Professional Documents
Culture Documents
penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran sebagian besar umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah. Adapun keberatan Islam terhadap lembaga keuangan konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary) atau fungsi lainnya, melainkan karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang dilarang, yakni unsur perjudian (maysir), ketidakpastian (gharar), bunga (riba), suap-menyuap (ryswah), dan bathil. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal dalam rangka memberikan solusi mengenai hal dimaksud, menawarkan jalan keluar berupa penggunaan akad-akad tradisional Islam dalam operasional lembaga keuangan atau lembaga pembiayaan. Realitas empiris menunjukkan bahwa penerapan akad-akad dimaksud atau yang lebih dikenal dengan penerapan prinsip syariah mendasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Materi muatan fatwa masuk dalam hukum positif berupa UndangUndang, kemudian secara teknis masuk dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Ketua Bapepam-LK yang secara legal formal menjadi dasar hukum bagi praktik lembaga-lembaga dimaksud. Berdasarkan pada beberapa hal tersebut: bagaimana hukum positif mengatur praktik lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan dan pengaruhnya bagi praktik entitas bisnis syariah akan menjadi bahasan dalam makalah ini.
1. Perbankan Syariah
Penerapan prinsip syariah dalam kegiatan dari lembaga-lembaga dimaksud awalnya dilaksanakan di sektor perbankan yang ditandai dengan berdirinya Bank Mumalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, sebagai bank umum pertama kali yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Introduksi bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam hukum positif adalah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Penerapan prinsip syariah dalam perbankan semakin dipertegas dengan terbitnya UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mempertegas, bahwa bank berdasarkan pengelolaanya terdiri dari bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, UU No. 10/1998 menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu suatu sistem yang memperbolehkan bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Pemberian layanan syariah juga semakin dipermudah dengan diintrodusirnya konsep office chaneling, yakni semacam counter layanan syariah yang tedapat di Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu Bank Konvensional yang sudah memiliki UUS. Hal demikian dapat kita temukan dalam PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. Produk bank syariah terdiri dari produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), jasa (services), dan produk di bidang sosial. Di era UU No. 10/1998 secara teknis mengenai produk mengacu pada PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian sudah diganti dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Perkembangan berikutnya adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai perbankan syariah, baik secara kelembagaan maupun kegiatan usaha. Beberapa lembaga hukum baru diperkenalkan dalam UU No. 21/2008, antara lain yakni menyangkut pemisahan (spin-off) UUS baik secara sukarela maupun wajib dan Komite Perbankan Syariah. Terdapat sekitar 16 PBI yang diamanahkan oleh UU No. 21/2008. Adapun PBI yang secara khusus merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu: 1. PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 2. PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah. 3. PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah. 4. PBI No. 10/23/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 5. PBI No. 10/24/PBI/2008 tentang tentang Perubahan Kedua Atas PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 6. PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah.
penerapan prinsip syariah dalam hukum positif sepanjang pengetahuan penulis belum ada. Untuk itu pada bagian ini secara singkat angkat membahas pada tiga lembaga dimaksud. Pertama, Asuransi. Asuransi konvensional mendasarkan pada prinsip pengalihan risiko (risk transfering). Hal ini yang membuatnya tidak sesuai dengan prinsip syariah, di mana di dalamya kita jumpai unsur yang dilarang dalam Islam yakni unsur spekulatif (maisyir). Sementara asuransi berdasarkan prinsip syariah menghendaki adanya unsur tolong-menolong (taawun antar sesama) dan menghindari unsur spekulatif dimaksud. Prinsip perjanjian Islam sebagai suatu perjanjian yang bebas dari unsur gharar, maisyir, dan riba dapat diimplementasikan dalam kegiatan usaha suatu perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi. Adapun ketentuan mengenai akad dalam asuransi adalah sebagai berikut: 1. Akad dalam asuransi a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru. b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru adalah hibah. c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan: a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; b) Cara dan waktu pembayaran premi; c) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. 2. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru, adalah sebagai berikut: a. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis). b. Dalam akad tabarrru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah. Hukum positif yang mengatur mengenai asuransi adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Pengaturan mengenai asuransi syariah secara tegas baru dijumpai dalam PP No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Seperti halnya di perbankan, PP No. 39/2008 juga memberikan kesempatan bagi Perusahaan Asuransi/Reasuransi Konvensional untuk menyelenggaran layanan syariah dengan terlebih dahulu membentuk UUS di kantor pusatnya. Kemudian secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi; KMK No. No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Kedua, Reksa Dana dan Pasar Modal. Reksa Dana dan Pasar Modal berdasarkan prinsip syariah selain mendasarkan pada UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khusus untuk operasionalnya mendasarkan pada Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: 130/BL/2006
Tanggal: 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep131/BL/2006 Tanggal: 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-Akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.
Penutup
Demikian paparan singkat mengenai aspek hukum lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang ada di Indonesia. Langkah terpenting yang harus kita lakukan saat ini adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai lembaga-lembaga bisnis syariah tersebut, mengenai produk dan manfaatnya. Adanya diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memilih sarana investasi yang tepat, namun tetap sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Reference:
www.bi.go.id, accesed 20 November 2008 www.depkeu.go.id, accesed 24 November 2008