You are on page 1of 5

Rumah Sakit di Bengkulu

Rumah sakit merupakan fasilitas sosial yang tak mungkin dapat dipisahkan dengan masyarakat, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh masyarakat, karena sebagai manusia atau masyarakat tentu menginginkan agar kesehatan tetap terjaga. Oleh karena itu rumah sakit mempunyai kaitan yang erat dengan keberadaan kumpulan manusia atau masyarakat tersebut. Di masa lalu, suatu rumah sakit dibangun di suatu wilayah yang jaraknya cukup jauh dari daerah pemukiman, dan biasanya dekat dengan sungai dengan pertimbangan agar pengelolaan limbah baik padat maupun cair tidak berdampak negatip terhadap penduduk, atau bila ada dampak negatip maka dampak tersebut dapat diperkecil. Sejalan dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat, lokasi rumah sakit yang dulunya jauh dari daerah pemukiman penduduk tersebut sekarang umumnya telah berubah dan berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat, sehingga masalah pencemaran akibat limbah rumah sakit baik limbah padat atau limbah cair sering menjadi pencetus konflik antara pihak rumah sakit dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Untuk mengetahui dampak lingkungan yang mungkin terjadi, dapat dilihat dengan diagram berikut ini: Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius

sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit.

Perizinan Rumah Sakit Perkembangan Rumah Sakit Swasta di Provinsi Bengkulu umumnya dimulai dari Rumah Sakit Khusus seperti Rumah Sakit Bersalin. Rumah Sakit Bersalin adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan kegiatan persalinan dan pelayanannya disediakan oleh tenaga kesehatan terampil. Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin yang terdiri dari izin mendirikan dan izin operasional. Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) tahun, sedangkan izin operasional diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009. Permohonan izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit Khusus diajukan menurut jenis dan klasifikasi Rumah Sakit Khusus. Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit Khusus kelas C diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan penerbitan Izin Mendirikan dan izin Operasional Rumah Sakit Bersalin adalah kewenangan Kepala Daerah di bidang kesehatan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Dalam rangka pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, maka Kepala daerah melimpahkan kewenangan tersebut kepada Pejabat Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam penerbitan Izin Mendirikan dan Izin Operasional Rumah Sakit Bersalin. Pejabat yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dalam penerbitan izin. Akreditasi Rumah Sakit Selama ini, salah satu cara rumah sakit di Indonesia melakukan peningkatan mutu adalah dengan memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu melalui akreditasi rumah sakit. Akreditasi merupakan ketentuan yang diwajibkan bagi rumah sakit untuk memenuhi standar-standar pelayanan di rumah sakitnya. Dalam akreditasi rumah sakit terdapat dua puluh standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Namun, untuk lingkungan, akreditasi rumah sakit masih belum banyak memenuhi ketentuan yang mengharuskan rumah sakit memenuhi pedoman pengelolaan lingkungan. Pengelolaan Lingkungan Rumah Sakit Rumah sakit yang dibangun setelah tahun 1980 an telah diwajibkan menyediakan sarana limbah padat maupun limbah cair. Namun dengan semakin mahalnya harga tanah, serta besarnya tuntutan masyarakat akan kebutuhan peningkatan sarana penunjang pelayanan kesehatan yang baik, dan di lain pihak peraturan pemerintah tentang pelestarian lingkungan juga semakin ketat, maka pihak rumah sakit umumnya menempatkan sarana pengolah limbah pada skala prioritas yang rendah. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan kepentingan antar pihak rumah sakit dengan masyarakat atau pemerintah. Dengan adanya kebijakan legal yang mengharuskan pihak rumah sakit agar menyediakan fasilitas pengolahan limbah yang dihasilkan, mengakibatkan biaya investasi maupun biaya operasional menjadi lebih besar. Air limbah yang berasal dari limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah rumah sakit mengandung senyawa organik yang cukup tinggi juga kemungkinan mengandung senyawa-senyawa kimia lain serta mikro-organisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit terhadap masyarakat

di sekitarnya. Oleh karena potensi dampak air limbah rumah sakit terhadap kesehatan masyarakat sangat besar, maka setiap rumah sakit diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi persyaratan standar yang berlaku. Dengan adanya peraturan yang mengharuskan bahwa setiap rumah sakit harus mengolah air limbah sampai standar yang diijinkan, maka kebutuhan akan teknologi pengolahan air limbah rumah sakit khususnya yang murah dan hasilnya baik perlu dikembangkan. Hal ini mengingat bahwa kendala yang paling banyak dijumpai yakni teknologi yang ada saat ini masih cukup mahal, sedangkan di lain pihak dana yang tersedia untuk membangun unit alat pengolah air limbah tersebut sangat terbatas sekali. Untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar umumnya dapat membangun unit alat pengolah air limbahnya sendiri karena mereka mempunyai dana yang cukup. Tetapi untuk rumah sakit tipe kecil sampai dengan tipe sedang umumnya sampai saat ini masih membuang air limbahnya ke saluran umum tanpa pengolahan sama sekali. Pengelolaan lingkungan yang baik dari sebuah rumah sakit tidak hanya meliputi bagaimana cara mengolah limbah sebagai by product (output) tetapi juga mengembangkan strategistrategi manajemen dengan pendekatan sistematis untuk meminimalkan limbah dari sumbernya dan meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya alam sehingga mampu mencegah pencemaran dan meningkatkan performa lingkungan. Hal itu berarti dapat menghemat biaya untuk pengolahan limbah, pembelian bahan baku, dan menghemat biaya untuk remediasi pencemaran lingkungan serta tidak kalah pengtingnya adalah sebagai strategi pemasaran sosial yang dapat membawa perubahan yang positif dan lebih berarti dalam jangka waktu panjang. Kasus IPAL Rumah Sakit Peraturan yang mengharuskan rumah sakit memiliki IPAL diatur dalam UU RI No. 44 thn 2009 tentang rumah sakit, Permenkes No. 147 tahun 2010 tentang perizinan rumah sakit dan Kepmenkes No. 1204 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Dengan adanya berbagai aturan tersebut maka sudah menjadi ketentuan bagi rumah sakit untuk memiliki IPAL. Bila hal tersebut tidak diindahkan oleh manajemen rumah sakit, maka berbagai sanksi akan dihadapi, diantaranya akan dicabut izin operasional rumah sakit itu. Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta Timur dari 26 rumah sakit yang ada di Jakarta, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat. Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu. Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap

bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya. Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat.

Keikutsertaan masyarakat dalam Pengelolaan Limbah Sebagai tempat pengobatan dan penyembuhan masyarakat yang sakit, sudah seharusnya rumah sakit mengutamakan layanan kesehatan. Namun yang tak kalah penting adalah sanitasi lingkungannya. Tanpa sanitasi yang berkualitas, berbagai penyakit dan vector penyebarnya akan bertebaran bebas dan akan mempersulit proses penyembuhan. Untuk itu upaya menjaga dan mengelola instalasi sanitasi rumah sakit sangatlah penting. Mulai dari menjaga kebersihan ruang, lingkungan dan udara rumah sakit dari sampah (limbah padat), limbah cair, menyediakan dan menjaga ruang terbuka hijau (taman), lahan parkir yang nyaman dan sebagainya. Salah satu kegiatan pengelolaan limbah Rumah Sakit telah dilaksanakan oleh Rumah Sakit PMI Bogor yang berbasis kearifan lokal. Di Rumah Sakit ini telah dilakukan pemilahan sampah, sampah yang berasal dari ranting daun yang sudah kering dapat dimanfaatkan sebagai pupuk sehingga dipisahkan dari sampah non medis yang lain. Sampah non medis yang berasal dari plastik dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian di daur ulang. Hasil akhir dari sampah non medis dapat digunakan sebagai media tanam untuk menanam kangkung, bawang, dan lain-lain. Rumah sakit yang baik adalah rumah sakit yang telah memisahkan antara sampah medis dengan sampah nonmedis. Sampah medis dibuang ke dalam kantong plastik kuning sedangkan sampah non medis dibuang ke kantong plastik hitam. Dan di Rumah Sakit PMI telah menerapkan hal itu. Mungkin kendalanya plastik yang berwarna kuning itu lebih mahal. Kemudian, sampah nonmedis dibakar dengan alat incinerator, menurut dasar-dasar KEPMENKES RI No.1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Teknologi pengolahan air limbah dapat dicontoh dari Rumah Sakit yang telah memiliki Sertifikat Proper Hijau. Dalam program Green Hospital ke depan, air limbah hasil olahan ini dapat dimanfaatkan untuk penyiraman taman dan rumput di rumah sakit serta penyiraman kebun herba, kebun sayur organik dan persemaian taman serta proses pengomposan (composting). Transparansi dalam Pengelolaan Limbah Pengelolaan air limbah yang terbuka pada masyarakat, yang mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan limbah dapat mengurangi benturan yang terjadi antara pihak rumah sakit dengan masyarakat sekitar rumah sakit. Dengan kata lain pihak Rumah Sakit dapat mengeluarkan pernyataan Ini Lho.. IPAL yang telah kami buat .. ini air limbahnya... ini IPAL nya...dan seperti ini outputnya. Masyarakat pada umumnya ingin mengetahui bentuk dari IPAL yang telah dibuat oleh Rumah Sakit tersebut dalam wujud Nyata bukan hanya dongeng yang mengatakan bahwa IPAL telah dibuat dengan konstruksi baja dan dijamin tanpa adanya kebocoran.

Sebuah trobosan telah dilakukan di Indonesia, yaitu dengan adanya IPAL Bergerak (mobile wastewater treatment system). IPAL bergerak ini didasarkan teknologi oksidasi, yaitu penggabungan antara ozonisasi dan sinar ultraviolet. IPAL bergerak ini dinamakan Oksida. Oksida ini dirancang agar sistem ini memiliki pengelolaan limbah yang sangat kompak dan fleksibel sehingga dapat dioperasikan di atas mobil bak terbuka. Dengan menggunakan Oksida ini sebuah rumah sakit tidak lagi memerlukan area yang luas untuk instalasi. Konflik yang terjadi antara pihak Rumah Sakit Tiara Sella hendaklah harus disikapi secara bijak, setiap komponen masyarakat dan pemerintah hendaklah berada dalam posisi yang sebenarnya, jangan sampai terjadi adanya kesempatan komponen tersebut yang memancing di air keruh. Mengapa masyarakat yang berada disekitar Rumah Sakit Pemerintah tidak pernah mengeluh, apakah disana tidak ada dugaan pencemaran..??. Dari beberapa kasus dugaan pencemaran limbah rumah sakit di Provinsi Bengkulu yang selama ini terjadi kiranya semua pihak harus berkomitmen untuk mengupayakan agar limbah rumah sakit dapat benar-benar dikelola dengan baik. Respon yang ditunjukkan oleh warga sekitar terhadap dugaan kasus-kasus pencemaran hendaknya bisa menjadi penyemangat bagi pengelola rumah sakit untuk terus menerus mengembangkan pengelolaan terhadap limbah rumah sakit agar semakin baik dan benar misi rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan. Apabila terjadi pencemaran konsekuensinya pihak Rumah Sakit harus memberikan kompensasi pada masyarakat sekitar, dengan catatan pelayanan Rumah Sakit harus tetap berjalan.

You might also like