You are on page 1of 21

PEREKONOMIAN INDONESIA INDUSTRI INDONESIA

Oleh : Viola Rebecca Kevin Sherren Marshellina Jonathan Christian 1301012585 1301009161 1301015151 1301007540 1301010056

Kelompok/Kelas : 6 / 06PDJ

Binus University Jakarta 2012

A. Pembangunan Orde Baru (New Order Development) Setelah berkuasa, pemerintah Orde Baru mengawasi industrialisasi yang berkembang pesat pada perekonomian Indonesia. Produksi industri, sebagai bagian dari total GDP, meningkat dari 13 persen pada tahun 1965 menjadi 37 persen pada tahun 1989. Kebijakan perlindungan perdagangan dari tahun 1970 berkontribusi pada komposisi perubahan industri, dari industri ringan seperti pengolahan makanan sampai industri berat seperti penyulingan minyak bumi, baja, dan semen. Industriindustri ini seringnya didominasi oleh perusahaan pemerintah. Meskipun termasuk industri skala besar, perusahaan dengan modal intensif ini hanya menawarkan sedikit kesempatan kerja untuk angkatan kerja yang bertumbuh dengan cepat. Lonjakan ekspor manufaktur yang dimulai pada pertengahan 1980-an berjanji untuk meningkatkan lapangan kerja dan peranan investasi swasta pada 1990-an. Meskipun peningkatannya signifikan, sektor industri hanya memperkerjakan sekitar 10 persen dari angkatan kerja. BPS melakukan sensus ekonomi yang menyeluruh kira-kira setiap sepuluh tahun sekali mulai tahun 1964. Sensus ekonomi pada tahun 1986 memberikan informasi rinci tentang sekitar 13.000 perusahaan dengan lebih dari dua puluh karyawan di semua sektor industri, kecuali minyak dan pengolahan gas alam. Ahli ekonomi (Ekonom) Hal Hill meganalisis secara rinci pertumbuhan industri Indonesia berdasarkan data sensus, dikombinasikan dengan data laporan pendapatan nasional pada sektor minyak dan gas. Sektor industri yang paling penting, menurut studi ini, adalah minyak dan pengolahan gas alam, yang menyumbang lebih dari 25 persen dari total nilai tambah dalam output industri. Kegiatan industri utama yang kedua adalah produksi rokok kretek, yaitu rokok tradisional Indonesia yang terkenal, yang terbuat dari tembakau dicampur dengan cengkeh. Produksi rokok menyumbang 12 persen dari total nilai tambah dalam output industri. Hampir dari tiga puluh sector industri utama yang beragam, mulai dari industri pengolahan makanan sampai logam dasar, menyumbang output produksi sisanya. Hill mengidentifikasi ada tujuh kategori kepemilikan perusahaan industri, yaitu meliputi kepemilikan pribadi, milik pemerintah, milik asing, dan berbagai kombinasi perusahaan patungan antara pemerintah, sektor swasta, dan investor asing. Hampir 12.000 perusahaan dari jumlah total 12.909 perusahaan yang disurvei merupakan milik pribadi (perusahaan swasta). Kira-kira 350 perusahaan merupakan perusahaan patungan swasta-asing dan sekitar 400 perusahaan lainnya merupakan usaha patungan swastaasing-pemerintah tercatat sebagai sebagian besar sisanya. Perusahaanperusahaan swasta jauh lebih kecil dari perusahaan dengan usaha patungan. Dibandingkan dengan perusahaan pemerintah bersama (perusahaan patungan pemerintah), perusahaan swasta kurang dari sepersepuluh ukuran dan mempekerjakan rata-rata seperenam jumlah dari total pekerja yang ada. Meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit, perusahaan patungan pemerintah masih menyumbang 25 persen dari nilai total produksi industri. Perusahaan-perusahaan pemerintah menguasai semua pengolahan minyak dan gas alam, dan sektor penting dalam industri berat lainnya, seperti logam dasar, semen, produk kertas, pupuk, dan peralatan transportasi. Peningkatan iklim ekonomi untuk investor swasta menurut deregulasi perdagangan diindikasikan pada pentingnya kepemilikan pribadi antar industri ekspor manufaktur. Berdasarkan data 1983, Hill

memperkirakan bahwa industri ekspor manufaktur utama, meliputi kayu lapis, pakaian, dan tekstil, memiliki lebih dari 60 persen kepemilikan swasta Indonesia. Industri ekspor manufaktur yang tumbuh juga menawarkan kesempatan kerja lebih banyak daripada industri berat yang didominasi oleh pemerintah dan perusahaan patungan asing. Secara keseluruhan, produk kayu, tekstil, dan industri garmen member kontribusi sebesar 32 persen pada angkatan kerja industri tahun 1986 yang mempekerjakan mereka di perusahaan berukuran besar dan menengah. Pengolahan minyak dan gas alam, yang mana jumlah produksi adalah sama nilainya dengan tiga industri padat karya, memperkerjakan hanya sekitar 1 persen dari angkatan kerja. Industri logam dasar juga hanya memperkerjakan 1 persen dari angkatan kerja, meskipun mereka menyumbang 6 persen dari output produksi industri. Repelita I (Rencana Pembangunan Lima Tahun I)

Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama Indonesia (Repelita I) merupakan salah satu manifestasi formal kebijakan industri Orde Baru. Sambil menekankan komitmen terhadap pertanian, rencana ini juga menegaskan posisi sentral industrialisasi dalam pembangunan Negara. Struktur ekonomi Indonesia sudah terlalu lama condong ke arah pertanian. Industri hanya memberi sumbangan kecil untuk produksi nasional, dan kegiatan-kegiatan industri menurun selama bertahun-tahun. Tujuan-tujuan jangka panjang kita adalah untuk membangun sebuah struktur ekonomi dimana pertanian, industri, dan jasa-jasa seimbang. Untuk mencapai tujuan jangka panjang ini, proses pembangunan harus dilaksanakan secara bertahap. Sektor yang diutamakan adalah pertanian. Ini berarti bahwa sektor industri harus menjadi sektor pendukung dan pendorong untuk pembangunan pertanian. Pada saat bersamaan, persiapan-persiapan sedang diadakan untuk mengembangkan industri secara lebih ekstensif dikemudian hari. Repelita I menetapkan sasaran ambisius untuk meningkatkan nilai produksi dengan paling sedikit 90% dalam tempo lima tahun. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah berencana untuk menekankan rehabilitas dari investasi industri serta investasi-investasi untuk membangun kapasitas industri yang ada. Dengan mengingat ini, diperlukan perencanaan untuk mengembangkan industri-industri dengan ciri-ciri berikut: Industri yang mendukung pembangunan pertanian atau pengolahan produk-produk pertanian. Industri yang menghasilkan devisa atau menghemat devisa dengan cara menghasilkan komoditi-komoditi substitusi impor. Industri yang mengolah bahan baku domestik dalam jumlah besar. Industri-industri yang padat karya. Industri-industri yang meningkatkan pembangunan regional.

Ide-ide ini, khususnya empat ide terakhir, telah memandu kebijakan industri selama Orde baru.

B. Industri Skala Kecil Indonesia (Indonesia Small Scale Industry) Pada kawasan modern, perusahaan menengah dan besar menjadi fokus kebijakan pemerintah, tetapi perusahaan skala kecil yang mempekerjakan antara 5-19 pekerja dan industri rumahan (home industry) yang mempekerjakan hingga 4 pekerja (biasanya anggota keluarga) memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dan juga memasok sebagian besar pekerjaan. Perusahaan skala kecil bergerak dalam berbagai kegiatan, dari pekerjaan dengan bambu tenun tradisional, logam dan kulit. Banyak dari industri ini yang menawarkan kerja paruh waktu (part-time) bagi para pekerja dari pedesaan selama bukan musim panen (off peak seasons). Statistika untuk kegiatan ini lemah karena polanya musiman dan kesulitan wawancara. Sebuah tinjauan berdasarkan data BPS yang tersedia oleh ahli ekonomi Tulus Tambunan menunjukkan bahwa industri kecil mempekerjakan 3,9 juta pekerja pada tahun 1986, sedangkan perusahaan skala menengah dan besar hanya memperkerjakan 1,7 juta karyawan. Namun, angka ini mencerminkan penurunan yang signifikan dari andil industri kecil dalam pemberian pekerjaan di tahun 1974, yaitu sekitar 86 persen dari total lapangan kerja industri, atau 4,2 juta karyawan yang dipekerjakan di perusahaan skala kecil dan hanya sekitar 700.000 karyawan yang dipekerjakan di industri menengah dan besar. Dengan demikian upaya untuk memberdayakan industri skala kecil harus terencana, sistematis dan menyeluruh yang meliputi (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan sistem pendukung usaha bagi Usaha kecil untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4) pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. Di Indonesia, industri skala kecil jika dilihat dari jumlah usahanya sangatlah banyak dan hampir terdapat di semua sektor ekonomi, juga kontribusinya sangat besar terhadap kesempatan kerja dan pendapatan khususnya di daerah pedesaan dan berpendapatan rendah, tidak dapat dipungkiri lagi betapa pentingnya usaha kecil ini. Selain itu kelompok usaha tersebut juga berperan sebagai suatu motor penggerak yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi dan komunitas lokal. Pengembangan industri dengan formasi industri berskala kecil dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan tingkat pemerataan yang lebih baik daripada industri berbasis skala besar, hal ini dapat dilihat dari kontribusi industri kecil terhadap jumlah usaha, penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto (PDB) Menurut Hubeis (1997) pengembangan industri skala kecil dapat dilakukan melalui pemerkuatan usaha dengan cara berkonsentrasi pada mutu, produktivitas, sinergi (merger) atau aliansi strategik, peningkatan produk dengan inovasi dan kompetisi baik secara mandiri maupun bekerjasama (kemitraan).

C. Pembangunan Industri Daerah Indonesia (Indonesia Regional Industry Development) Pola pembangunan daerah di Indonesia mencerminkan keragaman sumber daya alam antara pula-pulau luar dan sejarah dominasi Jawa sebagai pusat agrarian yang padat penduduknya. Jawa tetap menjadi pusat ekonomi bangsa, memproduksi sekitar 50 persen dari total GDP pada tahun 1980. Sumatera merupakan pusat minyak bumi dan produksi karet, peringkat kedua dengan 32 persen dari GDP. Setengah dari total investasi asing, tidak termasuk sektor minyak bumi, dari tahun 1967-1985 adalah di Jawa, dengan sisanya tersebar luas di seluruh bangsa. Pada tahun 1983 produksi pertanian, termasuk tanaman non-pangan seperti karet, kehutanan dan perikanan telah menurun menjadi kurang dari setengah total produksi hampir di semua 27 provinsi administratif. Namun, sebagian besar angkatan kerja masih menemukan pekerjaan dalam kegiatan tersebut. Hampir semua provinsi ada dalam tingkat pertumbuhan yang cepat di tahun 1970 dan mencapai pertumbuhan tahunan antara 4-8 persen. Industri tertentu biasanya mencerminkan sumber daya lokal, misalnya penggergajian dan pabrik kayu lapis yang mendominasi manufaktur di Kalimantan, sementara itu manufaktur di Sumatera lebih beragam, meliputi proses pembuatan karet, pengolahan semen dan kayu lapis. Industri utama di Jawa termasuk perakitan kendaraan bermotor di Jakarta, Tenun di provinsi Jawa Barat dan Yogyakarta. Produksi rokok kretek di Provinsi Jawa Timur serta penyulingan gula di provinsi Jawa Tengah.

PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama, Balikpapan, Kalimantan Timur

Pabrik Karet di Sumatera Utara

PT Indomobil Sukses Internasional Tbk di Jakarta

Pabrik Tenun di Jawa Barat

PT Gudang Garam Tbk, Kediri, Jawa Timur

Pabrik Gula Madukismo Jawa Tengah

Beberapa Perkembangan Industri Regional di Indonesia : P.T. Multi Astra pabrik perakitan mobil, Jakarta

1970 Pada awal dekade 1970-an pemerintah Indonesia meminta kerjasama ATPM otomotif untuk menumbuhkan industri mobil niaga melalui program Kendaraan Bermotor Nasional Serbaguna. Tantangan ini dijawab oleh PT. Toyota Astra Motor dengan memulai perakitan mobilnya di pabrik Gaya Motor.

1971 Cikal bakal Toyota di Indonesia dimulai dengan pendirian PT. Toyota-Astra Motor pada tanggal 12 April 1971. Saat itu TAM bergerak sebagai importer dan distributor kendaraan merek Toyota, sekaligus mengembangkan jaringan penjualan dengan menunjuk 5 dealer utama.

1973 Di tahun 1973 Toyota mendirikan pabrik perakitan PT Multi Astra dipicu oleh semakin tingginya produksi Toyota serta keinginan Toyota untuk dapat melakukan pengecekan kualitas yang penuh dan mandiri.

Pabrik pertama Toyota Indonesia didirikan di Kawasan Sunter Jakarta Utara dibangun secara bertahap sejak tahun 1973. Kini Pabrik Sunter berdiri di area seluas 311.00 m2.

1976 Di Indonesia, SK Menteri Perindustrian tentang keharusan menggunakan komponen buatan dalam negeri disambut Toyota dengan mendirikan PT Toyota Mobilindo pada 1976 untuk membuat komponen bodi untuk kendaraan niaga.

1977 Tahun 1977 Toyota Kijang generasi pertama mulai dipasarkan. Toyota Kijang merupakan buah dari rencana dan kerja keras Toyota untuk membuat dan memasarkan kendaraan niaga yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan konsumen Indonesia.

Kijang generasi pertama berbentuk pikap,diluncurkan pertama kali pada bulan Juli 1977 dengan harga Rp 1,3 juta, lebih murah sekitar Rp 300 ribu dari pesaing utamanya Mitsubishi Colt pikap.

1981 Sejak diluncurkan tahun 1981,kijang generasi 2 atau lebih dikenal dengan Kijang Doyok, terjual sebanyak 101.668 unit, menjadikan Kijang sebagai cikal bakal.

1982 Pada tahun 1982, PT Toyota Engine Indonesia didirikan di Sunter I, Jakarta, dan mulai beropeasi penuh pada tahun 1985. Pendirian pabrik mesin ini sebagai jawaban dari Deletion Program atau Program Penanggalan yang dikeluarkan pemerintah tentang melokalkan pembuatan komponen mobil yang diimpor dalam bentuk CKD.

1987 Toyota Indonesia memulai ekspor di tahun 1987 ke negara-negara ASEAN, kini Toyota Indonesia melakukan ekspor dalam bentuk komponen, mesin, CKD dan CBU ke 29 negara di dunia.

1991 Tahun 1991 Toyota mendirikan pusat pelatihan di Sunter, Jakarta Utara, yang berfasilitas lengkap serta didukung instruktur berstandar internasional Toyota. Dengan demikian, setiap lulusan pusat pelatihan Toyota senantiasa memiliki kemampuan yang susuai dengan standard Toyota global.

Pada tahun 1991, Toyota Indonesia dilengkapi dengan pabrik baru untuk engine casting, yakni pembuatan blok mesin untuk Toyota Kijang. Dengan berdirinya pabrik casting, Toyota telah melakukan full manufacturing, yakni pembuatan komponen mesin yang lengkap.

1996 Karawang Plant yang mulai dibangun pada tahun 1996 sebagai pabrik mobil paling modern di Asia Tenggara dengan nilai investasi mencapai Rp 462,2 miliar. Mulai beroperasi pada tahun 1998 dan peresmian dilakukan pada tahun 2000.

1997 Di tahun 1997, Toyota Kijang Generasi Empat, atau yang lebih dikenal dengan nama Kijang Kapsul diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia.

2000 Pada peresmiannya di tahun 2000, Pabrik Toyota di Karawang merupakan yang terbesar dan tercanggih di Asia Tenggara.

2010 Pada tahun 2010 TAM dengan dukungan seluruh main dealer, meluncurkan program Car for Tree, sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan hidup. Pada tahap pertama program ini, Toyota membangun Toyota Eco Island di Taman Impian Jaya Ancol.

Industri Pesawat Terbang Nusantara, Bandung, Jawa Barat

Satu-satunya perusahaan pesawat terbang Indonesia adalah perusahaan milik negara yaitu PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang secara resmi didirikan pada tahun 1976 oleh Pemerintah Indonesia untuk mengkonsolidasikan fasilitas kedirgantaraan di negara itu menjadi satu

perusahaan. IPTN melayani baik pasar kedirgantaraan militer dan komersial, dengan pekerjaan untuk sektor transportasi komersial didistribusikan di antara divisi berikut: Divisi Fixed Wing untuk produksi pesawat udara; Divisi Rotary, yang merupakan tempat produksi helikopter yang berlisensi; Divisi Fabrikasi, meliputi produksi komponen, peralatan, dan jig, dan Pusat Pemeliharaan Universal untuk pemeriksaan dan perbaikan mesin. Indonesia memasuki sektor penerbangan sipil pada awal tahun 1970, dengan membangun atas fasilitas yang sudah ada untuk produksi pesawat militer. Pemerintah mengidentifikasi kedirgantaraan sebagai salah satu sektor kunci yang besar, untuk memimpin negara itu ke dalam transformasi industri suatu industri harus mengadopsi empat tahap rencana pengembangan, yang dimaksudkan untuk mengubah negara itu dengan cepat untuk menjadi desainer tingkat tinggi dan produsen pesawat. 1. Tahap 1, yang disebut untuk pembuatan lisensi pesawat dari desain yang ada, berlangsung dalam dua perjanjian yang disimpulkan pada tahun 1975, satu dengan Construcciones Aeronuticas SA (CASA) dari Spanyol untuk membangun CN-212 Aviocar 26-kursi turboprop kembar, dan yang lainnya dengan Messerchmitt-Blkow-Blohm GmbH (MBB) dari Jerman untuk produksi berlisensi dari helikopter BO-105. 2. Pada tahun 1979, industri Indonesia memasuki codesign dan tahap manufaktur (tahap 2), dengan pengaturan kedua dengan CASA untuk mengembangkan dan coproduce CN-235, 35 -44 kursi turboprop serbaguna, di bawah usaha patungan 50-50 Industri Teknolohi Pesawat (Airtech). 3. Tahap 3 dari kemajuan industri, menyerukan otonomi penuh dalam desain dan produksi pesawat, yang diwakili oleh pesawat sipil pertama di Indonesia yang diproduksi secara nasional, N-250 turboprop menggabungkan daerah flyby-kawat teknologi, yang muncul sebagai prototipe pada bulan November 1994. 4. Tahap akhir dari program pembangunan kedirgantaraan Indonesia yaitu menggabungkan teknologi R & D untuk desain dan pembuatan jet regional. Industri pesawat terbang di Indonesia memasuki tahap keempat dengan rencana untuk mengembangkan keluarga pesawat dimulai dengan N-2130 pesawat jet bertenaga. Tujuan Indonesia dalam menjalankan program pesawat nasional ada tiga untuk meningkatkan infrastruktur transportasi di Indonesia sekaligus mengurangi ketergantungan negara itu pada pesawat impor, untuk menyediakan sumber lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia yang besar, dan untuk mempercepat pembangunan industri nasional melalui promosi tinggi teknologi industri seperti aerospace. Meskipun pendekatan terstruktur IPTN untuk pengembangan pesawat hanya menjadikan Indonesia sebagai produsen airframes selama 20 tahun, industri ini mendorong adanya hubungan kedepan dan kebelakang (forward and

backward linkages). Selain itu, walaupun IPTN memiliki pengalaman di bidang manufaktur pesawat utuh, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk secara konsisten menghasilkan bagian-bagian pesawat dan komponen yang handal. Dalam hal infrastruktur, tidak adanya dasar pemasok lokal membuat IPTN sebagian besar tergantung pada pasokan asing komponen623 dan sangat rentan terhadap depresiasi mata uang. Sehubungan dengan N-250, misalnya, IPTN sangat bergantung pada teknologi impor untuk beberapa komponen canggih pesawat, termasuk juga subsistem utama dimana 39 persen dari kandungan N-250 berasal dari Amerika Serikat dan 22 persen dari Eropa Barat. IPTN juga harus memakai sumber pemasok mesin dari luar negeri karena kemampuan yang terbatas dalam produksi alat dan keinginan untuk tersedianya sumber daya teknologi paling maju. Selain memproduksi komponen untuk proyek-proyeknya sendiri, IPTN memiliki kontrak dari Boeing dan Airbus. IPTN juga menghasilkan tiga mesin ganda turboprop yang berbeda: CN-212 Aviocar utilitas turboprop, CN-235 pesawat jarak pendek, dan N-250. Pembangunan untuk N-250 dimulai pada tahun 1989, dan 50 kursi N-250-50 melakukan penerbangan pertama pada bulan Agustus 1995. N-250-100, dilengkapi dengan kapasitas tempat duduk untuk 6468 penumpang, mengikuti pada Desember 1996. Menanggapi kendala pendanaan dan preferensi pasar, IPTN membuat tambahan rencana untuk memproduksi turunan ketiga, N-270, yang akan membawa 70-76 penumpang. Rencana asli ditujukan untuk pasar AS, untuk dirakit dan dipasarkan oleh IPTN di Amerika Serikat, dengan pengiriman pesawat pertama di awal tahun 2000.

Pesawat N250

Pesawat N270

Penerbangan pertama dari prototipe awal, 50 tempat duduk, terjadi pada bulan Agustus 1995. Pada saat itu, ketua IPTN Bachruddin Habibie mengumumkan bahwa IPTN sekarang akan memproduksi N-250 dalam dua versi: 50-kursi pesawat dan versi N-250-100 lebih besar. Penerbangan pertama yang sukses untuk pesawat komersial Indonesia N-250 menyebabkan munculnya rencana untuk pesawat jet menengah akan diselesaikan pada tahun

2003 atau 2004. Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie mengatakan, N-250 biayanya hanya $ 400.000.000 dimana sejauh ini dianggarkan $ 650,000,000. Sektor kedirgantaraan di Indonesia mendapat dukungan keuangan dan politik yang kuat dari Pemerintah Indonesia. Fasilitas IPTN Bandung dibangun dengan subsidi langsung, dan pemerintah telah menginvestasikan total $ 2 milyar pada IPTN selama bertahun-tahun, termasuk $ 650 juta dalam dana negara untuk pesawat daerah N-250. Salah satu kelemahan industri Indonesia terbesar adalah kontrol pemerintah atas sektor kedirgantaraan. Keputusan IPTN diutamakan pada kepentingan beberapa sosok politik yang sangat berpengaruh, dan kinerja keuangan perusahaan telah sangat bergantung pada dukungan pemerintah. Pada tahun 1968, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi memilih Soeharto untuk masa jabatan lima tahun penuh sebagai Presiden, dan ia terpilih kembali berturut-turut selama lima tahun pada tahun 1973, 1978 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada pertengahan 1997, Indonesia mengalami krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun. Di tengah kerusuhan sipil yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR telah memilihnya untuk masa jabatan ketujuh. Wakil Presiden Soeharto, BJ Habibie menjadi Presiden ketiga Indonesia. Presiden Habibie membangun kembali Dana Moneter Internasional (IMF) dan mendukung masyarakat untuk program stabilisasi ekonomi. Pada tahun 1998 industri pesawat terbang Indonesia menghadapi ketidakpastian ekonomi dan politik yang serius karena krisis keuangan. Jam kerja karyawan IPTN dipotong untuk mengurangi pengeluaran dan perusahaan berencana untuk memberhentikan 3.000 pekerja pada tahun 1998. Pejabat Indonesia pada tahun 1998 menunjukkan bahwa pemerintah akan terus mendukung sektor pesawat sipil. Namun, sebagai bagian dari kewajiban bangsa di bawah program restrukturisasi IMF, Indonesia telah setuju untuk menghentikan seluruh dukungan keuangan untuk program pesawat nasional. Sumber kemungkinan pendanaan lainnya, sektor perbankan nasional, tidak mau berinvestasi di IPTN karena pengetahuan yang terbatas dari industri pesawat terbang dan preferensi untuk usaha bisnis tradisional. Upaya IPTN untuk meminta mitra internasional dalam proyek-proyek pesawat nasional gagal menghasilkan kesepakatan konkret. Pemilu pertama di Indonesia dalam periode pasca-Soeharto diadakan untuk parlemen nasional, provinsi, dan sub-provinsi pada tanggal 7 Juni 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden keempat Indonesia pada November 1999 dan digantikan dengan Megawati Soekarnoputri pada bulan Juli 2001. Setelah terjadinya krisis keuangan 1997-98, pemerintah melakukan restrukturisasi utang, kemudian menjual sebagian besar aset-aset, dan rata-rata pengembalian sebesar 29%. Indonesia telah pulih, meskipun lebih lambat

daripada beberapa negara tetangga, oleh rekapitalisasi sektor perbankan, meningkatkan pengawasan pasar modal, dan mengambil langkah untuk merangsang pertumbuhan dan investasi, khususnya di bidang infrastruktur. PT Indonesian Aerospace, sebelumnya bernama PT IPTN, merestrukturisasi perusahaan dengan mengubah dewan direksi dan memotong karyawannya dari 9.670 menjadi 4.000. Pemerintah, melalui Badan Penyehatan Perbankan Indonesia, setuju untuk memegang saham 92,9% di PT IA. Pada bulan November 2006, PT IA menandatangani MOU dengan EADS untuk memproduksi 60 unit CASA 212-400 senilai $ 480.000.000 untuk jangka waktu 5 tahun. PT IA juga bekerja pada beberapa perintah untuk memberikan CN-235 kepada Angkatan Udara Pakistan, Angkatan Udara Malaysia, dan Pemerintah Thailand. Selain itu, PT IA harus memberikan tiga Marinir Patrol Aircraft (MPA) dan 16 helikopter Super Puma kepada Angkatan Udara Indonesia dan enam MPA dan lima helikopter untuk Angkatan Laut Indonesia. Selain manufaktur pesawat terbang, PT IA memiliki kontrak untuk memproduksi suku cadang untuk BAE dan Airbus Industries. PT. Nusantara Cemerlang Garment Industries

PT. Nusantara Cemerlang Garment Industries ada sejak 1 Mei 1987. Ruang produksi ini dibangun kembali pada tahun 2006 dan saat ini perusahaan memiliki lebih dari 57 karyawan. Kapasitas produksinya adalah sekitar 60.00070.000 buah per bulan. Produk utamanya adalah celana formal untuk pria, wanita dan anak-anak. Garment ini juga memproduksi celana pendek dan rok dan diekspor ke beberapa benua di dunia. Di Eropa, perusahaan mempunyai pelanggan di Spanyol, Jerman dan Inggris. Di Asia, ada beberapa pelanggan yaitu Jepang, Malaysia, Hong Kong dan pasar lokal Indonesia. Selain itu, perusahaan juga mengirimkan barang ke Amerika Selatan, misalnya ke Puerto Rico, Panama dan Peru. Selain itu, juga ada pelanggan di Australia dan Selandia Baru. Barang biasanya dikirim dalam kontainer melaui jalur laut. Berdasarkan permintaan, pabrik garmen ini juga menyediakan pengapalan barang dengan pesawat udara jika pelanggan lebih menyukai pengiriman yang lebih cepat. Kain yang diproduksi, diimpor dari Cina, India dan Malaysia. Mereka ingin memproduksi celana dengan kualitas yang baik dengan harga kompetitif. Oleh karena itu, mereka termasuk yang memperhatikan manajemen mutu di

perusahaannya, untuk mencapai kualitas setinggi mungkin. Alasan utama untuk ini adalah untuk mencapai kepuasan pelanggan dan memenangkan loyalitas mereka. D. Investasi Asing di Indonesia (Indonesia Foreign Investment) Dominasi usaha patungan (joint venture) dengan perusahaan asing lebih sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan asing, yang berjumlah sekitar lima puluh persen, tercermin dengan meningkatnya pembatasan investasi asing selama tahun 1970, mengikuti kebijakan liberal 1967-1974. Salah satu tindakan legislatif pertama Orde Baru, yang akan lewat UU Penanaman Modal Asing tahun 1967, yang mendorong investasi asing dengan insentif pajak dan beberapa batasan pada kepemilikan ekuitas dan penempatan Tenaga kerja asing. Ketidakpuasan yang umumnya terjadi terhadap dominasi ekonomi asing, disuarakan dalam protes luas selama kunjungan dari Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada tahun 1974, yang akhirnya memberikan kontribusi terhadap pembatasan lebih besar pada investasi asing. Ketentuan baru mengharuskan semua investasi asing dalam usaha patungan dengan warga negara Indonesia, yang ekuitas sahamnya harus mencapai 51 persen dalam waktu sepuluh tahun. Penegakan ketentuan-ketentuan ini agak sewenang-wenang, dan bagaimanapun, penghalang terbesar bagi investasi asing mungkin merupakan birokrasi yang kompleks dan lamban yang menerapkan peraturan yang terus berubah-ubah. Pada pertengahan 1980-an, kebijakan investasi asing kembali diliberalisasi sebagai bagian dari gerakan reformasi umum. Administrasi investasi asing disederhanakan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diminta untuk menyetujui proyek dalam waktu enam minggu untuk aplikasi awal. Dalam kasus tertentu, ekuitas domestik bisa serendah 5 persen untuk investasi awal, dan lisensi yang harus diperbarui hingga tiga puluh tahun, mengubah kebijakan sebelumnya di mana semua lisensi investasi asing berakhir pada tahun 1997. Jumlah investasi minimal US $ 1 juta juga terangkat untuk kasus-kasus khusus. Secara keseluruhan, pemerintah dan usaha swasta dengan mitra asing menyumbang lebih dari 40 persen dari produksi industri, menurut sensus 1986 ekonomi. Jepang merupakan investor asing utama dalam industri 1967-1988, diikuti oleh Hong Kong dan Korea Selatan. Amerika Serikat merupakan sumber investasi yang kurang dari 1 persen investasi asing di industri Indonesia. Angka ini tidak termasuk dari investasi besar Amerika Serikat pada minyak mentah dan gas bumi dan produksi pada bagian dari sektor pertambangan. Investasi asing seringnya penting untuk pengembangan industri padat modal berat. Sebuah contoh utama adalah Proyek Aluminium Asahan, perusahaan pemerintah bersama dengan konsorsium perusahaan Jepang yang membentuk Perusahaan Nippon Asahan Aluminium. Pabrik peleburan aluminium tanaman dan dua pembangkit listrik tenaga air, yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, diselesaikan pada tahun 1984 dengan kapasitas untuk memproduksi 225.000 ton aluminium per tahun. Proyek $ 2,2 miliar US menjadi fokus kontroversi ketika timbul kesulitan tak terduga dalam pembangkit listrik dan penurunan harga aluminium dipaksa merestrukturisasi keuangan utama. Bagian ekuitas pemerintah meningkat dari 25 persen menjadi 41 persen, dan

pada tahun 1989 perjanjian sementara dicapai untuk mengalokasikan 51 persen dari produksi pabrik ke Indonesia, dengan sisanya diekspor ke Jepang Singapura bergabung dalam industri Indonesia untuk mendorong produksi ekspor di Indonesia dengan membantu dalam pengembangan kawasan industri di Pulau Batam, yang terletak di Provinsi Riau, hanya sembilan belas kilometer lepas pantai dari Singapura. Fasilitas 485-hektar, dibangun oleh sebuah perusahaan milik negara dari Singapura dan dua perusahaan swasta Indonesia, mulai beroperasi pada tahun 1991. Pemerintah Indonesia berharap untuk menarik investasi asing ke taman dengan mengizinkan kepemilikan penuh untuk industri asing yang berorientasi ekspor selama lima tahun. Singapura melihat proyek tersebut sebagai bagian dari "segitiga pertumbuhan" (growth triangle) yang menghubungkan Singapura, Malaysia, dan Indonesia, yang akan mengizinkan para investor Singapura untuk mengambil keuntungan dari lahan yang cukup dan tenaga kerja lebih murah yang tersedia di negara tetangga. Dalam banyak industri, perusahaan asing memberikan bantuan teknis dan mengatur produksi dalam negeri berdasarkan perjanjian lisensi, tanpa penyertaan modal langsung dalam perusahaan domestik. Misalnya, pabrik perakitan mobil di Indonesia memproduksi sekitar dua puluh merek mobil internasional, dari Fiat sampai Toyota, terutama yang ada dalam perjanjian lisensi. Industri perakitan otomotif tumbuh di tengah-tengah pasar sangat dilindungi. Kapasitas perusahaan domestik pada tahun 1991 untuk memproduksi sekitar 250.000 unit per tahun, dari sekitar delapan puluh tipe dan pembuatan kendaraan berarti bahwa akan sulit bagi industri untuk mencapai biaya rendah, atau produksi berskala besar untuk ekspor. Dengan standar internasional, perusahaan harus menghasilkan sedikitnya 100.000 unit kendaraan tertentu untuk menjadi kompetitif. Di bawah kepemimpinan menteri penelitian dan teknologi, Bacharuddin J. Habibie, pemerintah berusaha untuk pindah ke bidang penerbangan dengan bantuan teknologi asing. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) didirikan pada tahun 1976 untuk merakit pesawat di bawah lisensi dari Aeronauticas Construccin dari Spanyol, dan helikopter di bawah lisensi dari Aerospatiale Perancis dan Messerchmitt Jerman. Pada 1986 IPTN telah menyerahkan 194 pesawat, hampir seluruhnya untuk pembeli domestik. Sebuah tinjauan kritis dari IPTN oleh dua ekonom asing berpendapat bahwa upaya tersebut adalah lompatan dini ke dalam teknologi canggih dan hanya bisa berharap dapat menguntungkan dengan terus mewajibkan pembelian dalam negeri untuk pesawatnya sendiri. Pemerintah membenarkan investasi $ 3 miliar US pada kriteria yang lebih luas daripada profitabilitas keuangan, termasuk stimulus yang potensial untuk pemasok suku cadang pesawat dalam negeri dan pelatihan pekerja yang sangat terampil. Di antara 12.000 karyawan, 2.000 adalah lulusan universitas, banyak dari mereka dilatih di luar negeri. Namun, bagian-bagian pesawat sebagian besar masih diimpor pada tahun 1986. E. Masalah Ekonomi dan Investasi di Indonesia Masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi, ada anggota masyarakat (jumlahnya tidak kecil) yang terbelenggu oleh kemisikinan berat dan tidak mungkin melepaskan diri tanpa uluran tangan dari luar. Di sini pemerintah

harus turun tangan langsung. Kata kuncinya adalah stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, lapangan kerja dan kemiskinan. Ada dua bidang yang apabila ditangani dengan baik dapat segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi : (a) pembangunan infrastruktur dan (b) perbaikan iklim investasi. Tingkat pertumbuhan investasi tahunan Indonesia telah mengalami penurunan yang luar biasa tajam di tahun 2006, yakni hanya 2.9 persen, sementara di tahun 2005 masih mencapai 10.87 persen, sementara pada periode sebelum krisis (1993-1996) bahkan sampai 12.2 persen per tahun. Krisis yang terjadi ditandai dengan runtuhnya permintaan agregrat sehingga kita menjumpai ciri-ciri ekonomi dalam depresi seperti : menurunnya daya beli secara drastis, lenyapnya minta investasi dan meningkatnya kapasitas mengganggur di berbagai sektor. Mengapa penurunan investasi riil sangat serius? Kalau investasi turun, maka kegiatan-kegiatan produksi secara nasional pun akan ikut turun. Jika kegiatan produksi turun, dengan sendirinya output pun merosot, dan kalau output nasional terus-menerus turun, maka pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga akan merosot, baik dalam angka presentase pertumbuhannya sendiri dan yang lebih penting, dalam hal kualitasnya. Celakanya, penurunan kualitas laju pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama terjadi di Indonesia, dan lebih celakanya lagi, tidak banyak diantara kita yang mengetahui keberadaannya atau menyeadari risikorisikonya yang berjangkauan luas, sehingga hal yang membahayakan kekukuhan perekonomian nasional itu selama ini dibiarkan saja tanpa ada upaya koreksi. Sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari krisis multidimensional seperti yang kita hadapi sekarang ini. Menurut Boediono, ada tiga sebab mendasar yaitu : Pertama, para pelaku ekonomi belum yakin atas situasi keamanan dan ketertiban umum. Kedua, mereka belum melihat adanya aturan main yang jelas diberbagai bidang. Dan ketiga, mereka belum yakin bahwa kebijakan ekonomi yang digariskan hari ini tidak berubah besok pagi karena ada perubahan arah angin politik. Oleh karena itu, investasi swasta masih terganjal oleh confidence yang belum pulih, padahal kunci stimuli sisi permintaan terletak pada bangkitnya investasi swasta dan ekspor. Dan ini bergantung pada keberhasilan kita dalam mengembalikan kepercayaan investor. Dengan kata lain kita menghadapi masalah sistematik yang mendasar, yaitu masalah law and order, rules of the game, dan policy consistency.

KESIMPULAN Untuk dapat mengatasi masalah perekonomian yang terjadi sekarang ini, pemerintah perlu focus untuk tindakan : 1. Mengenai keterbelakangan dan ketertinggalan kita di bidang infrastruktur. Baik jalan, listrik, pelabuhan, kereta api, pelayaran dalam negeri ataupun pelayaran ke luar negeri untuk ekspor. Bentuk permasalahannya berbeda-beda, bergantung pada jenis infrastrukturnya, apakah masalah tanah, perizinan, financing dan macam-macam. Tapi itu semua bisa diatasi kalau ada policy yang bagus, yang konsisten, yang kredibel. Karena tidak cukup jika kita mengandalkan keuangan Negara, mungkin hanya sepertujuh atau 15% dari kebutuhan total investasi kita maka sisanya harus dari luar. Intinya harus ada policy yang bisa kita gunakan untuk menarik financing dari luar APBN. 2. Infrastruktur yang tidak kasat mata, tapi sangat membantu atau sangat mengganggu dalam kegiatan ekonomi. Soft infrastructure, mencakup aturan main, policy, undangundang dan hal-hal yang menyangkut kelancaran kegiatan ekonomi kita. Jika kita longgarkan disertai dengan infrastruktur fisik tadi maka akan menciptakan iklim yang luar biasa kondusif bagi perekonomian kita. Tidak hanya investasi akan masuk, tapi juga orang akan percaya karena aturan mainnya jelas, konsisten, sehingga jumlah modal yang masuk akan banyak dan kualitas investasi akan meningkat. 3. Kohesi sosial yang harus kita pertahankan,berarti kita harus mempunyai program yang jelas untuk membantu mereka yang kemungkinan tertinggal dalm proses pembangunan ekonomi yang cepat. Kita perlu meningkatkan program-program yang langsung menyentuh masyarakat tersebut. UKM sangat penting utuk kita dorong dan beri peluang untuk tumbuh. Harus ada policy yang mendukung, tetapi juga ruang yang cukup, dorongan yang cukup, dan tujuan akhirnya adalah memperkuat kemampuan mereka untuk mandiri dan maju. 4. Kemampuan kita untuk berinovasi meningkatkan teknologi, meningkatkan kreativitas sumber daya kita. Masalah pendidikan, masalah menciptakan iklim inovasi yang baik, masalah dukungan pemerintah untuk membuat infrastruktur teknologi yang baik dan arah yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia. Jakarta. Kencana Prenada Media Group Boediono, 2010. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana? Edisi Ketiga. Jakarta. PT Gramedia Tim. 2011. Modul Materi Binusmaya : Perekonomian Indonesia, Pertemuan 6 : Industry Indonesia. Jakarta http://www2.adb.org/documents/books/ado/2007/ado2007.pdf http://www.globalsecurity.org/military/world/indonesia/iptn.htm http://www.toyota.astra.co.id/40tahun/

You might also like