You are on page 1of 35

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Masalah IUU Fishing ataupun yang lebih umumnya dikenal adalah Illegal Fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena telah ada dari zaman dulu masalah tersebut seakan tidak ada habisnya. Hingga sekarang pun IUU fishing masih sulit untuk di berantas. Berita penangkapan kapal asing oleh patroli kita, akhir-akhir ini sering terdengar. Akan tetapi tetap masih saja ada kapal-kapal asing yang masuk wilayah RI. Atau berita pengeboman ikan atau berita nelayan kita yang menggunakan API terlarang.

Berarti apa yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum kita selama beberapa periode waktu ini belum bisa membuat jera bagi langganan pelaku IUU Fishing atau membuat takut mereka para calon pelaku IUU Fishing. Apa yang salah dengan ini? Apakah hukuman yang diberikan terlalu ringan?

Sebagaimana yang telah kita ketahui, daya dukung RI dalam menjaga perairan di wilayah perbatasan sangat terbatas, bahkan dapat dikatakan minim baik dalam hal trasportasi seperti kapal-kapal patroli maupun dalam hal jumlah ankatan laut maritim yang siaga berpatroli. Bayangkan saja jika kapal patroli kita, ataupun kapal penangkap ikan kita yang umumnya berukuran kecil dan tradisional, harus berhadapan dengan kapal asing yang berukuran lebih besar dan modern serta dalam jumlah yang lebih banyak?. Page | 1

Kita sepatutnya sangat prihatin akan hal tersebut, kesulitan bangsa Indonesia di darat pun juga sudah banyak seperti banyaknya penderita gizi buruk, kemiskinan, pengangguran, kisruh para elit penegak hukum.

Akan tetapi menjaga kekayaan alam di laut Indonesia tercinta ini dan menjaga martabat bangsa kita juga merupakan hal yang amat penting. Mau tidak mau, pemerintah harus benar-benar berhitung jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk mengamankan wilayah kedaulatan RI. Selain itu, sangat dibutuhkan pula kesadaran yang tinggi bagi seluruh bangsa Indonesia untuk tidak menjadi maling di negara sendiri, atau penindas bangsa sendiri atau penghianat bangsa sendiri.

1.2. Rumusan Masalah Masalah illegal fishing adalah masalah kita bersama. Masalah tersebut tidak akan dapat teratasi ataupun terminimalisir jika kita tidak berbenah diri. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu mungkin dengan menambah armada kapal patroli kita, supaya kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan kita yang melakukan illegal fishing bisa ditangkap ataupun bisa dihancurkan kapal mereka.

Mengapa

harus

demikian?

Karena

masalah

illegal

fishing

menimbulkan kerugian yang amat sangat besar bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Berapa Triliunkah uang kita dicuri oleh Negara lain? Berapa banyak sumberdaya alam kita dihancurkan dan dicuri oleh Negara lain?

1.3. Maksud dan Tujuan

Page | 2

Maksud penulisan karya ilmiah ini adalah supaya masyarakat lebih mengetahui tentang masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam hal ini masalah Illegal Fishing. Dan agar kita dapat pula memaknai kekayaan alam yang telah Allah ciptakan kepada kita, janganlah kita menyia-nyiakan ataupun merusak alam kita (dalam hal ini merusak laut) baik dengan menangkap ikan dengan bom ikan ataupun dengan cara lain yang dapat merusak lingkungan. Maksud kedua yaitu dapat memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.

Adapun tujuannya adalah supaya pembaca dapat mengerti apa yang dimaksud illegal fishing dan kenapa masalah tersebut seakan tidak ada habisnya. Pembaca pula akan mengetahui daerah-daerah yang sering menjadi sasaran empuk para kapal asing untuk mencuri ikan di wilayah perairan nusantara.

Page | 3

BAB II

KELAUTAN INDONESIA
2.1. Potensi Kelautan Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin

berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi : 1) Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,

Page | 4

2) 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera, 3) Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources),

termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya, 4) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable

resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya, 5) Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion, 6) Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah, 7) Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal. 8) Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG. 9) Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di Page | 5

darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal fishing.

2.2. Kendala Kelautan Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain. 1) Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar, 2) Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun, 3) Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan, 4) Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing, 5) Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,

Page | 6

6) Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen, 7) Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut, 8) Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).

Faktor-faktor lain yang berpengaruh: a) Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna

mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau tersebut, b) Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik

(Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim, Page | 7

c) Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena keterbatasan aparat, sarana dan prasarana. Waspam laut banyak dimanfaatkan sebagai alur perlintasan kriminal seperti penyelundupan barang ilegal (illegal logging/ fishing/imigrants), pengungsi, trafficking dan akhir-akhir ini terorisme Internasional d) Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah, e) Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan SARA tersebut.

2.3. Permasalahan Batas Laut Beberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara menurut ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu : 1) Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.

Page | 8

2) Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi

kapal/pelayaran asing masih mempunyai hak melintas (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada. 3) Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh. 4) Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat. 5) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti. 6) Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik dari Page | 9

landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.

Page | 10

BAB III

ILLEGAL FISHING
3.1. Pengertian Perikanan Ilegal Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU fishing.

Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut: 1) Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam IUU fishing, pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain pencurian ikan oleh pihak asing. Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan

menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung

Page | 11

mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah. Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain. 2) Unregulated fishing, adalah kegiatan penangkapan di perairan

wilayah atau ZEE suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku dinegara tersebut. Tercakup dalam hal ini antara lain: Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius. Pelanggaran wilayah tangkap.

3) Unreported fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup: Kesalahan dalam pelaporannya (misreported). Pelaporan yang tidak semestinya (under reported).

3.2. Situasi Perikanan Nasional Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi

sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini. Page | 12

1. Produksi Perikanan Nasional Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai 3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai 4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap sebesar 3,84 persen per tahun, maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.

2. Konsumsi Ikan Nasional Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan. Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21 kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional

berdasarkan jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri, banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting, kalong dan udang olahan.

Dari 18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data Hasil Survey Sosial Page | 13

Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata tingkat konsumsi untuk ketiga jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna). Atau sekitar 14,65 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48 kg/kapita/tahun (Ikan Kembung). Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002 dan 1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002.

Kondisi

terkini,

gerakan

gemar

makan

ikan

yang

di

kampanyekan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi perikanan perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/tahun di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya (Damanik, 2007b).

3.3. Praktek Perikanan Ilegal Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30 triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi Page | 14

harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$ 2.000 per ton maka jumlah ikan yang dicuri tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata tonase kapal ilegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap tahunnya melakukan 4 kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500 sampai dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan. Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate) yang berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah Indonesia yang disantroni oleh kegiatan perikanan ilegal.

Perikanan ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang tidak diatur, karena melanggar peraturan perundangan yang telah ditetapkan seperti menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan

Page | 15

dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan.

Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal asing melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari tahun ke tahun.

Kapal asing yang melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan dan perairan

internasional, antara lain: 1. Perairan Timur Indonesia, seperti: a) Perairan Papua (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana, Merauke, Perairan Arafuru) b) Laut Maluku, Laut Halmahera c) Perairan Tual d) Laut Sulawesi e) Samudra Pasifik f) Perairan Indonesia-Australia g) Perairan Kalimantan Timur

2. Perairan Barat Indonesia, seperti: a) Perairan Kalimantan bagian Utara, daerah Laut Cina Selatan b) Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) c) Selat Malaka Page | 16

d) Sumatera Utara (Perairan Pandan, Teluk Sibolga) e) Selat Karimata, Perairan Pulau Tambelan (Perairan antara Riau dan Kalimantan Barat) f) Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan) g) Perairan Pulau Gosong Niger (Kalimantan Barat)

3.4. Modus Operandi Perikanan ilegal dilakukan dengan modus operandi tertentu. Biasanya terkait dengan upaya untuk mengelabui petugas, waktu operasi dan lokasi penangkapan ilegal, serta keterlibatan dengan oknum aparat. Tentunya, modus ini akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan respon negara terhadap kegiatan perikanan ilegal.

1. Modus Untuk Mengelabui Kapal ilegal, terutama kapal asing, menggunakan berbagai modus untuk mengelabui aparat keamanan atau aparat pemerintah Indonesia. Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan nama kapal berbahasa Indonesia.

Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di berbagai perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand (Antara, tanpa tanggal). Modus penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura. Satu buah izin penangkapan digandakan untuk 10 kapal. Perusahaan membuat atau memiliki 10 kapal dengan bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama. Dengan demikian, satu buah izin kapal yang dimiliki oleh perusahaan Page | 17

dapat digunakan untuk 10 kapal yang dimilikinyakarena memiliki bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama sehingga bisa mengelabui aparat yang melakukan operasi kapal ilegal.

Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5 izin penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan. Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian negara dari hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar.

Modus lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia. Padahal kapal tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia. Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa Indonesia.

Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus tersendiri. Kapal pembom ikan pergi menuju daerah sasaran tanpa membawa peralatan bom ikan. Di tengah laut, peralatan pemboman dikirim dengan kapal lain. Setelah itu kapal akan melakukan pemboman di daerah dan waktu tertentu.

2. Waktu Tertentu

Page | 18

Kegiatan penangkapan oleh kapal ilegal dilakukan pada waktu tertentu, terutama pada saat musim barat. Kapal ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah gelombang setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar kapal pencuri ikan di saat musim barat.

3. Penyebaran Lokasi Seperti telah disebutkan di atas, kapal asing yang illegal selalu beroperasi di wilayah perbatasan dan perairan internasional, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menangkap kapal tersebut. Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih bahwa tidak sengaja melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya menggunakan kompas. Hal ini biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia, seperti Thailand yang tertangkap oleh patrol.

Modus lain juga dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara 57 mil, sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut melakukan transhipment di tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk selanjutnya dibawa ke Thailand.

4. Kerjasama dengan Aparat Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan sejumlah oknum aparat sangatlah kuat Page | 19

karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari perairan Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan memakai bendera Indonesia. Perikanan ilegal di perairan Sulawesi Utara misalnya, kerjasama antara oknum aparat, pengusaha ikan di darat, dan operator kapal ikan di laut sangatlah sistematis (lihat Gambar-2.1). Oknum aparat memberitahukan perusahaan di darat bahwa akan dilakukan operasi kapal ilegal. Berdasarkan informasi ini, perusahaan di darat menginstruksikan kapalnya yang sedang beroperasi di laut untuk berpindah agar menghindari operasi aparat. Dengan demikian, kapal operasi tidak menemukan kapal ilegal, dan jika ada yang tertangkap, bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan belaka

3.5. Dampak Perikanan Ilegal Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.

Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia. Pertama,

perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak Page | 20

akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia terkesan memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional. Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia.

Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.

Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.

Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu Page | 21

pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.

Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.

Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.

Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada

Page | 22

pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.

Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah

penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.

Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.

Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.

Page | 23

BAB IV

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DAN PENANGANAN ILLEGAL FISHING


4.1. Inisiatif Dunia Melawan IUU Fishing Sejak tahun 1992 masyarakat internasional telah mempromosikan tindakan dan prakarsa untuk melakukan pengelolaan sumber daya perikanan yang bisa menopang kebutuhan jangka panjang. Pada tahun 1982 dalam International Conference on Responsible Fishing yang diadakan di Cancun, Meksiko, melahirkan Deklarasi Cancun yang menyerukan FAO untuk mengembangkan suatu Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries), yang kemudian direkomendasikan oleh FAO pada tahun 1995. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Page | 24

tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Saat ini Komite Perikanan FAO telah menyepakati Rencana aksi internasional bagi perikanan IUU atau International Plan of Action on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang mengatur mengenai praktek ilegal seperti pencurian ikan, praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah (misreported), atau laporannya dibawah standar

(under-reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global. Negara-negara lain sudah menindak tegas praktek perikanan ilegal di wilayah negaranya, misalnya Australia, Kanada, Fiji, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Perbandingan hukuman terhadap praktek perikanan ilegal di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel-4.1.

4.2. Kebijakan Penanganan Perikanan Ilegal di Indonesia Kondisi perikanan Indonesia semakin diperparah dengan belum optimalnya pemerintah dalam menindak praktek perikanan ilegal.

Pemberantasan kegiatan perikanan ilegal, baik yang terkait dengan pelanggaran administratif, pelanggaran jalur penangkapan hingga

penggunaan alat tangkap merusak belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Padahal produk hukum penanganan perikanan illegal telah ada sejak tahun 1983 (lihat Tabel-4.2). UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEEI mengatur penangkapan ikan oleh asing diperairan ZEEI dan kewenangan aparatur penegak hukum.

Page | 25

BAB V

ILLEGAL FISHING DI SULAWESI UTARA

5.1. Kondisi Perikanan Sulawesi Utara Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2007) mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan ekonomis penting, seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol di sekitar perairan Sulawesi Utara setiap tahunnya mencapai 459.800 ton. Tersebar di perairan Indonesia (PI) dan

Page | 26

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sementara itu jumlah tangkapan sumberdaya ikan yang diperbolehkan (JTB) untuk ditangkap adalah mencapai 367.840 ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi sumberdaya ikan. Potensi sumberdaya ikan Cakalang mencapai 58,20 persen dari total potensi sumberdaya tersebut. Secara lengkap potensi sumberdaya ikan tersebut dapat dilihat pada Tabel-5.1.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2007), juga mengungkapkan bahwa secara umum pertumbuhan produksi

sumberdaya ikan ekonomis penting seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol pada periode tahun 2002-2005 rata-rata mencapai 1,50 persen per tahun. Dilihat secara lebih detail pertumbuhan produksi sumberdaya ikan yang paling tinggi terjadi pada ikan Cakalang dan Tuna, yaitu rata-rata mencapai 4,59 persen dan 1,40 persen. Sementara itu pertumbuhan produksi ikan Tongkol pada periode tahun 2002-2005 terlihat mengalami penurunan sebesar 6,35 persen per tahun.

Berdasarkan data PPN Bitung (2006), jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPN Bitung mengalami peningkatan dari tahun 2004-2006 (Tabel-4.3.). Berdasarkan data tersebut, tahun 2004-2005 jumlah produksi ikan mengalami peningkatan sebesar 246,27 persen atau hampir 2,5 kali lipat. Alat Tangkap utama Ikan Tuna yang didaratkan di Bitung terdiri dari alat tangkap pancing dan jaring lingkar (purse seine). Alat tangkap pancing meliputi pole and line dan hand line, sedangkan untuk nelayan asing yang mempunyai ijin menangkap di Indonesia pada umumnya menggunakan pancing rawai atau long line. Sedangkan purse seine umumnya adalah Page | 27

dalam bentuk kapal pan boat, yang awalnya dimiliki oleh nelayan Filipina, tetapi sekarang sebagian besar dimiliki oleh nelayan lokal.

Rata-rata kapal hand line berukuran dibawah 10 GT, dan berawak sekitar 7 orang dan beroperasi 7-10 hari termasuk perjalanan ke lokasi dan pulang ke landing base. Mesin kapal bervariasi, sebagian merupakan mesin in-board dan sebagian merupakan out-board. Pada mesin yang bersifat outboard digunakan mesin ganda, berkekuatan 2x40 PK dan sebagian telah dimodifikasi menjadi mesin dengan bahan bakar minyak tanah. Sedangkan pada mesin in-board digunakan mesin tunggal 80-90 PK, dengan bahan bakar minyak diesel. Sementara pada alat tangkap pole and line, kapal biasanya berukuran lebih besar dari hand line dengan kekuatan yang lebih besar dan dilengkapi dengan alat pemancar air dan palka sirkulasi. Sehingga operasi penangkapan lebih lama dibandingkan dengan hand line.

Rumpon yang digunakan merupakan rumpon laut dalam dengan ukuran 3mx3m seperti terlihat dalam Gambar-5.2 Rakit rumpon disusun dari kontruksi bambu, sedangkan dasar rumpon berkontruksi berlapis antara bambu dan gabus/sterofoam. Untuk mengantisipasi kuatnya arus, maka tali ris (tali jangkar) rumpon biasanya diperpanjang sekitar 1,5 kali kedalaman air. Sedangkan untuk mengatasi terjadinya iritasi akibat gesekan antara tali rumpon satu dengan rumpon yang lain, maka pada sekitar 22 meter pertama dilindung dengan rotan.

Pada kapal dengan alat tangkap hand line digunakan umpan baik ikan hidup maupun umpan buatan (artifisial). Umpan yang digunakan biasanya adalah ikan cakalang yang berukuran 200 gram/ekor atau size 5 Page | 28

ekor/kg. Sedangkan ikan buatan biasanya dibuat sendiri oleh nelayan. Berkembangnya penangkapan Ikan Tuna dan sejenis tuna di Sulawesi Utara, juga diikuti oleh berkembangnya industri pengolahan hasil perikanan. Sekarang ini, kurang lebih 17 perusahaan pengolahan hasil perikanan beroperasi di Bitung, baik segar, beku maupun pengalengan. Sebagiannya hanya untuk mengolah tuna, sebagian perusahaan lainnya mengolah Ikan Cakalang dan Tongkol. Orientasi pasar produk tersebut sebagian besar adalah untuk pasar ekspor. Ikan hasil tangkapan nelayan di Bitung, dapat dikelompokan menjadi Ikan Tuna (Mata Besar dan Sirip Kuning) dan Ikan Cakalang. Karena proses pengolahannya yang berbeda, maka pendaratan ikan dan proses pananganannya juga mengalami perbedaan. Ikan Tuna pada umumnya tidak didaratkan di TPI, tetapi pada tiga titik pusat pendaratan yaitu: Candi, Air Tembaga dan Pateten. Dari wilayah pendaratan tersebut, kemudian diangkut menggunakan alat transportasi darat ke perusahaan oleh pedagang pengumpul atau langsung oleh staf perusahaan. Akibatnya, sangat sedikit informasi dan data resmi pendaratan Ikan Tuna yang dapat diakses untuk analisis berikutnya. Berdasarkan informasi, ikan yang dibeli oleh perusahaan pengolah sebagian juga merupakan hasil tangkapan nelayan dari Sangir, Talaud dan Manado (Gambar-5.3.). Sedangkan untuk ikan yang ditujukan sebagai konsumsi masyarakat, didaratkan di 2 PPN Bitung. Pola distribusi hasil tangkapan ikan Cakalang dapat dilihat dalam Gambar-5.4.

Ikan Tuna hasil tangkapan nelayan berdasar kesegarannya dapat dikelompokan menjadi 4 grade yaitu A, B,C dan grade lokal. Grade A dan grade C masuk dalam kelompok ekspor segar, sedangkan grade lokal bila masuk tidak masuk pada grade ekspor segar. Harga masing-masing grade A Page | 29

sampai C per kg adalah Rp 28.000/kg, Rp 23.000/kg dan Rp 21.000/kg. Sedangkan di luar itu, masuk dalam grade lokal dengan harga Rp 10.000/kg. Namun demikian, berdasar informasi dari masyarakat, apabila jumlah tersebut tidak terlalu banyak maka biasanya akan dibeli juga oleh perusahaan. Sedangkan bila dalam jumlah banyak maka dijual kepada pedagang lokal.

Hasil produk pengolahan Ikan Tuna (segar) biasanya diolah dalam bentuk stik dan loin segar, yang sebagian besar produk ini dipasarkan ke Amerika Serikat. Sementara untuk ikan cakalang sebagian menjadi produk Ikan Kayu (Katsuobushi) yang dipasarkan ke Jepang, sebagian lagi diolah menjadi Ikan Asap (Fufu) yang dipasarkan untuk konsumsi lokal.

5.2. Masalah-masalah

Pertama, Maraknya kegiatan perikanan legal. Kegiatan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kontrol syahbandar terhadap keluar masuknya kapal ikan, tidak adanya kontrol terhadap perusahaan yang dapat ijin menangkap ikan dan tidak adanya kontrol ukuran ikan yang tertangkap nelayan.

Kedua, size Ikan Tuna yang tertangkap nelayan semakin kecil. Ukuran ikan tangkapan yang semakin kecil, diduga ada hubungannya dengan praktek perikanan ilegal yang marak terjadi disekitar perairan Sulawesi Utara.

Page | 30

Selain itu, hasil diskusi terbatas dengan para pelaku perikanan di sekitar perairan Sulawesi Utara memperlihatkan aktor-aktor yang terlibat dalam praktek perikanan illegal ini. Disebutkan bahwa mekanisme praktek perikanan ilegal melibatkan tiga pelaku utama, yaitu para pengusaha perikanan, operator lapangan dan oknum aparat keamanan dan pemerintah. Ketiga pelaku utama tersebut memiliki perannya masing-masing, yaitu

1) Operator lapangan, berperan dalam melakukan aktivitas pencurian ikan. 2) Pengusaha perikanan, berperan dalam penyelesaian secara hukum apabila kapal illegal yang diopersaikan tertangkap dan turut membiayai biaya produksi yang dibutuhkan selama beroperasi. Selain itu, para pengusaha perikanan juga berperan dalam memberikan informasi kepada operator apabila akan diadakan razia/operasi pemberantasan perikanan ilegal di sekitar daerah tangkapan ikan. Hal ini dilakukan untuk terhindar dari operasi yang digelar oleh pihak keamanan. Informasi akan digelarnya sebuah operasi perikanan ilegal tersebut diperoleh para pengusaha perikanan dari para oknum aparat kemanan dan pemerintah. Informasi di lapangan juga menunjukkan bahwa kompensasi pengusaha perikanan

kepada para oknum tersebut berupa pemberian upeti sebesar yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Mekanisme tersebut memang sangat sulit untuk dibongkar lebih lanjut.

Page | 31

3) Oknum aparat keamanan dan pemerintah. Mereka berperan dalam memberikan keamanan terhadap kapal-kapal ilegal milik para pengusaha perikanan.

Masalah ketiga, masih berkembangnya aktivitas mendaratkan ikan hasil tangkapan langsung di pelabuhan milik perusahaan. Aktivitas tersebut telah berdampak antara lain: Pelabuhan perikanan yang tidak berfungsi optimal, banyaknya data sumberdaya ikan yang tertangkap tidak terdata oleh pemerintah daerah (unreported fishing), hilangnya retribusi pelabuhan, hilangnya jasa pelabuhan dan aktivitas pelelangan ikan tidak berfungsi. Secara lengkap keterkaitan masalah tersebut dapat dilihat pada Gambar-5.7.

Aktivitas mendaratkan ikan di pelabuhan milik perusahaan tersebut telah melanggar UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam Pasal 45 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal perikanan yang berada dan atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, surat ijin berlayar diterbitkan oleh Syahbandar setempat setelah diperoleh Surat Layak Operasi (SLO) dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. Dalam penjelasan Pasal (45) tersebut dijelaskan pula bahwa kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan. Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan diantaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat dan pelabuhan lainnya wajib memperoleh SLO dari pengawas perikanan. Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi Page | 32

kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan dan atau pelabuhan umum dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka surat ijin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh Syahbandar setempat.

Sementara itu dalam Pasal 8 (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap menyatakan bahwa setiap kapal penangkapan ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan yang ditetapkan dalam SIPI dan atau SIKPI .
1 2

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Permasalahan terkait dengan IUU baik itu illegal fishing, ataupun yang sejenisnya merupakan masalah kita bersama. Masalah tersebut bisa saja teratasi manakala kita bangsa Indonesia khususnya pemerintah melakukan perbaikan diberbagai bidang kelautan. Misalnya dalam keamanan kelautan, Page | 33

pengadaan kapal-kapal patroli yang modern ataupun tindakan hukum yang tegas dan jelas. Supaya kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing tersebut jera. Akan tetapi hal-hal tersebut tidak akan bisa tercapai jika tidak ada kerjasama antara kita selaku masyarakat khususnya masyarakat pesisir pantai (nelayan).

Saran Melihat dari letak geografis Negara Indonesia yang di hubungkan oleh laut demi laut. Maka keamanan dalam memantau daerah perbatasan baik itu ZEE maupun BPN merupakan faktor terpenting dalam menangkal aksi illegal fishing yang banyak dilakukan oleh nelayan asing. Selain itu pengadaan armada patroli baik berupa kapal patroli atupun satelit pengintai laut juga tidak kalah penting dan seharusnya Indonesia sudah mempunyai keamanan ataupun pertahanan laut yang mumpuni, jika melihat letak Negara yang sangat strategis.

DAFTAR PUSTAKA

Dendasurono, 2002, Pendidikan Lingkungan Kelautan. Rineka Cipta, Jakarta. Page | 34

Fauzi, Akhmad, 2005, Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia, Jakarta. Subri, Mulyadi, 2004, Ekonomi Kelautan. Rajagrafindo Persada, Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Titik Dasar dan Garis Pangkal, Jakarta. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Pembaharuan Titik Dasar dan Garis Pangkal. Jakarta. Undang-Undang Nornor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Deplu, Jakarta. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratiflikasi Konvensi Hukum Laut 1982, Deplu, Jakarta. WALHI, 2007, Laporan Hasil Survey Identifikasi Illegal Fishing di Perairan Sulawesi Utara, April 2007.

Sumber lain: www.stopiuufishing.com www.indonesia.go.id www.pk-sejahtera.org www.kiara.or.id

Page | 35

You might also like