You are on page 1of 29

Tugas Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

NIKAH HAMIL

Oleh Accyntiasakti R.P XII IPA 4 /11 Nadia Hanun XII IPA 4 /20 Wiharesi Putri XII IPA 4 /29 Leo Cahya XII IPA 4/ 38

SMAN 3 Yogyakarta Jalan Yos Sudarso 7

HAMIL DI LUAR NIKAH DAN MASALAH NASAB ANAK ZINA


Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami berkata: 1. Apabila seorang perempuan [Gadis atau janda] berzina

kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina dengan kesepakatan para ulama, walaupun kemudian perempuan tersebut dinikahi/tidak dinikahi oleh laki- laki yang menzinainya .
Nasab : Dinasabkan kepada ibunya [Misalnya Fulan bin Fulanah atau Fulanah binti Fulanah], tidak dinasabkan kepada bapak zinanya. Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Hak Perwallian : Seorang anak perempuan dari hasil zina, terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu)1. Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina2. Hubungan Mahram : Tidak terputus. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah ini: [1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turkiy) [2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152) [3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113) [4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah AlAhsal). 2. Apabila terjadi sumpah liaan 3 antara suami isteri. Nasab : Dinasabkan kepada ibunya. Dalam kasus liaan ini anak dinasabkan kepada isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Hak Waris : Hak waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Hak Perwalian : Terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu). Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah [Fathul baari (no. 5315). Nailul Authar Juz 7 hal.91 dan seterusnya]
Al-Muhalla Ibnu Hazm Juz 10 hal 323 masalah 2013. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 112. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100 2 Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi seorang bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya
1

Suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka hakim sehingga dilaksanakan sumpah liaan. 3. Apabila seorang isteri berzina baik diketahui suaminya [Dan
3

suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak terjadi hukum liaan] atau tidak- kemudian dia hamil
Nasab : Dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu alaihi wa sallam Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut) 4 Hak Waris : Hak waris tidak terputus dengan bapaknya [suami yang istrinya berzina]. Hak Perwallian : Tidan terputus dengan perwaliannya dengan bapaknya [suami yang istrinya berzina] Hubungan Mahram : Tidak terputus.

Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah liaan meskipun suami mengetahui bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah liaan. 5 4. Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah

ia dinikahi oleh laki- laki yang menghamilinya dan kepada siapa dinasabkan anaknya?
Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) 6. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan seterusnya : Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting) Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar, Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan anak perempuanku!? Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu! Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun . [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm
Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah dengan ringkas seperti lafadz di atas 5 Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut umumnya ahli ilmu (Al-Mughni Juz 9 hal. 565) 6 Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani
4

di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar) 7 Fatwa Umar bin Khaththab Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan para shahabat [Al-Muhalla Juz 9 hal 476] atau diketahui oleh mereka khususnya Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana riwayat di bawah ini. Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing- masing membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah

berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya (dilaksanakan hukum had) 8 . Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu tidak mau [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih] Fatwa Abdullah bin Masud Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakhai Al-Kufiy, Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakhai Al-Kufiy dari Abdullah bin Masud tentang, Seorang anak laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan tersebut? Jawab Ibnu Masud, Tidak mengapa yang demikian itu [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara muallaq dengan sanad yang shahih] Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Masud, lalu laki-laki itu bertanya, Seorang lakilaki berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dengan perempuan tersebut? Kemudian Ibnu Masud membaca ayat ini, Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang mengerjakan kejahatan dengan kebodohan 9 , kemudian sesudah itu mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang [An-Nahl : 119] Berkata Al-Qamah bin Qais, Kemudian Ibnu Masud mengulang- ulang ayat
Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga Mushannaf Abdurrazzaq (12796) 8 Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan 9 Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
7

tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu Masud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau membolehkannya). [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang semakna dengna riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Masud membaca ayat): 10 Dan Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba- hambaNya dan memaafkan dari kesalahan- kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apaapa yang kamu kerjakan [Asy-Syura : 25] [Lihat riwayat yang semakna di Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)] Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Masud membaca ayat di atas beliau berkata, Hendaklah menikahinya!. Fatwa Ibnu Umar. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih) [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475. Fatwa Jabir bin Abdullah Berkata Jabir bin Abdullah, Apabila keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan pernikahan di antara keduanya) yakni tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya - [Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq (7/202) yang semakna dengan riwayat di atas] Fatwa Ibnu Abbas Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan bolehkah dia menikahinya ? Jawab beliau, Ya, karena (nikah itu) perbuatan halal [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih] [Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)] Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina

dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ? Beliau berkata, Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal [Dikeluarkan Baihaqiy (7/155) 11 Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada tambahan, Tidak salah (yakni menikahinya)] Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang lakilaki dan seorang perempuan yang masing- masing dari keduanya telah menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : Yang pertama itu zina sedangkan yang kedua nikah [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan sanad yang hasan)] Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, Yang
Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang dibaca Ibnu Masud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu alam 11 Mushannaf Abdurrazzaq (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal
10

pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah [Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202] Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, Seorang lakilaki menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina), kemudian dia menikahinya? Jawab beliau, itu baik atau beliau mengatakannya- itu lebih bagus [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203] Demikian juga fatwa para Tabiin seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, AzZuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy 7/155 dan Abdurrazzaq 7/203-207] Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui: a. Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya. b. Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya. Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Taala seperti hukum had dan lain-lain, ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga nikahnya dua orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih. Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain [Abdurrazzaq (7/206- 207)] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta perempuan tersebut telah hamil [Bacalah kembali riwayat Umar bin Khaththab]. Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak tersebut dinasabkan? Jawabnya : Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya lakilaki itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus seperti ini di mana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu yaitu : Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun (atas anak tersebut). Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan

sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : . Dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut) . Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu alam 12 Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Taala, Dan perempuan- perempuan yang hamil itu iddah mereka sampai mereka melahirkan [Ath- Thalaq : 4] Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan dalil. Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan untuk perempuan- perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, iddah, nasab, waris dan kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu termasuk tidak adanya iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan yang hamil yang dithalaq suaminya maka iddahnya sampai dia melahirkan sesuai keumuman ayat di atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang kematian suaminya iddahnya empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di kejadian kelima. Wallahu alam. Kedua : Telah terjadi ijma Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina. Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma ulama. Dan anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan anaknya ? Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para Shahabat dan seterusnya? 5. Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka

bolehkan dia dinikahi oleh laki- laki yang tidak menghamilinya? Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?
Madzhab SyafiI dan Hanafi : Boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Abu Hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain sebagaimana beberapa kali kami jelaskan di muka. Oleh karena itu halal baginya menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. Madzhab Hambali dan Maliki : Haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan,
Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari
12

(Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain

beralasan kepada beberapa hadits : Hadits Pertama. Dari Abu Darda dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melewati seorang perempuan [Perempuan ini adalah seorang tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau bersabda, Barangkali dia 13 (yakni laki-laki yang memiliki tawanan 14 tersebut) mau menyetubuhinya!?. Jawab mereka, Ya. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya 15 bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!? 16 [Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161] Hadits Kedua Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfukannya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang tawanantawanan perang Authaas [Authaas adalah satu tempat di Thaif], Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid [Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28, 62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)] Hadits Ketiga Dari Ruwaifi Al-Anshariy ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapaun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain, beliau bersabda, Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [Ke rahim orang lain yang telah membuahkan anak] orang lain yakni menyetubuhi perempuan hamil- [Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya] Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih. Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan
Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan 14 Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah) nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36) 15 Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil beriddah satu kali haid sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah. Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan. 16 Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam, Bagaimana dia mewarisinya dan seterusnya, yakni bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal anak itu bukan anaknya. Wallahu alam.
13

dari harta fai 17 kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fai kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109) dengan sanad Hasan] Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz, Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak

orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang lain). Madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati kebenaran. Wallahu alam. Adapun masalah nasab anak dia dinasabkan kepada ibunya tidak kepada lakilaki yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya . Atau dengan kata lain dan tegasnya anak yang lahir itu adalah anak zina! Bacalah dua masalah di kejadian yang ke lima ini di kitab-kitab. [1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah Juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bn Abdul Muhsin At-Turkiy. [2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 30-31 [3]. Al-Ankihatul Faasidah (hal. 255-256]) [4]. Fatawa Al-Islamiyyah Juz 2 halaman 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh bin Baaz dan Syaikh Utsaimin dan lain-lain. 6. Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil yaitu

setiap akad nikah yang telah diharamkan syara (agama) atau hilang salah satu dari rukunnya sehingga akad nikah tersebut tidak sah seperti : Nikah dengan mahram 18 Nikah dengan ibu susu atau saudara sepersusuan Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau dengan anak tiri Nikah mutah Nikah lebih dari empat orang istri Nikah dengan istri orang lain Nikah dengan perempuan yang sedang iddah Nikah seorang muslim dengan wanita selain dari wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) Nikah tanpa wali Nikah sir (rahasia) tanpa saksi Mengumpulkan dua orang bersaudara dalam satu perkawinan
Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan hartaharta mereka 18 Mahram ialah setiap perempuan yang haram dinikahi seperti ibu, saudara, anak, bibi, dan lain-lain
17

Mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya dalam satu perkawinan Dan lain- lain dari perkawinan yang rusak menurut agama. [Baca Al- Ankihatul Faasidah]
Maka apabila keduanya tidak mengetahui fasid dan batilnya akad keduanya, maka keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena fasidnya akad keduanya. Dan disamakan dengan orang yang tidak mengetahui yaitu orang yang mendapat fatwa tentang sahnya nikah yang fasid dan batil tersebut sebagaimana banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini khususnya mengenai nikah mutahnya kaum Syiah rafidhah [Bacalah risalah kami tentang masalah ini dengan judul Nikah Mutah = Zina]. Adapun apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan batilnya akad nikah tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya. Masalah : Bagaimana hukumnya apabila yang mengetahui tentang haramnya

perkawinan tersebut hanya salah satu pihak, imam pihak laki-laki atau pihak perempuan? . Jawabanya : Maka hukumnya terkena kepada yang mengetahui tidak kepada yang tidak mengetahui. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak laki-laki, maka dia berdosa dan dikenakan hukuman dan anak tidak dinasabkan kepadanya. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak perempuan, maka dia yang berdosa dan dikenakan hukuman kepadanya dan anak tetap dinasabkan kepada bapaknya (pihak laki-laki). Wallahu alam . Sumber : Buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I Th 1423H/2002M; www.almanhaj.or.id

Pak Ustadz saya mau bertanya, Bagaimana hukumnya pernikahan yang dilakukan saat, mempelai wanitanya sedang dalam keadaan hamil akibat hubungan pra nikah. Saat ini banyak kejadian anak SMA hamil diluar nikah kemudian langsung dinikahkan oleh keluarganya untuk menutupi aib. Apakah pernikahan itu sah? Apakah setelah anak itu lahir pernikahan harus diulang. Dan jika tidak ada pernikahan ulang, apakah selama pasangan suami isteri itu tinggal bersama itu termasuk dalam perbuatan zinah. Mohon penjelasannya Pak Ustadz. Makasih Wassalam Wr Wr Ny Mita

Jawaban
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebelum sampai kepada jawaban, rasanya kita perlu membedakan terlebih dahulu kasusnya, agar tidak terjadi salah paham. Sebab kalimat menikahi wanita hamil itu sesungguhnya masih mengandung banyak kekurangan informasi. Misalnya, bagaimana status dan kedudukan wanita itu, apakah sudah menikah atau belum? Lalu siapakah yang diharamkan untuk menikahinya, apakah suaminya, atau suami orang lain? Ataukah wanita itu belum punya suami lalu berzina dengan seseorang, lalu siapa yang diharamkan untuk menikahinya? Laki-laki yang menzinainya kah? Atau laki-laki lain yang tidak berzina dengannya? Semua harus kita petakan terlebih dahulu, karena tiap-tiap kasus akan berbeda-beda hukumnya. 1. Kasus Pertama Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil, lalu berhubungan seksual dengan suaminya, maka hukumnya halal. Sebab hubungan suami isteri tidak terlarang, bahkan pada saat hamil sekali pun. Lagi pula, dia melakukannya dengan suaminya sendiri. Maka hukumnya halal. 2. Kasus Kedua Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil. Suaminya meninggal atau menceraikannya. Maka wanita ini diharamkan menikah, apalagi melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.

Sebab wanita itu masih harus menjalankan masa iddah, yaitu masa di mana dia harus berada dalam posisi tidak boleh menikah, bahkan termasuk ke luar rumah dan sebagainya. Dan masa iddah wanita yang hamil adalah hingga dia melahirkan anaknya. 3. Kasus Ketiga Seorang wanita hamil di luar nikah yang syari (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya. Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama. Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir. Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafii dan Imam Abu Hanifah. Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain. Dari Rufai bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain. (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya) Jumhur ulamayang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya menyirami air orang lain adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafii dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang. 4. Kasus Keempat Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu. Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafii dan Abu Hanifah rahimahumallah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syari antara mereka.

Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku. Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya. Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT. Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang? Perbedaan Antara Wanita Pezina dengan Wanita Yang Pernah Berzina Satu hal lagi yang perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum antara dua istilah. Istilah yang pertama adalah wanita pezina, sedangkan yang kedua adalah wanita yang pernah berzina. Antara keduanya sangat besar bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah melakukan zina, belum bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali atau seringkali. Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal. Wanita yang bertipologi seperti ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah mengahramkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti inilah yang dimaksud di dalam surat An-Nur berikut ini. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mumin. (QS. An-Nur: 3) Adapun wanita yang pernah berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan taubat nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan wanita pezina. Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan pernikahan bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina. Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc

Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu? Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?

Oleh: Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi Pertanyaan 1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil? 2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu? 3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)? Kami jawab dengan meminta pertolongan dari Allah Al-'Alim Al-Hakim sebagai berikut : 1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam : Satu : Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Dua : Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal 'iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini. Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4). Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala : Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235). Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini : Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156. Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-'Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut : Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para 'ulama. Secara global para 'ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para 'ulama :

Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu 'Ubaid. Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi'iy dan Abu Hanifah. Tarjih Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 : Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah 'Azza Wa Jalla : Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3). Dan dalam hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, beliau berkata : Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) 'Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi 'Anaq ?. Martsad berkata : Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : Jangan kamu nikahi dia. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam AlKubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul). Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya) Adapun para 'ulama yang mengatakan bahwa kalimat 'nikah' dalam ayat An-Nur ini bermakna jima' atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima' atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma'ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar 'Alamil Kutub), dan Al-Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585. Catatan : Sebagian 'ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari 'Umar dan Ibnu 'Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini. Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata : Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini

pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwat dengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur'an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina ?. Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat : 1. Ikhlash karena Allah. 2. Menyesali perbuatannya. 3. Meninggalkan dosa tersebut. 4. Ber'azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya. 5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan. Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A'lam. Syarat Kedua : Telah lepas 'iddah. Para 'ulama berbeda pendapat apakah lepas 'iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat : Pertama : Wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha'iy, Rabi'ah bin 'Abdurrahman, Imam Malik, AtsTsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih. Kedua : Tidak wajib 'iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi'iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima' dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima' dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima' sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil. Tarjih Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib 'iddah berdasarkan dalildalil berikut ini : 1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos : Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam AlIrwa` no. 187). 2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda : Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137). 3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam :

Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah AdDaimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A'lam. Catatan : Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah 'Azza Wa Jalla : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4). Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu : Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228). Kesimpulan Pembahasan : 1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas 'iddah-nya. 2. etentuan perempuan yang berzina dianggap lepas 'iddah adalah sebagai berikut : kalau ia hamil, maka 'iddahnya adalah sampai melahirkan. kalau ia belum hamil, maka 'iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta'ala A'lam. Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu' 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa 32/109-134, Zadul Ma'ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami' Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850. 3. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242. Kalau ada yang bertanya : Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah

lepas masa 'iddah?. Jawabannya adalah Ada perbedaan pendapat dikalangan para 'ulama. Jumhur (kebanyakan) 'ulama berpendapat : Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas 'iddah-nya. Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan hal tersebut. pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi'iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar 'Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas 'iddah. Wal 'Ilmu 'Indallah. Lihat : Tafsir Ibnu Katsir 1/355 (Darul Fikr). 4. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima' maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar bagi perempuan tersebut. Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan. Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi. Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali. (HR. Syafi'iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalam Al-Umm 5/13,166, 7/171,222, 'Abdurrazzaq dalam Mushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalam Al-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalam Musnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa'id bin Manshur dalam sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'any AlAtsar 3/7, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam AlIhsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam AtTahqiq no. 1654 dan Ibnu 'Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840). Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa 'iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya. Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala : Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan (QS. An-Nisa` : 4). Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala : Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS.An-Nisa` : 24) Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A'lam.

Lihat : Al-Mughny 10/186-188, Shohih Al-Bukhary (Fathul Bary) 9/494, Al-Fatawa 32/198,200 dan Zadul Ma'ad 5/104-105. Referensi: Dari: Majalah An-Nashihah Volume 05 Th.1/1424 H/2004 M Rubrik: Masalah Anda, Diasuh oleh Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi; hal.2-6 Catatan: Jika memperbanyak artikel ini mohon mencantumkan sumbernya. Terima kasih [Kontributor : Abah Utik, 18 Agustus 2004 ]

Pertama, perbuatan zina adalah perbuatan yang termasuk dalam al Kabaair, yakni dosa besar. Pelakunya, dikenai hukuman, jika ia belum menikah, maka didera sebanyak 100 deraan dan diasingkan dari negerinya selama satu tahun. Namun, jika ia sudah menikah, maka hukumannya dirajam sampai mati. Selanjutnya, bagaimana dengan status anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan ini? Maka, untuk anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, ada beberapa catatan yang harus diketahui oleh kaum muslimin: 1. Sebagai anak zina, maka ia tidak punya nasab kepada bapak (zina)nya. Nasab atau garis keturunannya adalah dari ibunya. Jika bapak (zina)nya adalah A dan ibunya adalah B. Maka nasab anak tersebut adalah fulan/fulanah bin/binti B, dan bukan fulan/fulanah bin/binti A. 2. Dengan putusnya garis nasab, maka anak zina, tidak berhak memperoleh waris dari bapak (zina)nya. Begitu pula sebaliknya, yakni jika anak (zina) meninggal duluan, maka bapak (zina) tidak memperoleh bagian warisnya. 3. Dengan putusnya nasab, maka jika si anak (zina) menikah, yang menjadi wali adalah BUKAN bapak (zina)nya, melainkan sulthon/penguasa/KUA/penghulu. 4. Tidak wajib (yakni tidak berdosa) jika si bapak (zina) tidak menafkahi anak hasil zinanya ini. 5. Namun, tetap saja, karena si anak lahir dari benih bapaknya, maka status keduanya adalah MAHRAM (haram untuk dinikahi). 6. Jika anak zina ini lahir dari hasil selingkuhan, maka nasabnya tetap mengikuti bapak yang ada hubungan pernikahan dengan ibunya, BUKAN nasab bapak yang berselingkuh. Hal ini didasarkan atas hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori: Artinya: Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut). Demikian hukum-hukum yang ada kaitannya dengan anak hasil perzinahan. Wallahu a'lam.

Kalau mas Arland, tidak sependapat adalah : Kehamilan diluar nikah LALU DINIKAHKAN adalah TIDAK SYAH. Pertanyaannya : Darimana TIDAK SYAH -nya pernikahan itu Berdasarkan : 1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun karena diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra'. (Istibra' adalah masa menunggu untuk mengetahui bersihnya rahim ). Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra'-nya tiga kali haid, sedangkan bagi amat (bukan wanita merdeka), istibra'nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil, baik merdeka maupun amat (budak), istibra'-nya sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra'), akad nikah itu fasid dan wajib difasakh. Pendapat ulama Malikiyah ini didasarkan pada hadits Nabi saw. , "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. " (HR Abu Daud). 2. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina dengan dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat berikut. Pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil, iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah tersebut hukumnya tidak sah. Adapun dasar yang digunakan oleh para ulama Hanabilah, disamping hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud diatas, juga berdasarkan hadits berikut ini. Dari abu Sa'id r. a. bahwa Nabi saw. bersabda tentang tawanan wanita Authos, "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanitaa yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali. "(HR Abu Dawud) Kedua, telah bertobat dari perbuatan zina.Dasar yang digunakan adalah ferman Allah,"dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. " (an-Nuur: 3) Ayat ini dipahami oleh ulama mazhab Hanabilah bahwa hukumnya haram menikahi laki-laki atau perempuan pezina kecuali jika mereka telah bertaubat. 3. Didalam fiqhus sunnah didapat keterangan bahwa bila akad nikah

dilangsungkan sebelum wanita itu bertaubat dan melahirkan kandungannya, pernikahannya fasid dan keduanya harus diceraikan. 4. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : "Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya." Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. 5. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para 'ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa 'iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa 'iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242. wassalam anut

Assalamu 'alaikum wr. wb. Banganut melihat proses hukum dari perzinahan sampai pernikahan. sedangkan saya melihat dari sisi "hukum pernikahan seorang wanita SETELAH terjadinya perzinahan". Disinilah titik benang merahnya.

Sedangkan masalah budak yang dihamili oleh pemilik budak (majikan) sementara ini kita pending dulu, karena masalah ini fiqihnya berbeda lagi. Kalau mengenai hukum perzinahan, saya sependapat dengan Banganut, bahwa Kasus zina, penerapan hukum berzina sampai hamil sebagaimana status seseorang, jika ia gadis maka di cambuk setelah selesai melahirkan. Jika ia sudah menikah lalu berzina maka di rajam sampai mati setelah selesai penyusuan Nah, yang ditanya oleh penanya pada point 1 adalah : saya punya 2 teman.. perempuan tentunya, dia hamil di luar nikah.. teman yang pertama lantas dinikahkan dalam keadaan hamil.. teman yang kedua katanya akan menikah setelah bayinya lahir.. saya tidak tahu harus menjawab apa, ketika kedua teman saya bertanya bagaimana pertanggung jawaban terhadap apa yang sudah saya lakukan? Mohon dapat di jawab dengan sebenar-benarnya.. dan dengan jujur... Ketika menjawab pertanyaan point 1 menurut banganut adalah : 1. Hubungan diluar pernikahan sah adalah zina. maka berlakulah sebagaimana hukum zina (jika syariat tentang zina telah tegak). Kehamilan diluar nikah lalu dinikahkah adalah tidak sah. Sedangkan pernikahan setelah melahirkan bisa dilakukan dengan melakukan taubat terlebih dahulu. Pelaksanaan pernikahan ketika hamil tidak ada syar'inya, kecuali sekedar menutup malu belaka. Namun kenyataan yang terjadi di masyarakat mereka yang telah menikah dalam keadaan hamil tingal serumah, padahal mereka belum sah dimata syari'at. jadi malah terjadi legalitas perzinaan. Saya sependapat dengan banganut bahwa : Hubungan diluar nikah adalah Zina, maka berlakulah sebagaimana hukum zina, inipun jika syariat tentang zina telah tegak. yang saya tidak sependapat adalah : Kehamilan diluar nikah LALU DINIKAHKAN adalah TIDAK SYAH. Pertanyaannya : Darimana TIDAK SYAH -nya pernikahan itu, sedangkan fiqih syafi'iyyah dengan mengutip Al-Qur'an At-Thalaq 4 dan hadits dari Ubay bin Ka'ab mengatakan bahwa TIDAK SYAH Nikahnya WANITA HAMIL hanya berlaku bagi wanita yang di talak 3 atau ditinggal mati oleh suaminya, dan inipun berlaku HANYA pada pernikahan yang syah menurut syariat, BUKAN kecelakaan/hamil di luar nikah. Tidak Syah nikahnya itu semata-mata karena wanita tersebut sedang menjalani MASA IDDAH, bukan karena hamilnya. IDDAH bagi wanita yang hamil adalah sampai melahirkan. Dengan demikian maka HAMILnya wanita di luar nikah TIDAK ADA

IDDAH-nya, karena itu tak ada larangan yang menghalangi bagi wanita itu menikah walaupun wanita tersebut dalam keadaan hamil. Karena wanita yang hamil di luar pernikahan dianggap sebagai suatu kehamilan yang TIDAK DIHORMATI SYARA', oleh karena sperma yang masuk ke dalam rahimnya adalah Ghairu Muhtarom, atau tidak dihormati. Demikian, semoga dapat dilihat benang merahnya. Sekali lagi ini bukan berarti fiqih MELEGALKAN perzinahan, tapi semata-mata untuk MENYELESAIKAN masalah perzinahan yang SUDAH TERLANJUR TERJADI. wassalam,

Namanya juga berbeda pendapat ... Saya hanya melihat proses hukum dari perzinahan sampai ke pernikahan Kasus zina, penerapan hukum berzina sampai hamil sebagaimana status seseorang, jika ia gadis maka di cambuk setelah selesai melahirkan. Jika ia sudah menikah lalu berzina maka di rajam sampai mati setelah selesai penyusuan. Jika penerapan hukum seperti ini lalu terjadi pembenaran pernikahan ketika hamil diluar nikah oleh si laki yang melakukan zina dengan wanita tersebut. Berarti terjadi pengguguran pelaksanaan hukum dera atau rajam. Karena telah berubah status hukum dari zina ke pernikahan.

Pertanyaannya, apakah ada kasus seperti ini pada masa Rasul dan sahabat ? Sedangkan salah satu syarat wanita yang hendak dinikahi adalah gadis atau janda. Apakah ada keterangan salah satu syarat wanita dinikahai adalah hamil diluar nikah oleh laki-laki itu sendiri ? Jika wanita hamil diluar nikah dibenarkan keabsahannya untuk dinikahi, maka suatu kewajaran jika orang lebih memilih zina dulu, kalau hamil tinggal dinikahi, dari haram toh nanti jadi halal juga, dari berdosa toh nanti diampuni juga. Wanita tawanan, boleh disetubuhi tanpa proses pernikahan, kenyataannya Nabi melarang menyetubuhi wanita hamil tersebut sekalipun oleh orang lain hamilnya, tidak menutup kemungkinan oleh yang menghamilinya berlaku juga hal tersebut. Sebagaimana Mas Arland mengatakan "Shah dinikahkan oleh laki-laki yang menzinainya atau dengan laki-laki lain, dan boleh disetubuhi sebelum melahirkan". Dalil : "Artinya : Dri Abu Darda dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melewati seorang perempuan [1] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau bersabda, "Barangkali dia [2] (yakni laki-laki yang memiliki tawanan [3] tersebut) mau menyetubuhinya!?". Jawab mereka, "Ya". Maka bersabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, "Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya [4] bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!?" [5] [Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161] Keterangan: [1].Perempuan ini adalah seorang tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua. [2]. Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan. [3]. Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah) nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36). [4]. Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya

menyetubuhi tawanan perang yang hamil sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil ber'iddah satu kali haid sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah. Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan. [5]. Sabda beliau Shallallahu `alaihi wa sallam, "Bagaimana dia mewarisinya . dan seterusnya", yakni bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal anak itu bukan anaknya. Wallahu a'lam.

"Artinya : Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu'kannya kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan-tawanan perang Authaas [Authaas adalah satu tempat di Thaif], "Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid" [Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28, 62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)] "Artinya : Dari Ruwaifi Al-Anshariy -ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain, beliau bersabda, "Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [7] orang lain -yakni menyetubuhi perempuan hamil- [8] Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih. Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa'i [9] kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa'i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya" [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109) dengan sanad Hasan] Keterangan [7]. Ke rahim orang lain yang telah membuahkan anak [8]. Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya [9]. Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang

kafir tanpa peperangan. Akan tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan harta-harta mereka. Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz. "Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang lain)". wassalam

Saya hanya mau mengomentari point 1 yang disampaikan oleh banganut. Mudah-mudahan dengan adanya komentar ini diskusi menjadi lebih terbuka, silahkan bagi yang ingin mengomentarinya juga, tidak dipungut bayaran ..... :) Al-Qur'an surah At-Thalaq ayat 4 : " wa ulatul ahmali ajaluhunna ay-yadlo'na hamlahunna" artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Kata "ajalahunna" yang artinya iddah mereka, sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah mereka yang ditinggal mati oleh suaminya, atau dicerai oleh suaminya, dan BUKAN atau tidak termasuk orang yang hamil tanpa suami, atau karena berzina. Dalam satu riwayat hadits tentang asbabun-nuzul ayat ini turun, diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab berkata ia: Tatkala ayat ini turun, Akupun bertanya kepada Rasulullah SAW, Ya Rasulullah, Ayat ini untuk yang ditalak tiga atau yang ditinggal mati ?, Rasulullah SAW menjawab : Ya, untuk wanita yang ditalak tiga dan yang ditinggal mati oleh suami mereka. (Hadits Riwayat Ibnu Jarier, Ibnu Abi Haatim, Ibnu Murduyah dan Ad-Darulqutni) Kemudian ulama-ulama syafi'iyyah antara lain Syeik Muhammad Assyarbini Al-Hathieb dalam kitab Mughnil Muhtaaj, Syaikhul Islam

Zakariya Al-Anshory dalam kitab Hasyiatul Jamal 'alal Manhaj, Syekh Yusuf Al-Ardabily dalam kitab Kitaabul Anwar li a'maali Abror, dan lain-lainnya pada umumnya secara jelas dan terang dapat disimpulkan perkataan mereka bahwa : wanita yang hamil karena kecelakaan itu Tidak ada Iddahnya. oleh karenanya pada wanita tersebut TIDAK ada sesuatu yang menghalangi nikahnya. Shah dinikahkan oleh laki-laki yang menzinainya atau dengan laki-laki lain, dan boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Sedangkan wanita yang bersuami yang ditalak oleh suaminya atau ditinggal mati oleh suaminya, jika ia hamil, tidak boleh kawin sebelum selesai iddahnya, yaitu sampai melahirkan. Jadi yang menghalangi perkawinan wanita itu BUKAN-lah semata-mata karena kehamilannya, tetapi semata-mata karena IDDAHnya. seperti Al-Qur'an surah At-Thalaq tersebut di atas. Sepertimana kita ketahui bersama bahwa dalm Fiqih Pernikahan bahwa wanita yang tidak boleh dinikahkan ada 6, yaitu : 1. Yang calon suaminya masih mahramnya (mis :kakak,adik,paman,kemenakan,bapak,kakek dsb) 2. Yang calon suaminya itu banci muskil, atau wanita yang diubah kelaminnya menjadi laki-laki. 3. Wanita itu masih menjadi Istri orang lain. 4. Yang masih dalam iddah wafat atau cerai hidup oleh suaminya walaupun sudah talaq 3 5. Yang calon suminya non-islam, kecuali di islamkan lebih dulu. 6. Yang calon suaminya MASIH mempunyai istri 4 (empat) orang. Jadi wanita yang hamil di luar nikah tidak termasuk katagori yang dilarang menikah, karena kehamilan diluar nikah adalah suatu kehamilan yang tidak dihormati oleh Syara', sebab sperma yang masuk ke dalam rahimnya itu adalah ghoiru mahrom, atau tidak dihormati. Oleh karena itu adanya kehamilan tersebut sama halnya seperti tidak hamil. Demikian sekedar mengomentari, boleh sependapat boleh juga tidak sependapat. wassalam,

1. Hubungan diluar pernikahan sah adalah zina. maka berlakulah sebagaimana hukum zina (jika syariat tentang zina telah tegak). Kehamilan diluar nikah lalu dinikahkah adalah tidak sah. Sedangkan pernikahan setelah melahirkan bisa dilakukan dengan melakukan taubat terlebih dahulu. Pelaksanaan pernikahan ketika hamil tidak ada syar'inya, kecuali sekedar menutup malu belaka. Namun kenyataan yang terjadi di masyarakat mereka yang telah menikah dalam keadaan hamil tingal serumah, padahal mereka belum sah dimata syari'at. jadi malah terjadi legalitas perzinaan. 2. Mohon maaf pelaksanaan 1 syuro saya tidak tahu. Saya tinggal di Palembang. Jadi tidak banyak tahu secara persis kebiasaan tersebut. Setahu saya istilah bulan syuro itu muncul pada masa kerajaan Mataram di mana terjadi percampur adukan ajaran Islam dan nenek moyang, pasca kerajaan demak dipindahkan ke Mataram. Kalau di bengkulu ada tradisi membuang kepala kerbau kelaut sebagai peringatan meninggalnya hasan dan husin cucung nabi. Sudah jelas ini bertentangan dengan Islam. Tetapi karena pemerintah punya kepentingan menarik wisatawan asing dengan alasan membudayakan tradisi nenek moyang. Justru itu malah kebablasan. 3. Penerapan syariat Islam secara kaffah butuh proses. Namun saat ini jalankan mana syariat yang tidak bersinggungan dengan sistem yang ada. Syari'at yang bersifat pribadi, sudah cukup ada kebebasan untuk kita bisa laksanakan, sekalipun kita tidak bisa menghakimi orang yang melanggar syariat pribadi itu. Syari'at yang membutuhkan orang banyak untuk melaksanakannya ini butuh proses yang panjang. Kondisi indonesia, masih sangat memungkinkan perjuangan Islam berjihad secara dakwah karena sistem yang ada di indonesia masih mendukung gerak dakwah seperti ini. indikator perjuangan ummat mengarah

kepada jihad secara qital, sedangkan sikap Indonesia masih demokratis dan toleran tentu kita jangan egois kearah sana. wassalam

You might also like