You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG
Kaidah fiqh adalah prinsip-prinsip umum yang mewadahi hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan definisi seperti ini maka kaidah fiqh bisa disebut dengan hukum kulli yang mengandung beberapa cabang fiqh di dalamnya. Kaidah fiqh membingkai diktum-diktum hukum menjadi sebuh maxim atau jargon umum yang memuat contohcontoh pelaksanaan hukum. Dalam praktiknya, kadang terdapat sejumlah contoh pengecualian yang tidak bisa ditarik garis lurus pada kaidah fiqh. Karena itu, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, guru besar syariah dan perundang-undangan Universitas Damaskus, menyebut kaidah-kaidah fiqh dengan ahkam aghlabiyyah (hukum-hukum yang berlaku pada biasanya). Artinya, kaidah fiqh pada umumnya mencakup contoh-contoh fiqh pada tataran cabang sesuai tema, dengan tidak menutup kemungkinan terdapat hukum-hukum tertentu tidak masuk di dalamnya sebagai pengecualian. Sungguhpun kaidah fiqh merupakan hukum-hukum kebanyakan atau kebiasaan, namun hal ini tidak dapat menyurutkan epistemologi ini dari blantika kajian ilmiah di bidang fiqh. Nilai keilmiahan kaidah fiqh dapat tercermin dalam upaya pemberian prinsip-prinsip dasar terhadap cabang-cabang fiqh yang terfragmentasi pada banyak tema dan sub tema fiqh. Bisa dibanyangkan bagaimana sulitnya cabang-cabang fiqh ini diakses oleh setiap orang tanpa merujuk pada prinsip-prinsip umum fiqh yang dapat menaungi semua komponen di level juziyyat-nya. Kaidah fiqh dengan demikian sangat bermakna dalam upaya mensistematisasi fiqh yang tak terkira jumlanya menjadi jargon-jargon umum yang sangat mudah diingat dan dipelajari. Dari sini tegaslah bahwa fiqh itu merupakan hasil ijtihad ulama. Dalam ijtihad, tentunya memerlukan alat-alat tertentu untuk menghasilkannya. Salah satu yang paling utama adalah `ushl fiqh. Selain dari `ushl fiqh, ada juga ilmu qawid al-fiqh (kaidahkaidah fiqh).

Karena pada tiap daerah situasi dan kondisi yang berbeda-bea secara otomatis qawid al-fiqh pun mengalami perkembangan pada aplikasinya menyesuaikan dengan keadaan yang dapat mendatangkan kemaslahatan yang begitu banyak.

B. FOKUS MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Pengertian qawid al-fiqh. 2. Biografi Imam Abu Hanifah 3. Sejarah kaidah fiqh dan kitab-kitabnya.

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan utama penulisan makalah ini adalah memberi informasi tentang masalah bentuk kaidah fiqih imam Abu Hanifah dalam prkateknya di masyarakat dijaman sekarang, agar kelak dikemudian hari para mahasiswa terutama penulis sendiri mampu:
1. Berpikir dan bekerja secara ilmiyah; 2. Merencanakan penulisan; 3. Melaksanakan tugas dengan baik; 4. Menuliskan karya dengan baik; 5. Mempertanggungjawabkan apa yang dipaparkan dari penulis.

BAB II PEMBAHASAN A. PENGENALAN KAIDAH FIQH


Kata yang bentuk jamaknya secara bahasa bermakna: asas () yaitu pondamen/dasar.1 Seperti kata bermakna: kaidah segala sesuatu itu berarti: yaitu: dasar segala sesuatu. Ini juga ditetapkan dengan firman Allah
SWT: { } yang berarti: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim

meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail.2 Sedangkan secara istilah menurut ulama itu adalah sebagai berikut: 1. al-Jurjn: ( ] ketentuan yang global yang diperuntukkan terhadap seluruh juz-juznya).3 2. al-Tahnaw: ... ( ] Kaidah secara istilah ulama itu dimutlakkan terhadap makna-makna yang sinonim dengan asal, kanun, masalah, dlbith, dan tempat tujuan. Dan aku mendefinisikanny dengan perkara yang global yang cocok terhadap semua juznya ketika mengetahui hukum-hukumnya juz dari perkara global tersebutdan perkara tersebut itu jelas bagi orang yang terus-menerus menggunakannya. Sesunggunya kaidah itu yang sejenis global yang mudah mengetahui keadaan-keadaan juz-juz dari kaidah tersebut).4 Akan tetapi, pengertian ini hanya melambangkan sebuah istilah secara umum bagi kata .Istilah seperti ini hanya berlaku secara umum dari berbagai bidang

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir- Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 24. 2 Muhammad Nr al-Dn Marb Banjar al-Makk, al-Durarr al-Bahiyyah f `dlhi al-Qawid alFiqhiyyah (Alor Setar: Pustaka Darussalam, 2002),hal. 9. 3 Al bin Muhammad al-Syarf al-Jurjn, Kitb al-Tarft (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), 171. 4 Muhammad `Al bin Al, Kasyf `Ishthilht al-Funn, ed. Luthf Abd al-Bad (Beirut: Syarikat Khiyth li al-Kutub wa al-Nasyr, 1963), vol. 5, 1176-7.

keilmuan. Ini dikarenakan bagi setiap ilmu itu tentunya memiliki kaidah. Seperti kaidah ilmu nahwu, ilmu `ushl, dan ilmu perundangan.5 Sedangkan ulama fiqh mengibaratkan kata secara langsung dengan berbagai pendapat di kalangan imam mazhab sebagai berikut: 1. al-Hamaw al-Hanaf: ( Sesungguhnya kaidah menurut ulama fiqh itu berbeda dengan pendapat ahli nahwu dan `ush karena kaidah menurut ulama fiqh itu adalah hukum kebanyakan bukan global yang menjadi cocok terhadap banyak juz-juznya agar dapat mengetahui hukum-hukumnya juz dari hukum awal tadi).6 2. al-Maqqar al-Mlik: ( Yang aku maksud dengan kaidah adalah segala perkara yang global yang mana lebih khusus dibandingkan dengan `ushl dan makna-makna yang lain yang sejenis akal yang umum. Dan ia lebih umum dibandingkan ikatan-ikatan tertentu dan sejumlah batasan-batasan fiqh yang khusus).7 3. Tj al-Dn al-Subk al-Syfi: 8 ( Kaidah adalah perkara yang global yang cocok dengannya juz-juz yang banyak yang mana perkara tersebut dapat memberi kefahaman terhadap hukumhukumnya juz dari kaidah). 9 4. Mushthaf al-Zarq: ( ] Kaidah adalah dasar-dasar fiqh yang bersifat global di dalam bentuk nash-nash yang ringkas yang bersifat dasar yang mengandung hukum-hukum syariat yang umum di dalam beberapa perkara yang baru jadi yang mana masuk di bawah ruanglingkupnya).10

5 6

Al `Ahmad al-Nadw, al-Qawid al-Fiqhiyyah, (Damascus: Dr al-Qalam, 2007), hal. 41. `Ahmad bin Muhammad al-Hasan al-Hamawi, Ghamzu Uyn al-Bash`ir (Cairo: Dr al-Thabah almirah, 1357 H), vol. 1, hal. 22. 7 Abd `Allah bin Muhammad al-Maqqar, al-Qawid (Mekkah: Jmiah `Umm al-Qur, t.t.), hal. 212. 8 Redaksi lain ,Lihat: al-Nadw, al-Qawid al-Fiqhiyyah, hal. 41. 9 Tj al-Dn bin Abd al-Wahhb al-Subk, al-`Asybh wa al-Nazh`ir, ed. dil `Ahmad Abd al-Maujd & Al Muhammad Iwadl (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H), vol. 1, hal. 11. 10 Mushthaf `Ahmad al-Zarq, al-Madkhal al-Fiqh al-mi (Damascus: Mathbaah Jmiah Dimasyq, 1983), vol. 2, hal. 941.

Definisi yang diberikan al-Hamaw al-Hanaf dan lainnya secara tegas menunjukkan kaidah fiqh adalah sebuah hukum yang menjadi kebanyakan (mayoritas). Ini dikarenakan masih menyisihkan pengecualian bagi kasus-kasus tertentu bagi kaidah tersebut. Oleh karena itu setengah ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa kebanyakan kaidah fiqh itu adalah sebangsa mayoritas 11. Definisi yang diberi oleh al-Maqqar itu sudah sesuai dengan konteks kaidah fiqh. Ia sudah mengeluarkan kemungkinan dari di masuknya ke dalam istilah ilmu `usl atau dlbith. Akan tetapi ia masih terdapat kesamaran yang tidak dapat menunjukkan gambaran yang jelas bagi kaidah fiqh.12 Definisi yang secara langsung menyebutkan konteks hukum sudah tepat pada sasaran karena akan berfaedah untuk menghilangkan pemaknaan kepada konteks yang lain dan ia juga pasti menetapkan . Akan tetapi ia tidak secara fasih menjelaskan makna yang sempurna bagi kaidah fiqh disebabkan definisi ini tidak mencegah dari pemahaman konteks fan ilmu yang lain yaitu selain fiqh.13 Oleh karena itu, definisi yang paling sesuai dan dapat secara tepat memberi kefahaman tentang kaidah fiqh adalah definisi yang Ustaz Mushthaf `Ahmad al-Zarq. Definisi ini dimudahkan oleh Ustaz Al `Ahmad al-Nadw dengan ibarat sebagai berikut: ( Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya).14 Secara umumnya, dan itu terdapat di bawahnya beberapa cabangcabang fiqh. Agar dapat membedakan antara dengan ,ini dapat dilihat dari sebuah ibarat yang diberikan `Ibn Nujaim sebagai berikut: " : , , 51]

11 12

al-Nadw, al-Qawid al-Fiqhiyyah, hal. 43. Ibid., 42. 13 Ibid. 14 Ibid., 45. 15 Ibn Nujaim al-Mishr, al-`Asybh wa al-Nazh`ir, ed. Muhammad Muth al-Hfiz (Dimasyq: Dr alFikr, 1983), 192.

Terjemahan: Adapun perbedaan antara dlbith dan kaidah adalah sesungguhnya kaidah itu mengumpulkan cabang-cabang dari bab-bab yang berbagai. Sedangkan dlbith itu mengumpulkan cabang-cabang dari satu bab. Ini adalah asalnya. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Imam al-Suyth di dalam kitab al`Asybh wa al-Nazh`ir yang menetapkan bahwa kaidah itu masuk di dalam semua bab fiqh.16 Contoh yang dlbith pula adalah . 71]Ketentuan ini khusus masuk di dalam bab zakat fitrah tidak untuk lainnya. 18 Akan tetapi secara lahirnya, perbedaan di antara kedua kaidah dan dlbith ini tidak dianggap/diterapkan oleh ulama terdahulu. Oleh karena ini, dapat ditemukan banyak dlbith yang oleh Imam al-Subk menyebutnya sebagai 19. Definisi yang membedakan antara kedua kaidah dan dlbith ini hanya muncul di kalangan ulama mutakhir yaitu tepatnya ketika kata dlbith secara resmi memiliki istilah yang menjadi terkenal di kalangan ahli fiqh dan pembahas-pembahas di dalam fiqh Islam.20

B. SEJARAH KAIDAH FIQH IMAM ABU HANIFAH


Awal mula lahirnya kaidah fiqh bermula di zaman turunya syariat Islam. Ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW ketika bersabda, banyak dari hadis-hadisnya tentang hukum itu bertepatan dengan kaidah-kaidah umum yang terkandung di bawahnya banyak cabang-cabang fiqh yang diterima ulama zaman sekarang. Seperti contoh: , dan . Hadis-hadis inilah kemudian diasingkan oleh ulama dengan menjadikannya sebuah kaidah yang mandiri yang jalan di tempat berjalannya kaidah fiqh. Walau bagaimanapun, pada fase ini, kaidah fiqh belum terbukukan atau menjadi sebuah fan ilmu tertentu. Ianya masih berupa ucapan.21

16

Jall al-Dn Abd al-Rahman al-Suyth, al-`Asybh wa al-Nazh`ir (Semarang: Thah Putra, t.t.), hal. 37. 17 Ibid., 251. 18 Abd al-Wahhb bin `Ahmad Khall bin Abd al-Hamd, al-Qawid wa al-Dlawbith al-Fiqhiyyah f Kitb al-`Umm li al-`Imm al-Syfi (Riydl: Dr al-Tadmuriyyah, 2008), 53. 19 al-Subk, al-`Asybh wa al-Nazh`ir, vol. 1, hal. 200. 20 Abd al-Wahhb, al-Qawid wa al-Dlawbith al-Fiqhiyyah, hal. 53. 21 al-Nadw, al-Qawid al-Fiqhiyyah, 90.

Sebagaimana hadis yang juga berfungsi sebagaimana kaidah fiqh, juga terdapat `atsr sahabat yang secara tidak langsung berlaku sebagai kaidah fiqh. Seperti contoh ucapan Khalifah Umar RA: dan ucapan Abd Allah bin Abbs RA: . : Riwayat Khalifah Umar berada dalam bab syarat, sedangkan riwayatnya Abd Allah bin Abbs RA berada di dalam bab dan .22.] Seperti dikisahkan Ibu Nujaim (w. 970 H), pakar kaidah fiqh dari kalangan hanafiyyah, dalam karyanya, al-asybah wa al-nadhair, bahwam embrio kaidah fiqh ini mulai lahir sejak abad ke-3 hingga abad ke-4 hijriyyah. Hal ini ditandai oleh peran Imam Abu Thahir al-Dabas yang hidup pada dua kurun tersebut dalam menghimpun dan merangkai kaidah-kaidah fiqh terpenting dalam madzhab hanafiyyah menjadi tujuh belas kaidah umum. Kemudian, kitab yang paling awal membahas banyak dari isinya berkaitan dengan kaidah fiqh adalah kitab oleh Ab Ysuf (w. 182H) yang bermazhab Hanafi. Walau bagaimanapun, kitab ini tidaklah bermaksud membahas kaidah fiqh, akan tetapi hanya menyinggung banyak hal yang pada dasarnya dapat digolongkan kaidah fiqh. Seperti contoh: , dan . Inilah kitab yang mengandung kaidah fiqh secara tertulis, akan tetapi ia bukanlah khusus membahas kaidah fiqh.23 Menurut Imam al-Suyth sebagai sebuah riwayat dari Ab Sad al-Haraw (w. +500H) mengatakan bahwa `Ab Thhir al-Dabbs (w. 340H) berupaya merangkum beragam persoalan fiqh mazhab Hanafi ke dalam 17 kaidah. Ke 17 kaidah ini dihafalkan hampir setiap malam di dalam sebuah masjid yang sepi dari pengunjungnya. Kebiasaan `Ab Thhir al-Dabbs didengar oleh beberapa ulama Hanafi di kota Harrah (Khurasan). Mereka kemudian mengutus seorang di antara mereka untuk membuktikan kebenaran berita tersebut sekaligus mempelajari koleksi kaidah `Ab Thhir. Suatu malam, utusan duduk di masjid sampai jamaah meninggalkan masjid hingga sepi. Diam-diam dia duduk di sebelah pinggir tikar yang biasa diduduki `Ab Thhir. `Ab Thhir tidak tahu ada orang karena ia memang buta. Seperti biasa, setelah selesai zikir, `Ab Thhir mengunci

22 23

Ibid., 92. Ibid., 94.

pintu dan mulai menghafal kaidah-kaidahnya. `Ab Thhir al-Dabbs tidak tahu di sebelahnya ada penguping. Si penguping dengan seksama dan berusaha menghafal setiap kaidah yang disebut `Ab Thhir. Ketika sampai pada hafalan kaidah yang ke 7, tenggorokan si penguping dihinggapi rasa gatal luar biasa sehingga keluarlah suara batuk. Dikarenakan ini, seketika `Ab Thhir menghentikan hafalannya dan secara reflek memukul si penguping. Beliau mengusir penguping tadi. Sejak ini beliau tidak pernah melakukan aktivitas hafalan seperti sedia kala. Tapi bagi si penguping, ketujuh kaidah ini adalah sangat berharga dan diajarkan kepada teman-temannya. Koleksi kaidah milik `Ab Thhir ini pada akhirnya dibukukan oleh salah seorang sahabat karibnya, yaitu `Ab Hasan al-Karakh (w. 340H).24 Dalam buku ini, `Ab Hasan al-Karakh mengembangkan kaidah tadi menjadi 37 kaidah. Kitab inilah yang dianggap sebagai kitab pertama secara khusus menggumpulkan kaidah-kaidah fiqh.25 Karena melihat kaidah itu sangat banyak, maka penulis hanya akan memberikan beberapa kaidah yang sangat penting dan perlu untuk dibahas. Salah satu dari cabang kaidah adalah kaidah26 ( asal sesuatu itu adalah diperkenan/boleh).27 Kaidah ini pada dasarnya terjadi khilf di kalangan ulama mazhab. Kaidah yang ini adalah merupakan pendapat Imam alSyfi ( .) Sedangkan menurut Imam Ab Hanfah adalah . Titik perbedaan antara dua mazhab ini adalah berada pada perkara-perkara yang masih tidak ada dalil ( ,) maka pendapat Imam alSyfi itu adalah halal sedangkan pendapat Imam Ab Hanfah adalah haram.28 Imam al-Syfi berhujjah dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

24

Abd Allah bin Sad Muhammad Abbd al-Lahj, `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah (Surabaya: alHidyah, 1410 H), 7; Nr al-Dn Marb, al-Durarr al-Bahiyyah, 15; A. Haque Pribeneze DKK, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: MHM Lirboyo, 2005), hal. 29. 25 al-Nadw, al-Qawid al-Fiqhiyyah, hal. 162-265. 26 Redaksi secara lengkap: ( Asal sesuatu adalah diperkenan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Lihat: Abbd al-Lahj, `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah, hal. 31. 27 Madrasah al-Nidhmiyyah, Taqrrt Nazham al-Far`id al-Bahiyyah (Kediri: Madrasah al-Nidhmiyyah, t.t.), 12; Muhammad Ysn bin s al-Fdn, al-Faw`id al-Janiyyah (Beirut: Dr al-Fikr, 1997), vol. 1, 191. 28 Abbd al-Lahj, `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah, 30.

, ,dan .92

Selain dari ini, dalil yang mendukung adalah firman Allah:


30 31

, , 32
33

Sedangkan menurut pendapat Imam Ab Hanfah ini berdasarkan pada firman Allah:
34

dan dari hadis Nabi Muhammad SAW:


35

Perlu diketahui, bahwa ketetapan khilf ini ternyata ditentang oleh al-Lahj dalam kitabnya yaitu `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah. Beliau mengatakan bahwa ternyata di dalam kitab al-`Asybh wa al-Nazh`ir karangan `Ibn Nujaim yang bermazhab Hanafi menisbatkan kaidah ini kepada Imam Ab Hanfah.36 Akan tetapi, ternyata memang masih terwujud perbedaan pendapat di dalam mazhab Hanafi sendiri. Termasuk yang berpendapat sama dengan pendapat Imam alSyfi adalah al-Karkhi.37 Kaidah menurut mazhab Hanafi yang melakukan perjalanan yang maksiat itu tidak menyebabkan tercegahnya mengambil keringanan.38 Sedangkan menurut kalangan mazhab SyafiI, yaitu kaidah
Abbd al-Lahj, `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah, 31. al-Quran, 2:29. 31 al-Quran, 7:32. 32 al-Quran, 6:145. 33 al-Quran, 7:33. Haque Pribeneze, Formulasi Nalar Fiqh, 151. 34 al-Quran, 16:116. 35 Kata adalah redaksi dari buku Formulasi Nalar Fiqh. Sedangkan kata adalah mutawtir di dalam kitab-kitab hadis. 36 Abbd al-Lahj, `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah, 31. 37 Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajz f `dlh Qaw`id al-Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Mu`assasah al-Rislah, 1983), hal. 112. 38 Muhammad bin Nidhm al-Dn al-`Anshr, Fawtih al-Rahmt bi Syarh Musallam al-Tsubt (Bulq: alMathbaah al-`Amriyyah, 1322 H), vol. 164.
30 29

.Makna dari kaidah ini adalah dalam melakukan keringanan, tidak boleh disertai dengan maksiat. Seperti contoh, ketika melakukan perjalanan jauh ( ,)sedangkan ia adalah orang yang melakukan maksiat; maka ia tidak boleh menerima keringanan dalam syariat seperti melakukan jamak solat, qashr, buka puasa atau lain-lain.39 Yang dimaksud dengan safar yang maksiat adalah ketika orang tersebut melakukan perjalanan yang memang tujuan maksiat, seperti larinya hamba dari tuannya, melakukan perjalanan ke pusat-pusat maksiat seperti pelacuran dan lain-lain. Akan tetapi, kalau perjalanannya itu adalah bertujuan bukan maksiat, seperti ingin menuntut ilmu, mudik ke rumah orang tua dan lain-lain, hanya saja dalam perjalanan tersebut terjadi maksiat seperti meminum khamr, maka ia tidak termasuk dalam kaidah ini. Dengan kata lain, dalam kasus terakhir ini tetap diperkenan mengambil keringanan dalam syariat seperti jamak dan qashr.40

C. PENERAPAN QAIDAH QAIDAH USHUL FIQIH


1. perbedaan itu dapat diklasifikasi kedalam lima bagian yaitu sebagai berikut : a. Pandangan tentang kehujjahan ijmak ahli Madinah Ijmak ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki. Sedangkan Abu Hanifah, dan termasuk juga Imam As-Syafiiy, menjadi ijmak umat41 b. Pandangan tentang kehujjahan mafhum mukhalafah Dalam ushul fiqih mafhum mukhalafah artinya; Yang dimaksud adalah lawan dari yang disebutkan. Misalnya sabda Rasulullah : Keterlambatan orang kaya membayar hutang adalah dzalim. Maka mafhum mukhalafahnya adalah; keterlambatan orang miskin dalam membayar hutang adalah tidak dzalim, berarti boleh. Ahmad bin Hambal dan jumhur ulama

berpendapat bahwa perbuatan penduduk Madinah itu bukan hujjah, kecuali kalau sudah

39

Nr al-Dn Marb, al-Durarr al-Bahiyyah, 155.


Ibid., 157.

40
41

Ibid., hlm. 30. Lihat : Abdul Aly, Fawatihur Rahamuut, J. 2, hlm. 232.

10

Bagi jumhur ulama, mafhum mukhalafah adalah dalil syara dengan bersyarat. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafhum mukhalafah tidak bisa dijadikan sebagai dalil.42 c. Cara menghadapi dalil am dan dalil khas Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dalil dalil yang bersifat am statusnya adalah qathy, maka langsung bisa diamalkan tanpa perlu dikembalikan kepada dalil khas terlebih dahulu. Berbeda dengan jumhur lainnya yaitu, seluruh dalil yang bersifat am statusnya adalah zhanni, maka perlu dibawa kepada yang bersifat khas yang statusnya qathy, selama dimungkinkan, lalu yang khas itulah yang diamalkan. Kalau tidak dapat dibawa, maka barulah yang am itu diamalkan.43 d. Cara menghadapi dalil mutlak dan muqayyad Tentang dalil mutlak langsung bisa diamalkan menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur, jika bertentangan antara mutlak dan muqayyad, maka nash itu harus dibawakan kepada muqayyad terlebih dahulu, kemudian baru bisa diamalkan.44 e. Pandangan tentang perawi yang berlawanan dari apa yang diriwayatkannya Jumhur ulama berpendapat, yang dipegang adalah hadis yang diriwayatkan, bukan perbuatannya. Akan tetapi bagi Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dipegang adalah perbuatannya, bukan hadis yang diriwayatkannya. Karena perbuatan itu dapat dianggap sebagai pembatal dan berarti ia telah mengkritik hadis tersebut dengan perbuatannya serta ia tidak percaya kepada kebenaran hadis itu, sehingga berbuat sebaliknya.45

42 43 44 45

Ibid., hlm. 31. Lihat : Baadi Syah, Taysiirut Tahrir, J. 1, hlm. 146. Ibid., hlm. 33. Lihat : Assharakhsy, op.cit., J. 3, hlm.3 Ibid., hlm. 35. Lihat : Al Muhallaawy, Tashilul Wushul, hlm. 62. Ibid., hlm. 38.

11

SYNOPSIS KITAB AL-ASYBAH WA AL-NADHAIR

12

BAB III PENUTUP KESIMPULAN


Definisi kaidah fiqh memiliki beberapa perbedaan pendapat di antara ulama. Akan tetapi apa yang jelas adalah definisi yang diberikan Ahmad al-Nadw: Dasar fiqhi yang global terkandung di dalamnya hukum-hukum syariat yang umum dari berbagai bab yang berbeda-beda di dalam ketetapan-ketetapan yang masuk di dalam ruanglingkupnya. Sedangkan perbedaan antara kaidah dan dlbith: Kaidah terkandung di bawahnya banyak sekali cabang fiqh dari berbagai bab, sedangkan dlbith cabang yang berada di bawahnya dikhususkan ke dalam satu bab tertentu. Kaidah fiqh sudah wujud sejak wahyu turun. Ia berupa kata-kata yang dikeluarkan Nabi Muhammad SAW, seperti . Selanjutnya kaidah yang merupakan pendapat (ijtihad) sahabat dan tabiin. Sebelum kaidah fiqh dikodefikasi, ia terlebih dahulu tertulis di dalam kitab-kitab Imam mazhab seperti karangan Ab Ysuf dan karangan Imam al-Syfi. Yang paling awal mengumpulkan kaidah fiqh adalah `Ab Thhir al-Dabbs (Hanafi). Sedangkan yang paling awal mengkodefikasi kaidah fiqh adalah `Ab Hasan al-Karakh. Selanjutnya kaidah fiqh berkembang sampai kepada beberapa mazhab. Kaidah fiqh merupakan hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, tentunya ada yang disepakati adanya dan ada yang masih terjadi khilf akan kelegalannya. Khilf ini terjadi sesuai dengan konsep mazhab masing-masing.

13

DAFTAR PUSAKA
Al, Muhammad `Al bin. Kasyf `Ishthilht al-Funn. Editor: Luthf Abd al-Bad. Beirut: Syarikat Khiyth li al-Kutub wa al-Nasyr, 1963. al-`Anshr, Muhammad bin Nidhm al-Dn. Fawtih al-Rahmt bi Syarh Musallam alTsubt. Bulq: al-Mathbaah al-`Amriyyah, 1322 H. al-Baht, Manshr bin Ynus. Kasyf al-Qin. Riydl: Maktabah al-Nadlr al-Hadtsah, t.t.. al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad. al-Wajz f `dlh Qaw`id al-Fiqh al-Kulliyah. Beirut: Mu`assasah al-Rislah, 1983. al-Dardr, Ab al-Barakt `Ahmad bin Muhammad. al-Syarh al-Shaghr. Cairo: Dr alMarif, 1973. al-Fdn, Muhammad Ysn bin s. al-Faw`id al-Janiyyah. Beirut: Dr al-Fikr, 1997. al-Faym, Ahmad bin Muhammad bin Al. Al-Mishbh al-Munr f Gharb al-Syarh alKabr. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.t.. al-Hamawi, `Ahmad bin Muhammad al-Hasan. Ghamzu Uyn al-Bash`ir. Cairo: Dr al-Thabah al-mirah, 1357 H. al-Hamd, Abd al-Wahhb bin `Ahmad Khall bin Abd. al-Qawid wa al-Dlawbith alFiqhiyyah f Kitb al-`Umm li al-`Imm al-Syfi. Riydl: Dr al-Tadmuriyyah, 2008. Hazm, Muhammad Al bin `Ahmad bin Sad `Ibn. al-Muhall. Beirut: Mansyrt alMaktab al-Tijr, t.t.. al-Jurjn, Al bin Muhammad al-Syarf. Kitb al-Tarft. Beirut: Dr al-Kutub alIlmiyyah, 1983. al-Lahj, Abd Allah bin Sad Muhammad Abbd. `dlh al-Qawid al-Fiqhiyyah. Surabaya: al-Hidyah, 1410 H. al-Makk, Muhammad Nr al-Dn Marb Banjar. al-Durarr al-Bahiyyah f `dlhi alQawid al-Fiqhiyyah. Alor Setar: Pustaka Darussalam, 2002. al-Maqqar, Abd `Allah bin Muhammad. al-Qawid. Mekkah: Jmiah `Umm al-Qur, t.t.. al-Mishr, `Ibn Nujaim. al-`Asybh wa al-Nazh`ir. Editor: Muhammad Muth al-Hfiz. Dimasyq: Dr al-Fikr, 1983.

14

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir- Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 2002. al-Nadw, Al `Ahmad. al-Qawid al-Fiqhiyyah. Damascus: Dr al-Qalam, 2007. al-Nidhmiyyah, Madrasah. Taqrrt Nazham al-Far`id al-Bahiyyah. Kediri: Madrasah al-Nidhmiyyah, t.t.. Pribeneze, A. Haque DKK. Formulasi Nalar Fiqh. Kediri: MHM Lirboyo, 2005. al-Qarf, `Ahmad bin `Idrs. al-Dzakhrah. Cairo: Mathbaah Kulliyyah al-Syarah, t.t.. al-Subk, Tj al-Dn bin Abd al-Wahhb. al-`Asybh wa al-Nazh`ir. Editor: dil `Ahmad Abd al-Maujd & Al Muhammad Iwadl. Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H. al-Suyth, Jall al-Dn Abd al-Rahman. al-`Asybh wa al-Nazh`ir. Semarang: Thah Putra, t.t.. al-Syfi, Muhammad bin `Idrs. al-`Umm. Editor: Mahmd Mathraj. Beirut: Dr alKutub al-Ilmiyyah, 1994. Zaidn, Abd al-Karm. al-Madkhal li Dirsah al-Syarah al-`Islmiyyah. Beirut: Mu`assasah al-Rislah, 2003. al-Zarq, Mushthaf `Ahmad. al-Madkhal al-Fiqh al-mi. Damascus: Mathbaah Jmiah Dimasyq, 1983. al-Zuhail, Wahbah. `Ushul al-Fiqh al-`Islam. Damaskus: Dr al-Fikr, 2001.

15

You might also like