You are on page 1of 6

PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK (KOMPOS) DAN PESTISIDA BOTANI YANG RAMAH LINGKUNGAN UNTUK PETANI SAYURAN MELALUI KONSEP 3R

1.1. LATAR BELAKANG

Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah peradaban manusia, pestisida telah cukup lama digunakan terutama dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang pertanian, penggunaan pestisida juga telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Dewasa ini pestisida merupakan sarana yang sangat diperlukan. Terutama digunakan untuk melindungi tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Bahkan oleh sebahagian besar petani, beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai dewa penyelamat yang sangat vital. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat. Di Indonesia, disamping perusahaan perkebunan, petani yang paling banyak menggunakan berbagai jenis pestisida ialah petani sayuran, petani tanaman pangan dan petani tanaman hortikultura buah-buahan. Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan diri dari ketergantungan penggunaan pestisida. Bertanam sayuran tanpa pestisida dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi keberhasilan berproduksi.

Pencemaran lingkungan pada industri pertanian disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan, untuk meningkatkan produksi pertanian disamping juga menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi pencemaran akibat penggunaan pestisida perlu diketahui peranan dan pengaruh serta penggunaan yang aman dari pestisida

dan adanya alternatif lain yang dapat menggantikan peranan pestisida pada lingkungan pertanian dalam mengendalikan hama, penyakit dan gulma.

Mengatasi masalah hama dan gulma merupakan pengetasan masalah yang dilematis diakhir tahun 80-an. Betapa tidak, pestisida yang dianggap menyelesaikan masalah pertanian khususnya dalam pembasmian hama, ternyata menimbulkan dampak. Senyawa-senyawa kimia yang tertinggal, senyawa sisa yang dimanfaatkan tanaman, namun tertinggal dalam tanah. Senyawa yang tertinggal inilah yang mengganggu dan merusak aktifitas tanah. Tanah akan mengalami defisiensi unsur hara alami karena adanya reaksi antar senyawa sisa pestisida dengan hara alami.

Selain mempengaruhi keadaan tanah, ternyata pestisida sendiri secara tidak langsung memberikan peluang terputusnya sistem ekologis areal persawahan dan perkebunan tanaman, yang akhirnya membuat sistem ekologis baru, dimana hewan predator menghilang, hama menjadi kebal setelah beberapa generasi beradaptasi dengan pestisida, dan kekalahan terbesar bagi petani adalah ketika tanah menjadi ketergantungan terhadap pestisida.

Untuk mengatasi hal tersebut, kiranya perlu pengembangan konsep pemupukan yang tetap mengedepankan keseimbangan ekologi lingkungan, salah satu yang mudah dilakukan oleh para petani adalah dengan pemanfaatan sampah organik menjadi pupuk kompos (composting) dan pemanfaatan pestisida botani.

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Pestisida botani atau pestisida alami bahan aktifnya berasal dari berbagai produk metabolik sekunder dalam tumbuhan. Misal Rotenon dari akar tuba (Derris eliptica) dan Azadarachtin dari Mimba (Azadirachta indica). Pestisida botani memiliki beberapa keunggulan yaitu tidak mencemari lingkungan, masa aktif residu lebih pendek, mudah dilaksanakan dan murah. Mekanisme kerja pestisida botani ini bersifat racun kontak, racun perut maupun bersifat sistemik. Pestisida botani berfungsi sebagai zat pembunuh, penolak, pengikat dan penghambat pertumbuhan OPT, misal PESTONA dan PENTANA.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berawal dari berbagai masalah-masalah yang ada dalam pemanfaatan pestisida kimiawi terhadap keseimbangan tanah untuk pengembangan hasil pertanian, maka dalam kajian ini yang menjadi perumusan masalahnya adalah : a. Apa dampak yang ditimbulkan pada lingkungan dari penggunaan pestisida yang berlebihan? b. c. d. Bagaimana cara penanggulangan terhadap dampak negatif dari penggunaan pestisida Bagaimana pemanfaatan sampah organik menjadi kompos? Seberapa mudah bahan-bahan untuk pembuatan kompos dan pestisida botani?

1.3.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian adalah : 1. Untuk memperoleh analisis dampak buruk pestisida kimiawi terhadap keseimbangan lingkungan 2. Mencari solusi alternatif dalam pemupukan sayuran untuk pengembangan pertanian tampa mengurangi kualitas dan kuantitas hasil pertanian dengan menggunakan pupuk ramah lingkungan 3. Analisis pemanfaatan sampah untuk kompos dan pestisida botani yang bermanfaat buat petani dalam pemupukan sayuran

1.4.

SASARAN PENELITIAN

1. Pemanfaatan pupuk organik dan pestisida botani dalam mendukung hasil petanian yang ramah lingkungan 2. Terbentuknya konsep kelembagaan dan prosedur operasional dalam pembuatan pupuk organik oleh masyarakat petani.

1.5.

HIPOTESIS

Pupuk organik dan pestisida botani mampu menyeimbangkan kesuburan tanah untuk tanaman sayuran tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas hasil pertanian, dan memiliki peran sama seperti pestisida kimiawi tetapi tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.

1.6.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah merupakan tempat kehidupan mikroorganisme yang secara makro menguntungkan bagi mahkluk hidup lainnya, termasuk manusia. Mikroorganisme yang menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, fungi, aktinomisetes, alga, dan protozoa. Jumlah dan jenis mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Untuk memenuhi

perkembangan ekonomi yang saat ini semakin meningkat, maka sangat dibutuhkannya Ilmu pengetahuan mengenai pupuk dan pestisida. Karena menyangkut hal-hal tentang pertanian dan perkebunan yang merupakan aspek utama dalam perekonomian Negara Indonesia yang beriklim tropis (Oka,1995).

Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dan dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal, untuk mengembalikan nutrisinya tanah memerlukan waktu ratusan tahun, sedangkan untuk merusaknya hanya perlu beberapa tahun saja. Hal ini terlihat dari menurunnya produktivitas karena hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi (Kusno,1992).

Ada beberapa pengaruh negatif lainnya pemakaian pestisida sintetis secara tidak sesuai. Pertama, pencemaran air dan tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia dan makhluk lainnya dalam bentuk makanan dan minuman yang tercemar. Kedua, matinya musuh alami dari hama maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Ketiga, kemungkinan terjadinya serangan hama sekunder. Contohnya: penyemprotan insektisida sintetis secara rutin untuk mengendalikan ulat grayak (hama primer) dapat membunuh serangga lain seperti walang sembah yang merupakan predator kutu daun (hama sekunder). Akibatnya setelah ulat grayak dapat dikendalikan, kemungkinan besar tanaman akan diserang oleh kutu daun. Keempat, kematian serangga berguna dan menguntungkan seperti lebah yang sangat serbaguna untuk penyerbukan. Kelima, timbulnya kekebalan/resistensi hama maupun patogen terhadap pestisida sintetis (Hidayat, 1981).

Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah (Mulyani, 1982).

Tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengurangi populasi hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman seperti munculnya ketahanan (resistensi) hama terhadap pestisida, resurgensi hama, ledakan populasi hama sekunder. Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah

daerah tersebut disemprot intensif pestisida Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga incertulas. (Bachri, 1995).

Pencemaran tanah juga dapat memberikan dampak terhadap ekosistem. Perubahan kimiawi tanah yang radikal dapat timbul dari adanya bahan kimia beracun/berbahaya bahkan pada dosis yang rendah sekalipun. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme endemik dan antropoda yang hidup di lingkungan tanah tersebut. Akibatnya bahkan dapat memusnahkan beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Bahkan jika efek kimia pada bentuk kehidupan terbawah tersebut rendah, bagian bawah piramida makanan dapat menelan bahan kimia asing yang lama-kelamaan akan terkonsentrasi pada makhluk-makhluk penghuni piramida atas. Banyak dari efek-efek ini terlihat pada saat ini, seperti konsentrasi DDT pada burung menyebabkan rapuhnya cangkang telur, meningkatnya tingkat Kematian anakan dan kemungkinan hilangnya spesies tersebut.

Dampak pada pertanian terutama perubahan metabolisme tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hasil pertanian. Hal ini dapat menyebabkan dampak lanjutan pada konservasi tanaman di mana tanaman tidak mampu menahan lapisan tanah dari erosi. Beberapa bahan pencemar ini memiliki waktu paruh yang panjang dan pada kasus lain bahanbahan kimia derivatif akan terbentuk dari bahan pencemar tanah utama.

You might also like