You are on page 1of 22

KEBUDAYAAN-KEBUDAYAAN BANYUWANGI (OSING) Suku Osing ( Banyuwangi )

YANG

MEMPENGARUHI

KEBUDAYAAN

Secara geografis, suku Osing mendiami daerah yang termasuk dalam kabupaten Banyuwangi. Oleh beberapa kalangan komunitas Osing dianggap komunitas yang paling lama mendiami wilayah Banyuwangi karenanya dianggap sebagai komunitas asli Banyuwangi. Kehadiran suku-suku yang lain seperti Jawa, Madura, Bugis tidak merubah pandangan umum termasuk orang Osing sendiri ahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat Osing Kota yang dulunya bernama Blambangan ini juga kaya akan seni tradisi, sebut saja

kebo-keboan di Alas Malang, seblang di Oleh Sari, endog-endogan, janger, kuntulan, angklung, damarulan, barong, mocoan pacul goang, jaranan buto, patrol
hingga gandrung yang lebih populer dari yang lainnya. Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai "Lare Osing" ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan sebagai berikut : Persebaran Penutur Bahasa Jawa-Osing. 1. Kabat 2. Rogojampi 3. Glagah 4. Kalipuro 5. Srono 6. Songgon 7. Cluring 8. Giri 9. Sebagian kota Banyuwangi 10. Gambiran 11. Singojuruh 12. Sebagian Genteng 13. Licin

Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran baik Bahasa Jawa ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura disamping karena keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi. Kebudayaan Suku Osing Beberapa seni tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Osing diantaranya adalah kuntulan, janger, angklung, idher bumi, barong, seblang dan

gandrung penuh dengan syair dan iringan musik. Kelahiran seni tradisi ini tidak
bisa dipisahkan begitu saja dengan masyarakat setempat. Seni-seni itu hadir tidak jauh dari keseharian hidup mereka. Sebagai daerah yang banyak dialiri sungaisungai Banyuwangi sangat diuntungkan, karena dengan demikian sumber utama penghasilan penduduknya berasal dari hasil-hasil pertanian. Bahkan pernah kabupaten ini manjadi salah satu yang masuk kategori penghasil padi terbesar di propinsi Jawa Timur. Dan seni tradisi itu juga lahir tidak jauh dari hal-hal yang bersifat pertanian. Sebagai contoh adalah kesenian angklung yakni musik tradisi yang perlatannya menggunakan bilah-bilah bambu yang diatur dalam pangkan dengan nada slendro (Jawa) ditambah dengan kendang, gong dan saron. Kesenian ini muncul ketika pesta panen. Angklung digunakan untuk mengiringi gerak anianian padi. Sekarang Angklung berkembang sangat pesat dan mengalami banyak varian seperti Angklung Paglak (gubuk sawah) yang merupakan cikal bakal kesenian angklung, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras dan Angklung Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini. Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan urat nadi mereka. Ia tidak hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian adalah nafas mereka, ritual yang mengandung makna spiritual yang selalu dekat dengan kehidupan mereka. Dalam upacara ritual seperti merayakan dewi kesuburan dan mohon keselamatan semacam Seblang, Kebo-Keboan dan Idher Bumi, lagu nampak menjadi bagian dari mantra ritual. Sama halnya dengan penganut agama Islam yang melakukan ibadah sholat sebagai ritual sehari-hari, atau penganut agama Hindu yang setiap harinya selalu berdoa ke Pura.

Dalam buku Gandrung Banyuwangi, disebutkan bahwa lingkungan alam pedesaan agraris masyarakat Banyuwangi atau Wong Osing itu pula yang kemudian melahirkan kesenian gandrung. Kesenian yang melibatkan unsur tari, musik, termasuk olah vokal dan lagu, merupakan induk dari kesenian yang kemudian muncul di Banyuwangi. Karakter yang diwarisi melalui proses imitasi dan menjadi kebiasaan yang paling nampak pada masyarakat etnik tersebut antara lain adalah penggunaan bahasa dan dialek Osing. Jika kebiasaan tutur ini telah mengalami penyusutan pada konsentrasi masyarakat Osing lainnya, maka pada kelompok masyarakat Osing yang berdiam di desa Kemiren, bahasa dan dialek ini masih sangat kental penggunaannya. Komunitas bahasa merupakan tipe komunitas yang membawa nilai budaya masyarakat tertentu sekaligus mempermudah kemungkinan akan terciptanya suatu pemahaman bersama. Tradisi lainnya yang mungkin sudah jarang adalah Warung Bathokan (warung makan yang berfungsi sebagai ajang mencari jodoh, namun fungsinya kini bergeser jauh menjadi ajang prostitusi terselubung), Kawin Nyolong (kawin lari dimana pihak lelaki melarikan pihak perempuan ke rumah keluarganya- mirip dengan di Bali dan Lombok, kalau di Lombok disebut Merariq), atau Kawin Lebon (dimana pihak lelaki yang lari ke rumah pihak perempuan). Masyarakat Using dikenal sebagai masyarakat relijius, dan pemahaman agamanya banyak miripnya dengan masyarakat Madura. Bahasa Using sendiri kerap dianggap sebagai sub-Bahasa Jawa, namun kerap struktur ucapannya susah dipahami penutur bahasa Jawa lainnya. Bahasa Using juga pernah diujicobakan sebagai bahasa daerah di sekolah-sekolah di Kabupaten Banyuwangi sebagai penyeimbang Bahasa Jawa. Kebudayaan Yang Mempengaruhi Kebudayaan Suku Osing Jawa : Terbagi atas dua kebudayaan, budaya Mataraman dan budaya Arekan (Jawa Timuran). Kultur Mataraman ini paling banyak ditemui di Silir Agung, Pesanggaran, Tegaldlimo, Grajagan, Purwoharjo, Gambiran, yang dibawa oleh pemukim2 asal Solo, Jogjakarta, Madiun, Blitar dan Kediri sejak abad ke-19. Sedangkan budaya Arekan sendiri berpengaruh di sebagian Banyuwangi (Kalibaru, Glenmore, Genteng, Kota Banyuwangi). Masyarakat Mataraman di pesisir selatan ini tetap mempertahankan budayanya yakni : wayang kulit, tayuban, campursari dan bahasa kulonannya.

Madura (Pendhalungan): Mereka sangat dominan di kawasan Ujung Timur Jawa ini. Diperkirakan kedatangan awalnya pada abad ke-18 melalui tentara Madura yang didatangkan Belanda untuk menaklukkan pasukan Blambangan dalam Puputan Bayu yang hanya menyisakan 1000 dari 15.000 penduduk pada masa itu. Serta imigrasi masyarakat dari pulau Madura menuju kawasan-kawasan tersebut. Kenapa kelompok ini disebut pendhalungan? Karena mereka menganggap dirinya campuran antara Madura dan Jawa. Ataupun Orang Jawa yang telah di'Madura'kan (mirip dengan kasus Pantura Jawa Barat). Meskipun jelas-jelas berbahasa Madura, mereka tetap menolak disebut Madura. Masyarakat Madura ini tersebar mulai kec. Kalibaru, Glenmore, Genteng, Wongsorejo, Kampung Mandar, pesisir Muncar. Warna budaya mereka juga sedikit lain dengan di Pulau Madura. Masyarakat Pendhalungan di Wongsorejo (Banyuwangi) justru tidak mengerti bahasa Jawa sama sekali. Di kawasan ini, Ketoprak dan Wayang Topeng dipertunjukkan dalam bahasa Madura. Bali Daerah terdekat dengan Bali adalah Banyuwangi dan Pulau Lombok. Dengan Banyuwangi yang terletak diujung timur Jawa hanya dipisahkan oleh Selat Bali yang memakan waktu 45 menit penyeberangan ferry, sedangkan dengan Pulau Lombok lebih jauh karena Selat Lombok yang sangat lebar. Namun demikian, dikarenakan sejarah, antara Banyuwangi, Bali dan Lombok mempunyai banyak kesamaan. Sebelum Islam masuk ke tanah Blambangan, Banyuwangi sudah lama menjalin hubungan kenegaraan yang akrab dengan Kerajaan Bali, sedangkan pulau Lombok pernah menjadi wilayah kekuasaan Karangasem selama 2 abad. Akibatnya, warna kesenian Bali juga merasuk dalam seni budaya masyarakat Banyuwangi (Jawa Timur) dengan Lombok. Tetapi jauh lebih terlihat di pulau Lombok dibanding daerah sebelumnya. Kalau dianalisa sedikit, pengaruhpengaruh Bali dalam kesenian khas Banyuwangi nampak sebagai berikut : 1. Janger, yakni sebuah seni teater yang masih sering dipertontonkan di Banyuwangi. Aransemen musiknya nyaris total Bali, dengan tari pembuka yang seringkali berupa Tari Pendet, Legong, Baris, atau kadang tari-tarian setempat. Kemudian busana lakon prajurit, panglima dan putri yang merupakan pengaruh seni teater Arja. Namun cerita-ceritanya menampilkan

cerita panji tanah Jawa. Bentuk variasinya adalah kesenian Tembang

Janger, dan Campursari Janger.


2. Barong juga merupakan pengaruh Bali dari tampilan mukanya, tetapi ada perbedaan yang nampak. Antara lain pada barong khas Banyuwangi mempunyai sayap dan mahkota serta ukurannya lebih kecil. Fungsinya biasanya untuk bersih desa. 3. Angklung Caruk. Musik ini melibatkan alat musik bambu yang digabung dengan gamelan yang kadang disebut Bali-balian, karena nadanya yang rancak mirip Bali. Dan sering menjadi musik pengiring tari-tarian Banyuwangi, seperti misalnya Jaran Goyang, Punjari dan sebagainya. Irama Bali-Balian ini juga muncul pada kesenian patrol. 4. Gandrung. Tarian favorit rakyat yang erotis ini sebenarnya hanya sedikit menampakkan pengaruh Balinya, terutama pada cara berdiri tegaknya dan kipas yang dibawa. Meskipun kipas itu sendiri bukanlah kipas Bali, namun setidaknya pengaruh Bali membekas pada kesenian satu ini. Pengaruh Jawa terlihat pada penggunaan selendang dalam sebagian besar penampilan, sedangkan seperti halnya tarian Jawa Timur, gandrung menggunakan kaos kaki putih. 5. Hadrah Kuntulan. Pengaruh Bali terlihat pada digunakannya bonang (reyong). 6. Busana Tradisional. Busana tradisional masyarakat Osing, khususnya busana wanita menampakkan pengaruh Bali yang kuat, ditandai dengan pemakaian ikat pinggang pada kebaya, namun dengan mengikuti corak batik Gajah Oling atau Sidomukti, dan model sanggul yang mirip dengan Bali. Pengaruh Bali pada kesenian khas Banyuwangi ini tidaklah sekuat pada kesenian Lombok, dimana sampai pada gaya berbusanapun terpengaruh Bali. Setiap daerah khususnya yang bersinggungan langsung dengan daerah budaya yang berbeda sudah barang tentu akan terpengaruh dengan kesenian setempat, ditunjang dengan interaksi yang sudah berlangsung sekian lama. Namun dengan percampuran itulah, kesenian Banyuwangi mempunyai warnanya sendiri, yang membedakannya dengan kesenian di Pulau Jawa pada umumnya. Unsur Jawa, Bali, Madura bahkan Eropa ikut menjadi bagian diantaranya. (dan jujur saja saya sangat menggemarinya, karena perbedaan itu). Akibatnya, musik dan seninya terkesan sangat dinamis...

Meskipun budaya pop juga membanjir disana seiring dengan globalisasi, namun dengan caranya sendiri masyarakat Banyuwangi mengubahnya menjadi sesuai dengan pangsa pasar setempat. Masyarakat Keturunan Bali umumnya tinggal di Kabupaten Banyuwangi, khususnya Desa Blimbing Sari, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi atau di Kampung Bali kawasan kota Banyuwangi. Mereka juga mempertahankan format budayanya masing-masing, dan bahasa Bali tetap dipakai sebagai bahasa seharihari selain Bahasa jawa atau Using. Sedangkan kelompok-kelompok etnis lain seperti Cina, Arab, Bugis Mandar dan Melayu juga memperkaya kawasan Timur Jawa ini. Di Kota Banyuwangi terdapat dua kelurahan yang mencerminkan etnisnya yakni Kampung Melayu, Kampung Mandar dan Kampung Bali. Namun setahu saya Kampung Melayu dan Mandar kini kehilangan identitasnya dan bahasa yang dominan adalah Jawa dan Madura. Melayu Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Wangsalan Osing : adalah ragam puisi lisan osing berupa ungkapan atau pernyataan tidak langsung dengan cara memanfaatkan persamaan bunyi akhir atau sebagian bunyi jawaban atas frase yang disampaikan sebelumnya. Dengan kata lain, Wangsalan Osing adalah teka-teki yang memiliki jawaban secara tersamar pada ungkapan ...yang telah disampaikan dengan ciri-ciri memiliki persamaan bunyi. Basanan Osing : adalah ragam puisi lisan osing yang di dalamnya mengandung unsur SAMPIRAN dan ISI. SAMPIRAN adalah semacam ungkapan pengantar dengan menggunakan kata atau frase yang memiliki kemiripan bunyi akhir dengan isi basanan. Sementara itu, ISI adalah pesan atau arti yang disampaikan dalam basanan. Secara garis besar basanan osing dapat dipilah menjadi dua,yakni BASANAN DUA LARIK dan BASANAN EMPAT LARIK.

Contoh Wangsalan Demenan Kabeh-kabeh gelung konde Kang endi kang gelung jawa Kabeh-kabeh ana kang duwe Kang endi hang during ana Ana lintang ana ulan Jejer-jejer ring ndhuwuran Ati bungah sing karuan Ndeleng riko liwat ngarepan Kecipir merambat nang kawat Masio sing mampir pokoke liwat Contoh Wangsalan Wadanan Wak paing nggawe udheng Nunggang sepedha geratulan Sakat mau hing mudheng-mudheng Aju kelendi kadung ulangan Wit klopo arane glugu Disigari diparo dadi pitu Saben dino isun sing biso turu Ndeleng riko hing due untu
KEBUDAYAAN ASING YANG MEMPENGARUHI KEBUDAYAAN OSING (BANYUWANGI) Kebudayaan Timur Tengah Pada masa penjajahan Belanda, Islam masuk ke Blambangan (sekarang Banyuwangi). Kedatangan Islam sarat dengan nuansa politik. Tujuan masuknya agama Islam ke Blambangan adalah untuk meredam gerakan masyarakat Blambangan yang terkenal sulit ditaklukan. Ketika Belanda berhasil merebut Blambangan, kebijakan pertama yang diberlakukan adalah mendirikan wilayah

kekuasan yang bisa disetir oleh Belanda, lebih halusnya lagi dinormalisisasi dengan serangkaian aturan agama yang menguntungkan kepenguasaannya.

Kesenian Hadrah Kuntulan


Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas. Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek. Kebudayaan Cina

Sejarah Barong
Ada banyak versi tentang sejarah barong di Banyuwangi. Namun, maknanya tetap sama, " kebersamaan". Bagi masyarakat Using/Osing, barong adalah sebuah

simbol kebersamaan. Ritual apa pun di daerah Banyuwangi hampir tidak pernah lepas dari tarian ini. Kata 'barong' berasal dari bahasa Using, bareng artinya bersama.
Kesenian Barong Versi 1 Menurut Hasnan Singodimayan, budayawan setempat, kesenian barong Kemiren bercerita tentang gadis cantik bernama Ja'rifah, yang dijaga hewan bertubuh besar bermuka buruk--yang kemudian disebut barong--melawan penjajah. "Barong sangat setia kepada tuannya sehingga dianggap simbol kepahlawanan," tutur Hasnan.Kesenian barong Kemiren mirip kesenian barong di Bali. Kemiripan ini,

menurut

Hasnan,

sangat

wajar

karena

kedekatan

kultur

yang

saling

mempengaruhi dalam sejarah hubungan antara Bali dan Banyuwangi. Bedanya, secara fisik ukuran barong Bali lebih besar dan tidak punya sayap. Menurut Hasnan, ada beragam versi tentang sejarah barong Kemiren. Ada yang menyebut barong bukan kesenian asli Jawa, melainkan dari Bali. Kesenian ini dibawa dan dikembangkan warga Bali yang terpaksa bermukim di Banyuwangi karena terjadi kekacauan di Bali. Kesenian Barong Versi 2 Versi lain menyebutkan kesenian barong berasal dari Cina, yang masuk Jawa pada zaman Majapahit. Ada kemiripan antara barong dan tari Singa Cina, yang berkembang pada zaman Dinasti Tang pada abad VII-X.

Kesenian Barong Kemiren Barong Kemiren adalah kesenian asli dari Desa Kemiren,Glagah. Salah seorang budayawan asli Kemiren, Andi (45), menuturkan barong Kemiren hasil ciptaan asli warga Kemiren kuno. Namanya, Sanimah abad ke-16. Barong kuno itu bentuknya jelek dan buruk rupa. Barong kuno itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Tompo ( Eyang Buyut Tompo/ Mbah Tompo ).

PERKEMBANGAN BATIK DI BANYUWANGI Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage

of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009


Tak banyak orang yang tahu, bahwa sejatinya Banyuwangi merupakan salah satu daerah asal batik di Nusantara. Banyak motif asli batik khas Bumi Blambangan. Namun hingga sekarang, baru 21 jenis motif batik asli Banyuwangi yang diakui secara nasional. Jenis-jenis batik Banyuwangi itu salah satunya antara lain: 1. Gajah Uling 2. Kangkung Setingkes 3. Alas Kobong 4. Paras Gempal 5. Kopi Pecah 6. Gdkan 7. Ukel 8. Moto Pitik 9. Sembruk Cacing 10. Blarak Semplah 11. Gringsing 12. Sekar Jagad Semua nama motif dari batik asli Bumi blambangan ini ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Misalnya, Batik Gajah Uling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar. Motif Sembruk Cacing juga motifnya seperti cacing dan motif Gedegan juga kayak gedeg (anyaman bambu). Motif-motif batik yang ada ini merupakan cerminan kekayaan

alam yang ada di Banyuwangi. Motif batik seperti di Banyuwangi ini tidak akan ditemui di daerah lain dan merupakan khas Banyuwangi. Selama ini, kata Suyadi, ada anggapan yang salah kalau gajah oling itu batik khas Banyuwangi. Padahal yang benar, gajah uling hanya salah satu dari sekian banyak nama motif batik khas Banyuwangi. Semua motif dari batik Banyuwangi itu diciptakan oleh nenek moyang Banyuwangi sendiri, paparnya. Dalam penciptaannya, motif batik Banyuwangi ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Gajah uling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar. Motif sembruk cacing juga kayak cacing, dan motif gedegan juga kayak gedeg (anyaman bambu), bebernya. Bagi Suyadi, penciptaan motif batik Banyuwangi merupakan bentuk karya seni yang cukup tinggi. Semua motif itu diambilkan dari kekayaan alam Banyuwangi yang beraneka ragam. Jadi motif batik ini warisan nenek moyang itu bernilai seni yang harus dipertahankan, cetusnya. Motif batik seperti di Banyuwangi ini, tidak akan bisa ditemukan di daerah lain. Karena batik dengan motif ini, sudah menjadi identitas dari batik khas Banyuwangi. Untuk menghindari pembajakan, pemerintah harusnya mempatenkan motif batik Banyuwangi ini,. Batik Gajah Uling Batik Gajah uling melambangkan sesuatu kekuatan, yang tumbuh dari dalam jati diri masyarakat Banyuwangi. Pemaknaannya berkaitan dengan karakter masyarakat yang bersifat religius. Dengan penyebutan Gajah Eling, yang artinya

eling (mengingat) kemahabesaran sang pencipta adalah sebuah jalan terbaik


dalam menjalani hidup masyarakat Banyuwangi. Selain itu, adanya keterkaitan dengan sosok misteri pada sejarah Blambangan. Penaklukan Blambangan oleh Mataram, yakni pada masa Sultan Agung Hanyokro Kusumo (1613-1645 M). Dimana kekusaan Mataram inilah banyak kawula Blambangan yang dibawa ke pusat pemerintahan Mataram Islam di Plered, Kotagede. Mereka banyak yang belajar membatik di Keraton Mataram Islam. Sejarah batik sudah dikenal oleh tradisi keratin di Jawa sejak abad 15. Khususnnya pada pemerintahan Sultan Agung. Setelah perkembangan zaman terjadi kepentingan politik mutualisme, dengan menetapkan tradisi membatik sebagai sebuah tradisi sebuah identitas. Penguasaan terhadap budaya yang dilingkupinya. Menariknya, sosok batik khas Banyuwangi tidak terpengaruh unsur Mataram atau pun Bali.

Kurang gregetnya batik di Banyuwangi bukan berarti Banyuwangi tidak memiliki nilai estetika ragam hias arsitektural atau ragam hias ornamental. Justru menumbuh kembangkan batik Banyuwangi berarti menggali kembali segi atau nilai estetika Blambangan yang tersebar pada tinggalan Arkeologi yang ada. MELAYOKAKEN Masyarakat Using, mengenal tradisi melamar seorang gadis dengan nama Melayokaken dan Ngeleboni. Tradisi ini muncul, apabila jalan normal sulit dicapai. Bisa akibat ketidaksetujuan pihak orang tua gadis atau orang tua pihak laki-laki. Namun langkah untuk mencairkan sikap wangkot orang tua itu, bisanya ditempuh anak muda Using untuk Melayokaken gadis pujaannya atau Ngeleboni ke rumah seorang gadis pujaanya. Melayokaken atau melarikan gadis pujaan, sebetulnya bukan sarana atau jalan satu-satunya menuju mahligai rumah tangga. Langkah ini ditempuh, apabila orang tua gadis tidak setuju atas rencana pinangan yang dilakukan seorang pemuda. Sang Gadis dan Sang Perjaka, sebetulnya sudah melakukan pacara secara sembunyi-sembunyi. Mereka saling cinta, sudah seiya sekata. Namun saat keinginan itu sisampaikan kepada orang tua gadis, ternyata tidak mendapat respon atau tidak disetujui. Padahal, orang tua dari pihak laki-laki tidak memasalahkan hubungan kedua sejoli itu. Sang pemuda, atau kedua orang tuanya, juga tidak mau spekulasi melamar seorang gadis apabila tidak ada lampu hijau dari kedua orang tua sanga gadis. Komunikasi searah, biasanya dilakukan sang gadis yang dibantu jaruman (Mak Comblang). Hasilnya, kemudian dikomunikasikan kepada sang kekasih. Apabila sudah ada lampu hijau, maka persiapan lamaran secara normal akan dilakukan. Namun apabila ditolak dengan alasan apapun, padahal keduanya sudah ngebet ingin hidup bersama secara syah. Sang pemuda akan ditantang, seriuskah ia akan menimang sang gadis. Kalau iya, beranikan Melayokaken (melarikan) gadis itu dari orang tuanya untuk dibawa ke rumah keluarga laki-laki. Tindakan melayokaken ini melalui persiapan matang, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Selain atas kemauan sang gadis, pasti sudah ada dukungan dari sebagian keluarga sang gadis yangt tidak sepaham dengan sikap orang tua gadis. Sehingga, kapan sang pemuda membawa gadis dan kemana gadis itu ditempatkan, semua sudah diatur. Begitu juga keluarga sang perjaka, mereka

sudah mengatur siasat dan mengatur siapa saja yang akan terlibat dalam proses ini. Baik sebagai pelindung saat sang gadis sudah tiba, maupun yang bertindak sebagai colok, atau utusan kepada pihak orang tua gadis. Bagi orang tua perempuan, digambarkan seakan sedang mengalami musibah kepetengen (Kegelapan) saat kehilangan gadisnya. Oleh karena itu, diutuslah seseorang untuk menerangi (Colok) keluarga gadis. Seorang Colok, dipilih yang mempunyai kecakapan berbicara dan berargumentasi. Mereka kadang juga diambil dari tokoh masyrakat setempat, agar kehadirannya tidak menimbulkan kemarahan dari pihak perempuan. Colok ini datang ke pihak perempuan, biasanya mengatakan, bahwa anak gadisnya sudah dipelayokaken seorang pemuda yang menjadi pilihannya dan hubungannya tidak disetujui. Colok ini juga meyakinkan orang tua gadis, bahwa sang gadis dalam keadaan baik-baik. Hatinya senang, karena diterima baik oleh keluarga laki-laki. Uniknya, orang tua sang gadis tidak akan marah dan menolak pinangan dengan cara dipelayokaken itu. Bagi masyarakat Using, aib bila rencana menghalang-halangi hubungan asmara anakknya diketahui orang lain. Meski beda status sosial, langkah melayokaken ini juga efektif menerobos kelas sosial. Se Wangkot apapun hati orang tua, akan luluh apabila mengetahui anak gadisnya sudah dipelayokaken sang pemuda. Sikap ini, juga kadang atas kepiawaian sang colok. Mungkin orang tua gadis, juga akan malu kepada colok kalau colok berasal dari tokoh masyarakat setempat. Apabila sudah ada kesepakatan, maka malam itu juga sang colok akan menbawa orang tua gadis untuk menemui orang tua laki-laki (calon besan) sekaligus mengetahui keadaan anaknya. Pada pertemua mendadak ini, kemudian disusunlah rencana pernikahan resmi, Hitung-hitungan tanggal dan weton, kadang juga masih dipakai orang Using. Meski melaksanaannya tidak seketat orang Jawa, yang harus dihitunh tanggala kelahiran dan pasarannya dan dijumlahkan hitunggannya. Sejauh ini, tradisi melayokaken ini tidak sampai berunjung ke masalah hukum. Misalnya orang tua gadis melaporkan kepada polisi, karena anaknya sudah dibawa lari. Ada ketentuan yang harus dipatuhi dari pihak laki-laki, harus secepat mengirimkan colok, atau setidak-tidaknya kurang dari satu kali 24 jam. Bahkan, kadang orang tua atau pihak perempuan, baru sadar atau mengetahui anak gadisnya dalam kekuasaan seorang perjaka, setlah kedatangan seorang colok. Inilah yang mungkin, tradisi yang sepintas bertentangan dengan hukum positif, tidak berujung ke meja hukum.

Tradisi ini, kadang ada yang menyebut sebagin kawin colongan. Istilah ini sebetulnya bersumber kepada tradisi yang hidup di Bali. Namun apabila untuk menyebutkan tradisi yang hidup di Banyuwangi ini, istilah itu kurang tepat. Mengingat, prosesi perkawinannya normal seperti biasa. Masalaha kebuntunan komunikasi, telah cair setelah kedatangan colok. Orang tua gadis, cepat intropeksi diri, apabila anak gadisnya sudah dilarikan seorang pemuda. Bukan memaksakan kehendak, gar menuruti keinginan orang tuanya. Selain tradisi melayokaken, juga dikenal tradisi ngeleboni. Tradisi ini juga mencerminkan keberanian pemuda Using, untuk bersikap atau merealisaiskan keinginannya. Jika keinginan untuk meminang gadis pujannya tidak mendapat respon dari orang tuanya, sang pemuda dengan bantuan tim sang setuju atas langkahnya, untuk Ngeloboni kepada orang tua gadis. Pada saat negeloboni ini, sang pemuda biasanya sudah mengetahui respon orang tua gadis atas hubungan yang mereka jalin. Agar orang tuanya memperhatikan keseriusannya, sang pemuda langsung menghadap ke orang tua gadis dan menimangnya sebagai calon pendamping. Namun orang tua gadis tidak serta merta menerima pinangan sang pemuda itu, ia tetap mensyrakatkan ada orang tua atau utusannya yang datang mendapinginya. Tidak jauh dalam proses melayokaken keberadaan colok juga dibutuhkan dalam tradisi ini. Mereka akan mendatangi orang tua sang pemuda dan mengetakan, jika anak lelakinya sekarang sedang ngeloboni anaknya Pak Anu misalnya, yang tidak lain kekasihnya sendiri yang tidak disetujui dari orang tua pihak laki-laki. Lagi-lagi, bagi orang Using merupakan aib, jika keinginan menghalangi hubungan asmata anaknya diketahui secara luas. Bisa ditebak, persetujuan pun akan didapat. Proses perencanan hari pernikahan pun, segera disusun. Biasanya tidak akan lama, karena mereka kawatir hubungan suci itu akan berubah maksiat, jika terlalu lama hari pernikahannya. Jika dalam kondisi normal, orang Using mengenal proses Bakalan (Tunangan). Biasanya, dari pihak laki-laki yang melamar pihak gadis, dengan membawa peningset. Kemudian pada hari yang sudah disepakati, akan dilakukan kunjungan balasan dari perempuan. Biasanya dengan mebawa kue, sebagai buah tangan dengan hiasan-hiasan menarik. Namun orang Using tidak akan menjamin, proses bakalan ini benar-benar akan menjadi utuh hingga pelaminan, apabila tidak segera dilakukan. Kedua belah pihak juga selalu diingatkan, bahwa bakalan itu rencana manusia. Apabila ada halangan atau rintangan di tengah jalan, kedua belah pihak diminta tidak saling

menyalahkan. Seperti yang tercermin dalam basanan atau pantun Using: Ojo

maning singkal ro kuthungo, Sasak watu bain embat-embatan// Ojo maning bakal ro wurungo, Wis anak putu bain bisa pegatan. (Jangankan bajak tidak akan patah,
Jembatan dari batu saja bisa berayun-ayun. Jangankan tunangan tidak batal, orang yang sudah beranak cucu saja bisa bercerai). PETIK LAUT MUNCAR

Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani, nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan. Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan, jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura yang pemberani. Seragam Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali, jika ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi ,demi ke-sakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan

besar. Biasanya mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar, Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu. Sakera juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang ingin berebut naik perahu. Sakera mirip Pecalang di Bali. Sesepuh adat juga mengenakan baju Sakera, serba hitam. Bagian dalam kaus loreng merah putih. Udengnya batik merah tua. Bagi nelayan Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh ditinggalkan. Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.

Prosesi Ritual
Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut. Perahu diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak keluarga sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah-buahan, ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek. Pada hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat sejak pagi. Mereka menggunakan baju khas Madura sambil membawa senjata clurit. Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung mengalun indah. Nelayan menari sambil mengacungkan senjata cluritnya. Di depannya, dukun membawa abu kemenyan. Sambil melantunkan doa, dukun menyebarkan beras kuning simbol tolak bala. Ribuan warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ). Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai. Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.

Sesaji tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu. Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas membatasi penumpang yang ikut ke tengah. Sebelum diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah. Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu. Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak, sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil. Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak. Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar. Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan. Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan. , ke Makam Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut. Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama. Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu, seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang

ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain. Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu. Biasanya sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut. Selain di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar ritual petik laut pada Muharam. TRADISI KEBO-KEBOAN MASYARAKAT ALAS MALANG Sejak kapan upacara kebo-keboan diadakan? Sampai kini belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Namun, menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun di kalangan masyarakat Krajan, kisah dibalik adanya upacara kebo-

keboan tersebut berawal ketika Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu


timbulnya berbagai macam hama penyakit yang menyebabkan kematian tanaman pertanian. Untuk mengatasi bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah. Dan, ternyata ritual tersebut mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Akhirnya, ritual yang kemudian dinamakan kebo-keboan itu dilakukan secara rutin setiap tahun sekali. Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat. Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap selamatan di Petaunan; (2) tahap ider bumi atau

arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan; dan (3) tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Pemimpin dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) para aparat Dusun Krajan; (2) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Alasmalang; (3) empat orang atau lebih yang nantinya akan menjadi

kebo-keboan dan (4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan


perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara. Jalannya Upacara Satu minggu menjelang waktu upacara

kebo-keboan

tiba,

warga

masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan. Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung,

pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di


sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam. Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.

Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain

barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling
Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi. Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para

kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang
pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan. Sebagai catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah batu besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang, lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga. Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masingmasing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah.

Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Dusun Krajan. Nilai Budaya Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama. Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian. Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya. Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

KEBUDAYAAN OSING (BANYUWANGI)

Gandrung

Barong Banyuwangi

Kuntulan

Angklung Caruk

Janger Banyuwangi

Batik Banyuwangi

You might also like