You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta. Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan

seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta ? 2. Bagaimana epidemiologi dari kusta ? 3. Bagaimana pengkajian keperawatan pada pasien kusta ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta. 2. Untuk mengetahui epidemiologi dari kusta. 3. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada pasien kusta.

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1

Pengertian Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Kushta yang berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kusta yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1872 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli, 2003). Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta. Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktif disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata,otot, tulang, dan testis. Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung dalam waktu lama, penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini dapat menyebabkan gangguan kulit, saraf tepi, dan jaringan lain. Adapun penularan penyakit kusta selama ini hanya diketahui melalui kontak langsung dengan penderita penyakit kusta terutama yang sudah menahun. Penyakit kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena dapat menyebabkan pemendekan jari-jari atau cacat tubuh sehingga menimbulkan masalah sosial, psikologis dan ekonomis. Penderita penyakit kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakatnya. Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penderitanya bisa mati karena sanksi sosial berupa tindakan diskrimanasi pengucilan dari masyarakat. Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia sebagai penyumbang penderita kusta terbanyak. Bahaya penyakit kusta adalah menyebabkan cacat permanen pada anggota tubuh. 2.2 Etiologi Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae. Dimana

mikrobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 8 micro, lebar 0,2 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium Tuberculosis, Mycrobakterium Leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.

(Gambar 2.2 Mycobacterium leprae) Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

2.3

Epidemiologi

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta. Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah : 1. Sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7 hari) 2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya dibawah umur 25 tahun karena anak-anak lebih peka daripada orang dewasa, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang. 3. Kontak dekat dan penularan dari udara (droplet). 4. Faktor tidak cukup gizi. 5. Kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat dalam jangka waktu yang lama. 6. Lewat luka. 7. Saluran pernafasan atau inhalasi. 8. Air susu ibu (kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu).

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1) Faktor Kuman Kusta Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan daripada kuman yang tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,20,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002). 2) Faktor Imunitas Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002). 3) Keadaan Lingkungan Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta. 4) Faktor Umur Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun. 5) Faktor Jenis Kelamin Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak daripada wanita, kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor

fisiologis seperti pubertas, menopause, kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta. 2.4 Tanda dan Gejala Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Secara umum tanda-tanda itu adalah :

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan atau tubuh manusia. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit. Alis rambut rontok. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Gejala-gejala umum pada kusta atau lepra, reaksi :


Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil. Anoreksia. Nausea kadang-kadang disertai vomitus. Cephalgia. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis. Kadang-kadang Neuritis. disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan Hepatospleenomegali.

Bakteri penyebab kusta memiliki kemampuan yang lambat dalam menginkubasi, maka gejala tidak akan muncul pada 1 tahun setelah seseorang terinfeksi bakteri ini. Rata-rata gejala akan muncul pada kurun waktu 5 th 7 th (www.leprosytoday.org, 2008). Gejala-gejala dari penyakit kusta antara lain:

1. Lesi di Kulit Warna kulit lebih terang dari yang normal seperti panu. 2. Mati Rasa Kulit yang berada di sekitar lesi menjadi kaku dan mati rasa yang disebabkan karena kerusakan saraf tepi. 3. Kaku Otot Disebabkan oleh infeksi bakteri yang menyerang otot, sehingga menyebabkan otot kaku. 4. Ada bagian tubuh yang tidak berkeringat. 5. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka (www.medicalencyclopedia/leprosy/healthtopics, 2008). Gejala dan tanda dari penyakit kusta berbeda-beda pada tiap tipenya, namun pada umumnya kelainan kulit dimulai dari bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh ialah awal penyakit kusta. Faktor resiko antara lain : Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. 2.5 Patogenesis Penyakit Kusta

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahuntahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta (Agusni, 2001).

Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan

dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang -2 G receptor sejenis dipunyai sel schwann yaitu laminin-dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti Mycobacterium leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel schwann (Agusni, 2003).

Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.

Keterkaitan Humoral Immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous Lepromatous (LL) (Jopling, 2003).

2.6 Pathways Penyakit Kusta Kontak

Terinfeksi

Tidak Terinfeksi

10

Subklinis

95 % Sembuh

Indaterminate(1) 30% Determinate

70%

TT

BT

BB

BL

LL

Keterangan: I TT BT BB BL LL 2.7 = inderterminate = tuberkuloid = borderline tuberculoid = mid boderline = boderline lepromartous = lepromatosa

Klasifikasi dan Gambaran Klinis Tipe Kusta Penyakit kusta terdiri dari bermacam-macam tipe, berikut klasifikasi kusta

menurut Ridley Jopling berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi : (Dirjen PPM & PLP, 1998) 1. Tipe Tuberkoloid (TT) : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

Mengenai kulit dan saraf. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

11

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid (BT) : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).

Hampir sama dengan tipe tuberkoloid Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Boderline (BB) : Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

12

4. Borderline Lepromatous (BL) : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ). Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi. 5. Lepromatous-Lepromatous (LL) : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Distribusi lesi khas :


o o

Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

Stadium lanjutan :
o o o

Penebalan kulit progresif Cuping telinga menebal Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.

Lebih lanjut
o o o o o

Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

13

Stadium lanjut Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadangkadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta. Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain, yaitu :


Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana Tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis Lidah : ulkus, nodus Laring : suara parau Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi Kelenjar limfe : limfadenitis Rambut : alopesia, madarosis Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT 2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL 2.8 Bentuk-Bentuk Penyakit Kusta Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni :

14

a. Bentuk Leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Untuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. b. Bentuk Tuberkoloid mempunyai kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Diantara bentuk leproma dan tuberkoloid ada bentuk peralihan yang bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah. 2.9 Pengobatan Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, disetujui resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta. Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Obat terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. Jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat. Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar

15

kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah.(berbagai sumber/Ijs) Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940-an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. {ada 1960-an, dapson tidak digunakan lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960-an dan 1970-an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multi obat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multi obat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri. Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta. Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multi obat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multi obat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.

16

Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di Indonesia, memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan oleh karena : 1. Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra reaksi. 2. Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita makan obat tidak teratur. Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus : a. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti. * Semua bercak masih nampak. * Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan * Semua syaraf yang masih tebal * Semua cacat yang masih ada. b. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita Langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar). 3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu : a. b. c. Pengobatan telah selesai. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan sampai luka. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk pemeriksaan ulang. Diagnosa

17

Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keragu-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi : a. Klinis b. Bakteriologis c. Immunologis d. Hispatologis Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra. 2.10 Pengkajian Keperawatan Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut: A. Aktivitas atau istirahat. Tanda : - Penurunan kekuatan otot - Gangguan massa otot - Perubahan tonus otot B. Sirkulasi Tanda : - Penurunan nadi perifer - Vasokontriksi perifer C. Integritas ego

18

Gejala : - Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan. Tanda : - Ansietas - Menyangkal - Menarik diri - Makanan atau cairan - Anoreksia D. Neurosensori. Gejala : - Kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi. Tanda : - Perubahan perilaku, penurunan refleks tendon. E. Nyeri Kenyamanan Gejala : Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri. F. Pernapasan Gejala : Ventilasi tidak adekuat, takipnea. G. Keamanan Tanda : Lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya berupa macula, papula dan nodul. Pemeriksaan Klinis 1. Inspeksi Pasien diminta memejamakan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah semua kelainan kulit diseluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). 2. Pemeriksaan Sensibilitas

19

Pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri, serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu). 3. Pemeriksaan Saraf Tepi dan Fungsinya Dilakukan pada : nervus Auricularis magnus, Nervus ulnaris, Nervus radialis, Nervus medianus, nervus peroneus dan nervus tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saraf-saraf diraba. 4. Pemeriksaan Fungsi Saraf Otonom Memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji gunawan). Diagnosa Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit. 2. Gangguan rasa nyaman gatal berhubungan dengan lesi kulit. 3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan priritus 4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik. 5. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurunun. 6. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan persepsi penampilan. 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terhadap perawatan kulit. 8. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan. Intervensi Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit. Tujuan: Untuk memelihara integritas kulit/ mencapai penyembuhan tepat waktu. Intervensi: - Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan. Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandikan dan lakukan intervensi yang tepat. - Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengerinkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan

20

losion atau krim. Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan kenyamanan. - Gunting kuku secara teratur Rasional : Kuku yang panjang/kasar, meningkatkan resiko kerusakan dermal. - Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka. Rasional : Dapat mengidentifikasi bakteri patogen dan pilihan perawatan yang sesuai. - Gunakan/berikan obat topical atau sistemik sesuai indikasi. Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit. - Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk. Rasional : Melindungi area lesi dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan. 2. Gangguan rasa nyaman gatal berhubungan dengan lesi kulit. Tujuan: Untuk mengurangi rasa gatal sehingga tercapai kenyamanan pasien. Intervensi : - Upayakan untuk menemukan penyebab gangguan rasa nyaman. Rasional : Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untuk memberikan kenyamanan . - Mencapai hasil-hasil observasi secara rinci dengan memakai terminology deskriftif. Rasional : Deskrifsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan diagnosis dan pengobatan. Banyak kondisi tampak serupa tapi mempunyai etiologi yang berbeda. - Mengantisipasi reaksi alergi yang mungkin terjadi. Rasional : Lesi yang menyeluru terutama dengan awitan yang mendadak dapat menunjukkan reaksi alergi terhadap obat. - Pertahankan kelembaban kira-kira 60%. Gunakanlah alat pelembab. Rasional : Dengan kelembaban yang rendah kulit akan kehilangan air. - Pertahankan lingkungan dingin . Rasional : Kesejukan mengurangi gatal. - Gunakan sabun ringan (dove) atau sabun yang dibuat untuk kulit sensitive

21

(Neutrogena, aveno ). Rasional : Upaya ini mencakup tidak adanya larutan detergen, zat pewarna atau bahan pengeras. - Lepaskan kelebihan pakaianatau peralatan ditempat tidur. Rasional : Meningkatkan lingkungan yang sejuk. - Cuci linen tempat tidur dan pakaian dengan sabun ringan Rasional : Sabun yang keras dapat menimbulkan iritasi kulit. - Hentikan pemajanan berulang terhadap detergen ,pembersih dan pelarut. Rasional : Setiap substansi yang menghilangkan air, lipid atau protein dari epidermis akan mengubah fungsi barier kulit. - Membantu pasien menerima terapi yang lama yang diperlukan pada tahap penyembuhan. Rasional : Tindakan koping biasanya akan meningkatkan kenyamanan. - Menasehati pasien untuk menghindari pemakaian salep atau lotion yang diberi tampa resep dokter. Rasional : Masalah pasien dapat disebabkan oleh iritasi atau sensitisasi karena pengobatan sendiri. 3. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan pruritus. Tujuan: Untuk mencapai istirahat tidur yang cukup. Intervensi : - Menasehati pasien untuk menjaga kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban yang baik. Rasional : Udara yang kering menimbulkan rasa gatal. Lingkungan yang nyaman meningkatkan relaksasi. - Menjaga agar kulit agar selalu lembab. Rasional : Tindakan ini mencegah kehilangan air. Kulit yang kering dan gatal biasanya tidak dapat dikendalikan tetapi dapat disaembuhkan. - Menjaga jadwal tidur yang teratur.Pergi tidur pada saat yang sama dan bangun pada saat yang sama. Rasional : Dengan jadwal tidur yang teratur akan terpenuhi kebutuhan tidur klien.

22

- Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur malam hari. Rasional : Kafein memiliki efek puncak 2-4 jam sesudah dikomsumsi. - Melaksanakan gerak badan secara teratur . Rasional : Gerak badan memberikan efek yang menguntungkan untuk tidur jika dilaksanakan pada malam hari. - Mengerjakan hal-hal yang ritual dan rutin menjelang tidur. Rasional : Tindakan ini memudahkan peralihan dari keadaan terjaga menjadi keadaan tertidur. 4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kuilit yang tidak baik. Tujuan : Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri Intervensi : - Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak terhadap kondisi kulitnya. Rasional : Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan yang tampak nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada konsep diri. - Identifikasi stadium psikososial tahap perkembangan. Rasional : Terdapat hubungan antara stadium perkenmbangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman pasioen terhadap kondisi kulitnya. - Berikan kesempatan untuk pengungkapan. Dengarkan (dengan cara yang terbuka, tidak menghakimi) untuk mengespresikan berduka atau anseitas tentang perubahan citra tubuh. Rasional : Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami. Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri. - Bersikap realistic selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan. Rasional : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dan perawat. - Berikan harapan dalam parameter situasiss individu: jangan memberikan keyakinan yang salah. Rasional : Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk

23

menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita. - Dorong interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi. Rasional : Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus menerus pada pasien dan keluarga. 5. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun. Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi Intervensi : - Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu Rasional : Memberikan imformasi data dasar, peningkatan suhu secara berulangulang dari demam yang terjadi untuk menujukkan bahwa tubuh bereaksi pada proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi secara efektive mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan. - Tekankan pentingnya tekhnik cuci tanganyang baik untuk semua individu yang datang kontak dengan pasien Rasional : Mengcegah kontaminasi silang; menurungkan resiko infeksi. - Gunakan saputangan , masker dan tekniik aseptik selama perawatan dan berikan pakaian yang steril atau baru Rasional : Mengcegah terpajan pada organisme infeksius. - Observasi lesi secara periodic Rasional : Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi. - Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi. Rasional : Mengurangi patogen pada system integument dan mengrangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial. - Berikan preparat antibiotic yang diresepkan dokter. Rasional : Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi. 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya imformasi terhadap

24

perawatan kulit. Tujuan : Klien mendapatkan imformasi yang adekuat tentang perawatan kulit. Intervensi : - Tentukan apakah pasien mengetahui (memahami dan salah mengerti) tentang kondisi dirinya. Rasional : Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan. - Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan persepsi /informasi. Rasional : Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat mereka perbuat. Kebanyakan pasien merasakan mamfaat dan merasa lebih. - Berikan imformasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya jadwal dalam minum obat. Rasional : Imformasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien. - Jelaskan penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Rasional : Meningkatkan partisipasi klien, mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat. - Berikan nasehat pada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel dengan tindakan hidrasi serta lotion kulit. Rasional : Stratum korneum memerlukan air agar fleksibilitas kulit btetap terjaga.. pemberian lotion untuk melembabkan kulit akan mencegah agar kulit tidak menjadi kering, kasar, retak dan bersisik. - Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat. Rasional : Penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang.perubahan pada kulit dapat mendakan status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan. - Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi. Rasional : Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang kontinu dan perubahan terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal.

25

7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan. Tujuan: Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerimah perubahan status kesehatannya dengan cara sehat. Intervensi : - Berikan penjelasan yang sering dan imformasi tentang prosedur perawatan. Rasional : Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ancietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerjasama. - Libatkan pasien atau orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan. Rasional : Meningkatkan rasa control dan kerjasama, menurunkan perasaan tak berdaya atau putuis asa. - Kaji status mental terhadap penyakit Rasional : Pada awalnya pasien dapat men ggunakan penyangkalan untuk menurungkan dan menyaring imformasi secara keseluruhan. - Berikan orientasi konstan dan konsisten. Rasional : Membantu pasien tetap berhubungan dengan lingkungan dan realitas. - Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya. Rasional : Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan. - Jelaskan pada pasien apa yanga terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau jujur. Rasional : Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang terjadi. - Identifikasi metode koping atau penanganan stuasi stress sebelumnya. Rasional : Perilaku masalalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini. - Dorong keluarga atau orang terdekat mengunjungi dan mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian masa lalu dan akan datang. Rasional : Mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambungan hidup. - Berikan sedative ringan sesuai indikasi.

26

Rasional : Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai pasien lebih stabil secara psikis.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan


Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat menyebar ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat karena adanya ulserasi, mutilasi, dan deformitas yang disebabkannya, sehingga merupakan masalah sosial, psikologis, dan ekonomis. Penderita kusta menderita bukan

27

karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakat yang pasti akan menjauhi si penderita karena takut tertular dan tampilan yang menyeramkan. Berapa jumlah penderita di dunia belum dapat diketahui pasti, diperkirakan sebanyak 15 juta. Terutama pada daerah tropis dan sutropis serta pada wilayah yang status kesehatannya rendah dan status sosial ekonominya rendah. Karena Mycobacterium Leprae dapat berkembang dengan cepat pada daerah dan wilayah tersebut.

28

You might also like