You are on page 1of 4

PERAN PENDAMPINGAN LSM

DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh: Elfitra Baikoeni


email : elbaiko@yahoo.co.id

Ujung tombak program HKM (Hutan Kemasyarakatan) di


lapangan adalah TP (Tenaga Pendamping). Bagaimanapun bagus sebuah
program direncanakan, disusun oleh decision maker, tetapi yang
menentukan keberhasilan serta manfaat program bagi masyarakat tentu
sangat ditentukan oleh para petugas lapangan atau Tenaga Pendamping
(TP).
TP bukan sekedar ujung tombak program, mereka sekaligus
mewakili institusi (LSM yang diwakili) dengan segala citra dan atribut
yang akan mempengaruhi partisipasi masyarakat serta image LSM secara
umum. Memang selama era Orde Baru, ada sedikit “citra negatif”
masyarakat terhadap petugas pembangunan yang dianggap sebagai
“wakil pemerintah”, sehingga hal ini menimbulkan rendahnya partisipasi,
bahkan dalam beberapa hal justru malah munculnya sikap antipati
terhadap program pembangunan.
Keadaan ini disebabkan banyaknya kebijakan yang ditangani
secara salah dengan manajemen yang sering bocor (korupsi). Padahal
untuk program dan proyek tersebut masyarakat mengetahui anggaran
dan plafonnya – meskipun mereka tampaknya bersikap seperti “acuh tak
acuh”. Karena partisipasi dan kesukarelaan tak muncul – meskipun
tujuan dan manfaat proyek untuk mereka sendiri, yang terjadi adalah
mobilisasi atau “partisipasi semu”.
Ketika datang lagi program pembangunan masyarakat yang baru
– setelah era reformasi bergulir masihkah persepsi masyarakat terhadap

1
program pembangunan seperti dulu? Entahlah, yang pasti sedikit banyak
hal ini tentu masih akan mempengaruhi pandangan dan persepsi
masyarakat terhadap inovasi dan usaha-usaha perbaikan ekonomi
masyarakat sampai sekarang, meskipun yang melakukan dan terjun
dalam pendampingan adalah lembaga swadaya masyarakat sekalipun.
Hal ini terjadi bukan sekedar kesalahan dan pendekatan oleh
para petugas sosial, melainkan lebih disebabkan kebijakan dan sistem
pembangunan secara umum. Pada satu sisi petugas hanya “perpanjangan
tangan” dan hanya menjalankan instruksi dari atas, tetapi disisi lain ia
sendiri melihat dan menyadari kalau masyarakat juga mempunyai tujuan
dan keinginan sendiri yang berbeda dengan yang direncanakan oleh
pemerintah. Karena ia langsung berhadapan dengan masyarakat, mereka
lebih bisa memahami apa yang sebenarnya yang menjadi “masalah” dan
keinginan masyarakat bawah, tetapi ia tidak memiliki wewenang
sedikitpun untuk merevisi kebijakan dan rencana program. Karena
program sudah disusun “dari atas” mulai dari teknik, prosedur,
manajemen proyek, maupun anggaran . Petugas hanya sekedar
menjalankan. Yang dimiliki oleh petugas adalah wewenang kerja bukan
pengambilan keputusan (decision making). Hal ini lebih diperparah
dengan orientasi sentralisasi program dan pendekatan top-down yang
tidak memungkinkan adanya fleksibelitas program di lapangan. Sebuah
program direncanakan mungkin cocok untuk sebuah daerah, tetapi belum
tentu cocok untuk daerah lain, baik karena perbedaan geografis, tingkat
sosio-ekonomi, maupun perbedaan nilai dan kultur masyarakat.
Seringnya dilibatkan LSM dalam pendampingan dan
pengawasan program pemerintah adalah karena adanya “tekanan” dari
berbagai pihak, terutama donor lembaga internasional – jadi bukan
kesadaran dari pemerintah sendiri. Dalam beberapa hal memang tugas
yang dilakukan LSM terkesan seakan-akan overleap dengan kerja dari

2
petugas sebelumnya. Akan tetapi kalau kita mengenal lebih jauh tujuan
dan bentuk kerja LSM di lapangan sebenarnya lebih mengarah pada
usaha penyiapan institutional development dan “para-kondisi” masyarakat
sasaran. Sehingga program yang dijalankan oleh petugas bisa berjalan
sebagaimana yang ditargetkan oleh pengambil keputusan (pihak
departemen sebagai policy maker).
Mungkin timbul pertanyaan selanjutnya, kenapa lembaga
kemasyarakatan perlu dikembangkan? Bukankah di kawasan pedesaan
dimana pun di Nusantara ini (termasuk masyarakat primitif sekalipun)
sudah ada pranata-paranata sosial tradisional. Disitulah masalahnya,
karena setiap program yang didatangkan “dari luar” menyaratkan
sejumlah aspek teknis untuk lebih memudahkan operasionalisasi program
di tengah masyarakat, maka perlu “penataan” pada level kelembagaan
masyarakat yang ada.
Kalau misalnya pada masyarakat tersebut sudah dikenal pranata
ekonomi tradisional yang cukup relevan, mungkin hanya membutuhkan
sedikit “polesan” sana-sini dengan mengadakan sedikit pelatihan. Akan
tetapi tugas pemberdayaan (empowerment) akan semakin jelas dan
menonjol, kalau lembaga yang “mapan” (established) memang belum ada
sama sekali, sementara lembaga tradisionalnya kurang relevan.
Perlu juga dipertimbangkan pola dan tipe leadership dan
pengaruh elit-elit desa yang mesti dilibatkan dalam sosialisasi program,
disamping mengenal keterlekatan (link) masyarakat (community) terhadap
keberadaan masing-masing lembaga yang ada – terutama lembaga yang
efektif - baik lembaga “tradisional” (misal: KAN, lumbuang pitih, kongsi,
suku, jemaah mesjid) maupun lembaga “modern” (misal: LKMD,
kelompok tani, KUD, PKK, bank). Dalam kegiatannya untuk
pengembangan masyarakat (community development), mereka (LSM) hanya
bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan kebebasan kepada

3
kelompok sasaran (target group) untuk memahami masalah dan
merencanakan usaha dan pengambilan keputusan. Tugas-tugas demikian
pun (tugas pendampingan) hanya bersifat sementara sampai kelompok
sasaran dinilai bisa mandiri dan dapat menjalankan program secara
bersama-sama anggota masyarakat keseluruhan. Pendampingan dianggap
berhasil, bila tugas LSM di lapangan selesai, lalu anggota masyarakat
mampu secara mandiri serta mengerti apa langkah-langkah berikut yang
akan dikerjakan untuk mencapai tujuan final dari sebuah program.
Sebaliknya ia akan dianggap gagal, bila pendampingan selesai,
masyarakat merasa tak siap dan berakhir pula kegiatan program oleh
masyarakat sendiri.
Untuk itu LSM bukan berarti “menggantikan” posisi petugas
pemerintah di lapangan. Dengan memahami fungsi dan tugas tersebut
mudah-mudahan tidak menimbulkan sikap ”apriori” bagi para decision
maker terhadap keberadaan LSM baik oleh pejabat tingkat atas maupun
petugas di bawah. 

Padang, Desember 1999

You might also like