You are on page 1of 12

PENDAHULUAN

Ikan merupakan salah satu produk hasil laut yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Beberapa jenis ikan dapat dikonsumsi,tapi sebagian tidak layak untuk dikonsumsi, apakah karena ikan tersebut beracun atau spesiesnya sudah langka. Berbagai cara dilakukan orang agar dapat memperolehnya, misalnya dengan jala, alat pancing, keramba dan s e j e n i s n y a , b a h k a n t a k j a r a n g diantara para penangkap tersebut y a n g menggunakan bom untuk hasil

tangkapan yang lebih banyak dan mudah. Ikan segar merupakan ikan yang sangat baik untuk

d i k o n s u m s i . Namun secara perlahan ikan segar dapat membusuk bila tidak ditangani dengan baik. Penanganan pasca panen sangatlah penting bagi mutu dankesegaran ikan. Selain untuk mempertahankan kesegaran ikan, penanganan yang tepat juga dapat mempertahankan mutu daging ikan .Penanganan pasca panen pada ikan ada tiga yaitu pengesan ( icing ), pendinginan (chilling ) , d a n p e m b e k u a n ( freezing ) . Ketiga hal ini s a n g a t penting untuk menjaga kesegaran ikan.

P e d a g a n g d i p a s a r b i a s a n y a menjual ikan yang sudah hampir busuk, tapi ikan segar dan busuk dapat dibedakan baik secara fisik ataupun kimiawi . Proses pembusukan ikan terjadi melalui tiga tahapan yang disebut post mortem. Dengan adanya ketiga proses ini, maka ikan cepat atau lambata akan membusuk. Oleh karena itu, pengujian tingkat kesegaran mutu pada i k a n sangat penting untuk dilakukan agar dapat diketahui apakah ikan tersebut dalam keadaan segar atau busuk. Salah satu faktor yang berperan pada kesegaran ikan adalah Adenosintrifosfat (ATP), ATP diketahui memegang peranan penting pada pembentukan komponen-komponen citarasa daging ikan segar. Disamping ATP dapat menghasilkan tenaga, diketahui pula senyawa ini dapat menghasilkan inosin monofosfat (IMP; asam inosinat) yang dapat memberikan citarasa enak pada daging ikan, dan menurut oleh beberapa ahli dianggap sebagai citarasa yang paling baik. Tetapi asam inosinat akan segera terbongkar menjadi inosin yang menyebabkan daging ikan menjadi hambar.

Pembongkaran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain suhu sangat berperan. Semakin suhu tinggi, pembongkaran ATP menjadi lebih cepat daripada suhu rendah. Sementara itu jenis ikan juga memegang peranan pada kecepatan pembongkaran ATP, dan ini mungkin ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kandungan glikogen dalam ikan (Antoro,2010). Untuk menguji kesegaran ikan, saat ini telah digunakan berbagai metode baik metode fisik, kimia maupun sensory. Metode kimia dianggap sebagai metode yang lebih obyektif dibanding metode sensory yang bersifat subyektif. Nilai K (K-value) merupakan salah satu metode kimia untuk menentukan kesegaran ikan yang didasarkan pada degradasi nukleotida (Ehira S dan Uchiyama dalam wijayati, dkk). Nilai K adalah suatu index yang digunakan untuk menyatakan tingkat kesegaran ikan secara enzimatis, dimana nilai ini merupakan perbandingan jumlah kadar HxR dan Hx yang terbentuk akibat Penguraian ATP pada daging lkan. Penilaian nilai K didasarkan pada jumlah ATP dan senyawa-senyawa hasil penguraiannya meliputi ADP, AMP, lMP, HxR dan Hx (Sanger, 2010)

ISI
Adenosine Tri Phosphate (ATP) Adenosina trifosfat (ATP) adalah suatu nukleotida yang dalam biokimia dikenal sebagai "satuan molekular" pertukaran energi intraselular; artinya, ATP dapat digunakan untuk menyimpan dan mentranspor energi kimia dalam sel. ATP juga berperan penting dalam sintesis asam nukleat. Molekul ATP juga digunakan untuk menyimpan energi yang dihasilkan tumbuhan dalam respirasi selular. ATP yang berada di luar sitoplasma atau di luar sel dapat berfungsi sebagai agen signaling yang memengaruhi pertumbuhan dan respon terhadap perubahan lingkungan.

Gambar 1. Rumus Struktur ATP Sumber: Wikipedia Indonesia

ATP terdiri dari adenosina dan tiga gugus fosfat. Rumus empirisnya adalah C10H16N5O13P3, dan rumus kimianya adalah C10H8N4O2NH2(OH)2(PO3H)3H, dengan bobot molekul 507.184 u. Gugus fosforil pada AMP disebut gugus alfa, beta, and gamma fosfat. ATP dapat dihasilkan melalui berbagai proses selular, namun seringnya dijumpai di mitokondria melalui proses fosforilasi oksidatif dengan bantuan enzim pengkatalisis ATP sintetase. Pada tumbuhan, proses ini lebih sering dijumpai di dalam kloroplas melalui proses fotosintesis. Bahan bakar utama sintesis ATP adalah glukosa dan asam lemak. Mula-mula, glukosa dipecah menjadi asam piruvat di dalam sitosol dalam reaksi glikolisis. Dari satu molekul glukosa akan dihasilkan dua molekul ATP. Tahap akhir dari sintesis ATP terjadi dalam mitokondria dan menghasilkan total 36 ATP. Jumlah total ATP dalam tubuh manusia berkisar pada 0,1 mol. Energi yang digunakan oleh sel manusia untuk melakukan hidrolisis dapat

berjumlah 200 hingga 300 mol ATP per hari. Artinya, setiap molekul ATP didaur ulang sebanyak 2000 hingga 3000 kali setiap hari. ATP tidak dapat disimpan, karenanya sintesis harus segera diikuti dengan penggunaan. Sel juga memiliki trifosfat nukleosida mengandung energi tinggi yang lain, seperti GTP. Energi dapat dengan mudah ditransfer antar trifosfattrifosfat ini dengan ATP melalui reaksi yang dikatalisis oleh nukleosida difosfokinase: Energi dilepaskan ketika terjadi hidrolisis terhadap ikatan-ikatan fosfat berenergi tinggi. Energi ini dapat digunakan oleh berbagai macam enzim, protein motor, dan protein transpor untuk melangsungkan kehidupan sel. Selain energi, hidrolisis akan melepaskan fosfat anorganik dan ADP yang dapat dipecah lagi menjadi satu ion fosfat dan AMP. ATP juga dapat langsung dipecah menjadi adenosina monofosfat dan pirofosfat. ADP + GTP ATP + GDP

Belakangan ini banyak dibicarakan kemungkinan menggunakan ATP sebagai sumber energi untuk nanoteknologi dan implan sehingga peralatan seperti alat pacu jantung buatan tidak lagi memerlukan baterai. Peran ATP yang paling banyak dikenali orang adalah sebagai pembawa energi, dalam bentuk yang tertukar sebagai ATP dan ADP. Fungsi ini berlangsung di berbagai kompartemen sel, tetapi kebanyakan terjadi pada sitosol (ruang di dalam sitoplasma yang berisi cairan kental). Sebagai pembawa energi, ATP juga banyak dijumpai pada mitokondria. (Wikipedia,Indonesia) Fosforilasi Oksidatif Fosforilasi oksidatif adalah suatu lintasan metabolisme dengan penggunaan energi yang dilepaskan oleh oksidasi nutrien untuk menghasilkan ATP, dan mereduksi gas oksigen menjadi air.[1] Walaupun banyak bentuk kehidupan di bumi menggunakan berbagai jenis nutrien, hampir semua organisme menjalankan fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP, oleh karena efisiensi proses mendapatkan energi, dibandingkan dengan proses fermentasi alternatif lainnya seperti glikolisis anaerobik.

Menurut teori kemiosmotik yang dicetuskan oleh Peter Mitchell, energi yang dilepaskan dari reaksi oksidasi pada substrat pendonor elektron, baik pada respirasi aerobik maupun anaerobik, perlahan akan disimpan dalam bentuk potensial elektrokemis sepanjang garis tepi membran tempat terjadinya reaksi tersebut, yang kemudian dapat digunakan oleh ATP sintase untuk menginduksi reaksi fosforilasi terhadap molekul adenosina difosfat dengan molekul Pi.[2] Elektron yang melekat pada molekul sisi dalam kompleks IV rantai transpor elektron akan digunakan oleh kompleks V untuk menarik ion H+ dari sitoplasma menuju membran mitokondria sisi luar, disebut kopling kemiosmotik,[3] yang menyebabkan kemiosmosis, yaitu difusi ion H+ melalui ATP sintase ke dalam mitokondria yang berlawanan dengan arah gradien pH, dari area dengan energi potensial elektrokimiawi lebih rendah menuju matriks dengan energi potensial lebih tinggi. Proses kopling kemiosmotik juga berpengaruh pada kombinasi gradien pH dan potensial listrik di sepanjang membran yang disebut gaya gerak proton. Dari teori ini, keseluruhan reaksi kemudian disebut fosforilasi oksidatif. Awal lintasan dimulai dari elektron yang dihasilkan oleh siklus asam sitrat yang ditransfer ke senyawa:

NAD+ yang berada di dalam matriks mitokondria. Setelah menerima elektron, NAD+ akan bereaksi menjadi NADH dan ion H+, kemudian mendonorkan elektronnya ke rantai transpor elektron kompleks I.[4]

dan FAD yang berada di dalam rantai transpor elektron kompleks II. FAD akan menerima dua elektron, kemudian bereaksi menjadi FADH2 melalui reaksi redoks.

Penguraian ATP setelah ikan mati Ketika ikan dimatikan terhenti sirkulasi darah dan akibatnya pasokan oksigen untuk

memfasilitasi energi molekul ATP diperlukan untuk mengaktifkan kontraksi otot dan relaksasi dihambat. Dengan cara ini glikogen dipecah untuk memungkinkan produksi energi dalam otot ikan dan sebagaimana tingkat glikogen menurun jumlah ATP yang dihasilkan juga

menurun. Karena interaksi antara aktin dan myosin dipicu oleh myosin ATPase dan ion kalsium selama kontraksi otot membutuhkan ATP untuk bahan bakar reaksi yang jumlahnya sudah terhambat setelah pemotongan ikan, ion kalsium bocor ke otot-otot yang mengakibatkan kontraksi (kaku), sebuah proses yang disebut sebagai rigor mortis. Kaku terus selama beberapa jam sebelum lemas karena tidak ada ATP yang memungkinkan otototot untuk rileks lagi dan beroperasi sebagai diperlukan. Permulaan dan akhir rigor mortis ditentukan oleh suhu selama penanganan (mechanical stress), ukuran dan spesies ikan. Jenis ikan berukuran kecil, misalnya sarden dan mackerel mengalami rigor mortis lebih awal dan lebih cepat daripada jenis ikan besar (Huss 1995). Proses rigor mortis dapat mengakibatkan cacat mutu dalam daging ikan seperti kerusakan otot/ menganga, noda darah, kehilangan kandungan air dan pelunakan daging ikan (Bremner 2002). Pencapaian akhir dari rigor mortis bertepatan dengan autolisis dan perubahan pembusukan berikutnya yang termasuk perubahan pembusukan bakteri dan kimia yang akhirnya merontokkan mutu ikan, memberikan rasa tidak enak atau tidak aman untuk dikonsumsi. Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase,

kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam glutamat. Defosforilasi dari IMP menjadi inosin relatif lambat, tetapi inosin sangat cepat berubah menjadi hipoksantin, konsentrasi hipoksantin akan meningkat dengan menurunnya mutu kesegaran ikan . Tahap awal hipoksantin terbentuk secara autolisis, pada tahap kemunduran mutu selanjutnya aktivitas bakteri juga berperan dalam menambah jumlah hipoksantin yang memberikan rasa pahit pada daging ikan (Nurjannah dalam Nurrahman, 2011)

Gambar 2. Degradasi postmortem ATP menjadi inosin pada ikan

Penguraian ATP sampai IMP belum menurunkan kwalitas ikan, Karena dengan terbentuknya IMP akan menimbulkan rasa enak, tetapi setelah IMP berubah menjadi HxR dan Hx maka secara perlahan kualitas daging ikan berkurang. Dengan berkurangnya lMP, maka rasa daging ikan hambar dan seterusnya menuju kerusakan yang lebih berat (Suwetja dalam Sanger 2010). Perubahan mutu ikan setelah mati Pada ikan yang telah mati terdapat lima fase perubahan biokimiawi dalam tubuhnya yaitu fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor, autolisis dan kerusakan. Dua fase pertama dipengaruhi lamanya dan suhu penanganan ikan, sementara tiga fase terakhir dipengaruhi terutama aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan. Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan perubahan permanen menuju perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan. Kualitas ikan merupakan konsep kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor bagi konsumen misalnya keamanan, kualitas gizi, ketersediaan, kenyamanan dan keutuhan serta kesegaran. Teknik penanganan, pengolahan dan penyimpanan, termasuk waktu dan suhu dapat mempengaruhi kesegaran dan kualitas produk. Selain itu, musim, kondisi dan metode penangkapan juga mempengaruhi kualitas secara keseluruhan. Ini merupakan karakteristik unik ikan sebagai komoditi yang sangat mudah rusak. Kesegaran dan kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan yang berbeda yang mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan perubahan post mortem pada ikan. Secara umum metode untuk menilai pembusukan ikan diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: metode sensori dan metode instrumentasi (mikrobiologi, biokimia dan fisik). Namun pada praktiknya metode pengujian kesegaran dibagi menjadi metode sensori, metode kimiawi dan metode mikrobiologi. Kesegaran menjadi parameter kualitas yang paling sering ditemukan di pasaran. Kesegaran ikan ini dapat dinilai dengan berbagai metode tetapi umumnya berbiaya mahal, memaka waktu dan tidak mudah digunakan. Temuan banyak peneliti mengungkapkan bahwa ada hubungan luar biasa antara pH dan

kesegaran ikan. Ini menunjukkan bahwa karakteristik fisik ini dapat digunakan sebagai alat yang Cocok untuk analisis dan evaluasi kesegaran ikan daripada metode evaluasi sensori dengan ketidakpastian pengukurannya. Keadaan segar dapat digambarkan dengan berbagai sifat melalui berbagai indikator. Dengan demikian kesegaran dan kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan yang berbeda mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan perubaan post mortem pada ikan. (Panggabean, 2011)

Pembusukan Ikan dan Indikatornya Komposisi biokimia makanan (faktor intrinsik) dan hubungannya dengan faktor ekstrinsik selama penyimpanan, memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap

kesegaran dan sebagian kualitas karena kedua faktor tersebut menentukan dan meningkatkan pertumbuhan awal mikroba. Berkaitan dengan ikan, karakteristik yang melekat pada keberadaan komponen nitrogen non-protein, seperti trimetilamina-oksida (TMAO), kreatin, metionin, asam amino bebas, cystine, histamin, carnosine, basa nitrogen yang mudah menguap seperti urea terutama dalam tulang rawan ikan mendukung pertumbuhan mikroba dan menghasilkan metabolit yang bertanggung jawab untuk pembusukan ikan selama penyimpanan. Pembusukan ikan merupakan fenomena berurutan yang dimulai segera setelah ikan ditangkap dan dimatikan. Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan perubahan permanen, perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan. Bremner (2002) mendefinisikan pembusukan ikan sebagai perubahan yang memburuk dalam karakteristik sensor produk seperti penampilan, bau, aroma dan tekstur, yang juga dapat digunakan untuk menunjukkan nilai gizi dan keamanan. (Panggabean, 2011) . Nilai K Berkaitan dengan kepentingan akan kesegaran ikan tersebut maka sampai saat ini telah banyak dicoba berbagai metode untuk menguji tingkat kesegaran ikan yang didasarkan pada suatu metode baik fisik, khemis, maupun sensori/panca indera. Beberapa metode kimia untuk pengujian kesegaran ikan didasarkan pada degradasi nukleotida yang diantaranya dikenal dengan K-value (nilai K) yang sangat populer digunakan di Jepang sebgai indeks pengukur kesegaran ikan. Akan tetapi dijelaskan bahwa nilai K tidak bisa dipakai sebagai indeks mutu semua jenis ikan karena nilai K tersebut bervariasi tergantung spesies ikan, penanganan ikan sebelum mati, suhu penyimpanan dan pengujian yang cukup memakan waktu, prosedur yang rumit, dan biaya yang cukup mahal (Agustini dkk, 2004).

K-value merupakan metode pengukur kesegaran yang menunjukkan ratio antara Inosine dan Hipoksantine dan jumlah total ATP related compound (ATP ADP + AMP +IMP +Inosine+ Hipoksantine) . K-value berbeda antar spesies dan dalam satu spesies bervariasi

tergantung pada jenis kelamin, metode penangkapan, cara ikan tersebut mati dan perbedaan musim (Wijayanti).

Nilai K adalah suatu index yang digunakan untuk menyatakan tingkat kesegaran ikan secara enzimatis, dimana nilai ini merupakan perbandingan jumlah kadar HxR dan Hx yang terbentuk akibat Penguraian ATP pada daging lkan. Penilaian nilai K didasarkan pada jumlah ATP dan senyawa-senyawa hasil penguraiannya meliputi ADP, AMP, lMP, HxR dan Hx.

Rumus menghitung nilai K adalah :

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, Winarni, dkk. 2004. Uji Mutu Terpadu Pada Beberapa Spesies Ikan dan Produk Perikanan Diponegoro. Antoro, Dedi. 2010. Proses Penurunan Mutu Ikan Tuna (Thunnus Spp). Diposting 10 April 2010. Nurrahman. 2011. Kemunduran Mutu Ikan. Blog Pribadi. Diposting pada 29 September 2011 Panggabean, Alawi. 2011. Mengukur Kesegaran Ikan. Warta Pasarikan. Edisi Mei 2011, Volume 93. Panggabean, Alawi. 2011. Metode Pengujian kesegaran ikan. Warta Pasarikan. Edisi Mei 2011, Volume 93. Sanger, Grace. 2010. Mutu Kesegaran Ikan Tongkol (Auxis Tozordl) Setama Penyimpanan Dingin. warta WIPTEK (Nomor :35/Th. 2010 / MARET) Wijayanti, Ima, dkk. Pola Perubahan K-Value Dan ORP Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Pada Penyimpanan Suhu Rendah ( +11 0c ). Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Diponegoro. Wikipedia Indonesia. Adenosina Tri PhosPhat. Indonesia. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas

You might also like