You are on page 1of 41

Arif Nurcahyono

Senin, 14 November 2011


MAKALAH MASALAH ETIKA DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Berbagai masalah etis yang dihadapi perawat dalam praktik keperawatan telah

menimbulkan konflik antara kebutuhan klien dengan harapan perawat dan falsafah keperawatan. Masalah etika keperawatan pada dasarnya merupakan masalah etika kesehatan, dalam kaitan ini dikenal istilah etika biomedis atau bioetis. Istilah bioetis mengandung arti ilmu yang mempelajari masalah yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan, terutama di bidang biologi dan kedokteran. Untuk memecahkan berbagai masalah bioetis, telah dibentuk suatu organisasi internasional. Para ahli telah mengidentifikasi masalah bioetis yang dihadapi oleh para tenaga kesehatan, termasuk juga perawat. Masalah etis yang akan dibahas secara singkat di sini adalah berkata jujur, AIDS, abortus; menghentikan pengobatan, cairan dan makanan; eutanasia, transplantasi organ, inseminasi artifisial, dan beberapa masalah etis yang langsung berkaitan dengan praktik keperawatan.

BAB II PEMBAHASAN

A.

Berkata Jujur 1. Definisi

Dalam konteks berkata jujur (truth telling}, ada suatu istilah yang disebut desepsi, berasal dari kata decieve yang berarti membuat orang percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, meniru, atau membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari, atau menolak, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan atau tidak memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan. Berkata bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan ini, seorang dituntut untuk membenarkan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu contoh tindakan desepsi adalah perawat memberikan obat plasebo dan tidak member! tahu klien tentang obat apa yang sebenarnya diberikan tersebut.

2.

Menurut Etika

Tindakan desepsi ini secara etika tidak dibenarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas terhadap siapa yang diharapkan melalui tindakan tersebut. Konsep kejujuran merupakan prinsip etis yang mendasari berkata jujur. Seperti juga tugas yang lain, berkata jujur bersifat prima facie (tidak mutlak) sehingga desepsi pada keadaan tertentu diperbolehkan. Berbagai alasan yang dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat harus berkata jujur, yaitu bahwa berkata jujur merupakan hal yang penting dalam hubungan sating percaya perawat-klien, klien mempunyai hak untuk mengetahui, berkata jujur merupakan kewajiban moral, menghilangkan cemas dan penderitaan, meningkatkan kerja sama klien maupun keluarga, dan memenuhi kebutuhan perawat. Menurut Free, alasan yang mendukung tindakan desepsi, termasuk berkata bohong, mencakup bahwa klien tidak mungkin dapat menerima kenyataan. Klien menghendaki untuk

tidak diberi tahu bila hal tersebut menyakitkan. Secara profesional perawat mempunyai kewajiban tidak melakukan hal yang merugikan klien dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan kerja samalien (McCloskey, 1990). 3. Kasus Seorang ibu berumur 30 tahun, warga Sragen melahirkan seorang anak dengan cacat fisik tidak mempunyai kedua tangan dan kedua kaki, sedangkan klien belum mengetahui kondisi anaknya, apakah yang harus di katakan perawat tersebut, harus berkata jujur atau berkata bohong? 4. Pendapat Menurut pendapat saya, perawat tersebut harus berkata jujur karena apapun yang terjadi itu adalah anaknya dan merupakan anugrah dari Tuhan yang ahrus dijaga dan dirawat.

B. 1.

AIDS

Definisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay di Amerika Serikat pada tahun 1980 atau 1981. AIDS juga pada mulanya ditemukan di Afrika. Saat ini AIDS hampir ditemukan di setiap negara, termasuk Indonesia. Oleh karena pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay (homoseksual) maka kemudian muncul anggapan yang tidak tepat bahwa AIDS merupakan gay disease. Menurut Forrester, pada kenyataannya AIDS juga mengenai biseksual, heteroseksual, kaum pengguna obat, dan prostitusi (McCloskey, 1990).

2.

Menurut Etika

AIDS tidak saja menimbulkan dampak pada penatalaksanaan klinis, tetapi juga dampak sosial, kekhawatiran masyarakat, serta masalah hukum dan etika. Oleh karena sifat virus penyebab AIDS, yaitu HIV, dapat menular pada orang lain maka muncul ketakutan masyarakat untuk berhubungan dengan penderita AIDS dan kadang-kadang penderita AIDS sering diperlakukan tidak adil dan didiskriminasikan. Perilaku diskriminasi ini tidak saja terjadi di masyarakat yang belum paham AIDS, tetapi juga di masyarakat yang sudah tahu AIDS, juga di masyarakat yang paham AIDS.

Perawat yang bertanggung jawab dalam merawat klien AIDS akan mengalami berbagai stres pribadi, termasuk takut tertular atau menularkan pada keluarga dan ledakan emosi bila merawat klien AIDS fase terminal yang berusia muda dengan gaya hidup yang bertentangan dengan gaya hidup perawat. Pernyataan profesional bagi perawat yang mempunyai tugas merawat klien terinfeksi virus HIV, membutuhkan klasifikasi nilai-nilai yang diyakini perawat tentang hubungan homoseksual dan penggunaan/penyalahgunaan obat (Phipps, Long, 1991). Perawat sangat berperan dalam perawatan klien, sepanjang infeksi HIV masih ada dengan berbagai komplikasi sampai kematian tiba. Perawat terlibat dalam pembuatan keputusan tentang tindakan atau terapi yang dapat dihentikan dan tetap menghargai martabat manusia; pada saat tidak ada terapi medis lagi yang dapat diberikan kepada klien, seperti mengidentifikasi nilainilai, menggali makna hidup klien, memberikan rasa. nyaman, memberi dukungan manusiawi, dan membantu meninggal dunia dalam keadaan tenteram dan damai (Phipps, Long, 1991). 3. Kasus Seorang pemuda berumur 25 tahun meningggal karena terserang penyakit HIV/ AIDS, semua keluarganya tidak berani memandikan di karnakan takut tertular penyakit tersebut, apa yang harus dilakukan seorang perawat kepada pasien tersebut. 4. Pendapat Menurut pendapat saya,perawat haus tetap memandikan pasien tersebut , misalnya dengan menggunakan pelindung diri yang lengkap dan berhati hati dalam melakukan tindakan tersebut.

C.

FERTILISASI IN VITRO, INSEMINASI ARTIFISIAL DAN PENGONTROLAN REPRODUKSI

1.

Definisi Fertilisasi in vitro, inseminasi artifisial, merupakan dua dari berbagai metode baru yang digunakan untuk mengontrol reproduksi. Menurut Olshanky, kedua metode ini memberikan harapan bagi pasangan infertil untuk mendapatkan keturunan (McCloskey,1990). Fertilisasi in vitro merupakan metode konsepsi yang dilakukan dengan cara membuat bypass pada tuba falopi wanita. Tindakan ini dilakukan dengan cara memberikan hiperstimulasi ovarium untuk mendapatkan beberapa sel telur atau folikel yang siap dibuahi. Sel-sel telur ini kemudian diambil melalui prosedur pembedahan. Proses pembuahan dilakukan dengan cara meletakkan sel telur dalam tabung dan mencampurinya dengan sperma pasangan wanita yang

bersangkutan atau dari donor. Sel telur yang telah dibuahi kemudian mengalami serangkaian proses pembelahan sel sampai menjadi embrio, kemudian embrio ini dipindahkan ke dalam uterus wanita dengan harapan dapat terjadi kehamilan. Inseminasi artifisial merupakan prosedur untuk menimbulkan kehamilan dengan cara mengumpulkan sperma seorang pria yang kemudian dimasukkan ke dalam uterus wanita saat terjadi ovulasi. Teknologi yang lebih baru pada inseminasi artifisial adalah dengan menggunakan ultrasound dan stimulasi ovarium sehingga ovulasi dapat diharapkan pada waktu yang tepat. Sperma dicuci dengan cairan tertentu untuk mengendalikan motilitasnya, kemudian dimasukkan ke dalam uterus wanita. 2. Hukum dan Menurut Etika Berbagai masalah etika muncul berkaitan dengan teknologi tersebut Masalah ini tidak saja dimiliki oleh para pasangan infertil, tim kesehatan yang menangani, tetapi juga oleh masyarakat. Berbagai pertanyaan diajukan apa sebenarnya hakikat/kemurnian hidup? Kapan awal hidup manusia? Hakikat keluarga? Apakah pendonor sel telur atau sperms bisa dikatakan sebagai bagian keluarga? Bagaimana bila teknologi dilakukan pada pasangan lesbian atau homoseksual? Pendapat yang diajukan oleh para ahli cukup bervariasi. Pihak yang memberikan dukungan menyatakan bahwa teknologi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan harapan atau membantu pasangan infertil untuk mempunyai keturunan. Pihak yang menolak menyatakan bahwa tindakan ini tidak dibenarkan, terutama bila telur atau sperma berasal dari donor. Beberapa gerakan wanita menyatakan bahwa tindakan fertilisasi in vitro maupun inseminasi memperlakukan wanita secara tidak wajar dan hanya wanita kalangan atas yang mendapatkan teknologi tersebut karena biaya yang cukup tinggi. Dalam praktik ini sering pula hak para wanita untuk "memilih" dilanggar (Olshanky, 1990). Kesimpulannya, teknologi ini memang merupakan masalah yang kompleks dan cukup jelas dapat melanggar nilai-nilai masyarakat dan wanita, tetapi cukup memberi harapan kepada pasangan infertil. Untuk mengantisipasinya diperlukan aturan atau undang-undang yang jelas. Perawat mempunyai peran penting, terutama memberikan konseling pada klien yang memutuskan akan melakukan tindakan tersebut. Penelitian keperawatan yang berkaitan dengan fertilisasi in vitro dan inseminasi artifisial menurut Olshansky (1990) meliputi aspek manusiawi penggunaan teknologi, respons manusia terhadap teknologi canggih, konsekuensi tidak menerima teknologi, pengalaman wanita yang

berhasil hamil atas bantuan teknologi, dan asp terapeutik praktek Keperawatan pada orang yang memilih untuk menggunakan teknologi tersebut. Menurut Wiradharma (1996: 121122) mengatakan bahwa selama pra-embriobelum berada di dalam kandungan belum ada ketentuan hokum yang mengatur haknya. KUHP yang mengatur mengenai penguguran kandungan seperti pasal 346, 347, 348, dan 349 tidak menyebutkan keterangan bagi embrio yang masih diluar kandungan. KUHP pasal 2 yang berbunyi: anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Jadi praembrio tidak sama dengan anak dalam kandungan. KUHP pasal 499 mengatakan : menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat berpindah atau dipindahkan. KUHP 255 menyeutkan : anak yang dilahirkan tigaratus hari setelah perceraian adalah tidak sah. Pada penundaan pengembalian embrio ke dalam rahim ibu bisa timbul masalah hokum apabila ayah embrio tersebut meninggal atau telah bercerai denan ibunya. Pada embrio yan didonasikan kepada pasangan infertile lain,dari segi hokum perlu dipertanyakan apakah anak itu sah secara hukum 3. Kasus Seorang suami istri datang ke rumah sakit untuk melakukan inseminasi, karena sudah 10 tahun belum punya anak, ternyata dokter mendiagnosis bahwa istri mengalami kemandulan. 4. Pendapat Menurut pendapat saya, inseminasi tersebut bleh di lakukan karna tujuanya baik untuk mendapatkan keturunan.

D. 1.

ABORTUS

Definisi Abortus telah menjadi salah satu perdebatan internasional masalah etika. Berbagai pendapat bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra. Abortus secara umum dapat diartikan sebagai penghentian kehamilan secara spontan atau rekayasa. Pihak yang pro menyatakan bahwa aborsi adalah mengakhiri atau menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan pihak antiaborsi cenderung mengartikan aborsi sebagai membunuh manusia yang tidak bersalah.

Dalam membahas abortus biasanya dilihat dari dua sudut pandang, yaitu moral dan hukum. Secara umum ada tiga pandangan yang dapat dipakai dalam member! tanggapan terhadap abortus yaitu pandangan konservatif, moderat dan liberal (Megan, 1991). 2. Hukum dan Etika Di Indonesia, aborsi diatur dalam undang-undang sebagai berikut: Hukum aborsi di Indonesia: a. UU No. 1 Tahun 1946, tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):dengan alasan apapun aborsi adalah tindakan melanggar hukum, sampai saat ini masih diterapkan. b. UU No.7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan. c. UU No. 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan: dalam kondisi tertentu bisa dilakukan medis tertentu (aborsi), sampai saat ini masih diterapkan. (Hawari, 2006:59) Selain itu, ada beberapa pandangan tentang aborsi, yaitu: Pandangan konservatif. Menurut pandangan konservatif, abortus secara moral jelas salah, dan dalam situasi apa pun abortus tidak boleh dilakukan, termasuk dengan alasan penyelamatan (misalnya, bila kehamilan dilanjutkan, akan menyebabkan ibu meninggal dunia). Pandangan moderat. Menurut pandangan moderat, abortus hanya merupakan suatu prima facia, kesalahan moral dan hambatan penentangan abortus dapat diabaikan dengan pertimbangan moral yang kuat. Contoh: Abortus dapat dilakukan selama tahap presentience (sebelum fetus mempunyai kemampuan merasakan). Contoh lain: Abortus dapat dilakukan bila kehamilan merupakan hasil pemerkosaan atau kegagalan kontrasepsi. Pandangan liberal. Pandangan liberal menyatakan bahwa abortus secara moral diperbolehkan atas dasar permintaan. Secara umum pandangan ini menganggap bahwa fetus belum menjadi manusia. Fetus hanyalah sekelompok sel yang menempel di dinding rahim wanita. Menurut pandangan ini, secara genetik fetus dapat sebagai bakal manusia, tetapi secara moral fetus bukan manusia. Kesirnpulannya, apa pun alasan yang dikemukakan, abortus seri tindakan menimbulkan konflik nilai bagi perawat bila ia harus terlibat dalam tindakan abortus. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, ataupun Australia, dikenal tatanan hukum Conscien Clauses, yang memperbolehkan dokter, perawat, atau petugas rum, sakit untuk menolak membantu

pelaksanaan abortus. Di Indonesia tindakan abortus dilarang sejak tahun 1918 sesuai dengan pasal 3' s/d 3349 KUHP, dinyatakan bahwa "Barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang menyebabkan keguguran atau mating kandungan, dapat dikenai penjara". Masalah abortus memar kompleks, namun perawat profesional tidak diperkenankan memaks kan nilai-nilai yang ia yakini kepada klien yang memiliki nilai berbeda termasuk pandangan terhadap abortus. 3. Kasus Seorang ibu berumur 35 tahun datang kepada perawat dan minta bantuan untuk menggugurkan kandunganya yang sudah berumur 6 bulan . karena klien tau bahwa anak yang di kandungnya menglami cacat fisik untuk menghindari perderitaan anak tersebut.apakah yang harus di lakukan seorang perawat. 4. Pendapat Menurut pendapat saya itu boleh saja, karena tujuanya untuk menghindari penderitaan anak tersebut.

E. 1.

EUTANASIA

Definisi Eutanasia merupakan masalah bioetik yang juga menjadi perdebatan utama di dunia barat. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (berarti mudah, bahagia, atau baik) dan thanatos (berarti meninggal dunia Jadi, bila dipadukan, berarti meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Menurut Oxfort English Dictionary, euthanasia berarti tindakan untuk mempermudah mati dengan mudah dan tenang. Dilihat dari aspek bioetis, eutanasia terdiri atas eutanasia volunte involunter, aktif dan pasif. Pada kasus eutanasia volunter, klien secara sukarela dan bebas memilih untuk meninggal dunia. Pada eutanasi. involunter, tindakan yang menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari klien dan sering kali melanggar keinginan klien. Eutanasia aktif melibatkan suatu tindakan disengaja yang menyebabkan klien meninggal, misalnya dengan menginjeksi obat dosis letal. Eutanasia pasif dilakukan dengan menghentikan pengobatan atau perawatan suportif yang mempertahankan hidup (misalnya antibiotika, nutrisi, cairan, respirator yang tidak diperlukan lagi oleh klien). Eutanasia pasif sering disebut sebagai eutanasia negatif, dapat dikerjakan sesuai dengan fatwa IDI.

2. Hukum

Eutanasia aktif merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan dalam KUHP pasal 338, 339, 345, dan 359. Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 340 KUHP : Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, duhukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pasal 359 KUHP : Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurang selama-lamanya satu tahun (Hanafiah,M. Jusuf dan Amir, Amri. 1999:108). 3. Kasus Seorang nenek berumur 75 tahun menderita stoke sudah 16 tahun tidak sembuh-sembuh dan nenek tersebut meminta kepada perawat untuk mengakhiri hidupnya. 4. Pendapat Menurut pendapat saya perawat tetap tidak boleh melakukan hal tersebut.perbuatan tersebut tetap melanggar etis keperawatan,dan perawat harus memberikan dukungan terapeutik guna untuk membangkitkan kembali semangat pasien.

F. PENGHENTIAN PEMBERIAN MAKANAN, CAIRAN, DAN PENGOBATAN 1. Definisi Makanan dan cairan merupakan kebutuhan dasar manusia. Memenuhi kebutuhan makanan dan rninuman adalah tugas perawat. Selama perawatan sering kali perawat menghentikan pemberian makanan dan minuman, terutama. bila pemberian tersebut justru membahayakan klien (misalnya, pada pra- dan pascaoperasi). 2. Hukum Masalah etika dapat muncul pada keadaan terjadi ketidakjelasan antara memberi atau menghentikan makanan dan minuman, serta ketidakpastian tentang hal yang lebih

menguntungkan klien. Ikatan Perawat Amerika (ANA, 1988) menyatakan bahwa tindakan penghentian dan pemberian makan kepada klien oleh perawat secara hukum diperbolehkan, dengan pertimbangan tindakan ini menguntungkan klien (Kozier, Erb, 1991). 3. Kasus Mr.marno 34 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas sudah 15 hari tidak sadarkan diri , dan istrinya meminta kepada perawat untuk mencabut selang pengobatan cairan dan makanan , apa yang harus di lakuka perawat kepada pasien tersebut. 4. Pendapat Perawat tidak boleh menuruti perintah istri pasien untuk menghentikan dan mencabut selang obat atau makanan tersebut ,sebaiknya perawat bemberi dorongan kepada istri pasien supaya tetap tabah dan selalu mendoakan suaminya semoga cepat smbuh.

G. 1.

TRANSPLANTASI ORGAN

Definisi Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh orang lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia pada saat dia hidup, atau setelah mati pada manusia lain.

2.

Hukum Pada saat ini, dunia kedokteran di Indonesia telah memasuki teknologi yang lebih tinggi. Transplantasi organ yang dahulu hanya dilakukan di rumah sakit luar negeri, untuk saat ini telah dapat dilakukan di Indonesia (misalnya. transplantasi kornea, ginjal, dan sumsum tulang). Menurut Helsinki, tidak semua perawat terlibat dalam tindakan ini, namun dalam beberapa hal, perawat cukup berperan, seperti merawat dan meningkatkan kesehatan pemberi donor, membantu di kamar operasi, dan merawat klien setelah transplantasi (Megan, 1991). Pelaksanaan transplantasi organ di Indonesia diatur dalam peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis/transplantasi alat atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.. Tindakan transplantasi tidak menyalahi semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME, asalkan penentuan saat mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan (Est Tansil, 1991).

Dari segi hukum transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya mensehatkan dan mensejahterakan manusia walaupun ini adalah suatu tindakan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan tetapi mendapat pengecualian hukuman, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (Wulan, 2011:23). Pasal 10: transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meniggal dunia Pasal 11: 1. Trasplantasi organ dan jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang sudah ditunjuk oleh mentri kesehatan. 2. Trasfusi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan. Dalam UU no. 23 tahun 1992 tentang ksehatan tercantum beberapa ketentuan mengenai transplantasi sebagai berikut : Pasal 1 butir 5 transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa mengingat organ atau jaringa tubuh termasuk darah merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa maka dilarang untuk dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan atau komersial melalui jual beli. Oleh karena itu transplantasi hanya dapat dilakukan untuk tujuan kemanusian. Ketentuan pidana untuk transpalantasi di atur dalam pasal 80 ayat 3 UUK barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam peaksanaa transplantasi organ tubuh atau jaringan atau transpusi darah sebagai mana dimaksut dalam pasal 33 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banayak 300 juta rupiah (Soeprato, 206 : 100-101).

referensi : Mimin, Suhaemin. 2003. Etika dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

http://arifnurcahyono.blogspot.com/2011/11/makalah-masalah-etika-dalam-praktik.html

FENOMENAL TEKNOLOGI BAYI TABUNG


Posted by joe pada 11/05/2010

Saat ini pelayanan kesehatan terhadap pasangan infertil mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak kelahiran Louis Brown di Inggris pada tanggal 25 Juli 1978, yang merupakan hasil teknologi bayi tabung pertama didunia. Teknologi Reproduksi Dibantu (Assisted Reproductive Technology) yang dikenal sebagai Teknologi bayi tabung merupakan suatu penerapan teknologi dalam bidang reproduksi manusia, dimana fertilisasi (pertemuan sel telur dan sperma) terjadi secara in vitro (diluar tubuh manusia). Sehingga kemajuan teknologi reproduksi manusia yang dikenal orang selama ini disebut juga bayi tabung atau fertilisasi in vitro (FIV). Di Indonesia keberhasilan teknologi bayi tabung dimulai sejak lahirnya bayi tabung pertama pada pada tahun 1988 di RS Harapan Kita Jakarta. Saat ini beberapa RS di Indonesia telah memberikan layanan bayi tabung seperti RS Bunda Jakarta, RS Dokter Soetomo Surabaya, RS Dokter Sarjito Yogyakarta, RS Telogorejo Semarang, dan dalam waktu dekat akan diadakan di RS Wahidin Sudirorohusodo Makassar Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Lalu bagaimanakah hukum bayi tabung dalam pandangan Islam? Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama. Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain. Itu hukumnya haram, papar MUI dalam fatwanya. Apa

pasal? Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan. Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan, tulis fatwa itu. Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina. Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya. Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara, papar ulama NU dalam fatwa itu. Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang. Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh). Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jamai yang dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang dilarang. Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung), papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya, cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) hal itu

dilarang menurut hukum Syara. Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat ini
http://perawattegal.wordpress.com/2010/05/11/fenomenal-teknologi-bayi-tabung/ -http://www.ilmugizi.info/pdf/pengertian-fertilisasi-in-vitro.html -http://www.ilmugizi.info/Etika-dan-Hukum-Teknik-Reproduksi-Buatan-1%29.html

REPRODUKSI MANUSIA, tafa blogst

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Harus ditegakkan kebijaksanaan dalam hal kegiatan komersial dari jaringan-jaringan reproduksi dan penggantian rugi dalam hal donor jaringan reproduksi manusia. Begitu pula tentang pengkloningan dan surrogate mother diperlukan badan-badan hukum yang mengesahkan dan mengatur tata cara pelaksanaannya. B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan adalah : 1. Agar mahasiswa tahu tentang apa arti dari in vitro, kloning dan surrogate mother. 2. Agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerangkan tentang tata cara dan etika dalam masalah in vitro, kloning, dan surrogate mother. 3. Memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan perkelompok. C. Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini kelompok menggunakan metode argumentasi dengan study literatur perpustakaan yang memberikan gambaran keadaan tertentu berdasarkan buku sumber. D. Ruang Lingkup Penulisan Ruang Iingkup penulisan makalah ini yaitu tentang Etika Teknologi Mutakhir Reproduksi Manusia meliputi tentang : - Etika Fentilisasi in vitro - Etika Pengkloningan - Etika Surrogate mother E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini adalah : BAB I : Pendahuluan, Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Raung Lingkup Penulisan dan Sistematika Penulisan BAB II : Terdiri dari Tinjauan Teoritis tentang Etika Teknologi Mutakhir Reproduksi Manusia yang meliputi dari : Fertilisasi in vitro, Kloning dan Surrogate mothers

BAB III : Terdiri dari Penutup, Kesimpulan dan Daftar Pustaka

BAB II ETIKA TEKNOLOGI MUTAKHIR REPRODUKSI MANUSIA A. ETIKA FERTILISASI IN VITRO Secara umum angka keberhasilan fertilisasi in vitro kemajuannya relatif sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk meningkatkan angka keberhasilan, diciptakan modifikasi-modifikasi teknik fertilisasi in vitro yaitu: 1. Teknik GIFT (Gamet Intra Fallopian Transfer) atau Tandur Alih Garnet Intra Tuba (TAGIT) 2. Teknik ZIFT (Zygote Intra Fallopian Transfer) atau Tandur Alih Zigot Intra Tuba (TAZIT). 1. Fertilisasi In Vitro Ditinjau Dari Segi Hukum Pelaksanaan FIV hanya dibenarkan diselenggarakan okh profesi Kedokteran. Oleh arena itu, harus dibentuk sistem perizinan bagi rumah sakit-rumah sakit dan lembagalemhaga yang diizinkan menyimpang semen, ova dan embrio, juga yang memusnahkan jaringan tersebut dan yang berwenang untuk menerima jaringan tersebut. Perlu ditentukan pula lamanya penyimpangan jaringan biologis tersebut. Harus ditegakkan kebijakan dalam hal kegiatan komersial. Komersial dari jaringanjaringan reproduksi dan penggantian rugi dalam hal donor jaringan reproduksi tersebut dan kemungkinan mengkomersialisasikan hal-hal tersebut. Keteranganketerangan harus ditulis pada sertifikat kelahiran anak-anak yang dilahirkan sebagai hasil dari donasi sperma atau ova (atau kedua-duanya). Harus ditegakkan secara hukum anonimitas atau kerahasiaan yang dituntut oleh donor atau mengenai kerahasian untuk memberi informasi mengenai donor, sedangkan, pada pihak lain ditegakkan pula hak seorang anak untuk mengenal asal-usul biogiknya. Suatu kebijakan harus dikembangkan mengenai donor jaringan yang memberi informasi (keterangan) palsu mengenai kesehatannya dalam kasus-kasus dimana terdapat kemungkinan bahwa sebuah penyakit ginetik yang dapat diturunkan. Suatu kebijakan harus dikembangkan mengenai wewenang atau kontrol terhadap jaringan reproduktif. Ada keraguan-keraguan secara hukum apakah hak milik dapat diterapkan mengenai bagian-bagian tubuh manusia. Meskipun terdapat keragu-raguan, jawaban harus memberikan terhadap pertanyaan apakah jaringan-jaringan yang didonasi boleh dipakai dan boleh dimusnahkan. Jawaban jawaban juga harus membahas hal-hal seperti, jika tidak ada alamat donornya, jika donor telah meninggal, jika terdapat persengketaan antara dua donor yang telah dipersatukan dan kebutuhan rumah sakit untuk melakukan pembedahan

secara efesien. Marilah kita menuju beberapa hukum yang berlaku di dunia Barat. Etika dalam pelaksanaan dan kontrol berbagai penatalaksanaan infertilitas dan penelitian embrio banyak didiskusikan di seluruh dunia. Di beberapa negara, semua jenis penelitian embrio diperbolehkan apabila tidak ada pengganti untuk embrio tersebut. Di negara-negara lain, beberapa penelitian, seperti pembuahan hibrid manusial/ binatang adalah terlarang. Di negara-negara yang tidak ada pengaturan secara formal sama sekali, terdapat beberapa peraturan oleh tiap-tiap profesional sendiri, tetapi di negara seperti inilah batas-batas etik berada dalam bahaya yang besar. Menurut survey oleh Gunning dan English, di tahun 1993 tidak ada hukum formal pada FIV dan penelitian embrio di Belgia, Kanada, Yunani, Italia, Jepang (di mana mereka hanya di bawah kontrol perkumpulan profesional), Belanda dan Protugal. Meskipun tidak ada hukum secara nasional di negara-negara federal seperti Australia, USA atau Switzerland, yang daerah masing-masing mempunyai hukum yang berbeda tentang FIV tetapi semua melarang penelitian pada embrio hasil surrogacy. 2. Aspek-Aspek Etik Dari FIV Setelah Kontroversi dan ketidakpastian pada tahun-tahun awal, sekarang FIV telah diterima secara luas sebagai tindakan kedokteran untuk menolong pasanganpasangan infertil. Telah dilaporkan bahwa di USA saja terdapat kira-kira seratus pusat FIV dan tiga puluh pusat di tempat-tempat yang lain (Warnock Report 1984, England dan Warnock Report 1982, Australia). Akan tetapi, dari pihak agama masih ada yang menentang FIV dan aspek etik yang berupa konsep bahwa kehidupan manusia harus dilindungi. Terdapat eksperimentasi dan intervensi secara klinik yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan kelangsungan hidup. Masalah yang harus dibicarakan adalah sebagai berikut. 1. Apakah status secara moral manusia yang sedang berkembang pada saat awal fertilisasi ? Hal tersebut dapat dibicarakan dalam analogi dengan abortus. Akan tetapi, dengan majunya teknik kedokteran seperti USG, foetal surgery, kita sekarang meninjau kembali status moral/ etik embrio yang sedang berkembang dan fetus sebagaimana ia berkembang dari sebuah sel menjadi seorang anak. 2. Siapa yang bertanggung jawab secara moral terhadap nasib embrio dan fetus. Memperoleh hak kedudukan (status), status sebagai apa? a. Seorang manusia ? b. Atau seorang pasien ? Bagaimana kedudukan dokter, orang tua, dan pemerintah dalam hal kesejahteraan embrio/fetus? Apakah harus ada perlindungan terutama terhadap kesatuan yang sedang berkembang itu (embrio manusia) ? 3. Apakah Ada Hal Moral Untuk Berprokreasi ? Benarkah bahwa keinginan sepasang suami isteri yang infertil harus dipenuhi ? Dapatkah hal tersebut dibenarkan jika ditinjau dari prioritas yang lain? Keinginankeinginan secara individual yang akan membawa pendanaan yang begitu besar, dapatkah hal tersebut dipertanggung-jawabkan secara ekonomis ? Apakah embrio-embrio manusia yang tidak dipakai dibutuhkan untuk maksudmaksud penelitian ? Dapatkah embrio-embrio manusia dipergunakan untuk meningkatkan ilmu

pengetahuan kalau dalam hal tersebut dapat dipergunakan embrio-embrio spesies lain. Apakah masih perlu embrio manusia ? Apakah efek sosial dari teknik FIV akan merugikan status moral keluarga ? Apakah yang mula-mula diinginkan adalah mempunyai keturunan? Dapat berakibat antikeluarga karena hubungan tradisional antara ibu-ayah menjadi tidak jelas? 4. Bagaimana Jika Pihak Ketiga Tidak Ikut Serta ? Di dalam reproduksi manusia yang paling banyak dipergunakan adalah donor sperma. Berapa besar kepentingan secara moral dengan kelainan secara genetik yang didapat anak hasil donasi sperma dan anak yang diadopsi sebagai embrio? Baik AID maupun FIV merusak hubungan eksklusif secara seksual karena hal tersebut pada kedua tindakan tidak dibutuhkan sehingga donor sperma pada FIV secara etis dapat dipertanggungjawabkan jika keadaan memang membenarkan hal tersebut. 5. Donasi Ovum Atau Embrio Donasi ovum atau embrio merupakan hal yang sulit, baik bagi si pasien maupun bagi si dokter, Sebenarnya dasarnya adalah usaha memperoleh keberhasilan dari FIV. Akibatnya diselenggarakan super ovalation untuk memperoleh jumlah sperma dalam testis Iaki-laki, maka nilai ovum lebih tinggi jika ditinjau secara etis. Mengenai embrio manusia marilah kita bicarakan 2 (dua) contoh berikut. 1. Embrio yang diperoleh dan sepasang suami-isteri dengan FIV dimasukkan ke wanita yang secara spikologik telah dipersiapkan dan telah diselujui untuk mengembalikannya setelah melahirkan. Ini disebut gestational surrogacy, umpamanya jika isteri telah mengalami histerektomi, sedangkan kedua ovaria masih baik. Secara etis hal itu dapat dipertanggungjawabkan tetapi keikutsertaan spikologik dan bisa juga secara emosional harus pula diperhitungkan. 2. Versi lain juga untuk menghindarkan kehamilan, baik untuk indikasi seperti kehamilan resiko tinggi ataupun untuk alasan-alasan yang non seperti karier. Kedua versi mempunyai efek etik yang berlainan. 6. Pembekuan Embrio Manusia Mempertahankan sel-sel dan jaringan, baik dari mamalia maupun manusia, telah dikenal lama. Untuk keberhasilan PIV juga telah dilakukan, antara lain, pembekuan embrio manusia. Hal ini secara etis dapat dipertanggungjawabkan. Jika hal ini tidak bermaksud untuk suspended animation dan ada keyakinan bahwa tidak diharapkan suatu kerusakan/ kerugian terhadap si anak pada masa depan. Ternyata banyak keuntungan dengan mengadakan pembekuan ini. 7. Pemanfaatan Embrio Manusia Untuk Penelitian Peneliti-peneliti seperti Edwards (1982) menunjang kepentingan penelitian terhadap embrio manusia (Medical Research Council 1983). Akan tetapi, ada pihak yang mempertahankan anggapan bahwa embrio manusia dalam perkembangannya dapat dipakai untuk penelitian. Jika penelitian tersebut memberikan keuntungan kepada embrio manusia tersebut (Tiefel 1982). Sebagai kesimpulan, penelitian secara sistematis dan secara efektif yang melibatkan embrio manusia pada awal perkembangannya dapat dilaksanakan secara etis dengan pedoman-pedoman yang

telah ada bagi tiap-tiap uji klinik (Clinical research). B. ETIKA DALAM TEKNOLOGI KLONING 1. Pengertian Kloning Kloning adalah sekelompok organisme hewan maupun tumbuhan yang dihasilkan melalui reproduksi aseksual dan berasal dari induk yang sama. Seliap anggota kloning mempunyai jumlah dan susunan gen yang sama dan kemungkinan besar fenotifnya sama. Secara garis besar ada 2 macam cara organisme memperbanyak diri atau berproduksi yaitu secara asexual dan sexual. Kloning berasal dari bahasa Yunani berarti cangkok ranting tanaman, dalam bidang holtikultura yang dimaksud dengan kloning adalah tanaman dan kelompoknya yang berasal dari induk yang sama. 2. Manfaat Kloning Manfaat kloning secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 bagian : a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Terutama dalam rangka pengembangan biologis, khususnya reproduksi embriologi dan diferensiasi. Ada 2 teori yang berusaha menjelaskan fenomena tersebut, yang pertama menyatakan bahwa selama eleavage yaitu pembelahan dari zigot menjadi blastomer terjadi pembagian nukleus yang tidak sama sehingga terjadilah berbagai jaringan dan organ. Yang kedua berpendapat bahwa selama eleavage terjadi pembagian sitoplasma yang tidak sama. Sitoplasma yang berbeda tersebut akan mempengaruhi aktivitas nukleus. Sebaliknya aktivitas nukleus akan mempengaruhi sitoplasma dan terjadi interaksi. Antara nukleus dan sitoplasma inilah yang menyebabkan terjadinya diferensiasi yang berlangsung dalam rangka terbentuknya organ-organ. Untuk membuktikan mana yang benar dari kedua teori tersebut dilakukan penelitian pada ampibi (kodok) dengan mengadakan tranplantasi nukleus ke dalam telur kodok yang dinukleusasi. Sebagai donor yang digunakan sel somatik dan berbagal study perkembangan. Ternyata donor nukleus dari sel somatik yang diambil dari sel epitel usus. Kecebong pun masih dapat membentuk embrio normal. Jadi rupanya selama perkembangan nukleus tidak berubah tetapi yang berubah adalah sitoplasmanya. b. Untuk mengembangkan dan memperbanyak bibit unggul. Dalam bidang perkebunan sekarang para ahli sedang mengembangkan tenaman perkebunan dengan cara kloning sel bibit unggul, dengan mengkultur sebuah sel yang mempunyai sifat-sifat unggul, pada tanaman bila sel dikultur maka dari seliap sel tersebut akan tumbuh tanaman lengkap. Tidak perlu dimasukkan kedalam telur atau bunga betina. Sehingga membuat kloning yang sangat banyak tanaman jauh lebih mudah dari pada hewan. Keuntungan perkebunan yang terdiri dari satu kloning adalah tanaman tersebut mempunyai sifat-sifat yang sama seperti pemupukan, pemberantasan penyakit dan lain-lain. Sehingga mudah dilakukan secara masal. c. Untuk tujuan diagnostik dan terapi. Untuk mengetahui kandungan gen dalam embrio, maka dibuat kloning salah satu blastomer (kloning) dikorbankan untuk analisis kandungan gennya, apakah

mengandung gen yang jelek atau tidak atau barangkali tidak mengandung gen yang diperlukan untuk menunjang kehidupan normalnya. Sehingga kita dapat memutuskan apakah sel blastomer yang lain akan diteruskan berkembang atau tidak, atau mungkin perlu memasukkan gen yang tidak ada atau mengganti gen yang rusak sebelum menjadi embrio transfer. Hal ini misalnya diketahui bahwa sitoplasma sel telur mempunyai kelainan, seperti ada kelainan pada mitokondrianya, maka kita dapat mentransfer nukleus donor tersebut ke dalam telur yang normal. 3. Aspek Etika Kloning Kloning pada manusia adalah suatu gagasan yang hanya dapat ditemukan diceritaceriita fiksi sebelum dekade ini. Penemuan yang sangat menakjubkan dalam beberapa tahun terakhir ini membuat masyarakat dunia mulai berfikir bahwa kloning benarbenar akan menjadi kenyataan. Selama ini masyarakat digambari dengan artikelartikel koran, majalah, acara televisi atau bahkan film-film kartun. Hal ini menyebabkan banyak anggapan yang salah dari masyarakat dan mereka berfikir bahwa sangat mudah mengkloning manusia, penelitian melalui pembelahan embrio mulai muncul pada tahun 1993. Dan hal itu banyak menimbulkan perdebatan etika dan moral diseluruh dunia saat ini. Mengenai pengaruh kloning manusia dari sudut pandang moral dan masalah ekonomi sampai pada kesimpulan kloning sangat mahal dan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Meskipun demikian dari segi positifnya kloning sangat berguna untuk membuat organ manusia untuk tujuan tranplantasi, banyak menimbulkan perdebatan moral. WHO mendukung perkembangan dari teknologi kloning terutama bagi tujuan kesehatan umat manusia, namun meski banyak sekali segi positif yang telah dan akan diperoleh manusia dari kloning itu, kita harus waspada terhadap dampak dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. WHO ini menekankan pentingnya untuk kemampuan tetap bertahan atau bersandar pada teknik dan penuntutan dari umat manusia akan tetap terpelihara dengan baik. Hal ini memerlukan suatu penelitian yang amat kritis dan debat sistematik yang meliputi semua sektor berkaitan, perbedaan ekonomi sosial dan budaya. WHO telah membuat suatu rumusan mengena landasan utama bagi pengembangan kesehatan umat manusia yang mungkin membuat kita semua atau calon-calon ilmuan dan penelitian dalam bidang kesehatan berfikir untuk melakukan tujuan dan alasan untuk melakukan suatu tindakan penelitian bagi umat manusia. Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu cepat, dalam waktu singkat tidak mustahil muncul masalah pelanggaran etika dalam penetapan kloning bagi kehidupan manusia. 4. Penggunaan Teknologi Kloning a. Bidang Botani Kloning dalam bidang botani telah lama dilakukan dan amat disukai karena memberikan beberapa manfaat, dengan teknologi kloning penting memperoleh bibit dalam waktu singkat secara masal dan serentak. Selain itu sifat induk tanaman diteruskan secara utuh kepada seluruh kloningnya sehingga mutu tanaman terjamin bagus. Teknologi ini juga dapat digunakan untuk mengulangi punahnya spesies tanaman langka. Selain dampak positif teknologi kloning mempunyai beberapa kelemahan yaitu biaya yang relatif mahal. Jika dibandingkan dengan teknologi kompensional. Adanya sifat genetik yang menurun utuh pada semua kloning

menyebabkan tidak adanya variasi. Dampaknya adalah kloning yang memiliki kerentanan yang sama terhadap penyakit tertentu dalam waktu singkat seluruh kloning dapat binasa. b. Bidang Fauna Kloning dalam bidang fauna juga dilakukan pada banyak spesies. Pada umumnya bahan yang digunakan adalah sel dari embrio binatang (embrio splitting) jaringan embrio yang terdiri dari banyak sel dibelah menjadi embrio yang utuh. Masingmasing embrio ini lalu ditanamkan kedalam rahim betina dewasa sehingga kemudian akan dapat dilahirkan beberapa binatang dewasa yang seragam secara genetik dalam jumlah banyak. Spesies yang pernah dikloning dari jaringan embrio adalah katak, kelinci, domba, sapi dan monyet. Tujuan kloning pada binatang adalah untuk pelestarian satwa langka dan sebagai bahan pangan dan sandang bagi manusia juga untuk pengobatan dan penditian. Pada penelitian farmakologi obat-obatan, penelitian terhadap binatang dengan menggunakan sekelompok klon amat menguntungkan karena dapat menyediakan binatang yang homogen, bebas dari variabel genetik yang munkkin mempengaruhi proses metabolisme obat sehingga pengambilan kesimpulan secara Iebih akurat. 5. Kloning Dalam Perspektif Islam Ibadah merupakan suatu proses untuk menjadikan manusia selalu hidup dinamis. Ibadah dalam Islam sebagai sarana untuk merombak dan mengalihkan manusia dari satu kondisi ke kondisi lain. Merealisasikan realitas hidup suatu proses menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab pada seliap individu baik dalam bentuk vertikal maupun harizontal. a. Arti Kloning Kloning adalah pengembangbiakan makhluk hidup tanpa melalui proses pembuahan (tidak terjadi pertemuan sel kelamin betina/ ovum dan sel kelamin jantan/ sperma) dengan hasil keturunan sama persis dengan induknya. b. Mudharat Kloning Oleh karena pengernbangan dan kemajuan IPTEK seperti bank sperma, kloning bayi tabung, sewa rahim, nenek melahirkan cucu. Jika tidak dilandasi norma-norma yang terpuji niscaya akan menimbulkan masalah yang serius dengan kekacauan dunia yang fana, akan terjadi hilangnya kemanusiaan, tercabutnya fitrah insani, runtuhnya kehormatan, rusaknya garis keturunan, waris, konsep perkawinan, pernikahan berantakan. c. Hukum Kloning Penggunaan teknologi kloning yang dibenarkan sebatas sebagai alat bantu reproduksi bagi pasangan suami-isteri yang sah menurut Syariat Islam. Diantara motivasi perkawinan adalah untuk melestarikan keturunan dalam upaya merealisasikan tujuan tersebut bisa saja dengan mendayagunakan iptek dengan syarat berlandaskan taqwa kepada Allah SWT. Diulangi kata taqwa pada surat An-nisa ayat ke-1 menunjukkan urigensi taqwa dalam pengembangbiakan keturunan dan memelihara hubungan silaturahmi. d. Permasalahan Jika kloning tersebut dilakukan pada tanaman dan hewan, kami yakin semua orang setuju. Namun jika hal tersebut dilakukan pada manusia, walaupun untuk tujuan diagnosis dan terapi belum tentu semua orang seuju. Apalagi kloning tersebut

dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok orang. Sebagai contoh jika seseorang yang berkuasa ingin berjaga-jaga supaya salah satu organnya kelak tidak berfungsi dan memerlukan tranplantasi organ, maka dia dapat membuat klonisasi dirinya sendiri yang jika diperlukan nanti akan diambil organ tersebut untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain kloning yang dibuat tersebut akan dijadikan sebagai onderdil cadangan. Pendapat pada umumnya yang dilakukan oleh majalah Time/ CNN di Amerika Serikat, 74% menyatakan bahwa kloning bertentangan dengan agama 19% menyatakan tidak, kemudian 89% menyatakan bahwa kloning pada manusia tidak dapat diterima, 66% menyatakan kloning pada hewan tidak dapat diterima. Walaupun demikian di Amerika tidak ada larangan untuk melakukan kloning pada manusia, hanya saja pemerintah melarang menggunakan dana federal untuk membiayai penelitian tentang kloning pada manusia. Di Jerman pada tahun 1990 undang-undang menyatakan bahwa kloning pada manusia adalah perbuatan kriminal, yang diancam hukuman 5 (lima) tahun penjara. Di Inggris sejak tahun 1990 ada larangan melakukan subsitusi nukleus pada embrio manusia. Di Belanda pada tahun 1993 parlemennya sedang menyusun UU yang sama seperti di Inggris. Sementara itu di Kanada sedang diajukan rancangan UU "Human Reproduktive and Genetiva Technologiest Act" yang melarang : 1. Mengklon memecah zigoy, embrio dan fetus. 2. Memfertilisasi telur manusia oleh sperma hewan atau sebaliknya, dengan tujuan menghasilkan zigot. 3. Menyatukan Zigot atau embrio antara manusia dengan hewan. 4. Mengimplantasikan embrio manusia pada hewan atau sebaliknya. 5. Terapi gen pada ovum, sperma, atau embrio. 6. Mengambil ovum atau sperma dari fetus atau mayat dengan tujuan membentuk embrio. 7. Memisahkan sperma X dan Y dengan tujuan menyeleksi seks kecuali dengan tujuan kesehatan. 8. Pranatal diagnostik (termasuk ultrasonografi) untuk menentukan seks fetus, kecuali ada alasan medis. 9. Menyimpan embrio diluar tubuh. 10. Fertilisasi ovum diluar tubuh manusia, dengan tujuan hanya untuk penelitian. 11. membayar ibu penggannti (surrogate mother). 12. Pembayaran calon ibu pengganti. 13. Bertindak sebagai calon ibu pengganti. 14. Menjual belikan sperma, ovum, zigot, embrio atau fetus. 15. Menggunakan ovum, sperma, zigot, atau embrio untuk penelitian, fertilisasi, tanpa pengetahuan donor. Satu hal yang perlu diperhatikan, walaupun kita ingin membuat aturan yang benar memperlahankan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan mengenai kloning pada manusia tersebut, jangan sampai kita menutup kemungkinan menggunakan segi positifnya dari kloning tersebut dalam peningkatan kesejahteraan manusia. e. Permasalahan Etika Tentang Kloning Dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini semakin banyak nilai-nilai yang

dilanggar atau ketidaksesuaian antara sesuatu yang dipandang masyarakat (sesuatu keyakinan yang dipegang) dengan perkembangan teknologi (kloning). Pandangan masyarakat bahwa pengadaan (memperbanyak makhluk hidup itu dapat menimbulkan berbagai masalah terutama pengkloningan pada manusia). Pengkloningan manusia menimbulkan berbagai kontra persepsi bahwa pengkloningan manusia merupakan teknologi yang mahal dan berbahaya bagi kehidupan manusia. Dengan pengkloningan ini akan terjadi penurunan genetika dari tiap-tiap generasi yang memiliki tingkat kerentanan yang sama tetapi tidak dipungkiri pula bahwa pengkloningan banyak memberikan manfaat bagi dunia botani dan fauna. Pengkloningan ini dapat dikatakan baik apabila dilakukan dengan cara yang benar dan tidak menyalahi nilai-nilai dari manusia itu sendiri dan makhluk hidup yang dikloning, begitu juga sebaliknya. Selain itu pengkloningan manusia dirasakan kurang etis dan bertentangan dengan nilai yang ada dimasyarakat ini dikarenakan apabila hasil dari kloning itu dilakukan untuk tujuan pembuatan tranplantasi organ dan apabila pengkloningan itu tidak berhasil maka akan menghasilkan yang cacat. Walaupun dapat dimungkinkan berhasil dan calon pengkloningan ini tumbuh maka akan timbul masalah siapa yang akan merawatnya ? apakah mereka sama dengan manusia ? Kemajuan Teknologi selain memberikan titik terang bagi manusia tetapi juga dapat menimbulkan permasalahan dimana pertentangan dengan kepercayaan dari masyarakat, para ilmuan beranggapan bahwa pengkloningan sangat bermanfaat bagi manusia dan ilmu pengetahuan tetapi untuk kaum ulama berpendapat dan percaya bahwa kloning merupakan suatu perbuatan yang sangat bertentangan dan menyalahi kodrat mahluk hidup (manusia). Hal inilah yang menjadi masalahan perdebatan moral dari kedua belah pihak. Pengkloningan manusia dianggap kurang etis dikarenakan akan menimbulkan anggapan manusia bisa menciptakan manusia sehingga akan timbul penyimpangan keyakinan terhadap kepercayaan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah. Penyimpangan yang timbul yaitu penyimpangan dari kodrat itu sendiri untuk saling membina hubungan rumah tangga guna untuk melestarikan keturunan yang merupakan hasil dari hubungan manusia (antara laki-laki dan perempuan). Sesuai dengan perkembangan IPTEK mungkin dapat dilakukan, sehingga untuk hal ini diperlukan penanaman nilai-nilai serta menilai pengkloningan manusia sebagai hal yang sangat tidak etis dan untuk diperlukan pula pengaturan yang melarang hal tersebut, walaupun pengkloningan ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pertanian dan bioteknik lainnya tetapi pengkloningan bagi manusia tetap tidak dibenarkan (disetujui) karena hal ini sangat bertentangan dengan kepercayaan kita dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak semua teknologi mutahir berdampak baik bagi kehidupan manusia, sehingga untuk itu diperlukan suatu nilai-nilai yang sesuai dengan kepercayaan (ketaqwaan). Segala ilmu pengetahuan perlu dimiliki dengan ketaqwaan yang mana akan menjadi keseimbangan dan terhindar dari penyimpangan dan etika. C. ETIKA DALAM PERMASALAHAN IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHERS) Seorang ibu pengganti (surrogate mother) adalah seorang wanita yang secara artifisial

di inseminasi dengan sperma seorang pria yang bukan suaminya, ia mengandung kemudian menyerahkan bayi yang dilahirkan kepada pria tersebut untuk diasuh, hampir dalam semua kasus, pria memilih seorang pengganti karena isterinya infertil. Setelah lahir sang isteri akan mengadopsi anak tersebut. Tidak seperti surrogate gestational motherhood, yang melibatkan transfer embrio setelah fertilisasi in vivo atau in vitro (FIV), surrogate motherhood hanya tergantung pada teknologi inseminasi buatan. Alasan utama bagi penggunaan ibu penganti sebagai pilihan reproduktif adalah untuk menghasilkan seorang anak yang memiliki hubungan genetik dengan sang suami. Penggunaan istilah pengganti (surrogate) bagi wanita yang merupakan ibu gestational dan ibu pengganti dari anak tersebut tampak salah dipahami oleh orang, yang beranggapan bahwa ibu yang diadopsi adalah "pengganti" bagi ibu biologis yang telah menyerahkan anak tersebut. Meskipun demikian, sikap yang berlainan dapat diambil, karena wanita yang mengadopsi (adoptive woman) akan memainkan peran ibu yang utama dengan mengasuh anak tersebut, sementara ibu biologis berfungsi sebagai seorang pengganti dalam menyiapkan komponen untuk reproduksi yang tidak dimiliki adopsi. Meskipun istilah ibu pengganti bersifat ambiobous dan bukan merupakan istilah medis, istilah ini akan dipakai dalam tulisan ini untuk mengartikan seorang wanita yang mengandung dan memberi gestasi seorang anak untuk diasuh oleh seorang ayah biologis dan isterinya. Penggunaan seorang ibu pengganti yang memberikan oosit dan rahim bagi seorang anak, kini lebih menjadi umum, jika dibandingkan dengan penggunaan seorang ibu pengganti gestational, yang hanya memberikan rahim saja. Dibandingkan dengan teknologi reproduksi lainnya yang didiskusikan dalam laporan ini, ibu pengganti hanya diberikan sedikit perhatian dalam keputusan kedokteran. Dalam laporan-laporan Panitia Etik tahun 1986 dan 1990, pengganti (surrogacy) direkomendasikan jika dilakukan sebagai eksperimen klinis. Dalam rentang waktu 1986-1993, hampir tidak ada laporan yang ditinjau dalam kepustakaan medik yang dilakukan menurut pedoman yang direkomendasikan. Hanya terdapat satu studi retrospektif dalam kepustakaan medik dalam rentang waktu tersebut. Studi ini berkaitan dengan 44 kehamilan dengan ibu pengganti dari seorang dokter pribadi yang memiliki hubungan dengan pengacara hukum (Reame, 1990). Berbeda dengan pengganti lengkap (complete surrogacy), terdapat beberapa publikasi tinjauan medis tentang ibu yang menjadi ibu pengganti. 1. lndikasi Bila seorang wanita mengalami infertilitas, la dan suaminya mungkin membutuhkan bantuan dari seorang ibu pengganti untuk mengandung dan melahirkan anak bayinya. Sperma dari seorang suami digunakan untuk menginseminasi sang ibu pengganti yang akan menjalani kehamilan dan kemudian menyerahkan anak yang dihasilkan kepada pasangan suami isteri tersebut. Indikasi medis utama bagi penggunaan ibu pengganti adalah kemampuan seorang wanita untuk menyiapkan baik komponen genetik maupun gestational untuk pengasuh anak. Sebagai contoh, seorang wanita yang telah mengalami histerektomi yang dikombinasikan dengan pengangkatan ovaria dapat diindikasikan untuk hal tersebut. Ini merupakan situasi yang di dalamnya ibu pengganti memberikan satu-

satunya pemecahan masalah medis. Untuk indikasi lain, pilihan-pilihan medis lain juga mungkin, meskipun pilihan-pilihan ini tidak dengan mudah tersedia. Indikasi kedua bagi kepemilikan ibu pengganti adalah ketidakmampuan untuk memberikan komponen genetik, sebagai contoh, karena menopause prematur atau keinginan untuk tidak mengambil resiko dalam mewariskan suatu sifat genetik yang cacat. Karena situasi ini, seorang wanita dapat memiliki komponen genetik yang diberikan melalui oocyte atau donasi embrio, tetapi mungkin lebih sulit untuk rnendapatkan donor daripada ibu pengganti. Indikasi ketiga bagi penggunaan ibu pengganti adalah ketidakmampuan untuk memberikan gestasi. Seorang wanita dalam hipertensi berat, malformasi uterus, atau tiadanya uterus setelah mengalami histereletomi dapat memanfaatkan pelayanan seorang ibu pengganti. Jika wanita tersebut ingin memberikan komponen genetik bagi anaknya, ia dan suaminya dapat menciptakan suatu embrio in vitro, kemudian ditransferkan kepada seorang ibu pengganti. Penggunaan ibu pengganti juga tersedia sebagai suatu pilihan skunder bagi wanita yang memiliki infertilitas tipe lain. fada dasarnya, hal ini membatasi kebutuhan seorang ibu untuk memainkan peran biologis dalam reproduksi. 2. Prasyarat bagi Ibu Pengganti Prasyarat bagi ibu pengganti sama dengan prasyarat bagi ART lainnya, yakni berfokus pada dampak-dampak yang mungkin terjadi pada ibu pengganti, pasangan, anak yang akan dilahirkan, dan masyarakat. Karena kurangnya penelitian tentang masalah ini, sebagian besar resiko masih sangat bersifat spekulatif terdapat keprihatinan bahwa tidak layak untuk meminta seorang ibu pengganti untuk menjalani resiko fisik dari suatu kehamilan untuk menguntungkan orang lain. Juga terdapat keprihatinan bahwa ibu dapat dirugikan secara psikolokis dengan menyerahkan anak genetiknya. Terdapat pula beberapa ibu pengganti yang mengalami masa kedukaan setelah memberikan anaknya (Psychiatric News, 1984). Di samping kerugian yang mungkin diperoleh ibu pengganti, terdapat keprihatinan bahwa pasangan suami isteri dapat dirugikan oleh prosedur tersebut. Sang wanita mungkin dirugikan oleh tidak disediakannya akses bagi nasehat medis untuk membantu memecahkan infertilitasnya dengan cara lain. Pasangan tersebut mungkin dapat mengalami gangguan dari ibu pengganti yang mengetahui identitas pasangan tersebut dan mencari mereka setelah menyerahkan anak tersebut. Atau, jika ibu pengganti tersebut seorang teman atau kerabat, keterlibatannya yang berkesinambunsan dengan pasangan ini mungkin akan menyebabkan ketegangan dalam kasus perkawinan mereka. Demikian juga pasangan ini yang secara finansial dan emosional memiliki resiko karena status hukum yang tidak pasti dari prosedur tersebut. Jika ibu yang mengadopsi mengasuh anak tersebut, maka suami yang mengontrakkan mungkin harus memberikan bayaran dan dukungan karena ia adalah ayah biologis. Pasangan yang membayar seorang ibu pengganti dapat dituntut di bawah hukum pidana di negara-negara bagian Amerika Serikat yang melarang pembayaran biaya-biaya legal dan medis yang melampaui jumlah ditentukan dalam kaitan dengan penyerahan anak untuk diadopsi (Andrews, 1986). Dampak psikologis dan fisik pada anak juga merupakan suatu keprihatinan. Sang anak mungkin dirugikan jika lbu pengganti mewariskan suatu sifat genetik yang cacat. Kemungkinan ini serupa dengan resiko yang terkandung dalam menggunakan donor sperma. lbu

pengganti memiliki tanggung jawab untuk mengasuh seorang anak mungkin tidak akan cukup berhati-hati selama kehamilannya. Di samping itu, ibu pengganti mungkin akan kurang memberikan prioritas bagi janin dalam situasi yang terdapat konflik antara kebutuhan-kebutuhan material dan jenin. Selain itu, terdapat keprihatinan akan perkembangan psikologis dari sang anak, yang mungkin merasa membutuhkan informasi tentang lbu pengganti atau sebaliknya kurang mengetahui identitasnya. Jika lbu pengganti merupakan seorang kawan atau kerabat yang tetap memiliki kontak dengan anak tersebut, maka tidak jelas bagaimana dampak hubungan dua ibu terhadap terhadap perkembangan psikolobis sang anak. Sebagaimana dengan donasi sperma, oosit atau embrio, penggunaan ibu pengganti menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang etika keterlibatan donor dalam prokreasi. Terdapat keprihatinan bahwa keterlibatan seorang lbu pengganti akan melemahkan ikatan perkawinan dan merusak integritas lembaga keluarga. Beberapa komentar telah menyerukan keprihatinan bahwa jika ibu pengganti dibayar untuk pelayanan mereka, reproduksi manusia akan menjadi komersial, dan anak-anak mungkin akan dilihat sebagai barang konsumen (Hellgers, 1978). 3. Rekomendasi Panitia Etik ASOG (American Society of Abstetrics and Gynecology) Panitia berpendapat bahwa penggunaan ibu pengganti merupakan suatu masalah yang memerlukan keprihatinan yang penuh. Panitia tidak merekomendasikan penggunaan ibu pengganti untuk alasan nonmedis, seperti alasan untuk kemudahan bagi ibu mengasuh anaknya, karena alasan-alasan nonmedis tampak tidak memadai untuak membenarkan penggunaan ibu pengganti untuk menjalani resiko kehamillan dan kelahiran. Sementara itu, dalam hal ibu pengganti karena alasan medis, panitia dicemaskan oleh sedikitnya bukti empiris yang tersedia tentang bagaimana proses penggantian (surrogacy) berlangsung dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat. Meskipun demikian, proses ini memberikan harapan sebagai pemecahan masalah medis satu-satunya bagi infertilitas pada pasangan yang sang wanita tidak memiliki uterus atau tidak memproduksi telur atau tidak menginginkan resiko untuk mewariskan kecacatan genetik yang dimilikinya. Mungkin ada para praktisi medis individual atau kelompok medis yang diminta membantu pengaturan seorang ibu pengganti dan menemukan bahwa resiko prosedur melebihi keuntungan-keuntungannya, yakni bahwa prosedur tersebut tidak merupakan jalan terbaik bagi orang-orang yang terlibat. Dalam keadaan ini, dokter atau kelompok medis dapat menolak untuk berpartisipasi dalam pengaturan ibu pengganti tersebut. Panitia selanjutnya tidak merekomendasikan penerapan klinis yang luas dari ibu pengganti untuk saat ini. Karena resiko-resiko hukum, keprihatinan-keprihatinan etis dan dampak-dampak psikis dan fisik, penggunaan ibu pengganti tampaknya akan menjadi lebih problematik daripada sebagian besar teknologi reproduktif yang didiskusikan dalam laporan ini. Panitia merekomendasikan bahwa jika seorang ibu pengganti digunakan, maka sejumlah isu yang perlu dibahas mencakup : a. Dampak psikologis dari prosedur tersebut pada ibu pengganti, pasangan suami isteri dan anak yang dilahirkan; b. Kemungkinan dampak hubungan ikatan antara ibu pengganti dan janin dalam

kandungan; c. Pemantauan yang tepat terhadap ibu pengganti dan pria yang memberikan sperma; d. Kemungkinan bahwa ibu pengganti kurang memberikan perawatan yang tepat selama kehamilan; e. Dampak dari keadaan terpenuhinya atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dari ibu pengganti dan pasangan suami-isteri; f. Dampak pada keluarga ibu pengganti itu sendiri karena keikutsertaannya dalam proses ini; g. Dampak dari tersiarnya atau tidak tersiarnya penggunaan seorang ibu pengganti atau identitasnya pada anak; h. Cara-cara untuk menjamin bahwa ibu pengganti sepenuhnya diinformasikan dan diberi konseling (bimbingan) tentang partisipasinya, termasuk peran dari lembaga hukum yang independen; i. Masalah-masalah lain yang menyoroti dampak-dampak pengganti (surrogacy) pada kesejahteraan dari berbagai orang yang terlibat dan masyarakat. Panitia mempunyai alasan-alasan etis bagi penggantian (surrogacy) yang baru akan dapat dipecahkan sepenuhnya setelah tersedianya data untuk penilaian resiko dan kemungkinan manfaat dari allternatif ini. Mengingat dasar-dasar pertimbangan ini, beberapa anggota panitia menilai bahwa pergantian (surrogacy) tidak dapat direkomendasikan secara etis. Yang lain menyimpulkan bahwa surrogacy ini tidak dapat direkomendasikan sementara penelitian tentang masalah-masalah utama masih berlangsung. 4. Pengasuh Pengganti (Surrogate Parenting) Menurut Agama Islam Menjadi seorang ibu pengganti dapat dikatakan seperti menyewakan rahim karena anak yang dilahirkan secara hukum tidak menjadi miliknya, melainkan milik dari pasangan yang membayar ibu pengganti tersebut untuk tujuan tertentu. Di beberapa negara bagian USA hal ini merupakan usaha yang legal. Akan tetapi, di Inggris, tindakan ini belun dilegalisasikan. Prosedur ini memungkinkan pasangan yang infertil untuk memiliki, anak yang mempunyai keterkaitan genetik dengan suami jika sperma sang suami digunakan untuk memfertilisasi ovum dari wanita lain. Namun, timbul masalah dalam memfertilisasi ovum dari wanita lain yang bukan merupakan suaminya. Apakah ini dapat dipandang sebagai suatu perzinahan? Jelas hal ini bersifat ilegal menurut hukum Islam. Sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri dapat juga difertilisasi secara in vitro dan ditempatkan pada rahim dari ibu pengganti yang akan dibayar untuk melahirkan anak mereka. Anak tersebut akan memiliki keterkaitan genetik yang utuh dari pasangan yang mengkontrak. Adalah relevan di sini bahwa bila seorang muslim menyuruh anak mereka diberikan ASI oleh seorang ibu angkat, maka anak tersebut akan seperti anak dari wanita yang rnemberikan ASI / ibu susu (wet nurse) tersebut. Ibu susu (wet nurse) memberikan nafkah esensial dasar bagi anak yang telah dilahirkan sementara ibu penganti mengandung anak yang belum terbentuk hingga melahirkannya. Hal ini menimbulkan dua masalah langsung : a. Legalitas Kontrak Kontrak yang mengikat ibu pengganti dan pasangan yang menikah bagaimana pun secara hukum tidak dapat dibenarkan menurut Syariat Islam. Hal ini dianggap sebagai kontrak yang cacat pandangan ini mungkin dapat dijelaskan dengan menunjukkan

bahwa suatu kontrak penjualan hanya akan legal jika melibatkan transaksi-transaksi yang diizinkan Syariat Islam. Sebagai contoh, tidak ada transaksi legal yang melibatkan penjualan atau pembelian alkohol. Demikian juga kontrak antara pasangan suami-isteri dengan ibu pengganti menjadi cacat dalam arti bahwa (1) hal tersebut merupakan kontrak yang mengatur penjualan dari seorang manusia bebas dan dua (2) hal tersebut melibatkan suatu unsur penting dalam implantasi zinah (telur yang dibuahi diimplantasi tidak pada isteri, tetapi pada rahim ibu pengganti). b. Pertanyaan Tentang Pengasuh Seorang anak, baik yang sah maupun yang tidak sah, selalu memiliki seorang ibu. Ibu adalah orang yang melahirkan anak tersebut. Seorang anak yang dilahirkan menurut kontrak ibu pengganti akan menjadi tidak sah dalam Syariat Islam karena suami yang mengontrakkan tidak masuk dalam ikatan pernikahan dengan ibu pengganti yang melahirkan anak tersebut. Oleh karena itu, tidak ada tempat bagi penggunaan ibu pengganti dalam sistem Islam Karena kejahatan akan jauh lebih besar daripada kebaikan.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Manusia seperti kita berprokreasi juga karena cinta kita terhadap yang lain sebenarnya terhadap suatu misteri dalam hal ini, seperti yang menciptakan alam semesta ini. Etika dalam pelaksanaan dan kontrol dari berbagai penatalaksanaan Fertilisasi In Vitro, Pengkloningan dan Surrogate Mothers, dapat disebut sistem yang memperhatikan masalah penelitian embrio. B. Saran Dengan adanya makalah ini yang berisikan tentang Etika Fertilisasi In Vitro, Pengkloningan, Surrogate Mother yang dilakukan pada manusia diharapkan mahasiswa mengetahui, mengerti, dan memahami akan arti, manfaat serta akibat / dampak dari penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawikoharjo, Jakarta, 2001. Prof. Dr. Ratna Suprapti Samil, SPOG

KATA PENGANTAR Puji syukur penusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat hidayah-Nya lah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan makalah ini penyusun dapatkan dari beberapa buku sumber. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh sebab itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah yang akan datang. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun dibantu oleh berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah penyusun menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait. Akhirnya penyusun berharap semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Dan semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Pontianak, April 2008

Penyusun

NURYATI

DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Tujuan Penulisan 1 C. Metode Penulisan 1 D. Ruang Lingkup Penulisan 2 E. Sistematika Penulisan 2 BAB II ETIKA TEKNOLOGI MUTAKHIR REPRODUKSI MANUSIA A. Etika Fertilasi In Vitro 3 B. Etika Dalam Teknologi Kloning 9 C. Etika Permasalahan Ibu Pengganti (Surrogate Mother) 21 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 32 B. Saran 32 DAFTAR PUSTAKA 33

ETIKA TEKNOLOGI MUTAKHIR REPRODUKSI MANUSIA

DISUSUN OLEH:

NURYATI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK 2008


http://www.perfspot.com/blogs/blog.asp?BlogId=121155

Achmad Rizals blog


Secuil opini pribadi, tidak mewakili siapapun, cuma di sebentuk diri ini

Home BioSPIN RG Download Publikasi Short CV

ETIKA DAN HUKUM REPRODUKSI BUATAN


December 28th, 2010 | Author: Achmad Rizal Pendahuluan Obstetri dan ginekologi banyak berhubungan dengan masalah kelahiran, penuaan, reproduksi dan kematian yang sering mengundang dilema etik, hukum dan moral. Etik, moral dan hukum bertugas sebagai pengawal bagi kemanusiaan, yaitu untuk tetap manusiakan manusia, untuk memperadab manusia. Benturan dalam hal etik, hukum dan moral ini bisa terjadi karena perbedaan pemahaman akan keyakinan bagi masing-masing individu atau tiap-tiap kelompok berdasar sudut pandang dan kepentingan. Seringkali ada kesenjangan antara apa yang

sesungguhnya dengan apa yang sebaiknya, antara kearifan dan kebenaran terkait dengan tingkat keyakinan masyarakat yang semakin dinamis termasuk tentang teknik reproduksi buatan. Hak Reproduksi Teknik reproduksi buatan merupakan bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi. Teknik reproduksi buatan digunakan untuk mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan. Hak reproduksi tidak hanya berarti hak untuk memperoleh keturunan, tetapi lebih luas lagi berarti hak untuk hamil atau tidak hamil, hak untuk menentukan jumlah anak, hak untuk mengatur jaak kelahiran anak. Batasan Dan Beberapa Pengertian Yang Berhubungan Dengan Teknik Reproduksi Buatan Pada awalnya teknik reproduksi buatan hanya didefinisikan hanya terbatas pada penanganan gamet (sperma, ovum) atau embrio untuk menghasilkan kehamilan diluar cara alamiah, tidak termasuk didalamnya kloning atau penggandaan manusia. Pada perkembangannya teknik reproduksi buatan semakin berkembang menjadi beberapa teknik sebagai berikut 1. 2. 3. 4. 5. In Vitro Fertilization & Embryo Transfer (IVF & ET) Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT) Zygote Intrafallopian Transfer (ZIPT) Cryopreservation Intra Cytoplasmic Sperm Injection

Beberapa prosedur yang sering digunakan dalam teknik reproduksi buatan antara lain : PreImplantation Genetic Diagnosis (PGD) dan Sex Selection. Dalam perkembanganya teknik reproduksi buatan bukan hanya dibatasi seperti pada batasan di atas, tetapi muncul istilah lain : 1. 2. 3. 4. 5. Stem cell Human cloning Assisted hatching Follicular maturation Penelitian lain, misalnya transplantasi uterus, transplantasi ovarium, transplantasi endometrium, dan lain-lain

Kesemua perkembangan ini menimbulkan dilema dalam hukum dan etika yang berlaku di masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan antara iptek dan hukum dan etik. Iptek berkembang sesuai dengan deret ukur sedangkan hukum dan etika berkembang dengan deret hitung.

Beberapa Hukum Dan Etik Dari Berbagai Negara Dan Organisasi Inggris Inggris merupakan negara pertama yang mempunyai peraturan tentang teknik reproduksi buatan. Tahun 1982 dibentuk Committee of Enquiry into Human Fertillisation and Embryology yang dipimpin oleh Dame Mary Warnock. Komite ini bertujuan untuk memberi masukan, pandangan dan pertimbangan pada pemerintah menyangkut aspek-aspek sosial, hukum, etika dan moral di masyarakat yangberkaitan dengan perkembangan fertilisasi manusia dan embriiologi. Komite ini terkenal dengan Warnock Report-nya pada tahun 1984 yang menekankan pentingnya pengaturan tentang teknik reproduksi buatan Tahun 1990 dibentuk suatu badan independen yang dinamakan Human Fertillsation and Embriology Authority (HFEA) yang berfungsi sebagai penasehat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian reproduksi buatan dan pemberian ijin legalnya, serta melakukan pengawasan terhadapnya. Beberapa kebijakan HFEA melarang : 1. penelitian dan penyimpanan terhadap embrio manusia yang berusia lebih dari 14 hari 2. menyimpan gamet atau embrio manusia pada binatang atau sebaliknya 3. menyimpan atau menggunakan embrio manusia untuk tujuan lain, selain untuk tujuan memperoleh keturunan bagi pasangan yang diatur peraturan lain 4. melakukan cloning untuk tujuan reproduksi manusia The International Islamic Center For Population Studies and Research Dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh The International Islamic Center For Population Studies and Research bertempat di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dihasilkan pernyataan antara lain: 1. Fertilisasi in vitro diperbolehkan, kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio didapat dari donor 2. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk menghindari adanya penyakit genetis, tetapi sex selection tidak diperbolehkan 3. Penelitian untuk pematangan folikel ( follikel maturation), pematangan oosit in-vitro atau pertumbuhan oosit in-vitro diperbolehkan 4. Implantasi embrio pada suami yang telah meninggal, belum mempunyai keputusan yang tetap 5. IVF pada ibu pasca menopause dilarang, karena beresiko tinggi pada ibu dan bayinya 6. Transplantasi uterus masih dalam pertimbangan, penelitian pada binatang diperbolehkan 7. Penggunaan stem cells untuk pengobatan masih dalam perdebatan, diharapkan dapat disetujui 8. Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang FIGO

Beberapa ketentuan etik yang dikeluarkan FIGO antara lain: 1. Preconceptional sex selection untuk maksud diskriminasi seks dilarang, tetapi untuk menghindari penyakit tertentu, misalnya sex-linked genetic disorders, penelitiannya dapat dilanjutkan. 2. Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang 3. Theraupetic cloning (stem cell) dapat disetujui 4. Penelitian pada embiro manusia, sampai 14 hari pasca fertilisasi (pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku: 1.
o o o o o

diperbolehkan apabila tujuannya bermanfaat untuk kesehatan manusia harus mendapat ijin dari pemilik pe-embrio harus disyahkan oleh komisi atau badan khusus yang mengatur hal tersebut tidak boleh ditransfer ke dalam uterus, kecuali untuk mendapatkan outcome kehamilan yang lebih baik tidak untuk tujuan komersial

1. Tidak etis melakukan hal-hal berikut:


melakukan penelitian, seperti kloning setelah masa pre-embrio ( 14 hari setelah fertilisasi) mendapatkan hybrid dengan fertilisasi inter-spesies implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain manipulasi genome pre-embrio, kecuali untuk tujuan pengobatan suatu penyakit

Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam: 1. UU Kesehatan no. 23 tahun 1992, pasal 16 menyebutkan antara lain: 1. Kehamilan diluar cara alami dapat dilakukan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami-istri mendapatkan keturunan 2. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah dengan ketentuan 1. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim istri, darimana ovum itu berasal 2. dilakukan oleh ahli kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu 3. pada sarana kesehatan tertentu 3. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 2. Keputusan Menteri Kesehatan no 72/Menkes / Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup

Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa: 1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan 2. Pelayanan reproduksi buatan menrupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan 3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan: 4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun 5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio 6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas 7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi 8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku) 9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal. 10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel. Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri dst; menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia; mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada : 1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal. 2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri. Dilema Etik Dan Hukum, Sikap Profesi Dalam Teknik Reproduksi Buatan Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi kepentingan saja. Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari.

Sumber: beberapa artikel di eramuslim dan lain-lain Posted in biomedis, it telkom, Kesehatan, Publikasi, renungan | Tags: achmad rizal, instrumentasi biomedis, it telkom, Kesehatan, Penelitian

One Response to ETIKA DAN HUKUM REPRODUKSI BUATAN


http://arl.blog.ittelkom.ac.id/blog/2010/12/etika-dan-hukum-reproduksi-buatan/

Blog Archives
Sel Induk dan Toko Organ Tubuh Manusia : Suatu Tinjauan Teknis dan Etis
Jul 25 Posted by Slamet Haryono Disusun Oleh : Slamet Haryono (412000011), Tri Hatmoko (412000030), Okie Wisnu Adityo (412000041), Kunto Wibisono (4120000047)

ABSTRAK Dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan manusia terutama penanganan terhadap penyakit menurun yang hampir bisa disebut permanen seperti diabetes melitus, telah banyak dilakukan penelitian. Salah satu kemajuan dari penelitian yang cukup membantu adalah dikembangkannya teknik dengan memanfaatkan Embryonic Stem Cell. Teknik ini cukup membantu penanganan masalah tersebut selain dengan cara lama yaitu transplantasi. Teknik transplantasi telah banyak dilakukan dan tidaklah terlalu rumit, seperti halnya transfusi darah, dan trasnplantasi ginjal. Namun demikian penggunaan Embryonic Stem Cell masih sedikit dilakukan. Prinsip dasar dari penggunaan Embryonic Stem Cell adalah dengan cara melakukan pembuahan ovum dengan sel sperma secra in vitro untuk kemudian pada hari ke lima atau pada fase blastula dilakukan isolasi terhadap inner cell dan ditumbuhkan pada medium dengan faktor tumbuh tertentu. Diharapkan dari sel sel yang telah diisolasi tersebut dapat dihasilkan jaringan atau organ seperti yang dikehendaki.

Baik teknik transplantasi maupun dengan Embryonic Stem Cell sama-sama mempunyai konsekuensi yang juga harus dipertimbangkan, mengingat objek yang digunakan adalah organ hidup dan untuk diberikan pada manusia. Pertimbangan tersebut meliputi : kecocokan organ, biaya, jarak, serta status moral. Disamping itu juga harus dihadapkan kendala teknis di laboratorium seperti pada waktu isolasi inner cell pada blastosis. Dalam kenyataannya permintaan akan organ ataupun jaringan tertentu terus meningkat, dan mau tidak mau penggunaan Embryonic Stem Cell ataupun transplantasi terus dilakukan, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah perlunya adanya pengaturan ataupun pembatasan terhadap penggunaan jaringan ataupun organ hidup dari manusia serta perlunya dilihat kembali tujuan dari pengguaan barang-barang tersebut. Selain dari pada itu motif pelayanan terhadap masyarakat lebih dapat diterima daripada motif komersialisasi jaringan ataupun organ tubuh manusia. Kata Kunci : Sel Induk, Bioetik, Toko Organ I. Pendahuluan Dewasa ini perhatian masyarakat dunia begitu serius terhadap permasalahan kesehatan manusia. Berbagai penelitian gencar dilakukan dalam rangka meningkatkan tingkat kesehatan manusia terutama dalam penanganan penyakit yang berkaitan dengan kelainan fungsi organ. Sebagai contoh seperti dikutip dari internet[1] bahwa kebutuhan akan organ donor di Amerika Serikat pada tahun 2002 mencapai 81.000, sedangkan organ transplan yang terpenuhi sekitar 23.000 organ dengan perkiraan 68 orang menerima organ dalam satu hari dan 17 orang meninggal selama dalam penantianya. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara permintaan organ dengan jumlah organ yang tersedia. Berbagai upayapun telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan penyediaan organ tersebut, namun belumlah mencukupi mengingat jumlah permintaan yang meningkat tiap tahunnya. Dalam perkembangannya semenjak tahun 1959 tentang keberhasilan pembuahan in vitro[2] pada kelinci sampai saat ini telah mengalami banyak perkembangan yaitu keberhasilan dalam membiakkan jaringan manusia seperti sel islet pankreas, neuron, sel otot cardiac yang kesemuanya itu berasal dari Embryonic Stem Cell (ESC) [3]. Jaringan yang telah berhasil ditumbuhkan tersebut kemudian dapat ditransplantasikan pada manusia sebagai suatu solusi atas berbagai permasalahan kesehatan, terutama penyakit turunan secara genetis. Terapi ESC cukup memberikan harapan bagi para penderita penyakit turunan secara genetis yang relatif permanen seperti alzheimer, diabetes melitus, kerusakan permanen pada jaringan atau organ vital. Keberhasilan dari teknologi tersebut tidak lepas dari pengembangan prinsip kultur sel. Terutama sel induk embrionik (ESC). Stem cell atau sel induk adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk membelah diri menjadi organisme utuh, dalam kondisi in vivo[4] dikarenakan sel tersebut masih memiliki kemampuan totipotensi[5]. Dalam medium pertumbuhan secara in vitro memerlukan kondisi yang tepat, atau diberikan perlakuan yang benar, yang kemudian dapat berdiferensiasi menjadi berbagai bentuk tipe sel yang menyusun suatu organisme. Stem cell mampu tumbuh menjadi sel yang matang dengan bentuk dan fungsi yang khas seperti sel hati, sel kulit, atau sel syaraf dan menjadi organisme normal (in vivo) atau dengan kata lain sel tersebut berkembang secrara pluripotensi[6]. Berdasarkan asalnya stem cell dapat berasal dari embrio

yaitu dengan membuahkan sel sperma dan sel telur secara in vitro yang kemudian ditumbuhkan dalam medium. Pada hari yang ke lima atau pada fase blastosis[7] dilakukan isolasi bagian inner cell[8] dan ditumbuhkan pada medium yang diperkaya dengan faktor tumbuh. Stem Cel yang diperoleh dengan cara demikian disebu sebagai embryonic stem cell. Stem sel juga dapat diperoleh dari sel tubuh pada organisme dewasa atau disebut sebgai adult stem cell. Pada makalah ini, pembahasan dibatasi pada penjelasan teknik transplantasi baik jaringan maupun organ yang diperoleh dari pendonor maupun disintesis secara in vitro. Pembahasan selanjutnya merupakan kajian terhadap beberapa permasalahan sebagai konsekuensi dari penggunaan teknik tersebut dan berbagai pertimbangan etis. II. LEBIH LANJUT TENTANG TEKNIK TRANSPLANTASI Prinsip dasar dari transplantasi[9] adalah pemindahan jaringan atau organ hidup dari satu orang ke orang lain. Namun dalam perkembangannya transplantasi juga dapat dilakukan antar spesies. Dalam dunia medis, transplantasi yang sering dilakukan adalah transplantasi jaringan kornea ataupun transfusi darah. Hal itu dianggap sebagai suatu prosedur yang sudah lazim. Namun demikian untuk transplantasi pada organ yang lain menimbulkan berbagai permasalahan baik secara teknis maupun etis, misalnya transplantasi ginjal, hati dan jantung. Teknik transplantasi tersebut sebenarnya tidaklah terlalu rumit, hanya saja dibutuhkan prosedur yang cukup panjang agar dapat dilakukan transplantasi. Mulai dari membuat surat perjanjian sampai dilakukan pemeriksaan medis untuk menentukan tingkat kesehatan dan kecocokan jaringan atau organ dari pendonor. Setelah dilakukan proses transplantasipun masih harus dilakukan pemeriksaan secara berkala untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut. Permasalahan teknis yang paling mendasar adalah berkenaan dengan pengadaan jaringan atau organ tersebut, mengingat bahwa jaringan atau organ yang dibutuhkan terlampau banyak dibandingkan dengan jaringan atau organ yang tersedia. Untuk mendapatkan organ yang diinginkan masyarakat cenderung mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah organ yang diinginkan dan kurangnya peran masyarakat yang berperan sebagai pendonor. Berdasarkan pada permasalahan di atas tercetus suatu gagasan untuk mendirikan pabrik organ atau toko organ. Pabrik organ atau toko organ merupakan suatu tempat/instansi yang membuat dan menyediakan organ, baik yang digunakan untuk penelitian maupun proses pengobatan yang memerlukan bagian anggota tubuh. Atas dasar pemikiran itulah berbagai upaya untuk mengadakan jaringan atau organ secara in vitro banyak dilakukan. Pengadaan organ secara in vitro tersebut menggunakan embryonic stem cell. Embryonic stem cell dihasilkan dari pembuahan secara in vitro sel sperma dan sel telur yang kemudian pada hari ke lima atau pada fase blastosis yang kemudian dilakukan isolasi pada selsel bagian dalam. Sel-sel bagian dalam tersebut ditumbuhkan dalam suatu medium yang diperkaya dengan faktor tumbuh tertentu sehingga dapat menghasilkan jaringan ataupun organ seperti yang diharapkan. Sel-sel yang dihasilkan tersebut secara pluripoten dapat membentuk jaringan embrionik. Jaringan-jaringan embrionik yang diproduksi dapat digunakan untuk membuat organ. Organ-organ tersebut dapat digunakan untuk mengganti salah satu bagian tubuh kita yang tidak berfungsi dengan semestinya atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Untuk

mendapatkan organ tersebut, kita tidak harus menunggu kematian seseorang atau sumbangan dari beberapa orang yang merelakan beberapa anggota tubuh untuk kepentingan suatu pihak. III. BERBAGAI MASALAH TEKNIS DAN ETIS Dalam praktek kesehariannya, transplantasi jaringan ataupun organ mendatangkan berbagai permasalahan teknis maupun etis. Permasalahan itu hendaknya dijadikan sbeagai suatu bahan evaluasi baik oleh para ahli maupun masyarakat awam untuk dapat mengetahui dan memberikan suatu penilaian maupun keputusan yang tepat mengenai transplantasi. Secara umum teknik transplantasi memberikan harapan yang besar bagi para penderita penyakit kronis yang berkenaan dengan kelainan fungsi jaringan atau organ. Akan tetapi sebagian penderita yang melakukan transplantasi hanya bertahan beberapa bulan atau beberapa tahun saja, terutama transplantasi organ yang sangat vital seperti jantung, hati dan ginjal. Sementara itu biaya yang diperlukan sangat banyak. Berikut kami sajikan beberapa masalah teknis dan etis mengenai transplantasi jaringan atau organ : A. Ketidakcocokan Organ antara Pendonor dan Resipien. Baik organ yang berasal dari pendonor ataupun disintesis secara in vitro mempunyai peluang yang cukup besar terjadi ketidakcocokan. Hal ini disebabkan karena masing-masing tubuh pasien mempunyai karakteristik yang berlainan. Dalam penelitian ilmiah diupayakan terus-menerus materi yang tidak merusak darah atau substansi organis lain yang terkena alat atau organ artifisial (buatan) itu. Misalnya, material/substansi yang terdapat dalam organ artifisial itu harus dapat mencegah terjadinya penggumpalan darah dan tidak boleh merusak sel-sel darah merah. Organ organ yang akan ditransplantasikan harus bebas dari kemungkinan yang merugikan resipien seperti adanya interferensi dalam organ transplantasi terhadap fungsi-fungsi organ normal yang lain. Kemudian, ketidakcocokan pasien dengan organ baru yang ada yang mengakibatkan tubuh kehilangan kemampuan dalam perlindungan terhadap infeksi. Penolakan terhadap organ yang baru ditanamkan tersebut umumnya disebabkan oleh adanya kepekaan sistem kekebalan. Untuk mengatasi masalah ini telah ditemukan obat penurun kepekaan yang disebut cyclosporin. Penolakan tersebut juga akan relatif kecil jika organ transplan tersebut berasal dari sel tubuhnya sendiri (in vitro). B. Isolasi Inner Cell Dan Penumbuhan Pasca Blastosis (secara in vitro) Pada tahap ini para pakar mengalami banyak kesulitan untuk dapatmengisolasi inner cell secara lengkap tanpa merusak kemampuan sel tersebut untuk tumbuh. Selanjutnya adalah sulitnya pengaturan untuk menghasilkan kultur jaringan atau organ seperti yang diharapkan meskipun telah ditambahkan faktor tumbuh tertentu. Hal ini tentunya akan banyak dibutuhkan stem cell embryonic untuk menjadi satu organ saja yang diharapkan. Pada tahap ini juga mendatangkan satu permasalahan etis yaitu dihilangkannya kemampuan embrio untuk tumbuh menjadi individu baru yang utuh. Dengan kata lain sel tersebut telah dieuthanasia[10], karena sel tersebut

kehilangan kemampunanya untuk tumbuh menjadi organisme utuh, sehingga cukup beralasan untuk dilakukan berbagai peerlakuan laboratorium termasuk dibinasakan. C. Terjadinya Pemborosan Sel Sperma Dan Sel Telur (secara in vitro) Untuk memperoleh jaringan atau organ yang ditumbuhkan secara in vitro dibutuhkan banyak sel sperma dan sel telur, mengingat tidak semua stem cell embryonic tersebut dapat menghasilkan jaringan atau organ seperti yang diharapkan. Bisa dibayangkan untuk menghasilkan sebuah jaringan atau organ saja harus rela mengorbankan puluhan embrio mati secara sia-sia. Selama proses ini, sel sperma dan sel telur wanita yang digunakan seakan akan tidak memiliki arti selain hanya sebagai materi yang digunakan untuk penelitian. Selain masalah yang timbul akibat eksploitasi sel sperma dan sel telur tersebut, terdapat beberapa masalah lain yang masih berkaitan dengan penggunaan sel telur tersebut. Sel telur wanita yang telah dibuahi maupun yang belum dibuahi merupakan calon individu baru. Dapat dikatakan demikian karena individu baru didapatkan dari sel telur yang telah dibuahi. Berdasarkan hal tersebut, sel telur dipandang sebagai cikal bakal adanya kehidupan baru atau individu baru. Sedangkan pada riset mengenai sel induk (ESC), sel telur hanya dipandang sebagai barang atau sarana yang dieksploitasi untuk tujuan mendapatkan sel induk sebagai media riset atau penelitian. D. Status Moral Embrio (secara in vitro) Sel induk didapatkan dari proses fertilisasi in vitro yang membutuhkan pengambilan dan pembiakan sejumlah sel telur. Selama proses ini berlangsung, maka akan tampak sel-sel telur yang telah dibuahi. Sel-sel telur atau embrio tersebut baik yang akan digunakan untuk penelitian maupun yang terbuang sia-sia sebenarnya mempunyai hak/peluang yang sama untuk dapat berkembang menjadi individu baru. Bagaimanapun juga embrio ini, meskipun tidak menjadi suatu individu, memiliki hak hidup yang sama seperti yang kita miliki. Namun demikian dalam prosedur laboratorium kita seolah membatasi hak dan kita menjadi hakim atas embrio tersebut. E. Awal Mula Kehidupan (secara in vitro) Terdapat perbedaan pendapat yang sangat pelik mengenai awal mula sebuah kehidupan. Kalangan pertama menganggap bahwa kehidupan itu sudah ada semenjak terjadi pembuahan. Sementara itu pihak lain mengatakan bahwa pada stem sel embrionik belum merupakan suatu kehidupan mengingat bahwa pada stem sel embrionik tidak dapat tumbuh menjadi individu yang utuh, tetapi hanya merupakan jaringan atau organ tertentu. Sehingga berbagai perlakuan tertentu terhadap stem cell embryonic masih sangat manusiawi. Perdebatan inipun masih terus dilakukan tetapi nyatanya praktek menggunakan embrio justru malah bertambah. F. Ironisme Alasan Transplantasi Secara In Vitro Terdapat suatu pertimbangan yang mendasar mengenai alasan dilakukannya kultur jaringan atu organ secarin vitro yaitu sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan manusia dan sebagai solusi atas berbagai permasalahan berkenaan dengan kelainan fungsi organ tertentu. Namun demikian untuk dapat menghasilkan suatu organ harus rela mengorbankan puluhan embrio untuk mati sia-sia.

G. Perdebatan Tentang Kapan Tepatnya Seseorang Mati Sampai sejauh ini kalangan medis menggunakan ukuran kematian otak sebagai dasar untuk menentukan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia. Sedangkan para kalangan religius masih bersikeras bahwa kematian status kematian seseorang tidak hanya ditentukan melalui kematian otak, akan tetapi kematian sesorang lebih ditentukan sebagai suatu peristiwa terlepasnya jiwa dari tubuh tersebut. Namun penentuan lepasnya jiwa atau raga tidak dapat ditentukan secara empirik. Dalam hal ini manakala kematian seseorang hanya ditentukan dari kematian otak maka seolah terkesan bahwa manusia menjadi hakim atas hidup dan matinya seseorang. H. Masalah Jarak Dan Biaya Permasalahan jarak dan biaya merupakan permasalahan yang sangat teknis. Mengingat ketersediaan organ transplan boleh jadi jauh dari tempat resipien berada sementara itu dituntut kesegaran dari transplan. Selain daripada itu biaya yang digunakan untuk proses transplantasi sangat mahal. Kalaupun transplantasi dapat dilakukan masih juga beresiko terjadinya ketidak cocokan serta kemampuannya untuk dapat memepertahankan hidup tidaklah terlalu lama. Sehingga dapat pula dilakukan perenungan ulang sebelum dilakukan transplantasi termasuk untung dan ruginya. I. Organ tak Berpasangan Transplantasi akan cenderung tak bermasalah (secara etis) jika transplan yang digunakan merupakan jaringan sederhana ataupun organ yang berpasangan. Namun demikian pada organ yang tidak berpasangan seperti hati, jantung dan pankreas akan menimbulkan permasalahan baru yaitu si pendonor harus dalam keadaan meninggal dunia. Mengingat bahwa organ tersebut sangan vital keberadaanya. J. Komersialisasi Jaringan Atau Organ Terdapat suatu kekhawatiran besar oleh para kaum religius bahwa pabrik atau toko organ didirikan hanya untuk kepentingan bisnis semata. Dengan berkedok membantu kepentingan membantu kepentingan kesehatan. IV. KESIMPULAN Sebagai manusia yang berakal budi dan juga sebagai makhluk sosial sudah menjadi kewajiban untuk saling membantu satu dengan yang lainya mengingat bahwa hakikat dari makna kehidupan tersebut menjadi berarti jika ada orang lain. Wujud nyata dari kewajiban tersebut adalah kepedulian untuk memberikan sumbangan jaringan ataupun organ tubuh kita. Yang paling sederhana adalah dengan mendonorkan darah kita. Hendaknya para pendonor telah sepakat dengan suatu perjanjian untuk memberikan organ tubuhnya kepada orang lain meskipun penentuan kematiannya berdasarkan kematian otak. Hal ini dimaknai bukannya sebagai suatu tindakkan melangkahi wewenang Tuhan tetapi pemberian

organ tersebut dilakukkan sebagai upaya untuk mensejahterakan kehidupan orang lain. Toh kalaupun kita meninggal dengan tubuh yang utuhpun akan membusuk dan tidak berguna, bukankah lebih baik itu dapat digunakan orang lain. Berbagai upaya untuk mengadakan organ secara in vitro hendaklah dimaknai sebagai suatu upaya untuk membantu penderitaan orang lain, bukannya sebagai suatu motif bisnis belaka. Lebih jauh diharapkan penggunaan organ buatan tersebut bersifat pemberian ataupun jika memang harus membayar tentunya dengan harga yang sekecil mungkin. Di sisi lain penggunaan sel sperma dan sel telur juga harus dibatasi untuk keperluan medis yang bersifat unuk menolong penderitaan orang lain. V. REFERENSI Djati, M. S. , 2003. Diskursus Teknologi Embryonic Cells dan Kloning Dari Dimensi Bioetika dan Religiositas. Jurnal Universitas Paramadina.Vol 3 No.1: 102-123. Dole,V.P. , 1969. Ethical Aspect andsociological implication of organ transplantation as a therapeutic procedure. Proc Nath Acd Sci USA : Vol 63 . Gage, F.H. dan I.M.Verma, 2003. Stem cells at the dawn of the 21st century. Proc Nath Acd Sci USA : Vol 100: 11817-11818. Gilbert, D.M. 2004. The Future of Human embryonicStem cell research : addresing ethical ethical conflict with responsible scientificreseach. Med Sci Monit: 10(5):RA99-103. Meyer, J.R. 2000. Human Embryonic Stem Cells and Respect for Life. Journal of Medical of Ethics. Vol 26:166-170. Whestine, L. , K. Bowman, L. Hawryluck. 2002. Pro/Con Debate: Is Nonheart-Beating Organ Donation Ethically Acceptable ?. Crutical care:6: 192-195. Yannas, I.V. , 2000. Synthesis of Organ : In vitro or In vivo. Proc Nath Acd Sci USA : Vol 97: 9354- 9356.
http://slamethdotkom.wordpress.com/tag/etika/

You might also like