You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keberadaannya merupakan anugerah yang harus dijaga, dirawat, dan dilindungi. Setiap anak secara kodrati memiliki harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Perlindungan kesejahteraan seorang anak bermula dari suatu keluarga. Apabila keluarganya tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan kepada si anak, maka anak tersebut dapat diberikan kepada orang lain dalam bentuk pengangaktan anak. Mengenai pengangkatan anak ini telah banyak diperbincangkan dalam masyarakat dan telah mendapat perhatian dari pemerintah. Jika dilihat dalam prakteknya, pengangkatan anak dikenal baik dengan motif untuk memperoleh keturunan yang diharapkan dapat melanjutkan garis keturunan maupun dengan motif yang lain. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah dalam mengatasinya. Saat ini, sangat banyak kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak di Indonesia, namun tidak mudah untuk diwujudkan begitu saja. Kegagalan pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut menjadi penyebab terjadinya hal tesebut. Berbagai usaha telah dilakukan oleh berbagai pihak demi melindungi anak dan salah satu bentuk perlindungan itu adalah pengangkatan anak yang diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan anak.

B. Pokok Permasalahan Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Instrumen hukum apa sajakah yang mengatur mengenai pengangkatan anak? 2. Bagaimanakah pengaturan secara hukum mengenai pengangkatan anak di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan yang hendak dicapai adalah : 1. Untuk mengetahui instrumen hukum apa sajakah yang mengatur mengenai pengangkatan anak. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan secara hukum mengenai pengangkatan anak di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perlindungan Anak Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, membangung manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka dari ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.

B. Persyaratan Pelaksanaan Perlindungan Anak Pelaksanaan perlindungan anak yang baik antara lain memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut, yaitu : 1. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak, agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak. Oleh sebab itu harus disebarluaskan, meratakan pengertian mengenai perlindungan anak serta pengertian-pengertian lain yang mendukung dilaksanakannya perlindungan anak tersebut; 2. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional, dan mencapai aspirasi bangsa Indonesia. Dengan demikian pengadaan penyuluhan mengenai perlindungan anak adalah mutlak agar setiap warga negara, anggota masyarakat, sadar akan pentingnya perlindungan anak dan bersedia berpartisipasi secara aktif sesuai dengan kemampuan masing-masing; 3. Kerja sama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang nasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar partisipan yang bersangkutan; 4. Dalam rangka membuat kebijaksanaan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak. Perlu diteliti masalah-masalah apa saja yang dapat

merupakan faktor kriminogen atau faktor viktimogen dalam pelaksanaan perlindungan anak; 5. Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perspektif yang diatur dan bukan yang mengatur. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan untuk mencegah akibat-akibat negative yang tidak diinginkan; 6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak setiap anggota masyarakat berkerjasama dengan pemerintah, harus ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung dalam berbagai bidang kehidupan; 7. Dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta dalam melindungi diri sendiri dan dikelak kemudian hari dapat menjadi orang tua yang berpartisipasi positif dan aktif dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat. Sehubungan dengan usaha pemberian kemampuan pada anak untuk dapat ikut serta dalam kegiatan perlindungan anak; 8. Perlindungan anak yang baik harus memiliki dasar-dasar filosofis, etis, dan yuridis. Dasar tersebut merupakan pedoman pengkajian, evaluasi apakah ketentuan-ketentuan yang dibuat dan pelaksanaan yang direncanakan benar-benar rasional positif, dapat dipertanggung jawabkan, dan bermanfaat bagi anak. Dasar-dasar ini dapat diambil

dan dikembangkan dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, ajaran dan pandangan yang positif dari agama atau nilai sosial; 9. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada anak, oleh karena adanya timbul penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu. Perlindungan anak harus bersifat preventif; 10. Perlindungan anak harus didasarkan pada perkembangan hak dan kewajiban. Perlindungan anak dibidang kesehatan, pendidikan, dan pembinaan atau pembentukan kepribadian adalah didasarkan pada hak asasi anak yang umum. Hak asasi umum untuk orang dewasa dalam hukum postif berlaku juga bagi anak. Demikian beberapa persyaratan yang harus diusahakan dapat terpenuhi apabila kita ingin mengusahakan perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat. C. Pengertian Anak Angkat Anak angkat dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri1. Sementara dalam Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak : Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
1

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm.31.

D. Pengertian Pengangkatan Anak Anak memiliki peranan penting dalam sebuah keluarga, selain untuk mempertahankan perkawinan juga sebagai penerus garis keturunan keluarga tersebut. Oleh karena itu, apabila sebuah keluarga tidak dapat mempunyai anak maka mengambil anak orang lain merupakan jalan keluar untuk diakui dan dianggap sebagai anak sendiri. Pengertian pengangkatan anak dapat dibedakan dalam dua sudut pandangan, yaitu pengertian secara etimologi dan terminologi. 1. Pengertian Secara Etimologi Pengangkatan anak (adopsi) berasal dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda, atau Adopt dalam bahasa Inggris.

2. Pengertian Secara Terminologi Dalam Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan yang tidak dapat memiliki anak. Akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan tersebut ialah bahwa anak yang diangkat itu kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Namun sebelum melakukan pengangkatan anak, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.

Pengangkatan anak menurut Soerjono Soekanto adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah2. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri. E. Tujuan Pengangkatan Anak Pengangkatan anak dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan yang tidak dapat mendapatkan keturunan merupakan salah satu contoh tujuan dan motivasi orang dalam melakukan pengangkatan anak. Bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan atau tidak dapat melahirkan anak dengan berbagai macam sebab, seperti contoh mandul. Pengangkatan anak merupakan solusi bagi mereka yang sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka. Menurut Staatblad tahun 1917 Nomor 129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan lakilaki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Jadi menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan atau anak laki-laki. Sedangkan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1980), hlm.52.

dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping untuk melanjutkan keturunan, terkadang pengangkatan anak dilakukan juga bertujuan sebagai usaha untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan menghindari perceraian. Bagi pasangan suami istri yang telah memiliki anak tidak akan mudah memutuskan untuk bercerai, karena kepentingan akan keutuhan perkawinan tersebut tidak hanya bagi kedua belah pihak saja, namun juga kepentingan bagi anak-anak yang terikat dalam perkawinan tersebut Dengan sejalannya waktu dari masa ke masa, tujuan dari lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata untuk meneruskan keturunan ataupun memperhatikan perkawinan saja tetapi lebih beragam dari hal-hal tersebut. Ada berbagai hal yang mendorong orang untuk mengangkat anak bahkan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya, maupun politik3. Terdapat beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan anak, diantaranya yaitu4 : Dari sisi Adoptant, karena adanya alasan : 1. Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan; 2. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya; 3. Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan;

3 4

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Aka Press, 1991), hlm.1-2. Irma Setyawati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm.40.

10

4. Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak; 5. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.

Dari sisi orang tua anak, karena adanya alasan : 1. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri; 2. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya; 3. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak; 4. Saran-saran dan nasihat dari pihak keluarga atau orang lain; 5. Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya; 6. Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya; 7. Masih mempunyai anak-anak beberapa lagi; 8. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri; 9. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari hubungan yang tidak sah; 10. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya. Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat terbagi atas beberapa macam alasan dilakukannya pengangkatan anak, yaitu : 1. Karena tidak memiliki anak;

11

2. Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya; 3. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu); 4. Sebagai pemancing bagi anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya; 5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa mempunyai anak kandung; 6. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang baik; 7. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak; 8. Diharapkan agar anak dapat menolong dihari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak; 9. Adanya rasa belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus; 10. Karena si anak memiliki penyakit, maka untuk menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak memiliki anak dengan harapan si anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur. Dengan demikian pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kekeluargaan di Indonesia. F. Peraturan Yang Mengatur Tentang Pengangkatan Anak

12

Sebagai usaha untuk memberikan perlindungan terhadap anak, pemerintah mengeluarkan produk hukum dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan juga kesejahteraan anak. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengertian pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain, yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 1979 jo. Nomor 6 tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga dengan mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgelijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana hukum Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. G. Proses Pengangkatan Anak

13

Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat domisili anak yang akan diangkat tersebut. Adapun alasan permohonan diajukannya adalah untuk kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental serta perlindungan anak itu sendiri. Untuk mengabulkan permohonan itu, hakim wajib mengadakan penilaian tentang motif dan latar belakang yang mendasari orang tua untuk melepaskan anaknya dan di sisi lain keinginan calon orang tua angkat untuk mengangkat anak. Keadaan ekonomi dan rumah tangga orang yang akan mengangkat anak apakah harmonis atau tidak. Di samping itu juga kesanggupan, ketulusan dan kerelaan dari pihak yang melepaskan anak maupun yang mengangkatnya, serta kesadaran para pihak akan akibatnya. Adapun kelengkapan untuk permohonan itu harus dilampirkan sebagai berikut : 1. Dari calon orang tua angkat : a. Akta perkawinan; b. Akta kelahiran; c. Surat keterangan kesehatan dan kesehatan jiwa; d. Surat keterangan berkelakuan baik; e. Surat keterangan penghasilan. 2. Dari calon anak angkat : Surat persetujuan dari : a. Orang tua kandung (dibuat akta notariil); b. Ibu kandung apabila orang tua tidak kawin sah; c. Mereka yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. 3. Dari pemerintah : Surat persetujuan Menteri Sosial bagi :

14

a. Calon orang tua angkat; b. Calon anak angkat. Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh Pasal 8 sampai 10 Stb.1917 Nomor 129, dimana dalam Pasal 8 menyebutkan empat syarat untuk pengangkatan anak, yaitu: 1. Persetujuan orang yang mengangkat anak; 2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan izin dari orang tua anak itu. Jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta peninggalan selaku penguasa wali; b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir diluar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya. Apabila anak itu tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta balai harta peninggalan. 3. Jika anak yang diangkat itu sudah berumur sembilan belas tahun, maka diperlukan persetujuan dari anak itu sendiri. 4. Manakala yang akan mengangkat anak itu seorang perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-laki sampai derajat ke empat. Persetujuan yang dimaksud dalam syarat ke empat diatas dapat diganti dengan suatu izin dari Pengadilan Negeri diwilayah kediaman janda yang akan mengangkat anak tadi.

15

H. Akibat Pengangkatan Anak Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang proses pengangkatan anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya perangai anak maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap dua kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak tersebut itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapatkan apa-apa dari barang asal daripada bapak atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang

tertentu, tapi ia mendapat barang-barang yang diperoleh dalam perkawinan. Mengambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap sebagai anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak kandungnya sendiri5. Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut : 1. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandungnya; 2. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapatkan waris dari orang tua angkatnya;

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1976), hlm.29.

16

3. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, dimulai pada saat sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat; 4. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat : dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat6. Staatblad 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut : 1. Pasal 11 : anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi. 2. Pasal 12 ayat (1) : anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orang tua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi lebih lanjut7. Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut : 1. Apabila adopsi dilakukan sebelum dikeluarkannya UU Nomor 1 tahun 1974, maka akibat hukumnya tunduk kepada KUHPerdata yang meliputi :
Budiarto, Op. Cit., hlm.21. J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya, 2000), hlm.236.
7 6

17

a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat (2) KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan orang tua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata); b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa, maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 KUHPerdata); c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan. 2. Apabila adopsi dilakukan setelah dikeluarkannya UU Nomor 1 tahun 1974, maka akibat hukumnya tunduk kepada UU Nomor 1 tahun 1974 yang meliputi : a. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, yaitu : Didalam Pasal 45 menyatakan bahwa : a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya; b) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Didalam Pasal 47 dinyatakan bahwa : Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang

18

lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal : a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b) Ia berkelakuan buruk sekali. b. Kewajiban orang tua terhadap harta benda anak, yaitu : Pasal 48 UU Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa : Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki oleh anaknya yang belum berumur delapan belas tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu mengkehendakinya. c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu selain berhak atas pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 UU Nomor 1 tahun 1974, yaitu : a) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik; b) Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya. Akibat hukum pengangkatan anak yaitu timbul hubungan keperdataan meliputi nafkah, pemeliharaan anak dan waris antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat. I. Pengangkatan Anak Dan Kaitannya Dengan Usaha Perlindungan Anak

19

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan dan harus dipastikan demi kepentingan anak. Pengangkatan anak akan mempunyai dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut8 : 1. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu; 2. Anak yang cacat mental, fisik, sosial; 3. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya; 4. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua kandung sepanjang hayat; 5. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya. Kemudian adapula faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak, yaitu9 : 1. Subyek yang terlibat dalam perbuatan mengangkat anak; 2. Alasan atau latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak adoptant (yang mengadopsi) maupun dari pihak orang tua anak; 3. Ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak; 4. Para pihak yang mendapat keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak. Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal yang paling utama. Selain itu, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain yang berjasa dalam terlaksananya proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir dalam mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat itu sendiri. Sepanjang proses tersebut, anak
8 9

Arif Gosita, Masalah Perlindungan anak, (Jakarta: Akademika Pressindo CV, 1984), hlm.38. Ibid, hlm.38-39.

20

benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa10. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju kearah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak. Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu11 : 1. Memberikan pembinaan mental bagi para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan anak dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri yang dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan keluarga; 2. Memberikan bantuan untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat; 3. Menciptakan iklim yang dapat mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak; 4. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan non-formal secara merata untuk semua golongan masyarakat.

10 11

Gosita, Op. Cit., hlm.50. Ibid, hlm.57.

21

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang sering terjadi dan banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai motivasi dan akibat hukum yang beraneka macam, sesuai dengan keaneka ragaman golongan masyarakat atau sistem serta lingkaran daerah hukumnya. Instrumen hukum yang mengatur mengenai pengangkatan anak diantaranya adalah : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; 3. SEMA Nomor 2 tahun 1979 jo. Nomor 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak Pada dasarnya pengangkatan anak tidak dapat dibenarkan berdasarkan azas-azas perlindungan anak. Namun demi perlindungan anak yang mengutamakan kesejahteraan anak dan

22

perlakuan adil anak pelaksanaan pengangkatan anak masih dapat diterima asalkan memenuhi beberapa syarat. Motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan dan harus dipastikan bahwa perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan si anak. B. Saran Perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih mudah, jelas, dan tegas agar masyarakat pun dapat dengan mudah mengertinya. Setelah itu, pemerintah perlu untuk mensosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan memahaminya. Dengan peraturan yang jelas dan tegas, tentunya akan mempermudah masyarakat untuk mengerti dan menyadari pentingnya dalam melaksanakan pengangkatan anak yang sesuai dengan peraturan. Selain itu perlu adanya suatu kerja sama dan pengawasan yang ketat agar aturan yang sudah ada dapat berjalan dan terlaksana secara maksimal dan efisien baik dari pemerintah dan juga masyarakat.

23

DAFTAR PUSTAKA

Buku Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Presindo CV, 1984. M.Budiarto. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: Aka Press, 1991. Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Alumni, 1980. Soemitro, Irma Setyawati. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

24

________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

You might also like