You are on page 1of 11

Afasia Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak

dr. Lily Sidiarto dan dr. Sidiarto Kusumoputro

Klinik Gangguan Wicara - Bahasa Bagian Neurologi FKUI/RSCM, Jakarta PENDAHULUAN Dengan bertambahnya jumlah gangguan peredaran darah otak (CDV) dan trauma kapitis, maka jumlah kasus dengan gejala sisa neurologik juga makin meningkat. Gejala sisa elementer yang paling menyolok adalah hemiparesis dan gejala sisa fungsi luhur yang paling banyak adalah afasia. Pada kasus CVD, kemungkinan seorang pasien menderita afasia adalah 25%, karena separuhnya menderita hemiparesis dekstra dan separuh
dari

ini mungkin menderita afasia. Karena afasia tergolong kelainan komunikasi dan komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia, maka rehabilitasi afasia tidak dapat diabaikan. Mungkin saja seorang dengan gejala sisa kelumpuhan menduduki jabatannya semula tetapi akan sangat sulit bagi orang yang menderita afasia. Bukannya ini berarti tidak mungkin; sebagian pasien afasia dapat juga kembali menduduki jabatan semula asal afasinya yang tidak terlalu berat mendapatkan rehabilitasi yang cepat dan tepat. Untuk maksud itu, kecepatan dan ketepatan diagnosis sangat diperlukan untuk menolong nasib pasien afasia. Makalah ini mengu raikan secara singkat masalah afasia ditinjau secara klinik. GANGGUAN KOMUNIKASI Seorang yang berkomunikasi menggunakan sederetan fungsi sebagai berikut : 1. simbolisasi, yaitu melakukan formulasi dan menyimak bahasa dan simbol-simbol lain yang lazim disebut berbahasa. 2. respirasi, yang diperlukan untuk mendapatkan tenaga guna berbicara (speech). 3. resonansi : menghasilkan nada-nada tertentu. 4. fonasi (pembunyian) : tenaga yang didapat dipakai untuk menggerakkan pita suara. 5.

artikulasi : menghasilkan vokal dan konsonan untuk berbicara. 6. lafal : menghasilkan pengucapan bunyi bahasa. 7. prosodi : yang membuat lagu kalimat. 8. kemampuan komunikasi, yaitu kemauan, kesediaan dan kemampuan untuk berinteraksi lewat komunikasi. Jenis gangguan komunikasi dapat disebabkan oleh kelainan pada salah satu atau beberapa
dari

fungsi tersebut diatas. Bagan gangguan wicara


-

bahasa (speech and language disorder) Gangguan komunikasi juga disebut sebagai gangguan wicara bahasa dan istilah ini lebih sering dipakai. Gangguan ini dapat terjadi pada anak dan dewasa. Sebuah bagan sederhana disajikan dibawah ini :
Gangguan wicara--bahasa a. gangguan multimodalitas : -- afasia b. gangguan modalitas tunggal : -- agnosia -- apraksia c. gangguan "berpikir" : -demensia -- confusion (kusut pikir) -- psikogemic

Untuk memahami jenis-jenis gangguan wicara


-

bahasa sebaiknya dikenal juga komponen


-

komponen
dari

proses pusat bahasa di otak. Menurut Brown, model pusat bahasa di otak

terdiri
dari

4 kompon en : 1. kosa kata (leksikal) yang didapat sejak kecil dan dikembangkan terus seumur hidup. 2. sintaktikal, suatu aturan yang dikuasai untuk membentuk

kalimat yang benar. 3. rentang ingatan auditif (auditory retention span) yang cukup lama untuk dapat memproses apa yang didengar. 4. pemilihan saluran, suatu kemampuan untuk menyaring dan memilih masukan (input) dan keluaran (output) yang diperlukan untuk berbahasa menurut hirargi. Komponen
-

komponen ini diperlukan untuk mempelajari bahasa dan mempergunakannya secara baik dan benar. Penerapan penggunaan komponen
-

komponen tersebut dalam berbahasa dapat dilihat


dari

ketrampilan penggunaan modalitas bahasa sebagai berikut : 1. berbicara 2. menyimak 3. menulis 4. membaca Jenis-jenis gangguan bahasa dapat diterangkan berdasarkan ketrampilan menggunakan modalitas bahasa diatas. GANGGUAN WICARA--BAHASA Seseorang dapat terganggu wicaranya saja (speech disorder) ataukah bahasanya (language disorder). Kedua gangguan yang disatukan tersebut sebenarnya mempunyai perbedaan yang nyata. Gangguan wicara : bersifat perifer, disebabkan oleh kelainan
-

kelainan saraf perifer, otot dan struktur yang dipakai untuk berbicara. Gangguan bahasa : bersifat sentral, disebabkan oleh kelainan pada korteks serebri (fungsi luhur). 1. Gangguan wicara : Sering disebut juga sebagai gangguan wicara dan suara (speech and voice disorder), karena memang mencakup kedua fungsi tadi. Lazim juga disebut dengan satu kata "disartria" untuk kemudahan. Kelainan
-

kelainan neurologik banyak yang menyebabkan gangguan wicara ini dan letak lesinya dapat ditetapkan berdasarkan gangguan fungsi dasar yang ditemukan. Juga penyakit

penyakit lain seperti THT, mulut, gigi


-

geligi, paru dan sebagainya dapat menyebabkan gejala


"

disartria" ini. Kami tidak membahas hal ini lebih lanjut. 2. Gangguan bahasa : Gangguan ini lebih kompleks sifatnya. Gangguan bahasa dapat ditinjau
dari

aspek gangguan modal itas bahasa (berbicara, menyimak, menulis dan membaca), untuk membedakan afasia
dari

agnosia dan apraksia. Sedangkan


dari

aspek gangguan
"

berpikir
"

dan
"

cara penggunaan bahasa" dapat dibedakan demensia, kusut pikir (confusion) dan kasus psikiatrik. ?gangguan multimodalitas bahasa : Afasia adalah gangguan bahasa yang meliputi semua modalitas yaitu berbicara, menyimak, menulis dan membaca. Tidak ada afasia yang salah satu modalitasnya masih sempurna. Biasanya semua terkena, hanya yang satu lebih berat daripada yang lain. ? gangguan modalitas tunggal : Sering dijumpai pasien tidak
4 Cermin Dania Kedokteran No. 34, 1984

dapat berbicara dan menyimak bahasa, tetapi masih dapat menulis dan membaca. Pasien ini menderita agnosia auditif. Sebaliknya pasien yang menderita apraksia tidak mampu menulis, tetapi mampu berbicara. gangguan
"

berpikir" : Penggunaan bahasa yang tidak benar dapat juga disebabkan oleh gangguan cara berpikir dan salah menggunakan bahasa. Hal ini membedakan
dari

afasia, agnosia dan apraksia yang disebabkan oleh gangguan mo-

dalitas bahasa. Contoh


dari

gangguan
"

berpikir" adalah demensia, kusut pikir (confusion) dan kasus psikiatrik. Di bawah ini akan dibahas sepintas tentang pola berbahasa pada contoh tersebut untuk memberikan gambaran bahwa ada gangguan bahasa yang non-afasia. Pola berbahasa pada pasien demensia menunjukkan kesalahan
-

kesalahan pada semua segi bahasa. Yang menyolok ialah ketidak mampuan untuk memberikan makna sebuah pepatah. Tidak mampu melaksanakan tugas verbal yang abstrak, seperti tidak dapat menyebutkan nama-nama benda dalam satu kategori (namanama hewan piaraan rumah). Reaksinya lambat, sukar mengikuti pembicaraan yang beralih
dari

satu judul ke judul yang lain. Pasien lupa apa yang baru saja dibicarakan. Selain gangguan bahasa, pasien demensia juga menunjukkan gangguan fungsi luhur lainnya seperti gangguan persepsi, memori, kognitif dan emosi. Pola berbahasa pasien kusut pikir (confused) tampaknya sepintas masih normal. la masih dapat menyebutkan nama benda, membaca kalimat pendek dan mudah, berhitung sederhana. Tetapi mengalami kesukaran kalau tugas tersebut agak sulit. Pasien akan mengalami kesulitan menjawab pertanyaan yang terbuka, yang harus ia jawab dengan menyusun kalimat. la akan mengalami kesulitan pula dalam memberi makna sebuah pepatah. Walaupun kalimatnya benar tetapi isinya sering tidak cocok. la tidak sadar bahwa ia telah membuat kesalahan dalam pembicaraannya. Pasien juga mengalami gangguan orientasi waktu, orang dan tempat disamping gangguan yang tersebut diatas. Juga pasien sukar mempertahankan interaksinya dengan orang lain dalam waktu lama dan tidak dapat mengikuti pembicaraan terus menerus. Biasanya keadaan kusut pikir ini semen tara (transient) sifatnya. Pola berbahasa pada kasus psikiatrik tidak dibahas disini. SINDROMA AFASIA Afasia adalah gangguan bahasa yang multimodalitas, artinya tidak mampu berbicara, menyimak, menulis dan membaca. Tergantung
dari

jenis afasinya, ketidak mampuan dalam modalitas tersebut tidak merata tetapi satu lebih menonjol
dari

yang lain.
Dari

segi klinik, jenis afasia yang mudah dikenali adalah : 1. afasia Broca (menonjol : tidak dapat bicara) 2. afasia Wernicke (menonjol : tidak dapat menyimak) 3. afasia anomik (menonjol : tidak dapat menyebut nama benda) 4. afasia konduksi (menonjol : tidak dapat mengulang kalimat) 5. afasia global (semua tidak dapat) Masih ada jenis-jenis afasia lain yang tidak dicantumkan, ka

rena jarang dan sukar dikenali secara klinik. Ciri-ciri afasia Afasia adalah gangguan bahasa dan biasanya tanpa gangguan fungsi luhur lainnya seperti gangguan persepsi, memori, emosi dan kognitif (kalaupun ada tidak seberat gangguan bahasanya). Disini letak perbedaan dengan demensia, yang mengalami gangguan pada semua fungsi luhur secara merata. Afasia dapat dibagi dalam 2 golongan besar : afasia non-fluent dan afasia fluent. Penggolongan ini dilakukan dengan memperinci ciri-ciri bicara spontan pasien. Afasia dapat ditentukan jenisnya
dari

analisis kemampuan linguistiknya (bicara spontan, menyimak, mengulang dan menyebut). Afasia yang berat dan sedang dapat ditetapkan secara klinik non formal, sedangkan afasia yang ringan atau meragukan perlu ditetapkan secara formal dengan tes afasia. Penetapan jenis afasia (Broca, Wernicke dan sebagainya) diperlukan untuk menentukan letak lesi di otak (diagnostik) dan program rehabilitasinya (bina wicara
=

speech therapy). Langkah-langkah penetapan afasia 1. menentukan bahasa yang dikuasai pasien. 2. menentukan kecekatan tangan (handedness) 3. menetapkan golongan afasia non fluent dan fluent. 4. menetapkan jenis afasia. 5. menetapkan fungsi

fungsi luhur lainnya (persepsi, memori, emosi, kognitif). 6. menetapkan dengan tes formal (Token Test, Peabody Vocabulary Test, Boston Diagnostic Aphasia Test). 7. menetapkan fungsi-fungsi luhur lainnya dengan formal (tes psikometrik). Ca ra dan makna penetapan 1. Pada afasia, biasanya bahasa ibu merupakan bahasa yang paling sedikit terkena dibandingkan bahasa
-

bahasa lain yang dipelajari oleh pasien poliglot. 2. Hemisfer kiri pada orang k inan (right-handed) dianggap merupakan hemisfer yang dominan. Dominansi serebral ini dapat diketahui
dari

kecekatan tangan pasien. Kemutlakan dominansi serebral dapat dipakai sebagai ancar-ancar untuk menentukan prognosis afasia. Dikatakan bahwa dominansi yang mutlak mempunyai prognosis yang kurang baik dibandingkan dominansi yang tidak mutlak. Kemutlakan ini dapat diketahui
dari

kecekatan tangan, mata dan kaki pasien. Orang dianggap kinan mutlak bila ia cekat dalam hal penggunaan tangan, mata dan kaki kanan serta tidak ada keluarga yang kidal. Orang dianggap kinan tidak mutlak bila cekat tangan kanan disertai cekat mata atau kaki kiri, atau bila ada keluarga yang kidal. Cara menentukan cekat tangan biasanya dilihat
dari

tangan mana yang dipakai untuk bekerja, menulis dan makan minum. Cekat mata ditentukan dengan mata mana pasien mengintip sebuah lubang dan cekat kaki dengan cara kaki mana yang dipakai untuk berdiri diatas satu kaki. Cara-cara tersebut sudah cukup untuk menentukan kecekatan. Ada cara -cara lain yang lebih terperinci yang tidak dibahas disini. Hal -hal tersebut tidak berlaku seluruhnya bagi pasien kidal. 3. Bicara spontan

yang

non fluent dan fluent dapat ditentukan dengan menganalisis ciri-ciri bicara sebagai berikut : tempo berbicara menurun meningkat - usaha bicara meningkat normal - banyak bicara menurun meningkat (logore) - isi substantif predikatif - panjang frase pendek panjang - parafasia jarang ada

Menentukan ciri bicara ini penting dalam menetapkan letak lesi. Afasia non fluent : biasanya letak lesi di bagian anterior hemisfer kiri (dominan). Afasia fluent : letak lesi biasanya di bagian posterior. Pada penentuan ciri bicara ini pasien disuruh berbicara secara spontan untuk beberapa saat.
Dari

pembicaraannya dapat dinilai ciri-ciri tadi. Tentu hal ini dilakukan secara global dalam penetapan secara klinik. Dalam penetapan formal terdapat patokan penilaian tertentu
dari

ciri bicara ini. 4. Penetapan jenis afasia dipakai kemampuan linguistik bicara spontan, menyimak, mengulang dan menyebut sebagai patokan. Secara klinik, bicara spontan telah. dibahas diatas. Penyimakan bahasa dapat ditentukan secara klinik dengan menanyakan beberapa pertanyaan pada pasien dan pertanyaan yang diajukan mula-mula sederhana makin lama makin kompleks. Pertanyaan dibuat sedemikian hingga cukup dijawab oleh pasien dengan ya atau tidak, bila perlu dengan anggukan dan gelengan kepala. Hal ini terutama bila kita memeriksa pasien afasia yang non-fluent. Contoh pertanyaan : "Apakah ibu yang ada disamping saya ini istri bapak?" "Apakah bapak sudah sarapan pagi tadi?" Pertanyaan dapat disusun dan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan kedudukan social pasien. Pertanyaanpertanyaan formal pada tes afasia tentu menggunakan kalimat yang dibuat sedemikian rupa hingga mempunyai kesukaran linguistik. Pengulangan kata/kalimat juga dimulai

dari

yang sederhana sampai yang sulit. Contoh kata yang sederhana "makan" dan yang sulit "menjajagi
"

. Kalimat mudah "Udara hari ini cerah" dan kalimat sulit "Musim kemarau yang panjang dan kering tahun ini merupakan bencana bagi kami
"

. Penyebutan nama benda dapat dilakukan dengan menyuruh pasien menyebutkan beberapa nama benda yang ada disekitarnya.
Jenis afasia ditentukan dengan kemampuan linguistik sebagai berikut : Afasia bicara spontan penyimakan pengulangan penyebutan Wernicke Broca konduksi global anomik fluent non-fluent fluent non-fluent fluent buruk baik ba ik buruk baik buruk buruk buruk buruk baik buruk buruk buruk buruk buruk

Penetapan jenis afasia ini mempunyai makna : diagnostik, prognostik dan terapeutik sebagai berikut :
?

Afasia Broca terletak di bagian anterior di daerah posterior girus frontalis

Afasia Wernicke terletak di bagian posterior di daerah girus temporalis posterior-superior ? Afasia konduksi lesinya berada di fasikulus arkuatus diantara

Broca dan Wernicke. ? Afasia global mempunyai lesi yang luas meliputi seluruh korteks. Prognosisnya juga sangat buruk ada yang menyebutnya sebagai afasia
irreversible

Jenis inilah yang sering mirip dengan demensia. ? Afasia anomik atau anomia dapat terjadi di beberapa tempat. Tidak mempunyai nilai lokalisasi. Paling sering di daerah girus angularis. Sering mgrupakan gejala sisa dari afasia yang berat. 5. Penetapan afasia dengan tes formal yang dipakai di Klinik Gangguan Wicara Bahasa FKUI/RSCM dipilihkan dari tes yang bersifat multilingual. Artinya, tes yang dapat dialih bahasakan ke bahasa lain. Namun demikian, kesulitan linguistik dalam modifikasi tes tersebut masih ada. Afasia adalah ilmu yang prinsip, konsep dan tes formalnya tidak dapat diambil alih begitu saja dari bahasa aslinya. Penanganan terpadu afasia oleh neurolog, psikolog, linguist dan ahli bina-wicara sangat mutlak. DASAR-DASAR REHABILITASI Bina wicara
(speech therapy)

pada afasia didasarkan pada : 1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya. 2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik. 3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat). 4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien. 5. Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk mau belajar
(re-lea rning)

bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien memberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan ataupun taktil. Materi yang telah dikuasai pasien perlu diulang-

ulang (repetisi). 6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien afasi yang lain. 7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak

You might also like