You are on page 1of 7

Tinjauan Kritis Terhadap Universalisme Gerakan Feminisme

Dituliskan oleh Ajie Selasa, Maret 06, 2012

Abstrak: Gerakan feminisme yang menitikberatkan pada kesetaraan berbasis gender (Gender Equality) telah merebak di seluruh dunia. Gerakan ini melihat bahwa posisi wanita telah banyak direduksikan di berbagai kebudayaan diseluruh dunia, sehingga pengembalian posisi wanita selayaknya posisi pria dalam masyarakat memiliki level urgensitas yang tinggi. Namun demikian, generalisasi terhadap posisi wanita dalam berbagai kultur ataupun sub-kultur masyarakat dunia yang setara akan menjadi suatu anti-tesis terhadap teori relativisme kultur, relativisme moral dan suatu perilaku paradoxial dalam konteks penegakkan HAM. Sebelumnya, penulis ingin menekankan bahwa tulisan ini tidak berdasarkan asumsi sexism semata atau mindset anti-feminism. Tulisan ini murni bertujuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dengan harapan membangun atas populernya gerakan feminisme yang mulai menunjukkan geliatnya di Indonesia sejak lebih dari 1 dasawarsa silam. Sebagai akademisi yang mempunyai background pendidikan ilmu sosial dan politik, maka salah satu kewajiban penulis adalah mampu melakukan proses dialektik dan menguji pergerakan feminisme dengan berbasis pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Tulisan ini juga bersifat semiilmiah sehingga diharapkan mampu dicerna dengan sangat mudah oleh berbagai kalangan.

Pertama kali penulis mengenal istilah Kesetaraan Gender adalah 2 tahun silam saat penulis aktif disebuah organisasi bernama Global Citizen Corps. Dalam organisasi inilah penulis menyadari fakta selalu ada segregasi (pemisahan) gender dalam masyarakat, terutama masyarakat Jakarta tempat dimana si penulis hidup. Segregasi berbasis gender terjadi dimanapun kita berada, mulai dari tingkat keluarga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, Provinsi hingga Negara. Bahkan dalam sebuah komunitas non-governmental, segregasi itu tetap ada. Seperti posisi seorang Sales Promotion yang diprioritaskan untuk perempuan, atau seorang mekanik bengkel yang diprioritaskan untuk seorang pria. Dalam pemahaman feminisme, kodrat wanita yang dalam banyak kebudayaan berada pada status inferior (seperti memasak, menyetrika, race girl dan lain-lain) dianggap sebagai sebuah dekonstruksi sosial (Hendri Yulius, 2011). Sehingga dalam hal ini, term Kodrat dilihat sebagai sebuah hasil sintesa dalam masyarakat yang berasal dari observasi, asumsi, generalisasi dan premis pada masa-masa

primordialisme masyarakat yang bersangkutan dan terus terinternalisasi dalam proses sosial hingga saat ini. Hingga seperti yang kita bisa saksikan sekarang perbedaan antara fungsi sosial seorang pria dengan fungsi sosial seorang wanita. Hal inilah yang berusaha untuk diperbaiki oleh gerakan feminisme. Mulai dari perbaikan langsung dilapangan ataupun dari telaah-telaah teoritis dalam berbagai disiplin ilmu. Aliran feminisme mulai banyak berkembang di berbagai disiplin ilmu, salah satunya adalah teori feminisme dalam studi Hubungan Internasional (HI). Teori feminisme HI mengempasiskan diri pada peran perempuan dalam dinamika hubungan antar bangsa, baik itu dalam level hubungan internasional ataupun politik internasional dan juga mendorong untuk mulai mempertimbangkan subjek wanita dalam interaksi antar bangsa (Cynthia Enloe, 1990). Sedangkan perbaikan langsung dilapangan contohnya adalah seperti pemberdayaan perempuan dalam berbagai profesi pekerjaan yang tadinya hanya dipegang oleh pria. Perbaikan yang dilakukan oleh gerakan feminisme inilah yang berusaha disosialisasikan dan diinternalisasikan ke seluruh dunia. Dengan melandaskan gerakannya pada konsep HAM (Hak Asasi Manusia), gerakan feminisme melihat bahwa hak-hak dasar wanita dan fungsinya dalam masyakat adalah sama dengan hak dan fungsi pria. Dan juga dengan berkaca pada gaya implementasi HAM yang bersifat universal, maka gerakan feminisme pun juga menganut universalisme dalam implementasinya. Universalisme yang bisa juga kita sebut dengan generalisasi global (atau globalisasi) ini adalah sebuah agenda yang merupakan anti-tesis terhadap prinsip relativisme. Kehidupan sosial dengan segala produk-produknya (konstruksi sosial) adalah sebuah determinan yang unik. Faktor posisi geografis, cuaca, iklim, vegetasi, kontur tanah, sumber air, sumber pangan dan lain-lain akan membentuk kelompok masyarakat yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh adalah masyarakat Papua yang tinggal di daerah yang berbukit-bukit curam serta bergunung-gunung menyebabkan mereka jarang berinteraksi dengan suku/kelompok masyarakat lain sehingga sifat etnosentrisme dan saling mencurigai antar suku menjadi sangat tinggi. Tingginya etnosentrisme dan tingkat kewaspadaan mereka membuat mereka menjadi kelompok yang tertutup terhadap orang asing. Itulah mengapa masih banyak suku yang hidup dalam masa pra-sejarah (belum mengenal tulisan) di wilayah Papua karena mereka menolak untuk menerima hal baru (pengetahuan baru) dari luar. Dalam banyak suku di Papua juga banyak terjadi poligami yang dilakukan oleh kepala sukunya. Hal ini terjadi karena banyaknya pria dewasa dalam suku tersebut yang tewas dalam perburuan atau perang, sehingga wanita-wanita yang berada dalam kelompok tersebut menjadi sendiri dan akhirnya diakui

kepemilikannya secara bersama (common agreement) untuk sang kepala suku. Fenomenon seperti ini terjadi berulang kali selama banyak generasi dan akhirnya menjadi sebuah konstruksi sosial dalam suku tersebut. Contoh tersebut memperlihatkan kepada kita semua bahwa kondisi alam sangat berpengaruh pada karakteristik kelompok masyarakat tersebut, yang pada tingkat lebih kompleks disebut dengan relativisme kultural. Relativisme kultural merujuk pada suatu keadaan dimana diversitas kultur (budaya) sangat bervariatif sehingga adalah hal yang tidak mungkin untuk memperbandingkan budaya yang satu dengan budaya yang lain dengan justifikasi benar atau salah, lebih baik atau lebih buruk. Kaum relativisme kultural berpandangan bahwa apa yang benar dan salah, baik dan jahat, tergantung seluruhnya pada masyarakat tempat anda hidup (J. Teichman, 1998;10). Kultur, dalam isinya juga mengandung status sosial wanita dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan perlakuan terhadap wanita, perlakuan terhadap wanita antara Suku pedalaman di Papua dengan masyarakat metropolitan di Belanda tentu berbeda jauh; perlakuan terhadap seorang ibu yang terlibat perselingkuhan dalam suku Baduy Arab tentu berbeda dengan perlakuan mereka yang tinggal di pusat kota New York. Hal itu menunjukkan bahwa ada tingkat relativitas dalam perlakuan terhadap wanita, baik itu perlakuan fungsi ataupun status sosial. Mungkin pertanyaan yang timbul dalam benak adalah Mengapa terdapat relativisme kultural?. Relativisme kultural muncul karena 2 faktor: Internal dan eksternal. Faktor internal biasanya dipengaruhi oleh karakteristik psikologis orang yang bersangkutan, terlebih jika orang tersebut adalah pemimpin dari kelompok budaya tersebut (kepala suku, raja, pemuka agama dan semacamnya). Faktor eksternal adalah kondisi alam, termasuk hewan/tumbuhan endemik, kondisi geografis, sumber mata air, sumber pangan dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut saling berkorelasi dengan jumlah variabel yang luar biasa banyak sehingga lahirlah identitas-identitas kultural yang saling berbeda satu sama lain. Globalisasi Kesetaraan gender kita akui sedang berlangsung dengan melihat fakta mulai banyaknya organisasi-organisasi, baik itu multinasional atau lokal yang bergerak dalam hal pembelaan hak-hak wanita ataupun revitalisasi fungsi wanita. Dengan term Globalisasi sebagai sebuah proses penyeragaman (S. Gill, 1997) dan fakta adanya relativisme kultural, maka globalisasi ini menunjukkan kecenderungan melakukan proses eliminasi terhadap kultur yang tidak sinkron dengan konsep kesetaraan gender. Proses eliminasi ini, dengan berkaca dari apa yang telah terjadi di lapangan, cenderung bersifat persuasif alih-alih pemaksaan. Kalaupun eliminiasi dengan cara pemaksaan (koersif) dalam tingkat negara, maka yang banyak terjadi

adalah munculnya undang-undang atau peraturan yang berbentuk hukum formal yang mengatur posisi wanita, perlindungan terhadap wanita dan hak-hak wanita. Globalisasi kesetaraan gender inilah yang pada tingkat lebih luas, terutama pada tingkat komunitas multi-kultur, yang melanggar nilai-nilai dalam konsep cultural pluralism (Pluralisme kultural). Pluralisme kultural bertujuan untuk menciptakan kondisi seimbang dalam hal shared value (nilai kultural yang terbagi) dalam berbagai macam suku/kebudayaan yang berada dalam satu komunitas tersebut (Swan Committee Report, 1985). Pluralism kultural menciptakan suatu segregasi maya dalam suatu komunitas yang menjadi garis demarkasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Sederhananya, dalam konsep kultural pluralism menjaga suatu kultur tertentu dalam suatu komunitas yang terdiri dari banyak kultur yang berbeda tanpa perlu melakukan eliminasi terhadap kultur tersebut dan juga tidak melakukan usaha dominasi dalam rangka menjadikan komunitas tersebut kultur homogen. Bila kita bandingkan dengan proses globalisasi keseteraan gender pada masa modern ini yang menunjukkan diskursus reduksi (atau bahkan eliminasi absolut) terhadap nilai-nilai kultural tertentu dengan tujuan meningkatkan status sosial wanita dalam suatu komunitas, maka yang muncul adalah sebuah proses paradoxial: HAM (yang menjadi landasan gerakan kesetaraan gender) menjamin bahwa setiap setiap kelompok kebudayaan (baca: Komunitas) berhak untuk menerapkan nilai-nilai kulturalnya sendiri. Sedangkan pada saat yang sama, globalisasi kesetaraan gender melakukan penetrasi terhadap kelompok kebudayaan untuk menghilangkan beberapa nilai kulturalnya sendiri yang seyogyanya telah menjadi haknya (kultur tersebut). Begitupun halnya dengan relativisme kultural yang telah penulis jabarkan sebelumnya. Globalisasi kesetaraan gender telah mengalienasikan (non-eliminasi) prinsip relativisme kultural baik itu dalam tingkat nation-state ataupun tingkat kesukuan. Hal ini tampak dari usaha globalisasi kesetaraan gender yang tidak melihat kultur sebagai sebuah determinan dominan yang bersifat intrinsik per individu dalam kehidupan sosial suatu komunitas tertentu. Dalam skala nation-state alienasi ini bisa diminimalisir melalui kekuatan-kekuatan koersif yang bersumber dari hukum formal Negara yang bersangkutan, termasuk ideologi dasar Negara yang bersangkutan. Namun dalam skala suku/kelompok masyarakat kecil (seperti setingkat dengan desa atau suku-suku pedalaman) alienasi ini relatif tidak terbendung karena yang berlaku hanyalah hukum adat atau hukum lain yang tidak tertulis dan lebih mengandalkan persepsi masing-masing individu terhadap proses globalisasi kesetaraan gender.

Selain faktor relativisme kultural, globalisasi feminisme juga merupakan anti-tesis dari relativisme moral.Relativisme moral, secara faktual deskriptif, adalah sebuah kondisi dimana nilai-nilai moral yang seharusnya tidaklah pernah ada. Menurut Dr. Ruth Benedict menyebutkan bahwa moralitas adalah istilah yang isinya tidak lain hanyalah kebiasaan-kebiasaan yang secara sosial telah diterima oleh suatu masyarakat tertentu. Dr. Ruth menganggap bahwa kebudayaan, masingmasing dengan polanya sendiri-sendiri, perlu dimengerti sebagai perjalanan melalui jalan-jalan yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda dan tujuantujuan serta sarana-sarana yang ada pada suatu masyarakat tidak dapat dinilai berdasarkan tujuan-tujuan dan sarana yang berlaku di masyarakat lain, karena tujuan dan sarana di tempat yang berbeda tersebut tidak mungkin diperbandingkan (Ruth Benedict, Patterns of Culture, New York: Mentor Books, 1958, p. 206). Contoh dari relativisme moral yang mungkin secara terangan-terangan tidak sesuai dengan perspektif suku-suku di Indonesia adalah masyarakat (suku) Eskimo. Dalam kehidupan sehari-hari suku Eskimo adalah biasa untuk menawarkan istri sendiri kepada tamu untuk tidur bersama di malam harinya, apalagi jika mereka menerima tamu yang dianggap terhormat. Di suku eskimo juga terjadi pembunuhan terhadap orang-orang/anggota suku yang dianggap sudah tidak produktif (cacat fisik ataupun karena faktor usia) dengan cara membiarkan orang tersebut tidur diluar tanpa alas atau perlindungan apapun kecuali pakaian yang melekat dalam tubuhnya. Bagi kita mungkin hal tersebut terdengar begitu kejam dan amoral, tapi bagi suku Eskimo hal itu adalah suatu hal yang biasa yang selalu dilakukan selama puluhan atau bahkan ratusan generasi. Contoh lainnya adalah kanibalisme yang terjadi di banyak sukusuku di wilayah Karibia dan Amerika kuno. Orang Eropa yang pertama kali melihat kanibalisme menganggap bahwa kelakuan tersebut adalah perilaku bejat dan tidak bermoral. Namun bagi suku Karibia dan Amerika itu sendiri kanibalisme adalah bentuk dari penghormatan terhadap senior (tetua) yang telah meninggal dengan harapan saat mereka memakan tubuh sang tetua, maka kekuatan dan kehebatan tetua tersebut akan menurun dalam dirinya. Sebaliknya, perilaku kanibalisme dengan memakan tubuh musuh adalah dianggap sebagai bentuk perayaan kemenangan, yang diharapkan jika mereka memakan mayat lawannya maka tidak ada lagi lawan-lawan yang datang di kemudian hari. Dr. Ruth Benedict juga menegaskan bahwa pada abad 20 ini, perspektif moral yang banyak dipakai dalam hukum formal Negara dan pergaulan antar bangsa adalah perspektif moral Eropa (Europecentris). Europecentris melihat bahwa kebudayaankebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan yang diterima secara

bersama (common acceptance) di Eropa, adalah kebudayaan yang biadab atau populer dengan istilah barbar. Itulah mengapa saat pertama kali Bangsa Spanyol datang ke benua Amerika, hal pertama yang mereka lakukan adalah melakukan pembantaian (messacre) terhadap suku-suku Indian yang mereka anggap amoral, seperti yang dilakukan oleh Claudio Pizarro di Amerika Selatan. Dalam kaitan antara Europecentris dengan gerakan feminisme, walaupun konsep paling dasar gerakan feminisme pada awalnya lahir di Timur Tengah (Karen Armstrong, Sejarah Para Tuhan, 2001), namun pada akhirnya berkembang dengan pesatnya di Eropa. Jadi walaupun ide awalnya adalah terpengaruh oleh kebudayaan Timur Tengah, namun pada perkembangan lebih lanjut feminisme lebih banyak dipelajari dan dipengaruhi sedemikian rupa oleh kebudayaan Eropa. Dan proses globalisasi itu sendiri yang mulai berlangsung pasca Perang Dunia II (J. Bhagwati, 2005), termasuk dalam hal globalisasi feminisme, juga merupakan sebuah produk kebudayaan dari Eropa. Maka kesimpulan yang kita tarik disini adalah fakta bahwa globalisasi feminisme adalah sebuah globalisasi kultural/kebudayaan yang berasal dari Eropa dengan subjeknya seluruh dunia, baik itu tingkat nation-state ataupun tingka komunitas mikro (kesukuan). Sama dengan yang terjadi dengan relativisme kultural, globalisasi feminisme melakukan generalisasi terhadap semua kelompok suku/nation-state dengan berorientasi pada produk kebudayaan Eropa yang berupa konsep feminisme itu. Dikatakan generalisasi karena globalisasi feminisme telah mengalienasikan nilainilai moral yang relatif dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Alienasi ini kemudian dalam prakteknya menimbulkan suatu justifikasi atas suatu perbuatan sebagai hal yang benar atau salah, padahal bila melihat pada teori relativisme moral, dan tentunya fakta dari relativisme moral itu sendiri, kebenaran moral yang bersifat mutlak (universal) itu tidak ada. Kesimpulan Pelanggaran terhadap relativisme kultural, dan relativisme moral sebenarnya telah ditunjukkan sendiri oleh konsep HAM, yang menjadi landasan globalisasi feminisme. HAM, yang pada dasarnya menjamin hak-hak dasar manusia secara penuh, ternyata pada pasal lainnya juga melanggar jaminan itu sendiri (paradox). Contohnya adalah jaminan kepada setiap manusia untuk berkumpul dan melakukan kegiatan sesuai dengan budaya komunitasnya itu sendiri (baca: relativisme kultur) tanpa ada paksaan, larangan atau ancaman dari siapapun. Namun pada prakteknya di lapangan, bila kita bicara dalam konteks pelanggaran HAM, maka dunia sudah menyimpang dari prinsip HAM dengan melakukan justifikasi bahwa Negara-Bangsa

X sudah melanggar HAM karena melakukan budaya hukuman mati dengan cara pemenggalan kepala. Contoh lain dalam konteks pelanggaran HAM adalah larangan melakukan Carok (adu celurit pada masyarakat Madura) oleh Negara. Padahal carok adalah sebuah local-wisdom yang telah diterima secara bersama-sama oleh masyarakat Madura, yang seharusnya justru dilindungi Negara jika memang berprinsip pada HAM secara penuh. Sifat globalisasi feminisme itu sendiri akan menyimpang dari prinsip HAM bila sudah melakukan justifikasi salah-benar terhadap posisi wanita dalam suatu kebudayaan. Feminisme juga dianggap mencederai prinsip pluralism kultural, yang merupakan sebuah kondisi yang sangat dihormati dalam penegakkan HAM, saat mereka mulai mempenetrasi garis demarkasi maya dalam komunitas multi-kultur dan mulai mengintervensi budaya tertentu. Disinilah pertanyaan paling berat untuk para penegak HAM dan aktivis gerakan feminisme untuk melakukan penegakkan HAM, termasuk hak perempuan, tanpa melanggar prinsip HAM itu sendiri. Apalagi dengan fakta bahwa yang dihadapi adalah sebuah faktor kultural (yang membawahi faktor moral) yang terinternalisasi dengan sangat kuat dalam pemikiran masing-masing individu. Dan juga patut dipertimbangkan mengenai fakta bahwa faktor kultural di beberapa Negara menjadi suatu landasan hukum formal/ideology Negara-bangsa yang bersangkutan, yang tentunya bila kita bicara mengenai eksistensi Negara maka tidak bisa dipisahkan dari kajian mengenai politik praktis. Itulah sedikit tulisan dari penulis dalam rangka mengkritisi konsep feminisme yang dihadapkan pada teori relativisme kultural dan relativisme moral. Mohon maaf karena tulisan ini tentu tidak dapat terlepas dari berbagai macam kesalahan baik itu kesalahan dasar ataupun kesalahan proses berlogika sehingga respon dan komentarnya sangat dibutuhkan.

You might also like