan optimisme tinggi dan penuh rasa tanggung jawab. Akhirnya dengan tetap memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Kolokium yang bertemakan Kontribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara resmi saya buka. Terima kasih. Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Kepala,

Bambang Dwiyanto

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

iv

KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


BANDUNG, 15 JULI 2009

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ...................... DAFTAR ISI .................................................................................................................................... MAKALAH YANG DIPRESENTASIKAN Presentasi Makalah Paralel I Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ............................. Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur Bambang Yunianto Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam .............................................. Producer Gas dari Batubara Slamet Suprapto dan Nurhadi Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral ....... pada Era Globalisasi Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara ...................................... pada Era Otonomi Daerah Umar Dhani Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari, Propinsi Kalimantan ................... Selatan dengan Menggunakan Klasifayer dan Pemisah Magnetik Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin, ................ Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Bahan Baku Keramik Subari, Enymia dan Sumarsih Presentasi Makalah Paralel II Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia ................................................................ Ijang Suherman Pengembangan Sistem dan Alat Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi ................ Keruntuhan Batuan Atap (Roof Failure) pada Tambang Bawah Tanah Zulfahmi, Hasniati Astika dan Supriatna Mujahidin Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ............................................ Limbah Cair Industri Gula Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk Pencegahan ................................. Air Asam Tambang Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H. Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ..................... Batubara dengan Pembakar Siklon di Beberapa Fasilitas Industri Sumaryono 55 70 1 i ii v

16

23

30

39

48

78

83

90

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit ............................................................................... Husaini Presentasi Makalah Paralel III

97

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan Tailing ....................... 105 Amalgamasi di Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat Secara Sianidasi (Studi Kasus KUD Perintis, Daerah Tonayan Selatan) M. Lutfi dan Retno Damayanti Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon .................... 115 Kalimantan Tengah dengan Electrostatic Separator Pramusanto, Nuryadi Saleh, Yuhelda dan Firiza Yuliana Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ................... 122 Sistem Fluidized Bed Nurhadi dan Slamet Suprapto Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara .................................. 128 Roza Adriany Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data Seismik Refleksi ...................... 134 (Studi Kasus Perairan Bangka Utara) Ediar Usman dan Andri S. Subandrio Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah .................................. 147 Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin Fatia Umar dan Bukin Daulay MAKALAH DIPOSTERKAN Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri Kecil dan .............. 161 Menengah di Pulau Jawa Triswan Suseno dan Tuti Hernawati Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara ................. 168 Slamet Suprapto Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing PT. Freeport Indonesia ........... 175 sebagai Katalis Pencairan Batubara Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono Karakteristik dan Optimalisasi Pembriketan Batubara Hasil Proses ................................ 181 Upgraded Brown Coal Skala Pilot Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ............................ 189 Peringkat Rendah di Indonesia Gandhi Kurnia Hudaya Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi di Kabupaten Merangin, ............... 194 Propinsi Jambi Endang Suryati dan M. Lutfi Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya .............................. 204 sebagai Bahan Bakar Muh Kurniawan, Leni Herlina, Novie Ardhyarini dan Nining Sudini Ningrum Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara .................................................... 209 A.S. nasution, Miftahul Huda, Abdul Haris, Leni herlina dan Nining Sudini Ningrum

vi

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PRESENTASI MAKALAH PARALEL I

PERMASALAHAN PENGELOLAAN POTENSI EMAS DI GUNUNG TUMPANG PITU KECAMATAN PESANGGARAN, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR

Bambang Yunianto Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id

SARI Isu pertambangan terkait pengelolaan potensi dan kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi meliputi isu potensi emas, lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan sector lain, dan isu sosekbud. Berdasarkan penelaahan terhadap ke-empat isu tersebut diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1) melakukan kajian kegiatan pertambangan terkait pemanfaatan lahan sektor lain; 2) mengkaji kembali kegiatan pertambangan emas oleh PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) untuk menampung partisipasi masyarakat dalam pertambangan, perlu dialokasikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang berasal dari wilayah konsesi PT. IMN yang memiliki potensi emas sekunder (alluvial). Kemudian perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha terhadap para penambang rakyat tersebut; 4) dalam menangani persoalan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) atau gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persuasive, agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks; dan 5) sesuai kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, dan PP No. 38 Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan dan energi yang tugasnya mengelola kegiatan pertambangan di daerah. Kata Kunci: isu pertambangan, tambang emas, kesiapan daerah, pengelolaan potensi emas

ABSTRACT The mining issues related to manage the potential and the activity of gold mining in Gunung Tumpang Pitu, District of Pesanggaran, Regency of Banyuwangi include the gold mining, mining environment, interest conflict and the socio-economic-culture. Based on the review toward these issues, it requires the regional readiness to manage the gold potential in the region. The regional readiness includes several activities, namely: 1) to assess the mining activity related to the land use; 2) to reassess the mining activity conducted by PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) to allocate the mining area for the local community in the concession area of the company that contains gold placer. Then, to conduct guidance and monitoring, the mining techniques, environment or the

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

management of the business for the miners; 4) not to apply repressive actions towards illegal mining, but to persuade not to create a bigger problem and complex; and 5) in accordance with the regional autonomy policy, UU 32/2004, UU 33/2004 and PP 38/2007, it is required to set an office of mining and energy in managing mining operation in the region. Keywords: mining issues, gold mine, regional readiness, management of gold potential

1.

PENDAHULUAN

ini mendapat sorotan dari berbagai pihak di Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil survai lapangan, akar permasalahan dari mencuatnya isu pertambangan terkait potensi emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur sebetulnya terletak kepada kesiapan daerah di dalam pengelolaan pertambangan, sebagaimana dipilih sesuai judul tulisan ini. Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pengelolaan potensi emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sesuai peraturan terkait, sebagai bahan masukan bagi daerah dalam mengelola sumber daya tambang yang ada di daerahnya.

Kegiatan survai lapangan pemantauan isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dilakukan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan mengenai isu lingkungan pertambangan tanpa izin (PETI) emas dan isu tumpang-tindih kegiatan PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN) di Pegunungan Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Kegiatan survai lapangan isu lingkungan dan tumpang-tindih pertambangan dengan sektor kehutanan di Pegunungan Tumpang Pitu di atas didasarkan pemberitaan dan informasi di media mass berikut: 1) Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar -Potensi, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008. 2) Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu, Harian Kompas, Senin, 16 Juni 2008 3) Ribuan Penambang Emas Banyuwangi Diusir, Harian Kompas, Jumat 27 Februari 2009. 4) Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang, Detik Surabaya, Selasa, 28 April, 2009 5) Berebut Emas di Tumpang Pitu, Harian Kompas, Rabu, 17 Mei 2009. Isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi tersebut memiliki bobot penting karena ada beberapa masalah, antara lain; isu lingkungan, isu tumpang-tindih sektor pertambangan dengan sektor lain (kehutanan, pertanian dan perkebunan), serta isu sosial ekonomi kemasyarakatan. Oleh karena itu, Tim Isu Puslitbang tekMIRA menurunkan tim yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu (tambang/ geologi, sosial ekonomi, dan surveyor). Berdasarkan informasi secara informal, sekembalinya Tim Isu Pertambangan Puslitbang tekMIRA dari lapangan, isu pertambangan tersebut kembali mencuat setelah terjadi penangkapan terhadap para PETI yang dilakukan Polres Kabupaten Banyuwangi. Penangkapan ini telah menyulut konflik antara aparat dan para PETI, dan masalah

2.

METODOLOGI

Secara umum metodologi yang digunakan adalah pendekatan multidisiplin ilmu, dengan menggunakan berbagai parameter keilmuan dalam membahas permasalahan utama yang dikaji. Inventarisasi data melalui teknik observasi, wawancara berpanduan, dokumentasi, dan diskusi. Pengolahan data menggunakan teknik kategorisasi, kompilasi, dan tabelisasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif analitis. Sedangkan dalam merekonstruksikan pemecahan permasalahan dan masukan bagi daerah didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional dan berlandaskan kepada arah kebijakan pertambangan dan kebijakan lain yang terkait pada era otonomi daerah. Data yang mendukung penulisan ini berupa data primer maupun sekunder hasil survai lapangan. Data primer berupa hasil wawancara langsung dengan berbagai pihak yang terkait dengan permasalahan pengelolaan potensi emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, seperti Pemda Perekonomian Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten Banyuwangi, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Banyuwangi, Camat dan staf Kecamatan Pesanggaran, PT. IMN, aparat keamanan yang bertugas di Gunung Tumpang Pitu, para gurandil, dan masyarakat setempat. Sedangkan data sekunder berasal dari instansi terkait, baik di tingkat Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan Pesanggaran serta informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan mass media. Mengenai pelaksanaan kegiatan survai lapangan dari tanggal 20 25 April 2009 adalah: 1) Melakukan kegiatan koordinasi dengan Kepala Bagian Perekonomian (Pak Bambang Edi Sunaryo) dan Sekertaris (Bu Tri) tentang isu lingkungan PETI emas di pegunungan Tumpang Pitu di Kantor Pemda Kab. Banyuwangi (Distamben belum ada). 2) Koordinasi dan pendataan di Bappeda Kab. Banyuwangi dengan Pak Mujiono, Pak Wahyu Diyono, Pak Rudianto tentang isu Lingkungan

3)

4) 5)

6) 7)

PETI emas, PT. IMN dan tata ruang (hutan lindung). Koordinasi dan pendataan dengan Kepala TU Kantor Lingkungan Hidup Kab. Banyuwangi (Pak Gatot Sudjadi). Pendataan di BPS Kabupaten Banyuwangi dengan Pak Ruslan Survai lapangan ke lokasi di Kecamatan Pesanggaran, dan berkoordinasi dan diskusi dengan staf Kecamatan Pak Sujono dan Pak Sunoto. Koordinasi dan diskusi denga PT. IMN yang diwakili Pak Hilman dan Pak Yuswardi. Survai ke lokasi PETI emas di sekitar pegunungan Tumpang Pitu, dokumentasi dan wawancara dengan gurandil.

Mengenai route survai lapangan lihat Gambar 1, sedangkan dokumentasi survai lapangan dapat dilihat pada Lampiran Foto-Foto Survai Lapangan.

Gambar 1. Route survai lapangan tim isu pertambangan Puslitbang tekMIRA di Kabupaten Banyuwangi

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

3.

POTENSI TAMBANG DAN SEKTOR LAIN DI GUNUNG TUMPANG PITU

3.1. Potensi Tambang Cebakan emas di daerah Pesanggaran ditemukan berdasarkan pada pemboran eksplorasi sebanyak 14 lubang bor dengan kedalaman total 4.100 meter pada KP Eksplorasi PT. IMN seluas 11.621, 45 ha atau 116,21 km2. Cebakan emas ditemukan dalam bentuk urat-urat kuarsa pada batuan volkanik yang diterobos oleh batuan intrusif berupa diorite, andesit, granodiorit dan dasit. Fenomena seperti ini sangat umum ditemukan di Pulau Jawa, seperti di Cikotok, Pongkor, Banyumas, Wonogiri, Pacitan, Malang, Lumajang. Berdasarkan studi kelayakan PT. IMN, cadangan bijih yang dieksplorasi mencapai 9.600.000 ton; kadar emas rata-rata 2,3 gram/ton; cadangan emas 320,8 ton. Biasanya emas ditemukan bersama logam lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini adalah 2,3 gr/ton, dan kadar logam-logam lainnya tidak ada datanya. padahal logam-logam tersebut memiliki nilai ekonomis bila sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/ sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini sebagian besar berada pada lahan Perhutani, yang penyebarannya mengikuti sungai-sungai tua pada jaman dahulu. Berdasarkan hasil tracking Tim Isu Pertambangan Puslitbang tekMIRA sewaktu survai, pada lokasi 56 gurandil/ PETI (Pertambangan Tanpa Izin) beroperasi pada wilayah Perhutani diperkirakan meliputi luas sekitar 203,3 ha (Gambar 2). 3.2. Potensi Sektor Lainnya Kabupten Banyuwangi dikelilingi 3 Taman Nasional (TN), yakni TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, dan TN Baluran. Di samping itu, kabupaten ini memiliki 3 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) seperti Banyuwangi (KPH Banyuwangi Selatan, KPH Banyuwangi Barat, dan KPH Banyuwangi Utara). Keberadaan 3 KPH dan 3 TN ini berhubungan erat sumber mata air dan sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi sektor pertanian dan perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, dan menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung padi nasional, memiliki andil dalam menopang ketahanan pangan nasional. Kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banyuwangi (lebih dari 60%).

Selain itu, keberadaan 3 KPH dan 3 TN tersebut secaraa riil telah memberikan kontribusi yang nyata bagi PAD kabupaten ini. Data hasil kekayaan hutan non-kayu Banyuwangi pada tahun 2006 meliputi; a. Kontribusi komiditi kopi yang berada di dalam kawasan hutan produksi sebesar 10.643 ton (BPS: 2007) atau setara dengan Rp. 247.230.000. b. Kontribusi komoditi getah damar sebesar 49 ton senilai Rp. 68.600.000, dan c. Kontribusi komiditi getah pinus sebanyak 2.672,70 ton senilai Rp.2.6 miliar.

4.

KONDISI KEGIATAN PERTAMBANGAN

4.1. PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN) PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas yang modalnya swasta nasional. Luas konsesi yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha. Konsesi PT. IMN meliputi kawasan Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung Macan dan kawasan lindung setempat. Menurut RTRW Jatim 2020 kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik. Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUTVII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009, dan akan ditingkatkan statusnya menjadi KP eksploitasi. Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana mengajukan permohonan alih fungsi kawasan hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan. Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26 Mei lalu. Saat ini perusahaan menampung 125 warga menjadi buruh kasar. 4.2. PETI/ Gurandil PETI/ gurandil beroperasi di Gunung Tumpang Pitu, pada aliran Sungai Gonggo, Lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, saat ini diperkirakan mencapai 3.000.000 orang (Gambar 3). Jumlah ini, setelah pada akhir bulan April 2009 sekitar 6.000 dipulangkan

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 2. Konsesi PT. IMN dan lokasi aktivitas PETI/ Gurandil di Petak 56, lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi

Gambar 3. Lokasi PETI/ Gurandil di Petak 56 (Luas Perkiraan 203,3 Ha), Lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

secara paksa oleh sekitar 190 personil aparat keamanan. Pemulangan itu dilakukan setelah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan rapat koordinasi dengan muspida, Perhutani dan pemilik izin ekplorasi emas PT. IMN. Rapat yang dipimpin langsung Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari itu menyimpulkan PETI yang dilakukan ribuan gurandil tersebut telah merusak lingkungan, yang akan berpotensi menimbulkan banjir dan longsor serta kerusakan hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat (petani magersari) sehingga harus dihentikan. Maraknya PETI telah menimbulkan kerusakan di Sungai Gonggo dan hutan jati, tepatnya di petak 79. Sungai Gonggo mengalami pelebaran hingga tujuh meter dari lebar awalnya satu meter, selain itu kedalaman Sungai Gonggo turut mengalami perubahan drastis, awalnya hanya setengah meter kini berubah menjadi 1,5 meter. Beberapa pohon jati juga turut tumbang akibat aktifitas penambangan PETI secara tradisional tersebut. Dari pantauan sementara Tim Isu Puslitbang tekMIRA, lokasi-lokasi PETI di Gunung Tumpang Pitu memang mengandung emas (perlu uji laboratorium), terutama pada petak 56 maupun 79 sebagai sampel wilayah-wilayah sekitarnya. Isu kalau butiran seperti emas itu adalah logam jenis pirit (FeS2) perlu dicarikan kepastiannya, karena pada lokasi tersebut telah banyak gurandil yang betul-betul mendapatkan emas, seperti pendulang emas asal Kalimantan, Sulawesi, Nabire dan Bandung. Dalam rangka memberi kepastian, Pemkab Banyuwangi sudah mengambil beberapa sampel untuk diuji, namun untuk memberi kesahihan data telah ditunjuk tim independen untuk melakukan uji laboratorium. 5. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

lahan usaha tambang dalam peta tata ruangnya. Permasalahan ini harus segera diselesaikan, mengingat potensi usaha pertambangan di daerah ini memperlihatkan prospek bila dikelola dengan baik. Status cadangan untuk kategori perhitungan potensi cebakan emasnya belum tepat, karena jumlah lubang bor yang dilakukan oleh PT. IMN relatif sedikit, yakni hanya 14 buah untuk mengeksplorasi daerah seluas 116,21 km2, dengan jarak antarlubang bor sepanjang 2 km. Jadi, jarak antarlubang bor ini terlalu panjang. Pada umumnya, jarak lubang bor ini adalah 500 m. Untuk meningkatkan status potensinya, masih diperlukan pemboran eksplorasi yang lebih banyak lagi, agar tingkat keyakinan geologisnya menjadi tinggi. Dengan demikian, status cadangannya perlu direvisi, agar perhitungan operasi penambangannya dapat dilakukan dengan tepat. Secara umum, emas ditemukan bersama logam lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini adalah 2,3 gr/ton; namun, kadar logamlogam lainnya tidak ada datanya. Ini berarti bahwa kelak saat operasi penambangan emas ini berlangsung, asosiasi logam-logam tersebut akan terbuang dengan percuma. Tidak tertutup kemungkinannya, logam-logam tersebut akan menjadi perolehan yang menguntungkan, apabila sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Jadi, hal ini menjadi tugas tersendiri bagi perusahaan tambang tersebut untuk melakukan uji laboratorium terhadap logam-logam tersebut. Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini perlu dicermati untuk dieksplorasi lebih lanjut, agar dapat dimanfaatkan sebagai lahan usaha bagi masyarakat setempat dalam bentuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). 5.2. Lingkungan

5.1. Potensi Bahan Tambang Fenomena geologis di daerah eksplorasi tersebut tidak hanya tersebar di daerah Pesanggaran, namun juga tersebar di daerah sekitarnya seperti Glenmore dan Bangorejo. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa potensi penyebarannya juga terdapat di daerah-daerah tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/2009, setiap daerah harus mencadangkan wilayahnya untuk menggali potensi bahan galiannya. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi harus mempersiapkan lokasi peruntukan lahan bagi sektor pertambangan. Sampai saat ini, di kabupaten ini belum dialokasikan

Isu lingkungan terkait kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu tidak hanya diakibatkan oleh kegiatan PETI/ gurandil saja, tetapi juga akibat isu Lingkungan pertambangan PT. IMN karena kurangnya transparansi dalam Publikasi berbagai kemajuan kegiatan, terutama dalam pengelolaan Lingkungan. PETI yang dilakukan ribuan gurandil telah merusak lingkungan, dan berpotensi menimbulkan banjir dan longsor serta kerusakan hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat (petani magersari). Sedangkan,

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

berbagai isu Lingkungan yang diakibatkan PT. IMN dapat ditunjukkan berdasakan surat penolakan AMDAL oleh Masyarakat Banyuwangi yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala Indonesia) region Banyuwangi, Kurva Hijau, dan Dewan Rakyat Jalanan untuk Demokrasi (Derajad). Beberapa butir yang dijadikan dasar penolakan AMDAL PT. IMN tersebut, antara lain: a. Sidang Amdal tersebut di atas merupakan sidang yang tidak adil, karena tidak ada satu pun dokumen Amdal yang dibagikan kepada warga Dusun Pancer, sehingga warga tidak memiliki informasi mengenai Amdal. Padahal keterbukaan informasi ini penting sebagai tolok ukur tinggi-rendahnya itikad baik dari pemrakarsa rencana pertambangan maupun pemkab dan pemrop. Keterbukaan informasi menjadi sesuatu yang logis untuk dimiliki oleh warga Pancer karena dampak apapun dari pertambangan tersebut jelas-jelas akan berpengaruh langsung kepada mereka, dan merekalah pihak pertama yang akan merasakannya. b. Warga Pancer tidak diberi kecukupan waktu untuk mempelajari Amdal tersebut. Hal ini menunjukkan minimnya kemauan Pemprop Jatim dan Pemkab Banyuwangi untuk melakukan penguatan terhadap rakyatnya, sehingga warga tidak memiliki kesiapan untuk berdialog dengan pihak yang terkait, terutama pakar. Warga pun tidak punya kecukupan waktu untuk memilih pihak yang menurut warga memiliki kompetensi untuk mendampinginya dalam mengikuti Sidang Amdal. c. Semenjak awal bergulirnya rencana penambangan emas di HLGTP oleh PT IMN, Warga Pancer telah menolak rencana tersebut. Dimana penolakan tersebut telah mereka sampaikan dalam acara Sosialisasi Penambangan Emas HLGTP yang diselenggarakan pada 12 Maret 2008 lalu di Balai Dusun (dihadiri oleh perwakilan Pemkab Banyuwangi, perwakilan Makoramil Pesanggaran, perwakilan TNI AL, perwakilan Mapolsek Pesanggaran, dan Camat Pesanggaran). Penolakan tersebut juga telah disuarakan oleh 5 (lima) orang utusan Warga Pancer yang menghadiri Sidang Amdal tanggal 26 Mei 2008 di Surabaya. d. Dalam Dokumen Andal yang dibuat oleh PT IMN, pada gambar 2.4 tentang Peta Rencana Tata Letak Kegiatan dapat dilihat dengan jelas

bahwa tailing (limbah tambang) akan dibuang ke laut. Pembuangan tailing ke laut ini, dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup disebut sebagai Submarine Tailing Disposal (STD). Berdasarkan Peraturan Meneg LH no. 11 tahun 2006 tersebut, Komisi Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak berwenang menilai Amdal PT IMN. Berdasarkan Peraturan Meneg LH no. 11 tahun 2006, penilaian Amdal dari sebuah rencana pertambangan yang menggunakan STD seperti halnya PT IMN tersebut, kewenangannya berada di tangan Deputi Bidang Amdal Kementerian Negara Lingkungan Hidup, bukan di tangan Komisi Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim. Dengan demikian, sejatinya Sidang Amdal yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Komisi Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak sah, karena tidak sesuai dengan Peraturan Meneg LH no. 11 tahun 2006. e. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak layak dan harus ditolak, karena dalam Presentasi Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-Andal) yang bertempat di ruang Minakjingga Pemkab Banyuwangi pada tanggal 30 Januari 2008, PT IMN telah melakukan kebohongan publik dengan menyatakan kepada seluruh hadirin bahwa merkuri berbahaya sementara sianida aman. Dalam acara tersebut tidak ada itikad baik dari pemrakarsa untuk menjelaskan apa itu sianida? Apa saja dampaknya? Dan apa yang membuat pemrakarsa yakin bahwa sianida aman? f. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak layak dan harus ditolak, karena pihak pemrakarsa tidak membuat pengumuman tentang rencana Sidang Amdal yang layak dan mencukupi. Bahkan hingga kini pun belum terlihat kemauan pemrakarsa untuk mengumumkan secara terbuka tentang Sidang Revisi Amdal.

g. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak layak dan harus ditolak, karena tidak ada satu pun dari peta yang termuat di dalamnya yang menampakkan keberaradaan Pulau

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

Merah. Tidak adanya Pulau Merah di semua peta yang terdapat dalam dokumen Andal tersebut mencerminkan keteledoran PT IMN, serta menggambarkan rendahnya kepedulian PT IMN terhadap area penting seperti Pulau Merah. Sementara itu, koordinator Koalisi Tolak Tambang di Tumpang Pitu (KT3P), tambang emas yang dibangun oleh PT IMN di Tumpang Pitu memakan areal seluas 11.621 hektar yang meliputi kawasan Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung Macan, dan kawasan hutan lindung setempat. Sebagai kawasan penyangga, Gunung Tumpang Pitu memiliki kaitan erat dengan aktivitas penduduk di sekitarnya, seperti pertanian, perkebunan dan nelayan. Menurut Tim Isu Puslitbang tekMIRA, berbagai informasi mengenai penolakan terhadap kegiatan pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu di atas, dan isu utama beberapa unjuk rasa mengenai lingkungan hidup perlu dijadikan barometer dalam memahami berbagai persoalan lingkungan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya. Berbagai persoalan tersebut tidak perlu langsung ditanggapi apreori, tetapi perlu didudukan secara proporsional pada sumber akar persoalannya. 5.3. Tumpang-tindih antar Sektor Konsesi PT IMN di Tumpang Pitu meliputi areal seluas 11.621 ha yang meliputi kawasan Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung Macan, dan kawasan hutan lindung setempat. Kawasan Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana mengajukan permohonan alih fungsi kawasan hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan, yaitu Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26 Mei lalu. Sedangkan wilayah yang ditambang oleh PETI, Petak 56 dan Petak 79 masuk dalam wilayah konsesi PT. IMN. Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUTVII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009.

Sebelumnya, PT IMN mendapat izin kuasa eksplorasi emas dikawasan hutan dari Menteri Kehutanan MS Kaban nomor .406/MENHUT_vii/ PW/2007 tertanggal 27 Juli 2007. Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Pengesahan Dokumen Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur dan kedatangan Mentri Kehutanan MS Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga. Kawasan Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi, bagian yang tidak terpisahkan dari 3 KPH dan 3 TH, yang berfungsi sebagai daerah penyangga, berhubungan erat sebagai sumber mata air dan sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi sektor pertanian dan perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, termasuk sektor perikanan bila pembuangan tailing dilakukan di dasar laut. Konflik kepentingan antara sektor pertambangan dengan sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, dan perikanan tersebut perlu dipertimbangkan positif dan negatifnya. 5.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Isu social terbagi dua, yaitu isu dampak sosekbud PT. IMN maupun PETI/ Gurandil dan isu kesamaan hak atas sumber daya bahan tambang (PT. IMN vs Rakyat). Isu dampak sosekbud PT. IMN terkait dengan dampak kegiatan PT. IMN terhadap berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat di sekitar proyek. Berapa aktivitas ekonomi masyarakat yang akan terganggu (misal pertanian, perkebunan, perikanan) dan bagaimana proses pengelolaannya. Dampak sosekbud PETI/ Gurandil terutama akibat rusaknya lingkungan, sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, pertanian dan perkebunan rusak akibat terinjak-injak ataupun rusak karena ditambang, dan kekhawatiran penggunaan air raksa yang akan mencemari lingkungan (darat dan perairan) bila tidak ditangani dengan serius. Unjuk rasa beberapa komponen masyarakat terhadap kegiatan pertambangan dapat dijadikan barometer bagi pengembangan kegiatan pertambangan di daerah ini, yaitu: 1) Sejumlah Petani dan Nelayan Banyuwangi Jawa Timur ke Jakarta mendesak agar

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

dihentikan kegiatan PT. IMN. 2) Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjang Rajekwesi sampai Muncar - Banyuwangi akan terancam hidupnya, termasuk perikanan mendesak dihentikannya rencana pengerukan emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka mendesak pemerintah mencabut ijin petambangan dan AMDAL tambang emas PT Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat dan menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan. 3) Kunjungan Rombongan Dirjen Planologi Departemen Kehutanan ke lokasi penambangan emas tradisional di lereng Gunung Tumpang Pitu Kampung 56 Dusun Wringin Agung Desa/Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, diwarnai aksi penghadangan oleh ratusan massa anti tambang. 4) Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lingkungan (AMMPeL), mengecam pertemuan antara Dirjen Planologi Departemen Kehutanan dan PT Indo Multi Niaga (IMN) serta pihak terkait lainnya di Pendopo Banyuwangi, yang dianggap telah telah melakukan ketidakadilan informasi terhadap masyarakat terkait aktifitas PT IMN di Gunung Tumpang Pitu karena tidak transparan. Mengenai isu kesamaan hak dalam pemanfaatan bahan tambang (PT. IMN vs PETI/ Gurandil) merupakan isu penting, karena kalau tidak ditempatkan pada koridor yang semestinya, sesuai pasal 33 UUD 45 dapat menjadi pemicu isu-isu lainnya di kawasan tersebut. Masalah tersebut terkait dengan pertanyaan mendasar, kalau PT. IMN diperbolehkan melakukan aktivitas di kawasan hutan lindung, kenapa rakyat dilarang di kawasan hutan produksi, yang secara tingkatan fungsi hutan lebih rendah. Pertanyaan ini berlanjut dengan masalah, kalau pelarangan PETI/ Gurandil karena merusak Lingkungan dan tidak berizin sehingga tidak ada pemasukan bagi pemda, bagaimana seharusnya. Berbagai persoalan yang mendasar tersebut timbul, karena Pemda Kabupaten Banyuwangi kurang cepat dalam menanganinya sebagai akibat belum adanya kantor/ dinas pertambangan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan pertambangan di daerah. Perlu dipahami, saat ini dengan persoalan pertambangan yang komplek ditangani oleh Pemda Bagian Perekonomian, Bappeda dan Kantor Lingkungan Hidup menyebabkan persoalan pertambangan

tidak tertangani secara optimal, setiap ada persoalan masing-masing saling menunggu dan bagi-bagi tanggung jawab/ peran. Di samping itu, ada kesan dalam menangani setiap persoalan PETI/ Gurandil dilakukan dengan cara-cara represif. Padahal, berdasarkan kasus-kasus di beberapa daerah, cara-cara represif justru akan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar. Untuk memberi rasa keadilan, kesamaan hak atas sumber daya alam antara PT. IMN dan masyarakat penambang, maka Pemda Kabupaten Banyuwangi seharusnya menyiapkan WPR sebagai wadah menampung aspirasi rakyat dalam kegiatan pertambangan dengan beberapa tahap berikut: 1) Secepatnya meminimalkan daerah operasi PETI/ gurandil untuk mengurangi dampak Lingkungan, dengan persuasif menjaga wilayah operasi PETI/ gurandil tersebut. 2) Menyiapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) pada daerah-daerah di lembah Gunung Tumpang Pitu yang memiliki kandungan emas alluvial. 3) Melakukan kajian eksplorasi terhadap daerah yang disiapkan untuk WPR dan menyiapkan perizinannya dengan wadah badan usaha Koperasi. 4) Menyiapkan bimbingan, pembinaan dan pengawasan teknis penambangan, lingkungan dan manajemen usaha bagi penambang rakyat.

6.

KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT

Berdasarkan pembahasan terhadap ke-empat isu potensi dan kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu di atas (isu potensi emas, Lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan sektor lain, dan isu sosekbud), diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah dalam mengelola potensi emas di Gunung Pitu tersebut meliputi beberapa tahap kegiatan berikut: 1) Perlu ada kajian mengenai keuntungan dan kerugian (cost benefit analysis) antara kegiatan pertambangan dengan sektor kehutan, dan sektor lain terkait fungsi hutan sebagai penyimpan sumber daya air sektorsektor pertanian dan perkebunan. 2) Bila kegiatan pertambangan lebih menguntungkan, dengan dampak yang dapat

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

diminimalkan dibanding kerugian yang akan terjadi terhadap sektor-sektor nonpertambangan, maka perlu dilakukan pembatasan kembali wilayah PT. IMN (relinquish) dari tahap eksplorasi ke tahap eksploitasi, dan wilayah yang berpotensi emas sekunder/ alluvial dialokasikan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk mewadahi aspirasi rakyat/ masyarakat dalam kegiatan pertambangan. Mengenai tahap eksplorasi diatur dalam pasal 42-45 UU No. 4/2009, sedangkan pengalokasian WPR diatur pasal 20-26 UU No. 4/2009. 3) Berdasarkan kajian terhadap AMDAL PT. IMN, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi: wilayah konsesi, perlu dilakukan pembatasan wilayah konsesi untuk meminimalkan dampak lingkungan, terutama terkait fungsi hutan lindung sebagai sumber mata air, dan sungaisungai bagi sektor pertanian dan perkebunan. wilayah konsesi, batas wilayah yang terdapat pada tabel titik koordinat terdapat kesalahan pada titik 14 dan 15 (koordinat y garis lintang/ LS untuk titik 14 seharusnya 36.00" dan titik 15 seharusnya 36.00") yang bisa fatal karena sebagai

batas wilayah konsesi (Tabel 1). kajian terhadap kegiatan di sekitar proyek perlu diperluas dan diperdalam sehingga dapat memberi gambaran yang valid mengenai keadaan yang sebenarnya, dan perlu dilakukan secara transparan. dalam kajian AMDAL perlu diperjelas mengenai rencana pembuangan limbah, dan rencana pengelolaannya. 4) PT. IMN perlu memberi penjelasan yang ilmiah mengenai potensi emas primer maupun emas sekunder/ alluvial di dalam wilayah konsesinya di Gunung Tumpang Pitu, serta kandungan mineral ikutan emas berdasarkan hasil laboratorium yang terakreditasi. 5) Dalam menangani persoalan PETI/ Gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persuasive, karena kasus-kasus semacam ini (PETI Emas Pongkor, Kapur di Padalarang Jawa Barat, PETI Batubara di Kalimantan Selatan, PETI Emas di Sulawesi Utara, dan lainnya) kalau ditangani secara represif akan menimbulkan persoalan baru yang lebih besar. 6) Dalam pengalokasian WPR perlu dilakukan kegiatan inventarisasi potensi bahan galian

Tabel 1. Koordinat Wilayah Kuasa Pertambangan PT. IMN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 113 113 113 113 113 113 113 113 114 114 114 114 114 114 114 114 114 114 114 114 56 56 57 57 57 57 59 59 1 1 2 2 4 4 4 4 3 3 0 0 45,4 45,4 58,4 58,4 36,2 36,2 19,9 19,9 57 57 37,2 37,2 17,4 17,4 51,4 51,4 29,4 29,4 20,6 20,6 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 37 35 35 34 34 33 33 32 32 32 32 35 35 38 hrs-nya 36 38 hrs-nya 36 38 38 39 39 37 16,8 53,6 53,6 15,9 15,9 3,2 3,2 30,8 30,8 58,7 58,7 8,6 8,6 12,8 hrsnya 00 12,8 hrsnya 00 11,7 11,7 2,8 2,8 16,8

Sumber: ANDAL Pertambangan PT. Indah Multi Niaga

10

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

emas sekunder pada wilayah-wilayah yang potensial dan dampaknya dapat diminimalkan. 7) Setelah Pemda Kabupaten Banyuwangi mengalokasikan WPR, maka perizinan perlu disiapkan dan perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha. 8) Untuk menangani berbagai permasalahan pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, sesuai kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, dan PP No. 38 Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan dan energi yang tugasnya mengelola kegiatan pertambangan di daerah.

BPS Kabupaten Banyuwangi, 2008, Kecamatan Pesanggaran Dalam Angka Tahun 2007. Detik Surabaya, 2009, Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang, Detik Surabaya, Selasa, 28 April, 2009. Harian Kompas, 2009, Berebut Emas di Tumpang Pitu, Harian Kompas, Rabo, 17 Mei 2009. Harian Kompas, 2008, Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu, Harian Kompas, Senin, 16 Juni 2008 Harian Kompas, 2008, Ribuan Penambang Emas Banyuwangi Diusir, Harian Kompas, Jumat 27 Februari 2009. PT. Indo Multi Niaga, 2008, ANDAL PT. Indo Multi Niaga, Rencana Penambangan Emas DMP di Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008 (Laporan Akhir). PT. Indo Multi Niaga, 2008, Lampiran ANDAL PT. Indo Multi Niaga Rencana Penambangan Emas DMP di Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008. PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Rencana Penambangan Emas DMP di Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008. PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Rencana Penambangan Emas DMP di Desa Sumber Agung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008. Tim Isu Puslitbang tekMIRA, 2009, Foto-foto dokumentasi survai di perkantoran dan dokumentasi PETI di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

DAFTAR PUSTAKA Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi 2005-2015 (Laporan Rencana). Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2007, Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi 2007-2027 (Album Peta/ Gambar). Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota Pesanggaran. Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2009, Potensi pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Batu Merah, Bahan Presentasi Kabid Fisik dan Prasarana Wilayah. Berita Fajar, 2008, Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar Potensi, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008. BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, Kabupaten Banyuwang Dalam Angka Tahun 2008. BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, PDRB Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008.

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

11

LAMPIRAN FOTO-FOTO SURVAI LAPANGAN

12

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

13

14

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto

15

PENGEMBANGAN METODE ANALISIS TER DAN PARTIKULAT DALAM PRODUCER GAS DARI BATUBARA
Slamet Suprapto dan Nurhadi Puslitbang tekMIRA, Jln. Jend. Sudirman no. 623 Bandung, Telp. (022)6030483, Fax: (022) 6003373 email: slamets@tekmira.esdm.go.id, nurhadi@tekmira.esdm.go.id

SARI Dalam rangka meningkatkan dan mendiversifikasikan pemanfaatan batubara, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara sedang mengembangkan pemanfaatan producer gas hasil gasifikasi batubara untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sistem dual fuel di Sentra Teknologi Pemanfaatan Batubara, Palimanan Cirebon. Salah satu parameter kualitas producer gas untuk digunakan pada sistem pembakaran internal seperti mesin diesel adalah kadar ter dan partikulat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metoda sampling dan analisis kadar ter dan partikulat dalam producer gas dari batubara. Metoda ini menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik yang dilengkapi heater untuk mengambil contoh producer gas, penyaring keramik untuk memisahkan partikulat, heat exchanger dan botol kondensasi untuk mengasorbsi lengas dan botol impinger untuk mengadsorbsi ter dalam contoh producer gas. Peralatan yang telah terangkai kemudian diujicoba untuk menentukan kadar ter dan partikulat dalam producer gas produk gasifikasi. Batubara yang digunakan berasal dari Kalimantan Selatan yang mempunyai nilai kalor 5.500 dan 4.500 kal/g. Pengujian metoda sampling dan analisis terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara tersebut menunjukkan kadar ter dan partikulat yang cukup rendah yaitu <100 mg ter/Nm3 dan <50 mg partikulat/Nm3 dan sudah memenuhi persyaratan untuk bahan bakar mesin diesel. Percobaan pengoperasian mesin diesel menggunakan sistem dual fuel menunjukkan kinerja yang baik dan tidak terdapat endapan ter dan partikulat dalam ruang bakar mesin diesel. Metoda ini belum distandarisasi karena tidak tersedianya gas standar. Pengembangan lebih lanjut diharapkan difokuskan pada standarisasi dan uji pembanding Round Robin test dan analisis sistem on-line langsung ke komputer untuk mengetahui secara langsung komposisi producer gas. Kata kunci: gasifikasi batubara, producer gas, ter, partikulat, metoda analisis

ABSTRACT In relation to increase and diversify the utilization of coal, Research and Development Center for Mineral and Coal Technology is developing utilization of producer gas resulted from coal gasification for diesel powered electric generation using dual fuel system at Coal Technology Center, Palimanan, Cirebon. One of quality parameter of producer gas to be used for internal combustion like diesel engine is the content of tar and particulate. The purpose of this research is to develop sampling and analysis method for determination tar and particulate contents in producer gas from coal. This method used apparatus which consists of iso-kinetic nozzle equipped with heater to take sample of producer gas, ceramic filter to separate particulate, heat exchanger and condense bottle to absorb moisture and impinge bottle to absorb tar in the producer gas sample. The installed apparatus is tested for determining the content of tar and particulate of producer gas resulted from coal gasification. The coal

16

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

used comes from South Kalimantan which have calorific values of 5,500 and 4,500 cal/g. The results show that the content of tar and particulate are <100 mg of tar/m3 and <50 mg of particulate/m3 respectively which correspond with the requirement of producer gas as fuel for dual fuel diesel engine. The operation of diesel engine using dual fuel system shows good performance and there were no tar and particulate deposit in the combustion chamber. This method has not been standardized yet because standard reference gas is not available yet. Further development needs to be focused on standardization and on-line system connected to computer which can show the composition of producer gas directly. Keywords : coal gasification, producer gas, tar, particulate, analysis method

1.

PENDAHULUAN

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Proses konversi batubara menjadi gas yang dikenal dengan istilah gasifikasi batubara sudah berkembang dengan maju. Batubara dari berbagai jenis dan peringkat dapat dikonversikan menjadi gas secara komersial. Kalau pada awalnya gasifikasi batubara hanya menghasilkan producer gas (gas bakar) dan gas kota, tetapi sekarang bisa berupa gas sintesis, gas alam sintetik (synthetic natural gas, SNG) dan bahan baku industri kimia. Sementara itu, producer gas dari biomassa telah digunakan untuk mesin pembakaran internal (internal combustion engine) seperti mesin gas (gas engine) dan mesin diesel dual fuel secara komersial di banyak negara. Di Indonesia, penggunaan gas alam untuk mesin diesel dual fuel gas sudah dilakukan di Tarakan, Kalimantan Timur. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara bekerjasama dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas Indonesia sedang mengembangkan pemanfaatan producer gas dari batubara untuk pembangkit listrik tenaga diesel dengan membangun pilot plant di Sentra Teknologi Pemanfaatan Batubara tekMIRA, Palimanan, Cirebon. Peresmian pengoperasian pilot plant tersebut telah dilakukan pada tanggal 19 Maret 2008. Untuk mendukung kegiatan pilot plant tersebut diperlukan perlatan dan metoda analisis producer gas yang dapat menentukan komposisi dan kadar kadar ter dan partikulat. Metode analisis komposisi gas hasil gasifikasi biomassa maupun batubara umumnya menggunakan kromatografi gas. Sedangkan metode analisis kadar ter dan partikulat dalam producer gas hasil gasifikasi biomassa juga baru dikembangkan di beberapa negara Eropa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metoda analisis ter dan partikulat dalam producer gas dari batubara.

Proses gasifikasi batubara yang saat ini berkembang dengan maju adalah proses konversi batubara dalam sebuah reaktor dengan menggunakan pereaksi. Produk gas yang dihasilkan proses gasifikasi batubara tergantung pereaksi yang digunakan. Proses gasifikasi menggunakan pereaksi udara dan uap air menghasilkan gas yang disebut producer gas dengan komposisi terdiri atas gas mampu bakar (combustible gas) CO dan H2 dan dan sedikit gas hidrokarbon seperti CH 4, serta pengotor N 2 mencapai sekitar 50%. Gas ini termasuk gas kalori rendah (low calorie gas) dengan nilai kalor <200 Btu/ft3 (<1780 kkal/m3). Proses gasifikasi menggunakan pereaksi campuran oksigen/uap air menghasilkan produk gas yang disebut gas Lurgi dengan komponen utama berupa CO dan H2 dan sedikit gas-gas hidrokarbon, serta pengotor. Gas Lurgi merupakan gas kalori menengah (medium calorie gas) dengan nilai kalor antara 200-400 Btu/ft3. Apabila gas Lurgi tersebut dimurnikan maka dihasilkan gas sintesis (synthesis gas, syngas) dengan komponen utama CO dan H2. Gas sintesis dapat diproses lebih lanjut melalui proses metanasi untuk mendapatkan gas SNG (Synthetic Natural Gas, Substitute Natural Gas) dengan komponen utama CH4. Proses gasifikasi menggunakan pereaksi hidrogen juga dapat menghasilkan gas alam sintetik yang mempunyai nilai kalor sekitar 1000 Btu/ft3 dan termasuk gas kalori tinggi (high calorie gas) (Elliot, 1981; Francis, 1965; Nowacki, 1981; Ward, 1984). Producer gas juga dapat dihasilkan dari proses gasifikasi bahan karbonan (carbonaceous matter) lainnya seperti biomassa (Anonymous, 1986) dan dengan pereaksi campuran udara/uap air. Perbedaan proses gasifikasi biomassa yang menghasilkan producer gas untuk mesin

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi

17

pembakaran internal dan proses gasifikasi batubara yang digunakan di pilot plant pemanfaatan gasifikasi batubara untuk PLTD adalah pada reaktor dan sistem pemurnian gas. Reaktor gasifikasi biomassa adalah sistem downdraft, yakni batubara dimasukkan dari atas dan gas dikeluarkan dari bawah reaktor sehingga ter biomassa mengalami perekahan (cracking) menjadi molekul gas. Oleh karena itu, kadar ter dalam relatif rendah dan unit pemurniaan gas yang digunakan untuk gasifikasi biomassa cukup hanya terdiri atas siklon, scrubber dan pendingin. Sedangkan gasifikasi batubara menggunakan reaktor sistem updraft sehingga produk gas mengandung lebih banyak ter. Namun pada unit gasifikasi batubara mempunyai sistem pemurnian gas yang juga dilengkapi penangkap ter khusus, yakni tar electrostatic precipitator. Unit penangkap ter tersebut cukup efektif sehingga kadar ter dalam producer gas memenuhi syarat untuk penggunaan mesin diesel. Penggunaan producer gas hasil gasifikasi biomassa untuk mesin diesel pembangkit listrik maupun kendaraan telah dimulai sejak awal abad 20. Penggunaan tersebut mencapai puncaknya selama masa Perang Dunia II terutama dilakukan oleh Jerman untuk menjalankan kendaraankendaraan perangnya. Sampai sekarang, di daerah-daerah terpencil di banyak negara misalnya Pilipina, Selandia Baru, Afrika, Eropa maupun Amerika Serikat masih ditemukan bus atau traktor bermesin diesel sistem dual fuel dengan bahan bakar solar dan producer gas (Anonymous, 1986; Turare). Mesin-mesin pembakaran internal normalnya dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin atau solar yang relatif bersih dibanding producer gas. Oleh karena itu, agar mesin diesel dapat beroperasi dengan normal, maka producer gas harus mengandung ter dan partikulat serendah mungkin. Secara umum, kadar ter dan partikulat yang masih dapat ditoleransi untuk bahan bakar mesin pembakaran internal adalah adalah sebagai berikut (Anonymous, 1986; Anonymous, 2006): ter : <500 mg ter /m3 gas partikulat : 50 mg partikulat/m3 gas. Sampai saat ini, belum ada prosedur standar untuk menentukan kadar ter dan partikulat dalam producer gas. Tetapi metode analisis ter dan partikulat dalam producer gas dari biomassa telah dikembangkan di Swiss dan Belanda (Nusbanmer,

1998; van de Kamp, 2005). Bahkan Energy research Center of the Netherlands (ECN) Belanda mengembangkan prosedur tersebut menjadi standar untuk kawasan Eropa dengan mengadakan Round Robin test. Prinsip dasar metode tersebut adalah sampling dan analisis aliran producer gas yang mengandung ter dan partikulat secera on-line dengan menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik dan penangkap ter dan partikulat. Selanjutnya, kadar ter dan partikulat ditentukan berdasarkan gravimetri.

3.

METODOLOGI

3.1. Pembuatan Peralatan Tahap awal dari pengembangan metoda adalah pembuatan peralatan sampling dan analisis sesuai dengan peralatan yang digunakan untuk sampling dan analisis producer gas yang dikembangkan di Eropa. Alat sampling tersebut berupa nozzle isokinetik yang dipasang pada pipa aliran gas dan dilengkapi pitot tube dengan dimensi tertentu. Disamping itu, pada pipa aliran contoh gas dipasang pemanas suhu 200C agar ter tidak mengembun dan menempel pada nozzle dan pipa sirkulasi. Skema pemasangan nozzle pada pipa aliran produk gas hasil gasifikasi batubara dapat dilihat pada Gambar 1. Alat penangkap partikulat berupa penyaring keramik (ceramic filter) dipasang pada aliran contoh gas sebelum masuk ke rangkaian penangkap ter. Penyaring keramik tersebut memiliki rongga-rongga 3 mikron. Penangkap ter terdiri atas botol pengembun uap air (moisture condensation bottle) dan 3 (tiga) botol tar impinger seperti terlihat pada Gambar 2. 3.2. Prosedur Analisis Ter dan Partikulat Setelah peralatan sampling dan analisis terpasang kemudian contoh gas dialirkan melalui nozzle dan penyaring keramik. Contoh gas didinginkan dalam chiller yang terbuat dari gelas dan menggunakan air pendingin suhu 10 O C. Air dan tar yang mengembun kemudian dilewatkan pada pipa teflon untuk dialirkan ke dalam botol kondensasi. Botol kondensasi berisi 800 mL air suling (aquadest) yang didinginkan pada suhu 0OC. Pipa teflon dicelupkan dalam air suling sedalam 15 mm. Ujung teflon berbentuk lobang-lobang dengan diameter 1 mm sebanyak 20 buah. Uap air dan sebagian

18

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 1. Skema alat sampling producer gas (Nussbanmer, 1998; van de Kamp, 2005)

Gambar 2. Skema penangkap partikulat dan ter ((Nussbanmer, 1998; van de Kamp, 2005)

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi

19

ter dalam contoh gas akan mengembun dalam botol kondensasi yang berisi air suling. Langkah selanjutnya adalah mengalirkan gas ke dalam 3 buah botol impinger yang masing-masing berisi 50 mL anisol dan satu buah botol impinger kosong sebagai drop separator. Ketiga buah botol impinger tersebut didinginkan dalam chiller pada suhu -3 sampai dengan -4 O C. Ter yang terkandung dalam contoh gas akan mengembun dan terabsorbsi dalam anisol. Contoh gas kemudian disedot oleh pompa vakum pada laju alir antara 1,7 3,3 m/detik. Sisa contoh gas dibakar dengan pembakar (burner). Sampling gas dilakukan selama 0,5 - 1 jam, tergantung kandungan ter dan partikulat. Semakin kecil kandungan partikulat dan ter, waktu yang dibutuhkan akan semakin lama. Setelah dilakukan langkah-langkah sampling gas dan pemisahan partikulat dan ter seperti seperti tersebut di atas, kemudian kadar partikulat dan ter dapat ditentukan dengan membagi berat ter dengan volume contoh gas sebagai berikut: mc1 mc2 Kadar partikulat, mg/m3 = vg Di mana: mc1 = berat penyaring keramik sebelum percobaan, mg mc2 = berat penyaring sesudah percobaan, mg = volume contoh gas, m3 Sedangkan untuk menentukan kadar ter, ter yang sudah teradsorbsi dalam botol kondensasi dan botol impinger dipisahkan melalui destilasi vakum pada suhu 85 OC dan tekanan 10 20 mBar. Ter yang diperoleh kemudian ditimbang. Kadar tar dapat dihitung dengan membagi berat ter yang diperoleh dari destilasi vakum dengan volume contoh gas, sebagai berikut: mt Kadar partikulat, mg/m3 = vg Di mana: mt = berat ter hasil destilasi, mg vg = volume contoh gas, m3

3.3. Pengujian Metoda Pengujian metoda dilakukan terhadap producer gas hasil gasifikasi contoh batubara Kalimantan yang mempunyai nilai kalor 5.500 kal/g dan 4.500 kal/g. Pengujian diawali dengan proses gasifikasi batubara yakni dengan mengumpankan batubara 150 kg/jam. Setelah operasi gasifikasi berjalan lancar (steady) kemudian dilakukan sampling gas dengan membuka aliran nozzle. Selanjutnya dilakukan langkah-langkah sesuai dengan prosedur analisis ter dan partikulat. Apabila kadar ter dan partikulat dalam producer gas sudah memenuhi syarat, yakni <500 mg ter/m3 dan 50 mg partikulat/m3, maka gas digunakan untuk mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel. Pengoperasian mesin diesel diawali dengan menggunakan bahan bakar 100 % solar pada berbagai beban (daya) 30 kW, kemudian gas batubara dimasukkan sampai beban mencapai maksimum 150 kW.

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian metoda untuk analisis kadar ter dan partikulat contoh producer gas hasil gasifikasi dapat dilihat pada Tabel 1. Pengujian tersebut dapat menghasilkan data kadar ter dan partikulat yang masing-masing antara 762 mg ter/m3 dan 31-50 mg partikulat/m3. Producer gas dengan kadar ter dan partikulat yang demikian sudah memenuhi syarat untuk digunakan pada mesin diesel. Kadar ter dan partikulat producer gas dari contoh batubara dengan nilai kalor 5.500 kal/g (A) menunjukkan hasil yang berbeda antara percobaan gasifikasi ke 1 dan percobaan gasifikasi ke 2. Hal ini disebabkan bervariasnya kondisi operasi gasifikasi batubara. Walaupun batubara yang digunakan sama tetapi komposisi producer gas yang dihasilkan oleh percobaan ke 1 dan ke 2 belum tentu sama. Kualitas dan kuantitas produk gas hasil gasifikasi tergantung kondisi operasi sebagai berikut (Elliot, 1981, Nowacki, 1981, van Dyk): kualitas batubara (analisis proksimat, reaktivitas, distribusi ukuran, fragmentasi termal dan sifat caking); suhu rasio pereaksi/batubara; rasio udara/uap air).

20

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 1. Hasil analisis ter dan partikulat No. 1. 2. 3. Contoh Batubara Nilai Kalorkal/g Kadar Ter dan Partikulat, mg/m3 Ter 38 7 62 Partikulat 50 31 43

A B

5.500 4.500

Analisis proksimat, reaktivitas dan sifat caking batubara yang sama akan menghasilkan kondisi operasi yang sama. Ukuran batubara yang digunakan dalam percobaan gasifikasi adalah 5 + 1 cm, tetapi kemungkinan distribusi ukurannya tidak merata sehingga menyebabkan kondisi percobaan ke 1 dan ke 2 tidak sama. Hal ini juga dapat membuat penyebaran panas dalam unggun batubara tidak merata dan selanjutnya menyebabkan fragmentasi ukuran tidak sama sehingga kondisi proses berbeda. Perbedaan kondisi proses tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas produk berbeda. Pengembangan standar analisis producer gas dari biomassa yang dilakukan oleh van de Kamp (2005) adalah dengan memvariasikan kondisi operasi gasifikasi yang terdiri atas, pereaksi (udara/uap air, oksigen/uap air), jenis reaktor (fixed bed, fluidized bed, updraft, down draft), suhu dan tekanan. Dalam program standarisasi tersebut dilakukan uji Round Robin, yakni mengirimkan contoh-contoh gas yang sama ke beberapa laboratorium kemudian membandingkan hasilnya. Hasil pengujian penggunaan gas untuk mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel secara kontinyu dan beban maksimal menunjukkan kinerja yang cukup baik. Hasil pengamatan terhadap ruang bakar mesin diesel setelah operasi kontinyu tidak menunjukkan perbedaan dengan menggunakan bahan bakar 100% solar dan tidak ditemukan adanya endapan kerak atau ter batubara dalam ruang bakar mesin diesel. Hal ini menunjukkan bahwa kadar ter dan partikulat cukup rendah dan memenuhi syarat, seperti yang dihasilkan oleh uji metoda analisis. Walaupun metoda ini sudah bisa digunakan, tetapi yang masih menjadi masalah adalah belum dikembangkannya standar. Hal ini mengingat belum adanya standard reference gas yang sudah mempunyai kandungan ter dan partikulat tertentu.

Disamping itu, belum ada laboraorium lain yang mengembangkan metoda analisis ter dan partikulat yang dapat bekerjasama dalam melakukan uji Round Robin guna membandingkan hasil analisis.

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Peralatan sampling dan analisis ter dan partikulat dalam producer gas dari batubara telah dapat dirancang bangun dan dipasang pada pilot plant gasifikasi batubara untuk PLTD di Palimanan Cirebon. Metoda sampling dan analisis ter dan producer gas telah dikembangkan dan diujicobakan dengan baik terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara dari Kalimantan Selatan yang menghasilkan kadar ter dan partikulat masing-masing antara 7 62 mg ter/Nm3 dan 31 50 mg partikulat/Nm 3 yang telah memenuhi persyaratan untuk pengoperasian mesin diesel. Pengoperasian mesin diesel menggunakan producer gas dari batubara menunjukkan kinerja yang cukup baik, tidak terdapat endapan ter dan partikulat dalan ruang bakar mesin. 5.2. Saran Hasil ini agar dapat ditindaklanjuti dengan pengembangan metoda standar melalui kerjasama dengan laboratorium lain untuk melakukan uji pembanding (Round Robin test). Pengembangan metoda sampling dan analisis producer gas juga perlu dikembangkan agar komposisi gas dapat langsung diketahui sehingga pemanfaatan untuk mesin diesel dapat terjamin.

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi

21

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Puslitbang tekMIRA, PT PLN Jasa Produksi dan PT Coal Gas Indonesia (PT CGI) atas kerjasamanya dalam penyelenggaraan kegiatan ini.

Nussbanmer, T., 1998. Guide line for Sampling and analisis of Tars Condensates and Particulates From Biomass Gasifier, Swiss Federal Institute of Zurich, Zurich. Turare, C. Biomass Gasification Technology and Utilization. ARTES Institute Glucksburg, Germany. van de Kamp, W., de Wild, P., Zielke, U., Suomalainen, M., Knoef, H., Good, J, Liliedahl, T., Unger, C., Whitehouse, M., Neeft, J., van de Hoek, H. & Kiel, J., 2005. Tar measurement standard for sampling and analysis of tars and particles in biomass gasification product gas. 14th European Biomass Conference & Exhibition, Paris, 17-21 October. Van Dyk, J.C., Keyser, M.J. & Coertzen, M. Sasols Unique Position in Production from South African Coal Source Using SasolLurgi Fixed Bed Dry Bottom Gasifier. Sasol Technology. R&D Division, Syngas and Coal Technologies, Sasolburg, South Afrika. Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology, Blackwell Scientific Publications, Melbourne.

DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1986. Wood Gas as Engine Fuel. FAO, Rome. Anonymous, 2006. Biomass downdraft gasifier engine system. http:/devafdc.nrel.gov/pdfs. Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization. Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons, New York. Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology. Vol II, Section C: Gaseous Fuels. Pergamon Press, Oxford. Nowacki, P. (Ed.), 1981. Coal Gasification Process. Noyes Data Corporation Jersey.

22

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PADA ERA GLOBALISASI

Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telp.021 7222583 Fac.021 7226011 e-mail : djokosnj@lemigas.esdm.go.id, bambangwtm@lemigas.esdm.go.id

SARI Paradigma baru pengelolaan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus bergulir, setelah penyerahan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas kemudian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dari implementasi UU Migas dan UU Minerba yang baru, terdapat persamaan antara lain tentang kepedulian lingkungan. Perlu upaya khusus untuk implementasi pengelolaan lingkungan dan penanganan dinamika kegiatan pertambangan mineral dan energi pada era globalisasi. Analisis pada studi kasus kegiatan pertambangan apabila berpatokan pada nuansa desentralisasi dan meninggalkan sentralisasi akan menimbulkan dampak baru. Dampak lingkungan yang timbul dapat berkembang menjadi permasalahan global, tidak terkotak-kotak wewenang daerah/pusat, namun menjadi urusan internasional. Demikian juga pengelolaan ekspor mineral, pengembangan teknologi termasuk impor peralatan masih dalam konteks sentralisasi. Permasalahan bertambah kompleks dengan berfluktuasinya produksi dan harga komoditas mineral. Diperlukan antisipasi pengelolaan sebaik-baiknya yang meliputi 3 faktor utama pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di Indonesia, yakni jenis mineral, luas wilayah dan perkembangan perekonomian. Adanya berbagai input dan proses kegiatan pertambangan, menjadi masukan informasi untuk kembali ke konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Salah satunya adalah konsep Green Mining and Energy, akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan utamanya selalu mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan pertambangan. Kata kunci : lingkungan, Sektor ESDM, globalisasi

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono

23

ABSTRACT New paradigm on management Energy and Mineral Resources Sector, after Oil and Gas Law (Law No. 22 year 2001) and Mining and Coal Law (Law No. 4 year 2009) is going on. The implementations of those laws pay the same attention on environment management. Special effort is needed for environment management to cope with the dynamics of mineral and energy activities in globalization era. Analysis from case study in mining activity if decentralism spirit is used and leaving from centralization spirit will create new impact. Environmental effect could generate the global problems, not only local but also international. Export activities of minerals, development of technologies and import of equipment which is still centralized and the complexity of the problems with fluctuations of product and mineral price need anticipation to manage it, these involve five factors: minerals item, mining area, economics development. With the inputs from mining activities there be sufficient information to come back to available environment management since Green Mining and Energy concept will cause a sustainable benefit output, in primary environment factors and community of the surrounding mining activities. Keywords: environment, energy and mineral resources sector, globalization

1.

LATAR BELAKANG

kelistrikan serta beberapa studi kasus. Pendekatan kegiatan berbasis masyarakat (community based activities), lebih mungkin menghasilkan tindakan yang merespon kebutuhan riil penduduk ataupun masyarakat lingkar pertambangan. Perlu kesadaran manfaat dan resiko bahaya yang dihadapi dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri dari dampak negatif yang timbul. Dalam UU Minerba yang baru telah dilengkapi tata cara pengembangan terkait masyarakat, reklamasi sampai pascatambang, yaitu; Penanganan lingkungan hidup Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan (beberapa pasal, antara lain pasal 78) Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang (pasal 39)

Dengan terbitnya perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan pengelolaan energi dan sumber daya mineral, terdapat persamaan dalam permasalahan lingkungan yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebagai negara kepulauan, jumlah dan penyebaran penduduk yang timpang serta adanya perbedaan ekologi di berbagai kawasan Indonesia, tidaklah mengherankan apabila pada masing-masing wilayah terdapat perbedaan dalam upaya penanganan lingkungan dan peningkatan perekonomian atau Pendapatan Asli Daerah dari kegiatan pertambangan. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka mempersiapkan peraturan dan keputusan sebagai turunan dan pendukung Undang Undang Minerba yang baru. Pemutakhiran dan upaya khusus implementasi pengelolaan lingkungan di tengah dinamika kegiatan pertambangan mineral dan energi sangat diperlukan guna menciptakan pertambangan berwawasan lingkungan.

3.

POTENSI DAN PEMANFAATAN BATUBARA INDONESIA

2.

PENDEKATAN TEORI DAN ANALISIS

Pendekatan kegiatan menggunakan teori kebijakan dan geologi lingkungan dikomparasi dengan data sekunder pengusahaan mineral dan batubara. Analisis komparatif dilakukan dengan subsektor lainnya dikompilasi dengan kekhususan pengembangan subsektor minyak dan gas bumi, produksi mineral, dan pemanfaatan batubara untuk

Sejak tahun 2006 Pemerintah menggulirkan beberapa kebijakan untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan bukan Bahan Bakar Minyak atau non-BBM. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif kepada perusahaan batubara pemasok pembangkit listrik PLTU. Insentif yang diberikan berupa pemotongan dana pengembangan batubara yang merupakan bagian dari Dana Hasil Produsen Batubara (DHPB) yang disetor perusahaan tambang ke kas negara. Insentif tersebut diberikan hanya untuk kebutuhan pembangunan pembangkit listrik dan tidak boleh digunakan untuk keperluan ekspor.

24

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Meningkatnya pemakaian BBM untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan listrik tenaga uap (PLTU) memberatkan PLN dari segi biaya, di samping berdampak timbul masalah gangguan kualitas lingkungan. Salah satu solusi jangka panjang untuk menekan beban PLN dengan menggunakan batubara untuk pembangkit listrik yang akan dibangun maupun yang telah beroperasi. Batubara sebagai bahan bakar PLTU pengganti BBM dilandasi alasan karena batubara lebih murah dan cadangannya cukup besar, sehingga menjamin pasokan. Kebijakan Energi Nasional 2003-2009 menyebutkan bahwa penggunaan batubara dapat mendorong pengembangan batubara kalori rendah di dalam negeri, selaras hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi batubara kalori rendah cukup besar yang selama ini belum dieksplorasi. Ibrahim (2008) dalam bukunya General Check-Up KELISTRIKAN NASIONAL; Produksi batubara dalam negeri sekitar 203 juta ton per tahun, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah PLTU diperlukan sebanyak 21,28 juta ton per tahun, dalam Program 10.000 MW sebagian besar menggunakan batubara. Akan dibangun PLTU Suralaya, PLTU Labuhan dan Tangerang (Provinsi Banten). Di Jawa Barat akan dibangun PLTU Indramayu dan Pelabuhan Ratu. Jawa Tengah akan dibangun PLTU Rembang dan Tanjung Jati. Sedangkan di Jawa Timur akan dibangun PLTU Pacitan, Paiton dan Tuban.

Terkait dengan jenis mineral dan pertambangan, dalam UU Minerba yang baru diuraikan pada BAB VI pasal 34; Usaha Pertambangan dikelompokkan menjadi pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Pertambangan mineral masih digolongkan lagi menjadi; pertambangan mineral radioaktif, pertambangan mineral logam, pertambangan mineral nonlogam dan pertambangan batuan (UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) Sesuai klasifikasi untuk pengelolaannya tergantung jenis dan kategori mineral, seperti dalam pengusahaan migas dibedakan institusi pemerintah sebagai regulator (Ditjen Migas) dan badan yang melakukan pengawasan kegiatan baik hulu dan hilir migas oleh BP Migas dan BPH Migas, demikian juga nantinya untuk mineral strategis lainnya termasuk batubara. Saat ini pertambangan mineral dan batubara di Indonesia cenderung menggunakan sistem tambang terbuka (open pit mining) yang menggunakan lahan luas. Contoh pertambangan mineral logam PT Newmont Nusa Tenggara memerlukan wilayah yang luas Gambar 1. Sebaliknya beberapa tambang dalam memerlukan lahan yang relatif tidak luas, seperti tambang yang sudah lama dikembangkan tambang emas Pongkor, Jayawijaya, batubara di Sawahlunto. Peningkatan pertambangan batuan sesuai kegiatan pembangunan fisik sarana-prasarana, tetap memerlukan kewaspadaan dalam pengelo-laannya terkait lingkungan, misal penambangan di daerah resapan air tanah, dekat kawasan budi daya atau pada kawasan hutan dan kawasan lainnya.

4.

ANALISIS KOMPARATIF

Upaya mengatasi permasalahan yang timbul dapat diantisipasi dengan pengelolaan sebaik-baiknya, meliputi 3 faktor utama yang berperan penting dalam pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di Indonesia, yaitu ; 1. Jenis Mineral 2. Wilayah Pertambangan 3. Perkembangan Perekonomian 1. Jenis Mineral Klasifikasi mineral ataupun pembagian bahan galian sesuai Undang-Undang atau PP No 27 Tahun 1980 dibedakan menjadi 3 jenis atau kategori, yaitu kategori A (Bahan Galian Strategis), kategori B (Bahan Galian Vital atau Logam) dan Golongan C (Industri atau bahan bangunan), sampai saat ini masih relevan. Namun dalam pengelolaan dan pekembangannya diperlukan inovasi dan keluwesan mengaplikasikan dalam peraturan perundangan baru.

Gambar 1. Kegiatan operasi di tambang terbuka Batu Hijau (Foto : Newmont Nusa Tenggara, 2006)

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono

25

Kasus terjadinya ledakan tambang batubara Sawahlunto yang menelan korban meninggal lebih dari 30 orang pada pertengahan Juni 2009, salah satu penyebabnya diduga pengelolaan dan pengusahaannya mengabaikan prosedur dan pengawasan lingkungan dan keselamatan kerja seperti yang seharusnya berlaku pada kegiatan tambang bawah tanah/tambang batubara. 2. Wilayah Pertambangan Keberadaan wilayah pertambangan sangat mempengaruhi pelaksanaan dan permasalahan yang timbul di lapangan, masalah tumpang-tindih dengan sektor atau subsektor lain, penyerobotan wilayah oleh pertambangan tanpa ijin termasuk permasalahan lingkungan yang tidak mudah diselesaikan. Wilayah Indonesia yang memiliki tidak kurang dari 13.667 pulau mempengaruhi implementasi organisasi, efektivitas dan efisiensi terkait kewilayahan. Sebagai contoh, kasus penanganan pengawasan Usaha Hulu Migas yang selama ini dilakukan BP MIGAS sesuai UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, salah satu implementasinya BP MIGAS membuka kantor perwakilan dan penghubung di daerah. Hal ini karena kompleksnya permasalahan pengawasan kegiatan hulu migas dan lokasi wilayah yang tersebar dan sulit dijangkau. Keterkaitan wilayah dan kepadatan penduduk terlihat perbedaan antara Wilayah Jawa dan luar Jawa, khusus Pulau Jawa menampung hampir 60 % penduduk Indonesia, demikian juga antara Sumatera Jawa dengan pulau lain di Indonesia Timur. Dari berbagai pulau; Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi merupakan tempat pemukiman yang utama. Pengembangan pertambangan akan mempertimbangkan lebih banyak faktor pada daerah padat penduduk. Tantangan ke depan menjadi bertambah karena peningkatan jumlah

penduduk dan pertambangan mengarah ke wilayah padat penduduk, sehingga diperlukan pendekatan sosio kemasyarakatan dan teknologi dalam pengelolaan mineral dan energi. Keberhasilan kegiatan community development atau social responsibility dan program kemasyarakatan yang sejenis menjadi indikator keberhasilan kegiatan pertambangan suatu wilayah (Sunarjanto dan Adji, 2005). Tingkat kepadatan penduduk tempat kegiatan pertambangan berada, dan temehadap pada satu sisi akan menjadi potensi sumber daya yang tidak boleh diabaikan. 3. Perkembangan Perekonomian Akhir-akhir ini permasalahan lingkungan menjadi bagian penting dalam perekonomian, sesuai UU Minerba baru daerah pertambangan berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (pasal 28). Sisi lain pengelolaan pertambangan mineral dan energi tergantung pada modal besar dan beresiko tinggi, mengakibatkan ketergantungan pada perekonomian global, termasuk di dalamnya investasi dan nilai tukar mata uang, pajak, ketenagakerjaan sampai ekspor-impor. Impor peralatan, mesin dan teknologi dari beberapa negara luar, sebaliknya hasil kegiatan pertambangan diekspor ke luar negeri. Tercatat produksi nasional tembaga, emas, perak dan timah lebih besar untuk kebutuhan luar negeri, bahkan tahun 2007 produksi bauksit (1,536,542 MT) dan bijih nikel (4,309,134 Ton) untuk memenuhi kebutuhan luar negeri (Tabel 1). Dari sisi mikro-ekonomi fluktuasi harga komoditas, akuisisi perusahaan, penggabungan beberapa perusahaan bahkan pengalihan bidang usahapun perlu diperhitungkan untuk keamanan berusaha dan mempertahankan stabilitas investasi. Untuk itu pelaksanaan rangkaian kegiatan pertambangan di Indonesia masih dikontrol langsung pemerintah, sejak perencanaan, eksplorasi-eksploitasi sampai pengawasan dan audit pascakegiatan pertambangan.

Tabel 1. Produksi hasil tambang terpilih, kebutuhan dalam negeri dan ekspor
2006 2007*) 2008*) Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik 817,796 816,181 159,783 797,604.75 497,704.48 287,127.43 330,267 272,186 42,884 85,411 85,176 1,882 117,726.64 83,249.67 36,774.24 33,923 32,222 5,318 261,398 244,144 12,967 269,376.48 188,665.07 80,248.42 122,470 97,671 97,515 65,357 61,422 1,927 91,284.31 90,555.61 1,862 25,407 22,048 747 1,501,937 1,536,542 15,406,044.73 17,031,809.46 25,762.49 6,706,483 7,702,308 102,326 4,353,832 4,309,134 6,623,024 5,989,105 56,775 3,619,183 3,037,442 -

Tembaga (Ton) Emas (KG) Perak (KG) Timah (Ton) Bauksit (MT) Bijih Nikel (Ton)

*) Termasuk Kuasa Pertambangan Status Data, Juli 2008 Sumber : Directorate General of Mineral Coal and Geothermal (2008)

26

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

5.

ALTERNATIF SOLUSI

Alternatif solusi merupakan bagian dari strategi yang diperlukan guna mempercepat dan akurasi suatu proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Soelistijo (2000) secara makronasional, dengan disesuaikan terhadap terdapatnya sumber daya mineral dan energi, pengembangan wilayah Sektor ESDM terdiri dari 3 alternatif, yaitu ; Pusat pertumbuhan (growth center). Agregatif: yang potensinya menunjang konsepsi pengembangan wilayah sektor lain. Regional Integratif: yang potensinya bersifat merangsang pengembangan wilayah sektor lain. Dalam perkembangannya selama ini banyak kajian ilmiah, analisis dan alternatif yang sudah disusun ahli maupun institusi. Berdasarkan analisis komparatif, sebagai suatu alternatif solusi terdapat input dan proses kegiatan pertambangan dapat diarahkan mencapai output yang bermanfaat banyak pihak. Dapat ditinjau kembali konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada, salah satunya adalah konsep Green Mining and Energy akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan. Apabila dikaitkan dengan lingkungan dan pengembangan wilayah selalu mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan pertambangan atau diistilahkan masyarakat lingkar luar, baik lingkar 1, lingkar 2 dan seterusnya.

Peningkatan emisi gas CO2 di atmosfer akan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan curah hujan dan pemanasan global. Selain mendorong terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati, pemanasan global juga dapat menimbulkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang, penurunan produktivitas perikanan laut, terjadinya perubahan musim, meledaknya hama dan wabah penyakit, hujan badai, banjir bandang dan sebagainya. Penggunaan energi batubara dalam penyediaan tenaga listrik ataupun industri mineral dan energi lainnya diupayakan agar lebih ramah lingkungan dan dilakukan dengan melengkapi peralatan yang dapat mengatasi polutan. Dengan melengkapi peralatan sejenis penyaring, maka gas buang dari PLTU ataupun industri menjadi aman bagi lingkungan (Brodjonegoro, Bambang dan Sunarjanto, 2000). Penanganan lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pengelolaan pascatambang (BAB VII pasal 39 UU Minerba) menjadi upaya penting memperbesar dampak positif menciptakan pertambangan secara berkelanjutan sejak eksplorasi sampai dengan esok menjadi suatu kawasan pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh nyata adanya kegiatan pertambangan mineral logam di Maluk Sumbawa yang termasuk Wilayah PT. Newmont Nusa Tenggara dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun mampu membangun Pusat Pertumbuhan Ekonomi baru di Wilayah Indonesia Timur Gambar 2.

6.

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

7.

DISKUSI

Sampai saat ini sumber energi fosil merupakan sumber utama dan penggunaan bahan bakar batubara pada PLTU dapat berdampak merugikan lingkungan. Secara fisik tampak mata adalah perubahan bentang alam, sebagai ilustrasi digambarkan dalam Gambar 1. Dampak negatif yang tidak tampak secara langsung sebagai sumber utama emisi berbahaya seperti SO2, CO, CO2, dan abu. Salah satu emisi yang harus mendapatkan perhatian dari pembakaran batubara pada pembangkit listrik adalah SO2, yang merupakan gas tidak berwarna, berbau menyengat dan sangat berbahaya bagi tumbuhan dan hewan. SO2 menyebabkan gangguan pernafasan, dapat menyebabkan kebutaan dan kematian pada manusia. Dampak lainnya mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat merusak tanaman serta mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat merugikan kehidupan, karena banyak di antara spesies yang punah tersebut merupakan spesies yang berguna bagi manusia (Christensen, 1991).

Kegiatan ESDM khususnya pertambangan mineral masih terkonsentrasi di darat, di mana daratan hanya menempati sepertiga Wilayah Indonesia. Menjadi peluang dan tantangan untuk lebih intensif mengembangkan pertambangan mineral di lepas pantai. Bila dibandingkan masih lebih banyak kegiatan migas yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan migas lepas pantai. Penambangan timah dan pasir laut di daerah Riau Kepulauan dan sekitarnya menjadi contoh pertambangan mineral lepas pantai yang dapat dilakukan pada wilayah lain. Perubahan pada era globalisasi yang kadang berubah secara cepat dari segenap pihak pemangku kepentingan, shareholder sampai pihak luar/internasional, membentuk rantai semacam siklus. Diperlukan pemutakhiran dan diskusi yang berkelanjutan mengantisipasi perubahan yang dinamis. Sebagai bahan pengambilan keputusan ataupun masukan dalam penyusunan peraturan,

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono

27

MALUK 1995

MALUK 2005

Gambar 2. Perbandingan maluk, Sumbawa pada tahun 1995 dan 2005, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (Sumber : PT Newmont Nusa Tenggara)

diperlukan perhatian khusus pada permasalahan, antara lain : Produksi dan harga komoditas mineral yang terus berfluktuasi. Dampak lingkungan (dampak negatif) yang timbul dapat berkembang secara cepat menjadi permasalahan global. Bencana lingkungan dan kebumian yang tidak terkait pertambangan ataupun ESDM, dijadikan alasan untuk menyalahkan dunia pertambangan dan pemangku kepentingan. Pengelolaan lingkungan pertambangan lepas pantai yang baik sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan wilayah dan ikut melindungi pelestarian alam. Pengelolaan lingkungan Sektor ESDM menjadikan lingkungan bumi yang berkualitas sekaligus sebagai warisan generasi yang akan datang.

UCAPAN TERIMA KASIH Tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Suprajitno Munadi, yang telah bersedia mengoreksi dan memberi masukan. Terima kasih kepada Kepala PPPTMGB LEMIGAS, Bapak Dr. Ir. Hadi Purnomo, M.Sc DIC yang memberi kesempatan penulis menyampaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Brodjonegoro, Bambang and Sunarjanto, 2000, The Sustainable Economic Growth Pole in The Mining Area Using AHP Method: Case Study of PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Pongkor Gold Mine-West Java Indonesia, Proceedings of INSAHP, Jakarta. Christensen, J.W., 1991, Global Science, Energy, Resources, Environment, Kendall/Hunt Publishing Company, Dubuqe Iowa, third edition, 699 p., ISBN 0-8403-4657-3. Directorate General of Mineral Coal and Geothermal, Ministry of Energy and Mineral Resources The Republic of Indonesia, 2008, Indonesias Mineral and Coal Development, Country Paper, Bali-Indonesia. Ibrahim, A. H., 2008. General Check-Up Kelistrikan Nasional, MediapIus Network,

8.

PENUTUP

Penanganan lingkungan hidup sampai kegiatan pertambangan selesai/ pascatambang menjadi upaya penting memperbesar dampak positif dan memperkecil dampak negatif. Suatu kawasan pertambangan mengubah lokasi terpencil menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sudah banyak terbukti berhasil pada beberapa wilayah, namun masih diperlukan usaha lain agar tercipta pertambangan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan.

28

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Cetakan Pertama November 2008, ISBN 978979-18898-0-3. Newmont Nusa Tenggara ,PT., 2006, Batu Hijau, Dulu, Kini dan Esok, Cetakan Kedua. Soelistijo, U. W., 2000, Pengembangan Wilayah Sektor Pertambangan dan Energi, DPE, Ditjend Pertambangan Umum, PPTP, Bandung.

Sunarjanto,D. and Adji G.T, 2005, Corporate Social Responsibility One of Methods To Expand The Benefit for Oil and Gas Bearing Area, Proceedings 30th Annual Meeting IPA, Jakarta, ISBN 979-98000-7-2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono

29

PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PADA ERA OTONOMI DAERAH

Umar Dhani Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudriman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022- 6003373 e-mail : umard@tekmira.esdm.go.id

SARI Digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah pada awal tahun 2000, merupakan babak baru dalam pemerintahan daerah. dengan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan adanya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah berpacu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada dan menciptakan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD) dengan legitimasi berupa Perda. Dalam waktu yang sangat singkat, perda-perda tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak dan retribusi atau pungutan lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hingga pertengahan bulan Juni tahun 2009, Departemen Keuangan telah mengumpulkan 12.031 Perda dan berdasarkan hasil evaluasi telah merekomendasikan sebanyak 2.894 perda dibatalkan dan 144 perda direvisi. Hal ini menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah. Selain itu, dengan adanya kebijakan otonomi memberi peluang pengembangan pertambangan di daerah, antara lain : kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan potensi bahan galian, peningkatan penerimaan, kesempatan kerja dan berusaha serta terciptanya pengembangan wilayah. Kata kunci: peluang, pengembangan pertambangan, otonomi daerah

ABSTRACT The release of the regional autonomy policy in the early 2000 is a new era of the regional government, in which the region has an authority to manage its region professionally. Consequently, the regional government is pushed to optimized potential of the resources and to create a policy of improving regional revenue by legitimating regional regulations. In a relatively short time, these regulations grow widely, and this causes collection of taxes, retribution and other taxes, which are no relation with the public interest and the higher regulations. This is against the investment promotion in the country.

30

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Until the mid of June 2009, the Ministry of Finance has collected 12,031 regional regulations. According to the evaluation results, 2,984 regulations are deleted and 114 are revised. This indicates that those regulations have problems, so they must be eliminated or revised, because they will create an unconducive condition and can hamper the economic growth and the opportunity of investing in the mining sector in the region. Moreover, the autonomous policy has provided an opportunity to develop the mining sector in a region in terms of management authority of utilizing mineral potential, revenue increase, job creation and regional development. Keywords: opportunity, mining development, regional autonomy

1.

PENDAHULUAN

Selama lebih dari dua dasawarsa, kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada era ini peran Pemerintah Pusat sangat menonjol, sehingga menimbulkan ketergantungan daerah terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program pembangunan di daerahnya serta sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan diatur oleh pusat. Pada awal tahun 2000 diberlakukannya kebijakan otonomi, yaitu desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah yang diimplementasikan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Otonomi daerah diartikan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya secara luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, dan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 2000, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota telah melakukan pembenahan dan penyesuaian administratif dan struktur organisasi, kelembagaan. Salah satu upaya yang menonjol yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada era ini adalah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda). Maraknya meenerbitkan Perda tersebut, masih banyak yang tidak selaras dengan kebijakan yang lebih tinggi, bahkan cenderung tumpang tindih dan terkesan hanya berorientasi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Selain itu, masih banyak terjadi perbedaan penjabaran

mengenai otonomi daerah yang dituangkan dalam perda pada masing-masing daerah. Hal ini akan menimbulkan iklim yang tidak kondusif karena ketidak-konsistenan kebijakan dan bahkan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah. Permasalahan tersebut terjadi pada seluruh sektor usaha, termasuk sektor pertambangan. Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, terjadi penurunan investasi pada seluruh sektor usaha, termasuk pada sektor pertambangan mineral dan batubara. Penurunan tersebut bukan hanya dipicu oleh diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, tetapi juga kebijakan pertambangan yang mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah tidak selaras dengan semangat otonomi daerah yang sedang digiatkan. Selain itu masih terjadi perbedaan persepsi dalam menterjemahkan kebijakan otonomi daerah, khususnya pada sektor pertambangan, sehingga menimbulkan ketidakselarasan dengan kebijakan di atasnya atau kebijakan sektor lain. Permasalahan-permasalahan tersebut pada akhirnya dapat berakibat terganggunya perekonomian daerah maupun nasional.

2.

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, menghormati budaya budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani

31

manusia yang ada di wilayahnya masing-masing (UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip otonomi daerah adalah desentralisasi, penyerahan semua kewenangan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan/yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Dalam penyerahan disertai pembiayaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Pelaksanaan kewenangan didasarkan pada norma, standar, dan prosedur. Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintahan. Yang dimaksud dengan kriteria eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; kriteria akuntabilitas adalah penanggung jawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan; kriteria efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, keinginan pembentukan daerah otonom baru berkembang sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah daerah otonom baru sejak tahun 1999 hingga Desember 2008 sebanyak 215 daerah otonom baru, yang terdiri atas : 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota. Selain itu, masih terdapat usulan baru yang siap dibahas maupun yang belum diproses tentang pembentukan daerah otonom baru. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil

pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Di dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlu diperhatikan keserasian hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib, dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria. Urusan pemerintahan wajib dan pilihan menjadi dasar penyusunan susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi : kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan pengendalian dampak lingkungan, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi : pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya

32

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pemerintahan daerah merupakan satuan pemerintahan teritorial tingkat lebih rendah dalam negara kesatuan RI, yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya (Bagir Manan, 2001). Satuan pemerintahan teritorial tersebut disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang administrasi negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah disebut otonomi. Dengan demikian, agar wewenang pemerintah daerah dapat dijalankan, maka diperlukan dasar hukum pelaksanaan, yaitu sesuai pasal 136 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif menetapkan Perda atas persetujuan bersama DPRD. Perda yang disusun tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 7 Ayat (1) mengatur hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, perda merupakan salah satu produk hukum yang ada di Indonesia. Perda yang disusun oleh pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dibatalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Perda yang terbit sebelum Oktober 2004, pembatalannya melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, sedangkan setelahnya pembatalan melalui Peraturan Presiden. Perda dan ketentuan daerah lainnya bersifat mengatur dan diundangkan melalui Lembaran Daerah. Untuk perda yang mengatur mengenai pajak daerah, retribusi daerah, Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), perubahan APBD, dan tata ruang sebelum ditetapkan dan diberlakukan terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Pemerintah daerah menyusun perda dalam rangka merumuskan berbagai kebijakan pembangunan atau dalam rangka memacu pertumbuhan perekonomian di daerah.

Perda bermasalah pada prinsipnya adalah perdaperda yang karena keberadaannya akan menyebabkan terhambatnya efektifitas perekonomian (P. Agus Pambudhi, 2006). Atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Perda yang dikategorikan bermasalah adalah berdasarkan prinsipil, substansi dan yuridis. Bermasalah secara prinsipil adalah perda yang memberikan hambatan dalam konteks ekonomi makro, yaitu : Berpotensi bertentangan dengan prinsip keutuhan wilayah ekonomi nasional. Berpotensi menyebabkan munculnya persaingan yang tidak sehat (monopoli, oligopoli, kemitraan wajib, dll). Berdampak negatif terhadap perekonomian (ekonomi biaya tinggi atau pajak ganda). Berpotensi menghalangi atau mengurangi akses masyarakat (bertentangan dengan prinsip keadilan). Merupakan suatu bentuk pelanggaran kewenangan pemerintah. Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Implikasi dari kebijakan desentralisasi ini adalah banyaknya produk perda yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah bertentangan dengan kebijakan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Hal ini, dapat berakibat terganggunya iklim investasi yang ada di daerah dan berdampak pada perekonomian daerah maupun nasional. Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak dan retribusi yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan gencarnya pemerintah menggalakkan investasi untuk pembangunan di Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap perda yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah. Hingga pertengahan tahun 2009, Departemen Keuangan telah mengumpulkan 12.031 perda untuk dievaluasi. Dari jumlah tersebut sebagian besar telah dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan hingga Juni tahun 2009 telah merekomendasikan untuk membatalkan 2.894 perda dan 144 perda direvisi. Hal ini

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani

33

menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga harus dibatalkan atau direvisi. Banyaknya perda yang bermasalah tersebut dapat berakibat terganggunya aktivitas pemerintahan maupun perekonomian wilayah. Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada awal tahun 2000 telah menimbulkan interpretasi yang, khususnya berkaitan dengan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama pasal 7 dan pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis merupakan kewenangan pusat. Pada sisi lain pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga diinterpretasikan bahwa kegiatan sektor pertambangan umum merupakan kewenangan daerah. Sebenarnya dari kedua pasal, tersebut menimbulkan adanya ketidakjelasan kewenangan pengelolaan sumber daya alam (minerba) antara pusat dan daerah. Dengan diterbitkannya PP Nomor 38 Tahun 2007 yang merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 telah secara jelas mengatur pembagian urusan antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam kebijakan tersebut telah terjadi perubahan yang mendasar tentang pengawasan perda. Khusus perda yang berkaitan dengan pajak, retribusi, APBD dan tata ruang setelah Oktober 2004 dilakukan evaluasi oleh pusat sebelum ditetapkan oleh daerah. Dasar pembatalan perda tentang pertambangan umum adalah berkaitan dengan pajak dan retribusi izin usaha pertambangan dan birokrasi proses perizinan. Pada umumnya pembatalan perda tentang pajak dan retribusi pertambangan adalah bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2000 dan PP 65 Nomor 2001. Kegiatan usaha di sektor pertambangan umum (KP, KK dan PKP2B) telah dikenakan iuran tetap (landrent) dan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty). Dengan demikian, apabila dikenakan pungutan lain akan menimbulkan pungutan ganda dan dapat memberatkan pelaku usaha di bidang pertambangan. Berdasarkan hasil kompilasi perda yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan pada 8 provinsi,

terkumpul 242 perda pada 147 kabupaten. Dari jumlah perda tersebut, sebagian besar (183 perda atau 75%) mengatur tentang pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Sedangkan, perda yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan sebagian besar wilayah kabupaten belum menyusun, yaitu hanya terdapat 39 perda. Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah lebih mendahulukan kebijakan yang berkaitan dengan pungutan dibandingkan kebijakan tentang pengelolaan kegiatan pertambangan. Hal ini sangat rentan terhadap aktivitas pertambangan maupun lingkungan.

3.

KEBIJAKAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan, apabila terlebih dahulu telah mendapatkan izin, yaitu berupa Kuasa Pertambangan (Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001). Pemberian izin usaha pertambangan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Pemerintah daerah sesuai dengan lingkup usahanya menugaskan pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan dan skala usahanya untuk membantu program pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah pada masyarakat setempat, yaitu berupa pengembangan sumber daya manusia, kesehatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Diharapkan dengan adanya kegiatan ini masyarakat sekitar merasakan dampak positif aktivitas pertambangan di daerahnya. Sebagai pedoman teknis penyelenggaraan kewenangan tersebut Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam PP tersebut diuraikan secara jelas mengenai jenjang kewenangan antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam rangka mendukung dan memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang pertambangan umum, Departemen ESDM telah menerbitkan Keputusan Menteri mengenai pedoman teknis (Kepmen No. 1453.K/29/NEM/2000). Dalam pedoman teknis tersebut telah diatur mengenai tata cara permohonan perizinan, pengelolaan lingkungan, pengawasan lingkungan, eksplorasi,

34

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

konservasi, dan produksi. Selanjutnya, untuk melaksanakan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menindaklanjuti dengan menerbitkan perda, baik yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan umum maupun pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Namun demikian, perda yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah tentang pengelolaan pertambangan umum masih banyak yang belum sesuai acuan di atas, bahkan masih ditemukan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada. Hal ini dimaksudkan adanya kesesuaian fungsi kawasan maupun menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang atau benturan kepentingan antarsektor. Pada umumnya sebagian besar daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun belum pengalokasikan kawasan untuk pengembangan kegiatan pertambangan. Dengan demikian, pengembangan potensi bahan galian yang ada menjadi sulit dilakukan karena keberadaanya bukan merupakan fungsi kawasan pertambangan. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan harus berada pada kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pertambangan pada RTRW. Dengan demikian, Pemerintah Daerah segera menyiapkan kawasan untuk kegiatan pertambangan yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW. Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti oleh tuntutan reformasi, a.l. demokratisasi; HAM, lingkungan hidup dan ekonomi telah mendorong atas kebutuhan mendasar ke arah perubahan sistem yang desentralistik . Maka peraturan yang berkaitan dengan pertambangan harus menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada intinya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 disusun dengan mempertimbangkan seluruh aspek perubahan saat ini, seperti otonomi daerah, HAM, lingkungan hidup, kebutuhan sosial, politik dan ekonomi. Butir-butir penting dalam UU Nomor 4 Tahun 2009, antara lain : Sistem perizinan, eksplorasi dan eksploitasi lebih sederhana. Klarifikasi wewenang dan ruang lingkup Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota. Aspek nilai tambah, yaitu pemrosesan dan pemurnian logam harus dilakukan di dalam negeri.

Tidak ada lagi sistem kontrak langsung antara perusahaan dengan Pemerintah, melainkan diberlakukannya sistem izin usaha pertambangan (IUP). Pengembangan masyarakat difokuskan pada kesejahteraan rakyat.

4.

PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Perda

a.

Semenjak digulirkanya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun kebijakan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi wilayah dalam rangka pengelolaan pertambangan dan meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pajak dan retribusi daerah maupun pungutan lainnya (sumbangan pihak ketiga). Optimalisasi pemanfaatan potensi ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pembiayaan pembangunan. Untuk melegalisasi meningkatkan pendapatan dan pembangunan daerah tersebut pemerintah daerah menyusun perda. Kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya maupun kemampuan dalam pengelolaannya. Pedoman maupun acuan dalam menyusun Perda pengelolaan pertambangan telah diatur dan penerapan penyusunannya disesuaikan dengan karakteristik wilayah. Diharapkan, dengan adanya tersedianya acuan pengelolaan pertambangan yang baik dapat merangsang investasi pengusahaan pertambangan di daerah. b. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Bahan Galian

Pada umumnya potensi bahan galian belum diusahakan secara maksimal dan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal ini karena potensi bahan galian yang dikembangkan adalah bahan galian golongan C dan dilakukan secara tadisional atau tambang rakyat. Untuk wilayah yang memanfaatkan bahan galian golongan A dan B yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perekonomian dan penerimaan daerah serta menyumbangkan terhadap penerimaan negara.

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani

35

Kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah gencar melakukan identifikasi dan inventarisasi potensi bahan galian yang ada dalam rangka menarik investor menanamkan modalnya di bidang pertambangan. Dengan adanya kebijakan ini memberikan peluang termanfaatkannya potensi yang ada. Secara umum upaya yang dilakukan ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang cukup baik, yaitu semakin bertambahnya investasi di bidang pertambangan di daerah, yaitu yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah izin usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah daerah. c. Perizinan Pertambangan

pemerintah daerah terjadi peningkatan yang cukup signifikan (Tabel 1). Meningkatnya jumlah izin usaha bidang pertambangan (KP) tersebut menunjukkan adanya peningkatkan investasi bidang pertambangan dan meningkatnya PAD melalui sektor pertambangan. Sebagai contoh, telah terbit ratusan KP batubara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Bupati) salah satu provinsi di Kalimantan, yaitu terdapat 354 izin yang telah dikeluarkan, 260 buah diantaranya berupa KP yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. d. Penerimaan Daerah

Sebelum adanya otonomi daerah perizinan di bidang pertambangan umum dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk KK, PKP2B dan KP, sedangkan perizinan pengusahaan bahan galian golongan C diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk SIPD. Pada saat ini perizinan usaha pertambangan umum diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Untuk melakukan perpanjangan izin yang dikeluarkan dari pusat (KK dan PKP2B) selebihnya menjadi kewenangan daerah sesuai kewenangannya. Salah satunya faktor maraknya izin pertambangan yang dikeluarkan daerah adalah adanya kebijakan otonomi daerah. Melalui UU tersebut membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di wilayahnya, jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan sebelumnya. Berdasarkan rekapitulasi dari Departemen ESDM, izin usaha pertambangan dalam bentuk KK dan PKP2B jumlahnya cenderung menurun, namun untuk izin yang berupa KP yang dikeluarkan oleh

Distribusi pajak-pajak pertambangan yang menjadi hak daerah belum dilakukan secara lebih adil dan tepat waktu ke daerah penghasil yang berhak. Hal ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh daerah, karena penerimaan yang diperoleh tidak tepat waktu. Dari sisi perundang-undangan tersebut di atas pajak dan royalti dari perusahaan pertambangan merupakan penerimaan pusat. Dalam rangka desentralisasi ada sebagian dari penerimaan ini yang dibagihasilkan. Masalah utama dari bagi hasil ini dipandang dari sisi daerah adalah tidak pastinya waktu pencairan dari pusat, sehingga mengganggu penganggaran di daerah. Dalam ketidakberdayaan ini ada sebagian daerah yang mengusulkan agar dana dari perusahaan pertambangan langsung ditransfer ke rekening pemerintah daerah tanpa melalui rekning pemerintah pusat. Sementara pusat berpegang pada kebijakan yang berlaku, bahwa royalty merupakan penerimaan pusat yang dibagihasilkan dan bukan merupakan pajak daerah. Salah satu pengaruh adanya kegiatan pertambangan adalah peningkatan penerimaan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan daerah secara langsung berupa pajak dan retribusi daerah, sedangkan

Tabel 1. Rekapitulasi Izin Pertambangan Jenis kontrak KP KK PKP2B 2001 600 55 119 2002 597 62 101 2003 597 61 101 2004 825 54 87 2005 848 46 82 2006 965 41 81

Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008

36

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

penerimaan tidak langsung adalah penerimaan dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Komponen PNBP terdiri atas iuran tetap, royalti dan penjualan hasil tambang. Penerimaan pajak dan PNBP pertambangan merupakan penerimaan Negara dan dibagi-hasilkan ke daerah. Hasil pertambangan mineral dan batubara telah memberikan kontribusi bagi penerimaan Negara yang cukup besar, yaitu pada tahun 2006 sebesar 29,69 trilyun. Komponen terbesar penerimaan justru berasal dari penerimaan pajak dibandingkan PNBP (Tabel 2).

f.

Kewilayahan

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada, yaitu yang dikelompokkan menjadi kawasan lindung dan budidaya. Kebijakan tata ruang ini menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang atau benturan kepentingan antarsektor. Pengembangan dan pemanfaatan potensi bahan galian yang berada di kawasan lindung tidak dapat dimanfaatkan, sehingga potensinya tidak memberikan nilai ekonomi. Dengan terbitnya UU

Tabel 2. Penerimaan Pajak dan PNBP dari Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2004-2006 (Milyar Rupiah) No. 1 2 Sumber Penerimaan Pajak PNBP Iuran Tetap Royalti Penjualan Hasil Tambang Total
Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008

2004 6.419,62 2.573,66 50,13 1.642,17 881,36 8.993,28

2005 12.827,41 4.788,72 57,10 3.138,94 1.592,68 17.519,66

2006 23.026,31 6.664,81 58,25 4.163,99 2.442,57 29.691,12

2007 17.200,00 8.697,07 76,24 5.771,82 2.849,01 25.897,07

Penerimaan pajak ini menyumbang sekitar 67% dari total penerimaan negara yang berasal dari sektor mineral, batubara dan panas bumi atau setara dengan Rp 17,20 trlyun pada tahun 2007. Secara umum, realisasi penerimaan negara yang berasal dari mineral, batubara dan panas bumi dalam empat tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, meski penerimaan negara pada tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 17% dibandingkan dengan periode sebelumnya. e. Kesempatan Kerja dan Berusaha

Nomor 41 Tahun 1999 jo PP Nomor 2 Tahun 2008 telah memberikan peluang pengusahaan pertambangan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Meskipun banyak kalangan yang menolak PP tersebut karena dinilai melegitimasi perusakan hutan lindung selama ada bayarannya dan murahnya tarif yang dikenakan .

5.

KESIMPULAN

Maraknya kegiatan pertambangan di daerah akan semakin membuka peluang kerja berusaha bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak hanya menjadi penontan seperti yang terjadi selama ini, tapi dapat lebih memberikan kontribusi terlibat langsung pada aktivitas pertambangan sebagai pekerja. Selain itu, dengan berkembangnya kegiatan di suatu wilayah secara tidak langsung akan memberi peluang berusaha dan menciptakan pengembangan wilayah.

Semenjak digulirkan otonomi daerah pada tahun awal tahun 2000, telah terbit ribuan perda sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Perda-perda yang telah terbit tersebut, masih banyak yang tidak selaras dengan peraturan yang lebih tinggi atau mengakibatkan biaya tinggi, sehingga menghambat investasi di daerah. Dengan demikian, banyak perda-perda yang harus dibatalkan atau direvisi. Berdasarkan dari hasil identifikasi terdapat beberapa izin pertambangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak selaras

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani

37

dengan peraturan yang lebih tinggi atau tumpang tindih dengan sektor lain. Hal ini menunjukkan bahwa izin pertambangan yang telah diterbitkan tidak melalui koordinasi dengan dinas/instansi terkait. Untuk mengantisipasi tumpang izin usaha pertambangan yaitu dengan penyusunan basis data pertambangan dengan format yang sama dan menyusun ulang izin-izin yang bermasalah. Pada saat ini dalam kebijakan tata ruang, kawasan untuk kegiatan pertambangan, tidak atau belum dialokasikan secara tegas. Dengan demikian, keberadaan sumber daya mineral yang pada umumnya tersebar di bawah permukaan, menjadi terkalahkan oleh pengembangan ruang sektor lain, sehingga pada saat ruang tersebut akan dikembangkan untuk kegiatan pertambangan menjadi tumpang tindih dengan kegiatan sektor lain. Pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan hampir 9 tahun telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap kegiatan pertambangan di daerah. Pengaruh tersebut, antara lain : kewenangan dalam pengelolaan pertambangan. meningkatnya pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara, meningkatnya penerimaan daerah, membuka kesempatan bekerja dan berusaha, terciptanya pengembangan wilayah. Berdasarkan peluang-peluang tersebut, perlu diperhatikan tantangan dalam pengembangannya, antara tersebut antara lain : ketidaksonsistenan peraturan yang ada, terbatasnya jumlah maupun kemampuan aparat, tingkat kerusakan lingkungan yang cenderung meningkat, masih banyak wilayah belum ada alokasi kawasan pertambangan, dan minimnya data/informasi potensi wilayah. Jika dilihat dari permasalahan yang timbul dengan adanya kegiatan pertambangan serta faktor penyebab permasalahan tersebut, maka pembahasan pelaksanaan pertambangan di daerah perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan untuk pengembangan pertambangan di daerah. Berdasarkan dari peluang dan tantangan tersebut, arahan pengembangan pertambangan dikemudian hari, antara lain : 1. Diperlukan kebijakan/ peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan mulai dari segi perizinan pengusahaan, hingga pemantauan lingkungan pasca tambang. Adanya kepastian hokum dan kepastian berusaha. 2. Diperlukan peningkatan jumlah dan

kemampuan apatur dinas seiring dengan maraknya pengusahaan pertambangan. 3. Tuntutan pemenuhan standar lingkungan hidup yang makin ketat, upaya yang dilakukan adalah menerapkan metode penambangan secara tepat dan berawasan lingkungan, sehingga tercipta pertambangan yang berkelanjutan (good mining practice). 4. Penyiapkan zonasi kawasan untuk pengembangan pertambangan yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW. Penyusunan RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten yang saling sinergis. 5. Tersedianya data informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, sebagai media promosi investasi pengusahaan pertambangan

DAFTAR PUSTAKA Dedi Supriady Bratakusumah, Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia 2005 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Laporan Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Periode Januari Desember 2008. Direktorat Mineral, Batubara dan Pas Bumi, Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Mineral, Coal and Geothermal, Tahun 2007 Makro Ekonomi, Kamis 25 Januari 2006, Otonomi Daerah Turunkan Investasi Pertambangan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota. Pipin Syarifin, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2005 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

38

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PENINGKATAN KADAR BIJIH BESI DARI DAERAH PELAIHARI, PROPINSI KALIMANTAN SELATAN MENGGUNAKAN KLASIFAYER DAN PEMISAH MAGNETIK

Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl Jenderal Sudirman No. 623 Bandung, 40211 Telp (022) 6030843, Fax. (022) 6003373

SARI Karakteristik bahan baku bijih besi Pelaihari dicirikan oleh kadar besinya rendah (sekitar 30% Fetotal). Mineralnya terdiri dari hematit dan magnetit. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kadar besinya adalah dengan melakukan percobaan klasifayer dan pemisah magnetik. Penelitian ini membahas tentang percobaan klasifayer yang dilanjutkan dengan percobaan pemisah magnetik. Percobaan pemisah magnetik dilakukan dengan memvariasikan intensitas magnet, ukuran butir dan waktu pengadukan umpan. Percobaan klasifayer dilakukan untuk mengurangi mineral pengotor dengan memanfaatkan perbedaan ukuran butir dan berat jenis, sedangkan pemisah magnetik dilakukan untuk meningkatkan mineral berharga berupa hematit dan magnetit melalui pemanfaatan perbedaan kerentanan terhadap magnet antara mineral pengotor dengan mineral berharga. Hasil percobaan klasifayer dapat meningkatkan kadar Fetotal menjadi 34,6%, sedangkan pada pemisah magnetik, variabel yang dapat meningkatkan kadar tertinggi adalah waktu pengadukan umpan dengan kadar Fetotal tertinggi yang diperoleh 55,9%. Waktu pengadukan umpan 10 dan 20 menit. Perolehan tertinggi besi sebesar 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan selama 20 menit. Kata kunci : bijih besi, Pelaihari, klasifayer, pemisah magnetik

ABSTRACT Raw iron ore of Pelaihari is known by its low iron content. The ore consists of hematite and magnetite as the main iron minerals. In order to increase the iron content, some efforts can be conducted by sequence of laboratory tests, namely classifier and magnetic separator. The experiment using magnetic separator is conducted at various magnetic intensity, grain size and agitation time. The purpose of classifying tests is lessening the impurity mineral by exploiting difference of grain size and specific gravity, while magnetic separator will increase the valuable mineral in the form of hematite and magnetite by exploiting difference of magnetic susceptibility between the impurities and valuable minerals. The experiment results of classifying increase the total iron grade up to 34.6%, followed by magnetic separator. The later increases the highest grade of total iron up to 55.9% at agitation time of 10 and 20 minutes. The highest iron recovery of 33.26% was conducted at 20 minutes of feed agitation time. Keywords : iron ore, Pelaihari, classifier, magnetic separator

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.

39

1.

PENDAHULUAN

Kebutuhan baja nasional terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan sektor industri dan semakin maraknya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pada saat ini konsumsi baja diperkirakan telah mencapai 6,3 juta ton, sedangkan produksinya hanya 3,8 juta ton. Kekurangan penyediaan baja sebesar 2,5 juta ton masih dipasok dari impor, sehingga PT Krakatau Steel untuk memproduksi baja di Indonesia memerlukan bahan baku dan penunjang yang sebagian besar masih diimpor. Bahan-bahan yang pengadaannya masih bergantung pada impor adalah pelet bijih besi, sedangkan skrep, bijih besi bongkah (lump ore) dan bijih besi halus kasar (coarse fine) sebagian masih dapat dipasok dari dalam negeri, misalnya untuk bijih besi bongkah berkadar Fe 57% dan bijih besi halus kasar berkadar Fe 56% telah dapat dipasok dari endapan besi laterit oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ore, Kalimantan Selatan [sebukuiron.co.id]. Untuk menunjang keperluan industri besi baja yang terus meningkat di masa mendatang, Indonesia memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup besar, berupa bijih besi primer dengan estimasi cadangan 320 juta MT dan kadar 25 62% Fe, bijih besi laterit dengan estimasi cadangan 1.391 juta MT dan kadar 40 56% Fe serta pasir besi dengan estimasi cadangan 600 juta MT dan kadar 25 40% Fe [Koesnohadi dan Sobandi, 2008]. Namun sumber daya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe yang terkandung relatif rendah. Pada umumnya industri baja membutuhkan besi dengan kadar Fe 60-69%, sedangkan P.T. Krakatau Steel membutuhkan pelet bijih besi dengan kandungan Fe minimum 65%. Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu adanya kajian intensif agar kadar Fe yang dikandung besi dapat ditingkatkan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam negeri seperti oleh PT Krakatau Steel. Proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi biasa dilakukan dengan cara kominusi (crushing dan grinding), konsentrasi secara gravitasi, pemisahan magnetik, pemisahan elektrostatik maupun flotasi. Flotasi biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari proses pemisahan magnetik, pemisahan elektrostatik, konsentrasi secara gravitasi maupun kominusi [Habashi, 1997]. Pemisahan secara magnetik terhadap bijih besi sudah lazim dikerjakan [Pramusanto, dkk, 1999].

Pemisah magnetik merupakan alat yang digunakan dalam proses pemisahan secara magnetik. Prinsip kerja alat ini adalah memisahkan mineral berharga dari pengotornya berdasarkan derajat kemagnetan atau mudah tidaknya mineral mengalami pengaruh dalam medan magnet (magnetic sussceptibility) [Kelly, and Spottiswood, 1982]. Bijih besi merupakan mineral-mineral yang mengandung besi seperti magnetit, hematit, goethit, limonit atau campuran dari mineral-mineral tersebut dengan mineral pengotornya, seperti silika, alumina, dan krom [Perkins, 2002]. Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua grup, yaitu paramagnetik dan diamagnetik. Mineral diamagnetik merupakan mineral yang tidak mengalami ketertarikan dalam medan magnet, seperti silika, dan alumina. Sedangkan mineral paramagnetik yang dapat ditarik oleh magnet, seperti hematit dan limonit. Dari mineral paramagnetik ini terdapat mineral-mineral yang memiliki sifat magnet yang sangat kuat disebut ferromagnetik, seperti magnetit [Wills, 1988]. Berdasarkan hasil pengujian mineragrafi, bijih yang digunakan untuk percobaan ini mengandung magnetit-hematit. Magnetit dan hematit memiliki derajat kemagnitan signifikan, yang berbeda dengan mineral pengotor berupa silika, alumina dan lain-lain; sehingga sebagai studi awal, proses pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan mineral menggunakan pemisah magnet dapat dimanfaatkan.

2.

METODOLOGI

Metodologi peningkatan kadar bijih besi ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu; preparasi percontoh (pengeringan, pengayakan dan pemercontoh), studi bahan baku (analisa kimia, ayak dan mineralogi), pencucian dengan spiral classifier untuk menghilangkan pengotor, dan percobaan menggunakan pemisah magnet untuk meningkatkan hematit dan magnetit. *****

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Studi Bahan Baku Studi bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan komposisi dan kadar dari mineral-mineral yang terdapat di dalam percontoh bijih besi tersebut.

40

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

3.1.1 Analisis Komposisi Kimia Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia, maka diperoleh komposisi kimia bijih besi sebagai berikut; Fetotal 31,3%, Fe2O3 37,94%, Fe3O4 6,55%, SiO2 28%, CaO 15,67%, Al2O3 5,61%, MgO 1,01 %, TiO2 1,63%, Cr2O3 0,111% dan LOI 1,93%. 3.1.2 Analisis Ayak Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat terjadi perubahan distribusi ukuran butir akibat pencucian dengan spiral classifier, sehingga underflow spiral classifier menyebabkan kenaikan nilai persen berat tertahan fraksi ukuran -250+150 m (-60+100 mesh) sampai fraksi +1,7 mm (+10 mesh) dan menyebabkan penurunan nilai persen berat tertahan dari fraksi ukuran -150+106 m (-100+140 mesh) sampai fraksi -75 m (-200 mesh) terhadap percontoh asal bijih besi. Hal ini menjelaskan bahwa proses spiral classifier menyebabkan terjadinya pemisahan antara partikel halus dengan kasar, sehingga dapat dilihat adanya perbedaan persentase berat tertahan antara percontoh asal dengan underflow spiral classifier.

70,00%, hematit derajat sebesar 94,55%, dan gangue sebesar 98,41%.

Derajat Liberasi [DL] (%)

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
-75 (-200) -106+75 -150+106 -250+150 -425+250 -850+425 -1700+850 (-140+200) (-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40) (-10+20) +1700 (+10)

35 30 25 20 15 10 5 0 Distribusi DL [DDL] (%)


Distribusi DL [DDL] (%)

Fraksi Ukuran m (m esh)


DL Magnetit DDL Magnetit DL Hematit DDL Hematit DL Gangue DDL Gangue

Gambar 2. Hubungan fraksi ukuran terhadap derajat liberasi dan distribusi derajat liberasi percontoh asal

Persen Berat Tertahan (%)

45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
-75 (-200) -106+75 (-140+200) -150+106 (-100+140) -250+150 (-60+100) -425+250 40+60) (-850+425 20+40) (-1700+850 (- +1700 10+20) (+10)

Percontoh Asal Percontoh Spiral Classifier

Menurut perhitungan derajat liberasi total fraksi kasar dan halus untuk percontoh asal, dapat dijelaskan bahwa persentase derajat liberasi total pada fraksi kasar (+1700 m) atau +10 mesh sampai -425+250 m (-40+60 mesh) masih sangat rendah; magnetit sebesar 0,45%, hematit sebesar 1,08% dan gangue sebesar 13,70%. Persentase derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150 m) atau (-60+100 mesh) sampai -75 m (-200 mesh) sudah cukup tinggi; magnetit sebesar 37,62%, hematit sebesar 58,95% dan gangue sebesar 77,56%.

Fraksi Ukuran m (m esh)

Derajat Liberasi [DL] (%)

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
-75 (-200) -106+75 -150+106 -250+150 -425+250 -850+425 (-140+200) (-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40) -1700+850 (-10+20) +1700 (+10)

40 35 30 25 20 15 10 5 0

Gambar 1. Hubungan fraksi ukuran dengan komposisi mineral percontoh asal dan underflow spiral classifier

3.1.2.1 Derajat Liberasi Berdasarkan Gambar 2, untuk derajat liberasi percontoh asal terlihat bahwa semakin kecil ukuran ayak, maka tingkat kebebasan suatu butiran mineral dalam suatu fraksi ukuran semakin tinggi. Derajat liberasi tertinggi pada percontoh asal terdapat pada fraksi -75 m (-200 mesh) dengan derajat liberasi untuk mineral magnetit sebesar

Fraksi Ukuan m (m esh)


DL Magnetit DDL Magnetit DL Hematit DDL Hematit DL Gangue DDL Gangue

Gambar 3. Hubungan fraksi ukuran terhadap derajat liberasi dan distribusi derajat liberasi percontoh underflow spiral classifier

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.

41

Berdasarkan Gambar 3, derajat liberasi tertinggi untuk percontoh underflow spiral classifier terdapat pada fraksi -75 m (-200 mesh) dengan derajat liberasi mineral magnetit sebesar 69,61%, hematit sebesar 93,42%, dan gangue sebesar 97,96%. Menurut perhitungan distribusi derajat liberasi untuk fraksi kasar dan halus untuk percontoh bijih besi underflow spiral classifier, terlihat bahwa persentase distribusi derajat liberasi total pada fraksi kasar (+1700 m) atau +10 mesh sampai 425+250 m (-40+60 mesh) masih sangat rendah; magnetit sebesar 0,60%, hematit sebesar 1,50% dan gangue sebesar 23,54%. Persentase distribusi derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150 m) atau -60+100 mesh sampai -75 m (-200 mesh) masih cukup tinggi; magnetit sebesar 28,21%, hematit sebesar 46,41% dan gangue sebesar 64,11%.

dan hematit dengan komposisi hampir homogen pada setiap fraksi ukuran yang terdapat pada kedua percontoh analisis ayak. Komposisi mineral rata-rata seluruh fraksi ukuran untuk percontoh asal adalah 6,22% magnetit, 37,53% hematit dan 56,25% gangue, sedangkan untuk percontoh hasil percobaan spiral classifier adalah 6,98% magnetit, 39,87% hematit dan 53,15% gangue.

Komposisi Mineral (%)

70 60 50 40 30 20 10 0
-75 (-200) -106+75 (-140+200) -150+106 (-100+140) -250+150 (-60+100) -425+250 40+60) (- -850+425 20+40) (- -1700+850 (-10+20) +1700 (+10)

Fraksi Ukuran m (m esh)


Magnetit Percontoh Asal Hematit Percontoh Asal Gangue Percontoh Asal Magnetit Limp, Bawah Klasif ay er Spiral Hematit Limp. Bawah Klasif ay er Spiral Gangue Limp. Bawah Klasif ay er Spiral

Gambar 5. Hubungan fraksi ukuran dengan komposisi mineral percontoh asal dan percontoh underflow spiral classifier

3.2. Percobaan Spiral Classifier Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa pada percobaan ini telah terjadi pemisahan antara partikel halus dengan kasar. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan kadar Fe total. Kadar Fe total pada percontoh asal sebagai umpan sebesar 31,3%, setelah dilakukan proses klasifikasi menggunakan spiral classifier meningkat menjadi 34,6% untuk produk underflow (sebagai produk pemisahan yang memiliki partikel kasar) dan terjadi penurunan kadar Fe total menjadi 24,6% untuk produk overflow (sebagai produk pemisahan partikel yang berukuran halus). 3.3. Peningkatan Kadar dengan Pemisah Magnetik Di dalam percobaan pemisah magnetik ini dilakukan analisis mineralogi untuk meninjau perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi pada konsentrat dan tailing akibat pengaruh dari variabel percobaan terhadap peningkatkan kadar dan perolehan. Analisis kimia hanya dilakukan pada konsentrat untuk menetukan kadar Fe total.

Gambar 4. Fotomikrograf sayatan poles bijih besi (H = hematit, M = magnetit, G = mineral gangue, HM = hematit + magnetit HG = hematit + gangue)

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada fraksi ukuran -106+75 m (-140+200 mesh), bahwa antara magnetit dan hematit terjadi keterikatan dan antara hematit dan gangue juga terjadi keterikatan. Antara magnetit dan gangue tidak tampak adanya keterikatan. Menurut perhitungan komposisi mineral pada ukuran tersebut, komposisi hematit 41,80% dengan derajat liberasi 88,68% dan magnetit 7,80% dengan derajat liberasi 58,97% serta gangue 50,40% dengan derajat liberasi 96,23%. 3.1.2.2 Komposisi Mineral Berdasarkan Gambar 4, mineral berharga yang terdapat pada percontoh bijih besi ini adalah magnetit

42

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Komposisi Kimia (%)

40 35 30 25 20 15 10 5 0 Fe total SiO2 CaO Al2O3 MgO TiO2 Cr2O3 LOI Nam a Mineral Percontoh Asal Underflow Overflow

konsentrat, sehingga meningkatkan komposisi hematit dan gangue yang berikatan. Terjadinya peningkatan komposisi hematit yang berikatan dengan gangue menyebabkan terjadinya penurunan derajat liberasi dan komposisi hematit, namun hal tersebut menaikan komposisi gangue. Komposisi hematit yang terbesar diperoleh pada intensitas magnet 2000 gauss sebesar 70,07%, dengan magnetit sebesar 7,73% dan gangue yang terkecil (22,20%). Komposisi hematit terkecil diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss (47,94%), dengan magnetit (8,28%) dan gangue terbesar (43,80%). 3.3.2 Pengaruh Ukuran Butir terhadap Komposisi Mineral dan Derajat Liberasi pada Konsentrat Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butiran yang divariasikan dari ukuran <75 sampai <250 m terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat seperti pada Gambar 8, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar ukuran butiran semakin turun komposisi mineral, tetapi pada ukuran <250 m mengalami kenaikan kembali. Namun pada gangue, semakin besar ukuran butiran mengakibatkan kenaikan komposisi mineral, tapi mengalami penurunan kembali pada ukuran <250 m.

Gambar 6. Hubungan percobaan spiral classifier terhadap komposisi kimia

3.3.1 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap Komposisi Mineral dan Derajat Liberasi pada Konsentrat Berdasarkan grafik pengaruh intensitas magnet yang divariasikan dari 2000-10000 gauss terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat pada Gambar 7, menunjukan penurunan hematit seiring dengan peningkatan intensitas magnet, sedangkan derajat liberasinya juga mengalami penurunan. Magnetit cenderung stabil namun derajat liberasinya juga turun. Gangue meningkat, sedangkan derajat liberasinya turun.

Komposisi Mineral (%)

100 80 60 40 20 0
2000 4000 6000 8000 10000

100
Derajat Liberasi {DL) (%)

100
Komposisi Mineral (%)

100 80 60 40 20 0
<75 <106 <150 <180 <250

80 60 40 20 0
Intensitas Magnet (Gauss)
Magnetit DL Hematit Hematit DL Magnetit Gangue DL Gangue

80 60 40 20 0
Ukuran Butir (m )
Magnetit DL Hematit Hematit DL Magnetit Gangue DL Gangue

Gambar 7. Pengaruh intensitas magnet terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat

Gambar 8. Pengaruh ukuran butir terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat

Hal ini berarti pengaruh intensitas magnet menyebabkan peningkatan penarikan hematit yang masih berikatan dengan gangue ke dalam

Perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi pada mineral magnetik maupun gangue disebabkan oleh adanya pengaruh gaya gravitasi dan hidrodinamis yang bekerja pada butiran serta

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.

Derajat Liberasi {DL} (%)

43

derajat liberasi butiran. Hal ini mempengaruhi daya tarik magnet ke dalam konsentrat. Komposisi hematit terbesar diperoleh pada ukuran butir <75 m (70,40%), magnetit sebesar 7,93% dan gangue sebesar 21,67%. Komposisi hematit terkecil diperoleh pada ukuran butir <180 m (68,33%), magnetit sebesar 6,27% dan gangue sebesar 25,40%. 3.3.3 Pengaruh Waktu Pengadukan Umpan terhadap Komposisi Mineral dan Derajat Liberasi pada Konsentrat Berdasarkan Gambar 9 dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk derajat liberasi, waktu pengadukan umpan memiliki sedikit pengaruh terhadap peningkatkan derajat liberasi antara hematit dan gangue. Hal ini disebabkan oleh lepasnya ikatan mineral-mineral besi dengan gangue yang berikatan tidak begitu kuat. Penyebab lain, pengaruh waktu pengadukan ini menyebabkan Al2O3 ataupun CaO yang ada dalam umpan tercampur dengan baik. Penyebab-penyebab tersebut dapat mengakibatkan peningkatkan penarikan mineral magnetik oleh magnet menjadikan konsentrat.

3.3.4 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap Perolehan dan Kadar Fe Total pada Konsentrat Dari grafik pengaruh intensitas magnetik terhadap perolehan dan kadar Fe total (Gambar 10), disimpulkan bahwa pengaruh intensitas magnet terhadap perolehan menunjukan semakin besar intensitas magnet semakin meningkat perolehan, sebaliknya dengan kadar Fe total cenderung turun seiring dengan peningkatan kadar. Kadar Fe total tertinggi diperoleh pada intensitas magnet 2000 gauss (54,7%) dengan perolehan terendah 28,84%. Kadar Fe total terendah diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss (38,8%) dengan perolehan tertinggi 54,17%. Perolehan yang semakin besar seiring dengan besarnya intensitas magnet. Hal ini terjadi karena gangue yang berikatan dengan mineral magnetik ikut tertarik menjadi konsentrat.

Perolehan Fe (%)

60 50 40 30 20

60 50 40 30 20 10
2000 4000 6000 8000 10000

100
Komposisi Mineral (%)

100 80 60 40 20 0
1 10 20

80 60 40 20 0
Waktu Pengadukan Um pan (Menit)
Magnetit DL Hematit Hematit DL Magnetit Gangue DL Gangue

Derajat Liberasi {DL} (%)

10
Intensitas Magnet (Gauss)
Recov ery Fe Kadar Fe

Gambar 10. Pengaruh intensitas magnet terhadap perolehan dan kadar Fetotal konsentrat

Gambar 9. Pengaruh waktu pengadukan umpan terhadap komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat

3.3.5 Pengaruh Ukuran Butir terhadap Perolehan dan Kadar Fetotal pada Konsentrat Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butir terhadap perolehan dan kadar Fe Total Gambar 11, disimpulkan bahwa perolehan dan kadar dipengaruhi oleh pengaruh ukuran butir akibat adanya perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi. Kadar Fe tertinggi didapatkan pada ukuran <250, <106 dan <75 m sebesar 54,7%. Perolehan tertinggi didapatkan pada ukuran butir <75 m sebesar 31,50%.

Komposisi hematit terbesar diperoleh pada waktu pengadukan umpan 10 menit (71,93%), magnetit sebesar 8,07% dan gangue sebesar 20,00%. Pada waktu pengadukan umpan 20 menit, didapatkan komposisi mineral hematit sebesar 72,27%, magnetit sebesar 8,13% dan sisanya gangue.

44

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Kadar Fe (%)


Perolehan Fe (%)

40

70 60 50

3.3.7 Analisis Komposisi Mineral pada Tailing Variabel Intensitas Magnet Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa mineral magnetit pada tailing hasil percobaan pemisah magnetik sudah tidak ada; seluruh magnetit tertarik semua ke dalam konsentrat pada setiap variabel intensitas magnet. Hematit berkurang seiring dengan bertambahnya intensitas magnet, sedangkan gangue mengalami peningkatan. Hematit terbesar terjadi pada intensitas 2000 gauss (28,47%) dan gangue-nya sebesar 71,53%. Komposisi hematit terkecil terdapat pada intensitas magnet 10000 gauss (27,33%), sedangkan gangue-nya sebesar 72,67%.
Kadar Fe (%)

35

30 40 25 30 20
<75 <106 <150 <180 <250

20
Ukuran Butiran (m )
Recov ery Fe Kadar Fe

Gambar 11. Pengaruh ukuran butir terhadap perolehan dan kadar Fetotal konsentrat

Komposisi Mineral (%)

3.3.6 Pengaruh Waktu Pengadukan Umpan terhadap Perolehan dan Kadar Fetotal pada Konsentrat Dari Gambar 12 diperoleh kesimpulan bahwa waktu pengadukan juga memberikan pengaruh terhadap perolehan dan kadar akibat adanya perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi. Kadar Fe total tertinggi diperoleh pada waktu pengadukan umpan sebesar 55,9%. Perolehan tertinggi terjadi pada pengadukan umpan selama 20 menit dengan perolehan sebesar 33,26%.

80 70 60 50 40 30 20 10 0 2000 4000 6000 8000 10000 Intensitas Magnet (gauss)


Magnetit Hematit Gangue

Perolehan Fe (%)

Gambar 13. Pengaruh intensitas magnet terhadap komposisi mineral tailing


50 70

40

60
Kadar Fe (%)

3.3.8 Analisis Komposisi Mineral pada Tailing Variabel Ukuran Butir Dari Gambar 14 terlihat bahwa semakin besar ukuran butir semakin besar pula kecenderungan komposisi hematit, sedangkan gangue cenderung semakin kecil. Magnetit pada tailing masingmasing variabel ini sudah tidak ada; artinya mineral magnetit tertarik semua ke dalam konsentrat. Hematit terbesar terdapat pada ukuran butir <180 m (29,20%) dan gangue sebesar 70,80%.

30

50

20

40

10
1 10 20

30
Waktu Pengadukan Um pan (Menit)
Recov ery Fe Kadar Fe

Gambar 12. Pengaruh waktu pengadukan umpan terhadap perolehan dan kadar Fetotal konsentrat

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.

45


Komposisi Mineral (%)

4.
80 70 60 50 40 30 20 10 0 <75 <106 <150 <180 <250 Ukuran Butir (m )
Magnetit Hematit Gangue

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah : 1. Bijih besi Pelaihari mempunyai mempunyai kadar Fe total 31,3% dengan mineral gangue terdiri atas SiO2 28,00%, Al2O3 15,67%, CaO 5,61%. 2. Pencucian mengunakan spiral classifier meningkatkan kadar besi total menjadi 34,6%. 3. Pada percobaan pengaruh intensitas magnet, kadar Fe total tertinggi 54,7% dengan perolehan 28,84% pada intensitas magnet 2000 gauss. 4. Pada percobaan pengaruh ukuran butir, kadar Fe total tertinggi 54,7% pada ukuran butir <25, <106 dan <75 m. Perolehan tertinggi 31,50% ada pada ukuran butir <75 m. 5. Pada percobaan pengaruh waktu pengadukan umpan, kadar Fe total tertinggi adalah 55,9% untuk waktu pengadukan umpan 10 dan 20 menit. Perolehan tertinggi 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan 20 menit.

Gambar 14. Pengaruh ukuran butir terhadap komposisi mineral tailing

3.3.9 Analisis Komposisi Mineral pada Tailing Variabel Waktu Pengadukan Umpan Gambar 15 menunjukan bahwa pada tailing variabel waktu pengadukan umpan, magnetit tidak ada. Komposisi hematit semakin kecil seiring dengan bertambahnya waktu pengadukan, sedangkan gangue semakin besar. Komposisi hematit terbesar terdapat pada waktu pengadukan satu menit sebesar 26,74%, sedangkan mineral gangue sebesar 73,26%.

DAFTAR PUSTAKA Habashi, Fathi (editor), 1997 Handbook of Extractive Metallurgy Volume I: The Metals Industry Ferrous, Wiley-VCH, Weinhem, Federal Republic of Germany. Kelly Erol G., Spottiswood David J., 1982 Introduction to Mineral Processing, John Willey & Sons, New York Koesnohadi dan Ahmad Sobandi, 2008 Potensi Sumber Daya Lokal Untuk Membangun kemandirian dan Daya Saing Industri Baja Nasional, Prosiding Kolokium Pertambangan, Bandung. Perkins, Dexter, 2002 Mineralogy 2nd Edition, Prentice-Hall Inc, New Jersey, United Stated of America.

Komposisi Mineral (%)

80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 10 20 Waktu Pengadukan Um pan (Menit)


Magnetit Hematit Gangue

Gambar 15. Pengaruh waktu pengadukan umpan terhadap komposisi mineral tailing

46

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pramusanto, dkk., 1999 Pengerjaan Awal Bijih Besi Laterit Melalui Pemisahan Secara Magnetis dalam Drum Magnetic Separator pada Pembentukan Campuran Bijih Besi Laterit dan Kokas, Pusat Penelitian Pengembangan Teknologi dan Mineral, Bandung.

Wills. B. A., 1988, Mineral Processing Technology 5Th Edition, Pergamon Press. Oxford, New York. www.sebukuiron.co.id/silo_products.htm. PT SILO, diunduh pada jam 10:57, tanggal 20 Mei 2009.

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.

47

PENGOLAHAN PASIR KUARSA BERLEMPUNG ASAL RANTAUBUJUR, KABUPATEN TAPIN, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN, UNTUK BAHAN BAKU KERAMIK

Subari, Enymia dan Sumarsih Balai Besar Keramik Jl. Jend. Achmad Yani 392 Bandung Telp. 022 - 7206221 / 7207115)

SARI Jumlah cadangan endapan pasir kuarsa di daerah Rantaubujur Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin sebanyak 186378000 m3, yang merupakan lapisan tanah penutup (over burden) pada endapan batu bara. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan. Oleh karena itu, sampel pasir kuarsa yang berlempung tersebut perlu dilakukan proses pengolahan dengan cara pencucian dan pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm; 0,063 mm. Dari hasil percobaan pencucian yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali diperoleh 658,30 gram pasir kuarsa terolah dari sebanyak 900 gram pasir kuarsa asli. Hasil analisis kimia pasir kuarsa asli (masih bercampur lempung) dan yang terolah, mengalami kenaikan kadar silika (SiO2) yang cukup signifikan, yakni dari 80,27 % SiO2 menjadi 94,85 % SiO2 . Pasir kuarsa terolah ini telah memenuhi syarat sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi keramik putih yang fungsinya sebagai bahan pengisi. Kata kunci: pasir kuarsa berlempung, pengolahan/pencucian, silika, bodi keramik putih

ABSTACT There are a lot of the quartz sand deposit in Rantaubujur area, South Tapin District - Tapin Regency abaout 186,378,000 m3, which to appear of overburden on the coal deposit. This quartz sand still mixed with yellowish cream clay materials. Because of that, the clayed quartz sand sample need to beneficiat by washing and sieving on several size of 1.0 mm; 0.063 mm. Based on the beneficiation experiments as much as 3 (three) time be found the pure quartz sand of 658.30 grams from the natural quartz sand of 900 grams. The chemical analysis result of natural quartz sand and pure quartz sand that has increased of silica (SiO2) significant enough namely from 80.27 % SiO2 become 94.85 % SiO2. This pure quartz sand has to fulfill as ceramic raw material for made the whiteware ceramic as the filler material. Keywords : clayed quartz sand, silica grade, beneficiation

48

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

PENDAHULUAN

Di daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan terdapat endapan pasir kuarsa/silika yang merupakan lapisan tanah penutup (overburden) pada endapan batubara, dengan jumlah cadangan sebesar 186.378.000 m3 (Widyajasa, 2003). Pasir kuarsa di sini nampaknya masih bercampur dengan material lempung, kerikil, akar tetumbuhan dan lain sebagainya, yang merupakan bahan pengotor sehingga warna pasirnya bervariasi dari krem sampai kuning kecoklat-coklatan. Kondisi endapan pasir kuarsa semacam ini juga di jumpai di desa Rajpardi Bharuch district, India, yang merupakan lapisan overburden pada tambang batubara jenis lignit. Bahan pengotor yang terkandung didalam pasir kuarsa Rajpardi yaitu oksida besi seperti ilmenit atau limonit, mineral horblende dan biotit (Chakraborty, et.al, 2000). Dengan adanya kandungan bahan pengotor (impurities) tersebut maka pasir kuarsa ini perlu dilakukan proses pengolahan (benefisiasi) yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas kuarsa/ silika agar dapat digunakan sebagai bahan baku keramik terutama untuk bodi keramik putih (whiteware ceramic) seperti stoneware dan porselen. Metode pengolahan yang digunakan dalam proses pengolahan pasir kuarsa dari Kec. Tapin Selatan tergantung pada karakteristik bahan, seperti misalnya penelitian Vyas et al., (2000) setelah melakukan proses pengolahan pasir kuarsa yang berwarna kuning hingga kuning kecoklat-coklatan dengan menggunakan metode pengayakan cara kering, pengayakan cara basah dan cara magnetik. Berdasarkan pada karakteristik pasir kuarsa yang masih mengandung bahan pengotor dan mengacu pada penelitian Vyas, et al., (2000) maka metode pengolahan yang dilakukan adalah proses pengayakan cara basah. Dari hasil percobaan pengolahan ini diharapkan kualitas pasir kuarsa meningkat serta dapat dimanfaatkan untuk industri keramik bahkan bisa juga digunakan untuk industri gelas. Sedangkan penggunaan kuarsa atau silika pada industri keramik berkisar antara 10 25% berat dari kompo-sisi bodi keramik stoneware atau perselen, hal ini tergantung pada tingkat kemurnian bahan baku yang digunakan( Achuthan et al, 2000; Carty, 2001). Dalam industri manufaktur, penggunaan pasir kuarsa sudah berkembang ke berbagai industri

baik sebagai bahan baku utama maupun untuk bahan campuran atau aditif. Sebagai bahan baku utama, pasir kuarsa dapat digunakan dalam industri gelas, ubin teraso, ferosilikon, silikon karbida dan bahan abrasif. Sedangkan pasir kuarsa sebagai bahan baku campuran, misalnya pada industri pengecoran logam, industri perminyakan dan industri keramik termasuk refraktori. Sehubungan hal tersebut di atas, pasir kuarsa yang diteliti akan digunakan sebagai bahan baku campuran dalam pembuatan ubin keramik selain menggunakan felspar dan kaolin.

2.

METODE PENELITIAN

Pasir kuarsa alam atau kuarsa asli yang digunakan dalam percobaan pengolahan (benefisiasi) berasal dari daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan. Pasir kuarsa dicuci dan kemudian diayak/disaring dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm dan 0,063 mm. Bagan alir proses benefisiasi terhadap pasir kuarsa tercantum pada Gambar 1. Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 % dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi tersebut dicampur sampai homogen dengan menambahkan air sekitar 5 % dari total berat bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm. Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 100 0C, dan akhirnya dibakar dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan 1250 C.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Perolehan (recovery) kuarsa terolah Teknologi pengolahan pasir kuarsa dari Tapin Selatan ini dilakukan dengan pengayakan atau penyaringan secara basah yang menggunakan beberapa ukuran ayakan. Proses pengolahannya di lakukan sebanyak 3 (tiga) kali percobaan yang hasil percobaannya dapat di lihat pada Tabel 1. Untuk mengetahui perolehan silika atau kuarsa yang dihasilkan dari proses pengolahan (benefisiasi) pasir kuarsa alam dapat digunakan rumus (Wills, 2006):

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.

49

Kuarsa alam dibuat massa lumpur

Diayak basah 1,0 mm

Kuarsa & lempung -1,0 mm

Kotoran kerikil + 1,0 mm

Diayak basah ukuran 0,5 mm

Kuarsa & lempung 0,5 mm - 0,5 mm

Kuarsa terolah + 0,5 mm

Diayak basah ukuran 0,063 mm

Lempung kotor - 0,063 mm

Kuarsa terolah + 0,063 mm

Gambar 1.Bagan alir proses benefisiasi pasir kuarsa

Tabel 1. Material balance pada proses benefisiasi pasir kuarsa Percobaan 1 2 3 Rata-rata Kuarsa asli ( gram ) 900 900 900 900 Kuarsa terolah ( gram ) 740 675 560 658,3 Kotoran 1 ( gram ) 32 27 28 29 Kotoran 2 ( gram ) 107 170 276 184,33 Kehilangan ( gram ) 21 28 36 28,33

50

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Dimana : R = Recovery, % F = Umpan (feed) pasir kuarsa asli, gram f = Kadar SiO2 didalam umpan, % C = Kuarsa terolah (konsentrat), gram c = Kadar SiO2 didalam konsentrat,% Menurut Tabel 1 bahwa banyaknya kuarsa terolah rata-rata sekitar 658,30 gram dari sebanyak kuarsa asli sebesar 900 gram. Kadar SiO2 didalam kuarsa asli (umpan) = 80,27 % dan yang didalam konsentrat (kuarsa terolah) =94,85 %. Dengan demikian perolehan pasir kuarsa terolah adalah : 658,30 x 94,85 R= 900 x 80,27 Jumlah cadangan pasir kuarsa alam (kuarsa asli) sebesar 186.378.000 m3, apabila pasir kuarsa diolah semuanya maka yang diperoleh sebanyak 161.347.435 m3. Dibandingkan dengan pasir kuarsa dari pulau Bangka dan pulau Belitung yang kadar silikanya masing-masing sebesar 95-99 % SiO2 dan 96-99,5 % SiO2 ( Hartono dan Subari, 1986), maka pasir kuarsa terolah dari Kecamatan Tapin Selatan dengan kadar silika sebesar 94,85% SiO 2 kualitasnya hampir sama dengan yang pasir kuarsa Bangka. Sehingga pasir kuarsa terolah tersebut masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk body keramik stoneware atau porselen dan juga barang tahan api (refractory). 3.2. Data komposisi Kimia dan Mineral Data komposisi kimia terhadap pasir kuarsa asli atau belum diolah terutama kadar silika (SiO2), Fe2O3, dan TiO2 masing-masing sebesar 80,27 %, 1,20%, dan 0,23 %. Kemudian pasir kuarsa setelah diolah dengan cara pencucian dan pengayakan ternyata kadar SiO2 nya mengalami kenaikan menjadi 94,85 % serta kadar Fe2O3 dan TiO2 mengalami penurunan masing-masing yaitu 0,34 % dan 0,04 %. Dengan demikian proses pengolahan pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin x 100 % = 86,57 %

dengan cara pencucian dan pengayakan tersebut memberikan hasil yang baik. Dilihat dari kadar Fe2O3 dan TiO2 bahwa menurut SNI 15-1026-1989 mengenai kuarsa untuk pembuatan porselen dan stoneware batas kadar yang disyaratkan untuk Fe2O3 = 0,4 % dan yang TiO2 = 0,3 %. Menurut ketentuan tersebut diatas nampaknya pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin telah memenuhi syarat sebagai bahan baku untuk body keramik porselen atau stoneware. Kemudian dari data analisis X Ray diffraktometer terhadap pasir kuarsa asli (belum diolah) kode KCT dan kuarsa yang sudah diolah kode KMT seperti tercantum dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa untuk kuarsa asli terdapat kandungan mineral kaolinite selain alfa kuarsa sedangkan yang kuarsa terolah hanya mengandung alfa kuarsa serta tidak ada lagi kandungan mineral kaolinitnya. Dengan berdasarkan ketentuan tersebut maka proses pengolahan pasir kuarsa dengan cara pencucian dan pengayakan cukup berhasil dan bisa dikembangkan dalam skala produksi.

Gambar 2.Grafik difraktogram pasir kuarsa asli dan kuarsa terolah

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.

51

3.3. Pembuatan Keramik dari Kuarsa Terolah Bahan baku yang biasanya digunakan dalam pembuatan keramik konvensional atau tradisional adalah kuarsa, lempung dan felspar. Untuk percobaan pembuatan bodi keramik disini menggunakan kuarsa dari hasil pengolahan pasir kuarsa berlempung dan sedikit mengandung kerikil. Dari hasil analisis kimia terhadap kuarsa terolah ternyata mengandung kadar silika (SiO2) yang cukup tinggi yaitu 94,85 %. Kandungan silika bebas tersebut juga terdapat di dalam lempung (clay), kaolin, dan felspar. Misalnya lempung berwarna kuning kecoklatan dari daerah Zorka mengandung kadar SiO2 69,13 %. Sedangkan bahan lempung yang merupakan pengotor (impurity) dari pasir kuarsa mengandung kadar SiO2 nya sebesar 70,15%. Lempung ini masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi merah atau terakota. Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 % dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi tersebut dicampur sampai homogen dengan menambahkan air sekitar 5 % dari total berat bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm. Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 100 0C, dan akhirnya dibakar dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan 1250 0C. Ubin setelah dibakar ternyata makin tinggi suhu pembakaran penyerapan airnya semakin kecil masing- masing sebesar 17,98 %, 16,87 % dan 15,24 %. Nilai penyerapan ubin keramik ini masih di atas 15% karena di dalam komposisi bodi ubin tidak menggunakan felspar yang fungsinya sebagai bahan pelebur guna membantu dalam proses sintering, agar pada suhu pembakaran 1250 0C bodinya sudah bersifat padat (vitrified) sehingga penyerapan airnya bisa mencapai di bawah 10 % (Chakraborty et al, 2000). Demikian pula sebaliknya, makin tinggi suhu pembakaran nilai kuat lenturnya semakin besar yaitu masing- masing 135,92 kg/cm2, 137,65 kg/ cm2 dan 143,57 kg/cm2. Hal ini disebabkan lubang pori-pori dalam bodi ubin semakin mengecil dan ikatan paertikel-partikel bahan yang satu dengan lainnya menjadi semakin kuat akibat semakin tingginya suhu pembakaran. Di samping itu warna bodi ubin keramik setelah dibakar pada suhu 1150 0C sampai 1250 0C berwarna putih susu sampai krem, sehingga bodi keramik tersebut dapat dikatagorikan keramik putih (whiteware ceramic).

Selain untuk ubin keramik pasir kuarsa terolah ini bisa juga digunakan sebagai bahan baku utama bata tahan api silika karena menurut Goswami, et.al, (2000) bahwa untuk membuat bahan tahan api tersebut digunakan silika dengan kadar SiO2 minimum 93 % pada suhu pembakaran 1430-1450 0 C. Dengan demikian kuarsa terolah yang mengandung SiO2 = 94,85 % telah memenuhi syarat untuk dibuat bata tahan api silika (silica brick refractory).

4.

KESIMPULAN

1. Proses pengolahan pasir kuarsa berlempung asal Kabupaten Tapin dengan cara dicuci dan diayak menggunakan ukuran ayakan 1,0 mm; 0,5 mm dan 0,063 mm dapat meningkatkan kadar silika (SiO 2) dari 80,77% menjadi sebesar 94,85 %. 2. Perolehan (recovery) pasir kuarsa terolah sebanyak 161.347.435 m3 cukup potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri keramik dalam pembuatan ubin keramik dan bata tahan api silika. 3. Pemakaian pasir kuarsa terolah untuk dibuat ubin keramik sebesar 20% dicampur dengan lempung 30% dan kaolin 50% dari Kabupaten Tapin, yang dibakar pada suhu 1150-1250 0C bodinya berwarna putih susu serta digolongkan ke dalam bodi putih (whiteware ceramic).

UCAPAN TERIMAKASIH Dengan terpublikasinya makalah ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Tapin beserta stafnya, yang telah membantu untuk mendapatkan sampel bahan galian golongan C jenis pasir kuarsa berlempung dari Kecamatan Tapin Selatan serta data potensi cadangannya.

DAFTAR PUSTAKA Achuthan, A.T., Peer, M, A. Maiti, K.N., 2008, Effect of Precipitated Silica Additions to the Composition of Ceramic Glazes, Interceram, Volume 57.No.1. Carty, W.M., 2001, Ceramic engineering and Sci-

52

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ence, Proceedings, Material and Equipment and Whitewares, Volume 22, Issue 2. Chakraborty, A.K, Sojitra, B.G, Vyas, D.R., Maiti, K.N., 2000, Effects of Substitution of Quartz by Rajpardi Silica Sand on the Thermomechanical Properties of Conventional Ceramics, Interceram, Volume 49 No.3. Goswami, G, Panda, J.D., 2000, X Ray Diffractometric Determination of Tridymite in Silica Refractories, Interceram, Vol. 49 No.5. Hartono, Y.M.V dan Subari, 1986, Teori Benefisiasi Bahan Mentah Keramik Halus, Balai Besar Industri Keramik Bandung.

Vyas, D.R, Sojitra, B.G, Chakraborty, A.K, Maiti, K.N., 2000, Beneficiation of Rajpardi Silica Sand For Use in the Ceramics and Glass Industry, Interceram, Volume 49 No. 2. Widyajasa, A.P.T., 2003, Studi Komprehenship Inventarisasi dan Evaluasi Bahan Galian Tambang di Kabupaten Tapin, Bapeda Pemerintah Kabupaten Tapin. Wills, B.A, 2006, Mineral Processing Technology, Seventh Edition-ELSEVIER, Oxford-UK.

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.

53

PRESENTASI MAKALAH PARALEL II

MASA KINI DAN MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA

Ijang Suherman Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 e-mail : ijang@tekmira.esdm.go.id

SARI Peran batubara sebagai pemasok energi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, di masa mendatang akan terus meningkat meskipun harga batubara sedikit terkoreksi sebagai dampak dari harga minyak yang baru saja terkoreksi tajam. Adanya Kebijaksanaan Energi Nasional mengenai diversifikasi energi, melalui PP No.5 Tahun 2006, pemanfaatan batubara di wilayah Indonesia terus berkembang di berbagai segmen pasar yang meliputi PLTU, industri semen, tekstil, kertas, metalurgi, briket batubara dan industri lainnya. Di samping itu, dengan berlakunya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, akan mendukung upaya optimalisasi permintaan dan pemasokan batubara Indonesia dimasa depan. Kata kunci: masa kini, masa depan, batubara, pemanfaatan

ABSTRACT The role of coal as an energy supply, either in Indonesia or other countries, in the future time will increase, although its price is slightly corrected as the impact of the oil price that was just sharply corrected. Due to the presence of the National Energy Policy about energy diversification through PP No. 5 Year 2006, the utilization of coal in Indonesia keeps developing in various market segments including: coal-fired power, cement industry, textile, paper, metallurgy, coal briquette and so forth. Besides, the implementation of UU No. 4 Year 2009 about mineral and coal mining, will support the effort of optimizing supply and demand of the coal in Indonesia in the future time. Keyword: nowadays, future, coal, utilization

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

55

1.

PENDAHULUAN

3.

POTENSI SUMBER DAYA DAN CADANGAN

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi. Di samping kondisi global tersebut, menimbang cadangan minyak bumi Indonesia yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri menjadi semakin penting sejalan dengan ditemukannya cadangan batubara yang besar, hingga kini sumber daya mencapai 104,75 milyar ton dan cadangan 22,25 milyar ton. Selain itu, adanya kebijaksanaan energi nasional mengenai diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan batubara di berbagai segmen pasar (industri) di wilayah Indonesia. Pemberlakuan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, akan mendukung untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025. Segmen pasar yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri peleburan (metalurgi), dan industri lainnya, serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara. Sedangkan Upgrading Brown Coal (UBC), Gasifikasi Batubara dan Pencairan batubara adalah arah pemanfaatan batubara untuk masa mendatang.

Jumlah sumber daya dan cadangan batubara Indonesia setiap tahun terus bertambah, berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kondisi saat ini, tahun 2008, jumlah sumber daya adalah sebesar 104,75 miliar ton, dengan jumlah cadangan sebesar 22,25 miliar ton (Gambar 1). Sumber daya batubara tersebut tersebar di 19 propinsi, 6 pulau, namun terbesar terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan sebanyak masing masing 50,15% dan 49,56%.

4.

PENGUSAHAAN BATUBARA

4.1. Pola Pengusahaan Batubara Ijin pengusahaan batubara di Indonesia secara garis besar dibedakan dalam tiga pola, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Kuasa Pertambangan (KP). Namun dengan di telah disyahkannya Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka ke depan sistim perijinan hanya ada satu jenis, yaitu Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk satu wilayah tertentu.

4.2. Tingkat Produksi Batubara 2. METODOLOGI Sejalan dengan upaya penganekaragaman energi dan peningkatan kebutuhan batubara, baik untuk pemakaian domestik maupun pasar ekspor, produksi batubara selama 16 tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun secara nasional adalah 17,04%. Pada tahun 2008 produksi batubara nasional telah mencapai 233,62 juta ton. Dalam kurun waktu tersebut (1992 2008) telah terjadi perubahan distribusi produksi yang signifikan. PKP2B memegang peranan yang cukup menonjol sekitar 75,76% dengan pertumbuhan 16,93% pertahun. Sedangkan peran KP awalnya relatif masih kecil di bawah BUMN (PTBA), namun setelah digulirkannya otda ada peningkatan yang cukup berarti dengan tingkat pertumbuhan ratarata 21,02% pertahun (Tabel 1).

Kegiatan penelitian ini dilakukan di 11 lokasi di Indonesia, yaitu Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimanatan Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Seluruh daerah (propinsi) ini dianggap dapat mewakili produsen maupun konsumen batubara di Indonesia. Metoda dalam kajian ini, adalah menghubungkan hasil-hasil penelitian survei sampling secara langsung seperti ke PLTU, industri semen, tekstil, kertas, dan lainnya untuk mendapatkan data primer dengan hasil-hasil publikasi dari instansi terkait sebagai data skunder. Sedangkan model pengolahan dan teknik analisis yang digunakan adalah statistka deskriptif dan trend analysis.

56

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

Gambar 1. Distribusi Sumber Daya Batubara Indonesia


57

Tabel 1. Jumlah produksi batubara Indonesia menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 2008 Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 (%) Produksi (x000Ton) PTBA 7.103 7.374 6.707 7.979 9.230 9.965 9.859 11.207 10.746 10.212 9.482 10.027 8.707 8.607 9.292 8.555 10.138 2,07 PKP2B 14.281 18.874 23.477 29.576 37.815 40.602 47.057 57.604 61.707 76.532 87.078 96.300 113.171 145.992 164.713 171.570 176.993 16,93 KP 1.654 1.597 2.408 4.286 3.926 4.467 5.123 4.966 4.682 5.796 6.812 7.951 10.474 10.994 22.533 36.805 46.489 21,02 Jumlah 15.935 20.470 25.885 33.862 41.741 45.069 52.180 62.570 66.389 82.328 93.890 104.251 123.645 156.986 187.246 208.375 233.620 17,04

Sumber : DPPMB dan APBI, 2009 (diolah Kembali)

4.3. Tingkat Penjualan Batubara 4.3.1 Penjualan batubara dalam negeri Jumlah penjualan batubara di dalam negeri tahun 1992 sebesar 7,288 juta ton, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 73,925 juta ton (Tabel 2), yang berarti setiap tahun penjualannya rata-rata meningkat sebesar 17,17%. Tahun 2008, perusahaan pemegang PKP2B merupakan pemasok batubara dalam negeri yang terbesar, yaitu sebesar 54,85% dari jumlah seluruh kebutuhan, diikuti oleh pemegang KP sebesar 34,35 %, dan BUMN PTBA serbesar 10,80%. 4.3.2 Penjualan batubara ekspor

16,288 juta ton, sedangkan pada tahun 2008 tercatat sebesar 158.921.318 juta ton (Tabel 3). Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar 15,71%. Perusahaan pemegang PKP2B merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu sekitar 89,87% dari jumlah ekspor batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 7,56%, dan BUMN sebesar 2,57%. Dengan adanya kecenderungan tersebut, maka kedepan perlu mencermatinya untuk melakukan pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri serta kegiatan peningkatan produksi yang mengacu pada konsep konservasi.

5. Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh booming harga dan semakin banyaknya pembangunan PLTU di luar negeri yang menggunakan bahan bakar batubara, serta kran ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar menyaingi Australia dan Afrika Selatan. Ekspor batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar

PENGGUNAAN BATUBARA DI INDONESIA

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi. Ada yang berpendapat mungkin semakin meningkat karena permintaan yang jauh melebihi penawaran. Di samping kondisi global tersebut, menimbang cadangan minyak bumi Indonesia

58

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 2. Jumlah penjualan dalam negeri batubara Indonesia menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 2008 Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Penjualan Batubara (Ton) BUMN 6.255.865 6.256.240 6.260.995 6.276.124 7.116.181 8.758.713 9.041.424 9.606.984 9.064.646 8.276.895 7.621.538 7.662.014 7.210.000 7.192.766 6.754.874 6.735.775 7.980.228 PKP2B 356.105 1.095.157 1.395.364 2.114.212 3.307.966 3.697.541 5.621.428 8.892.304 12.830.377 18.356.321 20.549.044 22.047.443 26.620.000 32.856.354 34.132.185 36.194.420 40.550.480 KP 363.750 710.178 918.536 815.971 830.397 949.323 938.265 813.262 454.764 756.773 1.086.421 948.482 3.294.000 1.256.933 10.623.920 21.209.915 25.394.119 Jumlah 6.975.720 8.061.575 8.574.895 9.206.307 11.254.544 13.405.577 15.601.117 19.312.550 22.349.787 27.389.989 29.257.003 30.657.939 37.124.000 41.306.053 51.510.979 64.140.110 73.924.826

Sumber : DPPMB, 2009 (diolahKembali)

Tabel 3. Jumlah Ekspor Batubara Indonesia Menurut Kelompok Perusahaan, Tahun 1992 2008 Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ekspor Batubara (Ton) BUMN PKP2B KP 1.268.581 1.454.827 1.975.097 3.262.585 2.835.131 3.195.381 4.230.247 4.548.195 4.152.973 3.852.104 5.822.364 7.053.875 4.085.000 4.799.233 13.386.233 12.022.001 12.022.001 Jumlah 16.298.506 18.691.361 25.375.703 31.318.783 36.431.600 41.727.341 47.206.201 55.767.686 58.520.492 59.633.521 74.178.858 85.680.272 92.710.000 106.787.428 143.969.550 158.575.044 158.921.318

1.005.713 14.024.212 1.153.366 16.083.168 1.565.829 21.834.777 2.160.221 25.895.977 2.011.714 31.584.755 1.816.145 36.715.815 1.539.985 41.435.969 2.239.875 48.979.616 2.142.138 52.225.381 1.894.973 53.886.444 1.854.957 66.501.537 2.239.363 76.387.034 2.712.000 85.913.000 2.492.201 99.495.994 2.848.534 127.734.782 3.955.077 142.597.966 4.079.475 142.819.842

Sumber : DPPMB, 2009 (diolah Kembali)

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

59

yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri menjadi semakin penting sejalan dengan ditemukannya cadangan batubara yang besar yang terus meningkat, yang hingga kini sumber daya mencapai 104,75 miliar ton dan cadangan 22,25 miliar ton. Selain itu, adanya kebijaksanaan energi nasional mengenai diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan batubara di berbagai segmen pasar di wilayah Indonesia. Segmen pasar yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri peleburan (metalurgi), dan industri lainnya, serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara. Penggunaan batubara dalam negeri masih didominasi oleh PLTU, yaitu 69,61% dari kebutuhan batubara nasional, kemudian diikuti oleh industri semen sebesar 14,48%. Trend penggunaan batubara pada industri kertas dan tekstil, serta industri lainnya terus meningkat, kecuali pada industri metalurgi dan briket batubara perkembangan penggunaan batubara berfluktuatif dan cenderung tetap. (Tabel 4). 5.1. PLTU PLTU merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada boiler untuk mendidihkan air menjadi uap air. Kemudian uap air tersebut digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2008 sebesar 36,575 juta ton, 69,61% di antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini, PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN maupun yang dikelola swasta, ada 13 PLTU, dua di antaranya paling banyak menggunakan batubara sebagai bahan bakar utamanya adalah PLTU Suralaya dan PLTU Paiton. PLTU Suralaya dikelola PT. Indonesia Power memiliki 7 unit pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.400 MW menggunakan batubara sebesar 13,454 juta ton per tahun. Pemasok utama batubara untuk PLTU Suralaya, sedangkan sisanya dipasok dari beberapa perusahaan di Kalimantan, antara lain dari PT. Kideco Jaya Agung, PT. Arutmin, PT. Adaro dan PT. Berau Coal. Sedangkan di kawasan PLTU Paiton ada tiga operator pembangkit, yakni unit 1 dan 2 kapasitas 800 MW yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), unit 5 dan 6 kapasitas 1.230 MW yang dikelola perusahaan swasta PT Java Power dan unit 7 dan 8 yang dikelola PT Paiton Energy

dengan kapasitas 1.230 MW. Total batubara yang dibutuhkan sekitar 12,144 juta ton per tahun. Batubara yang digunakan sebagian besar dipasok dari Pulau Kalimantan, seperti PT Adaro Indonesia, PT Jorong Barutama, PT Daya Citra Mulia, dan lain-lain. Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2008, penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,37% (Tabel 5). Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat. Peranan PLTU pada pembangkit tenaga listrik nasional adalah yang terbesar, yaitu 54,0%. Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik dan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian BBM secara nasional, pemerintah telah membuat rencana pembangunan sebanyak 40 PLTU dengan daya terpasang sebesar 10.000 MW, 10 PLTU di antaranya akan dibangun di Pulau Jawa dengan kapasitas 7.460 MW dan 30 sisanya dibangun di berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas 2.540 MW (lihat Tabel 6). Total kapasitas PLTU batubara yang dimiliki PLN dan Swasta saat ini sebesar 9.470 MW dengan mengkonsumsi batubara sekitar 36,575 juta ton per tahun. Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2006 telah menunjuk PLN untuk melakukan Percepatan Pembangunan PLTU batubar 10.000 MW yang diharapkan siap beroperasi tahun 2010. Langkah ini merupakan upaya strategis untuk meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan bauran energi nasional dari ketergantungan pada BBM. Batubara yang dibutuhkan untuk 10 PLTU Sistem Kelistrikan Jawa sedikitnya 25,5 juta ton per tahun, sedangkan batubara yang dibutuhkan untuk 30 PLTU Sistem Kelistrikan Luar Jawa sedikitnya 7,0 juta ton per tahun. Proyek percepatan 10.000 MW mengalami kemajuan signifikan. Laporan yang disampaikan kepada Menteri ESDM per tanggal 8 Mei 2009 menyebutkan bahwa untuk 10 proyek yang berlokasi di Jawa, sebanyak 7.460 MW telah memasuki tahap kontrak dan tahap kontruksi, dengan total kontrak mencapai Rp 17.279.783.223.885,40 dan USD 4.967.674.659,33. Sedangkan dari 30 proyek pembangunan PLTU di luar Jawa, sebanyak 22 proyek dengan total kapasitas 1.960 MW dan total kontrak mencapai Rp 7.928.031.007.168,64 dan USD 1.161.131.981,64.

60

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 4. Konsumsi batubara menurut jenis industri di Indonesia Tahun 1998 - 2008

Jenis Industri 1998 1999 2000 PLTU 10.911.341 13.047.717 13.943.613 Semen 1.265.123 2.308.691 3.366.824 Industri Tekstil Industi Kertas 692.737 805.397 766.549 Metalurgi 144.907 123.226 134.393 Briket 29.963 38.302 36.799 Lain-lain 2.600.550 2.573.355 5.545.609 Jumlah 15.644.621 18.896.688 23.793.787

2001 2002 2003 2004 2005 19.165.256 21.902.161 23.810.054 23.492.328 26.337.906 5.541.088 4.883.003 4.692.819 5.653.992 6.023.248 1.307.610 804.202 471.751 1.680.304 1.106.227 2.272.443 220.666 236.802 225.907 122.827 160.490 31.265 24.708 24.976 23.506 28.267 2.407.667 3.792.481 4.990.000 5.619.079 417.583 28.170.144 31.310.907 35.424.061 36.017.958 36.547.548

2006 27.828.338 5.430.749 3.068.115 2.206.866 299.990 36.018 979.797 39.849.874

2007 35.137.318 6.487.245 3.956.540 2.411.428 282.73 25.120 1.263.514 49.563.895

(Ton) 2008 36.575.060 7.609.012 4.193.932 2.518.887 282.730 25.643 1.339.325 52.544.589

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

Seumber :DPPMB dan hasil survei tekMIRA, 2006,2008 (diolah kembali)

Tabel 5. Penggunaan batubara pada pltu di indonesia, 1998 2008 (Ton)


2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 119,408 374,894 665,363 663,967 824,855 547,905 1,192,452 1,153,974 1,057,564 1,142,646 1,090,774 1,080,000 1,068,000

PLTU

Ombilin Bukit Asam Tarahan Suralaya (PTIP) 7,456,766 8,251,561 9,671,230 9,819,920 9,774,871 11,225,218 10,636,155 12,440,501 13,092,252 Cilacap Tanjung Jati B Paiton 2,151,933 3,368,916 2,457,345 6,276,104 8,300,753 9,060,889 9,310,009 10,180,731 11,503,072 Asam-Asam 127,083 488,147 568,436 568,000 554,307 600,000 664,666 PT. Newmont Sumbawa 70,965 376,095 406,132 477,610 480,000 482,578 506,637 505,839 PT. Freeport 646,085 1,057,564 669,334 593,650 623,333 635,709 PT. Tonasa 300,000 300,000 Mpanau Lati - Berau 58,800 58,800 Jumlah 10,911,341 13,047,717 13,943,613 19,165,256 21,902,161 23,810,054 23,492,328 26,337,906 27,828,338

1998 1999 102,607 125,101 1,200,034 1,231,174

2007 631,000 929,000 706,000 12,648,782 2,000,000 4,000,000 11,819,337 638,000 506,399 720,000 300,000 180,000 58,800 35,137,318

(Ton) 2008 631,000 929,000 1,000,800 13,454,763 2,000,000 4,000,000 12,144,298 650,000 506,399 720,000 300,000 180,000 58,800 36,575,060

61

Tabel 6. Rencana pembangunan PLTU 10.000 MW Tahap I Nama Proyek / Lokasi Pulau Jawa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 PLTU Labuan PLTU Suralaya Baru PLTU Teluk Naga PLTU Jabar Selatan PLTU Jabar Utara PLTU Tanjung Jati Baru PLTU Rembang PLTU Jatim Selatan, Pacitan PLTU Tanjung Awar-Awar PLTU Paiton Baru Jumlah Di luar Pulau Jawa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 PLTU Meulaboh PLTU Sibolga Baru PLTU Medan Baru PLTU Sumbar Pesisir Selatan PLTU Mantung PLTU Air Anyer PLTU Bangka Baru PLTU Belitung Baru PLTU Bengkalis PLTU Selat Panjang PLTU Tj. Balai Kerimun Baru PLTU Tarahan Baru PLTU Pontianak Baru PLTU Singkawang Baru PLTU Asam-Asam PLTU Palangkaraya PLTU Sampit Baru PLTU Amurang Baru PLTU Sulut Baru PLTU Gorontalo Baru PLTU Bone PLTU Kendari PLTU Bima PLTU Lombok Batu PLTU Ende PLTU Kupang Baru PLTU Ambon Baru PLTU Ternate PLTU Timika PLTU Jayapura NAD Sumatera Utara Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung Bangka Belitung Bangka Belitung Bangka Belitung Riau Riau Kepulauan Riau Lampung kalimantan Barat kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 65 100 100 100 10 10 25 15 7 5 7 100 25 50 65 65 7 25 25 25 50 10 7 25 7 15 7 7 7 10 467.803 719.697 719.697 719.697 71.970 71.970 179.924 107.955 50.379 35.985 50.379 719.697 179.924 359.848 467.803 467.803 50.379 179.924 179.924 179.924 359.848 71.970 50.379 179.924 50.379 107.955 50.379 50.379 50.379 71.970 7.024.242 32.501.515 Banten Banten Banten Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Timur Jawa Timur 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 17 300 660 300 300 300 660 300 300 600 600 1.079.545 4.750.000 2.159.091 2.159.091 2.159.091 2.375.000 2.159.091 2.159.091 2.159.091 4.318.182 25.477.273 Propinsi Kapasitas (MW) Kebutuhan Batubara (Ton)

Jumlah Jumlah seluruh


Sumber : Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2006

62

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

5.2. Industri Semen Industri semen merupakan konsumen batubara kedua terbesar setelah PLTU. Saat ini terdapat 9 perusahaan semen yang terletak di beberapa wilayah di Indonesia. Pemanfaatan batubara pada industri semen, digunakan sebagai bahan bakar pada tanur putar untuk proses pembuatan klinker sebelum menjadi semen. Tahun 2008, tercatat sekitar 14,48% kebutuhan batubara dalam negeri digunakan oleh industri semen atau 7,609 juta ton. Perusahaan semen yang paling banyak menggunakan batubara adalah PT. Indocement Tunggal Perkasa, yaitu sebesar 2,763 juta ton. Perusahaan ini memiliki tiga pabrik di lokasi yang berbeda, yaitu di Cibinong, Cirebon (Propinsi Jawa Barat), dan Tarjun Kabupaten Kotabaru (Propinsi Kalimantan Selatan). Berikutnya adalah PT. Semen Gresik dengan kebutuhan 1,395 juta ton, PT. Semen Holcim 1,102 juta ton, PT Semen Padang 1,005 juta ton PT. Semen Tonasa 0,828 juta ton, dan yang lainnya di bawah 0,5 juta ton, sementar PT Semen Kupang produksinya tersendat serta dalam proses akuisisi oleh Perusahaan India, sedangkan PT Semen Andalas dalam proses akhir rekontruksi setelah terkena gelombang tsunami. Selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan penggunaan batubara pada industri semen berfluktuasi. Antara tahun 1998-2001, pemakaian batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu 64,03%, namun pada tahun 2002 dan 2003 sempat mengalami penurunan hingga 9,81% dan 5,36%. Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh adanya penurunan produksi di beberapa perusahaan semen, PT. Indocement Tunggal Prakarsa dan PT. Semen Gresik. Memasuki tahun 2004 hingga tahun 2008 cenderung meningkat hanya sempat menurun pada tahun 2006, kebutuhan batubara pada industri semen mengalami perubahan yang positif, yaitu 7,03%, seiring perkembangan ekonomi yang mulai membaik di dalam negeri (Tabel 7). 5.3. Industri Tekstil Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM), karena biaya bahan bakar merupakan komponen terbesar di dalam biaya produksi. Menurut para pengusaha, perubahan pola penggunaan bahan bakar ke batubara merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat karena mampu menekan biaya pengeluaran bahan bakar walaupun harus

melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti boiler yang baru yang berbahan bakar batubara. Batubara dalam industri tekstil digunakan pada boiler untuk memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan digunakan untuk proses pencelupan. Beberapa industri tekstil dilengkapi oleh powerplant berbahan bakar batubara untuk memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan dimanfaatkan berbagai keperluan seperti menggerakan mesin produksi, penerangan, dan sebagainya. Seperti diperlihatkan pada Gambar 2, menunjukkan bahwa perkembangan jumlah perusahaan tekstil yang menggunakan batubara tampaknya akan terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perusahaan tekstil pada tahun 2003 hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun 2008 sudah bertambah menjadi 328 perusahaan. Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003 naik menjadi 4,194 juta ton pada tahun 2008. Dari sisi keberadaannya, industri tekstil di Indonesia terpusat di Pulau Jawa, yang sebagian besar terletak di Propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 240 perusahaan (73,14%) dengan mengkonsumsi batubara sebesar 3,430 juta ton (81,79%). Kemudian disusul oleh Propinsi Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur (lihat Tabel 8). 5.4. Industri Kertas Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara dalam industri kertas digunakan sebagai bahan bakar dimana energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memasak air pada mesin uap. Uap yang dihasilkan dipergunakan untuk memasak/membuat pulp (bubur kertas). Terdapat 36 perusahaan kertas yang telah menggunakan batubara, 5 perusahaan masingmasing terdapat di Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah, 19 perusahaan di Propinsi Jawa Timur, dan 2 perusahaan di Propinsi Riau. Pada tahun 2008, jumlah kebutuhan batubara untuk industri ini mencapai sekitar 2,519 juta ton. (Tabel 9). 5.5. Industri Metalurgi Dari sisi jumlah industri metalurgi (pengecoran logam) yang telah menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada proses produksinya dapat

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

63

64

Tabel 7. Konsumsi batubara pada industri semen 1998 2008 (ton)


1998 59.215 262.721 68.700 14.850 577.607 42.908 67.189 7.679 75.829 88.425 1999 19.523 469.754 62.370 454.140 379.376 528.655 80.775 88.352 99.975 95.499 30.271

Industri Semen PT. Semen Andalas PT. Semen Padang PT. Semen Baturaja PT. Semen Holcim Cilacap PT. Semen Holcim Narogong PT. Indocement TP (Cibinong) PT. Indocement TP (Cirebon) PT. Indocement (Tanjung) PT. Semen Gresik PT. Semen Tonasa PT. Bosowa Cement PT. Semen Kupang Jumlah

(Ton) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 33.618 35.643 47.050 168.000 185.340 tp tp tp tp 483.262 474.430 680.637 692.392 454.214 678.124 782.277 850.000 1.004.847 26.311 75.448 103.357 110.939 129.081 143.973 133.515 153.415 187.436 397.060 397.085 472.457 375.375 416.833 409.420 397.772 451.013 464.407 448.801 545.849 554.583 862.765 1.026.441 1.102.396 547.973 1.509.569 1.019.868 800.923 1.184.564 1.170.431 231.305 254.181 276.315 311.841 349.710 359.372 1.776.412 2.202.000 2.762.674 166.826 683.018 155.301 269.564 368.413 364.018 793.465 912.029 862.606 715.172 1.063.638 1.141.529 1.065.157 116.529 131.147 130.283 546.233 593.923 556.495 659.473 697.440 481.763 760.000 827.793 151.324 202.439 207.082 243.317 296.876 252.180 328.860 328.860 328.860 151.323 202.438 207.082 243.317 296.876 252.179 1.265.123 2.308.691 3.510.521 6.743.526 5.090.085 4.950.868 5.950.868 6.023.248 5.430.749 5.437.245 6.345.153

Catatan : tp = tidak berproduksi

Sumber :

- PT. Semen Gresik, PT, Indocement-Cirebon, PT. Holcim-Cilacap, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Bosowa, dan PT Semen Kupang (Survei tekMIRA 2006)

- Asosiasi Semen Indonesia, 2006

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

- DPPMB, 2008

Gambar 2. perkembangan perusahaan tekstil pemakai batubara di indonesia tahun 2003 2008

Tabel 8. Industri tekstil berbahan bakar batubara di Indonesia, menurut Provinsi, Tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 Lokasi Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Luar Jawa Jumlah Jumlah Perusahaan (Buah) 15 240 68 5 0 328 Kebutuhan Batubara (Ton/Tahun) 423.406 3.430.393 292.433 47.700 0 4.193.932

Tabel 9. Industri kertas berbahan bakar batubara di Indonesia No. 1 2 3 4 5 Lokasi Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Riau Jumlah Jumlah Perusahaan (Buah) 5 5 5 19 2 36 Kebutuhan Batubara (Ton/Tahun) 620.440 145.661 46.479 1.100.916 605.391 2.518.887

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

65

dikatakan relatif tidak bertambah, padahal dari sisi potensi masih banyak perusahaan yang belum menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri metalurgi berfluktuasi, namun ada trend perkembangan yang meningkat sejalan dengan tingkat produksi perusahaan (Tabel 10).

industri rumahan tertentu sebagai bahan bakar, seperti industri pengeringan gerabah, pembakaran bata, tahu/tempe, katering/restoran, tepung ikan, pemindangan ikan, kerupuk, pengeringan bawang, pengeringan tembakau, pembakaran kapur, dan obat nyamuk. Namun yang paling dominan dan memasyarakat penggunaan briket batubara adalah pada peternakan ayam, yaitu sebagai penghangat anak ayam.

Tabel 10. Perkembangan penggunaan batubara pada industri metalurgi, Tahun 1998 - 2008 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 *) Pemakaian Batubara (Ton) 144.907 123.226 134.393 220.666 236.802 225.907 122.827 183.530 299.990 282.730 321.213

Tabel 11. Perkembangan penggunaan batubara pada Industri briket batubara, Tahun 2001 2008 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 *) Pemakaian Batubara (Ton) 31.265 24.708 24.976 17.963 32.010 36.018 25.120 25.643

Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali) *) perkiraan

Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali) *) perkiraan

Di samping industri metalurgi, masih banyak industri lainnya yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung proses produksinya, antara lain industri makanan, kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur, dan lainnya, termasuk beberapa jenis industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan total kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton. 5.6. Briket Batubara Briket batubara merupakan energi alternatif atau pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal, mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana. Di Indonesia, pengembangan briket batubara diperkenalkan sejak tahun 1993, namun hingga kini tidak dapat berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat perkembangan briket batubara selama kurun waktu 2001 2008 yang fluktuatif (lihat Tabel 11). Di masyarakat, pemanfaatan briket batubara digunakan pada industri kecil atau

5.7. Industri Lainnya Di samping industri yang disebutkan di atas, masih banyak industri lainnya yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung proses produksinya, antara lain industri makanan, kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur, dan lainnya, termasuk beberapa jenis industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan total kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton. Sedangkan kebutuhan batubara untuk industri lainnya secara menyeluruh (nasional) diperkirakan tidak kurang dari 1,339 juta ton. Sedangkan potensi pemanfaatan ke depan adalah pada pengusahaan Upgraded Brown Coal (UBC), yang merupakan suatu proses untuk meningkatkan nilai kalori batubara melalui penurunan kadar air. Kelitbangan UBC telah sampai pada skala demo plant 1.000 ton/hari. Selain itu potensi gasifikasi batubara untuk industri kecil menengah, seperti halnya yang telah berhasil pada industri pengeringan teh. Potensi lainnya adalah pencairan batubara.

66

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Sebelumnya telah melakukan upaya pengembangan teknologi BCL, karena belum terbukti (unprovent) terjadi kemandegan. Saat ini alternatif yang sedang dijajagi adalah menerapkan teknologi Sasol, namun belum ada kesepakatan yang mengikat, dan perlu bernegosiasi lanjutan.

apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan Produksi Selama 16 tahun terakhir (1992-2008) produksi batubara Indonesia telah meningkat hampir 15 kali lipat, dari 15,935 juta juta ton menjadi 233,620 juta ton, atau meningkat rata-rata per tahun 17,04%, jauh di atas rata-rata dunia, 3,8%. Peningkatan produksi yang pesat didorong oleh meningkat tajamnya permintaan ekspor dan permintaan dalam negeri. Jika diasumsikan pertumbuhan produksi tetap tinggi, maka pada tahun 2025 dapat mencapai 742 juta ton, namun APBI sejalan dengan kebijakan pemerintah telah memproyesikan yang cukup wajar sebesar 471 juta ton. Perkembangan Ekspor Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, di samping China dan India yang merupakan buyer baru bagi Indonesia. Meningkatnya permintaan China dan India di masa datang akan menambah tingginya kecenderungan permintaan ekspor. Belum adanya keseimbangan antara permintaan dan pemasokan batubara pada tataran dunia, terlihat dari tingginya tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia yang mencapai 15,51%. Pada satu sisi, hal tersebut merupakan peluang Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor. Tetapi dengan adanya kecenderungan tersebut, ke depan perlu mencermatinya untuk melakukan pengendalian atau pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri serta perkembangan tingkat produksi yang mengacu pada konsep konservasi. Lagi-lagi, proyeksi ekspor batubara tanpa adanya pembatasan, pada tahun 2025 akan mencapai 509,3 juta ton, padahal kebijakan ekspor memproyeksikan sekitar 150 236 jua ton. Perkembangan Penggunaan di Dalam Negeri Peran batubara sebagai energi akan semakin besar pada berbagai industri, khususnya pembangkit listrik di Indonesia maupun industri lain di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di masa-masa mendatang peran minyak akan semakin berkurang, sebaliknya peran batubara dan gas akan semakin besar.

6.

MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA

Menyimak berbagai keberhasilan kinerja pertambangan batubara di Indonesia dimasa lalu hingga masa kini, potensi sumberdaya dan cadangan yang besar, adanya peluang sekaligus tantang, dan adanya kebijakan-kebijakan yang terkait, maka batubara Indonesia mempunyai prospek dimasa depan. Pelaku Usaha Pertambangan Sampai dengan tahun 2008 perusahaan penambangan batubara di Indonesia dengan status PKP2B aktif berjumlah 76 perusahaan, yang terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi (9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II dan 21dari Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi kelayakan, dan 5 status eksplorasi. Sedangkan jumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan di daerah yang terinventarisasi di Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi sudah melebihi angka 500 KP, sedangkan yang telah berproduksi 129 KP. Berkembangnya KP tersebut terjadi pada era otonomi daerah, khususnya sejak tahun 2001 ketika dikeluarkannya PP 75 tahun 2001, yaitu ketika penegasan tentang pemberian Kuasa Pertambangan (KP) dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai dengan kewenangannya. Dalam prakteknya sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama otonomi daerah tersebut diterbitkan oleh kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten, sedangkan yang dikeluarkan menteri harus yang berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini sangat jarang ditemui di lapangan, baik sengaja atau tidak sengaja. Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam yang disebabkan meningkat tajamnya permintaan batubara sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun di negara-negara importir. Tidak mengherankan

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

67

Ketika semua proyek Percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW telah beroperasi yang ditargetkan pada tahun 2010, diperkirakan konsumsi batubara Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun 2006. Jumlah tersebut terdistribusi pada PLTU sebesar 69,1 juta ton, industri semen 8,9 juta ton, industri tekstil 4,5 juta ton, industri kertas 3,0 juta dan industri lainnya sekitar 4,5 juta ton. Diperkirakan pada tahun 2025 konsumsi batubara dalam negeri mencapai 236 juta ton. Hal ini telah diproyeksikan sebagaimana termuat pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025, yang menargetkan peranan batubara pada bauran energi nasional sebesar 34,4%, di luar peranan Bahan Bakar Batubara Cair (BBBC) sebesar 3,1% dan Coal Bed Methane (CBM) 3,3%. Kebijakan Pemerintah baru saja menerbitkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (BP PEN) 2010-2025 merupakan re-evaluasi BP PEN 2005-2025, yang akan menjadi dasar penyusunan pola pengembangan dan pemanfaatan energi secara nasional hingga 2025, dengan visi berupa terjaminnya energi dengan harga wajar untuk kepentingan nasional. Penyusunan blueprint merupakan tindak lanjut Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mengamanatkan Menteri ESDM menetapkan cetak biru tersebut. Di sisi lain dengan telah disyahkannya UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, mengisyaratkan pemerintah dapat mengoptimalkan pengelolaan batubara antara lain pengendalian produksi dan ekspor serta jaminan pasokan dalam negeri melalui Domestic Obligation Market (DMO) dan Penetapan Harga Batubara Nasional. Di samping itu mengenai perijinan pertambangan batubara hanya satu pola, yaitu dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Adapun PKP2B termasuk KP yang ada tetap dihormati sampai ijinnya berakhir, dan kemudian diberikan prioritas untuk mendapatkan IUP. Dengan adanya kebikan-kebijakan tersebut tentunya diharapkan akan dihasilkan pelaku pertambangan yang andal di bagian hulu (pertambangan batubara) dengan melakukan good mining practices, pengelolaan lingkungan, dan pengembangan masyarakat (community development). Sedangkan di bagian hilirnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yaitu

untuk menjamin pengadaan energi nasional yang dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

6.

PENUTUP

Sektor pertambangan batubara sampai saat ini telah berhasil dalam menunjang Kebijakan Energi Nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia, dan industri kecil. Pasar global telah dapat pula diterobos dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor batubara uap terbesar di dunia. Semua ini merupakan modal dasar bagi industri batubara Indonesia untuk terus berkembang dalam menunjang keberhasilan pengembangan energi nasional maupun global. Di samping peranan batubara yang cukup besar, maka tetap juga harus dijaga dan dijamin ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan energi di dalam negeri selama dan seekonomis mungkin. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan sinergi dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jawa Barat, Jawa Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Dan Boiler Tahun 2007. Asosiasi Semen Indonesia (ASI), 2006, Indonesia Cement Statistic 2005. Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi Wilayah, Distamben Provinsi Jawa Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Sebagai Sumber Energi. Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah, 2006, Daftar Industri yang Menggunakan Boiler Berbahan Bakar Batubara. Direktorat Pengusahaan Pertambangan Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, 2008, Indonesia Mineral, Coal, and Geothermal Statistics 2008, Jakarta.

68

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. ____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5. Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. ____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 71. Tahun 2006 Tentang Penugasan kepada PT. PLN untuk Melakukan Percepatan Pembangunan PLTU yang menggunakan batubara.

Menteri ESDM, 2009, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025. Suherman I., dkk., 2006, Kajian Batubara Nasional 2006, Puslitbang Teknologi dan Batubara (tekMIRA). Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya, 2008, Perkembangan Produksi Listrik dan Kebutuhan Bahan Bakar Batubara.

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman

69

PENGEMBANGAN SISTEM DAN ALAT PEMANTAUAN SEDERHANA UNTUK MENDETEKSI KERUNTUHAN BATUAN ATAP (ROOF FAILURE) PADA TAMBANG BAWAH TANAH
Zulfahmi 1), Hasniati Astika 2), Supriatna Mujahidin 3) 1) Peneliti Madya 2) Peneliti Pertama 3) Teknisi Litkayasa Penyelia Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : zulfahmi@tekmira.esdm.go.id, hasni@tekmira.esdm.go.id, didit@tekmira.esdm.go.id

SARI Keruntuhan batuan atap (Roof Failure) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan pada tambang bawah tanah. Terdapat dua macam alat pemantauan yang dirancang, yaitu pengembangan alat pemantauan menggunakan Potensiometer transducer yang dapat mendeteksi pergerakan pada beberapa lapisan batuan atap dan pengembangan alat pemantauan menggunakan Linear Variable Differential Transducer (LVDT) yang hanya dapat mendeteksi pergerakan pada permukaan batuan atap saja. Sistem pemantauan yang digunakan terdiri dari alat pemantauan, datalogger sebagai perekam dan penyimpan data serta CPU komputer untuk pengolahan data. Dari hasil kalibrasi di studio dan ujicoba di salah satu tambang batubara bawah tanah, alat dan system yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan terpusat dengan hasil yang signifikan, dimana semua alat pemantauan dan proses perekaman data dapat dioperasikan dari satu tempat sebagai sentral. Kata kunci : keruntuhan atap, lvdt, potensio, tambang bawah tanah

ABSTRACT Roof failure is one of the main causes injuries that happened in the underground mine. Two type of monitoring tools have been designed, there was a development of monitoring tools using Potentiometer Transducer that can detect movement in some rock layers of the roof and Linear Variable Differential Transducer (LVDT) that can detect movement on the surface rock of the roof only. Monitoring system that developed consists of monitoring tools, data logger for record and storage tool and a computer for data processing. The result of a calibration in a studio and running test in one of the underground coal mine could be known that the monitoring tools and the system which applied can be used as a centralized monitoring system with a significant result, where all of the monitoring equipment and data recording process can operated from one place as a central. Keywords: roof failure, lvdt, potentiometer, underground mine

70

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

LATAR BELAKANG

Berdasarkan data yang diperoleh dari www.msha.gov dari tahun 2003 sampai dengan 2007, 82% dari total kecelakaan pada tambang bawah tanah terjadi pada tambang batubara, 24,50% diantaranya diakibatkan oleh keruntuhan atap selain yang disebabkan oleh ledakan gas dan debu tambang dan juga kecelakaan pada pengangkutan (mine haulage). Dari data tersebut, keruntuhan batuan atap merupakan salah satu penyebab terbesar terjadinya kecelakaan pada tambang bawah tanah. Teknologi pengawasan secara dini sangat diperlukan, dengan tujuan utama untuk melakukan pengawasan dan mengetahui sedini mungkin kondisi tidak aman pada suatu lokasi tambang agar dapat ditanggulangi sebelumnya. Salahsatunya

dengan merancang alat pemantauan sederhana dengan menggunakan peralatan yang mudah didapatkan di Indonesia.

2.

METODA PENELITIAN

Metode penelitian yang diterapkan dalam kegiatan ini lebih mengarah kepada kajian terhadap perkembangan peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap pada tambang bawah tanah. Diperoleh baik dari hasil studi pustaka maupun hasil penelusuran pada cybernet untuk mendapatkan metoda dan dasar yang akan digunakan dalam perancangan sistem dan peralatan pemantauan. Selanjutnya dilakukan perancangan sampai didapatkan sistem dan peralatan yang layak digunakan dengan melakukan kalibrasi dan juga ujicoba.

STUDI PUSTAKA/ CYBERNET Kajian teoritis tentang perkembangan sistem pemantauan & konsep sistem peringatan dini Dasar-dasar teori mengenai keruntuhan atap (roof failure) Konsep & Aplikasi peralatan

PENENTUAN SISTEM & ALAT PEMANTAUAN

PERANCANGAN & MODIFIKASI ALAT

PERBAIKAN ALAT/PERUBAHAN SISTEM

KALIBRASI

UJICOBA ALAT & RUNNING TEST

EVALUASI HASIL UJICOBA

SESUAI STANDARD Ya

Tidak

ALAT PEMANTAUAN KERUNTUHAN ATAP

Gambar 1. Metodologi penelitian pengembangan alat pemantauan sederhana untuk mendeteksi pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.

71

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancangan Sistem Pemantauan Keruntuhan Atap Sistem Pemantauan keruntuhan atap yang dirancang terdiri dari alat pemantauan, datalogger dan CPU komputer. Alat pemantauan yang telah terpasang pada batuan atap terhubung dengan datalogger sebagai pembaca dan penyimpan data. Data yang tersimpan dalam datalogger masih merupakan data mentah untuk selanjutnya diolah pada perangkat komputer, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft excel untuk selanjutnya dibuat grafik pergerakan batuan yang terjadi. Untuk menghubungkan setiap unit dari sistem tersebut digunakan sistem kabel. Skema monitoring dapat dilihat pada gambar 2.

Linear Variable Differential Transformer (LVDT) merupakan salah satu jenis sensor yang digunakan untuk mengukur perubahan jarak. Kelebihan dari LVDT sebagai sensor jarak adalah tidak adanya kontak fisik pada unsur sensor sehingga lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan sensor-sensor lain. LVDT terdiri dari satu kumparan magnetik primer dan dua kumparan magnetik sekunder dan satu inti magnetik (Gambar 3(a)). Pada saat posisi nol berarti tidak ada medan magnet dalam kedua kumparan sekunder oleh karena tidak ada pergerakan pada probe. Ketika kumparan magnet tidak dalam posisi nol (terjadi pergerakan pada probe) akan ada ketidakseimbangan medan magnet dari kedua kumparan sekunder. Ketidakseimbangan pada medan magnet menyebabkan perubahan keluaran voltase yang sebanding dengan perubahan jarak dan arah dari pergerakan tersebut. Selain merupakan instrumen yang kuat, LVDT mempunyai resolusi yang tinggi (Cheekiralla, 2004).

Gambar 2. Skema pemantauan keruntuhan atap

Sebagai pembaca dan penyimpan data yang digunakan pada sistem pemantauan keruntuhan atap ini digunakan Datataker DT800. Datataker DT800 merupakan instrumen penerima dan penyimpan data yang dapat mengukur dan merekam data dengan beragam dan dalam jumlah yang banyak serta dapat diprogram dengan menggunakan perintah kerja yang sangat mudah (Anonym, 2001-2004). Perancangan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap Peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap yang dirancang merupakan pengembangan dari peralatan pemantauan sebelumnya. Alat pemantauan yang dirancang terdiri dari 2 macam, yaitu LVDT dan Potensiometer.

(a)

(b)

Gambar 3. (a) Prinsip kerja LVDT (b) LVDT RDP DCTH400AG

72

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

LVDT yang digunakan pada kegiatan ini adalah keluaran RDP dengan type DCTH400AG (Gambar 3 (b)). Kisaran jarak pergerakan yang bisa terukur oleh alat ini sebesar 22 mm. Sensor LVDT dilapisi dengan pipa PVC agar aman dan terlindungi (Gambar 4.(a)). Untuk mengukur pergerakan atap, alat pemantauan ditempatkan tepat di bawah atap batuan, pergerakan pada batuan atap menggerakan probe pada LVDT dan menyebabkan perubahan tegangan (voltase) pada alat monitoring. Perubahan voltase tersebut dapat dikonversikan terhadap perubahan jarak yang terjadi. Sedangkan untuk alat pemantauan potensio digunakan 4 buah potensiometer, dimana masingmasing potensiometer tersebut terhubung dengan pulley. komponen-komponen tersebut ditempatkan pada suatu box yang aman dan terlindungi (Gambar 4(b)). Pulley terhubung dengan jangkar menggunakan kawat baja, dimana jangkar nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan yang diamati pergerakannya.

sama dengan telltale. Pada telltale pembacaan pergerakan yang terjadi dilakukan secara manual, yaitu dengan melihat pergeseran pada pada indikator yang terdapat pada alat pemantauan (Mark and Iannacchione, 2001), sedangkan pada alat monitoring ini pergerakan dapat dibaca dengan menghubungkan alat pemantauan dengan datalogger. Kalibrasi Sistem dan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara perubahan tegangan (Volt) pada alat LVDT dan perubahan tahanan (Ohm) pada Potensiometer terhadap perubahan jarak yang dikondisikan pada masing-masing alat pemantauan. Kecenderungan dari titik-titik pergerakan hasil kalibrasi dari masing-masing alat pemantauan menunjukkan garis yang linier, dengan persamaan garis linier yang digunakan sebagai rumus untuk memperoleh data pergerakan

(a)

(b)

Gambar 4. Alat pemantauan keruntuhan atap (a) LVDT (b) Potensio

Prinsip kerja alat ini sebagai alat pemantauan pergerakan batuan adalah dengan menempatkan 4 buah jangkar yang masing-masing terhubung dengan Potensiometer pada berbagai ketinggian lapisan batuan atap yang akan diamati pergerakannya. Pergerakan pada batuan atap memutar pulley yang terhubung dengan Potensiometer, sehingga terjadi perubahan tegangan yang dapat terukur. Perubahan tegangan tersebut dikalibrasikan dengan perubahan jarak (pergerakan) yang terjadi. Alat yang dirancang mempunyai prinsip kerja yang

atap hasil pemantauan dalam satuan mm. Selain itu kalibrasi juga bertujuan untuk melakukan ujicoba alat dan sistem pemantauan, serta untuk mengetahui performa sistem dan alat yang telah dirancang. Dari hasil kalibrasi diperoleh grafik hubungan antara pergerakan (mm) terhadap perubahan tegangan (Volt) pada alat pemantauan LVDT (Gambar 5) sedangkan grafik hubungan antara pergerakan (mm) terhadap perubahan tahanan (Ohm) pada alat pemantauan Potensio dapat dilihat pada (Gambar 6).

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.

73

LVDT
30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 0 -400 -3 0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600

Pergerakan (mm)

y = -0.0076x + 24.019 R2 = 0.9797

Tegangan (Volt)

Gambar 5. Grafik hasil kalibrasi LVDT

Gambar 6. Grafik hasil kalibrasi potensio Tabel 1. Persamaan regresi linier untuk masing-masing alat pemantauan keruntuhan atap hasil kalibrasi No 1. 2. 3. 4. 5. Alat Monitoring LVDT Potensiometer 1 Potensiometer 2 Potensiometer 3 Potensiometer 4 Persamaan Regresi Linier Y = - 0.0076x + 24.019 Y = 1.102x + 0.406 Y = 1.101x + 0.437 Y = 1.100x + 0.064 Y = 1.103x + 0.073 R2 0.9797 0.9999 0.9980 0.9980 0.9980

74

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Dari grafik diperoleh persamaan garis linier dan juga nilai R 2 untuk masing-masing alat Pemantauan (Tabel 1). Nilai R 2 hasil kalibrasi masing-masing alat menunjukkan nilai yang mendekati 1, yaitu 0.9797 untuk LVDT dan 0.9980 sampai dengan 0.9999 untuk Potensiometer. Nilai tersebut menunjukkan nilai variabel bebas pada persamaan regresi linier yang diperoleh telah dapat menjelaskan hampir 100% dari nilai hasil pengukuran oleh setiap alat pemantauan, yang berarti bahwa hasil pembacaan pada kedua alat tersebut mendekati besarnya pergerakan yang mungkin terjadi. Ujicoba Sistem dan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap Selain kalibrasi, ujicoba sistem dan alat pemantauan juga dilakukan pada tambang bawah tanah yang merupakan kegiatan penerapan dan running test di lapangan. Untuk mengetahui performa dari peralatan dan sistem yang telah di rancang, ujicoba dilakukan pada salah satu tambang bawah tanah yang ada di Sumatera Barat. Masing-masing alat pemantauan ditempatkan pada lokasi yang berbeda. Alat pemantauan LVDT ditempatkan tepat dibawah permukaan batuan atap (Gambar 7 (a)), sedangkan alat pemantauan Potensio ditanamkan pada batuan atap. Untuk pemasangan alat pemantauan Potensio, terlebih dahulu dibuat lubang bor dengan kedalaman yang sesuai dengan kedalaman lapisan batuan atap yang akan diukur pergerakannya (Gambar 7(b)).

Setelah semua alat pemantauan terpasang dengan baik, alat dihubungkan dengan sistem yang telah dirancang sebelumnya. Sistem pemantauan terdiri dari datalogger sebagai pembaca dan penyimpan data, setiap data yang direkam disimpan pada memori yang terdapat pada datalogger. Semua perangkat tersebut ditempatkan dalam pannel box yang tertutup dan aman. Pannel box ditempatkan dekat dengan lokasi penempatan alat pemantauan (Gambar 8 (b)).

(a)

(b)

Gambar 7. Penempatan alat pemantauan keruntuhan atap (a). LVDT (b) Potensio

(a)

(b)

Gambar 8. (a) Pemasangan alat pemantauan (b) Komponen peralatan dalam pannel box

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.

75

Evaluasi Hasil Ujicoba Running test alat di tambang bawah tanah dilakukan secara terus menerus selama 18 hari dengan proses perekaman data setiap 110 detik yang disesuaikan dengan kapasitas memori dari

datalogger. Data yang terekam di konversikan dengan mengunakan rumus regresi linier dari masing-masing alat pemantauan, kemudian dibuat grafik pergerakan batuan (mm) terhadap waktu. Grafik hasil pemantauan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

LVD T 0.2 0 -0.2 Pergerakan, 0.001 mm -0.4 -0.6 -0.8 -1 -1.2 -1.4 -1.6 W aktu, detik LVD 1 T LVD 2 T 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000

Gambar 9. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan LVDT

Gambar 10. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan potensio

76

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Semua alat pemantauan telah diujicoba dan dapat bekerja dengan baik. Semua alat tersebut terhubung dalam satu sistem sebagai sistem pemantauan terpusat. Alat pemantauan dioperasikan dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh dari setiap alat pemantauan dapat terbaca dan tersimpan dalam satu tempat sebagai sentral. Dari grafik pergerakan batuan pada setiap alat pemantauan, dapat dilihat bahwa kurva yang diperoleh bergerigi, terutama pada kurva hasil monitoring dengan menggunakan Potensiometer. Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan (noise) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi sekitar dan sensitifitas dari alat pemantauan. Setiap alat yang diujicoba dapat mendeteksi adanya pergerakan lapisan batuan atap pada tempat diterapkannya alat. Hal tersebut juga menunjukkan sistem yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan keruntuhan batuan atap secara terpusat, pemantauan dapat dilakukan pada beberapa tempat dengan berbagai macam alat pemantauan dalam satu sistem.

sentral. Secara umum kajian yang telah dilakukan menujukkan nilai yang signifikan. Dengan kata lain alat yang telah diujicoba layak dimanfaatkan untuk memantau pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah. 4.2. Saran Perlu dilakukan pengembangan terhadap casing dari alat yang digunakan, sehingga aman untuk digunakan di tambang bawah tanah. Diperlukan kajian lebih lanjut sehingga diperoleh sistem monitoring yang dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini dan data pergerakan secara real time.

DAFTAR PUSTAKA http://www.msha.gov/stats/charts/ chartshome.htm, 2008. Anonym, 2001-2004. dataTaker DT800 Users Manual, UM-0068-A2, Datataker Pty Ltd, Australia. Cheekiralla, S., 2004. Development of Wireless Sensor Unit for Tunnel Monitoring, Massachusetts Institute of Technology, web.mit.edu/ sivaram/www/Sivaram-MS-thesis.pdf. Mark C., Iannacchione A.T., 2001. Best Practice to Mitigate,Injuries and Fatalities from Rock Falls, Paper in the Proceedings of the 20th International Conference on Ground Control in Mining 2001, NIOSH, Pittsburgh, PA, www.cdc.gov/niosh/mining/pubs/pdfs/ bptmi.pdf.

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan Teknologi pemantauan keruntuhan atap batuan pada tambang bawah tanah dengan menggunakan LVDT Tranduser dan Potensiometer dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan yang terjadi pada atap terowongan sebagai peralatan pemantauan keruntuhan atap batuan (roof failure) tambang bawah tanah. Sistem yang dirancang merupakan sistem pemantauan terpusat, semua alat pemantauan dioperasikan dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh dari setiap alat dapat terbaca dan tersimpan dalam satu tempat sebagai

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.

77

PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA

Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman No.623 Bandung 40211 Tlp. 022-6030483, Faks. 022-6003373 e-mail : ika@tekmira.esdm.go.id

SARI Karbon aktif pada industri gula umumnya digunakan sebagai bahan pemudar warna. Namun sebenarnya karbon aktif juga dapat digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik gula dan laboratorium analisis kimia di pabrik gula. Selama ini, karbon aktif yang digunakan dalam proses tersebut adalah karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun pada dasarnya, mengingat sifat karbon aktif batubara yang menyerupai sifat karbon aktif tempurung kelapa, maka karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan. dalam pengolahan limbah cair dari pabrik gula. Limbah cair yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang cukup tinggi. Untuk menurunkan kandungan COD dalam limbah tersebut, telah dicoba dengan menggunakan karbon aktif yang dibuat dari batubara. Percobaan dilakukan dengan variabel jumlah karbon aktif dan waktu proses. Karbon aktif yang digunakan dibuat dari batubara Air Laya Sumatera Selatan yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700 mg/g. Variabel jumlah karbon aktif yang digunakan adalah 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 gram, sedangkan waktu proses adalah 30, 60, dan 90 menit. Hasil percobaan menunjukkan, dengan jumlah karbon aktif 2,5 gram dan waktu proses selama 90 menit, konsentrasi COD yang semula sebesar 2355 mg/l turun menjadi 609 mg/l. Dengan tingkat penurunan sebesar 74%, konsentrasi COD tersebut belum memenuhi persyaratan kualitas limbah cair yang memiliki ambang batas maksimal 300 mg/l. Kata kunci : karbon aktif, adsorpsi, pengolahan limbah, COD

ABSTRACT Commonly, activated carbon is used as fader in sugar industries. However, it can be used as absorber of waste sugar industry. Nowadays, activated carbon used in waste processing is made from coconut shell. Liquid waste produced from sugar industry consists of many Chemical Oxygen Demand (COD). In order to decrease COD, it has been tried to use activated carbon from coal as absorber. The research is carried out using the variables of activated carbon weight and the length of process time. Coal from Air Laya, South Sumatra which is 12 mm in particle size was used as raw material of activated carbon. The iodine number of activated carbon is in the range of 600 to 700 mg/g. The variables of weights activated carbon are 2.5; 5.0; 7.5 and 10.0, with the 30, 60 and 90 minutes. The result showed that the concentration COD was decrease 74% at time condition 90 minutes and 2.5 gram of activated carbon. Keywords : activated carbon, adsorption, waste processing

78

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan dan permasalahan lingkungan, berbagai teknologi pengolahan limbah baik limbah cair, padat dan gas terus dikembangkan. Saat ini teknologi yang kian berkembang pesat adalah pengolahan air, baik air baku maupun air limbah. Terdapat dua cara utama pengolahan yaitu secara kimia dan fisik. Pengolahan air secara kimia, dilakukan dengan menambahkan bahanbahan kimia tertentu antara lain menggunakan PAC (Poly Alumunium Chloride), tawas, kapur ataupun bahan-bahan kimia lainnya, yang dapat berfungsi sebagai koagulan, penetralisir ataupun sebagai desinfektan. Pengolahan air secara fisik bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kotoran-kotoran yang kasar, pemisahan lumpur dan pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam air yang akan diolah. Salah satu bahan yang digunakan dalam proses pengolahan air adalah karbon aktif. Karbon aktif umumnya digunakan selain sebagai penjernih, juga sebagai bahan untuk pemurnian, penghilang bau, warna dan rasa. Di Indonesia, karbon aktif yang digunakan pada pengolahan air umumnya karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun sebenarnya karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan dalam proses tersebut. Di Indonesia, fenomena pemanfaatan karbon aktif dari batubara masih menjadi sesuatu yang tidak lazim, meskipun di negara lain seperti di China jenis karbon aktif ini sudah banyak digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan penelitian pemanfaatan karbon aktif dari batubara. Salah satu yang menjadi objek penelitian adalah penurunan kadar COD (Chemical Oxygen Demand) dalam limbah cair yang dihasilkan dari salah satu pabrik gula yang ada di wilayah provinsi Banten. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan kualitas air yang dikeluarkan dari limbah pabrik gula dan mengurangi ketergantungan karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Hasil penelitian merupakan acuan untuk pemanfaatan karbon aktif batubara pada industri gula.

gula, bahan baku tebu merupakan bahan yang terdiri atas komposisi kimia organik. Limbah yang dihasilkan adalah limbah cair yang berasal dari proses pengolahan gula dan laboratorium pabrik (Santoso, 2008). Dampak konsentrasi COD tinggi menyebabkan kandungan oksigen yang terlarut di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama sekali. Akibatnya oksigen yang menjadi sumber kehidupan mahluk air (hewan dan tumbuhan) tidak dapat terpenuhi, sehingga mahluk air menjadi mati. Limbah cair yang dikeluarkan Instalasi Penjernihan Air (IPA) di daerah Karangpilang, mempunyai konsentrasi COD 1000 mg/gr dapat meningkatkan jumlah bakteri E-coli empat kali lipat (PERSI, 2001). Hal ini menimbulkan berbagai penyakit bagi kehidupan manusia. 2.1. Teknologi Pengolahan Air Salah satu cara pengolahan air yang saat ini sedang berkembang adalah melalui mekanisme adsorpsi. Adsorpsi adalah suatu proses pengumpulan zat terlarut pada suatu permukaan media akibat adanya perbedaan muatan diantara kedua zat, baik cairan dengan cairan, cairan dengan gas, atau cairan dengan padatan, dalam waktu tertentu (Cahyana, 2009). Proses adsorpsi terbagi dalam tiga jenis. Pertama, adsorpsi kimia yaitu terjadi karena ikatan kimia antara molekul zat terlarut (adsorbat) dengan molekul adsorban. Adsorpsi jenis ini eksoterm (mengeluarkan panas) dan tidak dapat berbalik kembali (irreversible). Kedua, adsorpsi fisika, terjadi karena gaya tarik molekul oleh gaya Van Der Waals dan yang ketiga pertukaran ion, terjadi karena gaya elektrostatis. Ketiga mekanisme adsorpsi tersebut terdiri atas tiga tahap yaitu ; (1) makrotransport ; perpindahan zat pencemar (adsorbat) di dalam air menuju permukaan adsorban, (2) mikrotransport; perpindahan adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban, (3) sorpsi ; pelekatan zat adsorbat ke dinding poripori atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis. 2.2. Karbon Aktif dari Batubara Salah satu adsorban yang biasa digunakan dalam pengolahan air (termasuk limbah) adalah karbon aktif. Karbon aktif dengan luas permukaan yang semakin luas menunjukkan semakin tinggi daya adsorpsinya. Proses untuk memperoleh daya adsorpsi tinggi dilakukan melalui proses aktivasi terhadap arang. Umumnya proses aktivasi dilakukan dengan menggunakan uap air, karena selain murah juga relatif mudah. Proses aktivasi akan memperbesar luas permukaan dan volume

2.

TINJAUAN PUSTAKA

COD adalah jumlah oksigen (mg O 2 ) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik dan anorganik yang ada dalam 1 liter air (Nazir, 2000). COD merupakan salah satu parameter indikator pencemar di dalam air, yang disebabkan oleh limbah organik. Dalam proses pembuatan

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum

79

pori-pori bagian dalam karbon aktif. Karbon aktif dari tempurung kelapa umumnya memiliki luas permukaan seluas 500-1500 m2/gr, sehingga efektif menyerap partikel-partikel yang sangat halus (O-Fish, 2007). Luas permukaan karbon aktif dari batubara dapat mencapai 500-1400 m 2 /gr. Penentuan luas permukaan menggunakan metode BET (BrunauerEmmnett-Teller). Teknik ini meliputi pengukuran volume gas nitrogen yang terserap. Dengan perhitungan persamaan BET, struktur dan distribusi pori-pori karbon aktif dapat diketahui. Struktur dan distribusi pori-pori merupakan faktor utama dalam menentukan daya serap karbon aktif dibandingkan dengan luas permukaan (Harald, 1975). Struktur pori dari suatu adsorban diklasifikasikan menjadi transportpori yang memiliki diameter sekitar 500 A, mesopori dengan diameter antara 20 dan 500 A, mikropori dengan diameter antara 8 dan 20 A, dan pori-pori dengan diameter kurang dari 8 A yang disebut submikropori (Pruss, 1972). Struktur, distribusi dan ukuran pori-pori karbon aktif menjadi faktor yang menentukan kemampuan adsorban dalam mengadsorpsi berbagai jenis adsobat. Sedangkan, efektifitas adsorpsi sangat tergantung pada jenis bahan baku adsorban, jenis zat adsorbat dan temperatur pada saat proses berlangsung. Bentuk karbon aktif dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu bentuk granular dan powder (Activated Carbon, 2007). Kedua bentuk ini dapat digunakan dalam proses pemurnian, pengolahan dan penjernihan air. Karbon aktif granular memiliki persentase makropori dan transportpori yang lebih besar sehingga memungkinkan molekul-molekul besar terserap. Karbon aktif granular dibuat dalam ukuran yang berbeda tergantung pada aplikasinya. Karbon aktif granular biasa digunakan untuk menghilangkan senyawa organik yang menimbulkan

bau, rasa, atau warna yang tidak diinginkan pada fasa cair. Sedangkan penggunaan karbon aktif powder pada fasa cair harus selalu diaduk agar homogenitas tetap terjaga dan tidak terjadi sedimentasi suspensi, atau bisa juga dilakukan dengan penyaringan. Karbon aktif bentuk powder lebih tepat digunakan untuk fasa gas karena memiliki mikropori yang lebih besar sehingga mampu menyerap molekul-molekul kecil.

3.

METODOLOGI

Alat Peralatan laboratorium seperti ; gelas piala, corong, pengaduk gelas, botol plastik, dan timbangan analitik Bahan Conto limbah gula (cair) Karbon aktif berukuran 12 mesh dengan bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700 mg/gr Cara kerja Karbon aktif berukuran 12 mm ditimbang masingmasing 2,5, 5,0, 7,5 dan 10 gram. Selanjutnya, karbon aktif ditambahkan ke dalam 200 ml conto limbah, Campuran tersebut kemudian diaduk setiap 10 menit selama masing-masing 30, 60 dan 90 menit. Setelah selesai proses pencampuran, kemudian dilakukan penyaringan, filtrat ditampung di dalam botol untuk selanjutnya dilakukan analsisis COD. Metoda analisis COD mengacu pada SNI 06-6989.15-2004. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil percobaan pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik gula tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis COD limbah cair pabrik gula Konsentrasi COD sebelum proses (mg/l) Waktu proses (menit) Konsentrasi COD setelah proses (mg/l) 2,5 gr 30 60 90 667 661 609 2355 Berat karbon aktif 5,0 gr 715 799 975 7,5 gr 925 719 888 10,0 gr 949 823 766

80

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Konsentrasi COD di dalam limbah gula semula sebesar 2355 mg/gr. Setelah ditambah karbon aktif, nilai COD menjadi turun. Konsentrasi COD yang terendah adalah 609 mg/gr, diperoleh dengan penambahan berat karbon aktif 2,5 gram selama 90 menit. Bila dihitung berdasarkan persentase penurunan tingkat adsorpsi, dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

1.000 mg/gr. Teknik pengolahan adalah dengan cara mengalirkan debit limbah melalui suatu kolom yang berisi karbon aktif. Waktu kontak relatif cepat, namun karena kualitas karbon aktif tinggi, maka penurunan COD sangat signifikan. Selain kualitas karbon aktif, faktor yang mempengaruhi efektifitas adsorpsi adalah jenis bahan baku karbon aktif, jenis adsorbat dan cara pengolahan. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi persentase penurunan adsorpsi karbon aktif..

5.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Karbon aktif yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium antara 600 dan 700 mg/gr dapat menurunkan konsentrasi COD limbah gula dari 2355 mg/gr menjadi 609 mg/gr. Hasil tersebut diperoleh dengan penambahan karbon aktif sebesar 2,5 gram selama 90 menit. Gambar 1. Persentase penurunan adsorpsi Konsentrasi COD 609 mg/gr belum memenuhi persyaratan kualitas limbah cair yang mempunyai nilai ambang batas 300 mg/gr.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa persentase penurunan adsorpsi terendah terjadi pada penambahan karbon aktif sebesar 5,0 gram selama 90 menit, dengan tingkat penurunan mencapai 59%. Begitu pula dengan penambahan karbon aktif 10 gram, tingkat penurunan mencapai 60% selama 30 menit. Persentase penurunan adsorpsi terbesar, diperoleh dengan penambahan karbon aktif 2,5 gram selama waktu 30, 60 dan 90 menit. Penambahan berat karbon aktif lebih besar dari 2,5 gram, tingkat penurunan adsorpsi relatif rendah. Berdasarkan data pada Tabel 1, semakin besar jumlah karbon aktif yang ditambahkan, tidak menunjukkan semakin turunnya konsentrasi COD. Tetapi, dengan jumlah karbon aktif rendah, menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang relatif stabil. Mengacu pada baku mutu limbah cair yang mempunyai nilai ambang batas COD 300 mg/gr, konsentrasi COD sebesar 609 mg/l belum memenuhi persyaratan mutu limbah cair. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya efektifitas adsorpsi adalah kualitas karbon aktif. Pada pengolahan limbah cair di salah satu pabrik gula, karbon aktif yang digunakan terbuat dari tempurung kelapa mempunyai bilangan yodium

6.

SARAN

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu meningkatkan kualitas karbon aktif dari bilangan yodium 600 dan 700 mg/gr menjadi 1000 mg/gr. Selain itu, perlu pengaturan ukuran butir dan cara pengolahan limbah sehingga diperoleh hasil yang memenuhi standar kualitas limbah cair.

DAFTAR PUSTAKA Cahyana, Gede, H., 2009, http:// Gedehace.blogspot.com/2009/03/adsorpsikarbon-aktif.html, Majalah Air Minum, Februari 2009 Harald, 1975, Conversion of Coal and Gas Produced from Coal Into Fuels, Chemicals, and Other Products, Chapter 30, 30.4.6.3. Nazir, Ernawita, 2000. Teknik Sampling dan Analisis Air Permukaan. O-Fish, 2007, Filter Kimia, Media Informasi Ikan Hias dan Tanaman, http://o-fish.com.

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum

81

PERSI, 2001, Pusat Data dan Informasi, http:// www.pdpersi.co.id, Rabu 22 Agustus Pruss, W., 1972, Determination of Pore Size and Pore Distribution in Coal and Coke, Brennestoff-Chemical, 42, 157-160

Santoso, Eddy, B., 2009, Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan Dan Pemanfaatannya, Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan, Indonesia

82

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BAKTERISIDA FENOL UNTUK PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG

Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : sruntung@tekmira.esdm.go.id, rosniasruntung@tekmira.esdm.go.id

SARI Peningkatan pertambangan batubara, bijih emas dan tembaga seperti di Kalimantan, Sumatera dan Papua menyebabkan munculnya fenomena air asam tambang (AAT). AAT dapat terjadi apabila mineral sulfida seperti pirit terpapar ke udara dan bereaksi dengan udara dan air membentuk asam sulfat. Kehadiran jasad renik Thiobacillus ferroksidans juga dapat mempercepat terjadinya AAT. Asam sulfat ini akan melarutkan logam sehingga dapat mencemari badan perairan sekitarnya. Secara umum, pengelolaan lingkungan yang umum diterapkan untuk penanggulangan AAT antara lain adalah netralisasi,pembentukan lahan basah dan pengkapsulan. Proses netralisasi dapat membentuk logam hidroksida yang dapat mengendap berupa lumpur sehingga diperlukan penanganan lebih lanjut. Salah satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pencegahan dan pengontrolan pembentukkan AAT dengan mengurangi aktivitas bakteri. Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penggunaan bakterisida untuk menanganani AAT. Bakterisida yang digunakan adalah fenol dengan dosis 5 mg/g dan sebagai pembanding digunakan gamping dengan dosis 10 mg/g. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis batuan penutup yang berwarna abu-abu dan coklat berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan. Kedua jenis batuan tersebut dipreparasi menjadi ukuran 100 mesh, -10+35 mm dan -1+1/2 cm. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor, yaitu jenis batuan, ukuran dan jenis bakterisida selama 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan, penambahan fenol dan gamping (CaCO3) dapat meningkatkan pH lindian berturut-turut menjadi 6,1 dan 10,6. Fenol mampu mereduksi asam 6,67% -51,67% dan kemampuan kapur mereduksi asam mencapai 48-15,% - 73,15%. Dari hasil tersebut, terlihat kemampuan fenol dalam mereduksi asam dari batuan penutup lebih kecil dari gamping. Kata kunci: lingkungan tambang, air asam tambang, polusi, lindian, bakterisida, fenol, netralisasi, pengaruh bakteri

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.

83

ABSTRACT The increases of coal, gold and copper ore from mine activities in Kalimantan, Sumatera and Papua lead to the occurrence of acid mine drainage (AMD). Acid mine drainage can occur if sulphide mineral such pyrite was exposed to the air and it will react with oxygen water to form sulphuric acid. The presence of Thiobacillus ferroksidans can also accelerate the formation of AMD. The acid can dissolve metals and pollute the water body surrounding the area. Generally, environmental management such as neutralization, in capsulation and wetland are common to handle the AMD in Indonesia. Neutralization process can form metal hydroxide and it will precipitate as sludge which need to be optimally managed. Regarding to the problem, a laboratory research on the use of bactericide to handle the AMD was carried out. Phenol as bactericide with dose 50mg/g was used while limestone with dose 100mg/g also used as a comparison. Two types of overburden which colour were gray and chocolate from KUD Tambang Harapan, Kedongdong Subdistric, South Lampung were used in this experiment. The overburden was prepared to be 100 mesh, -10+35 mm dan -1+1/2 cm. Design of Group Random was used with 3 factors, namely type of overburden, size and bactericide. The result showed that the phenol and lime stone can increase the pH of leached respectively 6,1 and 10,6. Phenol and limestone respectively could reduce acid 6,67% -51,67% and limestone 48-15,% - 73,15%. Based on the result, the capacity of phenol to reduce acidity of overburden is much less than limestone. Keywords : mine environment , acid mine drainage, pollution, leached, bactericide, phenol, limestone, neutralization, microbial influence

1.

PENDAHULUAN

kan karena dapat menghemat biaya pengelolaan. Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan adalah penggunaan fenol. Fenol atau asam karbolik dengan rumus kimia C5H6OH adalah bakterisida. Fenol, salah satu baktersida umum digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik. Fenol ini ini dapat menghambat pertumbuhan jasad renik sampai mematikannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara telah mengadakan penelitian laboratorium pencegahan AAT dengan menggunakan fenol dan gamping (CaCO 3). Dalam penelitian, contoh batuan yang digunakan adalah batuan penutup, berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Fenol dibeli dari toko kimia dan gamping diperoleh dari tambang rakyat di daerah Citatah.

Pembentukkan air asam tambang (AAT) merupakan masalah utama dalam pertambangan batubara dan mineral. AAT dapat terbentuk apabila ada mineral pirit yang terpapar sehingga teroksidasi dan selanjutnya air membentuk asam sulat yang dapat menurunkan pH air dan melarutkan logam. Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas badan perairan karena sungai terkontaminasi oleh keasaman dan logam-logam terlarut dan juga menyebabkan reklamasi daerah tambang menjadi lebih mahal. Oleh karena itu kehadiran AAT di lingkungan sangat tidak diharapkan. Beberapa perusahaan pertambangan mineral seperti PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Minahasa mengalami masalah AAT ini. Hal yang sama juga dialami oleh perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan Timur seperti PT. Berau Coal dan PT. Kaltim Prima Coal. Pada umumnya perusahan-perusahan tersebut telah menangani masalah tersebut dengan berbagai cara antara lain netralisasi dengan CaCO3 (kapur), kapur padam (Ca(OH)2) dan kapur tohor (CaO), penutupan dengan air, pengkapsulan/penghalang fisik dan pemanfaatan rawa/ rawa buatan (wetland). Biaya penanggulangan AAT pada umumnya mahal, namun apabila pembentukkan asam dapat dicegah akan sangat menguntung-

2.

BAHAN DAN METODE

2.1. Bahan dan Peralatan Contoh dalam penelitian ini adalah batuan penutup, berasal dari KUD Tambang Emas Harapan, Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan warnanya, batuan penutup dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu berwarna abu ( BP abu) dan coklat (BP coklat). Kedua contoh

84

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

batuan penutup tersebut dipreparasi menjadi beberapa ukuran, yaitu 100 #, (-10 + 35 mm) dan (-1 + cm). Kolom yang digunakan dalam pelindian adalah botol plastik + 250 ml. Bagian bawah botol tersebut diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan air pelindian. Bakterisida yang digunakan adalah fenol yang dibeli dari toko bahan kimia dan sebagai pembanding adalah kapur gamping (CaCO3) yang berasal dari tambang rakyat Desa Citatah. Air suling berfungsi sebagai media pelindi. 2.1.2 Peralatan Kolom pelindian adalah botol plastik + 250 ml yang bagian bawahnya diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan lindian. Lindiannya ditampung dalam gelas plastik Setiap kolom pelindian diisi dengan contoh batuan yang disusun secara berlapis dengan fenol dan gamping. Untuk menjaga kelembaban, botol-botol tersebut disimpan dalam akuarium tertutup dan dijaga kelembapannya sekitar 90%. Peralatan lain yang digunakan adalah pH meter dan alat gelas. 2.2. Metode Uji karakterisasi contoh batuan dilakukan untuk mengetahui kandungan logamnya (Cu, Fe, Zn, Pb, Mg, Mn dan Ca) dalam bentuk oksida dan S (belerang) terhadap kedua jenis batuan, yaitu: batuan penutup berwarna abu (BP abu) dan coklat (BP coklat). Selanjutnya, terhadap kedua contoh batuan tersebut juga dilakukan pengujian air asam tambang dengan metode Sobek (Sobek, 1978).

Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium Lingkungan Puslitbang tekMIRA. Percobaan untuk mengetahui interaksi dari jenis batuan dan ukurannya, fenol dan kapur yang diujikan sebagai bahan pencegahan pembentukkan asam digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor. Faktor pertama (A) adalah ukuran batuan dengan taraf, 100 mesh (a1), -10+35mm (a2) dan -1+1/2cm (a3). Faktor kedua (B) adalah jenis batuan dengan dua taraf, yaitu BP abu (b1) dan BP coklat (b2). Faktor ketiga (c) adalah jenis bahan kimia dengan dua taraf, yaitu kontrol (c0), fenol (c1) dan gamping (c2). Dari faktor perlakuan tersebut diperoleh 24 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang dua kali. Analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5% jika terdapat perbedaan antar perlakuan. Ke dalam setiap kolom pelindian dimasukkan secara berturut-turut 100 gr contoh batuan, kemudian dimasukkan ke dalam masing masing kolom secara berlapis fenol dan kapur dengan dosis masing-masing 5 mg/g dan 10 mg/g kecuali kontrol. Setiap hari masing masing kolom pelindian ditambahkan 10 ml air suling sebagai media pelindian. Pengukuran pH lindian dilakukan setiap minggu. Proses tersebut dilakukan dalam akuarium tertutup pada suhu kamar selama 12 minggu dengan kelembaban berkisar 90 %.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisa kadar logam dari contoh dengan AAS Hasil analisa/penentuan kadar logam dan S dalam contoh BP abu dan BP coklat adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil analisis kandungan logam dan sulfur dalam contoh batuan Contoh Batuan Cu BP coklat BP abu
Sumber Keterangan P. coklat P. abu

Parameter (%) Fe 8.39 31.82 Zn 0.04 0.03 Pb 0.06 0.22 Mn 0.05 0.01 Mg 0.19 0.04 Ca 0.12 0.11 S 1,90 2,29

0.01 0.10

: Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung : = batuan berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan = lapisan batu berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, lampung Selatan

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.

85

Hasil analisis menunjukkan, logam yang dominan dalam kedua jenis batuan penutup tersebut adalah besi dalam bentuk Fe2O3 dengan kisaran antara 8,39 - 31,82%, sedangkan kandungan logam lainnya rendah. Kedua jenis batuan juga mengandung sulfur dengan kisaran 1,90% 2,29%. Mengacu kepada hasil analisis dari Uji Identifikasi Pembentukan Air Asam Tambang pada Tabel 2, diduga bahwa kedua jenis batuan tersebut berpotensi menghasilkan air asam tambang.

bakteri. Buck (2001), menyatakan senyawa fenol dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan cara merusak dinding selnya dan juga dapat mengendapkan proteinnya. Proses penetralan dengan gamping terlihat bahwa nilai pH lindian tidak ditentukan baik oleh ukuran contoh maupun oleh perhitungan asam basa. Hal ini dapat dilihat dari kisaran pHnya, yaitu 10,1 10,8 atau rata-rata 10,6. Dari uraian tersebut dapat

Tabel 2. Hasil analisis uji pembentukan air asam tambang Kode Sampel BP abu BP coklat
Sumber Keterangan BP abu BP coklat

MPA ANC NAPP NAG NAG kg kg kg 4,5kg 7kg Sulfur (%S) H SO /ton H SO /ton H SO /ton H SO /ton H SO /ton 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 Total 2,29 1,90 70,13 58,19 0 0 84,56 63,59 104,65 52,69 194,39 74,09

pH NAG 2,88 3,42

pH 1:2 2,37 3,15

: Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung : = batuan penutup berwarna abu = batuan penutup berwarna coklat

Dari Tabel 2, terlihat derajat keasaman pH (1:2) contoh yang dianalisis berkisar dari 2,37-3,15 berarti bahwa contoh-contoh tersebut bersifat asam. Kadar belerang (S) total kedua contoh berkisar dari 1,90% sampai dengan 2,29% dan nilai tersebut berhubungan langsung dengan nilai MPA. Hasil perhitungan menunjukkan nilai MPA kedua contoh berkisar antara 58,19-70,13 kg H2SO4/ton. Kedua contoh batuan menunjukkan nilai ANC = 0 berarti contoh tersebut tidak mampu untuk menetralisasi asam. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan kalsium (Ca) kecil, yaitu berkisar 0,11-0,12 %. Kedua contoh nilai NAPP-nya positif, yaitu 63,59-84,56 kg H2SO4/ ton. Hal ini menunjukkan bahwa kedua contoh tersebut dapat membentuk asam yang reaksi pembentukannya secara umum sebagai berikut: MeS2 +7/2O2 + H2O (logam sulfida) Dalam proses pembentukan AAT tersebut, peran bakteri adalah mempercepat reaksi. Dharmawan, P, 1996 mengklasifikasikan batuan pembentuk asam menjadi 4 jenis seperti tertera pada Tabel 3. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut, kedua contoh batuan tersebut dapat Me2+ 2SO42- +2H+

digolongkan tipe 4 atau potensi pembentuk asam kapasitas tinggi sehingga diperlukan penanganan agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Salah satu penanganan adalah penggunaan fenol yang merupakan bakterisida dan sebagai pembanding digunakan gamping (CaCO3). Hasil pengukuran pH lindian selama 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 1. Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat pada bahwa blanko (kontrol) air lindian bersifat asam pH dengan berkisar 2,90-5,6 atau rata-rata 3,7. pH tertinggi 5,6 hanya ditemukan pada batuan BP coklat dengan ukuran 100 mesh. Nilai pH lindian tertinggi ditunjukkan oleh penambahan gamping, yaitu ratarata 10,6. Penggunaan fenol dalam percobaan ini ternyata mampu meningkatkan air lindian 4,5 - 7,2 atau rata-rata 6,1. Nilai pH lindian tersebut lebih ditentukan oleh kemampuan contoh dalam pembentukan asam maksimum dan potensi batuan dalam menetralkan dan bukan ukuran contoh. Dengan demikian pH lindian BP abu lebih rendah (4,5- 6,0) dari BP coklat (5,2-7,2). Peningkatan pH lindian pada percobaan penambahan fenol mungkin disebabkan oleh kemampuan fenol menghambat pertumbuhan

86

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 3. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam No. 1. 2. Golongan Tipe 1 Tipe 2 Jenis Batuan Bukan pembentuk asam Keterangan Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4 atau nilai NAPP negatif

Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 ,nilai NAG pada pH kapasitas rendah 4,5 lebih kecil dari 5 kg H2SO4 per ton NAPP 0 10 kg H2SO4 per ton Potensi pembentuk asam kapasitas tinggi Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4,nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H2SO4 per ton NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H2SO4 per ton Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 , pH batuan (1 : 2) lebih kecil dari 4 nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H2SO4 per ton NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H2SO4 per ton

3.

Tipe 3

4.

Tipe 4

Pembentuk asam

Sumber: Dharmawan, Parliyanto , 1996

Tabel 4. Rata-rata perubahan pH lindian dengan penambahan fenol dan kapur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perlakuan a 1b 1 c 0 a 1b 1 c 1 a 1b 1 c 2 a 1b 2 c 0 a 1b 2 c 1 a 1b 2 c 2 a 2b 1 c 0 a 2b 1 c 1 a 2b 1 c 2 pH 2.9 5.2 10,8 5.6 7 10,8 4.2 4,5 10,1 No 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Perlakuan a2 b2 c 0 a2 b2 c 1 a2 b2 c 2 a3 b1 c 0 a3 b1 c 1 a3 b1 c 2 a3 b2 c 0 a3 b2 c 1 a3 b2 c 2 pH 3.6 7,2 10,7 2.9 6 10,6 3.4 6.9 10,8

Keterangan: C0=control; C1 = fenol; C2 = gamping b = jenis batu; b 1 = BP abu; b-2 = BPcoklat a1, a2, a3 = ukuran batu

dilihat bahwa dosis gamping berpengaruh terhadap pH lindian. Pada penetralan ini terjadi reaksi sebagai berikut: CaCO3+ H2SO4 CaSO4+ H2CO3 3 CaCO3 + Fe2(SO4)3 + 6 H2O 2 CaSO4+2 Fe(OH)2 + 3 H2CO3 Kapasitas reduksi asam untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Gambar 1. Perubahan pH lindian dari batuan dengan penambahan kapur dan fenol Tabel 5 menunjukkan nilai pH lindian rata-rata dari penggunaan fenol berkisar antara 4,5 7,2 dan gamping antara 10,1 10,8. Nilai pH lindian dari

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.

87

Tabel 5. Kapasitas reduksi asam dari fenol dan gamping terhadap blanko Jenis Penanganan Blanko Perlakuan a1b1c0 a1b2c0 a2b1c0 a2b2c0 a3b1c0 a3b2c0 a1b1c1 a1b2c1 a2b1c1 a2b2c1 a3b1c1 a3b2c1 a1b1c2 a1b2c2 a2b1c2 a2b2c2 a3b1c2 a3b2c2 Rata-rata pH 2,9 5,6 4,2 3,6 2,9 3,4 5,2 7,0 7,2 4,5 6,9 6,0 10,8 10,8 10,7 10,1 10,6 10,8 Selisih thd blanko 0 0 0 0 0 0 2.3 1.4 3.6 0.3 3.5 3.1 7.9 5.2 7.1 5.9 7.7 7.4 Reduksi asam (%) 44.23 20.00 50.00 6.67 50.72 51.67 73.15 48.15 66.36 58.42 72.64 68.52 Kapasitas reduksi (per mg) 2.3 1.4 3.6 0.3 3.5 3.1 7.9 5.2 7.1 5.9 7.7 7.4

Fenol

Gamping

fenol sudah memenuhi syarat sebagai air limbah dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9) dan dapat menetralkan asam berkisar antara 6,67% -51,67%. Penetralan dengan gamping dapat mereduksi asam 48-15,% - 73,15%, jadi lebih tinggi dari fenol. Namun apabila dilihat nilai pH lindian dari penggunaan gamping telah melampau nilai yang ditentukan oleh Kepmen tersebut, sehingga perlu dilakukan penurunan dosis gamping agar hasil lindian dapat memenuhi syarat. Penurunan dosis dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan menurunkan dosis gamping dan menggunakan asam seperti H2SO4 atau HCl sehingga diperoleh nilai pH air limbah yang sesuai dengan Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9). Penurunan dosis gamping lebih dianjurkan karena dapat menghindari adanya biaya tambahan pengelolaan air limbah. Penelitian Siwik (1989) menunjukkan penambahan Ca(OH)2 (kapur padam) dengan dosis 5000 mg/kg selama 50 minggu dapat mereduksi asam sampai 80%. Ukuran bijih berpengaruh terhadap nilai pH dan reduksi asam baik untuk penggunaan fenol maupun gamping. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa ukuran batuan berpengaruh terhadap perlakuan. Nilai pH dan reduksi asam tertinggi terjadi pada batuan ukuran -1+1/2cm dan terkecil pada ukuran

batuan 100 mesh baik untuk perlakuan dengan fenol maupun batuan. Batuan dengan potensi pembentuk kapasitas asam tinggi (BP abu) kemampuannya dalam mereduksi asam lebih rendah dari BP coklat. Hasil lindian (pH) dan reduksi asam dari BP abu lebih rendah dari BP coklat untuk semua jenis ukuran batu. Dari hasil percobaan terlihat kemampuan fenol dalm mereduksi asam lebih kecil dari gamping.

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Hasil penelitian menujukkan berbagai hal sebagai berikut: Fenol dapat digunakan dalam pencegahan air asam tambang dan dapat meningkatkan nilai pH lindian dengan kisaran 4,5 7,2. Nilai tersebut memenuhi syarat sebagai air limbah dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004 Kapasitas reduksi asam untuk fenol dengan dosis 5 mg/g berkisar antara 6,67% -51,67%. Kapasitas reduksi asam untuk gamping dengan dosis 10 mg/g berkisar 48-15,% -

88

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

73,15%, dan pH berkisar 10,1 10,8. Karena nilai ini sudah melampaui baku mutu air limbah dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004 sehingga diperlukan penurunan dosis gamping. Ukuran batuan dan jenis batuan berpengaruh terhadap hasil lindian. Kapasitas fenol dalam mereduksi asam lebih kecil dari gamping. 5.2. Saran Penelitian perlu dilanjutkan dengan pemberian bakterisida yang lain seperti surfaktan sehingga dapat ditentukan bakterisida yang lebih beperan dalam pencegahan air asam tambang. Untuk melihat pengaruh ukuran dan jenis batuan terhadap kelarutan logam-logam maka perlu dilakukan pengukuran konsentrasi logam-logam yang terekstrasi.

DAFTAR PUSTAKA Buck, M. Kirsten, 2001, The effects of Germicides on Microorganism, http:// www.infectioncontroltoday.com/articles/ 191clean.html diakses tanggal 15 Juni 2009 Dharmawan Parliyanto, 1996, Identifikasi Potensi Air Asam Tambang di Daerah Tambang Batubara PT. Arutmin Indonesia, Paper disajikan pada Seminar Air Asam Tambang di Indonesia, Aula Barat ITB 1-2 Juli 1996 Siwik R, S. Payant and K. Wheeland, 1989, Control of acid generation from reactive waste rock with the use of chemicals, Tailings and Effluent Management. Chalkey, M. E, et al (eds.), Pergamon Press, New York. Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and Smith, R.M. 1978. Field and Laboratory Methods Applicable to Overburdens and Minesoils. U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati, Ohio, 45268. EPA-600/2-78-054, 4750.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Sahroji, Kepala KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan yang telah mengirim contoh batuan sehinnga penelitian ini dapat berjalan lancar.

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.

89

PENGARUH TITIK LELEH ABU TERHADAP PENGENDAPANNYA PADA PEMBAKARAN BATUBARA DENGAN PEMBAKAR SIKLON DI BEBERAPA FASILITAS INDUSTRI
Sumaryono Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA) Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung Telp./Fax : 022 6038027, 081321237913 e-mail : soemaryono@tekmira.esdm.go.id

SARI Batubara dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang kotor karena sulit untuk mendapatkan batubara yang murni, bersih dari kotoran. Khususnya pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi proses pembakaran seperti kandungan abu dengan berbagai karakteristiknya yang selain mempengaruhi proses pembakaran juga dapat mengganggu produk dan fasilitas industri yang dilayani. Untuk pengoperasian pembakar siklon, kadar abu yang tinggi dengan titik leleh yang bervariasi dapat mempengaruhi kinerja alat. Berdasarkan titik lelehnya abu dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan a bertitik leleh tinggi, golongan b bertitik leleh sedang atau mendekati suhu operasional pembakar siklon 1200C dan golongan c bertitik leleh rendah, jauh dibawah 1200C. Tulisan ini menguraikan proses penanganan abu untuk ketiga jenis abu tersebut, dalam pengoperasian pembakar siklon untuk ketel uap, pemanas oli dan pengering berputar. Diuraikan juga proses pengendapan partikel abu dari ketiga jenis abu dalam fasilitas industri tersebut dan lokasi pengendapannya. Dari pengamatan tersebut, didapat abu golongan a lebih dari 90% tertiup keluar siklon, abu golongan b lebih dari 50% menempel sebagai kerak di dalam siklon dan abu golongan c lebih dari 90% meleleh di dalam siklon kemudian mengalir ke dalam kotak abu. Kata kunci : pembakar siklon, titik leleh abu, pengendapan

ABSTRACT Coal may be viewed as a dirty fuel, since it is difficult to obtain pure coal, free from impurities. Particularly the impurities which may affect the combustion process such as the ash content with its various characteristics, which either affecting the combustion process or may affect the product and the industrial facilities served. For cyclone combustor operation, high ash content with various melting points may affect the combustor performance. Based on its melting point, ash may be divided into three groups, (a) group has high melting point, (b) group has medium melting point or close to the operational temperature of the cyclone combustor at 1200C, and (c) group has low melting point, far below 1200C. This paper describes the handling process of those ash groups, in the operation of the cyclone combustor in steam boiler, oil heater and rotary dryer. The deposition processes of the ash particles in those industrial facilities and their deposition locations are also described. From this observation,

90

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

it was found that (a) group ash, more than 90% was blown out of the cyclone, (b) group ash more than 50% adhered as slag in the cyclone and (c) group ash more than 90% melted in the cyclone and then flowed into the ash box. Keywords: cyclone combustor, ash melting point, deposition

1.

LATAR BELAKANG

Pembakar siklon dengan bahan bakar batubara halus berukuran -30 mesh telah digunakan di industri untuk berbagai jenis fasilitas seperti ketel uap, pemanas oli, pengering berputar, dll sejak tahun 2005. Pembakar siklon digunakan untuk menggantikan pembakar BBM di berbagai fasilitas industri tersebut (Sumaryono, 2009). Tetapi sejak tahun 2008 mulai terjadi kelangkaan batubara standar karena naiknya harga ekspor batubara sehingga pasokan batubara standar untuk dalam negeri terganggu dan di pasaran dalam negeri hanya tersedia batubara dengan spesifikasi yang berubah-ubah dalam jumlah-jumlah kecil. Keadaan ini mengakibatkan operasional pembakar siklon sering terganggu karena mutu batubara yang berubah-ubah dan cenderung semakin turun mutunya. Parameter titik leleh abu akan dibahas dalam tulisan ini karena merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam operasional pembakar siklon. Masalah titik leleh abu juga berpengaruh pada operasional teknik pembakaran batubara lainnya. Pada teknik pembakaran dengan unggun terfluidakan (Basuki, 2003), jika digunakan batubara dengan titik leleh mendekati suhu pembakaran atau dibawahnya mengakibatkan unggun mengeras setelah dingin sehingga harus dihancurkan dengan linggis. Pada teknik pembakaran kisi berjalan (Changzhou, 2003), titik leleh abu yang rendah mengakibatkan tertutupnya kisi oleh lelehan abu sehingga mengganggu aliran udara pembakar. Jelas pula pengaruhnya pada teknik pembakaran batubara bubuk (pulverized coal combustion) (Singer, 1991), pengelolaan abunya tergantung pada titik leleh abu, bisa berupa abu terbang atau abu dasar. Tulisan ini menguraikan beberapa proses pembakaran batubara dengan titik leleh abu yang berbeda-beda pada beberapa fasilitas industri dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh abu batubara tersebut pada operasional pembakar siklon. Pembakar siklon perlu terus dikembangkan

sehingga semakin handal untuk dapat menghadapi berbagai parameter karakteristik batubara yang berbeda-beda. Dengan kinerja yang semakin baik maka hal ini merupakan dukungan pada program pemerintah untuk terus meningkatkan kontribusi batubara dalam konsumsi energi nasional yang ditargetkan sebesar 33% pada tahun 2025 (Yusgiantoro, 2007).

2.

LATAR BELAKANG TEORI

Komponen-komponen abu dalam batubara terutama terdiri atas unsur-unsur Si, Al, Fe, Ca dan sedikit Ti, Mn, Mg, Na, K yang terikat dengan silikat, oksida, belerang, sulfat atau fosfat. Karakteristik abu dipengaruhi oleh unsur-unsur yang dikandungnya, khususnya titik leleh abu yang merupakan parameter penting dalam proses pembakaran batubara (Rance, 1975). Pembakaran batubara dengan pembakar siklon dilakukan dengan batubara tepung (-30 mesh). Untuk pembakaran terus menerus, karakteristik abu sangat penting selain berpengaruh pada efisiensi pembakaran, sifat titik leleh dapat mengganggu operasional pembakar siklon karena abu dapat berupa padatan yang tertiup keluar siklon, atau berupa kerak yang menempel di dinding siklon sehingga jika semakin tebal, operasional pembakar siklon dapat terganggu. Jika menempel di moncong keluarnya api, dapat menyumbat aliran api karena jika kerak semakin tebal, diameter moncong siklon semakin kecil. Sifat-sifat abu khususnya menyangkut sifat melelehnya yang dapat mengganggu operasional siklon tersebut dipengaruhi oleh kandungan unsurunsur tertentu di dalam abu. Sebagai contoh, pengaruh Al2O3 dan SiO2. Jika perbandingan Al2O3 : SiO2 mendekati 1 : 1,18 maka abu bersifat refraktori dengan titik leleh tinggi. Sebaliknya, dengan banyaknya senyawa CaO, MgO dan Fe2O3 mengakibatkan turunnya titik leleh abu, terutama jika kandungan SiO2-nya tinggi. Unsur lain yang dapat menurunkan titik leleh abu adalah Na2O dan K2O. Tergantung nilai titik

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono

91

leleh abu, jika titik lelehnya tinggi maka abu tetap berupa debu padat. Jika titik lelehnya hampir sama dengan suhu siklon, maka viskositas tinggi sehingga lengket dan tidak bisa mengalir. Jika titik leleh abu jauh di bawah suhu siklon, maka viskositas lelehan abu menjadi rendah sehingga dengan mudah mengalir ke bawah. Pembakar siklon dapat beroperasi dengan lancar jika titik leleh abu jauh di atas atau di bawah suhu operasional siklon, yaitu sekitar 1200C.

Tabel 1 adalah beberapa contoh abu yang termasuk dalam abu golongan a, b dan c, tergantung pada titik lelehnya. 3.2. Sebaran Abu Dalam Fasilitas Industri 3.2.1 Ketel uap Gambar 1 adalah skema ketel uap jenis pipa api (fire tube) yang telah dipasang pembakar siklon sebagai ganti pembakar solar dan daerah-daerah pengendapan abunya. Pengoperasian ketel uap ini dengan batubara berkandungan abu gol. a, yang bertitik leleh jauh lebih tinggi dari suhu pengoperasian siklon (1180 1230C) dengan kadar abu kurang dari 2%, menghasilkan abu padat dengan sebaran : Lokasi a, dalam siklon Lokasi b, dalam ruang api Lokasi c, dalam pipa api Lokasi d, dalam penampung debu Lokasi e, bagian bawah cerobong Keluar dari sistem lewat cerobong : : : : : : 5% 15% 0% 30% 30% 20%

3.

SEBARAN ABU DAN KARAKTERISTIKNYA

3.1. Beberapa Golongan Titik Leleh Abu Dalam kaitannya dengan operasional pembakar siklon, titik leleh abu dibagi menjadi tiga golongan yaitu : a. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih tinggi dari suhu operasional pembakar siklon. b. Abu dengan titik leleh oksidasi sama atau mendekati suhu operasional pembakar siklon. c. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih rendah dari suhu operasional pembakar siklon. Titik leleh oksidasi adalah titik leleh abu dalam atmosfer pembakaran oksidasi, jadi dalam suasana pembakaran dengan jumlah oksigen lebih dari oksigen stoikiometrinya. Abu bertitik leleh tinggi (a), akan tetap berupa debu padat pada saat operasional pembakaran siklon. Sedang yang bertitik leleh mendekati operasional pembakar siklon akan bersifat melunak tetapi belum mudah mencair sehingga lengket dan menempel di dinding siklon. Sedangkan abu yang bertitik leleh rendah akan mudah mencair dan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin rendah titik leleh abu, akan semakin rendah viskositas abu tersebut sehingga cairannya mudah mengalir ke bagian bawah pembakar siklon.

Sedangkan pegoperasian dengan batubara mengandung abu gol. b yang titik lelehnya hampir sama dengan suhu operasional pembakar siklon, menghasilkan abu yang lunak dan lengket menempel pada dinding bagian dalam pembakar siklon. Setelah dingin abu yang lengket ini mengeras berupa kerak. Kerak ini dengan mudah dapat dikorek dari dinding siklon. Pada pembakaran batubara yang berkadar abu 5,5%, dalam waktu 1 hari kerak sudah terlalu tebal sehingga siklon semakin mengecil volumenya dan lingkaran dalam leher siklon semakin menyempit sehingga mengganggu aliran api dari siklon ke dalam ketel uap. Pembakaran dihentikan, siklon dibiarkan dingin untuk dilakukan pembersihan dindingnya dari kerak. Sebaran kerak dan kotoran padat lain adalah :

Tabel 1. Beberapa contoh abu golongan a, b, c dan titik lelehnya Golongan Abu A B C Deformasi 1305 1140 1075 Reduksi, C Sperikal 1435 1150 1080 Hemisfer 1460 1160 1090 Alir >1500 1225 1155 Deformasi 1470 1235 1125 Oksidasi, C Sperikal >1500 1255 1135 Hemisfer >1500 1260 1160 Alir >1500 1325 1180

92

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

pembakar solar dan daerah-daerah lokasi pengendapan abunya.

Gambar 1. Skema ketel uap dengan pembakar siklon

Lokasi a, dalam siklon Lokasi b, dalam ruang api Lokasi c, dalam pipa api Lokasi d, dalam penampung debu Lokasi e, bagian bawah cerobong Keluar dari sistem lewat cerobong

: 60% : 20% : 0% : 10% : 5% : 5% Gambar 2. Skema pemanas oli dengan pembakar siklon

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu gol. c yang titik lelehnya dibawah suhu operasional pembakar siklon, menghasilkan abu yang sudah mencair dan mengalir ke lantai siklon, masuk ke dalam kotak abu. Dinding bagian dalam siklon terlihat mengkilap karena terlapisi oleh cairan dari abu yang mencair dengan viskositas yang rendah. Pada pembakaran batubara jenis ini yang berkadar abu 7,6%, lelehan abu yang mengalir ke dalam kotak abu segera membeku membentuk padatan yang sangat keras berwarna coklat kehitaman. Bongkahan-bongkahan lelehan abu yang menjadi padat diambil dari kotak abu 2 jam sekali. Sebaran abu dalam siklon dan ketel uap adalah : Lokasi a, dalam siklon Lokasi b, dalam ruang api Lokasi c, dalam pipa api Lokasi d, dalam penampung debu Lokasi e, bagian bawah cerobong Keluar dari sistem lewat cerobong 3.2.2 Pemanas oli Pemanas oli (oil heater) di pabrik tekstil, makanan dan industri kimia digunakan untuk memproduksi panas yang disalurkan dengan menyalurkan oli panas (220 250) ke unit-unit proses yang memerlukan seperti untuk pengeringan, pemasakan dll. Gambar 2 adalah skema pemanas oli jenis vertikal yang telah dipasang pembakar siklon di bagian atasnya sebagai pengganti : 95% : 0% : 0% : 0% : 0% : 5%

Api dari pembakar siklon turun ke dalam ruang api (b), naik dan turun lagi memanaskan pipa-pipa oli (d), kemudian asapnya keluar melalui cerobong. Pengoperasian dengan batubara mengandung abu golongan a yang titik lelehnya diatas suhu operasional pembakar siklon, menghasilkan abu yang padat dengan sebaran : Lokasi a, dalam siklon Lokasi b, dalam ruang api Lokasi c, dalam penampung abu Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli Lokasi e, bagian bawah cerobong Keluar dari sistem lewat cerobong : 5% : 0% : 55% : 2% : 25% : 13%

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu golongan b yang titik lelehnya hampir sama dengan suhu operasional pembakar siklon menghasilkan abu yang lengket. Karena viskositas abu sangat tinggi maka abu yang lunak dan lengket ini menempel di permukaan dinding bagian dalam siklon. Abu yang datang selanjutnya melekat di permukaan lelehan sebelumnya sehingga membentuk kerak yang semakin tebal. Akibat fatal dari kejadian ini terutama diameter dalam L-bow dari siklon menuju ruang api dari

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono

93

pemanas oli semakin mengecil sehingga tekanan didalam ruang siklon membesar dan aliran api ke dalam pemanas oli terhambat. Pembakaran harus dihentikan dan kerak dibersihkan. Sebaran abu berupa kerak dan padatan lain adalah : Lokasi a, dalam siklon Lokasi b, dalam ruang api Lokasi c, dalam penampung abu Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli Lokasi e, bagian bawah cerobong Keluar dari sistem lewat cerobong : 60% : 0% : 20% : 3% : 5% : 12%

4,5 kg atau 0,3% dari berat pupuk. Sedangkan penggunaan batubara dengan abu golongan b, identik penggunaannya pada pemanas oli dan ketel uap. Jumlah abu berupa kerak yang menempel di dalam dinding siklon sekitar 60% dan sisanya tertiup dan tercampur dengan produk yang dikeringkan. Demikian pula untuk abu golongan c, sebagian besar abu meleleh keluar dari dalam siklon masuk ke dalam kotak abu. Semakin rendah titik leleh abu, semakin banyak abu yang meleleh keluar siklon, karena lebih cepat mengalirnya, disebabkan viskositas yang rendah.

Percobaan menggunakan batubara dengan abu golongan c belum dilakukan untuk siklon dengan pemanas oli ini, karena batubara dengan abu demikian jarang didapat dipasaran. 3.2.3 Pengering berputar Gambar 3 adalah skema pengering berputar (rotary dryer) dengan pembakar siklon yang menggantikan posisi pembakar solar. Pada penggunaannya untuk pengeringan pupuk atau semen pozolan yang berputar dalam pengering, sampah padat yang keluar dari pembakar siklon akan masuk kedalam pengering berputar dan bercampur dengan produk pengeringan.

4.

PEMBAHASAN

Pengendapan abu bertitik leleh tinggi (abu golongan a) Abu dengan titik leleh tinggi, abu akan berbentuk tepung padat yang akan tertiup bersama asap, keluar silinder siklon. Hanya kurang dari 10% yang tertinggal didalam silinder siklon, selebihnya mengendap dalam bagian-bagian tertentu dari fasilitas industri. Mekanisme pengendapan partikel-partikel abu sebagian karena perlambatan aliran asap, sebagian lagi karena menabraknya partikel-partikel abu ke suatu dinding kemudian terjatuh oleh gaya gravitasi. Sebagai contoh, untuk fasilitas industri berupa ketel uap jenis pipa api. Pembakar siklon berdiameter bagian dalam 130 cm menyalurkan api kedalam lorong api utama dari ketel uap yang berdiemeter bagian dalam 80 cm melalui moncong siklon yang berdiameter bagian dalam 60 cm. Perubahan kecepatan aliran dari dalam silinder siklon ke dalam lorong api utama dipengaruhi oleh luas penampang dan suhu dari kedua lokasi tersebut. Perbandingan luas penampang adalah sebanding dengan kuadrat radius atau 652 : 402 = 2,64 : 1. Sedangkan perubahan suhunya dari sekitar 1470K didalam siklon menjadi sekitar 770K didalam lorong api utama atau 1,9 : 1. Maka perbandingan kecepatan aliran asap didalam siklon/kecepatan asap dalam lorong api adalah 2,64 : 1,9 = 1,39 atau hanya berbeda sedikit, sehingga pengendapan partikel abu karena perbedaan kecepatan asap kecil pengaruhnya. Tetapi karena perjalanan dari silinder siklon ke lorong api utama melewati moncong siklon yang diameternya 60 cm, maka terjadi turbulensi di dalam lorong api utama sehingga kesempatan partikel abu untuk mengendap dalam lorong ini

Gambar 3. Pengering berputar

Pengamatan sebaran pengendapan abu hanya dapat dilakukan didalam pembakar siklon, sedangkan sampah padat yang tertiup kedalam pengering berputar tidak diukur karena jumlahnya relatif kecil setelah bercampur dengan komoditas yang dikeringkan. Sebagai contoh, proses pengeringan pupuk fosfat yang produksinya 1500 kg/jam, konsumsi batubara dengan pembakar siklon 90 kg/jam dengan kadar abu batubara = 5% atau jumlah abu yang dihasilkan = 4,5 kg/jam, maka jumlah abu yang bercampur dengan 1.500 kg pupuk fosfat adalah

94

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

juga tidak besar. Selanjutnya asap bergerak menuju ruang penampung abu dengan penampung yang lebih luas, sehingga partikel abu banyak yang jatuh selain karena perlambatan kecepatan, juga karena menabrak dinding. Asap kemudian mengalir melalui pipa api yang berdiameter 7,5 cm. Karena diameter yang kecil ini maka kecepatan asap dilokasi ini tinggi sehingga didaerah ini pertikel abu yang mengendap hanya sedikit. Asap berbalik, kembali menuju ruang pengendapan abu, selanjutnya menuju cerobong. Banyak partikel abu yang mengendap di bagian bawah cerobong selain karena kecepatan asap melambat atau diameter cerobong yang membesar, juga disebabkan partikel-partikel abu menabrak dinding cerobong. Keadaan ini mengakibatkan energi kinetik partikel abu menurun sehingga terkalahkan oleh gaya gravitasi dan terjadi pengendapan. Sisa partikel abu lainnya, khususnya yang berupa debu halus keluar bersama asap cerobong. Penyebaran endapan abu diberbagai lokasi pengendapan dalam ketel uap telah dikemukakan di sub-bab 3.2.1 dan uraian ini menjelaskan proses yang terjadi. Sebaran abu dalam penggunaan abu bertitik leleh abu tinggi untuk pemanas oli identik dengan penggunaannya untuk ketel uap, pengendapan abu dengan mekanisme perlambatan kecepatan asap dan tabrakan partikel abu dengan dinding yang membentuk sudut mendekati 90C dengan arah jalannya asap. Seperti terlihat pada Gambar 2, pengendapan di penampung abu dominan sebab disini berlangsung 2 mekanisme yaitu mekanisme perlambatan kecepatan asap dan tabrakan partikel asap dengan dasar dari ruang api. Dengan demikian, maka pengendapan abu dominan berada di penampung abu dan dibagian bawah cerobong, dengan jumlah total di dua lokasi itu sekitar 60 70%. Sedangkan penggunaannya untuk pengering berputar, sebagian besar abu tertiup keluar pembakar siklon bercampur dengan komoditas yang diproses. Pengendapan abu bertitik leleh sedang (abu golongan b) Abu bertititk leleh mendekati suhu operasional siklon ternyata terkumpul di lokasi tidak jauh dari pembakar siklon itu sendiri. Abu jenis ini mulai meleleh pada suhu operasional pembakar siklon, tetapi viskositasnya belum cukup untuk membuatnya mengalir mengikuti gaya gravitasi,

melainkan bersifat lengket sehingga menempel dipermukaan dalam pembakar siklon. Partikel abu yang datang kemudian juga meleleh, lengket terpapar oleh panas sehingga segera menempel pada permukaan abu sebelumnya sehingga menambah tebal tumpukan lelehan abu tersebut. Sebagian lagi yang tidak sempat menempel di permukaan siklon, terlempar keluar tetapi dengan ukuran yang lebih besar karena proses aglomerasi dan jatuh tidak jauh dari lokasi pembakar siklon. Hanya sebagian kecil yang lolos sampai cerobong, yaitu partikel-partikel abu yang tidak sempat mengalami aglomerasi. Dengan demikian maka sebagian besar abu menempel didinding siklon sampai 60 75% kemudian di ruang api 10 20%, sisanya 5 10% tersebar sampai dibawah cerobong. Sebaran abu jenis ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti karakteristik pembakaran batubaranya sendiri, sifat-sifat lelehan abu, sebaran ukuran butir batubara, kecepatan pembakaran, atmosfer pembakaran dll (Rance, 1975). Pengendapan abu bertitik leleh rendah (abu golongan c) Abu jenis ini segera meleleh terpapar oleh suhu pembakaran dalam siklon. Jika viskositasnya rendah, lelehan abu mengalir masuk kedalam kotak abu, sehingga permukaan dalam siklon hanya tertutup oleh lapisan tipis lelehan abu. Abu yang datang kemudian terus meleleh, mengalir ke bawah. Hanya sedikit sekali yang tertiup ke luar, masuk kedalam ruang api, dan yang terbawa sampai cerobong hanya sejumlah kecil saja. Hal ini disebabkan hanya sedikit partikel-partikel abu yang dapat bertahan dalam keadaan padat pada suhu jauh diatas titik lelehnya.

5.

KESIMPULAN

1. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pembakaran batubara dengan pembakar siklon, untuk batubara dengan 3 golongan titik leleh abu menunjukkan : a. Abu bertitik leleh tinggi (golongan a) sebagian besar atau lebih dari 90%, tertiup keluar siklon. b. Abu bertitik leleh sedang (golongan b) lebih dari 50% tertahan di dalam siklon berupa kerak. c. Abu bertitik leleh rendah (golongan c)

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono

95

sebagian besar atau lebih dari 90%, meleleh didalam siklon dan kemudian mengalir kedalam kotak abu. 2. Abu yang mempunyai titik leleh tinggi, tertiup keluar siklon dan mengendap dalam perangkap-perangkap abu seperti ruang penampung abu dan bagian bawah cerobong. Sebagian kecil tertinggal di saluran-saluran asap dan yang berukuran halus keluar melalui cerobong. 3. Mekanisme pengendapan abu terutama disebabkan oleh : a. Perlambatan kecepatan asap secara mendadak dan tabrakan partikel abu dengan dinding. b. Abu menjadi lunak tetapi viskositasnya masih tinggi sehingga bahan ini menjadi lunak, lengket melekat di dinding siklon. c. Abu mencair karena suhu siklon jauh diatas titik leleh abu ini sehingga viskositas lelehan abu rendah, mudah mencair dan mengalir kedalam kotak abu dan membeku.

DAFTAR PUSTAKA Basuki, 2003, Coal Fired Fluidized Boiler, B.P.E, Jakarta Changzhou Boiler Co., LTD., 2003, Boiler, Brochure, Xishan. Rance, H.C., 1975, Coal Quality Parameters and Their Influence in Coal Utilization, Shell Int. Petroleum Co., LTD. Singer, J.G., 1991, Combustion Fossil Power, ABB, Connecticut. Sumaryono, 2009, Development of Cyclone Coal Burner For Fuel Oil Burner Substitution in Industries, Indonesian Mining Journal, Bandung, Vol. 12 No. 13 (29-33). Yusgiantoro, P., 2007, Sustainabilitas Energi di Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang, Seminar Nasional Sustainable Alternatif Energi, Semarang.

96

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT

Husaini Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : husaini@tekmira.esdm.go.id

SARI Bauksit merupakan bijih aluminium yang mengandung 45-60% Al2O3, 12-30% H2O, dengan kandungan beberapa mineral pengotor seperti magnetit, hematit, gotit, siderit, kaolinit, ilmenit, anatas, rutil, dan brookit. Total cadangan bauksit dunia adalah sebesar 24 milyar ton. Indonesia sendiri memiliki cadangan bauksit terukur lebih dari 900 juta ton yang tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Sistem tambang terbuka yang dilanjutkan dengan proses peningkatan kadar mendahului ekstraksi bauksit menjadi alumina. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit dapat dilakukan dengan cara washing & scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik dan media berat serta flotasi, yang dipilih berdasarkan karakteristik bijih bauksit yang akan diolah. Proses Bayer adalah cara yang paling efektif dan menguntungkan untuk memproduksi alumina dari bauksit. Alumina yang dihasilkan tersebut dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Untuk memproduksi sebanyak 2 ton alumina atau 1 ton logam aluminium dibutuhkan bauksit rata-rata 4-5 ton. Lebih dari 90% cadangan bauksit diolah menjadi alumina atau logam alumunium, sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl3). Kata kunci : peningkatan kadar, bauksit, alumina, aluminium, elektrolisis, proses Bayer dan Hall-Heroult

ABSTRACT Bauxite is aluminum ore containing 45-60% Al2O3, 12-30% H2O, with several impurities minerals such as magnetite, hematite, goethite, siderite, kaolinite, ilmenite, anatase, rutile, and brookite.Total reserves of bauxite in the world were 24 billion metric tons. Indonesia itself has bauxite reserve deposits more than 900 million metric tons scattered in Riau islands and West Kalimantan. Open pit mining followed by upgrading preceded bauxite extraction to be alumina. Bauxite upgrading can be carried out by washing and scrubbing, screening/classification, magnetic separation, heavy media separation, and flotation, chosen based on the bauxite character to be upgraded. Bayer process is the most effective and feasible method for alumina production from bauxite. The alumina produced is processed into aluminum metal through electrolysis process called Hall-Heroult. To produce 2 tons of alumina or 1 ton of aluminum metal need about 4-5 tons of bauxite in average. More than 90% of bauxite deposits have been treated into alumina or aluminum metal, the rest is utilized for producing chemicals such as coagulants (alum, PAC, and AlCl3). Keywords : upgrading, bauxite, alumina, aluminum metal, electrolysis, Bayer and Hall-Heroult processes

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini

97

1.

PENDAHULUAN

Bauksit merupakan bijih aluminium yang terdapat pada mineral gibbsite [Al(OH)3], boehmite atau diaspore (AlOOH). Bauksit umumnya mengandung 45-60% Al2O3, 12-30% H2O, dan berbagai macam pengotor antara lain adalah magnetit (Fe3O4), hematit (Fe2O3), gotit (FeO(OH)), siderit (FeCO3), kaolinit (H4Al2Si2O9), ilmenit (FeTiO3), anatas, rutil, dan brookit (TiO2) (Anonim, 2009a). Istilah bauksit diambil dari nama daerah pedesaan Les Baux-de-Provence dibagian selatan Perancis, tempat pertama kali ditemukannya mineral ini oleh seorang ahli geologi bernama Pierre Berthier pada tahun 1821 (Wikipedia, 2007b). Penghasil bauksit utama dunia adalah Australia (lebih dari 40 juta ton/tahun), Amerika Tengah dan Selatan (Jamaika, Brazil, Surinam, Venezuela, Guyana), Afrika (Guinea), Asia (Indonesia, India, China), Rusia, Kazakhstan dan Eropa (Yunani). Jumlah cadangan bauksit di beberapa Negara tersebut pada tahun 2001 diperkirakan sebesar 3,8 milyar ton (Australia), 3,9 milyar ton (Brazil), 720 juta ton (China), 7,4 milyar ton (Guinea), 700 juta ton (Guyana), 770 juta ton (India), 2 milyar ton (Jamaika), 200 juta ton (Rusia), 680 juta ton (Suriname), 20 juta ton (USA), 320 juta ton (Venezuela), Negara lainnya 4,1 milyar ton, sehingga total cadangan dunia sebesar 24 milyar ton (Wikipedia, 2007b). Sedangkan jumlah cadangan bauksit di Indonesia sendiri sebesar 907.843.757 ton (terukur) yang tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat, cadangan tereka.sebesar 3.100.000 ton (Bangka), dan cadangan hipotetik sebesar 13.500.000 ton (Bangka). (Husaini dan Wijayanti, 2002). Cara penambangan yang diterapkan di berbagai belahan dunia umumnya dengan sistem tambang terbuka (80%) dengan kapasitas produksi >100 juta ton bauksit tiap tahun, sisanya yang 20% dengan tambang bawah tanah sampai kedalaman 70 m dibawah permukaan tanah. Hasil tambang tersebut selanjutnya diproses menjadi alumina berdekatan dengan lokasi penambangan, atau dikapalkan ke pabrik peleburan ke berbagai negara di dunia. Sebelum diekstraksi menjadi alumina, bauksit dari tambang terlebih dahulu ditingkatkan kadarnya. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit yang dapat dilakukan tergantung dari karakteristik bauksitnya, beberapa di antaranya adalah cara washing & scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik dan media berat serta flotasi. Alumina yang diperoleh dari proses Bayer, kemudian dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Berdasarkan data ratarata di dunia, sekitar 4-5 ton bauksit dibutuhkan

untuk memproduksi 2 ton alumina atau 1 ton sebagai logam aluminium. Di Eropa sendiri biasanya menkonsumsi bauksit rata-rata 4,1 ton untuk memghasilkan 1 ton logam aluminium (Anonim, 2009d). Sekitar 95% bauksit dunia diolah menjadi alumina atau logam alumunium (Anonim, 2009c), sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl3).

2.

METODOLOGI

Untuk menyusun makalah ini, metodologi yang digunakan adalah dengan cara melakukan survei literatur dari berbagai sumber antara lain hasil penelitian yang terkait dengan tema makalah baik di perpustakaan, internet, maupun hasil penelitian yang dilakukan sendiri. Kemudian dari data yang terkumpul dilakukan evaluasi dan pembahasan yang akhirnya sampai kepada kesimpulan.

3.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT

3.1. Proses Peningkatan Mutu Ada beberapa cara yang sudah umum diterapkan dalam peningkatan kadar bauksit, beberapa di antaranya yang akan dibahas disini adalah scrubbing dan screening, pemisahan dengan magnetik, pemisahan dengan media berat, dan flotasi. 3.1.1 Scrubbing dan screening Proses scrubbing yang dikombinasikan dengan pencucian dan pengayakan untuk meningkatkan kadar alumina dalam bauksit merupakan cara yang sederhana dan cukup efektif yang sudah diterapkan secara komersial. Cara ini relatif baik untuk meningkatkan kadar alumina, mengingat bauksit dari tambang memiliki ukuran butir yang bervariasi dan tiap fraksi ukuran memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Berdasarkan data hasil karakterisasi, bijih bauksit berukuran makin halus mutunya semakin rendah (kandungan pengotor semakin tinggi). Umumnya bauksit berukuran di bawah 2 mm, kadar aluminanya relatif rendah dan kandungan pengotornya relative tinggi, oleh karena itu produk hasil scrubbing dan pencucian yang diambil adalah fraksi ukuran di atas 2 mm. Dari percobaan yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa bijih bauksit asal Kijang yang semula memiliki kandungan Al2O3 antara 40,5048,36 %, setelah melalui scrubbing screening

98

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

yang didahului peremukan diperoleh produk dengan kadar Al 2 O 3 antara 50,53-53,67% (persayatan bahan baku untuk proses Bayer adalah di atas 51% Al2O3, maksimum 3% silica reaktif dan maksimum 7% Fe2O3). Perolehan alumina yang didapat dari proses scrubbing tersebut berkisar 82,78-89,66% dan rasio konsentrasi 78,42-84,8% (Husaini dkk., 2007). Di India, proses benefisiasi untuk peningkatan kadar alumina dalam bauksit juga dilakukan dengan cara peremukan yang dilanjutkan dengan pengayakan cara kering untuk menurunkan kandungan silikanya (Nandi, 2004). Cara lain untuk mendapatkan kadar bauksit yang memenuhi syarat dan konsisten adalah dengan mencampurkan (blending) bauksit kadar rendah yang sudah diolah dengan yang kadarnya lebih tinggi (Anonim, 2007a). 3.1.2 Pemisahan dengan magnetik Mineral-mineral bersifat magnetik seperti besi oksida yang terkandung dalam bijih bauksit ataupun tailing hasil ekstraksi bijih bauksit dapat dipisahkan dengan pemisah magnetik (magnetic separator). Salah satu mineral yang memiliki komponen oksida besi adalah tailing hasil pencucian bauksit Pulau Kijang yang besarnya berkisar antara 9,93 - 16,05%. Dari uji coba yang telah dilakukan terhadap tailing bijih bauksit (komposisi kimia 48,98 % Al2O3 dan 11,49 % Fe2O3), yang sebelumnya dipanaskan pada suhu 450 o C, setelah dilewatkan pemisah magnetik pada kondisi 5 Am-1, telah dihasilkan produk non magnetik (70% berat) dengan kadar Al2O3 53,8 % dan Fe2O3 9,14 %; ini berarti terjadi peningkatan kadar Al2O3 sebesar 4,82% dan penurunan kadar Fe2O3 sebesar 2,35%. Sedangkan untuk tailing bauksit berkadar Al2O3 42,25 % dan Fe2O315 %, dengan kondisi pemisahan yang sama dihasilkan produk non magnetik (58 % berat) dengan kadar Al2O3 57,7 %. dan Fe2O3 9,41 % (Husaini dan Wijayanti, 2002). Teknik pemisahan dengan magnetik ini telah dilakukan juga oleh Jamieson dkk. (2006) terhadap mineral red mud yang dihasilkan dari ekstraksi bijih bauksit dengan soda kostik pada kondisi intensitas rendah dan intensitas tinggi cara basah. Salah satu produknya berupa material magnetik (besi oksida) yang memiliki kadar Fe 40%, sementara produk kedua berupa material non magnetik yang mengandung silika yang tiggi (93% SiO2) yang pemanfaatannya sangat sesuai untuk konstruksi beton. Produk yang ketiga terdiri dari campuran besi dan silika yang umumnya cocok untuk material pengisi. Penerapan teknologi

pemisahan secara magnetik tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan dalam mengatasi permasalahan penumpukan red mud yang dihasilkan yang besarnya berkisar antara 40-50%) dari berat bijih bauksit yang diolah melalui proses Bayer. 3.1.3 Pemisahan dengan media berat Prinsip pemisahan dengan media berat adalah dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis mineral-mineral yang akan dipisahkan. Mineral yang lebih rendah berat jenisnya daripada berat jenis media berat (heavy liquid) akan terapung, sebaliknya mineral yang lebih besar berat jenisnya akan tenggelam. Dalam hal ini mineral besi (hematit) memiliki berat jenis sekitar 7, bauksit 2,65 dan media berat (bromoform 2,89 dan pengencer karbon tetra klorida 1,59). Dengan demikian hematit akan tenggelam karena berat jenisnya lebih tinggi dari berat jenis bromoform, sedangkan bauksit yang berat jenisnya lebih rendah dari berat jenis bromoform akan mengapung, sehingga kadar alumina dalam bauksit yang mengapung meningkat. Dari data hasil poercobaan dengan menggunakan bauksit berukuran -100+200 mkesh dan waktu pengendapan 20 menit menunjukkan adanya peningkatan kadar Al2O3 dan penurunan kadar Fe2O3 dibandingkan dengan keadaan kadar awalnya. Sebagai contoh, dengan menggunakan bromoform dengan berat jenis 2,59, produk terapung memiliki kadar Al2O3 sebesar 55,18 % dan kadar Fe2O3 7.97 %, sedangkan bagian yang tenggelam memiliki kadar Al2O3 sebesar 12.34 % dan kadar Fe2O3 30.12 %. Jadi kualitas (bauksit) setelah dipisahkan lebih baik dibandingkan sebelum dipisahkan yang mempunyai komposisi kimia awal Al2O3 48 % dan Fe2O3 15 % (Husaini dan Soenara, 2003). 3.1.4 Flotasi Flotasi merupakan salah satu cara pemisahan yang memanfaatkan perbedaan sifat kimia-fisika permukaan dari berbagai macam partikel mineral. Perbedaan sifat permukaan suatu mineral dengan mineral lainnya dapat terbentuk dengan menambahkan zat aktif permukaan (kolektor). Bahan kimia lainnya yang digunakan adalah pembusa (frother), dan regulator (activator, depressant, pengatur pH). Mineral yang terlapisi kolektor akan bersifat hidrofobik (suka udara) sehingga mudah menempel pada gelembung udara dan dapat diapungkan. Penggunaan pembusa adalah untuk menstabilkan gelembung udara supaya tidak mudah pecah. Sedangkan depres-

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini

99

sant berfungsi untuk menekan agar mineral yang tidak diinginkan tidak ikut mengapung. Kalau yang diapungkan mineral yang tidak dikehendaki prosesnya disebut flotasi balik (reverse flotation). Massola dkk. (2008) telah melakukan penelitian yang inovatif mengenai peningkatan kadar gibsit dengan cara flotasi balik yang menghasilkkan bauksit jenis metalurgi. Bahan yang diflotasi berupa tailing hasil proses scrubbing dan desliming yang kandungan kuarsanya relatif tinggi. Kanji (starch) digunakan sebagai depressant dan ether-amine sebagai kolektor kationik. Hasil percobaan skala pilot pada kondisi pH optimum sekitar 10 menghasilkan konsentrat mutu metalurgi dengan kadar alumina 42,3% dan ratio alumina/silika sebesar 11,1. Konsentrat bauksit yang mengandung mineral gibsit, besi, dan titan, selanjutnya ditingkatkan lagi kadarnya melalui pemisahan secara magnetik menghasilkan kadar alumina 54%, ratio alumina/silika 12,6 dan total perolehan alumina dalam konsentrat akhir (produk non-magnetik) sebesar 69,3%. Hasil penelitian lainnya (Liuyin Xia, dkk., 2009) menunjukkan bahwa penggunaan kolektor kationik (zat aktif permukaan) jenis butane-,-bis (dimethyl dodeculammonium bromide) dalam flotasi balik telah berhasil memisahkan mineral mineral kaolinit, piropilit dan ilit dari bauksit jenis diaspore. Kolektor jenis dimer tersebut menunjukkan daya pengumpul yang lebih baik dibandingkan kolektor jenis monomernya. Lebih dari itu, daya apung terhadap kaolin lebih baik daripada ilit dan piropilit dalam selang pH tertentu. Bila ditambahkan depressant kanji (corn starch), pemisahan cara flotasi terhadap beberapa mineral pengotor yang terkandung dalam bauksit (diaspore) yang dilakukan pada pH antara 9-10 menghasilkan seletifitas yang signifikan terhadap ilit, piropilit dan kaolinit. Konsentrat yang dihasilkan dari percobaan skala bench scale memiliki ratio Al/Si sebesar 9,72 dan perolehan Al sebesar 81,25%. Pengaruh gugus kationik dari kolektor rantai karbon 12 (12-carbon chain collectors) telah diteliti oleh Hong Zhong, dkk. (2008) untuk memisahkan mineral kaolinit, piropilit dan ilit dari diaspore. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemisahan diaspore dari mineral-mineral alumino silikat dengan menggunakan kolektor kation dodecylamine chloride (DDAC), dodecyl trimethyl ammonium chloride (DTAC) atau dodecylguanidine sulfate (DDGS) adalah layak pada kondisi alkalin kuat. Ketiga jenis kolektor tersebut menunjukkan selektifitas yang tinggi terhadap diaspore, dan DDGS merupakan

kolektor terbaik dibandingkan dengan DDAC dan DTAC dalam memisahkan mineral alumino silikat. Flotasi balik juga berhasil dilakukan untuk memisahkan kaolinit dari diaspore dengan menggunakan kolektor dodecylamine (DDA) dan depressant cationic polyacrylamide (CPAM) pada pH 5.58.5 (Guangyi Liu, 2007). Penyerapan CPAM pada seluruh permukaan kristal diaspore mencegah spesi kation DDA untuk terserap pada permukaan diaspore, sehingga diaspore dapat ditekan (tidak ikut mengapung). Kemampuan adsorpsi grup kation CPAM pada permukaan kaolinit yang bermuatan negatif diperlemah oleh induksi dan efek sterik senyawa metil dalam gugus CH2N+(CH3)3 yang membuat CPAM memiliki pengaruh yang kurang signifikan pada adsorpsi DDA pada permukaan kaolinit. Penelitian sejenis mengenai peningkatan kandungan diaspore dengan flotasi balik untuk memisahkan mineral pengotor juga dilakukan oleh Zhenghe Xu (2004). Penelitian mengenai penggunaan kolektor-kolektor yang efektif untuk pemisahan mineral pengotor (lempung) dan depressant untuk menekan diaspore asal China juga telah dilakukan. Hal ini dilakukan agar bauksit yang sebelumnya mengandung alumina yang rendah dapat ditingkatkan kadarnya sampai memenuhi syarat sebagai bahan baku untuk proses Bayer. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan peningkatan ratio alumina/silika dari <6 menjadi >10. 3.2. Pembuatan Alumina Hidrat/Alumina Alumina (Al2O3) adalah material halus berwarna putih mirip dengan garam (Anonim, 2007). Alumina dapat diperoleh dari ekstraksi bauksit dengan soda kostik. Ekstraksi bauksit secara komersial pertama kali dilakukan oleh Sainte-Claire Deville di Perancis tahun 1865, tetapi cara ini tidak digunakan lagi setelah ditemukan proses baru (Bayer) oleh ahli kimia Austria tahun 1887. Total produksi alumina dunia sebesar 40 juta ton pada tahun 1995, seluruhnya dihasilkan dengan memproses bauksit melalui proses Bayer. Proses Bayer merupakan cara yang paling ekonomis yang memanfaatkan reaksi antara alumunium trihidroksida dan aluminium oksida dengan soda kostik membentuk sodium aluminat. Reaksi kesetimbangan mengarah ke kanan dengan meningkatnya konsentrasi soda kostik dan suhu. Operasi berikut dilakukan secara berurutan yaitu (1) pelarutan alumina pada suhu tinggi, (2) pemisahan dan pencucian pengotor yang tidak larut (red mud) untuk mendapatkan alumina terlarut dan soda kostik, (3) hidrolisis parsial larutan sodium aluminat pada suhu rendah untuk mengendapkan

100

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

alumunium trihidrat, (4) regenerasi larutan untuk didaur ulang ke tahap (1) dengan penguapan air yang dimasukkan saat pencucian, dan (5) mengubah trihidroksida menjadi alumina anhidrat melalui kalsinasi pada suhu 1450 oK (Anonim, 2009a). 3.3. Pembuatan Logam Aluminium Bila alumina (Al2O3) yang diperoleh dari proses Bayer tersebut dipanaskan lebih lanjut sampai suhu 1000 C dengan bantuan bahan pelebur (cryolite - Na3AlF6), maka alumina akan meleleh dan tereduksi menjadi logam aluminium yang dikenal sebagai proses Hall-Hroult. Cryolite sintetik umumnya dibuat dari asam florida dan sodium aluminat (hasil proses Bayer) dengan persamaan reaksi sbb (Anonim, 2009a) : 6 HF + 3 NaAlO2 Na3AlF6 + 3 H2O, atau dengan mereaksikan asam florida dengan soda kostik dan alumina dengan reaksi sbb : 12 HF + 6 NaOH + Al2O3 2 Na3AlF6 + 9 H2O

(1999) menghasilkan kondisi optimum sebagai berikut: ukuran partikel 7+14 mesh, waktu 6 jam, nisbah asam 1:4, suhu 100C, nisbah padatan dengan larutan 1:12. Pada kondisi optimum ini ratio alumina yang didapat sebesar 34,8 (untuk alum komersial rationya 34-35) dan bauksit dengan kadar A12O3 62.3% dan Fe2O3 3% adalah cocok untuk pembuatan alaum. (Acquah, dkk, 1999). Penelitian pembuatan alum dari bauksit berukuran -100 mesh dengan menggunakan asam sulfat konsentrasi (30-40 %) di dalam reaktor berpengaduk pada suhu 100 o C dan lama pengadukan sekitar 60 menit juga telah dilakukan oleh Husaini (2007). Dua jenis bauksit Kijang dengan komposisi Al2O3 42,25 %, Fe2O3 15,00 % dan Al2O3 48,98 %, Fe2O3 11,49 % digunakan untuk uji coba tersebut. Reaksi kimia yang terjadi adalah sebagai berikut: Al2O3 + 3H2SO4 Fe2O3 + 3H2SO4 Al2 (SO4) 3 + 3H2O Fe2 (SO4) 3 + 3H2O

Gas asam florida umumnya dibuat dari acid-grad fluorspar dan asam sulfat dengan reaksi sbb : CaF2 + H2SO4 2 HF + CaSO4

Pada proses elektrolisis ini oksigen yang terikat pada alumina bereaksi dengan elektroda karbon menghasilkan gas karbon dioksida dan logam aluminium. Setiap ton aluminium membutuhkan 0,40,5 ton anoda karbon. Proses ini mengkonsumsi energi sangat tinggi. Secara umum sekitar 1 ton alumina dapat dihasilkan dari 2 ton bauksit. Lelehan aluminium selanjutnya dicetak menjadi ingots, bars, rolled into sheets, plates, foil, atau rod. Produk antara ini kemudian dibentuk di pabrik pemrosesan yang mengubah aluminum menjadi produk akhir (consumer products). 3.4. Pembuatan Koagulan 3.4.1 Dari bauksit (asli/bauksit tercuci/ tailing) Semua mineral yang mengandung unsur aluminium termasuk bauksit dapat digunakan untuk pembuatan koagulan (alum, PAC dll). Dalam pembuatan koagulan ini ada beberapa parameter yang berpengaruh di antaranya adalah konsentrasi asam, waktu pelarutan, nisbah padatan dengan larutan, suhu pelarutan, dan ukuran butir bauksit. Penelitian yang telah dilakukan oleh Acquah, dkk.

Hasil ekstraksi ini berupa lumpur yang mengandung larutan aluminium sulfat yang masih bercampur dengan senyawa besi dan residu yang tidak larut. Larutan yang sudah dipisahkan dari residunya, kemudian direduksi dengan logam Al sambil dipanaskan sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi hijau muda dengan densitas tertentu (1.5 g/ml). Larutan hasil reduksi selanjutnya ditambah amonia (kadar 21 %) menghasilkan kristal berupa garam rangkap [Al2(SO4)3 (NH4)2SO4xH2O] dengan kadar Al2O3 antara 11-14 %. Kristal yang terbentuk dipisahkan dari filtrat yang masih tersisa. Selain itu telah dibuat juga tawas butek [Al 2 (SO4 ) 3. x H 2O] setelah besi dalam larutan diturunkan terlebih dahulu dengan penambahan larutan Na2S. Hasil pelarutan bauksit dengan asam sulfat mencapai persen ekstraksi Al 2O 3 dan Fe 2 O 3 tertinggi masing-masing sekitar 99 % dan 65 % pada ukuran butiran 87,04% lolos100 mesh, konsentrasi asam 40 %, lama pelarutan 1 jam, dan suhu 100oC. Produk tawas butek yang dihasilkan mempunyai kadar Al2O3 9,49-12,55 % dan Fe2O3 2-2,4 %. Sedangan tawas bening yang dihasilkan mempunyai kadar Al2O3 9,92-11,53 % dan Fe2O3 0,5-2,71 %. 3.4.2 Dari alumina hidrat Alumina hidrat [Al (OH)3] dapat dibuat menjadi tawas [Al2(SO4)3] maupun poly aluminium chloride (PAC). Pembuatan tawas dari alumina hidrat

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini

101

ini prosesnya sederhana yaitu dengan melarutkan alumina hidrat dengan asam sulfat pada suhu 100C sampai larut sempurna, tanpa proses penyaringan, karena tidak dihasilkan residu sebagaimana yang diperlihatkan dalam pelarutan bauksit. Persamaan reaksi kimia yang terjadi adalah sbb : 2Al (OH)3 + 3H2SO4 Al2 (SO4) 3 + 6H2O

Bahan baku proses elektrolisis Hall-Heroult untuk memproduksi logam Al Pembuatan bahan kimia tertentu seperti :busi (spark plugs), penghambat kebakaran (fire retardant), marmer sintetik, katalis, pasta gigi, alum, aluminium fllorida, keramik, ampelas (abrasive) dan refraktori. Penemuan produk khusus yaitu alumina aktif yang digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari proses pengilangan minyak, pabrik petro kimia, dan proses pengolahan gas alam. Alcoa melaporkan penemuan bubuk alumina spesial untuk sistem pembuangan otomatis (auto exhaust system) dan ampelas halus (fine abrasives). Alumina dapat juga dijadikan bahan kimia (aluminium sulfat, aluminium klorida), dan logam aluminium (Patricia, 2009). Komposisi tipikal alumina (Steven dkk., 1998) adalah 99.3-99.7% Al2O3 (by diff.), 0.30-0.50% Na2O, 0.005-0.025% SiO2, <0.005-0.040% CaO, 0.005-0.020% Fe2O3, 0.001-0.008% TiO2, <0.0010.010% ZnO, <0.0001-0.0015% P2O5, <0.0050.015% Ga2O3, <0.001-0.003% V2O5, < 0.050.20% SO3. 4.4. Logam Aluminium

Proses pemanasan larutan dilanjutkan untuk menguapkan air sampai berat jenis tertentu, kemudian didinginkan sampai mengkristal. Kadar alumina dalam tawas tergantung pada kadar air yang terkandung, semakin rendah kadar air kristalnya, maka semakin tinggi kandungan aluminanya. Sedangkan dalam pembuatan PAC, alumina hidrat direaksikan dengan asam klorida dan asam sulfat sampai alumina hidrat larut sempurna. Kemudian ke dalam campuran ditambahkan kapur untuk menurunkan pH sampai 4, dilanjutkan dengan penyaringan. Larutan jernih hasil penyaringan ini merupakan PAC cair yang spesifikasinya adalah sbb: 12% Al2O3, 9% Cl, 1,35% SO4. Bila diinginkan produk berupa bubuk, maka PAC cair dikeringkan dengan menggunakan spray drier pada suhu tertentu.

4.

PENGGUNAAN BAHAN BERBASIS ALUMINA

4.1. Bauksit Asli/Bauksit Tercuci Secara tradisional, bauksit digunakan untuk pembuatan Blast Furnaces, Iron/Steel Ladles, Torpedo Cars, Electric Arc furnaces, Tundishes, Soaking Pits, Reheat/Soaking Pits, Open Hearth, Cement, dan Aluminum. Bauksit dapat digunakan untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia antara lain alumina hidrat, alumina, tawas, fero sulfat, besi klorida, semen, dan refraktori. 4.2. Alumina Hidrat Alumina hidrat dapat digunakan untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia antara lain tawas, poli aluminium klorida (PAC), dan poli aluminium silikat sulfat (PASS), AlCl3, zeolit sintetik, bahan abrasif, semen, refraktori. 4.3. Alumina Alumina merupakan produk komoditas yang dapat digunakan antara lain untuk (Steven dkk., 1998, Anonim 2007a):

Aluminium merupakan salah satu logam yang sangat penting dan digunakan secara luas di sektor transportasi, konstruksi, pengepakan, dan listrik (Anonim, 2009b): Di sektor transport, aluminium digunakan dalam kendaraan bermotor (blok mesin, kepala silinder, rumah tranmisi, dan panel bodi), truk dan bus (lembaran dan plat untuk bodi), rel kereta api, dan pesawat terbang. Di sektor konstruksi, aluminium digunakan dalam bentuk produk lembaran untuk atap dan dinding, jendela dan pintu dan dicetak menjadi peralatan keras (builders hardware). Di sektor pengepakan, aluminium digunakan dalam bentuk lembaran paduan untuk kaleng minuman, lembaran untuk keperluan rumah tangga dan pembungkus komersial, untuk membuat produk pengepak seperti karton untuk jus buah-buahan dan obat-obatan. Di sektor listrik, aluminium digunakan dalam bentuk kawat yang diperkuat dengan baja membentuk kabel listrik.

102

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

5.

KESIMPULAN

Potensi cadangan bauksit di Indonesia relatif besar, tersebar di Kijang (Riau), dan Tayan (Kalimantan Barat) yang jumlahnya tidak kurang dari 900 juta ton. Proses peningkatan kadar yang dapat digunakan ada beberapa macam antara lain scrubbing, pemisahan dengan magnetik dan media berat serta flotasi. Pemilihan cara pengolahan tersebut tergantung pada karakteristik (di antaranya kandungan mineral pengotor) bijih bauksit yang diolah, namun yang sudah diterapkan di Indonesia sampai saat ini hanya dengan cara pencucian dan scrubbing diikuti pengayakan dengan ukuran produk + 2 mm. Bauksit tercuci dapat dikonversi menjadi alumina melalui proses Bayer dan bila diolah lebih lanjut dengan cara elektrolisis menghasilkan logam aluminium yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di antaranya di sektor transportasi, konstruksi, pengepakan, dan listrik.

ionic polyacrylamide in the reverse flotation of diasporic bauxite, School of Chemistry and Chemical Engineering, Central South University, Changsha 410083, PR China, School of Minerals Processing and Bioengineering, Central South University, Changsha 410083, PR China. Husaini dan Trisna Soenara, 2003, Pengurangan Kadar Besi Dalam Bauksit P. Kijang Dengan Cara Pemisahan Menggunakan Media Berat (Heavy Media Separation), Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Balitbang energi dan sumberdaya mineral. Husaini dan Wijayanti, R., 2002, Peningkatan Kualitas Bauksit dari Pulau Kijang dengan Magnetik Separator Cara Basah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Husaini, 2007, Penelitian Pendahuluan Pembuatan Tawas dari Bauksit Kijang, Bahan Galian Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral. Husaini dkk., 2007, Peningkatan Kadar Bijih Bauksit Kijang Dan Tayan Dengan Metode Scrubbing, Laporan Kegiatan Proyek Kelompok Program Teknologi Pengolahan Mineral, Pusltbang tekMIRA Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung. Hong Zhong, Guangyi Liu, Liuyin Xia, Yiping Lu, Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Xinyang Yu, 2008, Flotation separation of diaspore from kaolinite, pyrophyllite and illite using three cationic collectors, Institute of Chemistry and Chemical Engineering, Central South University, Changsha 410083, China, Institute of Minerals Processing and Bioengineering, Central South University, Changsha 410083, China. Jamieson, E. A. Jones, D. Cooling and N. Stockton, 2006, Magnetic separation of Red Sand to produce value, Alcoa World Alumina, Technology Delivery Group, P.O. Box 161, Kwinana, WA 6966, Australia, Curtin University of Technology, Perth, WA, Australia. Liuyin Xia, Hong Zhong, Guangyi Liu, Zhiqiang Huang and Qingwei Chang, 2009, Flotation separation of the aluminosilicates from diaspore by a Gemini cationic collector, School

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007a, Alumina Process, http:// www.qal.com.au/, diakses 30 April 2007 Anonim, 2007b, Bauxite Wikipedia, the free encyclopedia, htm, diakses 30 April 2007 Anonim, 2009a, Aluminium, http:// www.mtm.kuleuven.ac.be/Education/ N o n M a t I r C o u r s e s / M a t / 5 c%20aluminium.doc., diakses 17 Juni 2009 Anonim, 2009b, Alumina, aluminium and bauxite, diakses 17 Juni 2009 Anonim, 2009c, Bauxite Mineral, Bauxite Information, Uses of bauxite, bauxite Supplier, htm, diakses 17 Juni 2009 Anonim, 2009d,The European Aluminium Association, http://www.azon.com/suppliers asp?, diakses 17 Juni 2009 Acquah F., Mensah B., Obeng Y., 2008, Production of Alum From Awaso Bauxite, Institute of Industrial Research,CSIR,Accra, Ghana, http:/ /home.att.net/africantech/GhIE/Awaso 1.htm, published in the Ghana Engineer, May 1999. Guangyi Liu, Hong Zhong, Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Liuyin Xia, 2007, The role of cat-

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini

103

of Chemistry and Chemical Engineering, Central South University, Changsha, 410083, PR China, bSchool of Chemical Engineering and Technology, Tianjin University, Tianjin 300072, PR China. Massola, C.P., Chaves, A.P., Lima, J.R.B. and Andrade, C.F., 2008, Separation of silica from bauxite via froth flotation, aDepartment of Mining and Petroleum EngineeringEscola Politcnica, USP, 2373, Prof. Mello Moraes Av. 05508-900 SP, Brazil, Companhia Brasileira de Alumnio, Mira Department, Fazenda Chorona, Mira 36790-000, MG, Brazil. Nandi, A. K., 2004, Present Status Of BauxiteAlumina Industry Of India, Minerals and Metals Division, MFC Commodities India 104-B, Suraksha Apartments, 16, Hindustan Colony,

Amravati Road Nagpur-440033; INDIA. Patricia A. Plunkert, 2009, Bauxite And Alumina, http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/bauxite/090495.pdf. Steven F. McGrath and Lawrence C. Farrar, 1998, Sonochemical Technology for Processing Bauxite, http://doc.tms.org/ezMerchant/ prodtms.nsf/ProductLookupItemID/JOM-980534/$FILE/JOM-9805-34F.pdf?OpenElement, diakses Juni 2009. Zhenghe Xu, Verne Plitt and Qi Liu, 2004, Recent advances in reverse flotation of diasporic ores A Chinese experience, Department of Chemical and Materials Engineering, University of Alberta, 536 Chemical-Mineral Engineering Building, Edmonton, Alta., Canada T6G 2G6.

104

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PRESENTASI MAKALAH PARALEL III

KARAKTERISASI MERKURI DALAM SEDIMEN DAN AIR PADA PENGOLAHAN TAILING AMALGAMASI DI KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT SECARA SIANIDASI (STUDI KASUS KUD PERINTIS, DAERAH TANOYAN SELATAN)

M. Lutfi dan Retno Damayanti Psat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. (022) 6030843 Faks. (022) 6003373 e-mail : lutfi@tekmira.esdm.go.id, retnod@tekmira.esdm.go.id

SARI Pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat umumnya dilakukan dengan proses amalgamasi menggunakan merkuri (Hg). Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para penambang emas rakyat menyebabkan limbah tailing dari bijih emas berbentuk halus yang masih mengandung emas dan bulir Hg langsung dibuang ke perairan, sehingga produk yang dihasilkan sangat rendah dan dapat menimbulkan pencemaran yang tinggi. Di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara, tambang emas skala kecil yang dikelola KUD Perintis mengalihkan proses pengolahan emas dari secara amalgamasi cara sianidasi untuk meningkatkan perolehan bijihnya. Pada saat ini, proses yang berlangsung merupakan gabungan dari proses amalgamasi dan sianidasi, yakni mengolah tailing yang berasal dari proses amalgamasi dengan cara sianidasi. Dampak negatif kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan cara sianidasi diamati melalui kondisi kualitas perairan dan sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air berkisar antara (0,01 - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian yakni di daerah hulu, outlet pengolahan, dan hilir. Kondisi ini telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II dan KEP202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga. Konsentrasi Hg pada sedimen yang berkisar pada 0,17 - 0,20 ppm di semua lokasi penelitian belum melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai Washington state Sediment, WAC 172 204 320). Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring turunnya merkuri di air ke dasar sungai. Kata kunci : pertambangan rakyat, amalgamasi, merkuri, tailing, pertambangan emas rakyat

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti

105

ABSTRACT Artisanal gold mine generally proceeds in amalgamation process. Due to the lack of skill and knowladge, miners usually dispose tailing that contains gold and mercury directly to the water. Of course it will produce low gold recovery and cause high risk in environmental pollution. At Lolayan in the Bolaang Mongondow district, North Sulawesi, the small scale goldmining whichmanaged by KUD Perintis change gold processing from amalgamation to cyanidation methode to improve gold ore receipt. But sometimes they were combined both of the two methodes by processing the amalgamation tailing with cyanidation methode. The negative impacts of cyanidation process to the amalgamation tailing was conducted by observe the water quality and its sediment surrounding the processing area. Mercury concentration in water was found in the range of 0,01 - 0,034 mg/L. Those happened in almost entire waters from upstream to downstream. Unfortunately, the mercury concentration has exceeded the standard mentioned in Government Regulation No. 82/2001 about Water Quality Assessment and Water Pollution Handling Class II and in the Decree of Environment Ministry KEP-202/MENLH/2004 about Waste water standard for Gold/Copper Processing. Mercury concentration in the sediment found in the range of 0,17 0,20 ppm in all sampling location. These are still in the permitted concentration range (based on Washington state Sediment, WAC 172-204-320). But mercury concentration could become increased as the mercury Keywords : amalgamation, cyanidation, tailing, gold artisanal mining

1.

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan adalah terciptanya keserasian hubungan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya dengan cara pembangunan yang berkelanjutan. Dalam laporan Komisi Sedunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED, 1987) pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (www.fathom.com). Oleh karenanya pengelolaan bahan galian harus diupayakan secara optimal sesuai denganazas konservasi dan berwawasan lingkungan dengan menekan dampak negatif yang ditimbulkan seminimal mungkin. Usaha pertambangan oleh sebagian masyarakat sering dianggap sebagai penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih emas dilakukan melalui proses amalgamasi dengan merkuri (Hg) sebagai media untuk mengikat emas. Merkuri (Hg) yang dipakai dalam pengolahan ini termasuk dalam kategori B3 (Rachmat Yusuf, 2004).

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para penambang, menyebabkan limbah yang berupa ampas pengolahan (tailing) yang dihasilkan masih mengandung emas dan butir-butir Hg yang biasanya langsung dibuang ke perairan. Sebagai akibatnya, perolehan hasil akhir (produk) yang didapat sangat rendah. Berdasarkan kenyataan tersebut, tambang rakyat di Sulawesi Utara mengubah sistem pengolahannya dengan menggunakan proses sianidasi baik untuk mengolah bijihnya ataupun ampas pengolahannya yang masih mengandung emas. Proses sianidasi untuk tailing pengolahan dipakai untuk meningkatkan perolehan produknya. Namun proses sianidasi ini, menimbulkan juga dampak negatif karena tailing amalgamasi masih mengandung merkuri dan logan ikutan lainnya, seperti Cu, Pb, Zn. Adanya interaksi ion Hg dengan CN akan mempermudah kelarutan, penyebaran dan termetilasi (pembentukan metil-Hg), sehingga diperkirakan bahaya yang ditimbulkan akan lebih tinggi. Secara umum proses sianidasi pada pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat dilakukan pada kondisi basa. Meskipun sebagian besar sianida dalam proses pengolahan ini dapat dimanfaatkan kembali, air larian dari penyaringan kompleks emas sianida masih tetap mengandung senyawa beracun ini meski dalam

106

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

jumlah yang relatif sedikit. Pada kegiatan tambang rakyat yang dilakukan di KUD ini, biasanya hasil tailing proses amalgamasi diproses lagi guna meningkatkan perolehan bijih. Tahapan-tahapan proses pengolahan dengan sistem sianidasi dapat dilihat pada Gambar 1. Setelah proses pelindian selesai, dilakukan dengan proses penyaringan (screening) untuk memisahkan karbon aktif yang telah menyerap kompleks sianida - emas dan membuang tailingnya. Karbon aktif hasil penyaringan tersebut digarang (roasted) sampai menjadi abu untuk menghilangkan senyawa sianidanya, abu hasil penggarangan ditambah boraks dan digarang lagi untuk menghasilkan bulion emas dan perak. Bulion tersebut selanjutnya direaksikan dengan aqua regia untuk memisahkan emas dan peraknya. Dampak pemakaian sianida pada kegiatan pengolahan emas di tambang-tambang rakyat diperkirakan akan lebih serius mengingat senyawa

sianida tersebut mampu melarutkan logam-logam lain yang terdapat di dalam batuannya. Di samping itu apabila kreativitas rakyat dalam mengkombinasikan proses amalgamasi dan sianidasi tidak dapat terkontrol diperkirakan akan terjadi pula peningkatan dalam jumlah merkuri yang ikut terlarutkan. Penelitian ini hendak melihat karakteristik merkuri yang berasal dari tailing amalgamasi yang diolah dengan cara sianidasi. Disamping itu akan diamati pula kandungan logam-logam berat lain yang terdapat dalam batuan pembawa bijihnya serta karakteristik sedimen pada kolam pengendapan pada proses sianidasi. Berbeda dengan kontaminasi yang umumnya terjadi di lingkungan, penurunan kualitas air permukaan yang disebabkan oleh adanya logam-logam berat terlarut akibat proses sianidasi merupakan parameter yang akan dominan diamati. Parameter CN total yang berasal dari perairan dan kolam pengendapan akan ditentukan pula.

TailingAmalgamasi

TankiPenampungan crusher,stampmill,ballmill LarutanNaCN Kapur Reaksiyangterjadi: 2Au+4NaCN+1/2O +H O 2NaAu(CN) +2NaOH

TankiReaktorSianidasi

KarbonAktif Screen (penyaring) Tailing Karbonaktifyang menyerapkompleks emasdansianida Roasting (penggarangan) SettlingPond (kolampengendap)

Roasting (penggarangan)

BullionEmasdanPerak

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan bijih emas sistem sianidasi

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti

107

2.

METODOLOGI

Lokasi Penelitianterletak di daerah Tanoyan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah tambang rakyat yang dikelola oleh KUD Perintis yang mengolah bijih emas dan tailing amalgamasi dengan proses sianidasi. Lokasi penelitian terletak + 240 km dari Kota Manado atau 30 km dari Kota Kotamobagu (gambar 2).

kan peralatan pH meter (water quality checker), conductivity meter. Parameter kimia lain seperti merkuri dan logam-logam terlarut ditentukan dengan Atomic Absorption Spectrometer. Metode Pengambilan Conto yang dilakukan, meliputi; conto bijih, ampas, sedimen, air, sedangkan analisis yang digunakan untuk logam berat dengan metode AAS.

Gambar 2. Peta kesampaian daerah

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan survey langsung (Grounded checking), yang meliputi pengambilan contoh air dan sedimen. Lokasi pengambilan conto air ada di 3 tempat, yaitu di hulu pengolahan, lokasi pengolahan, dan hilir pengolahan. Titik-titik lokasi tersebut ditampilkan pada gambar 2. Pada lokasi pengolahan dilakukan pengambilan contoh di 4 kolam pengendapan. Parameter tertentu seperti pH dan Daya Hantar Listrik ditentukan langsung di lapangan dengan mengguna-

Untuk parameter logam, penyimpanan contoh dilakukan dalam wadah contoh bervolume 500 mLyang terbuat dari plastik. Untuk keperluan analisis laboratorium, volume conto yang diperlukan adalah sebanyak 100 mL untuk merkuri. Untuk merkuri diberikan penambahan pengawet HNO3 dengan pH <2 yang dapat bertahan hingga 6 bulan. dapat membuat contoh bertahan hingga 7 hari. Conto yang akan dianalisis disaring terlebih dahulu untuk menghindari suspensi yang terlarut. Penyaringan dibantu dengan pompa vacuum untuk mempercepat proses.

108

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pengambilan conto sedimen dilakukan secara grab sampling dengan menggunakan sekop pada lokasi pengambilan air dan di salah satu mulut tambang. Conto yang diambil masing-masing 1 kg, kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik berlabel. Adapun parameter-parameter yang dianalisis di laboratorium adalah merkuri (Hg) dan logam-logam berat lain seperti Pb, Cu dan Zn.

3. 3.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air (Air Sungai)

Kualitas air merupakan hal yang paling pokok dalam kegiatan ini karena air (sungai) merupakan tempat bercampurnya faktor-faktor alami dengan unsur-unsur pencemar dan air juga merupakan unsur esensial yang dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam kehidupan kesehariannya (UNEP,

Gambar 3. Peta lokasi pengambilan contoh

Tabel 1. Koordinat lokasi pengambilan contoh No. 1 2 3 Lokasi Hulu Pengolahan Hilir Titik LU 124 15 40,22" 124 15 05,27" 124 16 23,34" BT 0 36 28,47" 0 36 27,83" 0 36 2,81"

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti

109

1991). Sehingga dapat dikatakan badan air merupakan tempat interaksi langsung antara unsur hayati dengan unsur pencemar. Secara alamiah sungai mempunyai kemampuan dalam pembersihan diri (self purification) sepanjang buangan yang diterima sungai tidak melebihi kapasitas asimilasi sungai (assimilative capacity). Sementara, dalam kurun waktu cukup lama, unsur merkuri yang terbuang ke sungai kemungkinan dapat menjadi senyawa metil merkuri yang berbahaya melalui proses yang terjadi secara alamiah.Hasil pengukuran parameter fisik air di lapangan (pH, temperatur, DHL, TDS, dan TSS) dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.

Analisis laboratorium conto air untuk logam berat ditentukan dengan metode spektrofotometri. Kegiatan tersebut digunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi di daerah sekitar penambangan khususnya dan daerah Tanoyan Selatan, Kecamatan Lolayan sebagai akibat adanya pertambangan bijih emas dengan sebagian besar hasil pengolahan limbahnya dibuang ke anak sungai Onggak. Hasil analisis laboratorium conto air dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Menurut data kualitas air yang diperoleh, diketahui kadar merkuri (Hg) di semua lokasi percontoan

Tabel 2. Parameter fisik contoh air di lokasi pengolahan dan sungai di sekitarnya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lokasi Air bor dapur Kolam pengolahan 1 Kolam pengolahan 2 Kolam pengolahan 3 Kolam pengolahan 4 Outlet pengolahan bijih Hulu Sungai Tanoyan Outlet pengolahan keseluruhan Hilir pH 8,34 8,37 6,35 8,56 2,85 8,2 8,34 8,12 8,37 TDS 160 500 390 250 670 210 160 190 180 Suhu [C] 30,2 29,3 31,4 31,1 27,2 24,8 27,3 28,3 DHL [mhos] 852 648 391,4 989 312 245,7 337 267,8 TSS [mg/L] 4.8 88 208 743 108.8 18 42 4.8

Tabel 3. Hasil analisis sianida dan logam-logam berat dalam contoh air di lokasi pengolahan dan sungai di sekitarnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Lokasi Air bor dapur* Kolam pengolahan 1 Kolam pengolahan 2 Kolam pengolahan 3 Kolam pengolahan 4 Outlet pengolahan bijih Hulu S. Tanoyan** Outlet pengolahan keseluruhan*** Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)** Baku Mutu* Baku Mutu** Baku Mutu *** CN Total [mg/L] 0,058 86,400 3,920 21,700 2,170 16,700 0,066 7,960 0,019 0,1 0,02 0,5 Hg [mg/L] 0,055 0,17 0,16 0,17 0,15 0,20 0,024 0,010 0,034 0,001 0,002 0,005 Pb [mg/L] 0,110 0,068 0,073 0,110 0,170 0,097 0,089 0,083 0,110 0,05 0,03 1 Cu [mg/L] 0,002 8,110 26,200 4,790 1,490 3,230 0,150 0,042 0,0160 1 0,02 2 Zn [mg/L] 0,073 0,550 0,055 0,033 0,080 0,068 0,048 0,030 0,023 5 0,05 5

Catatan: * Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum ** Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II *** KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga

110

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

(hulu dan hilir sungai Tanoyan serta outlet pengolahan keseluruhan) sudah melebihi baku mutu yang ditentukan. Bahkan pada daerah hulu, dimana badan air belum mendapatkan masukan dari proses pengolahan maupun proses penambangan, kadar merkuri pun sudah diatas baku mutu. Hal ini dapat terjadi karena adanya proses amalgamasi oleh penambang-penambang lain di luar KUD yang menggunakan merkuri di daerah sungai yang lebih tinggi dan/atau adanya susunan batuan yang mengandung merkuri (Tabel 4 hasil analisis batuan asal) di daerah penelitian.

sebelum masuk kolam pengolahan (outlet pengolahan bijih) adalah 0,2 mg/L, dan setelah melewati 4 kolam pengolahan turun hingga 0,01 mg/L atau turun sebanyak 0,19 mg/L. Kadar merkuri di daerah hilir lebih tinggi dibandingkan dengan daerah outlet pengolahan menandakan adanya penambahan merkuri yang mungkin berasal dari kegiatan di sekitar sungai tersebut meskipun pemerintah daerah sudah melakukan berbagai pembatasan. Kadar sianida yang berada diatas baku mutu terdapat di daerah/area pengolahan, hal ini

Tabel 4. Hasil analisis sedimen pada kedalaman 0 10 cm dan batuan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Lokasi Kolam pengolahan 1 Kolam pengolahan 2 Kolam pengolahan 3 Kolam pengolahan 4 5 meter dari pengolahan bijih Hulu S. Tanoyan* Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)* Lubang tambang (batuan asal) Baku Mutu*
Catatan: * Washington state Sediment, WAC 172 204 320

Hg Pb [ppm] [ppm] 0,70 0,37 0,36 3,01 2,66 0,17 0,20 0,16 0,41 tt 14,14 65,40 33,90 17,27 tt tt 6,88 450

Cu [ppm] 17,86 47,10 162,00 60,7 130,00 56,70 87,90 34,70 390

Zn [ppm]

As [ppm]

Cr [ppm] 45,6 56,5 86,0 79,3 158,4 42,0 47,5 38,5 250

Ni [ppm] 8,31 4,27 8,98 0,88 2,35 3,87 4,06 10,47 -

54,3 74,70 136,0 51,00 367,0 39,00 136,0 105,00 74,9 74,20 100,0 0,97 97,8 1,29 428,0 1,74 410 57

Hasil penelitian terdahulu (Selinawati dan Ngurah Ardha, 2003) pada pertambangan emas di KUD Perintis data kualitas air yang mengandung kadar merkuri di kolam pengolahan 1 adalah 0.0814 ppm, kolam pengolahan 2 adalah 0.0539 ppm, sedangkan pada S. Onggak (hilir S. Tanoyan) mencapai 0.0011. Pada saat itu, KUD Perintis melakukan pengolahan dengan proses amalgamasi saja dari bijih emas dan menggunakan hanya 2 kolam pengolahan. Data menunjukkan bahwa konsentrasi Hg dalam air sangat kecil, hal ini kemungkinan disebabkan karena kelarutan Hg dalam air sangat kecil. Pada penelitian ini (2008) nilai konsentrasi Hg di daerah pengolahan berkisar antara 0,15 0,20 ppm. Peningkatan ini dimungkinakn oleh adanya ion CN dalam pengolahan tailing amalgamasi yang dapat melarutkan Hg. Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan logam, kolam pengolahan efektif dalam menurunkan kadar merkuri pada air buangan, dimana kadar merkuri

dikarenakan proses pengolahan tailing amalgamasi menggunakan proses sianidasi. Pada proses sianidasi ini ditambahkan unsur Zn untuk mengendapkan logam emas dan peraknya. Tetapi rendahnya konsentrasi Zn di dalam air (tabel 2) dibandingkan konsentrasi awal/alami Zn pada batuan bijih (tabel 3) disebabkan terjadinya pengendapan unsur Zn selama aliran pengolahan. Proses yang biasanya terjadi adalah: 2Zn + 2NaAu(CN)2 + 4NaCN + 2H2O = 2Au + 2NaOH + 2Na2Zn(CN)4 + H2 3.2. Kualitas Sedimen Sedimen merupakan tempat logam berat mengendap secara gravitasi di badan perairan. Kualitas sedimen badan perairan harus lebih serius diperhatikan karena sifatnya sebagai tempat akhir logam berat di alam. Dan pada akhirnya logam berat yang ada di sedimen dapat kembali ke badan

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti

111

air karena berbagai hal, misalnya karena arus sungai, hujan, atau jalur transportasi (DPE. Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL untuk kegiatan Pertambangan dan Energi, 1996). Kontaminasi merkuri (Hg) dalam sedimen sungai terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan termineralisasi), proses pengolahan emas secara tradisional (amalgamasi), maupun proses industri yang menggunakan bahan baku yang mengandung merkuri. Untuk mengetahui sumber kontaminasi Hg ini perlu diperhatikan dengan cermat. Untuk mengetahui adanya kontaminasi logam berat dalam sedimen maka dilakukan pemeriksaan sedimen di lokasi yang diperkirakan terkena dampak proses pengolahan tailing. Pengambilan conto sedimen dilakukan pada kolam pengendap, hulu sungai, hilir sungai. Selanjutnya conto sedimen, batuan bijih, dan tanah dianalisis di laboratorium menggunakan metode AAS. Dari hasil analisis conto tersebut di atas, kemudian dilakukan perbandingan dengan peraturan dan standar yang dapat dianggap sebagai tolok ukur

kualitas konsentrasi unsur di alam. Oleh karena itu sumber acuan yang dijadikan sebagai pembanding pada laporan ini adalah Washington state Sediment, WAC 172 204 320. Data kualitas sedimen dapat dilihat pada tabel 4. Adapun hasil penelitian kandungan merkuri dalam sedimen apabila dibandingkan dengan data tahun 2003 menunjukkan penurunan. Namun demikian nilai tersebut masih dibawah ambang batas aman. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai kualitas air dan sedimen pada tahun 2003 sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa kandungan merkuri pada sedimen di daerah yang memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat sekitar (daerah hulu dan hilir sungai Tanoyan) berada dibawah ambang batas aman yang dikeluarkan Washington state Sediment, WAC 172 204 320. Tetapi tetap perlu diperhatikan adanya keterkaitan antara kadar merkuri di air dan sedimen dengan beberapa faktor lingkungan, yaitu hujan, arus sungai, dan jalur transportasi masyarakat.

Tabel 5. Conto data kualitas air dan sedimen di KUD Perintis tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 Lokasi Kolam Pengolahan 1 Kolam Pengolahan 2 S. Tanoyan 1 (Hulu S. Tanoyan) S. Tanoyan 2 S. Tanoyan 3 S. Onggak Konsentrasi Hg [ppm] Air 0,0814 0,0539 0,001 0,0739 0,0179 0,0011 Sedimen 0,67 3,12 0,42 1,49 5,97 0,92

Sumber : Selinawati dan Ngurah Ardha, 2003

Gambar 4. Hubungan keterkaitan antara konsentrasi merkuri di sedimen dan air

112

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan antara konsentrasimerkuri di sedimen dan air, di mana semakin ke hilir badan air. Sedangkan jumlah merkuri di air dan sedimen sangat berkaitan, dimana keberadaan merkuri di air merupakan tempat singgah sementara sebelum sampai di dasar (berkaitan dengan berat jenisnya) dan juga merupakan pelepasan merkuri dari sedimen yang diakibatkan beberapa faktor, antara lain arus sungai (karena merupakan sungai dangkal), hujan, ataupun lintasan transportasi dari masyarakat sekitar. Kadar merkuri di air pada daerah pengolahan relatif rendah dibandingkan pada sedimen, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan kompleks sebagai senyawa merkuri-sianid (HgCN) yang mengendap.

Washington state Sediment, WAC 172 204 320) yaitu sebesar 1 ppm. Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring mengendapnya merkuri ke dasar sungai. 4.2. Saran Dari kegiatan penelitian merkuri dalam sedimen dan air pada pengolhan tailing amalgamasi di pertambangan emas rakyat secara sianidasi, maka diperlukan: Pembinaan terhadap para penambang dan pengusaha pengolahan tailing agar lebih memeperhatikan aspek lingkungan dalam setiap kegiatannya. Diperlukan adanya pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah baik pusat maupun daerah berkaitan dengan kegiatan penambangan dan pengolahan emas yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Perlu dibentuk wilayah pertambangan rakyat (WPR) untuk lebih memudahkan pemerintah dalam hal koordinasi dan pengawasan kegiatan penambangan dan pengolahan emas rakyat.

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian pengolahan tailing dengan proses sianidasi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan informasi dari penambang karakterisasi pada kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan proses sianidasi dipertambangan emas rakyat dapat meningkatkan efisiensi perolehan bulion emas dari bijihnya, dari +40% secara amalgamasi sendiri menjadi +90% secara kombinasi amalgamasi dan sianidasi, sehingga meningkatkan pendapatan para penambang. Proses kombinasi ini diterapkan karena keberadaan bijih emas dengan bentuk kasar semakin sedikit. Kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan proses sianidasi memberikan dampak negatif terhadap kualitas air dan sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air (0,01 - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian (hulu, outlet pengolahan, dan hilir) melewati baku mutu yang diperbolehkan (sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II dan KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga). Konsentrasi Hg pada sedimen (0,17 - 0,20 ppm) pada semua lokasi penelitian belum melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Selinawati TD dan Bapak Harry Tetra Antono atas saran serta sumbang wawasan terhadap tulisan ini.Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Marsen Alimano dan Ibu Wulandari Surono yang telah membantu selama percobaan dan penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. Sediment Quality Standards (WAC 172204-320). Washington NEL. Draft. Global Mercury Project, 2004, Protocol for Environment and Health Assessment. Departemen Pertambangan dan Energi., 1996, Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Untuk Kegiatan Pertambangan dan Energi. http://www.fathom.com/course/seasion2

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti

113

Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Ijin (PETI, 2000, Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI) (Implementasi Inpres No. 3 Tahun 2000). Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Selinawati.T.D. and Ngurah Ardha, 2003, Study On Mercury Lost and Its Concentration from Artisanal Gold Minings in Indonesia. Research

and Development Center for Mineral and Coal Technology. Yusuf, Rachmat, 2004, Amalgamasi. Penambangan dan Pengolahan Emas di Indonesia. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. World Commision on Enviroment & Development (WCED), 1987

114

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PENGARUH PENGGUNAAN ULTRASONIK TERHADAP HASIL PEMISAHAN PASIR ZIRKON KALIMANTAN TENGAH DENGAN ELECTROSTATIC SEPARATOR

Pramusanto1, Nuryadi Saleh1, Yuhelda1 dan Fitriza Yuliana2


1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : pramusanto@tekmira.esdm.go.id, nuryadi@tekmira.esdm.go.id, yuhelda@tekmira.esdm.go.id 2 Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) Jl. Taman Sari No. 1, 20, 22, 24, 26 Bandung 40116

SARI Zirkon sebagai hasil tailing dari pengolahan emas aluvial di Kalimantan Tengah memiliki kadar yang rendah yaitu 36,38 % ZrO2 sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dijual ataupun diekspor. Peningkatan kadar zirkon dilakukan dengan beberapa metoda pengolahan. Zirkon yang dilakukan pemisahan merupakan konsentrat dari magnetik separator basah. Pemisahan dilakukan berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik menggunakan electrostatic separator dimana mineral zirkon (ZrSiO4) sebagai mineral non konduktor akan terpisah dari mineral pengotornya sebagai mineral konduktor seperti ilmenit (FeTiO3) dan rutil (TiO2). Sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel variabel optimum pada electrostatic separator terlebih dahulu umpan mendapat perlakuan ultrasonik (sonikfikasi). Variabel variabel optimum pada electrostatic separator : Variabel tegangan listrik 30 KV Variabel posisi splitter 30 Variabel skala kecepatan umpan 7,5 Variabel optimum pada ultrasonik yaitu selama 30 menit dimana umpan yang mendapat perlakuan ultrasonik dapat membersihkan pasir zirkon dari unsur unsur minor yang tidak diinginkan. Kata kunci: zirkon, ultrasonic, electrostatic separator

ABSTRACT Zircon as tailing product of alluvial gold processing in Central Kalimantan has low grade that is 36,38 % ZrO2 so that has not fulfilled clauses to be sold and or is exported. Upgrading of zircon grade is done with a few processing method. Zircon done by concentration is concentrate from wet magnetic separator. Concentration is done based on different of electrical conductivity property applies electrostatic separator where zircon mineral (ZrSiO4) as non conductor mineral will separated from its the gangue mineral as conductor mineral for example ilmenite (FeTiO3) and rutile (TiO2). Before feeder concentration using optimum variables at electrostatic separator beforehand feed got treatment of ultrasonic (sonicfication).

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.

115

Optimum variables at electrostatic separator : Voltage variable 30 KV Variable position of splitter 30 Feed speed scale variable 7,5 Optimum variable at ultrasonic that is during 30 minutes where feeder getting treatment of ultrasonic can clean zircon sand from minor elements undesirable. Keyword: zircon, ultrasonic, electrostatic separator

1.

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil zirkon memiliki penyebaran zirkon di Sumatera (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Pulau Bangka, Pulau Belitung) dan di Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur) [Suhala dan Arifin, 1997]. Zirkon yang terdapat di Pulau Bangka adalah mineral ikutan bijih timah (kasiterit) yang merupakan tailing dari pengolahan timah sedangkan zirkon yang terdapat di Kalimantan Tengah adalah mineral ikutan bijih emas aluvial yang merupakan tailing dari pengolahan bijih emas dengan alat sederhana sluice box. Karakteristik mineral - mineral pengotor pada zirkon sangat tergantung dari ganesa mineral sehingga setiap tempat memiliki karakteristik mineral yang berbeda (Pramusanto, Dahlan dan Saleh, 2007). Zirkon yang ditemukan di Kalimantan Tengah kemungkinan berasosiasi dengan mineral mineral pengotor seperti ilmenit (FeTiO3), monasit ((Ce, La, Y, Th)PO4), rutil (TiO2), xenotim (YPO4) dan kuarsa (SiO2) [www.bgl.esdm.go.id]. Sebagian besar mineral mineral pengotor di atas merupakan mineral berat sehingga perlu dilakukan pengolahan dan peningkatan nilai tambahnya. Pendekatan proses pengolahan mineral zirkon, proses mana yang lebih baik itu umumnya tergantung pada karakteristik zirkon yang akan diolah maupun pemanfaatan dari produk yang akan dihasilkan (Pramusanto dkk, 1997). Pemisahan secara kering yang dilakukan pada mineral - mineral berat yang terdapat dalam konsentrat menggunakan berbagai macam pemisahan berdasarkan sifat - sifat fisik mineral seperti konduktifitas listrik, kemagnetan dan gaya berat (Woodcock, 1980). Perlakuan ultrasonik (sonikasi) dilaporkan dapat membersihkan lebih lanjut terhadap produk pasir zirkon dari unsur unsur minor yang tidak diinginkan (Farmer, 2007).

Hasil penelitian pengolahan terdahulu yang telah dilakukan (Saleh dan Pramusanto, 2007) yaitu pemisahan berdasarkan berat jenis menggunakan meja goyang dan berdasarkan sifat kemagnetan menggunakan magnetik separator kering dilanjutkan dengan magnetik separator basah. Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap konsentrat magnetik separator basah ternyata masih terdapat unsur-unsur mineral pengotor seperti rutil (TiO2) dan ilmenit (FeTiO3). Mineral rutil dan zirkon bersifat non magnet sehingga proses pengolahan yang dilakukan sebatas pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan masih belum memadai. Untuk membersihkan partikel partikel halus yang menempel pada permukaan zirkon, sehingga umpan perlu mendapat perlakuan ultrasonik sebelum dipisahkan menggunakan variabel variabel optimum pada electrostatic separator.

2.

METODOLOGI

Metodologi peningkatan kadar pasir zirkon Kalimantan Tengah yang telah dilakukan studi bahan baku oleh pihak laboratorium pengolahan tekMIRA, yaitu dengan melakukan percobaan menggunakan ultrasonik sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel variabel optimum pada electrostatic separator. Analisis terhadap nisbah konsentrasi (NK) bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara berat umpan yang akan dipisahkan dengan berat konsentrat yang diperoleh pada proses pemisahan yang dilakukan dan kemudian akan korelasikan dengan kadar zirkon (ZrO2). 2.1. Persiapan dan Analisis Umpan Preparasi umpan yang akan dipisahkan berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik

116

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

yang berasal dari konsentrat magnetik separator basah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan contoh yang representatif. 2.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon dengan Electrostatic Separator Peningkatan kadar pasir zirkon dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan electrostatic separator yang digunakan dalam peningkatan kadar. Peningkatan kadar dapat dilakukan dengan cara memisahkan mineral non konduktor sebagai mineral berharga yaitu ZrSiO4 dengan mineral - mineral konduktor sebagai mineral pengotor seperti; TiO2, FeTiO3 dan lain-lain menggunakan electrostatic separator. Alat electrostatic separator yang digunakan dalam percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Alat ultrasonik

Percobaan dilakukan dengan variabel waktu getar selama 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Pertama sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berukuran 250 ml dan ditambahkan air sebanyak 150 ml atau 60 % dari kapasitas tempat penampungannya. Kemudian gelas ukur tersebut diletakkan di atas jaring atau kawat yang berada di dalam alat ultrasonik. Getaran yang terjadi pada alat ultrasonik membawa mineral ringan terangkat ke atas sehingga berdasarkan masingmasing waktu yang di variabelkan, terdapat perbedaan warna mineral yang berada di dalam gelas ukur yang telah bercampur dengan air. Setelah digetarkan menggunakan alat ini, mineral yang berada pada posisi atas dipisahkan dan terlihat lebih berwarna hitam sedangkan pada posisi bawah sebagai konsentrat berwarna coklat kemerah merahan. Setelah perlakuan ultrasonik dilakukan, kemudian dilakukan pemisahan basah secara manual antara partikel mineral berat yang berada pada bagian bawah gelas ukur dengan partikel mineral ringan yang berada pada bagian atas. Partikel yang berada pada bagian atas diambil menggunakan sendok tipis secara perlahan, sedangkan sisanya yang melayang diambil dengan cara disaring menggunakan kertas penyaring. Ukuran partikel mineral sebagai hasil saringan terlihat sangat halus dibandingkan dengan ukuran butiran partikel yang mengendap. Selama percobaan ini juga terlihat air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh. Sampel hasil pemisahan setelah perlakuan ultrasonik kemudian dijadikan umpan pada pemisahan dengan electrostatic separator setelah dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pengering selama satu hari. Kemudian pemisahan dilakukan

Gambar 1. Electrostatic Separator dari Reichert Equipment tipe MK III Bench seri 063

2.3. Percobaan Menggunakan Ultrasonik Percobaan menggunakan alat ultrasonik yang biasa digunakan untuk membersihkan ayakan berukuran halus, seperti pada Gambar 2; dalam penelitian ini dilakukan untuk membersihkan partikelpartikel halus yang mungkin masih menempel pada permukaan butiran umpan sebelum dipisahkan dengan electrostatic separator.

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.

117

pada kondisi variabel optimum dengan electrostatic separator yang telah dilakukan pada percobaan sebelumnya.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Umpan Hasil analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar X) terhadap umpan sebelum dipisahkan menggunakan electrostatic separator dapat dilihat pada Gambar 3, menjabarkan grafik persentase semua unsur yang terdeteksi dalam skala logaritma.

100

10 K da (% a r )

terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 pada Gambar 4 yaitu semakin besar tegangan listrik yang digunakan maka nisbah konsentrasinya semakin kecil dan kadar ZrO2 yang dihasilkanpun semakin besar. Pemisahan yang baik seharusnya menghasilkan nisbah konsentrasi yang besar dan kadar ZrO2 yang besar pula. Hal ini berbeda dengan hasil percobaan yang dilakukan yang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh perbedaan sifat kelistrikan atau konduktifitas mineral-mineral yang terdapat dalam umpan seperti mineral zirkon (ZrSiO4), ilmenit (FeTiO3), hematit (Fe2O3), rutil (TiO2) dan lain-lain. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh jarak elektroda yang tidak sesuai, tetapi jarak elektroda tidak divariasikan di dalam percobaan ini. Dimana dengan jarak elektroda yang terlalu dekat dan tegangan yang besar akan menyebabkan tertariknya semua mineral, baik yang bersifat konduktor kuat maupun konduktor lemah.

0.1

0.01 ZrO 2 N O a2 P 5 2O Y 3 2O C 3 r2O Fe 3 2O N 2O b 5 A 3 l2O C 2 eO T 2 hO SiO 2 H 2 fO MO n MO g TiO 2 K2 O CO a S

Unsur Hasil Analisis Umpan

Gambar 3. Hasil analisis umpan Gambar 4. Pengaruh tegangan listrik terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 pada posisi splitter 40 dan skala kecepatan umpan 5

3.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon dengan Electrostatic Separator Di dalam percobaan electrostatic separator ini dilakukan analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar X) untuk meninjau perubahan unsur-unsur terhadap konsentrat akibat pengaruh dari variabelvariabel percobaan terhadap nisbah konsentrasi dan peningkatkan kadar. 3.2.1 Pengaruh tegangan listrik terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu tegangan listrik sedangkan variabel tetapnya pada posisi splitter 40 dan pada skala kecepatan umpan 5. Hasil percobaan dengan memvariabelkan tegangan listrik 15 KV, 20 KV, 25 KV dan 30 KV menghasilkan nisbah konsentrasi secara berturutturut sebesar 6,81, 4,39, 3,11, 1,68 dengan kadar ZrO2 yang diperoleh sebesar 56,51 %, 57,46 %, 59,67 % dan 61,96 %. Pengaruh tegangan listrik

3.2.2 Pengaruh skala kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu skala kecepatan umpan sedangkan variabel tetapnya pada tegangan listrik 30 KV dan posisi splitter 300. Kecepatan umpan yang digunakan pada masing masing skala kecepatan umpan 2,5, 5, 7,5, 10 secara berurutan sebesar 0,47 gram/menit, 2,38 gram/menit, 3,4 gram/menit dan 5 gram/menit. Nisbah konsentrasi yang diperoleh pada skala kecepatan umpan 2,5, (0,47 gram/ menit), 5 (2,38 gram/menit), 7,5 (3,4 gram/menit) dan 10 (5 gram/menit) secara berturut turut

118

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

sebesar 1,19, 1,15, 1,18, 1,14 dengan kadar ZrO2 yang diperoleh sebesar 61,45 %, 62,70 %, 63,42 % dan 62,52 %.

kecepatan umpan 7,5. Nisbah konsentrasi yang diperoleh setelah dipisahkan menggunakan electrostatic separator dengan variabel waktu 15, 30, 45, 60 menit pada ultrasonik secara berturut turut sebesar 1,10, 1,09, 1,14 dan 1,12 dengan kadar ZrO2 yang diperoleh sebesar 60,58 %, 60,92 %, 60,68 % dan 60,69 %. Pengaruh penggunaan ultrasonik dengan variabel waktu terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 berdasarkan Gambar 6 di atas adalah semakin lama waktu getar yang diberikan oleh ultrasonik terhadap umpan, maka nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 yang dihasilkan akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena lamanya waktu getar akan mempengaruhi hasil kerja gelombang ultrasonik sehingga juga akan berpengaruh terhadap hasil umpan yang akan dipisahkan menggunakan electrostatic separator.

Nisbah Konsentrasi

1.2 1.19 1.18 1.17 1.16 1.15 1.14 1.13 0.47 2.38 3.40 Kecepatan (gram/menit) NK Kadar 5.00

63.5 63 62.5 62 61.5 61

Gambar 5. Pengaruh skala kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 pada tegangan listrik 30 KV dan posisi splitter 30

Kadar ZrO2 (%)

Nisbah Konsentrasi

1.15 1.14 1.13 1.12 1.11 1.1 1.09 1.08 15 30 45 60 Waktu (Menit) NK Kadar

61 Kadar ZrO2 (%) 60.9 60.8 60.7 60.6 60.5

Berdasarkan grafik pada Gambar 5, pengaruh kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 yaitu semakin cepat umpan yang diberikan maka nisbah konsentrasinya semakin kecil dan kadar ZrO2 yang dihasilkanpun semakin besar. Dengan kecepatan yang tinggi, umpan yang berukuran kasar cenderung mengalami lifting effect meskipun tidak bersifat sebagai konduktor dan umpan yang berukuran halus cenderung mengalami pinning effect. Kecepatan umpan (gram/menit) pada percobaan ini tergantung skala kecepatan umpan yang dipakai dan berat masing masing umpan yang digunakan dalam percobaan. Kecepatan yang tinggi akan mengakibatkan mineral mineral non konduktor kasar akan terlempar ke konduktor sehingga kadar zirkon akan rendah. 3.2.3 Pengaruh penggunaan ultrasonik terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 Ultrasonik bekerja dengan getarannya untuk melepaskan ikatan ikatan mineral pengotor lainnya pada mineral zirkon sebagai mineral utama. Percobaan pada alat ultrasonik dilakukan dengan memvariabelkan waktu getar selama 15, 30, 45 dan 60 menit. Konsentrat kering dari ultrasonik kemudian dipisahkan menggunakan electrostatic separator dengan variabel optimum pada percobaan sebelumnya yaitu pada tegangan listrik 30 KV, posisi splitter 30 0 dan skala

Gambar 6. Pengaruh penggunaan ultrasonik terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO2 pada tegangan listrik 30 KV, posisi splitter 300 dan skala kecepatan umpan 7,5

3.2.4 Pengaruh penggunaan ultrasonik terhadap perolehan dan kadar ZrO2 Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 7 dapat ditarik garis rata rata sehingga diperoleh grafik yang menunjukkan kecenderungan perubahan perolehan dan kadar ZrO2 terhadap penggunaan ultrasonik. Berdasarkan waktu getar selama 15 menit pada alat ultrasonik perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % dan kadar 60,58 % ZrO2. Pada waktu getar selama 30 menit perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % dan kadar 60,92 % ZrO2. Pada waktu getar selama 45 menit perolehan yang didapatkan hampir 90 % dan kadar 60,68 % ZrO2 sedangkan pada waktu getar

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.

119

selama 60 menit perolehan yang didapatkan 90 % dan kadar 60,69 % ZrO2. Perbedaan perolehan dan kadar ZrO2 yang didapatkan pada percobaan tidak begitu jauh dimana perolehan rata rata zirkon hampir 90 % dengan kadar 60 % ZrO2. Kondisi optimum penggunaan ultrasonik yaitu pada waktu getar selama 30 menit.

Perolehan (% )

93 92 91 90 89 88 87 15 30 45 60 Waktu (Menit) Perolehan ZrO2 Kadar ZrO2

61 60.8 60.6 60.4 60.2 60 K adar (% )

unsur - unsur yang kadarnya naik dan turun bahkan ada beberapa unsur yang hilang. Unsur unsur yang kadarnya naik antara lain Al2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O, P2O5, TiO2 dan S. Sedangkan unsur - unsur yang kadarnya turun antara lain SiO2, Fe2O3, ZrO2, HfO2 dan Y2O3. Selain itu, beberapa unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan ultrasonik antara lain MnO, Nb2O5, Cr2O3 dan ThO2. Dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa ada beberapa unsur yang tidak diinginkan hilang setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh getaran yang diberikan pada umpan dengan waktu getar tertentu sehingga dapat melepaskan partikel halus dari mineral pengotor yang melekat pada permukaaan umpan yang akan dipisahkan. Pengaruh gelombang ultrasonik ini cukup kuat dan efektif untuk melepaskan partikel halus berupa mirel pengotor yang melekat pada permukaan sampel bijih zirkon. Selain itu, frekuensi yang ada pada ultrasonik kemungkinan akan mempengaruhi terjadinya efek mekanik seperti gerakan gerakan partikel pada umpan yang berada di dalam gelas ukur sehingga dapat menimbulkan gaya gesek, tekanan dan getaran pada butiran umpan.

Gambar 7. Pengaruh penggunaan ultrasonik terhadap perolehan dan kadar ZrO2 pada tegangan listrik 30KV, posisi splitter 40 dan skala kecepatan umpan 7,5

Selain itu, hasil analisis pada percobaan dengan variabel optimum yaitu pada tegangan listrik 30 KV, posisi splitter 300 dan skala kecepatan umpan 7,5 diperbandingkan antara umpan yang tidak dan yang mendapat perlakuan ultrasonik. Hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 8.

4.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan terhadap pengaruh penggunaan ultrasonik terhadap pasir zirkon Kalimantan Tengah hasil pemisahan dengan electrostatic separator, didapat beberapa kesimpulan : 1. Pada percobaan pengaruh tegangan listrik, kadar ZrO2 optimum sebesar 61,96 % yaitu pada tegangan listrik 30 KV dengan nisbah konsentrasi 1,68. 2. Pada percobaan pengaruh skala kecepatan umpan, kadar ZrO2 optimum sebesar 63,42 % yaitu pada skala 7,5 (3,4 gram/menit) dengan nisbah konsentrasi 1,18. 3. Pada percobaan umpan yang mendapat perlakuan ultrasonik, kadar ZrO2 optimum sebesar 60,92 % yaitu pada waktu getar 30 menit dengan nisbah konsentrasi 1,09 dan perolehan lebih dari 90 %. 4. Adanya beberapa unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan ultrasonik (sonikasi) diantaranya MnO, Nb2O5, Cr2O3 dan ThO2.

100

10 Kadar (%)

0.1

0.01 Fe2O3 Nb2O5 Cr2O3 Na2O Al2O3 Y2O3 ThO2 P2O5 TiO2 MnO MgO CaO ZrO2 HfO2 SiO2 K2O S

Unsur
Sebelum M endapat P erlakuan Ultraso nik Setelah M endapat P erlakuan Ultraso nik

Gambar 8. Perbandingan kandungan unsurunsur sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik

Berdasarkan Gambar 8, setelah umpan mendapat perlakuan ultrasonik terlihat adanya beberapa

120

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Yuhelda., 2008, Peningkatan Nilai Tambah Pasir Zirkon Kalimantan Tengah, Puslitbang tekMIRA. Farmer, A. D, 2007, Agricola Consulting Services Pty Ltd, Chatswood NSW 2067, Australia, Komunikasi Langsung. Kelly, Errol G., David J. Spottiswood, 1982 Introduction to Mineral Processing, John Willey & Sons, New York Mular, Andrew L., 2000, Elements Of Mineral Process Engineering, Department of Mining and Mineral Process Engineering University of British Columbia Vancouver, B.C. Canada. Pramusanto., Ardha. N., Rochani. S., Mutaalim., 1997, Pengembangan Produk dan Peningkatan Mutu Bahan Galian, Puslitbang

Teknologi Mineral Bidang Litbang Teknologi Pengolahan Mineral. Pramusanto., Dahlan. Y., Saleh. N., dkk, 2007, Pembuatan Zirconia dari Pasir Zircon Kalimantan dan Bangka, Puslitbang tekMIRA. Saleh, Nuryadi dan Pramusanto., 2007, Heavy Mineral Sands Separation of Waringin, Central Kalimantan, Kolokium Pertambangan 2007, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara-tekMIRA. Suhala, Supriatna., dan Arifin M., 1997, Bahan Galian Industri, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Woodcock. J. T., 1980, Mining and Metallurgical Practices in Australia, The Australian Institute of Mining and Metallurgy, Victoria, Australia.

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.

121

PENGGUNAAN PASIR SUNGAI SEBAGAI BED MATERIAL PADA GASIFIKASI BATUBARA SISTEM FLUIDIZED BED

Nurhadi dan Slamet Suprapto Pussat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman no. 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail: Nurhadi@tekmira.esdm.go.id

SARI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir sungai sebagai bed material terhadap konversi karbon, komposisi gas produk, efisiensi gasifikasi dan rasio gas hidrogen terhadap gas karbon monoksida pada proses gasifikasi batubara tipe fluidized bed. Variabel yang digunakan adalah jumlah bed material dan jenis bed material. Percobaan dilakukan dengan memanaskan bed material dalam gasifier menggunakan media fluidisasi gas nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai 900C, percontoh batubara dan oksigen di-input-kan ke dalam reaktor, sehingga terjadi reaksi gasifikasi. Gas produk dimurnikan dan didinginkan melalui siklon, heat exchanger dan scrubber untuk selanjutnya dianalisa komposisinya menggunakan gas kromatografi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan pasir sungai sebagai bed material dapat berfungsi baik sebagai dalam proses pembuatan gas sintesis dari batubara dilihat dari komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi. Kata kunci: gasifikasi, batubara, bed material , pasir sungai

ABSTRACT This research was conducted to know the influence of river sand use as bed material to carbon conversion, product gas composition, gasification efficiency and ratio of hydrogen to carbon monoxide in fluidized bed coal gasification. Experiment was conducted by heated bed material in gasifier used nitrogen gas as fluidization media. After gasifier temperature reaching 900C, coal sample and oxygen were inputted into reactor, and gasifying reaction happened. Gas product (syngas) was purified and cooled through cyclone, heat exchanger, and scrubber. Finally, syngas composition was analyzed by gas chromatography. Result was shown river sand use as bed material functioned well based on syngas composition, carbon conversion and gasification efficiency. Keywords: gasification, coal, bed material, river sand

122

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

PENDAHULUAN

menggunakan screw feeder (Kunii dan Levenspiel, 1991). Pasir sungai cukup melimpah keberadaannya di Indonesia dan harganya cukup murah, sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai bed material untuk gasifikasi batubara menggunakan gasifier tipe fluidized bed. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir sungai sebagai bed material terhadap konversi karbon, komposisi gas produk dan efesiensi gasifikasi pada proses gasifikasi batubara tipe fluidized bed.

Sumber daya batubara Indonesia yang berjumlah 107,4 milyar ton merupakan aset ekonomi dan aset energi yang sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal (Setiawan, 2008). Pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan teknologi gasifikasi menghasilkan produk yang mudah dikonversi menjadi beberapa macam sumber energi dan bahan baku industri kimia. Gasifikasi batubara adalah reaksi antara batubara dengan pereaksi udara, uap air, karbon dioksida atau campuran dari zat tersebut dan menghasilkan campuran gas yang dapat dibakar. Gas produk gasifikasi berupa campuran gas hidrogen, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen dan hidrokarbon rantai ringan (Kubota, 2006). Gas produk ini dapat langsung dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas atau dikonversi menjadi berbagai macam sumber energi dan bahan baku industri kimia (Penner, 1987). Fluidized bed merupakan sistem yang efisien untuk kontak fase gas-padat. Gasifikasi batubara tipe fluidized bed menggunakan bed material berupa pasir. Bed material digunakan sebagai transfer panas, sehingga suhu dalam gasifier menjadi homogen. Gas pereaksi masuk dari bagian bawah gasifier melalui plat distributor untuk mengangkat bed material, sehingga menjadi unggun terfluidisasi. Batubara dimasukkan ke dalam gasifier dari bagian samping gasifier

2.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian pembuatan gas sintesis dilakukan terhadap percontoh batubara Indonesia, sehingga diperoleh karakteristik proses pembuatan gas sintesis menggunakan batubara Indonesia. Batubara yang digunakan adalah batubara peringkat lignit dengan variabel jenis bed material, yaitu menggunakan pasir silika dan pasir sungai. Peralatan yang digunakan untuk kegiatan ini terdiri atas 1 unit peralatan pembuatan gas sintesis skala laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan untuk percobaan ini adalah batubara, oksigen dan nitrogen sebagai bahan baku. Sebagai bed material digunakan pasir silika dan pasir sungai. Bagan alir proses penelitian pembutan gas sintesis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penelitian pembuatan gas sintesis (Nurhadi, dkk., 2006)

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto

123

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 2. Sifat kimia pasir silika Parameter SiO2, % Al2O3, % CaO, % MgO, % Fe2O3, %
TT = tidak terdeteksi

Percontoh batubara yang digunakan untuk percobaan adalah batubara lignit yang berasal dari Sumatera Selatan. Hasil analisis percontoh batubara dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk percobaan gasifikasi percontoh batubara dipreparasi, sehingga diperoleh ukuran partikel 48 + 60 mesh.

Nilai 97,20 0,55 0,26 TT TT

Tabel 1. Hasil analisis percontoh batubara Tabel 3. Sifat kimia pasir sungai Parameter Analisis Proksimat Air Total, %. a.r. Air Lembab, % adb. Abu, % adb. Zat Terbang, % adb. Karbon Padat, % adb. Nilai Kalor, kal/g adb. Analisis Ultimat Abu, % adb. Belerang, % adb. Karbon, % adb. Hidrogen, % adb Nitrogen, % adb. Oksigen, % adb. Nilai Parameter 53,37 21,58 1,83 39,36 37,23 4,975 1,83 0,16 54,03 6,14 0,48 31,24 SiO2, % Al2O3, % CaO, % MgO, % Fe2O3, %
TT = tidak terdeteksi

Nilai 46,90 19,24 8,83 5,01 TT

Bed material berupa pasir silika dan pasir sungai juga sudah dianalisis seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Untuk percobaan masing-masing bed material dipreparasi sehingga diperoleh ukuran partikel 48 + 60 mesh. Hasil percobaan penelitian skala laboratorium pembuatan gas sintesis dari batubara berupa

komposisi produk syngas, nilai kalor, neraca massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi pada berbagai variabel dapat dilihat pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 6. Penelitian dilakukan terhadap dua jenis bed material, yaitu pasir silika dan pasir sungai. Setiap bed material kemudian digunakan dalam percobaan dengan variasi 15 gram (P Silika 15 dan P Sungai 15), 20 gram (P Silika 20 dan P Sungai 20) dan 25 gram (P Silika 25 dan P Sungai 25). Hasil percobaan yang dibahas dalam makalah ini meliputi pengaruh jenis bed material pasir silika dan pasir sungai terhadap komposisi gas terutama kadar CO dan H2, nilai kalor, neraca massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.

Tabel 4. Komposisi produk syngas Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 H2 30,32 30,23 30,02 32,80 32,86 32,05 O2 5,57 3,52 3,55 2,89 2,94 2,18 Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol) CO 42,36 44,01 43,85 42,91 43,34 44,58 CH4 3,36 2,32 2,52 2,83 2,36 1,56 CO2 15,03 16,66 17,19 15,90 15,26 16,73 C2H4 3,31 2,95 2,54 2,48 3,51 3,05 total 100 100 100 100 100 100 H2/CO 0,716 0,687 0,685 0,764 0,758 0,719 BM 22,3932 22,6278 22,7437 21,7938 21,8542 22,3170

124

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 5. Neraca massa bahan baku dan produk Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 Bahan Baku (mg/s) Batubara 1,067 1,067 1,067 1,067 1,067 1,067 O2 0,982 0,982 0,982 0,982 0,982 0,982 Produk Syngas (mg/s) 1,287 1,449 1,433 1,340 1,354 1,384 (mL/s) 1,287 1,434 1,411 1,377 1,388 1,389 By Produk Ter (mg/s) 0,577 0,465 0,499 0,587 0,586 0,579 By Produk Char (mg/s) 0,185 0,135 0,117 0,122 0,108 0,086

Tabel 6. Nilai kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 Konversi C (%) 67 77 75 71 73 74 Efisiensi Gasifikasi (%) 74 80 77 77 81 78 Nilai Kalor (kkal/Nm3) 3,070 2,959 2,899 2,976 3,115 2,975

3.1. Penggunaan Pasir Silika sebagai Bed Material Pengaruh jumlah pasir silika sebagai bed material terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat pada Tabel 7 sampai dengan Tabel 9.

Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh terhadap perubahan jumlah pasir silika sebagai bed material dalam reaktor. Semakin banyak jumlah pasir silika sebagai bed material dalam reaktor, maka rasio gas hidrogen terhadap karbon monoksida berkurang, sehingga menyebabkan nilai kalor gas juga berkurang. Sebaliknya,

Tabel 7. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap komposisi produk syngas Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 H2 30,32 30,23 30,02 O2 5,57 3,52 3,55 Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol) CO 42,36 44,01 43,85 CH4 3,36 2,32 2,52 CO2 15,03 16,66 17,19 C2H4 3,31 2,95 2,54 total 100 100 100 H2/CO 0,716 0,687 0,685 BM 22,3932 22,6278 22,7437

Tabel 8. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap neraca massa bahan baku dan produk Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 Bahan Baku (mg/s) Batubara 1,067 1,067 1,067 O2 0,982 0,982 0,982 Produk Syngas (mg/s) 1,287 1,449 1,433 (mL/s) 1,287 1,434 1,411 By Produk Ter (mg/s) 0,577 0,465 0,499 By Produk Char (mg/s) 0,185 0,135 0,117

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto

125

Tabel 9. Pengaruh jumlah pasir silika terhadap nilai kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi Kode Percontoh P Silika 15 P Silika 20 P Silika 25 Konversi C (%) 67 77 75 Efisiensi Gasifikasi (%) 74 80 77 Nilai Kalor (kkal/Nm3) 3,070 2,959 2,899

semakin bertambah jumlah pasir silika sebagai bed material dalam reaktor maka jumlah produksi syngas secara kuantitatif meningkat, sehingga meningkatkan konversi karbon. Dalam reaktor fluidized bed, bed material berfungsi sebagai media transfer panas (Kunii dan Levenspiel, 1991). Semakin banyak jumlah bed material dalam reaktor menyebabkan lebih banyak batubara yang bereaksi menjadi syngas sehingga meningkatkan konversi karbon. Sebaliknya, jika jumlah bed material sedikit menyebabkan reaksi kurang sempurna, sehingga masih banyak char yang tidak bereaksi. Hal ini menyebabkan syngas memiliki rasio gas hidrogen terhadap gas karbon monoksida lebih tinggi, karena sebagian besar syngas berasal zat terbang yang lebih banyak mengandung unsur hidrogen dibandingkan char. Sedangkan nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi akan naik pada penambahan pasir silika sebagai bed material sebanyak 15 gram dan 20 gram, kemudian akan menurun kembali jika pasir

silika sebagai bed material ditambahkan lagi menjadi 25 gram. Hal ini disebabkan karena pada penambahan bed material sebanyak 15 gram dan 20 gram akan terjadi peningkatan konversi batubara, char dan ter menjadi syngas terutama gas hidrogen dan karbon monoksida, sehingga meningkatkan nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi. Jika bed material ditambahkan lagi menjadi 25 gram, maka selain terjadi konversi batubara, char dan ter juga akan terjadi konversi gas CO menjadi gas CO2. Dengan bertambahnya gas CO2 yang sudah tidak memiliki nilai kalor, maka nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi akan menurun. 3.2. Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material Pengaruh jumlah pasir sungai sebagai bed material terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat pada Tabel 10 sampai dengan Tabel 12.

Tabel 10. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap komposisi produk syngas Kode Percontoh P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 H2 32,80 32,86 32,05 O2 2,89 2,94 2,18 Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol) CO 42,91 43,34 44,58 CH4 2,83 2,36 1,56 CO2 15,90 15,26 16,73 C2H4 2,48 3,51 3,05 total 100 100 100 H2/CO 0,764 0,758 0,719 BM 21,7938 21,8542 22,3170

Tabel 11. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap neraca massa bahan baku dan produk Kode Percontoh P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 Bahan Baku (mg/s) Batubara 1,067 1,067 1,067 O2 0,982 0,982 0,982 Produk Syngas (mg/s) 1,340 1,354 1,384 (mL/s) 1,377 1,388 1,389 By Produk Ter (mg/s) 0,587 0,586 0,579 By Produk Char (mg/s) 0,122 0,108 0,086

126

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 12. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap nilai kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi Kode Percontoh P Sungai 15 P Sungai 20 P Sungai 25 Konversi C (%) 71 73 74 Efisiensi Gasifikasi (%) 77 81 78 Nilai Kalor (kkal/Nm3) 2,976 3,115 2,975

Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh terhadap perubahan jumlah pasir sungai sebagai bed material dalam reaktor. Semakin banyak jumlah pasir sungai sebagai bed material dalam reaktor maka rasio gas hidrogen terhadap karbon monoksida berkurang sehingga menyebabkan nilai kalor gas juga berkurang. Sebaliknya semakin bertambah jumlah pasir sungai sebagai bed material dalam reaktor maka jumlah produksi syngas secara kuantitatif meningkat, sehingga meningkatkan konversi karbon. Nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi menunjukkan kenaikan pada penambahan pasir sungai sebagai bed material sebanyak 15 gram dan 20 gram, kemudian akan menurun kembali jika pasir sungai sebagai bed material ditambahkan lagi menjadi 25 gram. Fenomena ini sama seperti pada penggunaan pasir silika sebagai bed material. Hal ini menunjukkan bahwa pasir sungai yang digunakan dalam percobaan ini dapat berfungsi dengan baik. Hasil ini juga menunjukkan jumlah pasir sungai sebagai bed material yang optimum untuk laju alir batubara 1,067 adalah 15 gram.

ke dalam gasifier. Batubara kemudian berreaksi dengan gas oksigen menjadi syngas. Syngas kemudian dimurnikan dan didinginkan melalui siklon, heat exchanger dan scrubber. Syngas kemudian dianalisis menggunakan gas kromatografi. Hasil percobaan menunjukkan pasir sungai dapat berfungsi baik sebagai bed material dalam proses pembuatan gas sintesis dari batubara dilihat dari komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.

DAFTAR PUSTAKA Kubota, N., 2006. Development of Novel Low Rank Coal Gasifier TIGAR, dipresentasikan pada Seminar on Low Rank Coal Gasification, Badan Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, 16 Mei 2006. Kunii, D., dan Levenspiel, O., 1991. Engeneering Fluidization, second edition, ButterworthHeinemann Publishing, Stoneham, M.A. Nurhadi, dkk., 2006. Pembuatan Gas Sintesis dari Batubara dengan Teknologi Gasifikasi Unggun Terfluidakan, Puslitbang tekMIRA. Setiawan, B., 2008. Indonesia Coal Policy, APEC Clean Fossil Energy Technical and Policy Seminar in conjunction with 7th Coaltech, Jakarta 17 November 2008. Penner, S.S., 1987. Coal Gasification: Direct Application and Syntheses of Chemicals and Fuels, U.S. Department of Energy, Office of Energy Research, Washington.

4.

KESIMPULAN

Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui unjuk kerja penggunaan pasir sungai sebagai bed material pada gasifikasi batubara sistem fluidized bed. Sebagai pembanding, dilakukan juga percobaan penggunaan pasir silika sebagai bed material. Percobaan dimulai dengan pemanasan bed material dalam gasifier menggunakan pemanas listrik. Sebagai media fluidisasi digunakan gas nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai 900C, percontoh batubara dan gas oksigen dimasukkan

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto

127

METODE PENGURANGAN EMISI MERKURI PADA PEMBAKARAN BATUBARA

Dra. Roza Adriany M.Si Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Jl. Ciledug Raya Cipulir Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp. 021 - 7394422 ext 1552

SARI Pengurangan emisi Merkuri yang maksimal pada pembakaran batubara seperti pada boiler bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis batubara, konfigurasi alat pengontrol emisi dan proses tambahan lain seperti penambahan senyawa Halogen, pencampuran 2 jenis batubara, serta penggunaan teknologi ACI (Activated Carbon Injection). Dalam tulisan ini akan ditinjau masing-masing faktor yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri, dan jenis senyawa Merkuri yang diemisikan (Merkuri dalam wujud uap logam, oksida Hg dan Partikulat) serta pengaruh lain seperti UBC (Unburn Carbon) dan SO2. Kata kunci : emisi merkuri, batubara, pengontrol emisi, senyawa halogen

1.

PENDAHULUAN

Emisi Merkuri yang dihasilkan dari pembakaran batubara seperti pada unit Boiler mendapat perhatian yang besar dari pemerhati lingkungan karena berpotensi merusak lingkungan dan menjadi ancaman bagi kesehatan makhluk hidup. Menurut data EPA (Environmental Protection Agency), di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 51 ton Merkuri pertahun telah diemisikan ke udara oleh Pabrik yang menggunakan batubara sebagai sumber energi pembakaran. Jenis Merkuri yang diemisikan ke udara pun bervariasi yaitu dalam bentuk uap Merkuri (Hg), Oksida Merkuri dan Partikulat. Uap Merkuri (Hg) mempunyai waktu tinggal yang lama di udara yaitu bisa mencapai satu tahun, sehingga dapat menyebar pada jarak yang sangat jauh dari sumbernya. Ketika Hg terdeposit di tanah atau air , maka dia dapat mengalami transformasi menjadi merkuri organik yaitu metil merkuri yang dapat memasuki rantai makanan seperti ikan. Merkuri yang berbentuk oksida (Hg2+), mempunyai waktu tinggal di udara hanya beberapa hari saja, disebabkan karena tingkat kelarutan yang tinggi dari Hg2+ di dalam uap air yang ada di udara (Senior 2001).

Berbagai teknologi untuk mengurangi emisi merkuri maupun polutan lain yang berasal dari pembakaran Batubara seperti pada unit Boiler telah banyak dikembangkan dan sampai saat ini penelitianpenelitian mengenai hal ini masih terus dilakukan. Walaupun konfigurasi metode atau alat pengontrol emisi telah digunakan, pada kenyataannya jumlah merkuri yang diemisikan masih cukup tinggi dan akan berbeda-beda dari satu Pabrik dengan Pabrik lainnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri antara lain adalah jenis batubara, konfigurasi alat pengontrol emisi dan proses tambahan lain seperti penambahan senyawa Halogen, pencampuran 2 jenis batubara, penggunaan teknologi ACI (Activated Carbon Injection) serta pengaruh lain seperti UBC (Unburn Carbon) dan SO2 (Institute of Clean Air Companies, 2006 dan Durham, 2005). Dalam tulisan ini akan ditinjau masing-masing faktor yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri, serta jenis senyawa Merkuri yang diemisikan (Merkuri dalam wujud uap logam, oksida Hg dan Partikulat).

128

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

2.

METODOLOGI

Tulisan ini dibuat berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terutama oleh EPA (Environmental Protection Agency) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

jection) yaitu penginjeksian karbon aktif kering berbentuk bubuk ke dalam flue gas. ACI biasanya ditempatkan antara pemanas udara (air preheater) dan ESP (Electrostatic Precipitator) atau FF (Fabric Filter). 3.1.1 Teknologi Co Benefits Hasil penelitian pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 berikut menunjukkan bagaimana pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah Merkuri yang dibuang ke udara, untuk jenis batubara yang sama. Data diperoleh dari ICR (Information Collection Request) EPA (U.S Environmental Protection Agency, 2000). Dari Tabel 1 terlihat bahwa konfigurasi alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk Batubara Bituminous adalah SDA/FF dengan jumlah Merkuri yang dibuang 1,78 %. Dari Tabel 2 terlihat bahwa konfigurasi alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk Batubara Sub-Bituminous adalah CS/FF dengan jumlah Merkuri yang dibuang 27,57 %. Dari Tabel 3 terlihat bahwa konfigurasi alat pengontrol polutan yang paling efisien untuk Batubara Lignit adalah CS-ESP dan wet FGD Scrubber dengan jumlah Merkuri yang dibuang 62,52 %. Untuk jenis alat pengontrol polutan yang sama misalnya menggunakan CS-ESP, terlihat bahwa % jumlah emisi dari Batubara Lignit adalah yang paling tinggi yaitu 98,53% diikuti oleh SubBituminous 85,52% dan yang terendah adalah Bituminous yaitu 53,52%. 3.1.2 Teknologi ACI (Activated Carbon Injection) ACI (Activated Carbon Injection) adalah penginjeksian karbon aktif kering berbentuk bubuk ke dalam flue gas. ACI biasanya ditempatkan antara pemanas udara dan ESP atau FF (Durham, 2005 dan Praven, 2003). Hasil penelitian dari: Durham,M. Tools for Planning and Implementing Mercury Control Technology, menunjukkan bagaimana pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif terhadap % Merkuri yang dapat dikontrol (distabilkan) dengan menggunakan 2 alat pengontrol polutan yaitu ESP dan FF untuk Batubara Bituminous dan Sub Bituminous, seperti tampak pada Gambar 1.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah emisi merkuri Seperti telah dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah emisi Merkuri pada pembakaran Batubara yaitu jenis Batubara, konfigurasi alat pengontrol emisi dan proses tambahan lain seperti penambahan senyawa Halogen, pencampuran 2 jenis batubara, penggunaan teknologi ACI (Activated Carbon Injection) serta pengaruh lain seperti UBC (Unburn Carbon) dan SO2. 3.1. Jenis Batubara dan Konfigurasi Alat Pengontrol Merkuri Teknologi pengontrol Merkuri pada dasarnya dibagi dalam 2 bagian: Pertama adalah teknologi yang di sebut Co Benefits yaitu teknologi yang sebenarnya didesain untuk mengontrol polutan lain selain Merkuri , seperti NOx , SOx dan bahan partikulat (PM) tetapi dalam hal ini dapat juga digunakan sebagai alat pengontrol Merkuri (Praven, 2003). NOx dapat dikontrol menggunakan SCR (Selective Catalytic Reduction). Selain berfungsi sebagai pengontrol NOx , SCR dapat juga digunakan sebagai pengontrol emisi Merkuri dengan cara mengoksidasi uap Merkuri menggunakan katalis SCR. SOx adalah polutan yang dikontrol menggunakan FGD (Flue Gas Desulfurization). Selain berfungsi sebagai pengontrol SOx, FGD dapat juga digunakan sebagai pengontrol emisi Merkuri dengan cara melarutkan oksida Merkuri di dalam air (U.S Environmental Protection 2003 dan Praveen, 2003). Bahan Partikulat (PM), baik yang berasal dari Partikulat Merkuri atau Partikulat lainnya dapat dikontrol dengan alat seperti CS-ESP, HS-ESP, FF dan PM Scrubber (U.S Environmental Protection Agency, 2000). Teknologi kedua adalah teknologi yang spesifik untuk Merkuri seperti ACI (Activated Carbon In-

Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany

129

Tabel 1. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batubara bituminous. Jenis Batubara Bituminous Jenis Boiler PC Boiler Alat Pengontrol Polutan SDA/FF SCR dan SDA/FF CS-FF dan wet FGD Scrubber SNCR dan CS-ESP FF Wet FGD Scrubber HS-ESP-Wet FGD Scrubber CS-ESP DSI dan CS-ESP HS-ESP % Merkuri yang Dibuang ke Udara 1,78 2,44 3,59 9,1 16,90 18,77 44,95 53,52 55,11 87,98

Tabel 2. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batubara sub bituminous Jenis Batubara Jenis Boiler Alat Pengontrol Polutan CS-FF CS-ESP / SDA CS-ESP dan Wet FGD Scrubber HS-ESP dan Wet FGD Scrubber SDA/FF CS/ESP HS-ESP PM/Scrubber % Merkuri yang Dibuang ke Udara 27,57 62,06 64,88 67,38 74,60 85,52 86,54 85,57

Sub Bituminous PC Boiler

Tabel 3. Pengaruh konfigurasi alat pengontrol polutan terhadap jumlah merkuri yang dibuang ke udara untuk batubara lignit Jenis Batubara Lignit Jenis Boiler PC Boiler Alat Pengontrol Polutan CS-ESP dan wet FGD Scrubber PM-Scrubber SDA-FF CS-ESP dan FF CS-ESP
SDA DSI SCR FGD SNCR

% Merkuri yang Dibuang ke Udara 62,52 67,23 82,62 95,07 98,53


Particulate Collector) : Spray Dryer Absorber (Dry Scrubber) : Duct Sorbent Injection : Selective Catalytic Reduction : Flue Gas Desulfurization : Selective Non-Catalytic Reduction

PC FBC CS-ESP HS-ESP FF PM FF (COHPAC)

: Pulverized Coal : Fluidized Bed Combustor : Cold-Side Electrostatic Precipitator : Hot-Side Electrostatic Precipitator : Fabric Filter : Particulate Matter : Fabric Filter pilot unit (Compact Hybrid

130

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 1. Pengaruh kecepatan injeksi karbon aktif terhadap % pengurangan merkuri

Pada Gambar 1 terlihat bahwa untuk alat pengontrol ESP pada Batubara Bituminous, pengurangan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi karbon aktif sekitar 20 lb/Macf (million actual cubic feet) sedangkan untuk alat pengontrol baghouse (FF) untuk Batubara yang sama , pemisahan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi 4 lb/Macf (Praven, 2003). Dengan kata lain untuk mencapai 90% pengurangan Merkuri, diperlukan 5 kali lebih banyak penyerap karbon aktif bila menggunakan ESP dari pada FF. FF mempunyai tingkat penangkapan Merkuri yang lebih tinggi dibandingkan ESP. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terbentuknya lapisan Karbon pada bagfilter sehingga penyerapan lebih maksimal (Praven, 2003). Pada penggunaan alat pengontrol polutan ESP untuk jenis Batubara Sub Bituminous diperoleh hasil bahwa pengurangan emisi maksimum adalah sekitar 60% dan terjadi mulai dari kecepatan injeksi sekitar 7 lb/Macf. Kenaikan kecepatan injeksi karbon aktif selanjutnya ternyata tidak dapat menaikkan persentase pengurangan Merkuri. 3.2. Pengaruh Penambahan Halogen Adanya senyawa Halogen seperti Klorin baik yang berasal dari Batubara maupun yang ditambahkan sebagai aditif dapat mempengaruhi oksidasi Merkuri (perubahan dari Hg menjadi Hg+2 ) dan

juga mempengaruhi perubahan Merkuri dari Hg ke bentuk partikulat Merkuri (Hgp). Kandungan Klorin yang tinggi di dalam Batubara, umumnya menghasilkan Hg+2 dan Hgp yang lebih banyak di dalam flue gas dibandingkan dengan merkuri dalam bentuk Hg (Zhuang, 2006). Reaksi klorinasi ini dapat terjadi pada fasa yang sama (Homogen) maupun pada fasa yang berbeda (Heterogen). Reaksi Heterogen adalah reaksi yang terjadi antara Klorin, UBC (Unburn Carbon) yang ada dalam abu terbang dengan Merkuri yang ada dalam flue gas. Klorin di dalam flue gas, dapat berada dalam bentuk 3 senyawa yaitu sebagai atom Cl, molekul Cl2 dan sebagai HCl. Diantara berbagai jenis Klorin tersebut, atom Cl diperkirakan sebagai jenis Klorin yang paling dominan berperan dalam mengoksidasi merkuri secara Homogen (Zhuang, 2006). Pada studi lainnya ditemukan bahwa pada suhu di bawah 500 C reaksi oksidasi merkuri yang utama dilakukan oleh Cl2 bukan oleh atom Cl, kemungkinan hal ini disebabkan karena sensitifitas Cl2 yang lebih rendah dibanding Cl pada suhu tersebut. HCl tidak dapat mengoksidasi Hg secara langsung melalui reaksi fasa gas yang Homogen , tetapi HCl merupakan jenis klorin yang utama di dalam flue gas yang dapat melakukan reaksi oksidasi melalui reaksi Heterogen dengan cara mempromosikan oksidasi Merkuri pada permukaan padatan (Zhuang, 2006).

Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany

131

Penelitian lain menunjukkan bahwa UBC dapat memfasilitasi perubahan HCl di dalam flue gas untuk membentuk pusat karbon terklorinasi. Dengan demikian, klorinasi merkuri pada flue gas dapat berlangsung melalui tiga cara yaitu pertama, melalui reaksi fasa gas yang Homogen, kedua, melalui reaksi Heterogen dan yang ketiga melalui pembentukan pusat Heterogen yang dapat berupa permukaan padatan dengan kondisi yang sesuai seperti partikel UBC, katalis SCR atau partikel yang diinjeksikan (Zhuang, 2006). 3.3. Pengaruh Pencampuran 2 Jenis Batubara Salah satu metode alternatif dalam meningkatkan kemampuan penangkapan Merkuri adalah dengan mencampurkan 2 jenis Batubara yaitu Batubara yang mengandung Klorin atau Bromin yang tinggi dengan Batubara yang mengandung Klorin atau Bromin rendah. Hasil penelitian Durham (2005) seperti tampak pada Gambar 2 berikut memperlihatkan pengaruh pencampuran batubara bituminous berkadar klorin tinggi (106 g/g) dengan batubara sub bituminous berkadar klorin rendah (9 g/g). Alat pengontrol merkuri yang digunakan adalah SDA-FF. Dari Gambar 2 terlihat bahwa semakin bertambahnya komposisi batubara bituminous dalam campuran maka semakin besar persentase Hg yang dapat dipindahkan. Pada penelitian selanjutnya, untuk komposisi pencampuran yang sama dari Batubara

yang sama, tetapi dengan konfigurasi alat pengontrol Merkuri diganti menjadi SDA-ESP maka diperoleh hasil dimana efek pencampuran kedua Batubara tidak signifikan dalam meningkatkan efisiensi penangkapan Merkuri. Hal ini memperlihatkan bahwa konfigurasi SDA FF lebih baik dibanding SDA-ESF (Durham, 2005). 3.4. Pengaruh dari UBC (Unburn Carbon) Pada umumnya kandungan karbon di dalam abu terbang berkisar antara 2-12%. Jumlah UBC yang ada di dalam abu terbang dipengaruhi oleh penggunaan alat pengontrol polutan NOx yang digunakan. Pengurangan emisi NOx umumnya dilakukan dengan berbagai strategi misalnya dengan memasang low-NOx burners, dengan penambahan SCR atau dengan melakukan pemanasan bertingkat. Dampak dari penggunaan teknologi ini adalah meningkatnya kandungan UBC yang ada di dalam abu terbang. Dalam beberapa kasus dapat mencapai kenaikan hingga 20 % berat. Peningkatan kandungan UBC ini dikarenakan kondisi pembakaran yang kekurangan oksigen dan atau rendahnya suhu pembakaran (Zhuang, 2006). Penelitian dari Hasset dan Eylands membuktikan bahwa kenaikan kandungan UBC (Unburned Carbon) dan adanya penurunan suhu pembakaran akan menaikkan efisiensi penangkapan Merkuri di dalam abu terbang. Bagaimanapun, pengetahuan mengenai interaksi Fisika dan Kimia antara partikel

Gambar 2. Pengaruh pencampuran bituminous dengan sub bituminous terhadap persentase pengurangan emisi Hg

132

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

UBC dengan Merkuri, masih kurang memadai (Zhuang, 2006). 3.5. Pengaruh SO2 terhadap Karbon Aktif Karbon aktif dapat mengkatalisis SO2 menjadi H2SO4 di dalam Flue gas. Asam Sulfat ini akan terakumulasi pada permukaan Karbon dan kemungkinan dapat menghambat adsorpsi Merkuri. Dikarenakan konsentrasi SO2 di dalam Flue gas jauh lebih besar dibanding Merkuri maka kapasitas adsorpsi Karbon aktif bergantung pada konsentrasi SO2 yang dapat membentuk H2SO4 pada permukaan Karbon. Dengan demikian kapasitas Karbon aktif dalam mengadsorpsi Merkuri akan lebih tinggi pada saat kadar SO2 di dalam Flue gas lebih rendah. Dalam hal ini adanya senyawa Halogen dalam jumlah yang cukup akan sangat membantu meningkatkan efisiensi penangkapan Merkuri (Zhuang, 2006).

2. Penambahan Halogen Adanya senyawa Halogen seperti Klorin baik yang berasal dari Batubara maupun yang ditambahkan sebagai aditif dapat meningkatkan oksidasi Merkuri (perubahan dari Hg menjadi Hg+2 ) dan juga mempengaruhi perubahan Merkuri dari Hg ke bentuk partikulat Merkuri (Hgp) 3. Pencampuran dua jenis Batubara. Pencampuran 2 jenis Batubara yang mengandung Klorin atau Bromin tinggi dengan Batubara yang mengandung Klorin atau Bromin rendah dapat meningkatkan efisiensi penangkapan Merkuri. 4. SO2 terhadap Karbon Aktif Kapasitas Karbon aktif dalam mengadsorpsi Merkuri akan lebih tinggi pada saat kadar SO2 di dalam Flue gas lebih rendah.

4.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA Durham, M.D., 2005. Mercury Control for PRB and PRB/Bituminous Blends www.icac.com. Institute of Clean Air Companies, 2006, Enhancing Mercury Control on Coal-Fired Boilers with SCR, Oxidation Catalyst, and FGD , www.icac.com. Praveen, A., 2003, Mercury Emissions From Coal Fired Power Plants, www.nescaum.org. Senior, C.L., 2001.Behaviour of Mercury in Air Pollution Control Devices on Coal-Fired Utility Boilers, Century: Impacts of Fuel Quality and Operations Engineering Foundation Conference, Snowbird, UT, www.reaction_eng.com. Zhuang, Y., 2006, Mercury Transformations in Coal Combustion Flue Gas, www.undeerc.org. U.S Environmental Protection Agency, 2003, Performance and Cost of Mercury and Multipollutant Emission Control Technology Aplication on Electric Utility Boilers, EPA/600/ R-03/110, www.epa.gov. U.S Environmental Protection Agency, 2000, Electric Utility Steam Generating Units Hazardous Air Pollutant Emission Study (Mercury ICR), www.epa.gov.

Metode pengurangan emisi Merkuri yang maksimal pada pembakaran batubara seperti pada boiler bergantung pada beberapa faktor antara lain: 1. Jenis Batubara dan Konfigurasi Alat Pengontrol Merkuri Jenis batubara yang berbeda dan konfigurasi alat pengontrol Polutan yang berbeda dapat menghasilkan efisiensi penangkapan Merkuri yang berbeda. Hasil studi EPA seperti pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada Bituminous diperoleh konfigurasi alat pengontrol Polutan yang paling efisien adalah SDA/FF, pada Sub Bituminous adalah CS-FF dan pada Lignit adalah CSESP dan wet FGD Scrubber. Efisiensi penangkapan merkuri pada teknologi ACI bergantung pada kecepatan injeksi karbon aktif dan konfigurasi alat pengontrol polutan yang digunakan. Hasil studi Durham menunjukkan bahwa untuk alat pengontrol ESP pada Batubara Bituminous, pengurangan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi karbon aktif sekitar 20 lb/Macf (million actual cubic feet) sedangkan untuk alat pengontrol baghouse (FF) untuk Batubara yang sama , pemisahan merkuri sampai dengan 90% dapat tercapai pada kecepatan injeksi 4 lb/Macf.

Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara ... Rosa Adriany

133

EKSPLORASI POTENSI KONSENTRAT TIMAH BERDASARKAN DATA SEISMIK REFLEKSI (STUDI KASUS PERAIRAN BANGKA UTARA)

Ediar Usman1) dan Andri S. Subandrio2)


1) Pusat Eksplorasi dan Pengembangan Geologi Kelautan, Balitbang ESDM.

Jl. Dr. Junjunan No. 236 Bandung 40174 e-mail: ediar.usman@gmail.com 2) Departemen Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesa No. 10 Bandung.

SARI Pada kegiatan eksplorasi konsentrat timah di laut, data penting yang diperlukan untuk mengetahui keberadaan dan perhitungan volume sedimen mengandung potensi konsentrat timah adalah data seismik refleksi. Prinsip kerja metode seismik refleksi ini adalah pantulan gelombang suara yang dapat membedakan antara granit, jenis dan ketebalan sedimen, dan konsentrat timah. Daerah pengendapan sedimen dan timah yang dapat diidentifikasi melalui data seismik adalah lembah-lembah purba (paleovalleys) yang terisi sedimen (channel fill) berbutir kuarsa berukuran sedang-kasar. Pada penampang seismik, lembah-lembah purba ditunjukkan oleh bentuk morfologi cekungan pada permukaan granit yang terisi oleh sedimen dan konsentrat timah. Sedimen dan timah tersebut berasal dari darat dan dari tubuh granit di laut melalui sungai-sungai purba (paleochannels). Hasil interpretasi penampang seismik refleksi di perairan Bangka Utara menunjukkan ketebalan sedimen mengandung timah antara 2 - 30 meter. Ketebalan terbesar terdapat di bagian tengah daerah eksplorasi berkisar antara 16 - 30 meter dan kedalaman batuan dasar adalah 65 meter sebagai pusat lembah. Di bagian selatan, ketebalan kurang dari 4 meter, bahkan di beberapa tempat membentuk bidang yang tipis dengan ketebalan kurang dari 2 meter. Sejalan dengan bertambahnya kedalaman laut, memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke arah utara (offshore) dengan ketebalan antara 10 - 24 meter. Hasil perhitungan ketebalan rata-rata adalah 7 meter, dan luas daerah eksplorasi sekitar 5.000 ha, sehingga diperoleh volume sedimen seluruhnya adalah 350.000.000 m3. Jika dalam volume 1 m3 sedimen, mengandung rata-rata 3 kg konsentrat timah, maka diperkirakan kandungan timah di daerah eksplorasi sekitar 1.050.000.000 kg (1.050.000 ton). Jumlah kandungan konsentrat timah tersebut merupakan potensi ekonomis untuk ekploitasi konsentrat timah di daerah eksplorasi. Hasil eksplorasi konsentrat timah menggunakan data seismik refleksi ini dapat menjadi acuan dalam kegiatan studi kelayakan, eksplorasi lebih rinci dan peningkatan investasi pertambangan di perairan Bangka Utara. Kata kunci: data seismik, lembah purba, potensi konsentrat timah, perairan utara Bangka

134

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ABSTRACT At activity of tin concentrate exploration in the sea, the important data that are needed to know existence and calculation of sediment volume of tin concentrate reserve is reflection seismic data. The principal of this reflection seismic method is sound wave reflection can differentiate between granite, type and sediment thickness, and tin concentrate. The area of depositional of sediments and tin concentrate identified through seismic data is paleovalleys which filled by sediment, medium sand very fine sand of quartz grain. On seismic profile, the paleovalleys is shown by basin morphology form at surface of granite that are loaded by sediment and tin concentrate. The tranportation of sediment and tin from land and granite body in sea through paleochannel. Result of interpretation on reflection seismic profiles in the territorial waters of North Bangka shows that the sediment thickness with ranges from 2 to 30 meters. The thickest area lies in the center of survey area with depth ranges from 16 to 30 meters and depth of bedrock is 65 meters as central of paleovalley. In southern part of area, the thickness is less than 4 meters, and in some places it even forms thin layer of less than 2 meters. On the contrary, the deeper sea tends to northwards and also correlated with thicker sediment. The sediment thickness in this area is estimated between 10 to 24 meters. Result of seismic profile calculation, the average of thickness approximately is 7 meters, wide of exploration area around 5.000 ha, so that the sediment volume entirely is 350.000.000 m3. If on 1 m3 volume of sediment with content 3 kg of tin concentrate, the content estimation of tin concentrate in the exploration area around 1.050.000.000 kg (1.050.000 ton). Amount of the tin concentrate content represent the economic potency for the exploitation of tin concentrate in exploration area and its surrounding. Result of tin concentrate exploration by using the reflection seismic data can become reference on the activities of feasibility study, more detail tin exploration and also increasing the mines investment in the territorial waters of North Bangka. Keywords: seismic data, paleovalleys, tin concentrate potency, territorial waters of North Bangka

1.

PENDAHULUAN

Perairan Kepulauan Bangka Utara, secara regional merupakan daerah jalur timah (tin belt) yang kaya dengan konsentrat timah. Sebagai daerah jalur timah, diperkirakan di daerah ini terdapat lembah (paleo-channel) sebagai daerah sedimentasi pasir asal darat dan laut yang mengandung konsentrat timah. Keberadaan dan keterdapan konsentrat timah di laut memerlukan alat bantu yang memberikan keyakinan tentang volume dan potensinya. Sebagai langkah awal untuk mengetahui keberadaan sedimen mengandung timah tersebut; perlu dilakukan eksplorasi geologi dan geofisika kelautan dengan menggunakan metode seismik pantul beresolusi tinggi (high resolution) (Usman. dan Subandrio, 2008). Survei seismik akan dapat memberikan gambaran tentang daerah akumulasi sedimen, ketebalan dan jenis sedimen. Melalui pemahaman karakter pantulan seismik pada penampang seismik akan dapat diinterpretasi ketebalan sedimen dan morfologi granit.

Prinsip dasar seismik pantul beresolusi tinggi tersebut merupakan satu keterpaduan untuk mengetahui ketebalan, penyebaran sedimen dan morfologi granit, melalui penjalaran gelombang suara dalam media air dan batuan, sehingga dapat diketahui ketebalan dan lembah-lembah purba yang mengandung konsentrat timah. Eksplorasi seismik dalam pelaksanaannya menggunakan seperangkat peralatan dengan menggunakan prinsip-prinsip gelombang suara yang dilepaskan ke dasar laut, dipantulkan oleh bidang batas batuan dan selanjutnya diterima oleh seperangkat peralatan seismik (receiver). Berdasarkan metode seismik, dapat ditetapkan target kegiatan eksplorasi dalam mengidentifikasi sedimen mengandung konsentrat timah, yaitu: 1. Daerah sungai purba (paleochannel) dan lembah purba (paleovalley) bawah laut, yang merupakan tempat akumulasi mineral berat, termasuk konsentrat timah. 2. Sedimen berbutir kasar (coarse fluvial depos-

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

135

its), yaitu sedimen yang prospek mengandung timah. 3. Morfologi batuan alas (bedrock) sebagai batuan sumber mineral timah. Akumulasi mineral timah tidak jauh dari batuan sumber. Di perairan Bangka Utara dan sekitarnya, batuan alas adalah granit yang kaya dengan butiran kuarsa dan mineral timah (Sn). 4. Sebagai dasar dalam penentuan titik pemboran inti untuk mengetahui kualitas dan kuantitas timah secara vertikal dan horizontal. Daerah survei terletak di lepas pantai bagian utara Pulau Bangka, termasuk dalam wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau sekitar 7 km ke lepas pantai pada kedalaman laut 10 15 meter. Secara umum lokasi survei termasuk dalam perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kerana letaknya di luar perairan kabupaten/kota yang berjarak di luar daerah 4 mil laut.

2.

GEOLOGI REGIONAL

Kerangka geologi regional Kepulauan Bangka dan pulau-pulau di sekitarnya termasuk dalam Punggungan Bangka Belitung (Bangka-Biliton Ridge). Daerah ini merupakan tinggian batuan dasar berada di sebelah timur Cekungan Sumatera Selatan dan di sebelah utara Cekungan Sunda (Katili, 1980). Punggungan ini merupakan bagian dari jalur timah batuan granit (Tin Belt Granite) dari Kraton Sunda yang memanjang dari daratan Thailand, Semenanjung Malaysia, Kepulauan Riau, Bangka-Belitung hingga Kalimantan Barat (Katili, 1980; Batchelor, 1983). Batuan dasar granit ini muncul di sepanjang jalur timah yang mempunyai jenis berbeda-beda, Pulau Bangka yang dimasukkan pada Main Tin Belt Granite dan di Pulau Belitung termasuk pada Western Tin Belt Granite (Gambar 2). Perkembangan zona vulkanik Sumatera memperlihatkan bahwa granit Belitung berumur lebih tua (berumur Perem hingga Jura) (Lehmann

Gambar 1. Peta lokasi eksplorasi

136

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 2. Peta jalur granit regional Asia Tenggara (Batchelor, 1983)

and Harmanto, 1990), dibandingkan granit di Bangka dan di daratan pulau Sumatera yang berumur Trias. Hal ini memberi informasi bahwa proses erosi pada tinggian-tinggian granit di daerah Bangka Belitung juga telah berjalan cukup lama, sehingga hasilnya berupa endapan aluvial dalam bentuk endapan pantai dan laut telah berjalan lebih intensif. Secara fisiografis, perairan Bangka Utara terletak di Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang secara tektonik telah stabil sejak awal Miosen. Berdasarkan kerangka tektonik, Paparan Sunda dapat dibedakan menjadi tiga bagian (Tjia, 1970), yaitu: Paparan Sunda Bagian Utara, Platform Singapura dan Paparan Sunda Bagian Selatan (Laut Jawa). Platform Singapura merupakan pemisah antara Paparan Sunda bagian utara dan Paparan Sunda bagian selatan. Berdasarkan peta struktur pada top dari morfologi batuan dasar, daerah survei termasuk bagian dari

Platform Singapura. Basement dari platform ini sebagian besar terdiri atas batuan beku (gabro, diabas, andesit dan granit) berumur mesozoik hingga akhir Kapur yang kemudian pada awal Miosen diintrusi oleh granit dari berbagai jenis (Ishihara, 1977). Sedimen Kenozoik di platform ini hanya sampai ketebalan 500 meter. Platform tersebut dicirikan oleh morfologi batuan dasar yang dangkal dan ditutupi oleh sedimen yang tipis, juga dicirikan oleh tubuh-tubuh batuan dasar kecil yang memiliki kecepatan seismik tinggi, dicirikan oleh grafik anomali magnetik yang tajam dan oleh grafik gravitasi yang agak halus (smooth). Cakupan platform ini mulai dari Laut Natuna di bagian Utara dan batas bagian selatan dari platform ini adalah Punggungan Bangka-Belitung (Bangka-Biliton Ridge). Pada platform ini terdapat dua depresi cekungan sedimen yang memiliki ketebalan sedimen lebih dari 800 meter, yaitu Depresi Bangka yang memanjang dengan arah barat laut tenggara (sejajar dengan pantai

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

137

Sumatera) dan Depresi Belitung yang memanjang berarah utara-selatan (sejajar dengan pantai barat Kalimantan). Di daerah survei, Punggungan Bangka-Belitung terdapat di bagian barat daya dan Depresi Bangka memotong bagian tengah daerah eksplorasi dengan arah barat laut - tenggara. Pulau Bangka merupakan bagian ujung selatan dari Platform Singapura dan terletak paling dekat dengan daerah eksplorasi. Pulau ini umumnya merupakan daerah yang hampir rata dan secara geologis dapat mewakili tataan geologi Platform Singapura, khususnya geologi Punggungan Bangka-Balitung dan umumnya untuk tataan geologi daerah eksplorasi. Secara geologis, Pulau Bangka berbeda dengan Pulau Sumatera, karena batuan tertua yang tersingkap di Pulau Bangka adalah Kompleks Pemali dari batuan metamorfik yang berumur Permo-Karbon. Kompleks ini diterobos oleh diabas Penyabung berumur Permo Triasik. Geologi lepas pantai sekitar perairan Bangka Utara merupakan kelanjutan dari kondisi geologis Kepulauan Bangka Belitung. Batuan dasar berupa batuan magmatis granit maupun batuan beku lainnya, terbentang di atasnya sedimen PraTersier, dan tertutup oleh endapan marin yang merupakan sedimen permukaan dasar laut. Geologi lepas pantai dari hasil rekaman seismik pantul dangkal dan pemboran di Selat Gaspar di Tanjung Beriga, menunjukkan empat kelompok batuan sedimen yang diendapkan sampai umur Miosen (Batchelor, 1983), yaitu: a. Aluvium muda teridiri dari, sedimen penutup muda berumur Holosen dan Kompleks Aluvium berumur Plistosen Akhir. b. Unit Transisi terdiri atas sedimen laut, berumur Plistosen Akhir dan Unit Transisi berumur Plistosen Tengah. c. Sedimen penutup purba, berumur Plistosen Awal sampai Akhir terdiri atas fasies dataran aluvium purba dan menjemari dengan fasies kipas (sedimen bongkah granit). d. Regolit Daratan Sunda terdiri atas endapan koluvial dan materi kipas, berumur Pliosen dan latosol, laterit serta bauksit berasal dari pelapukan batuan dasar (granit dan batuan sedimen), berumur Miosen Akhir. Kepulauan Singkep Tujuh hingga Belitung berpotensi akan endapan kasiterit letakan. Secara

geologis, genesisnya merupakan sistem letakan lembah (placer valley systems). Sistem ini erat kaitannya dengan perubahan muka air laut (sea level changes) yang terjadi selama Plio-Plistosen (Yoo and Park, 2000), dan memengaruhi kondisi geologis saat ini, baik yang berada di daerah daratan maupun di daerah lepas pantai, khususnya daerah granit Sengkeli, Pering dan Lenggang. Perubahanperubahan muka air laut di masa lampau yang mencapai 100 meter ini setidaknya menyebabkan terjadinya tiga kali proses erosional (erosional events), yakni proses erosi, akumulasi sedimen rombakan dan tertutup oleh lapisan sedimen Resen. Perubahan muka air laut ini juga memengaruhi Paparan Sunda, khususnya Laut Jawa dan Selat Karimata saat ini, yakni membentuk alur-alur sungai purba, seperti yang teridentifikasi oleh Emery dan Aubrey (1972) (Gambar 3). Pada aluralur sungai purba ini dipercayai mengandung potensi sumber daya mineral yang merupakan endapan plaser. Berdasarkan kondisi regional, potensi konsentrat timah di perairan Bangka Utara sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data eksplorasi secara rinci dan publikasi terdahulu. Data yang ada masih bersifat regional, dan masih memerlukan kajian-kajian yang lebih terpadu dari berbagai publikasi dan eksplorasi timah terdahulu. Kajian potensi saat ini mengacu pada data geologi dan sungai-sungai purba regional di daerah eksplorasi, khususnya di utara Pulau Bangka (Gambar 3). Kegiatan eksplorasi dan penambangan timah saat ini mengacu pada sistem penyebaran sungai dan lembah purba. Kegiatan survei seismik dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan lembah dan sungai purba serta cabang-cabangnya yang berukuran lebih kecil, tetapi diyakini sebagai pembawa konsentrat timah. Berdasarkan geologi regional dan distribusi sungaisungai purba tersebut dapat diperikirakan penyebaran sedimen mengandung timah di perairan Bangka Utara. Secara umum, sedimen akan mengalami proses transportasi dari darat ke laut melalui sungai-sungai purba dan menyebar dalam bentuk limpahan secara lateral dan vertikal (progradation) ke morfologi cekungan di laut. Pada umumnya, sungai-sungai purba tersebut tertutup oleh sedimen Resen yang lebih muda. Untuk itu, eksplorasi timah berdasarkan metode seismik di

138

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 3. Peta distribusi sungai-sungai purba (paleo-channel) di perairan Bangka sebagai daerah aliran sedimen mengandung konsentra timah (disederhanakan dari Emery, 1972)

perairan Bangka Utara diharapkan dapat menemukan lembah dan sungai purba sebagai indikasi awal keberadaan timah.

3.

METODE EKSPLORASI

Geologi bawah permukaan dasar laut (struktur dan batuan) disusun berdasarkan penafsiran data seismik pantul dengan menggunakan prinsipprinsip Seismik Stratigrafi, yaitu pengenalan terhadap ciri-ciri reflektor batas atas, batas bawah dan bagian dalam (internal reflector) setiap unit seismik (Sangree & Wiedmier, 1979; Sherif, 1980). Interpretasi lapisan sedimen mengandung konsentrat timah adalah daerah yang dekat dengan batuan sumber (bedrock), membentuk lembah sebagai akumulasi daerah dengan berat jenis tinggi dan litologinya adalah coarse fluvial deposits (sedimen fluvial berbutir kasar) atau disebut sedimen Kuarter. Selanjutnya, guna memastikan sedimen mengandung konsentrat timah, data seismik dikorelasi dengan data pemboran sehingga

diperoleh gambaran menyeluruh tentang potensi konsentrat timah di daerah eksplorasi. Data tersebut kemudian diolah secara digital untuk mendapatkan volume endapan dan selanjutnya dapat diperhitungkan potensi konsentrat timah. Pengambilan data seismik di perairan Bangka Utara gunanya untuk mengetahui ketebalan lapisan sedimen Kuarter, lembah dan saluran (channels) pada batuan dasar. Lembah dan saluran di bawah dasar laut atau pada batuan dasar akan terlihat dari pola kontur kedalaman batuan dasar tersebut. Perhitungan ketebalan sedimen dan kedalaman granit berdasarkan atas perhitungan dengan persamaan: S = V x t, di mana S adalah jarak, V kecepatan gelombang dalam sedimen V.sed) dan t adalah waktu. Kecepatan gelombang dalam sedimen dengan V.sed = 1600 meter/Sec. (Hubrol et al., 1980; Khesin et al., 1995). Pada eksplorasi ini dipergunakan sapuan (sweep) adalah 0,25 Sec. dan firing rate adalah 1 Sec. Total sapuan seismik adalah 250 milli Sec. dalam Two Way Traveltime (TWT) atau 125 milli Sec. dalam One Way

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

139

Traveltime (OWT). Selanjutnya setelah diperoleh ketebalan sedimen, dan luas daerah eksplorasi 5000 ha dapat dihitung volumen sedimen berdasarkan metode Trapezoidal dan Simpsons Role dengan rumus luas kali tebal secara digital. Volume juga dapat dihitung berdasarkan luas dan tebal rata-rata.

Hasil interpretasi rekaman seismik di daerah survei diperoleh pola reflektor yang menunjukkan batuan sedimen dengan ciri-ciri di bagian atas adalah selaras (concordance), laminasi sejajar, bergelombang terputus-putus, perlapisan terpotong-potong. Bagian bawah membentuk pengisian, longsoran, dan bidang ketidakselarasan. Pada penampang seismik Lintasan 36 (LINE 36) berarah barat timur menunjukkan batas yang tegas antara batuan sedimen di bagian atas dan granit di bagian bawah. Pada penampang tersebut juga menunjukkan adanya daerah lembah purba yang berbentuk cekungan pada permukaan granit dan terisi oleh sedimen. Pada cekungan tersebut pengisian oleh sedimen hasil transportasi dari darat dan dari tubuh granit di laut. Pada penampang Lintasan 36 (LINE 36) (Gambar 4) dengan arah lintasan barat timur dan hasil interpretasinya (Gambar 5) memperlihatkan keberadaan lembah berada di bagian timur daerah survei makin dalam ke arah utara. Di bagian barat tersebut, keberadaan lembah lebih dangkal dan tipis, tetapi berdasarkan bentuk reflektor yang masih menunjukkan ciri-ciri bergelombang terputus-putus, perlapisan terpotong-potong, longsoran dan pengisian diperkirakan di bagian barat lebih kasar dibandingkan dengan bagian timur. Di bagian timur ditandai oleh hilangnya pantulan di bagian lembah, sebagai akibat gelombang seismik melalui madium yang halus (kaolin) atau medium yang kasar (kerikil) yang berongga dengan kandungan air yang tinggi. Antara batuan dasar sebagai batuan alas dengan sedimen Kuarter di bagian atas dipisahkan oleh suatu bidang pepat erosi. Bidang tersebut mengalasi sedimen yang dibedakan dari perbedaan ciri-ciri reflektor. Secara umum ciri-ciri reflektor pada penampang barat timur seperti contoh pada L-36 mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri pada penampang lainnya yang menggambarkan batuan alas di bagian bawah dan sedimen Kuarter di bagian atas sebagaimana yang dikemukakan oleh Ringis (1993). Bila dikaitkan dengan kondisi geologis dasar laut regional, sumber sedimen-sedimen tersebut adalah granit terdekat yang mengalami erosi yang intensif. Setelah seluruh lintasan seismik diinterpretasi, dan dilakukan perhitungan ketebalan berdasarkan kecepatan gelombang dalam sedimen (V.sed = 1600 m/det) dan waktu penjalaran gelombang to-

4.

HASIL EKSPLORASI

Ketebalan Sedimen dan Kedalaman Lembah Purba Ketebalan sedimen diperoleh dari hasil interpretasi rekaman seismik yang dilakukan berdasarkan pengenalan terhadap ciri-ciri reflektor. Pengenalan lainnya adalah kenampakan batas antara sedimen dan batuan dasar yang ditandai oleh penguatan reflektor sebagai bidang batas (Sukmono, 1999; Priyono, 2000). Batuan sedimen umumnya berukuran lempung, lanau, pasir dan kerikil dengan ciri-ciri reflektor adalah selaras (concordance), laminasi sejajar, bergelombang terputus-putus (wavy), perlapisan terpotong-potong (hummocky), longsoran (slump) dan pengisian (channel fill). Batas antara granit dengan sedimen Kuarter membentuk bidang ketidakselarasan atau pepat erosi (erosional truncation) atau kontak onlap (Sangree and Wiedmier, 1979; Sherif, 1980). Sedangkan ciriciri reflektor granit sebagai batuan alas/dasar pada penampang seismik adalah berbukit-bukit (mounded), berbintik-bintik kacau tidak beraturan (chaotic), kadang-kadang muncul perulangan bidang pantulan (multiple) dan makin ke bawah bebas pantulan (free reflektor) (Ringis, 1993). Adanya pola choatic dan multiple menunjukkan gelombang melalui medium yang keras dan padat berupa batuan tanpa bidang perlapisan. Ciri-ciri seperti ini dapat diinterpretasikan sebagai batuan alas dan antara keduanya dipisahkan oleh bidang ketidakselarasan (erosional truncation). Bagian paling bawah sering disebut sebagai Acoustic Basement dan sekaligus juga merupakan batuan dasar. Di perairan Bangka-Belitung, batuan alas adalah granit (Batchelor, 1983); sedangkan hilangnya pantulan gelombang (free reflektor) dapat juga disebabkan oleh adanya medium yang halus (ada organik), porous dan berongga. Pada batuan beku tidak memberikan respon seismik, karena batuan tidak berlapis dan bersifat homogen (Boggs, 2006).

140

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

tal pada total penampang seismik adalah 0,125 Sec, diperoleh ketebalan sedimen. Selanjutnya, setelah seluruh lintasan diinterpretasi dan dihitung ketebalannya, dan data ketebalan tersebut diplot

pada peta kerja dengan menarik kontur yang mempunyai angka ketebalan yang sama, maka akan menghasilkan peta ketebalan sedimen (isopach) (Gambar 6).

Gambar 4. Penampang seismik pantul Lintasan 36 (LINE 36) dengan arah Timur - Barat

Gambar 5. Hasil interpretasi rekaman seismik pantul Lintasan 36 (LINE 36) dengan arah Timur Barat

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

141

Gambar 6. Peta ketebalan sedimen (isopach) perairan utara Bangka

Pada bagian kontur yang rapat menunjukkan ketebalan sedimen lebih besar. Selanjutnya, peta ketebalan sedimen tersebut ditumpangtindihkan dengan peta morfologi batuan dasar. Bila ketebalan tersebut tepat pada morfologi lembah pada batuan dasar, maka kondisi ini menujukkan bahwa sedimen tersebut menebal ke arah bawah. Tetapi bila ketebalan sedimen dengan kontur yang rapat tidak berhimpitan dengan morfologi lembah, berarti penebalan ke bagian atas membentuk gosong pasir. Penebalan ke bagian atas, menunjukkan adanya sedimen Resen dengan proses sedimentasi ke bagian atas dan tidak berhimpitan dengan lembah atau sungai purba. Pada daerah morfologi lembah pada batuan dasar tersebut merupakan daerah yang mempunyai volume sedimen yang besar dan prospektif konsentrat timah yang besar, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk eksplorasi lebih rinci.

Hasil pengukuran ketebalan sedimen diperoleh ketebalan berkisar antara 2 - 30 meter. Bagian paling tebal terdapat di bagian tengah daerah eksplorasi berkisar antara 16 - 30 meter. Sejalan dengan bertambahnya kedalaman laut, memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke arah utara dengan ketebalan antara 10 - 25 meter. Di bagian selatan, ketebalan kurang dari 4 meter, bahkan di beberapa tempat membentuk bidang yang tipis dengan ketebalan kurang dari 2 meter. Makin menipisnya sedimen di bagian selatan disebabkan makin mendekat ke arah pantai dengan batuan dasar yang lebih dangkal. Selanjutnya, morfologi granit dan kedalaman lembah purba digambarkan oleh garis kontur kedalaman batuan dasar. Secara genesis, lembah purba pada penampang seismik dikenal sebagai pengisian lembah. Pada penampang seismik,

142

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

kedalaman batuan dasar merupakan bagian permukaan dari dasar akustik gelombang seismik (basement accoustic), disebut sebagai basement top. Berdasarkan pemahaman geologi regional, dasar akustik tersebut diinterpretasikan sebagai batuan dasar (bedrock), yaitu granit (Gambar 7). Lembah-lembah purba ditunjukkan oleh kontur yang rapat dan bulat mamanjang relatif barat timur. Bagian terdalam lembah purba tersebut terletak di bagian tengah, berkisar antara 60 - 65

Secara umum, kedalaman batuan dasar di bagian selatan makin dangkal dibandingkan bagian utara. Kondisi ini disebabkan karena di bagian selatan makin menuju ke arah perairan pantai Pulau Bangka sebagai pusat granit. Estimasi Volume Sedimen dan Potensi Konsentrat Timah Selanjutnya, untuk mendapatkan kandungan sedimen di daerah eksplorasi adalah Vol = luas x

Gambar 7. Peta morfologi batuan dasar (granit) di perairan Bangka Utara

meter. Di bagian barat laut, terdapat kedalaman lembah purba antara 50 - 60 meter. Di bagian utara kedalaman batuan dasar bervariasi dan bersifat setempat-setempat; pada umumnya kedalaman lembah purba antara 20 - 40 meter. Sedangkan di bagian selatan, morfologi batuan dasar relatif datar dengan kedalaman antara 20 - 35 meter.

tebal. Metode yang dipergunakan dalam penghitungan volume/potensi adalah Trapezoidal dan Simpsons Role diperoleh volume sedimen perairan utara Bangka adalah antara 353.412.982,24723 354.688.795,79397 m3. Metode lainnya sebagai koreksi dilakukan secara

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

143

sederhana dengan menghitung ketebalan rata-rata pada penampang seismik dan luas daerah eksplorasi. Jika luas daerah eksplorasi adalah 5000 ha (dihitung pada program MapInfo) dan ketebalan rata-rata berdasarkan hasil perhitungan pada penampang seismik sekitar 7 meter, maka diperoleh volume sedimen 350.000.000 m3. Jika setiap 1 m3 mengandung rata-rata 3 kg timah (Usman and Subandrio, 2008), maka total kandungan timah adalah 1.050.000.000 kg (1.050.000 ton). Hasil perhitungan secara digital dan manual tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu besar.

5.

PEMBAHASAN

survei. Sungai-sungai purba tersebut melewati beberapa lembah-lembah purba, dan dua di antaranya merupakan lembah purba terdalam dan terbesar di daerah survei. Dua lembah purba tersebut terletak di bagian tengah dan bagian barat laut, dan diperkirakan keduanya sebagai pusat atau muara dari aliran sungai purba yang juga merupakan pusat pengendapan sedimen mengandung konsentrat timah. Di bagian tengah kedalaman lembah berkisar antara 60 - 65 meter, dan di bagian barat laut berkisar antara 50 - 60 meter. Alur sungai purba di bagian tengah tersebut berarah dari barat ke timur, dan di bagian barat laut dari arah timur ke barat. Sedangkan alur-alur yang berukuran lebih kecil di bagian tengah, selatan dan timur mempunyai arah yang bervariasi (Gambar 8). Berdasarkan posisinya terhadap sungai purba regional, alur sungai purba di daerah survei tersebut merupakan cabang dari sistem alur purba regional

Hasil interpretasi seismik dan kedalaman batuan dasar dapat dilakukan proses rekonstruksi lokasi dan penyebaran sungai-sungai purba di daerah

Gambar 8. Alur sungai purba hasil interpretasi seismik sebagai daerah aliran dan pengendapan sedimen mengandung konsentrat timah di daerah survei

144

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

yang bermuara di Laut China Selatan. Sistem ini erat kaitannya dengan penurunan permukaan laut yang terjadi di Paparan Sunda selama periode PlioPlistosen atau sekitar 2 - 1,8 juta tahun lalu (Yoo and Park, 2000). Periode ini merupakan masa iklim dingin global yang ditandai terjadinya peningkatan pembentukan es di kutub. Akibatnya, suluruh wilayah laut di Paparan Sunda termasuk di Selat Malaka dan Laut Jawa mengalami proses kekeringan, dan batuan di daratan Paparan Sunda mengalami proses pelapukan dan erosi (Zaim, 1996). Pada saat penurunan permukaan laut, diikuti oleh pembentukan alur-alur purba yang mengerosi batuan dasar berupa granit membentuk sedimen yang kaya mineral kuarsa dan konsentrat timah (Batchelor, 1983). Alur purba terbesar di Paparan Sunda, terdapat di perairan Laut Jawa, dan di utara perairan Bangka Belitung yang bermuara ke Laut China Selatan (Emery and Aubrey, 1972). Sejak dimulainya pencairan es di kutub pada awal Plistosen tersebut, merupakan periode awal proses sedimentasi di Paparan Sunda (Yoo and Park, 2000) dan Laut Jawa, sehingga sungai-sungai purba tertutup oleh sedimen (Zaim, 1996). Sedimen yang menutupi sungai-sungai purba, dan adanya jejak lembah-lembah purba yang terbentuk sejak awal Plistosen di daerah survei dapat diamati secara langsung melalui rekaman seismik pantul. Proses pengendapan sedimen tersebut telah berlangsung cukup lama, sejak sekitar 1,8 juta tahun, sehingga memungkinkan proses pengendapan terjadi yang membentuk lapisan sedimen yang cukup tebal mencapai 30 meter. Pada eksplorasi yang menggunakan metode seismik pantul, identifikasi sungai dan lembah purba akan mempermudah dalam perencanaan kegiatan eksplorasi rinci dan studi kelayakan. Data ini juga akan menjadi arahan dalam menentukan daerah akumulasi sedimen mengandung konsentrat timah, sehingga akan menambah akurasi keberhasilan dalam survei-survei berikutnya. Kondisi ini juga akan mempermudah, mempercepat waktu dan menghemat biaya dalam survei-survei berikutnya.

di bagian selatan disebabkan makin mendekat ke arah pantai dengan batuan dasar yang lebih dangkal. Sejalan dengan bertambahnya kedalaman laut, memperlihatkan makin menebalnya sedimen ke arah utara dengan ketebalan antara 10 - 24 meter. Kedalaman lembah purba menunjukkan bagian terdalam terletak di bagian tengah, berkisar antara 60 - 65 meter dan di bagian barat laut kedalamannya antara 50 - 60 meter. Di bagian utara kedalaman batuan dasar bervariasi antara 20 - 40 meter, dan di bagian selatan, kedalaman antara 20 - 35 meter. Secara umum, kedalaman batuan dasar di bagian selatan makin rendah dibandingkan bagian utara karena di bagian selatan makin menuju ke arah daratan Pulau Bangka sebagai pusat granit. Volume sedimen berdasarkan perhitungan Grid Volume Computations adalah antara 353.412.982,24723 354.688.795,79397 m3. Sedangkan berdasarkan perhitungan manual diperoleh sebesar 350.000.000 m 3 . Hasil perhitungan antara Computations dan manual menunjukkan volume yang hampir sama dan perbedaan yang tidak terlalu besar. Ketebalan sedimen dan lembah purba merupakan bagian terpenting dari kegiatan eksplorasi konsentrat timah. Data ini akan menjadi dasar dalam eksplorasi yang lebih rinci, seperti eksplorasi lanjut, studi kelayakan, estimasi volume sedimen dan potensi konsentrat timah. Hasil eksplorasi ini telah dapat menggambarkan kondisi yang dimaksud dan menjadi dasar dalam eksplorasi berikutnya. Di samping itu, hasil data seismik dapat menggambarkan kondisi vertikal dan lateral granit sebagai batuan sumber sedimen dan konsentrat timah.

DAFTAR PUSTAKA Boggs, S, Jr., 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy, Pearson Prentice Hall, New Jersey: 618 pp. Batchelor, B.C., 1983. Late Cenozoic Coastal and Offshore Stratigraphy in Western Malaysia and Indonesia, Thesis Ph.D., Dept. Of Geology, University Malaya, Kuala Lumpur. Emery, K.O. and Aubrey, D.G., 1972. Sea Levels, Land Levels, and Tide Gauges. Springer-

6.

KESIMPULAN

Ketebalan sedimen berkisar antara 2 - 30 meter; bagian paling tebal terdapat di bagian tengah daerah antara 16 - 30 meter. Di bagian selatan, ketebalan kurang dari 4 meter; di beberapa tempat kurang dari 2 meter. Makin menipisnya sedimen

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data ... Ediar Usman dan Andri S. Subandrio

145

Verlag Pub.: 237pp. Hubrol, P. and Krey, T., 1980. Interval Velocities from Seismic Reflection Time Measurements, Western Geophysical Company, Texas USA: 203 pp. Ishihara, S., 1977. The Magnetite Series and Ilmenite Series Granitic Rocks, Jour. of Mining Geol., 27: 293-305. Katili, J.A., 1980. Geotectonics of Indonesia, A Modern View, Directorate General of Mines, Jakarta: 271 pp. Khesin, B.E., Alexeyen, V.V., Eppelbaum, 1995. Interpretation of Geophysical Fields in Complicated Environments. Kluwer Academic Publishers, London: 352 pp. Lehmann, B. and Harmanto, 1990. Large Scale Tin Depletion in the Tanjung Pandan Tin Granite, Belitung Island, Indonesia, Econ. Geol., 85: 99-111. Priyono, A., 2000. Interpretasi Geologi Seismik, Diktat Kuliah Program Pasca Sarjana Geologi dan Geofisika Institut Teknologi Bandung, Jurusan Geofisika Institut Teknologi Bandung, 255 hal. Ringis, J., 1993. Deposit Models for Detrital Heavy Minerals on East Asian Shelf Areas and the Use of High Resolution Seismic Profiling Techniques in Their Exploration, CCOP Publication.

Sangree, J.B. and Wiedmier, J.M., 1979. Interpretation Facies from Seismic Data, Geophysic 44(2): 131 pp. Sherif, R.E., 1980. Seismic Stratigraphy, International Human Resources Development Corporation, Boston: 222 pp. Sukmono, S., 1999. Interpretasi Seismik Refleksi, Penerbit ITB, Bandung: 269 hal. Tjia, H.D., 1970. Quaternary Shorelines of the Sunda Land, South East Asia, Geol. Mijnbouw, 49(2): p.35-144. Usman, E. and Subandrio, A.S., 2008. Shallow Seismic Imaging for Paleo-Channel Mapping Related To Tin Prospecting On Tanjung Penyusuk Offshore, Northern Bangka. Joint Exploration of MGI APMR/APRI, Intern Report: 90 pp. Yoo, D.G. and Park, S.C., 2000. High Resolution Seismic Study as a Tool for Sequence Stratigraphic Evidence of High Frequency Sea Level Changes: Latest Pleistocene-Holocene Example from Korea Strait, Journal of Sedimentary Research, 70(2): 296-309. Zaim, Y., 1996. Stratigrafi Kuarter di Indonesia: Pengaruh Perubahan Muka Laut Global Kala Plistosen Terhadap Penyebaran dan Lingkungan Hidup Manusia Purba di Jawa, Makalah PIT Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (PIT IAAI) ke-VII, Cipanas.

146

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

PENETAPAN NILAI BAGI HASIL ATAS PRODUKSI BATUBARA MUTU RENDAH

Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin F.Umar, Bukin Daulay Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jenderal Sudirman No.623, Bandung. 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6038027 e-mail : rochman@tekmira.esdm.go.id, ijang@tekmira.esdm.go.id, datin@tekmira.esdm.go.id, bukin@tekmira.esdm.go.id

SARI Energi mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, terutama untuk mendukung proses industrialisasi. Batubara sebagai salah satu sumber energi dapat berfungsi sebagai bahan bakar dan bahan baku. Batubara sebagai salah satu sumber energi jumlahnya sangat besar, yaitu 104,8 miliar ton dengan mutu yang sangat bervariasi, baik dilihat dari jenis (komposisi kimia, maseral dan sifat fisik) maupun peringkatnya yaitu rendah (lignit), menengah (subbituminus) dan tinggi (bituminus-antrasit), namun dari jumlah batubara tersebut sebagian besar merupakan batubara bermutu menengah dan bermutu rendah yang kurang ekonomis bila diusahakan. Batubara mutu rendah adalah batubara yang memiliki nilai kalor < 5.100 kkal/kg, kandungan abu >17%, dan kandungan sulfur >2% dalam air dried basis (adb). Agar pengusahaan batubara mutu rendah bisa ekonomis, baik di dalam usaha penambangan, maupun pemanfaatannya sebagai bahan bakar atau bahan baku, perlu ditetapkan nilai bagian pemerintah atas produksi batubara mutu rendah dari pengusahaan(PKP2B) supaya bisa bersaing dengan batubara mutu baik. Dari hasil kajian yang telah dilakukan melalui model simulasi dengan menggunakan 4 (empat) parameter, yaitu nilai kalor, abu, sulfur, dan natrium, maka diusulkan 3 (tiga) alternatif nilai bagi hasil untuk batubara mutu rendah sebagai berikut : a) Alternatif I : Dua atau tiga parameter : 10,0 % Empat parameter atau lebih : 8,5 % Parameter Lignit : 7,5 % b) Alternatif II : Dua atau tiga parameter : 10,0 % Empat parameter atau lebih : 8,0 % c) Alternatif III : Dua, tiga atau empat parameter : 9,0 % Parameter Lignit : 7,5 % d) Alternatif IV : Membagi nilai bagi hasil batubara mutu rendah berdasarkan nilai kalornya (NK), yaitu : 5.100 kkal/kg < NK > 4.600 kkal/kg : 9,0% NK d 4.600 kkal/kg : 7,5% Kata kunci : batubara mutu rendah, nilai bagi hasil

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

147

ABSTRACT Energy has a main role in the sustainable national development to particularly support the industrialization process. Coal, one of the energy sources, can function as fuel and raw material. Coal has a huge potential in Indonesia, which is 104.8 billion tons. Its quality is various according to the type (chemical composition, maceral and physical property) and the rank (lignite, subbituminous, bituminous and anthracite). However, most of the coals is low-rank coal (LRC) and is not economical for the utilization. The LRC has a calorific value of <5.100 kcal/kg, ash content of >17% and sulphur content of >2% in air-dried basis (adb). In order to improve the business of the LRC economically, either the mining operation or the utilization as fuel or raw material, it needs to determine a value of the government side for the LRC production from Coal Contract of Work, so that it can compete with high-rank coals. According to the assessment that has been carried out through a simulation model by applying 4 parameters that are calorific value, ash, sulphur and sodium, it is suggested 3 alternatives of the production sharing for the LRC as follows: a) Alternative I 2 or 3 parameters : 10.0 % 4 parameters or more : 8.5 % Lignite parameter : 7.5 % b) Alternative II 2 or 3 parameters : 10.0 % 4 parameters or more : 8.0 % c) Alternative III 2, 3 or 4 parameters : 9.0 % Lignite parameter : 7.5 % e) Alternative IV Dividing the value of production sharing of LRC based on its calorific value (CV): 5,100 kcal/kg < CV > 4,600 kcal/kg : 9.0% CV d 4,600 kcal/kg : 7.5% Keywords: low-rank coal (LRC), value of production sharing

1.

PENDAHULUAN

Meningkatnya peran batubara sebagai pemasok energi di masa mendatang membuat industri ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para investor tak terkecuali di Indonesia. Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan konsumsi batubara yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 13,2 juta ton pada 1997 menjadi 52,545 juta ton pada 2008, atau meningkat 4 kali lipat (392%). Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam tersebut disebabkan meningkat tajamnya permintaan batubara sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun di negara-negara importir. Tidak mengherankan

apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, dari jumlah cadangan batubara Indonesia sebesar 104,8 miliar ton sebagian besar termasuk ke dalam katagori batubara peringkat rendah (Low Rank Coal) (Pusat Sumber daya Geologi, 2008). Untuk mencapai sasaran bauran energi nasional 2025, yakni pemakaian batubara diharapkan mencapai 34,4%, maka salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk menunjang ketahanan energi nasional tersebut adalah menetapkan tarif nilai bagi hasil untuk pengusahaan batubara mutu rendah yang akan menjadi pemasok batubara

148

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

untuk PLTU sehingga harganya bisa kompetitif dengan batubara mutu baik. Hal tersebut perlu dilakukan karena sampai saat ini belum ada ketetapan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pengusahaan batubara mutu rendah, khususnya untuk PKP2B. Yang ada adalah ketentuan bagian pemerintah untuk batubara mutu baik sebesar 13,5% dari produksi batubara yang terjual, dan ketentuan tambahan yang tertuang di dalam Keppres No.75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Kontrak Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi : Dalam hal pengusahaan pertambangan dilakukan dengan cara bawah tanah dan atau batubara yang diproduksi ternyata bermutu rendah, besarnya hasil produksi batubara yang harus diserahkan kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dipertimbangkan kembali berdasarkan hasil kajian yang diajukan oleh perusahaan Kontraktor Swasta

menghasilkan jenis batubara yang bervariasi dalam bentuk dan ketebalan (kuantitas) maupun kualitas batubara. Kriteria kualitas batubara dapat dibedakan atas beberapa macam, pada umumnya didasarkan pada: Peringkat Batubara (Coal Rank) Nilai Kalori (Calorivic Value) Kandungan bahan/unsur dalam batubara (kadar air, abu, belerang, zat terbang, karbon tertambat, dll) Sifat fisik batubara (kekerasan, muai bebas, titik leleh abu). Penggolongan kualitas batubara mutu rendah, batubara mutu sedang, dan batubara mutu tinggi seringkali dikaitkan dengan tujuan pemanfaatan batubara itu sendiri yang tergambarkan dengan permintaan pada spesifikasi batubara yang diinginkan. Berdasarkan tingkat kalorinya batubara Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) bagian , yaitu : 1) Batubara Kalori Rendah < 5.100 kal/gr. 2) Batubara Kalori Sedang 5.100 - 6.100 kal/gr. 3) Batubara Kalori Tinggi 6.100 - 7.100 kal/gr. 4) Batubara Kalori Sangat Tinggi > 7.100 kal/gr. Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2008 berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebesar 104,8 miliar ton, dengan jumlah cadangan batubara Indonesia dihitung terhadap endapan bahan batubara yang telah diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, kualitas, dan secara ekonomi memenuhi kriteria layak tambang, yang dihimpun oleh Pusat Sumber Daya Geologi tahun 2008 dari laporan perusahaanperusahaam PKP2B di Indonesia adalah sebesar 22,2 miliar ton (Tabel 1).

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi dan Cadangan Wilayah Indonesia diketahui memiliki potensi endapan batubara sangat luas, namun batubara yang bernilai ekonomis untuk dikembangkan hanya terkonsentrasi pada cekungan-cekungan Tersier di Indonesia bagian barat yaitu di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Endapan batubara di Indonesia terbentuk pada lingkungan pengendapan yang bervariasi mulai lingkungan rawa-rawa, danau, darat, laguna, dan delta yang kadang-kadang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Keadaan lingkungan pengendapan yang berbeda-beda tersebut

Tabel 1. Kualitas, sumberdaya, cadangan dan produksi batubara Indonesia, 2008 Kualitas Kalori Rendah Kalori Sedang Kalori Tinggi Kalori Sangat Tinggi Total Sumberdaya (Juta Ton) Hipotetik 5,057.68 27,764.43 1,708.18 90.11 34,620.40 Tereka 6,588.24 18,888.21 6,187.41 482.93 32,146.79 Tertunjuk 3,721.16 10,941.82 1,069.29 5.80 25,738.08 Terukur 5,815.96 11,956.19 4,056.61 422.81 22,251.57 Total 21,183.05 69,550.65 13,021.50 1,001.64 104,756.83 Jumlah % 20.22 66.39 12.43 0.96 100.00

Sumber : Pusat Sumbe Daya geologi, 2008

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

149

2.2.

Batubara Mutu Rendah

Secara umum ada tiga jenis analisis dan pengujian yang dilakukan untuk menenetukan mutu batubara, yaitu : 1) Analisis Proksimat Analisis proksimat merupakan analisis mendasar dalam penentuan mutu batubara, yaitu untuk mengetahui kandungan air lembab, zat terbang (volatile matter), abu dan karbon tertambat (fixed carbon). 2) Analisis Ultimat Analisis ultimat merupakan analisis kimia untuk mengetahui persentase dari senyawa kimia yang terbentuk dari hasil ikatan antara karbon, nitrogen (N), oksigen (O) dan sulfur/ belerang (S). Kecuali nitrogen, senyawasenyawa tersebut juga terdapat pada komponen mineral seperti karbonat, sulfida, sulfat dan mineral lempung. Hidrogen dan oksigen juga merupakan komponen yang penting dalam analisis penentuan kandungan air total batubara. Dari hasil analisis tersebut, pengguna batubara khususnya pembangkit listrik dan pabrik semen sudah dapat memprediksi perilaku unsur-unsur tersebut baik pada saat berlangsungnya proses pembakaran maupun setelah pembakaran, sehingga perlu tidaknya migitasi gas-gas NOx dan SOx dapat diketahui sebelumnya. 3) Analisis Sifat-Sifat Lain Analisis sifat-sifat lainnya termasuk penentuan nilai kalor (calorific value), analisis komposisi abu, titik leleh abu (ash fusion temperature), nilai

muai bebas (free swelling index), nilai ketergerusan (hardgrove grindability index), berat jenis, komposisi maseral (maceral composition) dan reflektansi vitrinit (vitrinite reflectance). Berdasarkan gabungan maseralnya, microlithotype dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu monomaseral (1-maseral), bi-maseral (2-maseral) dan trimaseral (3-maseral) seperti terlihat pada Table 2. Vitrinit juga merupakan maseral utama pada batubara, tidak terpengaruh oleh pelapukan dan nilai yang diperoleh dapat dikorelasikan dengan standar peringkat batubara yang ada, termasuk ASTM (1977) seperti pada Tabel 3. 2.3. Terminologi Batubara Mutu Rendah Mutu (grade) adalah nilai keadaan sesuatu berdasarkan sifat fisik, kimia, dan mekanik. Khusus untuk batubara, mutu atau kualitas ditentukan dari dua faktor utama, yaitu jenis (type) dan peringkat (rank) batubara tersebut. Jenis batubara ditentukan dari komponen/komposisi batubara yang terdiri dari maseral (vitrinit, inertinit dan liptinit) dan mineral pembentuk seperti lempung, sulfida, silikat dan karbonat. Sedangkan peringkat batubara berhubungan erat dengan tingkat pematangan batubara (pembatubaraan/ coalification), yang dimulai dari gambut, lignit, subbituminus, bituminus, semiantrasit sampai antrasit seperti diilustrasikan pada Gambar 1. Jenis atau tipe batubara sangat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan pembentuk dan lingkungan pengendapan dimana batubara tersebut terdapat. Dalam perkembangannya, berlangsung proses

Tabel 2. Klasifikasi microlithotype batubara Grup Mono-Maseral* Microlithotype Vitrit Inertit Liptit KlaritVitrinertitDurit Komposisi Maseral Vitrinit >95% Inertinit >95% Liptinit >95% Vitrinit + Liptinit >95% Vitrinit + inertinit >95% Liptinit + inertinit >95% Vitrinit > Liptinit > Inertinit Inertinit > Vitrinit > Liptinit Liptinit > Vitrinit > Inertinit

Bi-Maseral*

Tri-Maseral*

Duroklarit Klarodurit Vitrinertoliptit

* Setiap maseral >5%

150

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 3. Hubungan antara reflektansi vitrinit dan peringkat batubara menurut klasifikasi ASTM (1977) Reflektansi Vitrinit, % < 0,37 0,37 0,47 0,48 0,57 0,58 0,71 0,72 1,10 1,11 1,50 1,51 2,05 2,06 3,00 >3,00 Peringkat Lignite Subbituminous High Volatile Bituminous C High Volatile Bituminous B High Volatile Bituminous A Medium Volatile Bituminous Low Volatile Bituminous Semi Anthracite Anthracite

sodium, nitrogen, faktor slagging dan faktor fouling. Besaran nilai setiap parameter tersebut di atas yang dipergunakan oleh konsumen tidaklah sama karena sangat tergantung kepada teknis operasional (rancangan peralatan), regulasi yang ada setempat dan keekonomian masing-masing penggunaaan batubara. Dengan demikian besaran nilai setiap parameter yang disajikan disini adalah nilai yang sangat menonjol (significant), seperti pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6 yang berdampak negatif terhadap nilai jual dan pemanfaatan dari batubara tersebut. Dari uraian di atas, maka dalam menilai mutu batubara harus ditinjau dari peringkat (nilai kalor), dan jenisnya (umumnya pengotor). Namun demikian, khusus untuk kajian ini faktor pengotor yang digunakan baru dua, yaitu abu, dan sulfur, sehingga definisi Batubara Mutu Rendah adalah

Tabel 4. Parameter dan batasan nilai untuk penentuan batubara mutu rendah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Parameter Nilai Kalor, kkal/kg (adb) Abu, % (adb) Sulfur, % (adb) HGI Titik Leleh Abu, C Sodium (Na2O), % dalam Abu Nitrogen, % Faktor Slagging Faktor Fouling Batasan Nilai < 5.100 >17 >2 <35 <1150 >4 >1,5 Sangat Tinggi Sangat Tinggi

Gambar 1. Pengertian mutu batubara

kimia dan biokimia. Sedangakan peringkat batubara dipengaruhi oleh salah satu atau gabungan dari temperatur, tekanan dan waktu. Selama perkembangannya, hanya terjadi proses fisika berupa pemadatan. Parameter yang umum dipergunakan untuk menentukan peringkat batubara antara lain adalah nilai kalor, kandungan air, karbon total dan reflektansi vitrinit. Secara umum parameter yang sering dipergunakan untuk menentukan mutu batubara adalah peringkat dan pengotor. Dalam tulisan ini parameter peringkat yang dipergunakan adalah nilai kalor. Sedangkan parameter pengotor antara lain adalah kandungan abu, sulfur, HGI, titik leleh abu (AFT),

Tabel 5. Faktor slagging dan fouling abu batubara bituminus (Wall, 1990) Faktor Slagging, Rs < 0,6 0,6 2,0 2,0 2,6 > 2,6 Tipe Slagging Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Faktor Fouling, Rf < 0,2 0,2 0,5 0,5 1,0 > 1,0 Tipe Fouling Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

151

Tabel 6. Faktor slagging dan fouling abu batubara lignitik (Wall, 1990) Faktor Slagging, Rs > 1340C 1340 - 1250C 1250 - 1150C < 1150C Tipe Slagging Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Faktor Fouling, Rf < 2,0 2,0 3,0 3,0 6,0 > 6,0 Tipe Fouling Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

batubara yang memiliki nilai kalor < 5.100 kkal/ kg, abu > 17%, dan sulfur >2% dalam air dried basis (adb). 2.4. Penanganan Batubara Peringkat Rendah Batubara peringkat rendah (lignit dan Subbituminus B dan C) mempunyai kecenderungan terhadap terjadinya swabakar (self combustion). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya swa bakar adalah sebagai berikut: Peringkat batubara Kadar air dalam batubara Komposisi petrografi batubara Ukuran butir Temperatur timbunan Konsentrasi oksigen yang kontak dengan batubara Kelembaban udara Peredaran/kecepatan aliran udara

batubara oleh kontraktor yang berlaku saat ini, yaitu sebesar 13,5% dari jumlah produksi, yang masih diberlakukan secara umum. a. Model Bagi Hasil Sesuai dengan isi perjanjian kontrak kerja antara Pemerintah dengan perusahaan kontraktor dengan menggunakan pola Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), besarnya persentase bagian Pemerintah telah ditetapkan sebagai berikut : G (h) = 13,5 % Besar pendapatan bagian Pemerintah (N) merupakan hasil perkalian persentasi bagian pemerintah (G(h)) dengan jumlah produksi (Q) dan harga batubara (P), seperti yang ditunjukkan pada persamaan berikut : N = G (h) x Q x P

3.

MODEL PENENTUAN TARIF BAGI HASIL UNTUK BATUBARA MUTU RENDAH

3.1. Penyusunan Model Bagi Hasil Faktor substansial yang perlu dicermati dalam menetapkan besaran persentasi bagi hasil adalah menentukan atau menghitung bagi hasil bagian pemerintah dari produksi batubara mutu rendah dengan mengacu kepada pembagian hasil keuntungan yang wajar (reasonable) antara pengusaha batubara (kontraktor) dan pemerintah, dan menjadikan batubara mutu rendah mempunyai nilai kompetitif dengan batubara mutu tinggi. Oleh karena itu model pemecahannya akan mengacu pada konsep ekonomi pemanfaatan sumber daya batubara yang telah diuraikan di atas. Disamping itu, sebagai sandaran perumusan adalah bagian pemerintah dari hasil pengusahaan

Selanjutnya untuk menentukan atau menghitung bagi hasil bagian pemerintah dari produksi batubara mutu rendah dengan mengacu kepada persentase bagi hasil dari pengusahaan batubara yang berlaku saat ini. Dengan perkataan lain persentase bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara mutu rendah sebagai fungsi dari faktor koreksi atau faktor bobot dikalikan dengan konstanta persentase bagi hasil dari batubara mutu tinggi (13,5%), yang secara matematis dirumuskan cukup sederhana, yaitu : G (l) = 13,5 % x F dengan : G(l) = Persentase bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara mutu rendah 13,5% = Persentase bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara (PKP2B) yang berlaku saat

152

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ini. = Faktor bobot atau faktor koreksi atau faktor insentif

parameter ekonomi terdiri dari biaya penanganan (handling cost). c. Model Koreksi Pengaruh Peringkat dan Pengotor Pada prinsipnya tingkat harga batubara di pasaran ditentukan oleh karakteristik atau mutu batubara, baik dari nilai kalor maupun tingkat pengotornya, yang meliputi abu, sulfur, natrium, HGI, titik leleh abu, sodium (Na2O), faktor slagging, dan faktor fouling. Adapun kandungan air dan reflektansi vitrinit sudah terwakili oleh nilai kalor, karena ada korelasi kuat diantara kedua parameter tersebut. Dengan demikian, harga akan terkoreksi oleh perbedaan nilai kalor (peringkat) dan oleh perbedaan tingkat pengotor. Berdasarkan pengertian tersebut, maka model persamaan koreksi harga dari unsur peringkat dan pengotor adalah sebagai berikut : Pengaruh Peringkat : CCV = c x [{CV(h) - CV(l)} / CV(l)] x P(h) Pengaruh Pengotor : Cli = Ki x {li(l) - li(h)} x P(h) dengan : CCV = Koreksi harga dari penurunan nilai kalor CIi = Koreksi harga dari perubahan kenaikan tingkat pengotor unsur i P = Harga batubara mutu tinggi CV(h) = Nilai kalor batubara mutu tinggi CV(l) = Nilai kalor batubara mutu rendah Ii(h) = Nilai unsur pengotor i pada batubara mutu tinggi Ii(l) = Nilai unsur pengotor i pada batubara mutu rendah c, ki = konstanta Pada model persamaan koreksi harga dari pengaruh peringkat, perumusan dalam tanda kurung besar merupakan koefisien elastisitas, yaitu proporsi relatif dari perbedaaan nilai kalor, yang menunjukkan perbedaan efisiensi energi antara batubara mutu tinggi dan batubara mutu rendah. Sedangkan pada persamaan koreksi harga dari pengaruh pengotor, perumusan dalam tanda kurung kurawal merupakan koefisien elastisitas, yakni selisih nilai pengotor (abu, sulfur, dan sodium) dari kedua jenis batubara tersebut. Dalam permodelan koreksi tersebut, simulasi koefisien elastisitas dari pengaruh perubahan nilai kalor dan perubahan tingkat pengotor merupakan

Oleh karena itu, langkah selanjutnya di dalam penghitungan untuk penetapan nilai bagi hasil bagian pemerintah dari PKP2B untuk batubara mutu rendah adalah merumuskan faktor bobot tersebut. b. Model Faktor Bobot Faktor bobot merupakan faktor/ variabel koreksi terhadap persentase bagi hasil bagian pemerintah yang berlaku saat ini (13,5%) untuk menghitung persentasi bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara mutu rendah. Dalam kajian ini, perumusan faktor bobot didefinisikan sebagai fungsi dari perbandingan (proporsi) relatif harga batubara mutu rendah dan batubara mutu tinggi. Secara matematik, faktor bobot diformulasikan sebagai berikut :

F=k

Pcor(l) P(h)

dengan : Pcor (l) = Harga batubara mutu rendah berdasarkan harga batubara mutu tinggi yang terkoreksi P(h) = Harga batubara mutu tinggi k = konstanta Yang menjadi permasalahan dari model faktor bobot tersebut adalah belum diketahuinya harga batubara mutu rendah yang sesuai keekonomiannya, karena pangsa pasarnya yang belum ada. Oleh karena itu, untuk penyusunan model harga batubara mutu rendah akan ditentukan melalui simulasi pemodelan berdasarkan konsep ekonomi pemanfaatan sumber daya batubara. Pemanfaatan sumber daya batubara sebagai komoditas energi dipengaruhi oleh mutunya dan pada proses pengalihannya menjadi komoditas, sebagaimana komoditas lain, akan dipengaruhi oleh biaya produksi dan harga. Penyederhanaan penilaian pada proses pemanfaatan sumber daya dilakukan dari faktorfaktor alam dan parameter ekonomi yang sangat kompleks. Faktor-faktor alam dimaksudkan adalah parameter karakteristik (mutu) batubara, yaitu parameter peringkat dan parameter pengotor. Sedangkan

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

153

dua dari empat parameter yang dipertimbangkan dalam optimalisasi perberbedaan atau delta harga batubara mutu tinggi dan mutu rendah. d. Model Handling Cost Pekerjaan eksploitasi pada pengusahaan batubara dapat dikelompokkan menjadi pekerjaan penambangan/penggalian dan pekerjaan penanganan (handling cost). Biaya pekerjaan penambangan (mining cost) pada pengusahaan batubara mutu tinggi dan mutu rendah akan sama, karena menggunakan jenis peralatan yang sama. Sedangkan biaya penanganan (handling cost) untuk mutu rendah relatif lebih besar dari pada batubara mutu tinggi, antara lain karena perbedaan densitas dan perbedaan nilai kalor.
CV(h) d(h) HC(l) = HC(h) d(l) CV(l)

produsen dan konsumen. Ada dua pendekatan dalam menentukan atau menghitung tingkat harga. Pertama, harga batubara mutu rendah dihitung berdasarkan penurunan harga mutu tinggi karena terkoreksi atau disesuaikan karena adanya penurunan peringkat dan gangguan tingkat pengotor termasuk handling cost relatif. Sebagai pembanding dihitung pula harga minimum sebagai fungsi dari biaya produksi (mining cost dan handling cost), bagi hasil, dan marginal profit. Secara matematis model persamaan harga batubara mutu rendah tersebut adalah : Harga Koreksi/Penyesuaian : Pcor(l) = P(h) - {HC(l) - HC(h)} - iCCli dengan : Pcor (l) = Harga batubara mutu rendah berdasarkan harga batubara mutu tinggi yang terkoreksi P(h) = Harga batubara mutu tinggi HC(l) = Biaya penanganan batubara mutu rendah HC(h) = Biaya penanganan batubara mutu tinggi = Koreksi harga dari peringkat atau CCIi pengotor Harga Minimum : Pmin(l) = (1+ )[{1 + B(l)} x {MC(l) + HC(h)}] dengan : Pmin (l) = Harga minimum batubara mutu rendah B(l) = Persentase bagi hasil bagian pemerintah dari batubara mutu rendah. P(h) = Harga batubara mutu tinggi MC(l) = Biaya penanganan batubara mutu rendah MC(h) = Biaya penanganan batubara mutu tinggi = Persentase profit margin 3.2. Aplikasi Model untuk Penetapan Bagi Hasil Permodelan bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara mutu rendah dalam pola Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah dirumuskan di atas, dimaksudkan untuk menentukan besaran persentase bagi hasil bagian pemerintah berdasarkan pengaruh perbedaan peringkat (nilai kalor), dan pengotor (sulfur, abu, natrium dan

Hubungan fungsional antara biaya penangan batubara mutu rendah dengan mutu tinggi dihubungkan dengan koefisien elastisitas dari simulasi perbandingan densitas dan nilai kalor, sebagai kovensasi dari adanya perbedaan volume untuk energi yang sama. Secara matematis, model persamaannya adalah: dengan :

HC (l ) = Biaya penanganan (handling cost)


batubara mutu rendah

HC (h) = Biaya penanganan (handling cost)


batubara mutu tinggi

d (l ) d (h )

= Densitas batubara mutu rendah = Densitas batubara mutu tinggi

CV (l ) = Nilai kalor batubara mutu rendah CV (h ) = Nilai kalor batubara mutu tinggi
Semakin besar perbedaan densitas demikian pula perbedaan nilai kalor, maka akan semakin signifikan kenaikan biaya handling cost batubara mutu rendah dibanding handling cost batubara tinggi. e. Model Harga Tingkat harga batubara secara ekonomi ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria dari sisi produsen dan konsumen atau ditentukan dengan mempertimbangkan manfaat yang diterima

154

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

sebagainya) serta biaya produksi (handling cost) antara batubara mutu rendah dan mutu tinggi. Untuk mengaplikasikan model dalam rangka menentukan besaran bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara mutu rendah diperlukan batasan-batasan (asumsi) dan simulasi variasi parameter peringkat (nilai kalor) dan parameter pengotor (abu, sulpur, natrium, dan lainnya) sebagai berikut : a) Batasan : a. Batubara mutu rendah sebagai obyek yang akan ditimbang, sedangkan batubara mutu tinggi sebagai obyek penimbangnya. b. Setiap penurunan nilai kalor dari CV(h) ke CV(l) diasumsikan harga terkoreksi sebesar [{CV(h)-CV(l)}/CV(h)] x P(h). c. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai ash (abu) diasumsikan harga terkoreksi sebesar 0,005 x P(t). d. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai sulfur diasumsikan harga terkoreksi sebesar 0,05 x P(t). e. Setiap kenaikan satu satuan (1%) nilai natrium diasumsikan harga terkoreksi sebesar 0,025 x P(t). f. Perbandingan densitas batubara mutu tingggi dan mutu rendah 1,3 : 1,15. g. Persentase profit margin dari pengusahaan batubara mutu rendah diasumsikan 10%. h. Perhitungan bagi hasil batubara mutu rendah dibatasi oleh harga batubara mutu rendah yang minimum. b) Simulasi Variasi : a. Simulasi dengan menggunakan dua variasi parameter, yaitu nilai kalor dan salah satu paramater pengotor, b. Simulasi dengan menggunakan tiga variasi parameter, yaitu nilai kalor dan dua parameter pengotor, c. Simulasi dengan menggunakan empat variasi parameter, yaitu nilai kalor dan tiga parameter pengotor, d. Simulasi dengan menggunakan parameter batubara lignit. Hasil dari proses aplikasi model dapat dilihat pada Tabel 7. Dari hasil simulasi tersebut dapat diulas sebagai berikut : a. Parameter batubara mutu tinggi yang dijadikan sebagai standar penimbang adalah : nilai kalor (caloric value) = 6.100 kkal/kg

abu (ash) sulfur sodium (Na2O) Mining Cost Handling Cost Harga

= 4% = 1% = 1,2 % = 25 USD /ton = 2,00 USD /ton = 40 USD /ton.

b. Untuk variasi dua parameter batubara mutu rendah, yaitu parameter nilai kalor = 5.100 kkal/kg dan salah satu parameter pengotor yang diwakili oleh abu = 17 %, sulfur = 2 %, atau sodium = 4 %, diperoleh handling cost 2,7 USD, dan rata-rata harga batubara mutu rendah yang masih kompetitif 26,4 USD atau delta harga dengan batubara mutu tinggi minimum 8,6 USD. Adapun besaran bagi hasil bagian pemerintah berkisar antara 10,07 % 10,34 % atau rata-rata 10,18 %. Adapun untuk variasi tiga dan empat parameter batubara mutu rendah serta untuk batubara lignit, masing masing rata-rata besaran bagi hasil bagian pemerintah adalah 9,35 %; 8,52 %; dan 7,33 %. c. Semakin besar (tinggi) harga batubara mutu tinggi maka semakin besar pula harga batubara mutu rendah, namun perbedaannya (delta) semakin besar secara proporsional (agar dapat kompetitif). Hal ini dapat dilihat pada gambar 2. Adapun dari variasi naik-turunnya harga batubara tersebut berdampak tidak signifikan terhadap besaran perhitungan bagi hasil bagian pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari grafik sensitifitas harga seperti contoh untuk batubara lignit pada Gambar 3. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh besaran nilai bagi hasil yang diperoleh terhadap kelayakan usaha penambangan batubara mutu rendah, maka akan dicoba digunakan di dalam perhitungan kelayakan pengusahaan batubara mutu rendah, dengan memasukkan terhadap aliran kas (cah flow) dari laporan studi kelayakan penambangan batubara. Perusahaan yang akan dijadikan contoh di dalam proses simulasi ada 2 perusahaan yang berlokasi di Kalimantan yang berencana mengembangkan ke penambangan batubara mutu rendah. Karena data yang akan digunakan di dalam perhitungan ini merupakan data keuangan perusahaan yang akan dijadikan contoh di dalam proses penghitungan, maka untuk menjaga kerahasiaan, nama perusahaan tidak dicantumkan atau diganti dengan nama perusahaan A, dan perusahaan B.

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

155

40.00

35.00

HARGA BATUBARA MUTU RENDAH (USD)

30.00

25.00

Dua Parameter Tiga Parameter Empat Parameter

20.00

Lignit

15.00

10.00

5.00 20 25 30 35 40 45 50 55
HARGA BATUBARA MUTU TINGGI (USD)

Gambar 2. Hubungan harga batubara mutu rendah dan mutu tinggi

7.50

7.45

7.40
BAG I HS I L (% )

7.35
(%)

7.30

7.25

7.20

7.15 12 14 16 18 20
HARGA (USD)

22

24

26

28

30

Gambar 3. Grafik sensitivitas harga terhadap persentase bagi hasil untuk batubara lignit

156

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 7. Simulasi bagi hasil bagian pemerintah dari batubara mutu rendah
Variasi Peringkat dan Pengotor Dua Parameter CV+Ash CV+S CV+Na2O CV+Ash+S CV+Ash+Na2O CV+S+Na2O Tiga Parameter Empat Parameter CV+Ash+S+Na2O Lignit

Uraian

Mutu Tinggi (Penimbang) Nilai Kalor (Kkal/kg) Abu (%) Sulfur (%) Sodium (Na2O) (%) Mining Cost (US$) Handling Cost (US$) Harga (A) (US$) 5100.00 5100.00 17.00 4.00 1.00 2.00 1.20 1.20 12.58 12.58 2.70 2.70 8.01 7.49 26.28 26.81 8.72 8.19 18.52 0.75 10.14 18.55 0.77 10.34 10.18 18.51 0.75 10.07 18.40 0.70 9.46 9.77 9.77 9,14 18.36 0.68 9.19 9.35 5100.00 4.00 1.00 4.00 12.58 2.70 8.19 26.11 8.89 5100.00 17.00 2.00 1.20 12.58 2.70 9.76 24.53 10.47 5100.00 17.00 1.00 4.00 12.58 2.70 10.46 23.83 11.17 5100.00 4.00 2.00 4.00 12.58 2.70 9.94 24.36 10.64 18.39 0.70 9.40

6100.00 4.00 1.00 1.20 12.58 2.00 35.00 5100.00 17.00 2.00 4.00 12.58 2.70 12.21 22.08 12.92 4612.00 17.00 2.00 4.00 12.58 2.99 15.01 19.00 16.00 18.38 0.54 7.33 7.33 7.33 7.33

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

Mutu Rendah (Ditimbang) Nilai Kalor (Kkal/kg) Ash (%) Sulfur (%) Sodium (Na2O) (%) Mining Cost (US$) Handling Cost (US$) Koreksi Harga (US$) Harga Terkoreksi (US$) Selisih (delta) harga (US$)

Harga Minimum (B) (US$) Faktor Insentif (Bobot) Bagian Pemerintah (%)

RATA-RATA

18.24 0.63 8.52 8.52 8.52 7.92

Keterangan : CV = Nilai Kalor (Caloric Value), Ash = Abu, S = Sulfur, Na2O = Sodium

157

Tabel 8. Data perusahaan dan nilai indikator keuntungan penambangan batubara mutu rendah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Uraian Nilai Kalori Jumlah Cadangan Jarak Tambang ke Terminal Kapasitas Produksi Stripping Ratio Umur Tambang Biaya Investasi Biaya Produksi Harga Jual Nilai Bagi Hasil Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Satuan A Kkal/kg Juta ton Km Juta ton/thn tahun Juta US$ US$/ton US$/ton % Juta US$ % 5.000 42,2 100,0 2,5 1 : 2,4 18 48,66 13,47 21,58 13,5 15,61 10,66 Perusahaan B 4.838 48,0 100 2,5 1 : 7,2 17 4,87 16,30 20,00 C 4.800 51,7 1.0 1:5 17 44.7 24.82 26.0 9.14 15.7 39.62

9,14 13,5 29,02 - 8,47 18,83 <0

9,14 13.5 6,31 (647.9) 47,86 10.84

Bagi hasil untuk Pemerintah dalam penghitungan ini sesuai dengan perjanjian kontrak antara Pemerintah dan perusahaan untuk batubara secara umum, yang termasuk di dalam biaya operasi/produksi yang ditetapkan sebagai patokan dasar, yaitu sebesar 13,5% dan nilai bagi hasil berdasarkan perhitungan yang baru. Untuk selanjutnya akan dihitung nilai indikator keuntungan dari kelayakan finansial penambangan batubara mutu rendah masing-masing perusahaan Indikator keuntungan yang dihitung di dalam proses simulasi ini adalah : a. Net Present Value (NPV). b. Internal Rate of Return (IRR). Dengan nilai MARR (Minimal Atractive Rate of Return) yang digunakan 10%, maka diperoleh nilai indikator keuntungan untuk perusahaan A dan B sebagai berikut :

dikalikan persentase bagi hasil yang secara matematis ditulis G (l) = 13,5 % x F. Faktor bobot (F) didefinisikan sebagai fungsi dari perbandingan (proporsi) harga batubara mutu rendah dan batubara mutu tinggi. Karena harga batubara mutu rendah belum ada, maka dirumuskan melalui simulasi pemodelan berdasarkan konsep ekonomi pemanfaatan sumber daya batubara, yaitu sebagai fungsi dari parameter batubara (peringkat dan pengotor) dan parameter ekonomi termasuk biaya penanganan (handling cost). 3. Dari hasil simulasi model yang dibuat berdasarkan kombinasi nilai kalor dan pengotor (abu, sulfur, Na2O) diperoleh nilai bagi hasil untuk batubara mutu rendah sebagai berikut : a) Untuk dua parameter : kalori abu : 10,14% kalori sulfur : 10,34% kalori natrium : 10,07% b) Untuk tiga parameter : kalori abu sulfur : 9,46% kalori abu natrium : 9,19% Kalori sulfur natrium : 9,40% c) Untuk empat parameter (kalori abu sulfur natrium) : 8,52% d) Untuk Lignit nilai bagi hasil : 7,33%.

4. 4.1

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Batubara Mutu Rendah adalah batubara yang memiliki peringkat menengah dan tinggi dengan kandungan pengotor tinggi, termasuk batubara peringkat rendah (lignit). 2. Model bagi hasil bagian pemerintah dari pengusahaan batubara (PKP2B) mutu rendah , dirumuskan sebagai fungsi dari faktor bobot

158

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

4.2. Saran 1. Karena nilai bagi hasil untuk memproduksi batubara mutu rendah belum ada ketetapannya, sedangkan potensi cadangan batubara sebagian besar bermutu menengah ke bawah, maka untuk mengoptimalkan pengusahaan dan pemanfaatan batubara mutu rendah sebagai sumber energi, khususnya untuk memasok PLTU yang akan dibangun, maka perlu ditetapkan tarif nilai bagi hasil untuk pengusahaan (PKP2B) batubara mutu rendah agar harganya bisa kompetitif dengan batubara mutu baik. 2. Untuk mempermudah penerapan nilai bagi hasil untuk produksi batubara mutu rendah, maka berdasarkan nilai kalor dan jumlah pengotornya disarankan untuk membaginya menjadi : a) Tiga nilai bagi hasil, yaitu : d 3 parameter nilai bagi hasil : 10,0% 4 parameter nilai bagi hasil : 8,5% Lignit : 7,5% b) Dua nilai bagi hasil, yaitu : d 3 parameter nilai bagi hasil : 9,5% 4 parameter dan lignit : 7,5%

DAFTAR PUSTAKA American Society For Testing and Material (ASTM), 1993. Standard classification of coals by rank D 388 92a. American Society For Testing and Material. Dasgupta, P.S. dan Heal, G.M, 1979, Economic Theory and Exhaustible Resources. James Nisbet & Co. Ltd. And Cambridge University Press. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2010 - 2025, Jakarta, 2009. Direktorat Pengusahaan Mineral, Batubara dan Panas Bumi, 2008, Indonesia Mineral and Coal Statistic, Jakarta, 2008. Directorate of Mineral Resources Inventory, 2008. Indonesia Coal : Resources, reserves and calorific value. Directorate of Mineral Resources Inventory, Directorate General of Geology and Mineral Resources, Bandung. Du Mairy, 2004, Matematika Terapan untuk Bisnis dan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2004.

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah, Rochman Saefudin, dkk.

159

MAKALAH DIPOSTERKAN

ANALISIS POTENSI LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA PADA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI PULAU JAWA

Triswan Suseno dan Tuti Hernawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : triswan@tekmira.esdm.go.id

SARI Jumlah industri kecil dan menengah di Pulau Jawa yang menggunakan batubara pada tahun 2007 tercatat sudah mencapai 417 perusahaan. Industri tekstil merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara, yaitu 75,78%, disusul kemudian industri kertas sebesar 8,63%, dan industri lainnya 15,59%. Terdapat sekitar 226 perusahaan di Provinsi Jawa Barat yang telah menggunakan batubara, diikuti Jawa Tengah 115 perusahaan, Banten 52 perusahaan, dan Jawa Timur 24 perusahaan. Proses pembakaran batubara pada industri ternyata menghasilkan limbah yang disebut dengan abu dasar dan abu terbang. Besarnya limbah yang dihasilkan dari pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh jumlah batubara yang digunakan oleh setiap perusahaan. Untuk mengetahui jumlah limbah yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan di Pulau Jawa ini, diambil contoh untuk diamati sebanyak 94 perusahaan pemakai batubara di Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan untuk memperkirakan jumlah limbah yang dihasilkan adalah metode analisis regresi. Selama tahun 2007, ke 417 perusahaan tersebut telah menggunakan batubara sebanyak 5,99 juta ton, masing-masing digunakan oleh Jawa Barat 3,07 juta ton, Banten 1,36 juta ton, Jawa Timur 1,09 juta ton, dan Jawa Tengah sebesar 0,47 juta ton. Dari pembakaran batubara sebanyak 5,99 juta ton selama satu tahun, ternyata telah dihasilkan limbah abu dasar sebanyak 251.336 ton dan abu terbang 82.877 ton. Semakin banyak batubara yang dibakar, semakin banyak pula limbah yang akan dihasilkan. Kata kunci : limbah, abu dasar, abu terbang

ABSTRACT Amount middle and small industry in Java have to use coal year 2007 is 417 company, textile industry is the most used coal is 75.78%, paper industry is 8.63% and others is 15.59%. There are about 226 companies at West Java Province is used coal, 115 companies at Central Java, 52 companie at Banten and 24 companies at East Java. Coal burning processing at industry to produced wasted there are bottom ash and fly ash. Amount of wasted produced by companies influenced by amount of coal to used. To be found out amount of produced wasted by companies in Java, have to sampling as much as 94 companies are coal user in Regency of Bandung. To estimated of wasted is regression analysis method. In 2007, 417 companies consumption of coal amount 5,99 million ton, each consumpted by West Java amount 3.07 million

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati

161

ton, Banten 1.36 million ton, East Java 1.09 million ton and Cenral Java 0.47 million ton.From coal burning amount 5.99 million ton in a year, produced of bottom ash and fly ash each are 251,366 ton and 82,877 ton. More and more coal is burned is more and more produce wasted. Keywords : wasted, bottom ash, fly ash

1.

PENDAHULUAN ash) dan abu dasar (bottom ash). Peningkatan konsumsi batubara ini cenderung akan mempengaruhi peningkatan jumlah limbah batubara. Untuk mengetahui sejauhmana pemakaian batubara tersebut mempengaruhi besarnya limbah yang dihasilkan tersebut digunakan metode analisis regresi.

Imbauan pemerintah agar masyarakat industri menggunakan energi alternatif seperti batubara ternyata berdampak posistif terhadap kelangsungan aktifitas industri dalam negeri apalagi dengan berkurangnya subsidi bahan bakar minyak untuk industri, sehingga banyak industri yang beralih penggunaan bahan bakar minyaknya ke batubara. Seiring dengan sudah semakin banyaknya industri tekstil yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam kegiatan produksinya, mengakibatkan produk limbah batubara dari setiap perusahaan pun semakin meningkat. Selain menyediakan lokasi tempat penyimpanan batubara untuk beberapa hari ke depan, perusahaan juga harus mencari tempat pembuangan limbah batubara. Sebagian perusahaan yang masih memiliki lahan, untuk sementara waktu mungkin hal ini dapat diatasi, namun bagi perusahaan yang memiliki lahan terbatas masalah tempat pembuangan limbah batubara menjadi salah satu kendala. Dalam jangka panjang, jelas masalah ini sangat mengkhawatirkan mengingat limbah batubara ini akan terus mengalami peningkatan sehingga harus ada penanganan khusus terhadap masalah ini. Salah satu kemungkinan yang timbul adalah masalah sosial akibat adanya isu lingkungan yang mengklasifikasikan batubara sebagai limbah bahan berbau, berbahaya, dan beracun (B3) sehingga masyarakat akan memprotes keberadaan industri pengguna batubara yang akhirnya dapat mengganggu kegiatan produksi dan perekonomian nasional. Dalam situasi seperti ini, maka memahami perubahan pola konsumsi energi yang dilakukan oleh masyarakat industri adalah suatu keharusan dan menjadi hal penting bagi pemerintah sebagai pembuat dan pengendali kebijakan dalam mendukung kelancaran roda perekonomian, khususnya dalam bidang energi. Akibat adanya pola perubahan konsumsi energi tersebut, akan terjadi peningkatan penggunaan batubara pada industri kecil dan menengah (IKM) sekaligus akan menimbulkan permasalahan baru, yaitu limbah batubara yang disebut sebagai abu terbang (fly

2.

METODOLOGI

2.1. Data Data yang digunakan untuk mendukung analisis ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai instansi terkait, antara lain Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, dan Dinas Lingkungan Hidup. Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung ke beberapa perusahaan IKM secara acak. 2.2. Model Analisis Tingkat produksi limbah hasil pembakaran batubara sangat dipengaruhi oleh pemakaian batubara yang digunakan oleh IKM, sehingga hubungan ini dapat dinyatakan dalam bentuk model regresi sederhana (Gaspersz, 1990) sebagai berikut: ................................................. (1) ................................................. (2) ............................... (3) Dalam hal ini, a = koefisien perpotongan b = koefisien regresi y = variabel limbah hasil pembakaran batubara x = variabel jumlah pemakaian batubara setiap IKM Tampak jelas bahwa perkembangan kebutuhan batubara tidak terlepas dari perkembangan industri di suatu daerah, sehingga ada korelasi yang sangat

162

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

erat antara tren perkembangan industri dengan perubahan kebutuhan batubara dan limbahnya.

3.

KONSUMSI BATUBARA DAN POTENSI LIMBAH BATUBARA DI PULAU JAWA

Rencana pemerintah mengurangi pasokan dan penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini menjadi beban yang sangat berat ditanggung oleh pemerintah memaksa pelaku industri untuk mengubah pola penggunaan bahan bakar. Target pemerintah sampai dengan tahun 2025 mengurangi penggunaan BBM hingga dua puluh persen, memaksa pemerintah untuk memacu penggunaan batubara oleh industri sehingga kontribusinya mencapai 32,7% terhadap pemanfaatan bauran energi nasional mengingat cadangan batubara di Indonesia cukup besar. Himbauan pemerintah kepada masyarakat industri untuk mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak ke batubara dan adanya larangan pemerintah agar industri baru menggunakan batubara ternyata berdampak sangat signifikan terhadap kenaikan konsumsi batubara di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Bandung tahun 2008, penggunaan batubara oleh IKM di beberapa wilayah seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur ternyata pesat sekali. Di Provinsi Banten saja jumlah IKM yang sudah mengunakan bahan bakar batubara sudah mencapai 52 perusahaan. Padahal pada tahun 2005 baru tercatat sebanyak 15 perusahaan saja, berarti dalam kurun waktu tersebut sudah mengalami kenaikan sekitar 250%. Industri pemakai batubara tersebut tersebar di Kota Cilegon (9 perusahaan), Kabupaten Serang (11 perusahaan), Kabupaten Tangerang (29 perusahaan), dan Kota Tangerang (3 perusahaan). Jumlah pemakaian batubara sampai tahun 2008 diperkirakan sudah mencapai 1.362.730 ton, Kabupaten Serang merupakan pemakai batubara batubara terbanyak yaitu 639.250 ton, disusul oleh Kabupaten Tangerang (416.980 ton), Kota Tangerang (191.000 ton), dan kota Cilegon (115.500 ton). Jumlah IKM pemakai batubara di Provinsi Jawa Barat selalu mengalami kenaikan, dari 193 perusahaan pada tahun 2006 (Ijang Suherman, 2007. Kajian Batubara Nasional, Puslitbang

Tekmira, Bandung) menjadi 226 pada tahun 2007 perusahaan (API, Disnaker, BPLH Jawa Barat, 2008), berarti naik sebesar 9,71%. Jenis tekstil dan produk tekstil merupakan perusahaan yang paling banyak menggunakan batubara (85,84%), lainnya adalah perusahaan sepatu, minyak sawit, percetakan, ban, karet, makanan, stereofoam, briket batubara, dan bijih plastik. Di Provinsi Jawa Barat, berdasarkan hasil penelitian ternyata bahwa IKM yang telah beralih menggunakan batubara sudah mencapai 226 perusahaan. Informasi ini diperoleh dari berbagai sumber, seperti Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, dan lainlain. Sebanyak 118 perusahaan (atau 52,21%) di antaranya berada di Kabupaten Bandung, disusul Kota Cimahi sebanyak 47 perusahaan (20,80%), sedangkan sisanya tersebar di berbagai lokasi di Jawa Barat. Konsumsi batubara di daerah ini pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 3.069.040 ton, Kabupaten Bandung merupakan konsumen batubara terbesar dengan jumlah pemakaian mencapai 44,06%, disusul kemudian oleh Kota Cimahi, Purwakarta dan Karawang masing-masing 16,23%, 14,21% dan 12,50%, sisanya digunakan oleh IKM di daerah lainnya. Perusahaan yang paling banyak menggunakan batubara adalah industri tekstil, jumlahnya mencapai 2,57 juta ton untuk 199 perusahaan tekstil. Di Provinsi Jawa Tengah, tercatat ada 115 perusahaan, 98 di antaranya adalah perusahaan tekstil, sisanya adalah industri kertas, pengecoran logam, kapur, briket, makanan, minuman, dan obat-obatan. Di antara jumlah IKM pemakai batubara, industri tekstil ini pulalah yang paling banyak menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Pada tahun 2007 saja penggunaannya mencapai 325.008 ton, berarti hampir 69,83% dari jumlah keseluruhan penggunaan batubara di Jawa Tengah (465.396 ton). Konsentrasi perusahaan pemakai batubara paling banyak terletak di Kabupaten Pekalongan (21 perusahaan) dan Karanganyar (16 perusahaan), sedangkan sisanya tersebar di Batang, Kendal, Klaten, Kudus, Pati, Semarang, Sragen, Sukoharjo, Surakarta, Ungaran, dan Grobogan.

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati

163

Berdasarkan hasil survei di Jawa Timur, diperoleh informasi bahwa tercatat sebanyak 24 perusahaan yang telah menggunakan bahan bakar batubara. Perusahaan kertas (18 perusahaan) adalah pemakai batubara terbesar di wilayah ini, disusul kemudian oleh perusahaan tekstil (5 perusahaan) dan briket(1 perusahaan). Jumlah pemakaian batubara pada tahun 2007 tercatat 1.088.100 ton, 95,45% di antaranya digunakan oleh perusahaan kertas, perusahaan tekstil sebesar 4,14%, dan sisanya oleh perusahaan briket. Perusahaan kertas yang paling banyak menggunakan batubara adalah PT. Tjiwi Kimia yang berlokasi di pinggir jalan raya Mojokerto, dengan pemakaian pertahun mencapai 720.000 ton.

konsumsi. 75,20% dari limbah tersebut adalah abu dasar sedangkan sisanya berupa abu terbang. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang memberikan kontribusi limbah terbesar, yaitu 51,21%, disusul kemudian oleh Banten (22,77%), Jawa Timur (18,20%), dan Jawa Tengah (7,82%). Dari sisi jenis industri, perusahaan tekstil menjadi penyumbang terbesar limbah hasil pembakaran batubara, jumlahnya mencapai 186.100 ton (atau 55,68%) disusul oleh industri kertas 35,13% dan industri lainnya 9,19%. Di tengah harga BBM yang semakin melambung, penggunaan batubara merupakan salah satu alternatif yang sangat membantu dalam menekan biaya penggunaan bahan bakar yang memang jauh lebih efisien dan ekonomis. Di sisi lain, semakin maraknya penggunaan batubara pada IKM memunculkan persoalan baru, yaitu limbah hasil pembakaran batubara. Selain kesulitan dalam menyediakan tempat penyimpanan batubara, mereka mengalami kesulitan pula dalam membuang limbah batubara sehingga mereka membuangnya di sembarang tempat dengan tidak memperhatikan dampak dari pembuangan tersebut. Pembuangan dilakukan secara diamdiam tanpa melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah pun mengalami kesulitan dalam mengawasinya. Apabila hal ini terjadi terus menerus dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru khususnya yang berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan sehingga dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Kualitas limbah batubara pasca pembakaran sangat dipengaruhi oleh jenis batubara dan sistem pembakarannya. Biasanya parameter yang digunakan dalam memilih batubara adalah kalori, kadar kelembaban, kandungan zat terbang, kadar abu, kadar karbon, kadar sulfur, ukuran, dan tingkat ketergerusan, di samping parameter lain seperti analisis unsur yang terdapat dalam abu (SiO2, Al2O3, P2O5, Fe2O3, dan lain lain), analisis komposisi sulfur (pyritic sulfur, sulfate sulfur, organic sulfur), dan titik leleh abu (ash fusion temperature) (Raharjo, 2006). Hal ini sangat penting, karena karakteristik mesin atau peralatan yang digunakan dalam kegiatan produksi berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga pemilihan kualitas batubara yang sesuai akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap daya tahan mesin agar mesin berfungsi secara optimal. Banyak produk limbah batubara dari beberapa perusahaan tidak bisa digunakan sebagai bahan batako, di

4.

POTENSI LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA OLEH IKM DI PULAU JAWA

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa jumlah limbah hasil pembakaran batubara sangat dipengaruhi oleh variabel pemakaian batubara di setiap IKM, sehingga variabel ini merupakan parameter potensial yang sangat mempengaruhi produksi abu dasar dan abu terbang. Dari jumlah IKM sebanyak 417 perusahaan, 94 perusahaan di antaranya menjadi contoh (sample) untuk dicatat jumlah abu dasar dan abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara di setiap perusahaan tersebut. Diketahui bahwa setiap hari ke 94 perusahaan tersebut menggunakan batubara tidak kurang dari 2.419 ton, limbah yang dihasilkan dari pembakaran batubara tersebut sekitar 103.297 kg abu dasar dan 53.430 kg abu terbang (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, 2006 dan 2007). Berdasarkan data jumlah pamakaian batubara, limbah abu dasar dan abu terbang dari 94 perusahaan tersebut, ternyata menghasilkan model regresi sebagai berikut : 1) Model regresi abu dasar : y = 23,75 + 41,98 x 2) Model regresi abu terbang : y = 173,39 + 13,72 x Kedua model di atas digunakan untuk mengestimasi potensi limbah yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara oleh IKM di Pulau Jawa, hasilnya dapat dilihat dalam Tabel 2. Jumlah batubara yang digunakan IKM di Pulau Jawa sebesar 5.985.266 ton (2007), ternyata menghasilkan limbah hasil pembakaran batubara sebanyak 334.213 ton atau 5,58% dari jumlah

164

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 1. Jumlah perusahaan pemakai dan konsumsi batubara oleh ikm di Pulau Jawa tahun 2007 Jumlah Perusahaan (Buah) Dan Konsumsi Batubara (Ton) Kertas Konsumsi Batubara 399.440 2.566.800 325.008 45.000 3.336.248 36 2.102.800 65 546.218 5 8 5 18 620.440 370.080 73.680 1.038.600 33 19 12 1 342.850 132.160 66.708 4.500 52 226 115 24 417 Banyaknya Perusahaan Konsumsi Batubara Banyaknya Perusahaan Konsumsi Batubara Banyaknya Perusahaan Lainnya Jumlah Konsumsi Batubara 1.362.768 3.069.067 465.413 1.088.119 5.985.367

Tekstil

Provinsi

Banyaknya Perusahaan

Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur

14 199 98 5

Jumlah

316

Sumber : -

Dinas Tenaga Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (2008) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung ( 2007) Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat (2007) Hasil survei Tim Pola Distribusi Batubara Tahun 2008, Puslitbang Tekmira Bandung

Tabel 2. Estimasi jumlah abu dasar (ad) dan abu terbang (at)hasil pembakaran batubara di Pulau Jawa menurut jenis ikm (ton) Kertas Abu Dasar 26.052 15.543 3.101 43.604 88.300 8.576 5.141 1.074 14.313 29.104 Abu Terbang Lainnya Abu Dasar 14.400 5.556 2.809 198 22.962 Abu Terbang 4.767 1.877 979 125 7.747 Jumlah Abu Dasar 57.227 128.849 19.561 45.699 251.336 Abu Terbang 18.887 42.297 6.575 15.119 82.877

Provinsi 5.544 35.280 4.522 681 46.026

Tekstil

Abu Dasar

Abu Terbang

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati

Banten Jabar Jateng Jatim

16.775 107.750 13.651 1.898

Jumlah

140.074

Berdasarkan model regresi :

y(ad) =23,7477+41,97 X , koefisien korelasi (r) = 93,0%. y(at) =173,39+13,72 X, koefisien korelasi (r) = 48,4%.

165

antaranya banyak ditemukan pada mesin boiler pembakar batubara di sejumlah perusahaan tekstil di wilayah Kabupaten Bandung. Faktor penyebabnya antara lain karena pembakaran yang tidak sempurna, kualitas batubara yang selalu berubah dan tidak sesuai dengan spesifikasi boiler. Oleh karena itu, harus ada suatu bimbingan teknis yang dilakukan oleh para aparat kepada para pekerja di pabrik yang menggunakan batubara. Dalam menangani limbah hasil pembakaran batubara setiap perusahaan melakukannya dengan cara yang berbeda, tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing perusahaan. Bagi sebagian perusahaan yang masih memiliki lahan luas, untuk sementara limbahnya ditimbun di tempat pembuangan sementara (TPS) di sekitar lahan milik perusahaan tersebut. Namun tidak semua perusahaan memiliki lahan yang luas, perusahaan kecil biasanya menggunakan jasa pemasok batubara atau pihak ketiga untuk mengangkut limbah tersebut, sehingga tidak diketahui kemana limbah tersebut dibuang. Berdasarkan informasi yang diperoleh, dari 94 perusahaan pemakai batubara hanya 26,04% saja telah memiliki TPS yang berizin, 26,04% memiliki TPS tapi tak berizin dan 40,81% tidak/belum memiliki TPS sama sekali (Dinas Lingkungan Hidup, 2007). Seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan batubara terus mengalami peningkatan sehingga berkorelasi erat dengan bertambahnya limbah, sementara TPS yang ada sudah tidak mampu untuk menampungnya. Oleh karena itu, harus ada solusi untuk menangani limbah tersebut. Sudah banyak lembaga/instansi yang peduli terhadap limbah ini dan telah mencoba berbagai teknik untuk mengolah limbah ini menjadi bermanfaat. Padahal berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi termasuk Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral di Bandung, ternyata limbah hasil pembakaran batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan paving blok atau batubata. Namun pemanfaatan produk dari limbah tersebut ternyata masih terkendala oleh Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 jo PP 85 Tahun 1999 yang menyatakan limbah tersebut termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), sehingga produknya tidak dapat digunakan secara bebas sebelum produk tersebut benar-benar dinyatakan bebas dari limbah B3 atas izin Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Pihak KLH

sendiri dalam mengeluarkan izin pengolahan dan penggunaan produk limbah batubara sangat selektif dan berhati-hati sekali mengingat tidak semua perusahaan mampu mengelola limbah batubara dengan baik dan benar karena ada dugaan yang menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan dalam melakukan pembakaran batubara dilakukan tidak secara sempurna. Sehingga di dalam limbah hasil pembakaran batubara masih banyak mengandung batubara walaupun kalorinya rendah. Perusahaan lain yang telah melakukan pemanfaatan dan pengelolaan limbah dengan baik sesuai dengan prosedur yang berlaku adalah perusahaan tekstil PT. Daliatex di Kabupaten Bandung yang telah mengolah limbah batubara menjadi batako. Namun produknya hanya boleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan intern, tidak atau belum boleh dijual ke masyarakat umum.

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) Selama batubara masih menjadi pilihan utama sebagai pengganti BBM, maka diprediksi akan semakin banyak IKM yang akan menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk kegiatan produksinya. 2) Terdapat korelasi yang sangat signifikan antara penggunaan batubara dengan limbahnya. Dengan kata lain, semakin banyak batubara yang digunakan akan semakin banyak pula abu dasar dan abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara setiap IKM. 3) Hanya 26,04% saja IKM yang memiliki TPS berizin, akibat keterbatasan lahan untuk menyimpan sementara hasil pembakaran batubara, mereka memanfaatkan pihak ketiga atau pemasok batubara untuk mengangkutnya. Timbul kekhawatiran limbah tersebut dibuang di sembarang tempat. 4) Kualitas batubara dari pemasok dan teknik pembakaran batubara yang tidak sempurna menjadikan limbah ini dinyatakan sebagai limbah B3.

166

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

5.2. Saran Solusi permasalahan limbah batubara : Mencari dan menentukan lokasi tempat pembuangan limbah batubara yang benar-benar memenuhi persyaratan teknis dan nonteknis, seperti luas, letak, keamanan, dan lain-lain. Pemerintah dapat memberikan izin kepada perusahaan yang benar-benar mampu mengelola (mengumpulkan dan mengolah, dan memanfaatkan) limbah batubara secara baik dan benar. Memberikan izin memasarkan/menggunakan barang yang dibuat dari hasil pengolahan dan pemanfaatan limbah batubara. Setiap perusahaan pengguna batubara harus mampu melakukan pembakaran batubara secara benar (sempurna) sehingga tidak ada batubara ke dalam limbahnya. Melakukan pengawasan yang ketat dan berkesinambungan kepada perusahaan yang diberi kewenangan mengelola dan memanfaatkan limbah batubara. Harus ada satu atau dua perusahaan yang diberi kewenangan khusus menangani limbah batubara, mulai dari menampung, mengolah (dengan rekomendasi KLH), memanfaatkan dalam bentuk barang (rekomendasi KLH), dan memasarkannya. Membentuk lembaga/perusahaan yang khusus mengawasi dan mengelola limbah batubara secara profesional serta harus bertanggung jawab kepada pemerintah (Daerah/Pusat/KLH). Pengawas harus memberikan laporan secara benar tentang perusahaan pengguna batubara yang diawasinya kepada (Daerah/Pusat/KLH). Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa limbah dan produk limbah batubara tidak berbahaya karena sudah melalui prosedur pengolahan yang benar. Setiap perusahaan diwajibkan memiliki instalasi pengolahan limbah batubara (IPLB) seperti halnya

mereka diwajibkan memiliki instalasi pengolahan limbah (IPAL) dan memanfaatkannya secara optimal. Untuk memudahkan pemantauan sebaiknya pemerintah atau swasta dapat membuat IPLB secara terpadu yang dapat menampung semua limbah batubara dari setiap industri pengguna batubara untuk memudahkan pengawasan. Izin pengolahan limbah batubara ini diharapkan harus benar-benar digunakan agar tidak terjadi seperti IPAL yang saat ini mereka miliki ternyata tidak berfungsi sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Barat, 2007, Konsumsi Batubara Oleh Perusahaan Anggota API Jawa Barat, Bandung. Dinas Lingkungan Hidup, 2006 dan 2007, Laporan Kegiatan Seksi Pengendalian Pencemaran Limbah Padat dan B3, Soreang. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Banten, 2008. Daftar Perusahaan Yang Menggunakan Batubara di Provinsi Banten, Serang. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, 2008. Daftar Perusahaan Yang Menggunakan Batubara, Bandung. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah, 2008. Daftar Perusahaan Yang Menggunakan Batubara, Semarang. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur, 2008. Daftar Perusahaan Yang Menggunakan Batubara, Surabaya. Gaspersz, Vincent, 1990, Analisis Kuantitatif Untuk Perencanaan, Penerbit Tarsito, Bandung. Raharjo, Imam Budi, 2006, Mengenal Batubara (2), Artikel Iptek - Bidang Energi dan Sumber Daya Alam, www.beritaiptek.com, Rabu, 08:40:21, 2009. Suherman, Ijang, 2007. Kajian Batubara Nasional, Puslitbang Tekmira, Bandung.

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri ... Triswan Suseno dan Tuti Hernawati

167

PENGARUH PROSES UPGRADED BROWN COAL (UBC) TERHADAP PERINGKAT BATUBARA

Slamet Suprapto Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211 Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 e-mail:

SARI Untuk mengatasi salah pengertian tentang peringkat batubara hasil proses Upgraded Brown Coal (UBC), perlu dilakukan kajian tentang pengaruh proses UBC terhadap peringkat batubara. Kajian dilakukan dengan membandingkan kondisi proses UBC terhadap kondisi pembatubaraan dan mengumpulkan serta mengolah data analisis kimia dan analisis petrografi batubara raw dan produk UBC. Hasil kajian menunjukkan bahwa proses UBC tidak menyebabkan kenaikan peringkat batubara. Terdapat kenaikan reflektan vitrinit, tetapi tidak signifikan dan mirip dengan kenaikan yang dialami oleh batubara raw yang dikeringkan dalam oven. Kata kunci: proses UBC, peringkat batubara, reflektan vitrinit, klasifikasi batubara

ABSTRACT To overcome misunderstanding about the rank of coal produced by Upgraded Brown Coal (UBC) process, study on the effect of UBC process on coal rank needs to be carried out. The study is carried out by comparing the condition of UBC process with the condition of coalification and collecting and calculating chemical and petrographical analysis of raw coal and UBC product. The result shows that there UBC process does not increase the rank of coal. There is an increase of vitrinite reflectance, but not so significant and still similar with oven dried of raw coal. Keywords: UBC process, coal rank, vitrinite reflectance, coal classification

168

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

PENDAHULUAN

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia memiliki sumber daya batubara yang cukup besar, mencapai 104,6 miliar ton tersebar terutama di Sumatera dan Kalimantan. Namun sebagian besar batubara Indonesia termasuk peringkat rendah (lignit sub bituminus), yakni dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah. Pada saat ini sebagian besar batubara yang ditambang adalah peringat bituminous dan sub bituminous. Mengingat kebutuhan semakin meningkat, ekspoitasi terhadap batubara lignit juga mulai dikembangkan. Tetapi tingginya kadar air pada batubara peringkat rendah terutama lignit menyebabkan tingginya biaya pengangkutan. Disamping itu, tingginya kadar air juga menyebabkan rendahnya nilai kalor. Kedua hal tersebut menyebabkan lignit lebih sulit dipasarkan dibanding batubara bituminous dan sub bituminous. Padahal batubara peringkat rendah di Indonesia umumnya termasuk bersih, yakni dengan kadar abu dan kadar belerang rendah. Namun demikian, batubara peringkat rendah disebut juga batubara kualitas rendah (low grade coal) karena tingginya kadar air dan rendahnya nilai kalor. Untuk mengatasi permasalahan batubara lignit, teknologi-teknologi peningkatan kualitas batubara telah banyak berkembang. Teknologi yang saat ini berkembang umumnya didasarkan atas proses pengurangan kadar air atau pengeringan. Dengan mengurangi kadar air, maka nilai kalor batubara dapat meningkat. Salah satu teknologi peningkatan kualitas batubara lignit yang saat ini dikembangkan oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara bekerjasama dengan JCOAL, Jepang adalah proses Upgraded Brown Coal. Pilot plant kapasitas 5 ton/jam telah dibangun di Palimanan dan hasil ujicobanya membuktikan bahwa kadar air batubara peringkat rendah dapat dikurangi dan nilai kalornya meningkat. Keberhasilan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembangunan demonstration plant kapasitas 1000 ton/jam di Kalimantan Selatan. Namun, sampai saat ini banyak yang menganggap bahwa teknologi UBC juga meningkatkan peringkat batubara. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa produk UBC mempunyai nilai kalor yang mirip dengan nilai kalor batubara peringkat bituminous. Padahal, penentuan peringkat batubara tidak bisa ditentukan dari nilai kalor batubara kering udara. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mempelajari pengaruh proses UBC terhadap peringkat batubara.

2.1. Proses UBC Teknologi UBC adalah salah proses coal upgrading yang meningkatkan nilai kalor melalui proses pengeringan (evaporative drying) yang pertama kali dikembangkan oleh Kobe Steel, Jepang. Penelitian skala laboratorium dan skala bench dilakukan di Jepang, kemudian untuk pilot plant dan demonstration plant dikembangkan di Indonesia. Prinsip proses UBC adalah dengan mencampurkan batubara, minyak residu dan minyak tanah. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada temperatur 150-160C dengan tekanan 250-350 kPa. Dengan temperatur dan tekanan tersebut, air bebas (surface moisture) dan juga air lembab (inherent moisture) yang terdapat dalam pori-pori batubara akan diuapkan. Penambahan minyak residu diperlukan untuk menutup pori-pori batubara sehingga kestabilan kadar air bawaan pasca proses dapat terjaga (Gambar 1). Sedangkan minyak tanah diperlukan sebagai media dalam proses. Produk UBC bisa berupa serbuk apabila langsung dimanfaatkan atau berbentuk briket apabila akan ditransportasi pada jarak jauh (Umar, 2005).

Gambar 1. Proses pengering pada Upgraded Brown Coal

Ujicoba pilot plant dengan menggunakan batubara peringkat rendah yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia telah beberapa kali dilakukan dan berhasil dengan baik. Produk UBC yang dihasilkan mempunyai nilai kalor >6.300 kal/g (adb) dan kadar air 7%. Dengan nilai kalor yang tinggi dan kadar abu serta belerang rendah, produk UBC lebih baik dibanding batubara bituminous yang mempunyai kadar abu dan belerang tinggi

Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto

169

sehingga sangat cocok untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor. Kualitas tersebut mirip dengan kualitas batubara peringkat menengah. 2.2. Proses Pembatubaraan Batubara terbentuk dari pembusukan sisa tanaman purba yang terpadatkan setelah tertimbun oleh lapisan penutup di atasnya. Proses pembentukan batubara pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2 tahap, yakni tahap penggambutan (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification). Pada tahap penggambutan terjadi proses biokimia sehingga sisa-sisa tanaman mengalami proses pembusukan. Pada tahap ini sisa tanaman masih dalam keadaan terbuka dan belum tertutup oleh tanah penutup. Pada tahap pembatubaraan, sisa tanaman sudah tertutup oleh lapisan tanah penutup sehingga terjadi proses geokimia. Pada tahap ini sebetulnya terjadi proses pematangan, yakni perubahan dari gambut menjadi batubara lignit dan seterusnya menjadi batubara-batubara sub bituminous, bituminous dan antrasit. Tingkat pembatubaraan atau posisi batubara dalam seri lignit antrasit ini disebut peringkat (rank) (Stach, 1982; Falcon, 1986). Proses pembatubaan dipengaruhi oleh 3 faktor, yakni tekanan, temperatur dan waktu. Tekanan berfungsi memadatkan sisa tanaman dan mengurangi kadar air. Besarnya tekanan tergantung dalamnya endapan batubara atau tebalnya lapisan tanah penutup, yakni berkisar antara beberapa kilogram sampai ratusan kilogram. Temperatur berfungsi mempercepat pematangan bahan organik, makin dalam endapannya makin lanjut proses pematangan. Oleh karena itu, makin dalam endapannya, makin tinggi peringkat batubara karena makin dekat dengan sumber panas dalam bumi. Proses pematangan juga dapat dipercepat oleh pengaruh dari luar seperti intrusi batuan beku, sirkulasi hidrotermal, panas gesekan dan kompilasi tektonik. Temperatur pada proses pembatubaraan normal tidak lebih dari 300C. Untuk membentuk antrasit diperlukan temperatur 300C, sedangkan untuk batubara bituminous diperlukan temperatur 100 - 150C (Francis, 1965; Stach, 1982). Waktu juga berpengaruh terhadap pematangan bahan organik. Pemanasan yang lebih lama akan menghasilkan pematangan yang lebih tinggi sehingga endapan batubara yang berumur lebih tua mempunyai tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi. Normalnya, waktu yang dibutuhkan dalam

proses pembatubaraan berkisar antara puluhan sampai ratusan juta tahun. Kenaikan peringkat batubara juga diikuti oleh perubahan kimia dan sifat fisik batubara sebagai berikut (Francis, 1965; Stach, 1982): turunnya kadar air (bed moisture); turunnya kadar H, O, N dan S dan naiknya kadar C; turunnya kadar zat terbang; dan naiknya nilai kalor; dan naiknya reflektan vitrinit. 2.3. Penentuan Peringkat Batubara Peringkat batubara dapat ditentukan melalui data analisis kimia atau analisis petrografi. Data analisis kimia yang digunakan diantaranya analisis proksimat (kadar karbon padat, kadar zat terbang), analisis ultimat (kadar karbon) dan nilai kalor. Sedangkan untuk analisis petrografi digunakan data reflektan vitrinit (Rv). Menurut H.C. Rance (1975), terdapat hubungan antara rasio bahan bakar (fuel ratio) dengan peringkat batubara. Rasio bahan bakar adalah perbandingan antara karbon padat dengan kadar zat terbang. Makin tinggi tinggi peringkat batubara, makin tinggi rasio bahan bakar. Hubungan tipikal antara peringkat batubara dengan rasio bahan bakar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan tipikal antara peringkat batubara dengan rasio bahan bakar Peringkat Batubara Lignit High volatile bituminous Medium volatile bituminous Low volatile bituminous Semi antrasit Antrasit Rasio Bahan Bakar 0,9 1,3 1,9 2,8 8,6 24

Menurut Francis (1965) terdapat hubungan antara peringkat dengan kadar karbon pada batubara murni (dry mineral matter free, dmmf), yakni makin tinggi peringkat batubara, makin tinggi kadar karbon (dmmf). Hubungan antara peringkat dengan kadar karbon dapat dilihat pada Tabel 2.

170

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 2. Hubungan antara peringkat dengan kadar karbon (dmmf) Peringkat Antrasit Carbonaceous Bituminous Sub bituminous Lignit Kadar karbon,% dmmf 93 95 91 93 80 91 75 80 60 75

Tabel 3. Hubungan antara peringkat batubara dengan reflektan vitrinit Peringkat batubara (ASTM) Meta antrasit Antrasit Semi antrasit Low volatile bituminous Medium volatile bitumious High volatile bituminous Sub bituminous Lignit Gambut Reflektan vitrinit 3,5 6,0 2,5 3,5 2,0 2,5 1,6 2,0 1,1 1,6 0,5 1,1 0,4 0,5 0,3 0,4 <0,3

American Society for Testing Materials (Anonymous, 2005) membuat klasifikasi batubara berdasarkan peringkat dengan menggunakan data analisisi kimia, yakni kadar karbon padat, zat terbang dan nilai kalor dari batubara murni, yakni kering bebas bahan mineral (dmmf) atau basah dan bebas bahan mineral (moist mineral matter free - mmf). Untuk batubara yang mempunyai kadar karbon padat (dmmf) e69% atau kadar zat terbang (dmmf) <31%, peringkat batubara ditentukan berdasarkan kadar karbon padat dan zat terbang. Sedangkan untuk batubara yang mempunyai kadar karbon padat (dmmf) <31% atau kadar zat terbang (dmmf) >69%, peringkat batubara ditentukan berdasarkan nilai kalor (mmf) batubara yang masih mengandung air lapisan (bed moisture). Apabila penentuan peringkat menggunakan nilai kalor (mmf), diperlukan contoh batubara yang masih segar (fresh) dan langsung diambil dari tambang. Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut ASTM dapat dilihat pada Lampiran 1. Teichmuller dan Barntenstein (Falcon, 1986) membuat hubungan antara refelektan vitrinit dengan gambut dan peringkat batubara menurut ASTM (Tabel 3). Batubara peringkat paling rendah (lignit) mempunyai Rv 0,3 - 0,4%, sedangkan batubara peringkat tertinggi (meta antrasit) mempunyai Rv 2,0 6,0%. International Standard (Anonymous, 2005) kemudian membuat klasifikasi batubara berdasarkan peringkat dengan menggunakan data reflektan vitrinit (Rv), tetapi dengan memasukkan data kadar air lapisan. Peringkat batubara dibagi menjadi tiga, yakni peringkat rendah, peringkat menengah dan peringkat tinggi. Peringkat rendah (lignit dan sub bituminous) dengan Rv <0,5, peringkat menengah (bituminous D - A) dengan Rv 0,5 2,0% dan peringkat tinggi (antrasit C - A) dengan Rv 2,0 6,0%. Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut International Standard (ISO) dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.

METODOLOGI

3.1. Pengumpulan Data Data sekunder berupa hasil analisis kmia dan petrografi batubara raw dan produk UBC diperoleh dari laporan kegiatan pilot plant UBC di Palimanan Cirebon yang beroperasi menggunakan batubara Binungan, Taban dan Samaranggau. 3.2. Pengolahan Data Data hasil analisis batubara raw dan produk UBC pada kondisi kering udara diolah menjadi kondisi kering dan bebas bahan mineral (dmmf) menggunakan rumus Par (Anonymus, 2005) sebagai berikut:
Karbon padat = (dmmf), % KP 0,15 S x 100 100 (M + 1,08 A + 0,55 S)

Zat terbang = 100 kadar karbon padat (dmmf) (dmmf), % C x 100 100 (M + 1,08 A + 0,55 S)

Karbon = (dmmf), %

dimana, KP = kadar karbon padat (adb), % M = kadar air bawaan (adb), % A = kadar abu (adb), % S = kadar belerang (adb), % C = kadar karbon (adb), %

Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto

171

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data analisis batubara raw dan produk UBC pada kondisi kering udara dapat dilihat pada Tabel 4. Produk UBC mempunyai kadar air lembab 5,08 8,48% dan nilai kalor 6.310 6.805 kal/g, zat terbang 46,78 48,34% dan karbon padat 42,54 45,07%. Hasil analisis tersebut mirip dengan kualitas batubara peringkat high volatile bituminous. Sebagai pembanding, Tabel 5 menyatakan komposisi kimia contoh-contoh batubara peringkat rendah menengah pada kondisi as received (ar contoh asal) (Singer, 1981). Batubara lignit mempunyai kadar air 34,80% dan nilai kalor 4.006 kal/g, mirip dengan kualitas batubara umpan (raw coal) untuk proses UBC. Sedangkan batubara peringkat bituminous mempunyai kadar air 5,50 12,40% dan nilai kalor 6.278 7.894 kal/g, mirip dengan kualitas produk UBC. Rasio bahan bakar batubara produk UBC (Tabel 6) yang berkisar antara 0,96-0,98 menyatakan bahwa peringkat batubara produk masih tetap

rendah, yakni lignit. Bahkan terdapat kecenderungan penurunan rasio bahan bakar produk UBC dibanding batubara raw. Penurunan rasio bahan bakar tersebut dikarenakan oleh naiknya kadar zat terbang yang kemungkinan akibat penambahan atau sisa residu (LSWR) yang ditambahkan selama proses UBC (lihat Gambar 1). Hal ini terbukti bahwa kadar zat terbang (dmmf) batubara produk UBC lebih tinggi dari yang terdapat pada batubara raw (Tabel 7). Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan kadar karbon (dmmf) yang siginifikan dari produk UBC dibanding batubara raw. Kadar karbon (dmmf) batubara raw berkisar antara 71,74%, sedangkan kadar karbon (dmmf) produk UBC berkisar antara 69,70 71,76%. Hal ini berarti tidak terjadi kenaikan peringkat batubara akibat proses UBC. Peringkat batubara raw dan produk UBC masih tetap termasuk lignit. Dari Tabel 7 juga dapat dilihat bahwa seluruh batubara raw maupun produk UBC mempunyai kadar karbon padat (dmmf) <69% dan kadar zat

Tabel 4. Hasil analisis batubara raw dan produk UBC Paramater Raw, Air total, % ar Air lembab, % adb Abu, % adb Zat terbang, % adb Karbon Padat, % adb Nilai kalor, kal/g adb Karbon, % adb
Sumber: Umar, 2004

Binungan Produk, 1.52 6,81 46,78 44,89 6.805 65,19 Raw, 33,75 15,35 4,42 40,68 39,55 5.431 57,55

Taban Produk, 5,19 3,93 48,34 42,54 6.625 66,88

Samaranggau Raw 32,11 22,33 2,15 38,05 37,47 5.048 53,59 Produk, 4,65 2,61 47,67 45,07 6.310 64,43

17,56 16,13 6,36 37,20 40,31 5.324 57,01

Tabel 5. Data analisis contoh batubara peringkat rendah menengah Peringkat Rendah Parameter Air, % ar Abu, % ar Zat terbang, % ar Karbon padat, % ar Nilai kalor, kal/g ar
Sumber: Singer, 1981

Peringkat Menengah High volatile C bituminous 10,5 12,90 32,00 44,60 6.278 High volatile B bituminous 12,40 5,60 35,00 47,00 6.589 High volatile A bituminous 5,50 2,80 30,80 60,90 7.894

Lignit 34.80 6,20 28,20 30,80 4.006

Sub bituminous 19,60 4,00 30,50 45,90 5.628

172

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 6. Rasio bahan bakar batubara raw dan produk UBC Contoh Batubara Binungan Taban Samaranggau Raw Produk Raw Produk Raw Produk Rasio Bahan Bakar 1,08 0,96 0,97 0,88 0,98 0,95

Tabel 8. Kadar karbon batubara raw dan produk UBC Contoh Batubara Binungan Taban Samaranggau Raw Produk Raw Produk Raw Produk Kadar Karbon% dmmf 74,34 71,76 72,12 73.60 71,18 69,70

Tabel 7. Kadar karbon padat dan zat terbang batubara raw dan produk UBC Contoh Batubara Binungan Taban Samaranggau Raw Produk Raw Produk Raw Produk Karbon padat,% dmmf 51,10 48,50 49,02 46,57 49,46 48,43 Zat terbang%, dmmf 48,50 51,50 50,98 53,43 50,54 51,57

terbang (dmmf) >31%. Dengan demikian maka peringkat batubara harus ditentukan dari nilai kalor (mmf). Mengingat nilai kalor (mmf) harus ditentukan dari batubara yang masih mengandung air lapisan, maka peringkat batubara produk UBC tidak bisa ditentukan menurut kalsifikasi ASTM. Tabel 9 menunjukkan terjadinya kenaikan reflektan vitrinit akibat proses UBC. Reflektan vitrinit batubara raw berkisar antara 0,29-0,44% atau ratarata 0,38% menjadi 0,35-0,60% atau rata-rata 0,45. Tetapi, peringkat batubara produk UBC tidak mengalami kenaikan yang berarti. Apalagi

refelektan vitrinit batubara kering oven yang juga mengalami kenaikan dibandingkan batubara raw. Pembahasan tersebut di atas menyatakan bahwa peringkat batubara produk UBC cenderung sama dengan peringkat batubara raw. Temperatur yang digunakan untuk proses UBC memang mirip dengan temperatur proses pembatubaraan, namun waktu (durasi) proses sangat berbeda. Waktu tinggal batubara pada proses UBC tidak lebih dari 1 hari, sedangkan proses pembatubaraan yang merubah batubara lignit menjadi batubara high votaltile bituminous terjadi dalam waktu puluhan juta tahun.

Tabel 9. Reflektan vitrinit batubara raw, produk UBC dan batubara kering oven Contoh Kisaran Batubara raw Produk UBC Batubara kering oven
Sumber: Daulay, 2008

Reflektan Vitrinit, % Rata-rata 0,38 0,45 0,43 Deviasi 0,039 0,053 0,038

0,29 0,44 0,35 0,60 0,32 0,51

Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara, Slamet Suprapto

173

5.

KESIMPULAN Kualitas batubara produk UBC mirip dengan batubara peringkat high volatile bituminous, tetapi peringkatnya relatifsama dengan batubara raw. Proses UBC tidak berpengaruh terhadap peringkat batubara, rasio bahan bakar, kadar karbon dmmf tetap dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Terdapat sedikit kenaikan reflektan vitrinit, tetapi mirip dengan kenaikan pada batubara kering oven.

rographic Constituents in the Bituminous Coals of South Africa. The Geological Society of South Africa, Review Paper No. 2. Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology. Pergamon Press, Oxford. Singer, J.G. (Ed.), 1991. Combustion, Fossil Power. Combustion Engineering, Inc., Windsor, Connecticut. Stach, E., Mackowsky, M. TH., Teichmuller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., & Teichmuller, R., 1982. Stachs Textbook of Coal Petrology. Gebruder Borntraeger, Berlin. Rance, H.C., 1975. Coal Quality Parameters and their Influence in Coal Utilization. Shell International Petroleum Co., Ltd. Umar, D.F., Daulay, B. Suganal & Rijwan, I., 2004. Pengujian Peningkatan Kualitas Batubara Peringkat Rendah dengan Proses UBC (Upgraded Brown Coal) Skala Pilot. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Umar, D.F., Daulay, B., Usui, H., Deguchi, T. and Sugita, S., 2005. Characterization of upgraded brown coal (UBC). Coal preparation, vol. 25, no.1, pp. 31-45.

DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2005. Classification of Coal by Rank. Annual Book of ASTM Standard, D 388 99(2004). Anonymous, 2005. Classification of coal. International Standard, ISO 11760:2005(E). Daulay, B., 2008. Petrografphy of Raw Coal and its UBC Product. R & D Centre for Mineral and Coal Technology, Bandung. Falcon, R.M.S. and Snyman, C.P., 1986. An Introduction to Coal Petrography: Atlas of Pet-

174

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

UJI SULFIDASI BIJIH BESI KALIMANTAN SELATAN DAN TAILING PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI KATALIS PENCAIRAN BATUBARA

Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jln. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : ninings@tekmira.esdm.go.id, hermanu@tekmira.esdm.go.id

ABSTRAK Katalis dalam pencairan batubara berperan sangat penting untuk dapat meningkatkan konversi batubara menjadi minyak. Katalis yang banyak digunakan dalam pencairan batubara adalah katalis yang berbasis besi. Dalam rangka menambah sumber katalis pencairan batubara yang ada di Indonesia, maka telah dicoba bijih besi dari Kalimantan Selatan untuk digunakan sebagai katalis. Tujuannya adalah untuk mengetahui reaktifitas/aktifitas/efektifitas penggunaan bahan katalis berbasis besi dari bijih besi Kalimantan Selatan. Metoda yang digunakan adalah dengan melakukan uji sulfidasi untuk mengamati pertumbuhan kristal pirhotit dan mengetahui persentasi produk dan konversi pencairan batubara. Hasil percobaan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan katalis tailing dari PT. Freeport Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap terbentuknya ukuran kristal pirhotit dari katalis bijih besi Kalsel, semakin tinggi suhu maka kristal pirhotit yang terbentuk semakin besar; perubahan suhu dari 350-450C cenderung tidak berpengaruh terhadap ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis tailing PT. Freeport Indonesia (PT.FI); mineral yang terkandung dalam bahan katalis bijih besi berpengaruh terhadap terbentuknya kristal pirhotit; ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis bijih besi Kalsel lebih kecil daripada katalis tailing PT.Freeport, hal ini dibuktikan dari kereaktifannya yakni perolehan produk minyak serta hasil konversi pencairan batubara yang lebih besar pada kondisi proses yang sama. Kunci: bijih besi, tailing, sulfidasi, ukuran kristal pirhotit

ABSTRACT Catalyst in coal liquefaction is very important to increase percentage of coal conversion. It is generally recognized that the iron based catalyst is an active phase in coal liquefaction. In order to develop Indonesian catalyst sources for coal liquefaction, the research of iron ore from South Kalimantan as coal liquefaction catalyst has been carried out. The aim of this research is to identify of reactivity and activity of iron ore as catalyst on coal liquefaction. The methodology of the research is sulfidation to observe the crystal growth of pyrrhotite and percentage of coal yield and coal conversion. The result of the research will be compared to that of the research using tailing from PT,.Freeport Indonesia. The result show that the temperature and mineral mater in iron ore is influential to the size of crystal pyrrhotite but temperature and mineral mater in tailing is not influential to the size of crystal pyrrhotite. The size of crystal pyrrhotite formed from iron ore catalyst is smaller than that from tailing catalyst. The oil yield and percentage of coal conversion increased as compare to that of tailing catalyst. Keywords: iron ore, tailing, sulfidation, crystal pyrrhotite size

Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono

175

1.

PENDAHULUAN

2.

KAJIAN PUSTAKA

Suatu reaksi dapat berlangsung bila terjadi kontak yang efektif antar molekul reaktan, dan terpenuhi energi aktivasinya. Kedua syarat di atas dapat terakomodasi dengan baik apabila ada katalis. Katalis dapat mengantarkan reaktan melalui jalan baru yang lebih mudah untuk berubah menjadi produk. Jalan baru yang dimaksud yaitu jalan yang mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah. Keberadaan katalis juga dapat meningkatkan jumlah tumbukan antar molekul reaktan. Katalis memiliki sifat tertentu, yakni katalis tidak mengubah kesetimbangan dan katalis hanya berpengaruh pada sifat kinetik seperti mekanisme reaksi. Dengan demikian konversi yang dihasilkan tidak akan melebihi konversi kesetimbangan. Katalis juga bersifat spesifik, satu katalis hanya sesuai untuk satu jenis reaksi saja. Dalam proses pencairan batubara, katalis mempunyai peran yang sangat penting yakni dapat meningkatkan konversi batubara menjadi minyak. Disamping itu katalis juga dapat membuat kondisi reaksi menjadi lebih moderat seperti menurunkan suhu, tekanan dan waktu reaksi. Beberapa jenis katalis telah dicoba untuk pencairan batubara tetapi sampai saat ini. besi sulfida seperti Pyrite, Pyrrhotite dan Troilite dianggap sesuai sebagai katalis pencairan batubara karena cukup aktif dan berharga murah (Yokoyama, dkk., 1986). Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian katalis berbasis besi berupa bijih besi, dari Kalimantan Selatan. Penggunaan bijih besi yang relatif murah diharapkan dapat menekan ongkos yang diperlukan untuk pembelian katalis. Bijih Besi dari Kalimantan Selatan mudah diperoleh dan cadangannya banyak mempunyai kandungan oksida besi yang tinggi. Mineral-mineral yang mengandung oksida besi antara lain laterit dari Pulau Sebuku dan limonit dari Soroako berasal dari PT. International Nikel Indonesia. Tujuan penelitian untuk mengetahui (reaktifitas/ aktifitas/efektifitas) penggunaan bahan katalis berbasis besi dari bijih besi Kalimantan Selatan dan tailing dari PT. Freeport Indonesia (PT. FI), terhadap: pertumbuhan pembentukan kristal pirhotit dengan melakukan proses sulfidasi pada suhu 350-425C; persentasi produk dan konversi pencairan batubara secara langsung.

Aktifitas katalis sangat dipengaruhi oleh dispersi katalis yang tergantung pada luas permukaan, ukuran partikel dan ukuran kristal katalis. Pada pencairan batubara, katalis berbasis besi ditambahkan sulfur, karena pada kondisi reaksi pencairan berlangsung unsur besi dalam katalis bereaksi dengan sulfur membentuk senyawa pirhotit, Fe(1-x)S yang merupakan fasa aktif yang sangat berperan dalam proses pencairan batubara. Pengujian sulfidasi hampir mirip dengan pengujian pencairan batubara, tapi dilakukan tanpa batubara. Hasil dari uji sulfidasi dicuci dengan tetrahidrofuran sehingga kristal pirhotit bersih dari pengotor yang kemudian dipisahkan dari pelarut dengan pompa vacuum untuk selanjutnya diuji dengan XRD guna mengetahui kristal pirhotit yang terbentuk. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kinerja pirhotit yang terbentuk dari katalis. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa semakin besar ukuran kristal pirhotit semakin rendah kereaktifannya yang berakibat rendahnya jumlah batubara yang dapat dicairkan. Suatu bahan katalis memiliki kinerja yang baik untuk pencairan batubara bila ukuran kristal fasa aktif pirhotit tidak lebih dari 40 nm (Kaneko, dkk., 1998). Semakin besar ukuran kristal pirhotit semakin rendah kereaktifannya yang berakibat rendahnya jumlah batubara yang dapat dicairkan. Ukuran kristal dapat membesar karena adanya aglomerasi antar partikel pirhotit. Untuk mengetahui kinerja dari pirhotit ini salah satunya dengan melihat ukuran kristal yang terbentuk. Ukuran kristal pirhotit dapat dihitung dengan formula dari Scherer yang datanya diambil dari uji XRD hasil uji sulfidasi.

3.

PERCOBAAN

3.1. Uji Sulfidasi Katalis Percobaan uji sulfidasi katalis dilakukan dengan menggunakan beberapa variabel: i) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 350C ii) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 375C iii) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 400C iv) Pelarut + Bijih Besi Kalsel (ukuran -325#) +

176

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 425C Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 350C vi) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 375C vii) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 400C viii) Pelarut + Tailing PT.FI (ukuran -325#) + Sulfur, ratio atom S/Fe 2 pada suhu 425C v) 3.2. Uji Katalis untuk Pencairan Batubara

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kimia dan XRD bahan baku katalis 4.1. Uji Sulfidasi Variasi percobaan adalah sebagai berikut: i) Katalis Bijih Besi Kalimantan Selatan (suhu 350C, 375C, 400C, dan 425C) ii) Katalis Tailing PT. Freeport Indonesia, PT.FI (suhu 350C, 375C, 400C, dan 425C).

Bahan baku katalis berbasis besi

Peremukan Uji: 1. XRD 2. Analisis Kimia


Penggerusan

AnalisisAyak
1. -325 #

UjiSulfidasipada =0menit,PH2= t 10MPa,soltv=15g ,S/F=2,Katsbg Fe=3%,ukuran325,meshVariasi suhu= 350, 375, 400, 425OC

Kondisispencairan: T=400C,t= 60menit,,PH2=10MPa,soltv= 15g,KatsbgFe3%dariBB 1. Penambahan Sulfurdg rasio

Cucidengantetrahidrofuran, saringdenganpompavacum Ektraksi dengan a. Toluena b. Heksana c. Tetrahidrofuran


% Produk dan % konversi

filtrat

Kristal pirhotit

UjiXRD

Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono

177

4.1.1 Sulfidisasi katalis bijih besi Kalimantan Selatan Kondisi operasi sulfidasi katalis dilakukan tanpa batubara pada tekanan 100 MPa dan waktu tinggal operasi mendekati 0 menit (t = 0 menit), merupakan acuan kondisi operasi yang diambil dari Kaneko, dkk., (1998) dan Ningrum dan Prijono (2009) dengan ukuran partikel katalis adalah -325 #. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ningrum dan Prijono (2009) menunjukkan bahwa penambahan katalis berbasis besi berpengaruh terhadap perolehan produk dan persen konversi pencairan batubara. Suatu bahan katalis memiliki kinerja yang baik untuk pencairan batubara bila ukuran kristal fasa aktif pirhotit kecil. Percobaan sulfidasi ini dilakukan untuk mengetahui kinerja katalis bijih besi, Kalsel dengan melihat ukuran kristal yang terbentuk. Percobaan sulfidasi ini dilakukan menggunakan autoclave dengan laju pemanasan 5C/menit pada tekanan awal dari H2 10 MPa dengan penambahan sulfur, rasio atom S/Fe katalis = 2, ukuran partikel katalis -325#, dan proses sulfidasi dilakukan mendekati kondisi proses pencairan. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap ukuran kristal fasa aktif pirhotit, sehingga diperoleh suhu optimal dan memiliki aktifitas maksimal. Pengamatan dilakukan pada suhu 3500C, 3750C, 4000C, dan 4250C. Hasil analisis XRD untuk hasil uji sulfidasi. Pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa perubahan suhu berpengaruh pada ukuran kristal pirhotit yang terbentuk. Kristal pirhotit terkecil yang terbentuk dari katalis bijih besi, Kalsel terjadi pada suhu sulfidasi 375C, dan ukurannya meningkat dengan semakin tingginya suhu. Hal ini disebabkan terjadinya aglomerisasi antar partikel pirihotit pada suhu yang semakin tinggi. Pada suhu sulfidasi 350C, ukuran kristal pirhotit katalis bijih besi Kalsel lebih besar dibanding ukuran kristal yang terbentuk pada suhu 375C. Hal ini diperkirakan karena struktur kristal yang masih amorf sehingga bidang kristal pirhotit belum terbentuk dengan

sempurna. Secara umum ukuran kristal pirhotit bertambah dengan meningkatnya suhu. Dari data yang didapat maka suhu 375C merupakan suhu dimana kristal pirhotit memiliki ukuran terkecil sehingga katalis memiliki kereaktifan yang terbaik dalam meningkatkan jumlah batubara yang dicairkan seperti terlihat pula pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik hubungan ukuran kristal pirhotit katalis bijih besi terhadap suhu

4.1.2 Sulfidisasi katalis tailing PT. FI Pada penelitian Ningrum dan Prijono (2009) telah dibahas bahwa penambahan katalis dari tailing PT.FI berpengaruh terhadap perolehan produk dan persen konversi pencairan batubara. Katalis dari tailing PT.FI mengandung sulfur yang berasosiasi dengan besi dalam bentuk pirit. Pada percobaan sulfidasi ini, konversi komponen besi dari katalis tailing PT. FI dilakukan pada autoclave dengan kondisi operasi sama dengan katalis bijih besi, Kalsel. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap ukuran kristal fasa aktif pirhotit, sehingga didapat suhu optimal dimana katalis memiliki aktifitas maksimal. Pengamatan pada percobaan ini dilakukan pada suhu 3500C, 3750C, 4000C, dan 4250C. Hasil analisis XRD untuk hasil uji sulfida katalis Tailing PT. FI.

Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap ukuran pirhotit katalis bijih besi, Kalsel Suhu Sulfidasi (C) 350 375 400 425 (A) 1.5406 1.5406 1.5406 1.5406 Pos. [2Th.] Bid.hkl 200 29.90 29.88 29.90 29.87 FWHM [2Th.] 0.33 0.49 0.41 0.33 Ukuran Kristal (nm) 25.19 16.79 20.15 25.19

178

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa perubahan suhu pada katalis tailing PT.FI cenderung tidak terlalu berpengaruh pada ukuran kristal pirhotit yang terbentuk. Ukuran kristal pirhotit katalis yang terbentuk cenderung sama dengan ukuran terkecil kristal pirhotit pada suhu sulfidasi 375 0 C, sedangkan ukuran kristal pirhotit terbesar pada suhu 4000C. Hal ini diperkirakan karena adanya unsur Si yang menghambat kereaktifan katalis sehingga ukuran katalis cenderung sama. Kristal pirhotit yang terbentuk dari pirit lebih besar dari kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis besi oksida. Penelitian yang dilakukan oleh Kaneko, et.al (1998) juga menunjukkan bahwa kristal pirhotit yang terbentuk dari pirit lebih besar daripada limonit dan goetit. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu 3750C merupakan suhu dimana kristal pirhotit yang terbentuk memiliki ukuran terkecil

sehingga memiliki kereaktifan terbaik dan dapat meningkatkan jumlah batubara yang dicairkan. 4.2. Pengaruh Ukuran Kristal Pirhotit Katalis Bijih Besi Kalsel dan Tailing PT. FI pada Produk dan Konversi Pengaruh jenis bahan katalis berbasis besi dan ukuran kristal pirhotit yang terbentuk terhadap produk pencairan batubara dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam Tabel 3 ini diperlihatkan perbandingan produk dan persen konversi hasil pencairan batubara menggunakan katalis bijih besi Kalimantan Selatan dan katalis tailing PT.FI. yang dilakukan pada kondisi tekanan awal H210 Mpa perbandingan atom S/Fe = 2, ukuran partikel katalis -325#, dan suhu 4000C.

Tabel 2. Pengaruh suhu terhadap ukuran kristal pirhotit katalis tailing PT.FI Suhu Sulfidasi (0C) 350 375 400 425 (A) 1.5406 1.5406 1.5406 1.5406 Pos. [2Th.] Bid.hkl 200 29.99 29.86 29.86 29.87 FWHM [2Th.] 0.33 0.33 0.29 0.33 Ukuran Kristal (nm) 25.20 25.19 28.79 25.19

Tabel 3. Pengaruh jenis katalis dan ukuran kristal pihotit terhadap jumlah produk dan persen konversi pencairan batubara Ukuran Kristal Pirhotit (nm) 20.15 28.79 Produk (%) Minyak Berat 65.06 44.72 Aspalten 19.14 26.30 % Konversi Ekstraksi n. heksan 65.06 44.72 Ekstraksi toluen 84.20 71.02

Jenis Katalis Bijih Besi Kalsel Tailing PT. Freeport

Dari Tabel 3 terlihat bahwa pencairan batubara yang menggunakan katalis bijih besi, Kalsel dengan ukuran kristal pirhotit yang lebih kecil menghasilkan produk minyak berat yang lebih besar daripada yang menggunakan katalis tailing PT.FI yang memiliki kristal pirhotit yang besar. Produk aspalten pencairan batubara yang menggunakan katalis tailing PT.FI lebih banyak daripada pencairan dengan katalis bijih besi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konversi dengan n. hexan maupun toluen pada pencairan batubara dengan katalis bijih besi, Kalsel yang memiliki ukuran kristal pirhotit kecil hasilnya lebih

Gambar 2. Grafik hubungan ukuran kristal pirhotit katalis tailing PT. Freeport terhadap suhu

Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing ... Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono

179

baik dibanding katalis dari tailing PT.FI yang memiliki kristal pirhotit lebih besar. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran kristal pirhotit yang terbentuk, luas permukaan kontak kristal pirhotit semakin besar, sehingga peran katalis lebih efektif. Dilihat dari jumlah hasil produk dan persen konversi secara keseluruhan, maka bijih besi Kalsel lebih baik sebagai katalis pencairan batubara daripada tailing PT. FI (Gambar 3 dan 4).

5.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: suhu berpengaruh terhadap terbentuknya ukuran kristal pirhotit dari katalis berbasis besi yang merupakan fasa aktif pencairan batubara. Semakin tinggi suhu maka kristal pirhotit yang terbentuk semakin besar, selama proses pencairan ukuran kristal pirhotit akan membesar seiring dengan meningkatnya suhu operasi; perubahan suhu dari 350-450C cenderung tidak berpengaruh terhadap ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis tailing PT. Freeport Indonesia (PT.FI); mineral yang terkandung dalam bahan katalis berpengaruh terhadap terbentuknya kristal pirhotit, katalis dari bijih besi Kalsel yang terdiri atas hematit ukuran kristal pirhotit yang terbentuk lebih kecil dibandingkan yang berasal dari tailing PT. FI yang mengandung unsur sulfur dalam bentuk pirit; ukuran kristal pirhotit yang terbentuk dari katalis bijih besi Kalsel lebih kecil daripada katalis tailing PT.Freeport hal ini dibuktikan dari kereaktifannya, perolehan produk minyak serta hasil konversi pencairan batubara yang lebih besar pada kondisi proses yang sama.

Gambar 3. Grafik hubungan ukuran kristal pirhotit dan jenis bahan katalis berbasis besi terhadap jumlah produk hasil pencairan batubara

DAFTAR PUSTAKA Kaneko, T, K. Tazawa, T. Koyama, K. Satou, K. Shimasaki, and Y. Kageyama, 1998, Transformation of Iron Catalyst to the Active Phase in Coal Liquefaction, Energy & Fuels, 12, pp. 897-904. Gambar 4. Grafik hubungan ukuran kristal pirhotit dan jenis bahan katalis besi terhadap persen konversi N Heksan dan Toluen Ningrum, N,S dan Prijono, H., 2009, Pengaruh Fraksi Ukuran Katalis Tailing PT. Freeport Indonesia dan Waktu Tinggal Reaksi pada Pencairan Batubara, Prosiding Seminar Energi Baru Terbarukan: Peranan Energi Baru Terbarukan Dalam Mengatasi Krisis Energi dan Menghambat Laju Pemanasan Global, FMIPA UNS Surakarta, Indonesia, pp. 82-96. Yokoyama, S., R. Yoshida, H. Narita, K. Kodaira and Y. Maekawa, 1986, Catalytic Activity of Various Iron Sulphides in Coal Liquefaction, Fuel, Vol. 65, pp. 164-170.

180

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

KARAKTERISASI DAN OPTIMALISASI PEMBRIKETAN PADA BATUBARA HASIL PROSES UPGRADED BROWN COAL SKALA PILOT

Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar Pusat Penelitian dan Pegembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jenderal Sudirman No. 623, Bandung 40211 Telp. : (022) 6030483, ext. 227; Fax. : (022) 6038027; e-mail : ikin@tekmira.esdm.go.id dan Datin@tekmira.esdm.go.id

SARI Penelitian peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan teknologi Upgraded Brown Coal (UBC) telah dilakukan sejak tahun 2002, dimulai dengan pembangunan UBC skala pilot kapasitas 5 ton/hari di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Dari 7 contoh batubara peringkat rendah yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia, batubara dengan nilai kalori <5. 000 kal/g dapat ditingkatkan menjadi >6.200 kal/g. Bahkan batubara yang berasal dari Banko dengan nilai kalori <5.200 kal/g, dapat ditingkatkan menjadi >7.000 kal/g. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan karakteristik batubara Mulia yang berasal dari daerah Satui, Kalimantan Selatan, setelah dilakukan proses dan mengetahui kondisi optimum pembriketan pada batubara hasil proses pada UBC skala pilot di Palimanan, Cirebon. Hasil proses UBC yang dilakukan dapat menurunkan kadar air bawaan (inherent moisture) batubara Mulia sebesar 71,6%, sehingga nilai kalor naik sebesar 26,5%. Sementara kadar abu, zat terbang, karbon padat, belerang, karbon dan nitrogen mengalami kenaikan, sedangkan kadar hidrogen dan oksigen turun. Kondisi optimum pembriketan didapat pada kondisi putaran roll 8 rpm dan temperatur 80 - 110C. Pada kondisi ini briket UBC yang dihasilkan mempunyai kuat tekan 73 - 77 kg/cm2, densitas 1.015 1,04 g/cm3 dan kecepatan produk briket UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/ jam. Kata kunci : karakterisasi, pembriketan, proses UBC, skala pilot

ABSTRACT Research on low rank coal upgrading with Upgraded Brown Coal (UBC) technology has been developed since 2002, started with UBC pilot plant construction with a capacity of 5 ton/day in Palimanan, Cirebon, West Java. From 7 Indonesian low rank coal samples, the coal with calorific value of <5,000 cal/gr can be increased to be >6,200 cal/gr, meanwhile low rank coal from Banko with calorific value of <5,200 cal/gr increased to be >7,000 cal/gr. The aim of this research is to know the changes of Mulia coal characteristics from Satui, South Kalimantan after process and the optimum conditions of briquetting to coal after process in UBC pilot plant Palimanan, Cirebon.

Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar

181

The result of UBC process, inherent moisture of Mulia coal can be decreased about 71.6%; therefore, the calorific value increased about 26.5%. Whilst ash, volatile matter, fixed carbon, sulfur, carbon and nitrogen contents were increased, hydrogen, and oxygen were deacreased. The optimum condition of briquetting was reached at roll rotation of 8 rpm and temperature of 80-110 C. In this condition, UBC briquettes resulted have a pressure strength of 73-77 kg cm2, density 1.015 1.04 g/cm3 and briquet production capacity of about 1,104 kg/hour. Keywords : Characteristics, briquetting, UBC process, pilot plant

1.

LATAR BELAKANG

Kualitas batubara Indonesia pada umumnya didominasi oleh batubara peringkat rendah (lignit dan subbituminus), yaitu sekitar 60% dari total sumber daya yang jumlahnya 104,7 milyar ton (Sukhyar, 2009). Batubara peringkat rendah ini belum banyak dieksploitasi karena masih mengalami kendala dalam masalah transportasi dan pemanfaatannya. Seperti diketahui, batubara peringkat rendah mempunyai kandungan air total cukup tinggi yang menyebabkan nilai kalor menjadi rendah. Dengan demikian diperlukan teknologi khusus untuk menurunkan kadar air, sehingga nilai kalori batubara tersebut menjadi lebih tinggi. Beberapa penelitian dengan maksud tersebut telah banyak dilakukan sejak tahun 1920-an di Amerika Serikat, Australia, Jepang dan lain-lain (Suwono, 2000). Salah satu di antaranya adalah teknologi Upgraded Brown Coal (UBC) yang merupakan teknologi peningkatan nilai kalor (upgrading) batubara peringkat rendah melalui penurunan kadar air total yang dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd., Jepang (Shigehisa et al, 2000). Keuntungan teknologi ini, di antaranya adalah karena proses berlangsung pada temperatur dan tekanan rendah. Untuk mencegah masuknya kembali air ke dalam batubara, maka dalam proses ditambahkan minyak residu untuk melapisi pori-pori pada partikel batubara. Kegiatan penelitian peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan teknologi UBC ini telah dimulai sejak tahun 2002 oleh Puslitbang tekMIRA bekerjasama dengan Kobe Steel Ltd., Jepang, dengan dimulainya pembangunan UBC skala pilot dengan kapasitas 5 ton/hari di Palimanan, Jawa Barat. Pilot plant tersebut telah berhasil dioperasikan dengan baik. Dari 7 contoh batubara peringkat rendah yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia, batubara dengan nilai kalori <5.000 kal/g dapat ditingkatkan menjadi >6.200 kal/g. Bahkan batubara yang berasal dari Banko dengan nilai kalori <5.200 kal/g dapat ditingkatkan

menjadi >7.000 kal/g. Hasil kegiatan proses UBC ini digunakan sebagai acuan dalam pembangunan UBC demonstration plant (Umar, dkk., 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan karakteristik batubara Mulia yang berasal dari daerah Satui, Kalimantan Selatan, setelah dilakukan proses UBC dan mengetahui kondisi optimum pembriketan pada batubara hasil proses UBC skala pilot yang berlokasi di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, yang akan dipakai sebagai acuan untuk pengoperasian proses UBC demonstration plant di Satui, Kalimantan Selatan.

2.

KAJIAN TEORITIS

2.1. Kandungan Air Dalam batubara Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal. Air lembab adalah air yang terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan uap normal. Kandungan air dalam batubara baik air bebas maupun air lembab merupakan faktor yang merugikan, karena memberikan pengaruh yang negatif terhadap biaya transportasi dan proses pembakarannya. 2.2. Proses UBC Penurunan kadar air dalam batubara dapat dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan panas. Kadar air bebas dapat dikurangi secara efektif dengan cara mekanik, sedangkan penurunan kadar air lembab harus dilakukan dengan cara pemanasan. Salah satu teknologi untuk menurunkan kadar air lembab adalah proses UBC yang merupakan teknologi peningkatan kualitas (upgrading) batubara peringkat rendah

182

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

melalui penurunan kadar air total. Dibandingkan dengan proses upgrading lainnya, proses UBC mempunyai keuntungan, karena prosesnya dilakukan pada temperatur dan tekanan relatif rendah. Perbandingan beberapa teknologi upgrading terhadap UBC dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam proses UBC, batubara dibuat slurry dengan menggunakan minyak tanah yang dicampur dengan minyak residu kemudian dipanaskan pada temperatur 150C dan tekanan sekitar 3,5 atm. Batubara hasil proses dipisahkan, dikeringkan dan dibuat briket, sedangkan campuran minyak tanah dan residu digunakan kembali untuk proses selanjutnya. Penambahan minyak residu diperlukan untuk menutup pori-pori batubara yang terbuka, sehingga air yang telah keluar tidak akan terserap kembali. 2.3. Pemanasan Proses pemanasan batubara sampai temperatur tertentu menyebabkan terjadinya perubahan komposisi struktur batubara. Dengan memanaskan batubara, terjadi perubahan kimia karena menguapnya air bawaan, dekomposisi gugus karboksil, penyusutan gas-gas hidrogen dan oksigen kompleks serta aromatisasi. Komposisi dan sifat produk akhir akan bermacam-macam tergantung pada temperatur pemanasan. Karena proses pemanasan, maka terjadi reaksi kimia yang menghasilkan produk gas atau cairan yang banyak berhubungan dengan sistem pori-pori batubara. Kehilangan sejumlah massa bahanbahan penyusun batubara melalui pori-pori, menyebabkan terjadi kekosongan pori-pori tersebut. Oleh sebab itu, sifat fisik yang memegang peranan penting pada proses pemanasan adalah sifat porositas. Porositas batubara tersebut menyangkut sistem pori-pori yang dimiliki. Porositas batubara dapat menyebabkan terjadinya difusi keluar uap air, metana dan zat lain yang mudah menguap dari batubara selama terjadi pemanasan. Dalam proses UBC, batubara dicampur dengan minyak residu kemudian dipanaskan pada tekanan dan temperatur yang relatif rendah. Dengan minyak residu tersebut, maka pori-pori batubara yang terbuka akan diisi oleh residu dan menutup permukaan batubara sehingga air yang telah keluar tidak akan terserap kembali (Deguchi et al, 2002). Menurut Tsai (1982), pada temperatur 100 - 120C terjadi reaksi endotermis. Pada reaksi ini terjadi

penguapan air; air yang menguap berupa air bebas, air terikat secara fisik dan air yang terjebak dalam struktur pori-pori batubara. Penguapan air bebas akan berperilaku sama dengan pengeringan secara umum, sedangkan penguapan air bawaan dianalogikan dengan air kristal atau hidroksida dengan reaksi sebagai berikut : M(OH)2 MOn + nH2O

Secara termodinamika, reaksi antara batubara dengan oksigen adalah: C + O2 2C + O2 CO2 2CO G = -394100 - 0,8T J/mol G = -223400 - 175,3T J/mol

Adanya reaksi seperti di atas pada proses pengeringan batubara tidak dikehendaki, oleh karena itu diperlukan suatu kondisi pemanasan yang inert. Secara termodinamika, reaksi ini berlangsung pada berbagai temperatur, tetapi perlu aktivasi yang cukup besar, maka reaksi berlangsung harus pada temperatur di atas 120C. 2.4. Pengaruh Penambahan Aditif Dalam melakukan pemanasan pada batubara ada 3 daerah pemanasan yang berpengaruh terhadap terjadinya dekomposisi, yaitu pemanasan di bawah temperatur dekomposisi, daerah dekomposisi aktif dan pemanasan di atas temperatur dekomposisi. Dekomposisi aktif adalah terdekomposisinya mineral organik penyusun batubara menjadi tar dan penguapan air. Pemanasan batubara pada temperatur dekomposisi aktif, yaitu >200C, menyebabkan terjadinya penguapan air bebas, air bawaan/terikat secara kimia, tar, hidrogen, CO2, CO dan hidrokarbon. Proses UBC, dengan temperatur sekitar 150C, pengeluaran tar dari batubara belum sempurna. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat aditif sebagai penutup permukaan batubara seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil) dan minyak residu. Untuk proses UBC sebagai aditif digunakan minyak residu yang merupakan suatu senyawa organik yang beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Dengan kesamaan sifat kimia tersebut, minyak residu yang masuk ke dalam pori-pori batubara akan kering kemudian bersatu dengan batubara. Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang cukup lama, sehingga batubara dapat disimpan di tempat terbuka untuk jangka waktu yang cukup lama (Shigehisa et al, 2000).

Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar

183

184
Nilai Kalor Batubara Asal Temperatur Tekanan Status Kapasitas 5.000 -9.000 Btu/lb 150-160C 0.2-0.3 MPa 8.000 -8.800 Btu/lb 450-550C 230-280C 3-6 MPa 4-6 MPa 8.600 Btu/lb 12.000 Btu/lb 10.500-11.500 Btu/lb 11.000-12.500 Btu/lb Demonstration 1.000 ton/hari plant 3-8 juta ton/th Nilai Kalor Batubara Produk Produk Keterangan Padatan Menurunkan kandungan air Padatan Padatan Komersial sejak 2005 Komersial sejak 1927 di Dalam tahap rencana ke komersial Mengurangi Hg, emisi SO2 Menurunkan Na, S dan Cl 7.7 ton/hari Padatan Menurunkan Na 12.000 Btu/lb 270-300C 8-12 MPa 5.500 -8.000 Btu/lb 12.000 Btu/lb 350-450C 8.200 -9.200 Btu/lb 475-550C 2-3 MPa Demonstration 1.000 ton/hari plant 2-3 MPa Demonstration 1.000 ton/hari plant Padatan Mengurangi masalah slagging dan fouling Slurry -

Tabel 1. Perkembangan Teknologi Upgrading Batubara di Dunia

Teknologi

Lokasi

Pengembang

UBC

Palimanan INDONESIA

Kobe Steel, JAPAN & tekMIRA INDONESIA

K-FUEL

Wyoming USA

KFx Inc., USA

FLEISSNER

Voest-Alpnie AG

HWD/SD

AUSTRIA YUGOSLAVIA Grand Forks (USA), Melbourne (Australia)

The University 8.000 - 9.000 of North Dakota Btu/lb

SYNCOAL

Montana (USA)

Rosebud SynCoal Partnership

ENCOAL

Wyoming (USA)

SMC mining SGI Int. of La

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Sumber: http// www. wikipedia. com (2008)

3.

KEGIATAN PERCOBAAN

3.2. Optimalisasi Pembriketan Setelah dilakukan modifikasi di seksi 500 dengan jalan mengganti roll pada mesin briket dengan ukuran cetakan yang lebih kecil (ukuran ini sesuai dengan ukuran cetakan pada mesin briket yang akan digunakan pada UBC demontration plant). Proses pembriketan pada percobaan ini mempunyai unjuk kerja yang sangat baik dibandingkan dengan pembriketan pada percobaan sebelumnya. Variabel percobaan terdiri atas : Kecepatan roll: 8, 10, 13, 15,17 dan 20 Temperatur pembriketan: antara 70C dan 115C

Kegiatan proses UBC pada skala pilot dimaksudkan untuk mendapatkan data sebagai pendukung operasional UBC demonstration plant. Pengoperasian pilot plant UBC dilakukan dengan menggunakan batubara dari Satui, Kalimantan Selatan yang akan dipakai umpan pada UBC demontration plant. Percobaan dilaksanakan 2 kali dengan tujuan untuk mengetahui : Perubahan karakteristik batubara hasil proses pada kondisi optimum, Optimasi proses pembriketan terhadap batubara hasil proses UBC. 3.1. Percobaan proses UBC

4. Proses slurry dewatering merupakan salah satu proses utama dari rangkaian proses UBC, di mana batubara dicampur dengan minyak tanah dan residu dipanaskan pada temperatur tertentu dan tekanan tertentu, sehingga air yang terkandung di dalam pori-pori batubara teruapkan dan diganti dengan residu melapisi pori-pori tersebut, sehingga air yang telah keluar dari batubara tidak dapat masuk kembali. Dengan terlapisinya pori-pori batubara tersebut, maka akan membuat batubara tersebut lebih stabil dan kecenderungan untuk terbakar dengan sendirinya (self combustion) akan berkurang. Pelaksanaan proses UBC : 1. Kondisi proses UBC yang dianggap optimum pada pilot plant Palimanan Cirebon, adalah : Ukuran batubara umpan < 3mm dengan kecepatan pengumpanan 100 kg/jam, Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30 % batubara, 70% minyak tanah yang mengandung 0,5% residu), Kecepatan pengumapan slurry ke dalam decanter 350 l/jam, Kecepatan pengumpanan cake ke dalam rotary tube dryer 15 Hz. 2. Pada kondisi tersebut di atas, proses UBC menurunkan kadar air bawaan (inherent moisture) batubara Satui sebesar 71,6%, sehingga nilai kalor naik sebesar 26,5%. Sementara kadar abu, zat terbang, karbon padat, karbon, belerang dan nitrogen mengalami sedikit kenaikan, sedangkan kadar hidrogen dan oksigen turun karena turunnya kadar air (H2O). Briket UBC mempunyai kuat tekan 98 kg/cm2, densitas 1,05 g/cm3 dan kecepatan produk briket UBC sebanyak 840 kg/jam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Optimalisasi Proses UBC Skala Pilot Dengan kondisi proses UBC yang dianggap optimum pada pilot plant Palimanan Cirebon, adalah : Ukuran batubara umpan < 3mm dengan kecepatan pengumpanan 100 kg/jam Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30 % batubara, 70% minyak tanah yang mengandung 0,5% residu) Kecepatan pengumapan slurry ke dalam decanter 350 l/jam Kecepatan pengumpanan cake ke dalam rotary tube dryer 15 Hz. 4.2. Karakteristik Batubara Karakteristik batubara sebelum dan setelah proses UBC skala pilot untuk run 1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air total dan air bawaan batubara asal cukup tinggi, yaitu masing-masing 32,28% dengan kadar abu yang sangat rendah, yaitu 0,98%. Dengan kadar air bawaan yang tinggi dapat mengakibatkan rendahnya nilai kalor. Selanjutnya, efisiensi pembakaran akan menjadi kecil sehingga untuk mendapatkan jumlah kalor tertentu, jumlah batubara yang harus dibakar akan menjadi lebih besar, sehingga gas CO2 yang dihasilkannya pun akan menjadi besar. Setelah proses UBC, air bawaan pada run 1 turun menjadi 8,32% dan pada run 2 turun menjadi 8,42%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa proses UBC efektif menurunkan kadar air total dengan persen penurunan antara 71,4 dan 71,8%.

Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar

185

Tabel 2. Karakteristik Batubara Mulia Sebelum dan Setelah Proses UBC ANALISIS AIR TOTAL PROKSIMAT : AIR BAWAAN ABU ZAT TERBANG KARBON PADAT NILAI KALOR ULTIMAT : KARBON HIDROGEN NITROGEN OKSIGEN SULFUR SATUAN % ar % adb % adb % adb % adb Kal/gr % adb % adb % adb % adb % adb BATUBARAASAL 32,28 29,47 0,98 37,80 31,75 4.873 50,69 6,60 0,49 41,07 0,17 RUN1 8,32 3,69 47,44 40,55 6.196 62,48 6,36 0,58 26,73 0,16 RUN2 8,42 3,58 46,83 41,17 6.135 63,51 5,73 0,59 26,44 0,15

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa dengan turunnya air bawaan, nilai kalor naik dari 4.873 kal/g menjadi 6.196 kal/gr pada run 1 dan menjadi 6.135kal/g pada run 2 atau terjadi kenaikan yang cukup signifikan antara 25,9 dan 27,2%. Analisis proksimat dan ultimat batubara hasil proses UBC dilakukan setelah disimpan sekian lama sampai mencapai kesetimbangan. Hal ini dilakukan agar mendekati keadaan sebenarnya, karena pada umumnya batubara hasil proses UBC tidak langsung digunakan konsumen tapi disimpan terlebih dahulu sebagai persediaan. Dari hasil analisis proksimat seperti pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa kenaikan kadar abu kemungkinan besar terjadi karena adanya sisasisa minyak residu yang menempel pada batubara, menjadi abu sisa pembakaran batubara. Namun demikian, kenaikan kadar abu ini tidak akan menjadi masalah, karena masih <5%. Kandungan

zat terbang naik secara signifikan dari 37,80% menjadi 47,44% pada run 1 dan menjadi 46,83% pada run 2. Kenaikan zat terbang ini disebabkan karena masih adanya minyak pada batubara hasil proses UBC yang ikut teruapkan saat pemanasan dan terdeteksi sebagai zat terbang. Sementara kandungan karbon padat naik karena turunnya kandungan air lembab, yaitu dari 31,75% menjadi 40,55% pada run 1 dan menjadi 41,17% pada run 2. Hasil analisis ultimat seperti pada Gambar 3 memperlihatkan bahwa kadar karbon naik dari 50,69% menjadi 62,48% pada run 1 dan menjadi 63,51% pada run 2. Kandungan hidrogen dan oksigen turun sebagai akibat turunnya kadar air (H 2 O). Penurunan oksigen lebih signifikan dibandingkan dengan penurunan kandungan hidrogen. Kadar nitrogen dan sulfur batubara setelah proses UBC tidak mengalami perubahan yang cukup berarti.

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
AIR BAWAAN ABU ZAT TERBANG KARBON PADAT

8,000 4,873 6,000 kal/gr 4,000 2,000 0 BATUBARA ASAL

6,196

6,135
%, adb

RUN 1

RUN 2

BATUBARA ASAL

RUN 1

RUN 2

Gambar 1. Pengaruh Proses Terhadap Kenaikan Nilai Kalori

Gambar 2. Hasil analisis proksimat sebelum dan sesudah proses UBC

186

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


70 60 50

40 30 20 10 0 KARBON HIDROGEN NITROGEN OKSIGEN SULFUR

tekan briket yang dihasilkan. Sedangkan densitas berfluktuasi tapi tidak cukup berarti. Pada run 1, kecepatan roll optimum adalah pada 10 rpm dengan kuat tekan 73 kg/cm2, sedangkan pada run 2 dicapai pada kecepatan roll 8 dengan kuat tekan 98 kg/cm2. Pengaruh temperatur pembriketan terhadap kuat tekan dan densitas briket UBC pda kecepatan roll yang sama dapat dilihat pada Gambar 5.

%, adb

BATUBARA ASAL

RUN 1

RUN 2

Gambar 3. Hasil analisis ultimat sebelum dan sesudah proses UBC

4.3. Optimalisasi Pembriketan Setelah dilakukan modifikasi di seksi 500 dengan jalan mengganti roll pada mesin briket dengan ukuran cetakan yang lebih kecil (ukuran ini sesuai dengan ukuran cetakan pada mesin briket yang akan digunakan pada UBC demontration plant). Proses pembriketan pada percobaan ini mempunyai unjuk kerja yang sangat baik dibandingkan dengan pembriketan pada percobaan sebelumnya. Variabel percobaan terdiri atas: Kecepatan roll: 8, 10, 13, 15,17 dan 20 Temperatur pembriketan: antara 70C dan 115C Hasil percobaan pengaruh kecepatan roll terhadap kuat tekan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa kecepatan roll pada temperatur yang sama sangat berpengaruh terhadap kuat tekan briket UBC yang dihasilkan. Makin tinggi kecepatan roll, makin rendah kuat

Gambar 5. Pengaruh temperatur terhadap kuat tekan dan densitas briket

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa temperatur berpengaruh terhadap kuat tekan dan densitas briket UBC yang dihasilkan pada kecepatan roll yang sama. Temperatur optimum dicapai pada temperatur 80C dengan kuat tekan 73 kg/cm2 pada run 1 dengan kuat tekan 98 kg/cm2 pada run 2 pada temperatur yang sama. Ketika temperatur dinaikkan, kuat tekan briket mengalami penurunan baik pada run 1 maupun pada run 2. Proses pembriketan yang paling baik pada percobaan ini adalah pembriketan dengan kondisi kecepatan roll 8 rpm dan temperatur 80 - 1100C. Pada kondisi ini briket UBC yang dihasilkan mempunyai kuat tekan 73 - 77 kg/cm2, densitas 1,015 1,04 g/cm3 dan kecepatan produk briket UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/jam. Hasil ini hampir sama dengan hasil pembriketan dengan kondisi yang sama pada percobaan sebelumnya yang dapat menghasilkan briket dengan kuat tekan rata-rata 70 - 80 kg/cm2. Hal ini dapat terjadi karena ukuran cetakan briket batubara lebih kecil dibandingkan dengan ukuran cetakan briket pada percobaan sebelumnya, sehingga kuat tekan briket yang dihasilkan lebih tinggi. Hasil unjuk kerja pembriketan pada percobaan ini sangat memuaskan, sehingga data yang dihasilkan akan

Gambar 4. Pengaruh kecepatan roll terhadap kuat tekan dan densitas briket

Karakterisasi dan Optimalisasi Pembriketan pada Batubara ... Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar

187

sangat mendukung untuk kepentingan uji coba pada UBC demontration plant di Kecamatan Satui, Kalimantan Selatan.

6.

KESIMPULAN DAN SARAN

UBC, Palimanan, Cirebon hendaknya tetap digunakan sebagai sarana penelitian untuk pengembangan proses UBC terhadap batubara lainnya di Indonesia guna mendapatkan teknologi proses yang secara teknis dan ekonomis lebih menguntungkan.

6.1. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA Kondisi proses UBC yang dianggap optimum pada pilot plant Palimanan Cirebon, adalah pada kondisi : Ukuran batubara umpan < 3mm dengan kecepatan pengumpanan 100 kg/jam Konsentrasi batubara dalam slurry 30% (30% batubara, 70% minyak tanah yang mengandung 0,5% residu) Kecepatan pengumapan slurry ke dalam decanter 350 l/jam Kecepatan pengumpanan cake ke dalam rotary tube dryer 15 Hz. Pada kondisi tersebut di atas, proses UBC menurunkan kadar air bawaan (inherent moisture) batubara Mulia sebesar 71,6%, sehingga nilai kalor naik sebesar 26,5%. Sementara kadar abu, zat terbang, karbon padat, karbon, belerang dan nitrogen mengalami sedikit kenaikan, sedangkan kadar hidrogen dan oksigen turun karena turunnya kadar air (H2O). Sedangkan untuk proses pembriketan yang paling baik pada percobaan ini adalah pembriketan dengan kondisi, kecepatan roll 8 rpm, temperatur 80 - 1100C, kuat tekan 73 - 77 kg/cm2, densitas 1,015 1,04 g/cm3 dan kecepatan produk briket UBC yang dihasilkan sebanyak 1.104 kg/jam. 6.2. Saran Kondisi proses yang dianggap optimum pada pilot plant UBC, Palimanan, Cirebon yang dilakukan pada kajian ini, berlaku untuk batubara Mulia yang berasal dari daerah Satui, Kalimantan Selatan. Sedangkan untuk batubara dari daerah lain kondisinya akan berbeda. Karena itu, pilot plant Umar D. F., Kunrat S. K., Rijwan, I., Hudaya, G. K., Setiawan L. dan Sodikin, I., 2007. Persiapan Pembangunan UBC Demonstration Plant, Laporan Intern Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. www. wikipedia. com (2008). Deguchi, T., Shigehisa, T., Makino, E. and Otaka, Y., 2002. Study on Upgraded Brown Coal Process for Indonesian Low Rank Coals, Proc. International Conference and Exhibition on Clean and Efficient Coal Technology in Power Generation, Coal-Tech 2002, Indonesia. Shigehisa, T., Deguchi, T., Shimasaki, K. and Makino, E., 2000. Development of UBC Process Paper presented at the International Conference on Fluid and Thermal Energy Conversion, Indonesia. Suwono, A. dan Hamdani, 2000. Upgrading The Indonesians Low Rank Coal by Superheated Steam Drying with Tar Coating Process and its Application for Preparation of CWM, Coal Preparation, Vol 21, pp. 149-159. Sukhiyar, R., 2009. Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia, Seminar dan Workshop Indonesian Coal Conference Jakarta. Tsai, S.C., 1982. Fundamental of Coal Beneficiation and Utilization, Coal Science and Technology 2, Elsevier Publishing Company.

188

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ANALISIS DAMPAK EKONOMI TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS BATUBARA PERINGKAT RENDAH DI INDONESIA

Gandhi Kurnia Hudaya Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jalan Jenderal Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483, Fax. 022 - 6003373 - e-mail : gandhi@tekmira.esdm.go.id

SARI Kebutuhan batubara di dunia semakin meningkat terutama sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Indonesia adalah salah satu negara pengekspor terbesar di dunia. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh batubara peringkat rendah sebesar 59%. Teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang dan Australia adalah teknologi peningkatan kualitas batubara peringkat rendah melalui upaya menghilangkan kandungan air di dalam batubara tersebut untuk meningkatkan nilai kalorinya sehingga pemasarannya akan mudah dan harga jualnya meningkat. Teknologi itu adalah UBC (Upgraded Brown Coal) dan BCB (Binderless Coal Briquetting). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari pengembangan teknologi UBC dan BCB serta penerapan teknologi tersebut dengan membangun pabrik komersialnya di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak ekonominya adalah : pemanfaatan batubara peringkat rendah yang meningkat, menambah devisa negara sebesar US$ 140-210 juta pertahun, menambah pendapatan pajak pemerintah sebesar Rp 130-200 milyar pertahun, menciptakan lapangan kerja 1.000 orang, menciptakan multiplier effect bagi perekonomian daerah dan menciptakan iklim investasi yang baik bagi industri pertambangan dan pengolahannya. Kata kunci : batubara peringkat rendah, UBC, BCB, dampak ekonomi

ABSTRACT The needs of coal in the world has been increasing mainly as a fuel of power. Indonesia is one of the largest exporter country in the world. Indonesia coal reserve is dominated by low-rank coal as much as 59%. The technology developed by companies in Japan and Australia is technology to improve the quality of low rank coal through the reducing of water contained in coal so that the caloriefic value of coal increased then the marketing will be easier and selling price will also increase. The technologies are UBC (Upgraded Brown Coal) and BCB (Binder less Coal Briquetting). This study is aimed to understand the economic impact of developing UBC and BCB technologies and the implementation of these technologies includes building commercial plant in Indonesia. Results indicate that the economic impact are: increase the utilization of low rank coal, increase the state income of US$ 140-210 million per year, increase government tax revenue of Rp 130-200 billion per year, creat 1,000 jobs, creating a multiplier effect for regional economic and create a better investment climate for mining and processing industries. Keywords : low rank coal, UBC, BCB, economic impact

Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya

189

1.

PENDAHULUAN

Batubara adalah salah satu sumber energi yang saat ini menjadi primadona di dunia. Harganya yang relatif rendah serta ketersediaannya yang masih melimpah merupakan daya tarik bagi industri-industri di dunia yang saat ini banyak sekali dibutuhkan untuk menghasilkan listrik. Batubara lebih disukai karena untuk menghasilkan listrik sebesar 1 MGW/h dibutuhkan biaya US$ 12,98 (asumsi harga batubara US$ 90/ton) lebih kecil bila dibandingkan dengan minyak yang sebesar US$ 30 (asumsi harga minyak US$ 54/ barrel) dan LNG yang sebesar US$ 20,47 (asumsi harga LNG $6/Mmbtu) (Ermina Miranti, 2008). Indonesia adalah salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia dan memiliki cadangan yang cukup besar. Pada akhir tahun 2008, potensi batubara Indonesia mencapai 105 milyar ton dimana 22 milyar ton diantaranya berupa cadangan (www.esdm.go.id). Namun, sekitar 59% dari cadangan tersebut termasuk batubara peringkat rendah (Ermina Miranti, 2008). Batubara peringkat rendah Indonesia pada umumnya mengandung kadar air yang tinggi (20-40%). Kadar air yang tinggi menyebabkan tingginya biaya penanganan dan transportasi yang tinggi serta nilai kalori yang rendah sehingga hingga saat ini penggunaan batubara kalori rendah masih terbatas, umumnya hanya digunakan untuk pencampuran atau digunakan pada pembangkit listrik mulut tambang. Teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah merupakan teknologi yang diharapkan dapat menjaga kesinambungan pasokan batubara serta untuk meningkatkan pemanfaatan batubara

kalori rendah dengan maksimal. Batubara kalori rendah Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan dengan batubara dari negara lain, yaitu memiliki kadar abu dan sulfur yang rendah sehingga dijadikan target utama untuk pengembangan teknologi tersebut. Hingga saat ini, telah berdiri dua pabrik teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah di Indonesia yaitu pabrik percontohan UBC (Upgraded Brown Coal) dan pabrik komersial BCB (Binderless Coal Briquetting). Kedua pabrik tersebut berlokasi di Kalimantan. Penelitian ini bermaksud menganalisis dampak ekonomi bagi pengembangan teknologi UBC dan BCB serta penerapannya melalui pembangunan pabriknya di Indonesia. Diharapkan hasil analisis ini dapat menjadi salah satu bahan, baik untuk calon investor maupun untuk pemerintah dalam mengambil kebijakan terhadap teknologi yang tergolong teknologi baru.

2. A.

TEKNOLOGI UBC DAN BCB Teknologi UBC

Teknologi UBC dikembangkan oleh Kobe Steel Ltd, sebuah perusahaan baja di Jepang. Teknologi UBC merupakan proses penurunan kadar air bawaan batubara peringkat rendah menjadi menyerupai batubara peringkat tinggi (bituminus) sehingga nilai kalori batubara tersebut meningkat. Proses ini dilakukan dengan mencampurkan batubara, minyak residu dan minyak tanah, kemudian dipanaskan pada temperatur 1500C 1600C dengan tekanan 250 kPa 350 kPa. Produk UBC berupa serbuk dan briket (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram proses teknologi UBC (sumber : brosur UBC)

190

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Pabrik UBC skala percontohan dengan kapasitas 1.000 ton/hari umpan atau 600 ton/hari produk dibangun di Satui, Kalimantan Selatan di lokasi tambang batubara PT Arutmin berdasarkan perjanjian kerjasama antara Japan Coal Energy Center (JCOAL), Jepang dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia (Gambar 2). Pabrik UBC skala pilot di Palimanan, Jawa Barat dengan kapasitas 5 ton/hari, telah berhasil dikembangkan dan dioperasikan. Nilai kalori batubara dari < 5.000 kal/g dapat ditingkatkan menjadi 6.200-6.800 kal/g. Biaya konstruksi dan pengoperasian pabrik UBC skala percontohan dari tahun 2007-2010 diperkirakan memakan biaya sebesar US$ 70 juta (Kobelco, 2006). Pabrik UBC komersial direncanakan berkapasitas sebesar minimal 5000 ton produk per hari atau 1,7 juta ton pertahun.

Gambar 3. Diagram proses teknologi BCB


(sumber : ww.whiteenergyco.com)

PT Bayan Resources Tbk (BAYAN) menggandeng White Energy Company membentuk perusahaan patungan PT Kaltim Supacoal (KSC) untuk membangun pabrik modular peningkatan mutu batubara bersih berkapasitas satu juta ton/tahun di tambang Tabang, Kalimantan Timur (Gambar 4). Pabrik ini telah diresmikan pada bulan April 2009 dan direncanakan akan mulai berproduksi pada akhir semester kedua 2009. Nilai investasi pabrik ini mencapai US$ 68 juta (Koran Investor Daily, 27 April 2009).

Gambar 2. Pabrik percontohan UBC (sumber : brosur UBC)

B.

Teknologi BCB

Teknologi BCB dikembangkan oleh White Energy Company, sebuah perusahaan teknologi coal upgrading yang berpusat di Australia. Teknologi BCB merupakan proses peningkatan mutu batubara dengan cara menghilangkan kadar air dalam batubara sehingga nilai kalorinya akan meningkat. Proses utamanya adalah menggerus batubara dan kemudian memanaskannya untuk menghilangkan kadar air dalam batubara. Setelah dipanaskan, batubara dimampatkan melalui proses pembriketan (Gambar 3). Teknologi BCB mampu membuat batubara dari kalori rendah 4,200 kcal/kg gross as received (GAR) menjadi 6,100 kcal/kg GAR.

Gambar 4. Pabrik modular peningkatan mutu batubara bersih (sumber : www.bayan.com.sg)

Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya

191

3.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yaitu mencari referensi dan literatur untuk memperoleh data sekunder mengenai teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah di Indonesia. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan analisis deskripsi dan analisa kuantitatif. Analisis deskripsi dilakukan terhadap data-data yang telah dikumpulkan yang berhubungan dengan teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah di Indonesia serta data-data lain yang berhubungan. Analisa kuantitatif dilakukan terhadap data-data ekonomi yang telah dikumpulkan untuk memberikan gambaran dampak ekonomi dari aplikasi teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah di Indonesia.

teknologi ini maka keluaran pabrik yang berupa batubara berkalori tinggi akan mudah untuk dijual baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga memberikan nilai tambah yang lebih besar. 2. Menambah devisa negara Indonesia adalah salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Pada tahun 2009, dari produksi batubara sebanyak 190 juta ton, akan diekspor sebanyak 160 juta ton dan sisanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Setiap pendirian 1 buah pabrik komersial UBC dan BCB, dapat menambah produksi batubara sebesar 2-3 juta ton per tahun. Dengan asumsi harga batubara tahun 2009 sebesar US$ 70 per ton, maka devisa negara yang dapat dihasilkan adalah US$ 140210 juta. 3. Meningkatkan penghasilan negara dari pajak perusahaan Pendapatan negara Indonesia didominasi oleh sektor pajak, dimana salah satunya adalah pajak perusahaan. Untuk perusahaan tambang, selain pajak juga ada royalti untuk setiap ton batubara yang diproduksi. Setiap pembangunan pabrik UBC dan BCB membutuhkan pasokan batubara wantah diluar produksi batubara saat ini. Untuk setiap pabrik UBC dan BCB yang dibangun, akan dihasilkan produk upgraded coal sebanyak 2-3 juta ton pertahun. Sebagai perbandingan, perusahaan tambang batubara PT Bukit Asam (PTBA), pada tahun 2008 menjual batubara sebanyak 12,8 juta ton dan memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam bentuk pajak sebesar Rp 844 milyar (Rania Rahmundita, 2009). Dari perbandingan jumlah penjualan maka dapat diperkirakan bahwa setiap pabrik UBC dan BCB yang dibangun dapat menambah penghasilan negara melalui pajak sekitar Rp 130-Rp 200 milyar per tahun. 4. Menciptakan lapangan pekerjaan Pembangunan pabrik peningkatan kualitas batubara baik teknologi UBC maupun BCB, akan memberikan lowongan pekerjaan yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia umumnya dan bagi masyarakat sekitar pabrik pada khususnya. Lowongan pekerjaan ini akan terbuka sejak pekerjaan konstruksi pabrik dimulai hingga kemudian beroperasinya pabrikpabrik tersebut. Selain untuk karyawan pabrik, lowongan kerja juga akan terbuka bagi

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tren pemanfaatan batubara terutama untuk sektor listrik di dunia mendorong banyak pihak untuk dapat terlibat di dalamnya. Perusahaan Kobe Steel dan White Energy berinvestasi dalam riset teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah agar dapat memiliki patent teknologi yang menguntungkan perusahaan. Indonesia adalah negara sasaran utama untuk ujicoba dan pengembangan teknologi tersebut karena keunggulan kualitas dan jumlah batubara peringkat rendahnya. Untuk mengetahui dampaknya bagi Indonesia maka salah satu dampak yang mudah dihitung atau dianalisis secara kuantitatif adalah dampak ekonomi. Dampak ekonomi penerapan teknologi peningkatan kualitas batubara kalori rendah di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan sumber daya alam Potensi batubara kalori rendah Indonesia sebesar 60 milyar ton (60% dari cadangan total 104 milyar ton) termasuk besar dan dapat lebih ditingkatkan pemanfaatannya. Sebelumnya, batubara kalori rendah kurang dimanfaatkan atau bila diekspor hanya sebagai pencampur (blending) batubara kalori tinggi. Dengan adanya

192

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

peningkatan kapasitas produksi ataupun pembangunan infrastruktur tambang yang baru untuk memasok kebutuhan pabrik tersebut. Sebagai perbandingan, PTBA saat ini mempekerjakan sekitar 3.346 pegawai. Jika dibandingkan berdasarkan jumlah penjualan batubara pertahun, maka dapat diperkirakan bahwa lowongan kerja baru yang akan tersedia adalah sekitar 1.000 orang. Hal ini akan membantu program pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. 5. Menciptakan multiplier effect dari proyek Seandainya pabrik peningkatan kualitas batubara beroperasi dengan kapasitas 2-3 juta ton, maka pabrik itu akan membutuhkan 4-5 juta ton batubara per tahun. Perusahaan tambang yang selama ini belum menggarap cadangan batubara peringkat rendah di wilayah kerjanya, akan mulai memproduksinya untuk memenuhi kebutuhan pabrik peningkatan kualitas batubara tersebut. Selain itu perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik yang baru seperti perusahaan katering, transportasi dan perusahaan pendukung lainnya. 6. Menciptakan iklim investasi yang baik bagi investor Keberhasilan proyek peningkatan kualitas batubara dimana proyek ini termasuk proyek besar, akan memberikan kesan baik kepada investor lokal maupun luar negeri akan aman dan ramahnya iklim investasi di Indonesia. Diharapkan para investor tersebut akan ikut juga berinvestasi di indonesia.

b) Menambah devisa negara sebesar US$ 140210 juta per tahun. c) Menambah pendapatan dari pajak sebesar Rp 130-200 milyar per tahun. d) Menciptakan lapangan kerja sebanyak 1.000 orang. e) Menciptakan multiplier effect yang bermanfaat, terutama bagi perekonomian daerah. f) Menciptakan iklim investasi yang baik bagi investor, terutama di sektor pertambangan dan pengolahannya.

DAFTAR PUSTAKA Brosur UBC, Peresmian Pabrik Percontohan UBC di Satui, 2008. Ermina Miranti, Prospek Industri Batubara di Indonesia, Economic Review No. 214, Desember 2008. Investor Daily, 27 April 2009. http:// Investorindonesia.com Kobelco Online, 5 July 2006. http:// www.kobelco.co.jp. Rania Rahmundita, Coal Mining, CIMB-GK Research, Juni 2009. Website Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Januari 2009. http://www.esdm.go.id Website PT Bayan www.bayan.com.sg. Resources (Tbk).

5.

KESIMPULAN

Dampak ekonomi dari pembangunan pabrik teknologi peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan teknologi UBC dan BCB adalah : a) Pemanfaatan batubara peringkat rendah sebagai sumber daya alam.

Website PT Tambang Batubara Bukit Asam (Tbk). www.ptba.co.id. Website White Energy www.whiteenergyco.com. Company.

Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ... Gandhi Kurnia Hudaya

193

KAJIAN MANFAAT DAN BIAYA PENAMBANGAN BIJIH BESI DI KABUPATEN MERANGIN, PROPINSI JAMBI

Endang Suryati dan M. Lutfi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : endangs@tekmira.esdm.go.id, lutfi@tekmira.esdm.go.id

SARI Produksi penambangan bijih besi di Kabupaten Merangin, direncanakan antara 60.000 sampai dengan 400.000 ton per tahun. Kegiatan penambangan bijih besi, menimbulkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk menghitung manfaat dan biaya dipergunakan Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method). Manfaat dari kegiatan penambangan, yaitu adanya peluang kerja untuk masyarakat lokal, hal ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja lokal sebesar 35,08% dapat terserap di kegiatan penambangan bijih besi, dengan penghasilan rata-rata Rp 1.500.000,per bulan/orang, maka jumlah penghasilan seluruh tenaga kerja lokal per bulan Rp 60.000.000,-.. Disamping itu manfaat yang diperoleh daerah, dari kegiatan penambangan tersebut, berasal dari pajak dan retribusi sebesar Rp jadi total manfaat sebesar Rp 420.000.000,. Apabila dibandingkan dengan biaya eksternalitas sebesar Rp 403.290.000,-, maka perbandingan manfaat dan biaya eksternalitas adalah 1,04. Yang berarti manfaat lebih besar dari pada biaya eksternalitas. Kata kunci : manfaat dan biaya, kegiatan penambangan bijih besi, metode valuasi kontingesi

ABSTRACT Iron ore production is mine at Merangin regency to plan 60.0000 until 400.000 ton per year. Iron ore mine activity is positive impact to arouse for region economic growth. Contingent Valuation Method use for calculation of benefit and cost. Mine activities for benefit are local labor 35,08%, income person Rp. 1.500.000,-/month. Local labor are total income Rp 60.000.000,- per month, tax and retribution are Rp 420.000.000,-.Externalities cost are Rp 403.290.000,-. So benefit and externalities cost comparative are 1:2. Keywords: benefit and cost, iron ore mine activity, contingent valuation method

194

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

1.

PENDAHULUAN

lingkungan akibat penambangan bijih besi.

Pembangunan ekonomi baik di negara industri maupun di negara berkembang berdasarkan pada sumber daya alam dan produktivitas sistem alami. Pembangunan ekonomi mengandung arti peningkatan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat yang diperoleh dari barang-barang dan jasa-jasa konvensional, yang produksinya sering memerlukan sumber daya alam dan sistem alami yang produktif. Lagi pula, lingkungan wilayah secara langsung menyediakan jasa yang menyumbang pada peningkatan kesejahteraan seperti tersirat pada pembangunan ekonomi. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi sering diikuti dengan tekanan yang makin berat pada sistem alami dan dampak negatif kualitas lingkungan. Oleh karena itu, masalah yang penting adalah melaksanakan kegiatan pembangunan sedemikian rupa agar dapat melestarikan produktivitas jangka panjang sistem alami agar pembangunan berkelanjutan dan dapat minimumkan kerusakan kualitas lingkungan.(John A. Dixon & Maynard M. Hufschmidt, 1986) Rencana Kegiatan penambangan pasir besi di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi, tidak terlepas dari tingginya permintaan akan komuditas bijih besi, di pasar internasional. Kegiatan eksplorasi bijih besi mendapat dukungan dari pemerintah dalam upaya melakukan diversifikasi produk ekspor guna meningkatkan devisa bagi negara. Salah satu lokasi cadangan bijih besi di Indonesia terdapat di desa Pulau Layang, Kecamatan Batang Mesumai, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi. Berdasarkan studi kelayakan, produksi bijih besi direncanakan mencapai 60.0000 400.000 ton per tahun. Berdasarkan perhitungan cadangan, operasional tambang diperkirakan akan berlangsung sampai 2,3 tahun. Mengingat dampak positif dan negatif yang ditimbulkan cukup penting, maka diperlukan analisis manfaat dan biaya yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan bijih besi. Dampak positif yang timbul biasanya berhubungan dengan pertumbuhan perekonomian daerah, sedang dampak negatifnya adalah biaya kerusakan

2.

METODOLOGI

Untuk menghitung kajian manfaat dan biaya, dipergunakan Metode Valuasi Kontingensi ( Contingent Valuation Method). Metode inii merupakan metode valuasi Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan dengan cara menanyakan langsung kepada masyarakat sekitar, tentang nilai manfaat SDA dan lingkungan yang mereka rasakan.( Kumpulan Materi Ekonomi Lingkungan PSLH UGM Yogyakarta).

3.

PEMBAHASAN

Lokasi Rencana Kegiatan Secara administrasi pemerintah daerah, kegiatan pertambangan bijih besi termasuk dalam wilayah Kecamatan Bengalon dan Kecamatan Sangkulirang Bangko, Kabupaten Merangin. Berdasarkan pengamatan lapangan, lokasi rencana kegiatan juga termasuk dalam Kecamatan Karangan dan Kaubun yang merupakan wilayah pemekaran Kecamatan Sangkulirag. Lokasi studi berada di 3 (tiga) desa yaitu desa Pulau Layang dan desa Rantau Alai di wilayah kecamatan Batang Mesumai, serta desa Mentawak Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin. Desa Pulau Layang dan Kecamatan Batang Mesumai merupakan desa dan kecamatan yang relative baru sebagai kecamatan definitif, merupakan pemekaran dan Kecamatan.Batang Mesumai. Kependudukan Jumlah penduduk di lokasi studi pada tahun 2007 adalah 3.690 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi). Jumlah penduduk desa Pulau Layang relatif lebih tinggi yaitu 1.714 jiwa yang terdiri atas 874 jiwa laki-laki dan 840 jiwa perempuan sedangkan yang terkecil terdapat di desa Rantau Alay yaitu sebesar 621 jiwa yang terdiri atas 300 jiwa laki-laki dan 321 jiwa perempuan (Gambar 2). Jumlah angkatan kerja produktif di desa-desa lokasi studi relatif seimbang, secara kuantitatif yang mempunyai angkatan kerja produktif terbesar adalah di desa Pulau Layang yaitu 1.090 jiwa

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi

195

Gambar 1. Peta lokasi

Tingkat Pendidikan Kualitas sumberdaya manusia masyarakat di sekitar lokasi rencana kegiatan relatif rendah, seperti terlihat pada Gambar 3. Pada umumnya penduduk di lokasi studi memiliki tingkat pendidikan tertinggi setingkat SD, yaitu Desa Pulau Layang (79,3%), Desa Mentawak (63,7%) dan Rantau Alay (46,2%). Persentase terbanyak diantara desa-desa lokasi studi yang penduduknya menamatkan pendidikan tertinggi sampai SLTA adalah di Desa Rantau Alai sebesar 19,2% dan Desa Mentawak sebanyak 12,3%.. Dari uraian terlihat bahwa motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ketingkat yang lebih tinggi di wilayah penelitian cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya anak-anak responden yang mempunyai pendidikan setingkat SLTP dan SLTA, walaupun jarak dari desa-desa ke lokasi sekolah cukup jauh dan angkutan umum terbatas. Gambaran ini menunjukan bahwa penduduk di wilayah penelitian terdorong untuk membekali

Gambar 2. Jumlah penduduk di desa-desa sekitar kegiatan penambangan bijih besi

(63,6%) dari total penduduk, sedangkan di desa Rantau Alai 53,41% dan desa Mentawak 57,21%.

196

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

pendidikan tinggi kepada anak-anaknya agar dapat memasuki peluang kerja yang lebih baik dibandingkan orang tua mereka.

pedagang (7,2%) dan buruh tani (5,5%). Di desadesa lokasi studi, hanya sebagian kecil Kepala Keluarga yang memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan mereka, terutama masih di sektor pertanian seperti buruh tani dan menggarap lahan orang lain yang terdapat di desa mereka, serta berdagang. Selain itu juga ada yang menjadi buruh bangunan musiman di kota. Pendapat Masyarakat Untuk mengetahui pendapat masyarakat, mengenai rencana pembangunan pertambangan bijih besi, masyarakat diberi pertanyaan/kuesioner mengenai manfaat dan resiko dari kegiatan pertambangan ini. Hasil wawancara dengan responden di lokasi studi memperlihatkan bahwa seluruh responden di Desa Pulau Layang dan Rantau Alai sebanyak 100% sudah mengetahui rencana dari pembanguna pertambangan bijih besi. Sedangkan penduduk Mentawak relatif lebih kecil yang sudah mengetahui rencana tersebut, yaitu sebanyak 10% saja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Pada tabel 3 memperlihatkan sebagian besar responden di lokasi studi (80,10%) menyatakan tidak keberatan terhadap rencana pembangunan pertambangan bijih besi yang akan melewati rumah pemukiman mereka. Pada umumnya alasan tidak keberatan adalah karena pertambangan tersebut merupakan program pemerintahan dan untuk kepentingan umum, serta proyek tersebut tidak akan merugikan masyarakat. Sedangkan responden yang menyatakan keberatan terhadap rencana pertambangan hanya 5%. Berdasarkan kriteria responden di atas, pembangunan pertambangan bijih besi dianggap oleh penduduk akan memberikan keuntungan kepada mereka. Dan yang menyatakan memberikan keuntungan dengan adanya penambangan bijih besi ini sebanyak 78,7% pada umumnya penduduk menghubungkan keuntungan tersebut dengan akan bertambahnya peluang kesempatan kerja, desa jadi lebih ramai serta dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4. Hadirnya kegiatan pertambangan bijih besi, pada satu sisi dianggap akan memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitarnya. Namun, disisi lain pembangunan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan penduduk. Berdasarkan tiga kriteria responden yang telah disebutkan diatas,

Gambar 3. Mata pencaharian di desa-desa sekitar kegiatan penambangan bijih besi

Selain itu dengan semakin ramainya kawasan Kota Bangka dan sekitarnya, mendorong penduduk untuk mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik agar dapat memasuki lapangan pekerjaan tersebut.

Gambar 4. Mata pencaharian di desa-desa sekitar kegiatan penambangan bijih besi

Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian utama kepala keluarga di desadesa lokasi studi adalah di sektor pertanian bidang perkebunan karet dan kelapa sawit. Di desa-desa sekitar lokasi penambangan sebagian besar mengandalkan kehidupannya dari pertanian (petani) yang digeluti oleh 80% penduduk,

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi

197

Tabel 1. pengetahuan responden terhadap rencana pembangunan pertambangan bijih besi Pengetahuan tentang rencana pembangunan Tahu Jml Pulau Layang Rantai Alai Mentawak
Sumber : Data Primer, diolah

Tidak tahu % 100 100 10 Jml 0 0 8 % 0 0 80

Tidak menjawab Jml 0 0 1 % 0 0 10 Jml 50 20 10

Jumlah % 100 100 100

50 20 1

Tabel 2. Sumber informasi tentang rencana pembangunan pertambangan bijih besi Sumber Informasi tentang rencana pembangunan Desa Pemilik lahan Jml Pulau Layang Rantai Alai Mentawak
Sumber : Data Primer, diolah

Aparat Desa Jml 4 0 0 % 8 0 0

Tim survey Jml 6 2 1 % 12 10 10

Tidak menjawab Jml 38 18 9 % 76 90 10

Total Jml 98 20 10 % 100 100 100

% 4 0 0

50 0 0

Tabel 3.

Sikap responden terhadap rencana pertambangan bijih besi Desa

Sikap terhadap rencana pembangunan

Pulau Layang Jml % 72 8 0 4 0 4 0 4 4

Rantau Alai Jml 16 0 0 0 1 0 0 1 2 20 % 80 0 0 0 5 0 0 5 10 100

Mentawak Jml 3 0 2 0 0 0 1 1 3 10 % 30 0 20 0 0 0 10 10 30 100

Jumlah Jml 55 4 2 2 1 2 1 4 9 80 % 68,5 5 2,5 2,5 1,3 2,5 1,3 5 11,3 100

Ya, tidak keberatan Ya, tdk keberatan,krn unt kepentingan umum. Terserah warga lain Tidak keberatan,desa jadi rencana penambangan Tidak keberatan, asal perhatikan warga Tidak keberatan, ada peluang usaha Terserah/tidak peduli, rencana penambangan Keberatan/tidak setuju Tidak menjawab Total
Sumber ; Data Primer, diolah

36 4 0 2 0 2 0 2 8

50 100

198

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 4. Keuntungan dari rencana penambangan bijih besi Desa Keterangan Pulau Layang Jml Memberi sumbangan Jml pada kegiatan desa Peluang kerja proyek Jml Desa jadi ramai Peluang kerja & desa jadi ramai Harga tanah & desa jadi ramai Desa jadi ramai transport lancar Ekonomi meningkat Peluang kerja transport lancar Ganti rugi tinggi Tidak tahu Total
Sumber : Data Primer, diolah

Rantau Alai Jml 1 6 1 0 1 1 4 1 1 4 20 % 5 30 5 0 5 5 20 5 5 20 100

Mentawak Jml 1 6 0 1 0 0 0 0 0 2 10 % 10 60 0 10 0 0 0 0 0 20 100

Jumlah Jml 8 32 1 2 1 2 11 5 1 17 80 % 10 40 1,3 2,5 1,3 2,5 13,8 6,3 1,3 21,3 100

% 12 40 0 2 0 2 14 4 0 22

6 20 0 1 0 1 7 8 0 11

50 100

pembangunan pertambangan bijih besi dianggap oleh penduduk akan menimbulkan kekhawatiran kepada mereka. Sebanyak 78,7% responden memberikan rasa kekhawatiran dengan adanya rencana penambangan ini. (Tabel 5). Dengan adanya pembangunan penanbangan bijih besi di daerah inidiharapkan tidak menimbulkan kerugian bagi penduduk. Pada umumnya masyarakat menginginkan bahwa pembangunan dan pengoperasian penambangan bijih besi dapat memberikan peluang usaha baru bagi mereka, seperti ditunjuka

pada Tabel 6 dibawah ini. Sarana dan Prasarana Fasilitas yang diperlukan dalam pengangkutan bijih besi dari lokasi penambangan ke lokasi stockpile sementara dan selanjutnya ke lokasi pengolahan di pelabuhan antara lain ; Fasilitas jalan dan jembatan Fasilitas pelabuhan untuk pemuatan bijih besi dalam tongkang Fasilitas pembangkit tenaga listrik

Tabel 5. Kekhawatiran responden terhadap rencana penambangan bijih besi Desa Keterangan Pulau Layang Jml Lahan tani berkurang % Polusi udara Jml kebisingan Sedikit terima tenaga ocal Air sungai terganggu % Pembayaran ganti Jml rugi lambat Jalan jadi rusak Tidak ada kerugian Tidak tahu Total
Sumber : Data Primer, diolah

Rantau Alai Jml 4 4 1 6 2 1 0 2 20 % 20 20 5 30 10 5 0 10 100

Mentawak Jml 1 5 0 1 0 0 0 3 10 % 10 50 0 10 0 0 0 30 100

Jumlah Jml 22 10 4 17 3 7 1 16 80 % 27,5 12,5 5 21,5 3,8 8,8 1,3 20 100

% 34 2 6 20 2 12 2 22

17 1 3 10 1 6 1 11

50 100

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi

199

Tabel 6. Harapan responden berdasarkan posisi rumah/lahan terhadap rencana penambangan bijih besi Desa Keterangan Pulau Layang Jml Kampung TK lokal Jml lebih banyak Bantuan fas. Listrik Ekonomi meningkat Lebih perhatikan Jml lingkungan Ganti rugi lancar Sungai tidak tercemar Jalan desa diperbaiki Setelah ditambang Jml dijadikan pertanian Tidak tahu Total
Sumber : Data Primer, diolah

Rantau Alai Jml 6 2 4 1 5 1 1 0 0 20 % 30 10 20 5 25 5 5 0 0 100

Mentawak Jml 5 0 0 3 0 0 0 1 1 10 % 50 0 0 30 0 0 0 10 10 100

Jumlah Jml 35 6 6 6 7 9 1 4 6 80 % 43,8 7,5 7,5 7,5 8,8 11,3 1,3 5 7,5 100

% 48 8 4 4 4 16 0 6 10

24 4 2 2 2 8 0 3 5

50 100

Fasilitas pasokan air bersih Bangunan pendukung operasi tambang Bangunan khusus bahan peledak Fasilitas penanganan dan penyimpanan bahan bakar Fasilitas penanganan limbah Bijih besi hasil penambangan (ROM) diangkut dengan dump truck menuju lokasi mesin pemecah bijih besi (crushing plant) di stockpile tambang yang lokasinya berjarak 37 km, merupakan tempat penimbunan (stockpile) sementara yang dibuat berdampingan dengan tempat penambangan. Luas lokasi penimbunan bijih besi di dekat areal penambangan lebih kurang 12 ha, agar dapat menampung sampai dengan 100.000 ton bijih besi hasil penambangan (ROM). Bijih besi dari stockpile tambang diangkut dengan dump truck menuju ke tempat pengolahan (coal processing plant/CPP) di lokasi pelabuhan Jambi melewati jalan yang sudah diperkeras berjarak + 15. km dari blok penambangan Area 1 dan Area 2. Kapasitas tampung stockpile di pelabuhan adalah 100 ton bijih besi ROM, dengan tinggi penimbunan maksimal 5 (lima) meter sehingga dibutuhkan areal penimbunan seluas + 104 Ha. Jalur jalan pengangkutan darat dari lokasi tambang ke pelabuhan menggunakan jalan desa, jalan kabupaten dan jalan provinsi yang juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai akses

transportasi darat, selain dipakai oleh beberapa perusahaan perkebunan yang saat ini beroperasi di daerah sekitar rencana kegiatan. Jalan dari tambang ke desa ini masih merupakan jalan tanah yang sebagian kecil sudah dilakukan perkerasan dengan kemiringan maksimum 15. Lebar jalan adalah 12 m, dengan saluran air akan dibuat di kedua sisinya. Jalan kabupaten dan provinsi sudah dilapisi aspal. Jenis Sumber Energi/Bahan Bakar Sumber energi berasal dari pembangkit listrik utama dengan daya 2 x 65 MW/jam ditambah dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan genset prime mover berbahan bakar solar sebesar 2 x 250 KVA. Debit dan Sumber Air Kebutuhan air dalam kegiatan penambangan terutama digunakan untuk penyemprotan daerah berdebu, pencucian peralatan angkut dan muat bijih besi, bengkel dan MCK bagi perumahan/ mess, dan coal preparation plant. Air yang diperlukan dapat dicukupi dari S. Rapak dan anak S. Rapak yang mengalir di daerah penambangan dengan debit 600 lt/detik pada saat peralihan musim kemarau ke musim hujan. Pada saat kemarau panjang debit aliran agak menyusut sampai 200 liter/detik dan bisa mencapai 2000 liter/detik di musim penghujan. Air sungai tersebut cocok dipakai untuk kegiatan konstruksi dan

200

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

industri, bahkan bila disaring, diendapkan dan disterilisasi dapat dipakai sebagai bahan air minum. Kegiatan Lain di Sekitar Lokasi Rencana Kegiatan Daerah rencana tambang semula merupakan areal HPH dari beberapa perusahaan kayu yaitu PT. Georgia Pacific, PT. Sangkulirang, PT. Segara Timber, PT. Gempu dan PT. Rashua Indochem. Di lokasi rencana kegiatan pertambangan bijih besi tidak terdapat kegiatan sejenis yang berbatasan langsung dengan daerah rencana penambangan bijih besi. Kegiatan lain di sekitar daerah rencana penambangan bijih besi adalah : a. Permukiman penduduk Di sebelah timur terdapat permukiman SP I Bumi Etam, SP II Bumi Rapak, SP VI Mata Air dan SP VII Bukit Permata. b. Perkebunan kelapa sawit Di sebelah timur terdapat perkebunan kelapa sawit PT. Telen dan PT. Sawit Prima Nusantara dan PT. Bunta Samba, di sebelah utara juga terdapat lahan perkebunan kelapa sawit milik PT. Telen.

c. Lahan Hutan Tanaman Industri Di sebelah selatan rencana kegiatan penambangan bijih besi terdapat hutan produksi kayu milik perusahaan pemegang HPH PT. Meranti Mitra Persada, sedangkan di sebelah timur HPH milik PT. Gawi Mulya.

Manfaat yang diperoleh bagi Daerah dan Masyarakat Kesempatan Kerja Pendapatan Daerah Peluang Usaha Kerusakan/kerugian : Gangguan kesehatan karena debu dari transportasi pengangkut bijih besi Menurunnya sumber air Manfaat kegiatan pertambangan bijih besi 1. Peluang Kerja Pada tahap operasi klasifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi dan jumlah tenaga kerja Pekerjaan General Manager Manajer Tambang Sekretaris Sub-Total Kadiv. Perencanaan Supervisor Perencanaan Tambang Lanjutan Supervisor pengembangan Staff ( Mining eng ) Staf ( Geologist ) Staff ( surveyor) Staff ( operator komputer) Staf ( juru gambar) Helper Sub-Total Kadiv. Operasional Tambang Supervisor penambangan Supervisor pengangkutan Supervisor Pemetaan Supervisor Perawatan Staf (Pengawasan Tambang) Staf Pengawas Transportasi Staff (Surveyor) Staff perawatan S1 Tambang S1 Tambang S1 Tambang D3 Geodesi STM /D3 dan Training S1 Tambang STM Tambang /teknik STM Tambang/ geodesi STM /SLTA dan Training >8 th >3 th >8 th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th Pendidikan Sarjana Tambang Sarjana Tambang D-3 Sekretaris S1 Tambang S1 Tambang S1 Geologi S1 Tambang S1 Geologi D3 Geodesi SLTA + Kursus STM + Training Pengalaman >15 th >10 th >3 th >8 th >5 th >8th > 3 th >3 th >3 th >3 th >2 th Jumlah 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 2 8 17 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi

201

Tabel 7. Lanjutan ... Pekerjaan Staff ( pengawas O/B) Operator Pompa Helper Sub-Total Kadiv. CPP Supervisor processing Supervisor quality control Staf CPP Operator genset Opertor cpp Helper Sub-Total Kadiv Admini. & Keuangan Kepala Personalia dan Umum Kepala Keuangan Kepala pemasaran Kepala Keamanan Kepala Logistik/Gudang Pengawas Camp Kepala Humas Staf/Pembantu Umum Staf/Pembantu LogistikLanjutan Staf Pembantu Keuangan Operator Komputer/Juru tik Petugas Satpam Juru Masak Supir Helper Sub-Total Kadiv. Lingkungan K3 Kepala Lingkungan Kepala K3 Staff lingkungan Staff K-3 Staff Comdev Helper Sub-Total Total S1 S1 S1 SLTA/D3 SLTA/D3 SLTA/D3 >5th >3th >3th >3th >3th >3th S1 Ekonomi/Manajemen S1 Hukum D3 Akuntansi S1 Ekonomi/Manajemen D-3 Purnawirawan TNI D-3 Ekonomi/Manajemen SLTA D3 SLTA SLTA +Training SLTA SLTA SLTP Keatas SD Keatas SLTA >5 th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th >5 th >3th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th >3 th S1 Mesin S1/D3 teknik S1/D3 kimia STM /SLTA/D3 STM Listrik + Training STM Mesin + Training >8 th >5 th >5 th >5 th >3 th >3 th Pendidikan STM /SLTA SLTA + Training Pengalaman >3 th >3 th Jumlah 1 2 9 21 1 1 1 2 2 2 5 14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 4 3 4 9 33 1 1 1 2 3 2 5 15 103

Jika dilihat dari tabel diatas, dan jumlah penduduk menurut pendidikannya, maka penduduk sekitar yang dapat direkrut adalah lulusan sekolah menengah atas atau sekolah kejuruan. Jumlah yg diperlukan 40 orang, dan semuanya dapat diambil dari penduduk setempat.

Dengan gaji sebesar Rp 1.500.000,- , maka total pendapatan yang diterima masyarakat sekitar sebesar 40 orang x Rp 1.500.000,- juta = Rp 60.000.000,-

202

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Manfaat kegiatan pertambangan bijih besi no 1 2 3. Komponen Peluang kerja Retribusi Pajak dll Total manfaat Biaya eksternalitas no 1 2 3 Total Komponen Biaya Jumlah (Rp) 11.070.000,177.120.000,215.100.000,403.290.000,penerimaan 40 org a Rp 1.500.000,240 hr x Rp 5.000 x 50 Jumlah (Rp) 60.000.000,60.000.000,300.000.000,420.000.000,-

Kesehatan 12 x Rp 5.000 x 185 Persediaan air bersih 300 hr x 738 x Rp 800,Hilangnya pohon 1434 ph x Rp 150.000,-

Dari hasil perhitungan diatas, dapat disimpulkan manfaat lebih besar dari biaya eksternalitas, dengan selisih Rp 16.710.000,-

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.2. Saran Untuk memaksimalkan dampak positif, perlu di lakukan upaya pengelolaan, terutama dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah. Sedangkan untuk meminimalkan dampak negatif, perlu dilakukan upaya pengelolaan, terutama yang menyangkut masalah hajat masyarakat pada umumnya seperti keperluan air bersih.

4.1. Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk usia produktif setempat yang dapat direkrut di kegiatan penambangan bijih besi sekitar 35,08 %, dengan demikian kegiatan penambangan bijih besi sangat berperan dalam meningkatkan pendapatan penduduk sekitar. 2. Adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari pajak-pajak, maka dampak dari kegiatan penambangan batubara untuk pertumbuhan perekonomian daerah bersifat positif. 3. Manfaat dari kegiatan penambangan bijih besi bagi penduduk sekitar lebih besar, bila dibandingkan dengan biaya eksternalitas.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2007, Kabupaten Merangin Dalam Angka 2007 Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gajah Mada, Kumpulan Materi Ekonomi Lingkungan. 2008 John A. Dixon. Penterjemah, Prof. Dr. Sukanto Reksohadiprojo, M.Com. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan. Gajah Mada University Press.1993.

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi ... Endang Suryati dan M. Lutfi

203

MINYAK SINTETIK DARI PENCAIRAN BATUBARA DAN PENINGKATAN MUTUNYA SEBAGAI BAHAN BAKAR

Muh Kurniawan1, Leni Herlina1, Novie Ardhyarini1, Nining Sudini Ningrum2


1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)

Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telp. 021 - 7222583 Fax. 021 - 7226011 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : ninings@tekmira.esdm.go.id

SARI Teknologi pencairan batubara telah dikembangkan oleh Puslitbang Tekmira. Batubara cair (synthetic crude) yang dihasilkan tersebut mirip dengan minyak bumi yang masih perlu diolah dan ditingkatkan mutunya agar memenuhi syarat sebagai bahan bakar minyak. Tujuan penelitian ini adalah adalah mengkarakterisasi minyak hasil pencairan batubara, serta meningkatkan mutunya agar dapat memenuhi kriteria sebagai bahan bakar setara dengan bahan bakar dari minyak bumi. Minyak sintetik merupakan minyak yang berat dan termasuk klasifikasi aromatik menurut kriteria UOP (Nelson, Watson dan Murphy), serta tergolong sebagai naftenik-naftenik menurut klasifikasi US Bureau of Mines. Perolehan distilasi menunjukkan minyak sintetik ini lebih tepat diarahkan untuk menjadi solar berkadar sekitar 65 % berat. Dalam penelitian ini telah dipreparasi katalis monofungsional Ni-Mo/Al2O3 dengan konsentrasi Ni dan Mo masing-masing 3 dan 12%, luas permukaan 109,35 m2/ g, volume pori 0,2675mL/g, dan kadar sulfur setelah presulfiding 6 %-wt. Hidrotreating dilakukan terhadap fraksi solar ringan 180-300C dengan katalis NiMo/Al2O3 tersebut pada alat autoclave pada tiga kondisi perbandingan hidrogen dan umpan. Kondisi HDT-3 yang perbandingan hidrogen terhadap umpan paling besar memberikan hasil yang paling baik yaitu penurunan spesific gravity dari 0.9664 menjadi 0,9247, kadar karbon dari 87,3 % menjadi 80,82 %, kadar nitrogen dari 0,58 % menjadi 0,17 %, sulfur (S) dari 0,079 % menjadi 0,016 %, serta kenaikan rasio molar hidrogen/karbon (H/C) dari 1,30 menjadi 1,42. Produk hidrotreating fraksi solar minyak sintetik tersebut mempunyai rasio hidrogen/karbon yang diperoleh tersebut masih belum mendekati rasio hidrogen/karbon solar dari minyak bumi yaitu sebesar 1,75. Untuk itu penelitian ini akan dilanjutkan dengan mengoptimalkan kondisi operasi hidrotreating dan komposisi katalisnya. Kata kunci : minyak sintetik, peningkatan mutu, hidrotreating

204

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

ABSTRACT Coal liquefaction technology have been developed by Puslitbang Tekmira, resulting a liquefied coal or synthetic crude oil. The synthetic crude is similar to petroleum crude oil, that is necessary to be refined and upgraded to meet fuel specification. The purpose of this work is charaterizing synthetic crude and upgrading its quality to meet fuel criteria equivalent to conventional petroleum fuel. The synthetic crude is a heavy oil, classified as aromatic oil according to UOP ((Nelson, Watson dan Murphy), and classified as naphthenic-naphthenic according to US Bureau of Mines (Lane-Garton). Having 65%wt of distillation yield at 180-350C, this synthetic crude is suitable to produce gasoil. Hydro-treating experiment is conducted on light gasoil fraction (180-300C) by using autoclave reactor and Ni-Mo/Al2O3 catalyst. The catalyst is a mono-functional Ni-Mo/Al2O3 catalyst having Ni and Mo concentration of 3 and 12%wt respectively, surface area of 109,35 m2/g, pore volume of 0,2675mL/g, and sulfur content of 6 %-wt (after presulfiding).The experiment is conducted in three different conditions of hydrogen to feed ratio. HDT-3 condition with largest H2/feed ratio gave the best result. It is observed from the decreasing of spesific gravity from 0.9664 to 0,9247, carbon content from 87,3 % to 80,82 %, nitrogen content from 0,58 % to 0,17 %, sulphur content from 0,079 % to 0,016 %, and increasing of hidrogen/karbon (H/C) molar ratio from 1,30 to 1,42. The hydrogen/carbon (H/C) ratio of this hydro-treated gasoil is still lower than that of petroleum gasoil, which is 1.75. For this reason, this experiment will be followed up by optimizing the operating conditions of hydro-treating and the catalyst composition. Keywords: synthetic crude oil, quality upgraded, hydro-treating

1.

PENDAHULUAN

Keterbatasan cadangan minyak bumi mendorong berbagai upaya untuk menemukan energi alternatif. Sehubungan dengan cadangan batubara nasional cukup besar maka pencairan batubara secara langsung merupakan salah satu peluang yang dapat menggantikan peranan minyak bumi sebagai bahan bakar cair untuk mesin transportasi dan industri. Proses pencairan dinilai sesuai untuk meningkatkan nilai tambah batubara Indonesia yang sebagian besar bermutu rendah. Penelitian pencairan batubara telah dikembangkan oleh PPP-Tekmira Bandung. Batubara cair (synthetic crude) yang dihasilkan identik dengan minyak bumi sehingga masih perlu diolah dan ditingkatkan mutunya agar memenuhi persyaratan sebagai bahan bakar minyak. Peningkatan mutu batubara cair tersebut dengan proses hidrotreating diteliti oleh PPPTMGB Lemigas. Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi cairan hasil pencairan batubara, serta meningkatkan mutunya agar dapat memenuhi kriteria sebagai bahan bakar setara dengan bahan bakar cair dari minyak bumi. Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi batubara cair,

proses fraksinasi, preparasi katalis Ni-Mo/Al2O3 dan penelitian hidrotreating terhadap fraksi solar dari batubara cair tersebut. Karakterisasi fraksi batubara cair, preparasi katalis Ni-Mo/Al2O3 dan penelitian hidrotreating fraksi batubara cair akan disajikan pada makalah ini.

2.

PERCOBAAN

Karakterisasi sifat-sifat fisika batubara cair (synthetic crude) dilakukan menurut metode yang lazim dilakukan untuk minyak bumi. Untuk pengujian spesific gravity dilakukan dengan metode IP 189-190, untuk viskositas kinematis digunakan metode ASTM D-445, untuk pengujian titik nyala digunakan metode PMCC ASTM D-93, dan pengujian Reid Vapor Pressure (RVP) dengan ASTM D-323(ASTM,2005). Proses fraksinasi dilakukan dengan distilasi True Boiling Point (TBP) menurut metode ASTM D2892. Pada distilasi ini juga dilakukan pemotongan fraksi pada rentang temperatur 250-275C dan 391419C. Temperatur ini setara dengan rentang temperatur pada distilasi hempel yang digunakan untuk pengklasifikasian hidrokarbon menurut LaneGarton(Riazi, 2005).

Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya ... Muh Kurniawan, dkk.

205

Katalis hidrotreating monofungsional Ni-Mo/Al2O3 dipreparasi dengan mengimpregnasi support alumina (Al2O3) dengan inti logam nikel dari garam nitrat dan logam molibdenum dari amonium molibdat. Setelah impregnasi dilanjutkan dengan kalsinasi pada suhu 400C selama 4 jam. Komposisi katalis hidrotreating adalah kadar nikel dan molibdenum masing-masing sebesar 3 dan 12 % berat, serta kadar sulfur 6 % berat dari presulfiding(Kokayeff, 2004). Sebanyak 40 gram katalis disulfurisasi dengan 18,5 gram dimetil disulfida dengan pelarut solar komersial sebanyak 200mL. Reaktor yang digunakan adalah autoclave bervolume 500mL yang juga akan dipakai untuk penelitian hidrotreating. Suhu operasi presulfiding adalah 300C selama 200 menit dengan tekanan awal gas hidrogen 40 bar. Proses hidrotreating dilakukan terhadap fraksi 180300C dari minyak sintetik dengan katalis monofungsional Ni-Mo/Al 2 O 3 yang telah dipresulfiding. Reaktor yang digunakan adalah autoclave dengan kapasitas 500 mL. Sistem pengadukan adalah horizontal shaking dengan kecepatan 37-150 rpm dan jarak pengadukan 100mm. (Gambar 1).

disajikan pada Tabel 1. Produk reaksi hidrotreating fraksi (180-3000C) minyak sintetik kemudian dikarakterisasi sifat fisikanya antara lain spesific gravity dan viskositas kinematik. Komposisi kimia ditentukan dengan alat CHNS-O Analyzer (Carbon, Hydrogen, Nitrogen, Sulfur-Oxygen Analyzer) (Bhattacharryya, 2005).

Tabel 1. Kondisi operasi hidrotreating Parameter Umpan Katalis Tekanan Suhu Waktu Vol. H2 Satuan mL gr Bar oC Menit mL HDT-1 HDT-2 HDT-3 250 25 40 390 80 250 100 10 40 390 80 400 50 5 40 390 80 450

3.

HASIL DAN DISKUSI

3.1. Karakteristik Batubara cair Hasil karakterisasi batubara cair dapat dilihat pada Tabel 2. Minyak sintetik ini mempunyai spesific gravity (SG) 1.04 dan API 4.6, termasuk kategori minyak berat dalam klasifikasi yang lazim diterapkan dalam minyak bumi konvensional. Viskositas kinematik minyak sintetik ini berkisar pada 5 cSt dan pour point-nya di bawah nol celsius sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus pada suhu ruang. Nilai K-UOP sebasar 9.4 menempatkan minyak sintetik ke dalam klasifikasi aromatik menurut kriteria UOP (Nelson, Watson dan Murphy). Sementara itu, hasil pengukuran API pada fraksi distilat 250-275C dan 391-419C menggolongkan karakteristik minyak sintetik ini sebagai NaftenikNaftenik menurut Lane-Garton. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa minyak hasil pencairan batubara ini mengandung banyak senyawa aromatik (Riazi, 2005). Dua sifat penguapan yaitu Reid Vapor Pressure (RVP) sebesar 0 psi dan flash point di atas 100C menunjukkan bahwa kadar fraksi ringan dalam batubara cair ini sedikit. Hasil ini terlihat juga pada kurva distilasi TBP dalam Gambar 2.

Gambar 1. Autoclave

Pada penelitian ini dilakukan tiga kondisi operasi hidrotreating dengan memvariasikan perbandingan jumlah umpan dengan gas hidrogen. Adapun perbandingan katalis terhadap umpan dibuat tetap sebesar 10% berat. Suhu, waktu reaksi, dan tekanan awal juga tetap untuk ketiga kondisi. Secara keseluruhan, ketiga kondisi operasi

206

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Tabel 2. Karakteristik batubara cair Parameter Spesific Gravity 60/60F API Viskositas Kinematik @ 100F @ 140F Titik Tuang Flash Point PMCC Reid Vapor Pressure K-UOP Karakteristik Lane-Garton Satuan cSt C C Psi Nilai 1.040 4.6 5.513 4.354 -20 105 0.0 9.4 NaftenikNaftenik

Karakteristik katalis hidrotreating yang telah dipreparasi secara laboratorium, yaitu konsentrasi Ni-Mo, luas permukaan, volume pori, dan kadar sulfur katalis mendekati karakteristik katalis hidrotreating komersial (Tabel 3) (Bhattacharryya, 2005).

Tabel 3. Karakteristik Katalis Hidrotreating Parameter Konsentrasi : - Ni - Mo Luas Permukaan Volume Pori Kadar Sulfur Satuan %-wt %-wt m2/g mL/g %-wt Nilai 3.0 12.0 109,3 0,268 5,796

3.2. Proses Hidrotreating Proses hidrotreating dilakukan pada tiga kondisi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1. Dari ketiga kondisi tersebut, yaitu HDT-1, HDT-2 dan HDT-3 berturut-turut memiliki rasio H2 terhadap umpan semakin besar. Secara visual, hasil percobaan hidrotreating dengan ketiga kondisi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Kurva distilasi TBP batubara Cair

Kurva ini memberikan gambaran titik didih awal (IBP) yang relatif tinggi yaitu di atas 150C. Sampai dengan suhu 180C, fraksi yang diperoleh hanya sekitar 0.5% berat. Kurva kemudian terlihat mendatar pada rentang 250 sampai 350C, yang menunjukkan perolehan fraksi solar yang paling besar yaitu sekitar 65% berat. Fraksi berat di atas 350C hingga titik didih akhir pada 520C diperoleh sekitar 30% berat, dengan menyisakan residu sekitar 4% berat. Berdasarkan kurva distilasi TBP, minyak sintetik tersebut cukup baik diarahkan untuk pembuatan gasoil, dengan perolehan sekitar 65% dari total minyak sintetik. Sehubungan dengan fraksi solar (180-300C) yang diperoleh ini berkadar aromatik tinggi, maka dilakukan penelitian untuk peningkatan mutunyadengan proses hidrotreating.

Umpan

HDT-1

HDT-2

HDT-3

Gambar 3. Umpan dan produk percobaan hidrtrotreating dengan kondisi HDT-1, HDT-2, dan HDT-3

Ketiga produk hidrotreating tersebut menunjukkan perubahan warna dibandingkan dengan umpannya, yaitu warna produk menjadi lebih terang, di mana kondisi HDT-3 memberikan hasil yang paling baik (Tabel 4) (Armstrong,1982).

Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya ... Muh Kurniawan, dkk.

207

Tabel 4. Karakterisasi produk hidrotreating Parameter Kinematik Visc. (40oC) SG 60/60 Carbon (%-wt) Hidrogen (%-wt) Nitrogen (%-wt) Sulfur (%-wt) Oksigen, by diff. Rasio H/C Umpan 5.316 0.9664 87,30 9,47 0,58 0,079 2,56 1,30 HDT-1 3,725 0,9574 84,53 9,32 0,41 0.027 5,71 1,32 HDT-2 3,320 0,9365 86,67 9,97 0,30 0,026 3,03 1,38 HDT-3 2,961 0,9247 80,82 9,57 0,17 0,016 9,42 1,42

Hasil penelitian proses penghidromurnian fraksi 180 300oC dari minyak sintetik dengan bantuan katalis Ni-Mo/Al2O3 dengan kadar sulfur 6,0 % berat pada tiga jenis kondisi operasi menunjukkan peningkatan mutu fraksi 180-300oC tersebut dengan diamatinya penurunan karakteristik produk hidrotreating yaitu antara lain: spesific gravity dari 0.9664 menjadi 0,9247, kadar karbon (C) dari 87,3 %berat menjadi 80,82 %berat, nitrogen (N) dari 0,58 %berat menjadi 0,17 %berat sulfur (S) dari 0,079 %berat menjadi 0,16 %berat. dan adanya kenaikan rasio hidrogen/karbon (H/C) dari 1,30 menjadi 1,42. Untuk memperoleh rasio hidrogen/karbon (H/C) setara solar dari minyak bumi yaitu H/C = 1,75, maka proses penghidromurnian fraksi 180-300oC berkadar aromatik besar tersebut masih perlu ditingkatkan kondisi operasinya dengan pengoptimalan komposisi katalis (Whitehurst, 1982 dan Jankowski, 1982)

%, kadar nitrogen dari 0,58 % menjadi 0,17 %, sulfur (S) dari 0,079 % menjadi 0,016 %, serta kenaikan rasio hidrogen/karbon (H/C) dari 1,30 menjadi 1,42. Untuk memperoleh rasio hidrogen/karbon setara solar dari minyak bumi yaitu sebesar 1,75, maka proses hidrotreating fraksi 180-300C tersebut masih perlu ditingkatkan kondisi operasinya dengan pengoptimalan komposisi katalis.

DAFTAR PUSTAKA Annual Book of ASTM Standards, Vol 05.02, 2005 Armstrong P., Hydro-treating coal-derived liquid distillation fractions. 1, Study of single-stage treated products for transport fuel use, Fuel, vol. 61, 1982, 1051-1057. Bhattacharryya K.G., Anup K. Talukdar, Catalysis in Petroleum and Petrochemical Industries, Narosa Publishing House, India, 2005. Jankowski A., Werner Doehler and Ulrich Graeser., Upgrading of syncrude from coal, Fuel, vol 61, 1982, 1032-1037 Kokayeff, P., (2004), Chapter 8.3 UOP Uniofining Technology, Handbook Of Petroleum Refining Processes 3rd Ed, 8.31-8.41 Riazi, M. R., Characterzation and Properties of Petroleum Fractions, ASTM, 2005 Whitehurst D. Duayne, Sidney E. Butrill Jr, Francis J. Derbyshire, Malvina Farcasiu, George A. Odoerfer and Leslie R. Rudnick, New characterization techniques for coal-derived liquids, Fuel, vol. 61, 1982.

4.

KESIMPULAN

Batubara cair ini tergolong minyak berat dengan klasifikasi aromatik menurut kriteria UOP (Nelson, Watson dan Murphy), serta tergolong sebagai Naftenik-Naftenik menurut klasifikasi Lane-Garton. Minyak sintetik ini mengandung fraksi solar (180300C) sebesar 30% berkadar aromatik tinggi. Hasil percobaan hidrotreating terhadap fraksi solar ringan 180-300C menunjukkan perbaikan karakteristik produk solar tersebut, di mana HDT3 memberikan hasil yang paling baik, dengan penurunan spesific gravity dari 0.9664 menjadi 0,9247, kadar karbon (C) dari 87,3 % menjadi 80,82

208

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

BAHAN BAKAR MINYAK SINTETIK DARI PENCAIRAN BATUBARA

A.S. Nasution*, Miftahul Huda**, Abdul Haris*, Leni Herlina* dan Nining Sudini Ningrum** * Pusat Teknologi Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230 Telp. 021 - 7222583 Fax. 021 - 7226011 ** Pusat Teknologi Penelitian dan Pengembangan Mineral dan Batubara Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211 Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373 e-mail : huda@tekmira.esdm.go.id, ninings@tekmira.esdm.go.id

SARI Indonesia mengolah minyak mentah adalah sebesar 1,075 juta barel/hari sedangkan produksi nasional hanya sekitar 0.75 juta barel/hari dan kekuranganya masih diimport. Cadangan batubara Nasional pada tahun 2008 adalah sebesar 104,756 milliar ton yang sebagian dapat dikonversi menjadi minyak sintetik untuk mensubtitusi minyak mentah import tersebut. Pencairan batubara menjadi minyak sintetik dapat dilakukan secara langsung (direct coal liquefaction) yaitu Brown Coal Liquefaction (BCL) dan NEDOL, teknologi dari Jepang atau secara tidak langsung (indirect coal liquefaction) yaitu coal to liquid technology (CTL) teknologi CTL-SASOL, Afrika Selatan, melalui proses Ficsher-Tropsch gas sintes (CO + H2) dari produk gasifikasi batubara (bituminous coal). Produk minyak sintetik dari proses pencairan batubara dapat ditingkatkan dengan pengembangan katalis dan optimalisasi kondisi operasi. Minyak sintetik tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar minyak sintetik dengan proses katalitik pada kilang minyak bumi. Proses pencairan batubara menjadi minyak sintetik dengan proses BCL dan Ficsher-Tropsch serta pengolahan minyak sintetik tersebut menjadi bahan bakar minyak sintetik akan dibahas dalam makalah ini. Kata kunci: minyak sintetik, pencairan batubara dan proses Fischer-Tropcsh

ABTSRACT Indonesias petroleum refinery processes is about 1.075 million barrels/day of the crude oils, supplied by national production of about 0.75 million barrels/day and plus the imported crude oil. National coal reserves are about of 104.756 billions ton in the 2008 and the part of this coal can be converted into synthetic crude to substituted the imported crude oil. Coal liquefaction into the synthetic crude can be direct coal liquefaction, such as brown coal liquefaction (BCL) and NEDOL aJapans technology, or indirect coal liquefaction or coal to liquid technology (CTL) such as CTL technology of SASOL in South Africa over Fischer Tropsch processes of syn-gas (CO+H2) from gasification of bituminous coal. The synthetic crude of this coal liquefaction can be increased by the catalyst developments and the optimum of the operating conditions of the coal liquefaction processes. This synthetic crude can be converted into the synthetic fuel oil by catalytic process of the petroleum refinery. Coal liquefaction by BCL and Ficher-Tropsch processes into the synthetic crudes and their conversion into the synthetic fuel oil, will be discussed briefly in this paper. Key words: synthetic fuel oil, coal liquefaction and Fischer-Tropcsh processes.

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.

209

1.

PENDAHULUAN

Indonesia mengolah minyak mentah sebesar 1,075 juta barel/hari di mana produksi nasional hanya sekitar 0.75 juta barel/hari dan kekuranganya masih diimport (Dirjen Migas, 2006). Cadangan batubara nasional cukup besar yaitu sekitar 104,756 milliar ton pada tahun 2008 dengan jenis low rank coal sekitar 60 % dari total cadangan, yang sebagian batubara tersebut dapat dicairkan menjadi minyak sitentik untuk mensubtitusi minyak mentah impor tersebut, seperti terlihat pada Gambar 1 (Sukardjo,2006; Jeffey Mulyono,2006).

Umpan proses hidrogenasi batubara adalah suatu suspensi dari campuran: batubara, katalis, vehicle solvent, hydrogen donating, hidrogen, yang dimasukan ke dalam slurry reactor di mana molekul batubara direngkah menjadi produk minyak sintentik. Proses Fischer-Tropsch adalah suatu reductive polymerization reaction yang mengkonversi gas sintesis (CO + H2) menjadi produk utama hidrokarbon normal parafin dan normal olefin dengan bantuan katalis (Charles, N.Satterfield, tanpa tahun) Pembentukan produk minyak sintetik dari proses pencairan batubara (proses BCL dan proses

PencairanBatubaradanRantaiPasokanBBM

ImporCrudeOil

ImporBBM

CrudeOil CSO BatubaraIndonesia padaberbagailokasi

KilangMinyak

BBM Untukdomestik

PencairanBatubara

BBM UntukEkspor

MasuknyaCSOdalamrantaipasokanBBMterutamaakanberdampakpositif dalampenyediaanBBMdomesticdanmengurangiimpor

Gambar 1. Pencairan Batubara

Pencairan batubara menjadi minyak sintetik dapat dilakukan secara langsung ( direct coal liquefaction) yang masih dalam taraf demonstration plant, yaitu brown coal liquefaction (BCL) dan NEDOL yang merupakan teknologi Jepang melalui proses hidrogenasi batubara yang hidrogennya dari produk gasifikasi batubara. Sedang pencairan batubara secara tak langsung (indirect coal liquefaction) atau coal to liquid technology (CTL) merupakan teknologi CTL SASOL telah dioperasikan sejak tahun 1950 di Afrika Selatan, melalui proses Fischer Tropsch gas sistesis ( CO + H2) dari produk gasifikasi batubara (bituminous coal) (Supriyadi, tanpa tahun).

Fischer-Tropsch) dengan berbagai jenis katalis dan pengolahan minyak sintetik tersebut menjadi bahan bakar minyak sintentik akan disajikan dalam makalah ini.

2.

PENCAIRAN BATUBARA MENJADI MINYAK SINTETIK

Pencairan batubara menjadi minyak sintetik terdiri atas dua jenis proses berikut : Proses pencairan batubara secara langsung ( direct coal liquefaction), yaitu antara lain brown coal liquefaction (BCL) oleh Teknologi Jepang

210

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

melalui proses hidrogenasi batubara yang masih dalam taraf demonstration plant. Proses pencairan batubara secara tak langsung (indirect coal liquefaction) melalui proses Fischer Tropsch gas sintes ( CO+ H2) dari produk gasifikasi batubara (bitumineous coal) atau Coal to Liguid Technology, oleh teknologi CTL-SASOL di Afrika Selatan yang telah beroprasi sejak tahun 1955. 2.1. Proses Hidrogenasi Batubara Batubara muda (low-rank coal) mengandung kadar oksigen tinggi dengan banyak grup fungsional berantai yang sangat reaktif mudah pecah oleh panas, serta mengandung grup aromatik dengan berat molekul relatif rendah, sehingga proses pencairannya dapat menghasilkan perolehan minyak sintetik tinggi. Gas hidrogen yang dipakai pada proses pencairan batubara ini diperoleh dari produk gasifikasi batubara seperti terlihat pada Gambar 2 (Takao. K, dkk, 2002; R. Staker, N.V.P. Kelvin., 1994; A.S. Nasution, dkk., 2002). Gambar 3. Konversi Batubara

Stabilisasi radikal-radikal tersebut dengan beberapa reaksi radikal adalah berikut (Charles N. Satterfield, tanpa tahun): Radikal bergabung dengan radikal hidrogen ( H*) yang dihasilakan dari hidrogen donating tanpa atau dengan bantuan katalis, atau dapat juga terbentuk dari gas hidrogen dengan bantuan katalis., R* + H* RH Perengkahan lanjut dari radikal-radikal besar seperti asphaltene, preasphaltene menjadi radikal kecil yang lebih stabil seperti minyak sintetik dan olefin. C*n H2n + 1 C*x H2x + 1 + CYH2Y di mana n = x + y Pengabungan radikal-radikal besar menjadi molekul yang kompleks (kokas). R*1 + R*2 R1 R2 Produk minyak sintetik dari proses pencairan batubara dengan hydrogen donating saja tanpa katalis diamati menurun secara cepat dengan waktu reaksi, hal ini diperkirakan karena keterbatasannya dalam pelepasan radikal hydrogen tersebut (R. Staker, N.V.P. Kelvin., 1994). Proses pencairan batubara dengan memakai katalis monofungsional berinti aktif logam, seperti FeS2 dapat mengaktifkan kembali hydrogen donating yang telah melepaskan radikal hydrogennya dengan reaksi hidrogenasi, dan juga dapat mempercepat terbentuknya radikal hidrogen dari gas hidrogen (Takau. K, dkk., 2002). Pemutusan ikatan karbon di antara dua cincin aromatik dengan radikal hidrogen baik yang berasal dari hydrogen donating maupun yang berasal dari gas hidrogen dengan bantuan katalis

Gambar 2. Model Molekul Zat Organik Batubara

Umpan batubara pada proses hidrogenasi batubara muda ini dalam bentuk suspensi yaitu suatu campuran dari : bubuk batubara < 60 mesh, katalis sub-micron, hydrogen donating, hidrogen dan vehicle solvent dimasukan ke dalam suatu slurry reactor. Mula-mula molekul batubara akan pecah secara termal menjadi beberapa jenis molekul radikal ( R*=C* n H2n + 1) seperti asphaltene, preasphaltene, dan oil (minyak sintetik) seperti terlihat pada Gambar 3 (Charles N. Satterfield, tanpa tahun; Peter A. Hertan, dkk, 1985).

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.

211

Katalis bifungsional berinti aktif logam dan asam, seperti Ni-Mo/Al2O3-SiO2 dapat memecah cincin poliaromatik dari produk minyak sintetik tersebut melalui pembentukan senyawa antara ion karbonium ( R+) dengan bantuan inti aktif asam katalis baik Lewis maupun Bronsted seperti halnya pada proses hidrorengkah fraksi minyak bumi seperti terlihat pada Gambar 4 (R. Staker, N.V.P. Kelvin., 1994; J.F Lepage, 1987).

Minyak sintetik, maf

monofungsional tersebut cukup sulit, sehingga kadar hidrokarbon poliaromatik (rasio atom C/H) dari produk minyak sintetik tersebut diamati relatif lebih tinggi dari pada fraksi yang di kandung oleh minyak bumi (Takau. K, dkk., 2002; Ronald H. Wolk., 1979).

Keasaman katalis, m mol/g. kat . 102

Gambar 5. Pengaruh Keasaman Katalis Pada Minyak Sintetik

2.2. Proses Fischer-Tropsch Gas Sintes (CO + H2) Proses Fischer-Tropsch dengan memakai katalis konvensional monofungsional Fe atau Co berinti aktif logam saja, akan mengkonversi gas sintes melalui suatu reductive polymerijation reaction menjadi produk utama normal hidrokarbon parafin dan normal olefin dengan sedikit produk samping senyawa organik oksigen seperti alkohol (Charles N. Satterfield, tanpa tahun). Pengaruh chain probability factor () adalah () : rp / rp + rt (rp dan rt = laju propogasi dan terminasi) pada distribusi produk utama hidrokarbon (minyak sintetik) tersebut disajikan pada Gambar 6 (Charles N. Satterfield, tanpa tahun). Gambar 4. Reaksi hidrokonversi Modifikasi katalis Fischer - Tropsch yaitu katalis bifungsional berinti dua jenis aktif (logam dan asam) yaitu antara lain Fe/Ziolit dan Co/Al2O3 SiO2 akan mengkonversi senyawa olefin-1 menjadi olefin-2 melalui senyawa antara molekul ion karbonium (R+) yang lebih sulit berpolimerisasi menjadi produk normal hidrokarbon panjang
+H+ C=CCC
+C

Vehicle solvent dapat menaikan kelarutan dan pendispersian bubuk batubara di dalam suspensi umpan, sehingga percampuran antara molekul batubara dengan katalis akan meningkat, dan juga solvent tersebut dapat menghambat terjadinya pengabungan (repolymerization) antara radikalradikal besar menjadi molekul besar (kokas). Pengaruh vehicle solvent pada perolehan produk minyak sintetik disajikan pada Gambar 5 (Peter A. Hertan, dkk, 1985).

-H+ CCC CC=CC

Ion karbonium beratom karbon C 6 dapat membentuk ion karbonium siklis. yang akan

212

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 6. Pengaruh Alfa Pada Prosentase Produk

terkonversi menjadi hidrokarbon aromatik yaitu :


+H+ +H+

3.

BAHAN BAKAR MINYAK SINTETIK

C6H12

C6H13

Proses Fischer-Tropsch gas sintesa dengan katalis bifungsional dapat menghasilkan produk utama berkadar banyak iso-olefin rendah (C 4 C 7) dengan sedikit produk samping metana seperti terlihat pada Gambar 7 dan Tabel 1(R. Staker, N.V.P. Kelvin., 1994; Ronald H. Fisher, Richard E. Hildebrand, 1979).

Minyak sintetik dari pencairan batubara secara langsung mengandung banyak hidrokarbon aromatik sehingga pengolahan fraksi berat minyak sintetiknya menjadi produk solar memerlukan proses hidropemurnian tinggi atau proses hidrorengkah. Bensin dan solar diperoleh dari masing-masing fraksi ringan dan fraksi berat dari fraksi minyak sintetik tersebut dengan bantuan proses proses katalitik seperti terlihat pada Tabel 2 (Charles N. Satterfield, tanpa tahun; J.F Lepage, 1987). Proses-proses katalitik yang dioperasikan

Fraksi mol realtif

Jumlah atom karbon


Catatan : a. Co/silica b. Co(1)/alumina silica dan c. Co (2)/alumina silica

Gambar 7. Hubungan antara jumlah atom karbon pada fraksi mol relatif

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.

213

Tabel 1. Produk Minyak Sintetik Dengan Katalis Fe/Zeolit

Pengaruh Kadar MnO Pada Katalis Fe-MnO/Zeolit

pada kilang minyak yaitu: Dimerisasi fraksi gas (C3 / C4) Isomerisasi fraksi nafta ringan (C5 / C6 ) Reformasi fraksi nafta berat (C7 180o ) Hidrotreating fraksi berat (180o 350o C ) Hidrorengkah fraksi berat (>350o C)

Mekanisme reaksi dari proses katalitik tersebut (kecuali proses hydrotreating) membentuk senyawa antara ion karbonium (R +) dengan bantuan inti aktif asam dari katalis bifungsional (kecuali proses dimerisasi) yang kemudian masing-masing bereaksi, yaitu: bergabung

Tabel 2.

Pembuatan Bahan Bakar Minyak Sintetik Umpan Proses Katalistik/Produk Dimerisasi/Dimer Isomerisasi/Isomerat Reforming/Reformat Hidrotreating/Kerosin + Solar Hidrorengkah/Kerosin + Solar H2SO4, HF Bifungsional Pt pada Al2O2-Cl atau zeolit Bifungsional Pt/Rh atau Pt/Sn pada Al2O2-Cl Monofungsional Ni/Mo atau Ni/W pada Al2O2 Bifungsional Ni/Mo atau Ni/W pada Al2O2-SiO2 atau zeolit Katalis

Fraksi Gas Olefin C2/C4 Fraksi Nafta Ringan C5/C6 Fraksi Nafta Berat C7 - 180 C Fraksi Sedang 180 - 350 C Fraksi Berat > 350 C

214

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

Gambar 8. Mekanisme Reaksi Dengan Katalis Bifungsional

(dimerisasi), isomerisasi, siklisasi (reforming), dan pecah (hidrorengkah) menjadi produk produk utamanya seperti terlihat pada Gambar 8,dan Gambar 9 (J.F Lepage, 1987).

4.

PENUTUP

Minyak sintetik dari proses pencairan batubara secara langsung ( direct coal liquefaction) atau secara tak langsung (indirect coal liquefaction) dapat dikonversi menjadi bahan bakar minyak sintetik setara bensin, kerosin dan solar dengan memakai proses proses katalitik yang dioperasikan di kilang minyak bumi. Proses katalitik memegang peranan penting pada pencairan batubara dan konversi minyak sintetik tersebut menjadi bahan bakar minyak sintetik. Minyak sintetik dari proses pencairan batubara dapat meningkatkan pemanfaatan potensi batubara dan juga mensubtitusi sebagian impor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Gambar 9. Reaksi Hidrokonversi Parafin

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara, A.S. Nasution, dkk.

215

DAFAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Minyak Dan Gas Bumi Kebijakan Dan Kebutuhan Bahan Bakar, Seminar Nasional Pencairan Batubara Ladang Minyak Masa Depan, Jakarta 13 Januari 2006. Sukardjo, Pusat Sumber Daya Geologi, Sumber Daya Batubara Indonesia, Seminar Nasional Penciran Batubara Ladang Minyak Masa Depan, Jakarta 13 Januari 2006. Jeffey Mulyono, Penyedian dan Kebutuhan Batubara untuk Bahan Baku Pencairan Batubara, Seminar Nasional Penciran Batubara Ladang Minyak Masa Depan, Jakarta 13 Januari 2006. Supriyadi, Ass. Deputi Menko Perekonomian Kebijakan Pemerintah Dalam Program Aksi Pencairan Batubara. Charles N. Satterfield, Synthetic Gas And Associated Processes Pp 419-470, 2th Heterogeneous Catalysis Industrial Practice, Mc GrawHill I Nc, New York. Takau kaneko And Eiichiro Makito, Satoru Sugita, Noriyuki, Okuyama And Masaaki Tamura, Liquefaction Of Banko Coal With Limonite Catalyst, (b3), Indonesian Japan Coal Liguefaction Seminar, Jakarta 22 Februari 2002.

R. Staker and N.V.P. Kelvin. hydrogenation Characteristics Of Australian Coals- Respons Of Oil Yields To Process Conditions, pp 16-19 Gas Conversion, 1994 Elservier Science B.V. A.S. Nasution, Oberlin Sidjabat, Nining Sudiningrum Dan Chairil Anwar, Katalis Limonite Soroako Pada Prosese Pencairan Batubara Banko, Seminar Pencairan Batu Bara Banko Indonesia 2002, Jakarta 12 Desember 2002. Peter A. Hertan, W. Roy Jackson and Frank B. Lorkins, hydrogenation of brown coal, Fuel, Vol 64, September 1985, PP 1251-1254 Ronald H. Wolk, Overview of Liquefaction Process Technology, pp 287, (273-290), Symposium Paper, Advances in Coal Utilization Technology, Kentucky, 1979. J.F Lepage, Production Of Lube-Oil Blending Stock Through Hydrotreating, pp 435-466 Applied Heterogeneous Catalysis, Edition Technip, Paris 1987. Ronald H. Fisher and Richard E. Hildebrand. Transportation Fuels Synthetic Gas, pp.335, (331343) Symposium Paper, Advances in Coal Utilization Technology, Kentucky, 1979.

216

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009

You might also like