You are on page 1of 14

TUGAS SEJARAH

Masa Demokrasi Terpimpin

DISUSUN OLEH : 1. NOVIA PERMATASARI 2. NUGRAHENI KURNIA P XI IPA 6 11 XI IPA 6 12

SMA NEGERI 7 YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1.

a. KONSEPSI PRESIDEN

Sistem Demokrasi Liberal ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai konflik muncul ke permukaan. Misalnya konflik ideologis, konflik antarkelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai politik. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957. Berikut ini isi Konsepsi Presiden.

a.

Penerapan sistem Demokrasi Parlementer model Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga sistem demokrasi parlementer harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.

b.

Kabinet Gotong Royong perlu segera dibentuk untuk melaksanakan demokrasi terpimpin. Kabinet Gotong Royong beranggotakan semua

partai politik ditambah golongan fungsional (golongan karya) berdasarkan perimbangan kekuatan dalam masyarakat. c. Segera dibentuk Dewan Nasional. Dewan Nasional beranggotakan wakil dari semua partai politik dan golongan fungsional dan masyarakat bertugas sebagai pemberi nasihat kepada kabinet.

Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 adalah kritik pedas sekaligus ultimatum Soekarno terhadap demokrasi Liberal. Pertama Soekarno mendesak pembentukan suatu kabinet berkaki empat (Masyumi, PNI, NU, dan PKI). Kedua dibentuknya DPR-GR yang terdiri dari perwakilan partai NasAKom dan golongan fungsional yang dirasa belum diwakili oleh partai, termasuk di dalamnya militer.

Pada waktu sistem perlementer dihapuskan, penolakan itu muncul dari Bung Hatta sebagai wakil Presiden dan M. Natsir dari Masyumi. Perlu diingat kembali bahwa apa yang dimaksudkan pada ajaran BungHatta mengenai Daulat RaJat dan sosial-demokrat pada lapis masyrakat terkecil-kecilnya tidak lain dan tidak bukan adalah sistem Parlementer. Sistem Parlementer inilah yang menjadi sumber asli pemikiran Bung Hatta sebagai fungsi demokrasi asli masyrakat Indonesia (yang kalau di trace berasal dari sosialisme yang tercipta di nagari dari Alam Minangkabau. Ini yang membuat Bung Hatta sedih sekali dan kemudian mengganggap Sukarno dengan Demokrasi Terpimpinya sebagai sebuah Otoriter Kediktatoran. Ide kabinet berkaki empatlah yang membuat Dwitunggal menjadi Dwitanggal. Soekarno menganggap kaum komunis mempunyai saham juga dalam sejarah Indonesia, oleh sebab itu tidak ada salahnya diberi kekuasaan agar ikut bertanggung jawab atas situasi yang ada.Sedangkan Hatta yang telah berpengalaman dengan pengkhianatan komunis baik pada masa pergerakan nasional (tikaman oleh Abdul Majid dan Maruto di PI) maupun masa revolusi fisik peristiwa Madiun 1948. Hatta menganggap bahwa sekali saja PKI diberi kekuasaan, maka PKI akan berusaha memonopoli kekuasaan tersebut yang mengakibatkan demokrasi akan mati di Indonesia. Pandangan Hatta ini diamini oleh Masyumi dan PSI untuk mendukung para Warlords luar Jawa untuk melancarkan PRRI dan Permesta. Ada alasan lain , yaitu ajaran Bung Hatta yang mengatakan bahwa Komunis itu bukan sesuatu yang bisa diterapkan di Indonesia karena komunis merupakan paham foreign-dominated , artinya hanya memaksakan apa yang terjadi di Russia jaman Bolshevik kepada Indonesia. Sikap Bung Hatta terhadap ketidaknyamananya dengan komunis bisa ditraceback sejak 1930 dimana ia tidak setuju dengan keputusan Stalin/Komintern thd pandanganya ttg komunisme di asia, yang mana Hatta kemudian dikeluarkan dari perhimpoenan Indonesia seperti keterangan diatas dimana Abdul Madjid adalah salah satu pelakunya. Selanjutnya, pada 1960an pun Bung Hatta menganggap Nasakom-nya bung karno itu mengada-ada , tidak mungkin minyak dan air bisa bersatu katanya .Kabinet Ali II pin meletakkan jabatan sampai pada akhirnya presiden menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet lalu mengangkat. Djuanda sebagai PM yang membuat partai-partai kehilangan muka. NU banyak berbasis di Jawa, waktu itu NU partai terpisah dengan Masyumi yg lebih banyak berbasis di Sumatra. Hatta yang diharapkan oleh pemberontak PRRI dan Permesta mendukung tidak Mendukung walaupun Munas gagal. Bung Hatta tidak mau mengingkari demokrasi/konstitusi (istilahnya biarlah orang lain bisa mengingkari konstitutasi, tapi tidak bagi seorang Hatta). Pada 1963 Bung Hatta pernah berkata lagi di sebuah kesempatan, Biarlah, saya akan mengikuti dia, apapun yang terjadi dia (Bung Karno) tetap Presiden saya yang dipilih secara demokratis). Ini pandangan Hatta yang menjadi kenyataan pada 1966an. Beliau kemudian ingin menjadi presiden in interim pada saat itu , tapi kita tahu kekuatan politik militer suharto tidak menginginkan beliau kembali lagi (the rest is history). Sebaliknya Hatta yang mengecam Soekarno juga mengecam para pemberontak. Kabinet Djuanda yang naik atas restu Presiden pun akhinya meletakkan jabatan mengembalikan mandatnya. Sidang konstituante berhasil merumuskan pasal-pasal tentang HAM namun tidak mengenai dasar Negara Soekarno dengan dukungan militer, PKI den beberapa partai pragmatis akhirnya mendengungkan Dekrit pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran konstituant

b. DEKRIT PRESIDEN

Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapatpendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituantemelaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang parlemen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan akhir dari upaya penyusunan UUD. Peristiwa yang mendorong keluarnya dekrit presiden adalah tidak berhasilnya Sidang Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar. Penyelenggaraan Pemilu I tanggal 29 September 1955 (untuk memilih anggota DPR) dan tanggal 15 Desember 1955 (untuk memilih anggota konstituante) tidak dapat mengatasi kondisi Negara yang labil akibat pergolakan di daerah-daerah. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan Konstitusi RIS dan UUD 1945 yang dirancang dan disusun oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia waktu itu. Anggota DPR yang terdiri dari puluhan wakil partai terpecah-pecah dalam berbagai ideologi yang sukar disatukan. Sementara itu, di kalangan masyarakat, sangat kuat gerakan dalam demontrasi dan petisi untuk menuntut diberlakukannya kembali UUD 1945.

Menyikapi keadaan, Presiden Soekarno pada tanggal 25 April 1959 menyampaikan amanat kepada Konstituante yang isinya anjuran kepala Negara dan kepala pemerintahan untuk kembali ke UUD 1945. Sidang Konstituante yang menyikapi amanat presiden tersebut menyepakati untuk melaksanakan pemungutan suara untuk menetapkan UUU1945 menjadi UU Republik Indonesia. Sidang yang dilaksanakan 30 Mei 1959, mayoritas menghendaki kembali kepada UUD 1945. Namun, jumlah suara ini tidak memenuhi ketentuan dua pertiga dari jumlah suara yang masuk sebagaimana ketentuan UUDS 1950. Sidang selanjutnya tanggal 1 dan 2 Juni 1959 juga gagal mencapai dua pertiga. Dalam keadaan yang demikian, Penguasa Perang Pusat melarang kegiatan politik. Larangan ini tertuang dalam peraturan Nomor PRT/PEPERLU/040/1959, tanggal 3 Juni 1959. Dampak dari larangan ini, Konstituante menjadi reses. Dalam keadaaan yang masih tak menentu, beberapa fraksi menyatakan tidak akan menghadiri siding selanjutnya. Situasi keamanan Negara dalam kondisi gawat, pemberontakan-pemberontakan daerah terus terjadi. Dengan tujuan untuk menciptakan ketatanegaraan, menjaga persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta keberlangsungan pembangunan semesta menuju mnasyarakat adil dan makmur, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit

Dekrit Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Dengan ini menyatakan dengan khidmat : Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UndangUndang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkatsingkatnya Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang SOEKARNO

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terdiri dari: 1.Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945. 2. Pembubaran Badan Konstitusional. 3.Membentuk DPR sementara dan DPA sementara.

Dengan keluarnya dekrit presiden ini, pada tanggal 10 Juli 1959, Kabinet Djuanda dibubarkan. Selanjutnya, dibentuk kabinet baru yang perdana menterinya adalah presiden. Kabinet ini mempunyai tiga tugas pokok yaitu program sandang, pangan, keamanan dan penyelesaian Irian Barat

c. MANIPOL

Pidato presiden tanggal 17 agustus 1959 berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita dikenal dengan Manipol (Manifesto Politik Republik Indonesia) atas usulan DPA yang bersidang tanggal 23 25 September 1958 agar manipol RI itu dijadikan GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara). Tidak banyak yang tahu, apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh para Bapak Pendiri republik ini dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disebut dalam UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagian besar warga negara, apalagi yang lahir di masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan, hanya bisa menduga apa yang dimaksudkan naskah

konstitusi zaman revolusi itu. Dokumen penting itu tidak dengan tegas mendefinisikan sosok dan fungsi dari GBHN itu. Apalagi sampai kira-kira lima belas tahun sejak lahirnya UUD 1945, yang disebut GBHN itu tidak pernah terwujud. Salah seorang yang terlibat dalam perumusan konstitusi itu, Presiden Soekarno, pada tahun 1959, sesudah mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945, mengajukan penafsirannya sendiri mengenai isi GBHN. Dengan bantuan juru bicara khususnya, yaitu Roeslan Abdulgani, yang waktu itu adalah Wakil Ketua DPA, ia berhasil membuat MPRS (yang para anggotanya ditunjuk oleh Presiden) mengesahkan Manifesto Politik-nya sebagai GBHN, yang memuat analisis mengenai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dan program yang perlu dijalankan untuk menangani persoalan itu. Yang disebut Manifesto Politik (Manipol) adalah isi pidato kenegaraannya pada peringatan 17 Agustus 1959, yang berisi lima prinsip, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol-USDEK).

Isi Manifesto Politik tersebut adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

Ketika muncul rezim baru tahun 1966, GBHN itu dibatalkan. Bahkan kata ManipolUSDEK ditabukan. Para pendukung kekuatan baru ini mencoba merumuskan GBHN baru. Suatu badan pekerja dalam MPRS, di bawah arahan Jenderal AH Nasution sebagai Ketua MPRS dan Mayor Jenderal Abdul Kadir Besar sebagai Sekretaris Jenderalnya, ditugasi merumuskan GBHN baru. Konflik antara Ketua MPRS dengan Presiden Soeharto, membuat GBHN itu ditolak oleh Soeharto dan para pembantunya. Bahkan, naskah itu kemudian diolok-olok sebagai "Buku Putih Nasution". Akibatnya, Pelita I (1969-1974) berlangsung tanpa dukungan GBHN. Sesudah itu, pada masa Orde Baru, semua Pelita didasarkan pada GBHN yang seringkali cukup rinci. Sekalipun begitu, seringkali tidak cukup jelas, apa fungsi GBHN itu? Sebagai ungkapan visi dan misi bangsa ini? Sebagai tuntunan bagi pemerintah dan rakyat demi mencapai tujuan bersama? Sebagai landasan bagi pembuatan rencana pembangunan? Ketidakjelasan ini diperburuk oleh praktik yang berlaku di zaman Orde Baru. Yaitu, GBHN menjadi semacam "shopping list" yang memuat titipan dari berbagai kelompok yang, walaupun seringkali tidak bisa dipertemukan, harus diakomodasi demi dukungan politik. Juga, seringkali banyak orang berjuang mati-matian untuk memasukkan gagasannya di dalam dokumen itu. Mereka akan cukup puas kalau rumusannya bisa ditampung dalam GBHN. Apakah gagasan itu betul-betul diterapkan ke dalam kebijakan pemerintah atau tidak, tidak terlalu diperhatikan. Mereka cukup puas dengan melihat bahwa argumennya diakomodasi dalam GBHN itu. Ini makin parah ketika GBHN dan UUD 1945 diselimuti oleh upaya mistifikasi dari kaum konservatif yang tidak menginginkan perubahan struktur kekuasaan. GBHN menjadi dokumen yang seolah-olah sakral, tetapi tidak pernah diperhatikan oleh para pemimpin di

cabang eksekutif, termasuk para birokratnya. Seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, GBHN masa Orde Baru adalah pernyataan politik. Bedanya, daftar belanjaan di masa Orde Baru itu lebih pragmatis dan sebagian besar mengenai persoalan pencapaian tujuan materiil. Kalau fungsinya dan efektivitasnya tidak jelas, tidak begitu halnya dengan sebabsebab kelahirannya atau pendorong munculnya gagasan pembuatan GBHN itu. Sebagai pemimpin pergerakan yang sejak lama memahami kesengsaraan masyarakatnya, para Bapak Pendiri itu tampaknya berkeyakinan bahwa negara yang hendak dibentuk dengan proklamasi kemerdekaan mesti berperan aktif dalam mengusahakan kemajuan bagi rakyatnya. Pemerintah yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan negara itu harus memimpin rakyatnya untuk membangun di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, politik, hukum, kebudayaan, dan bidang-bidang lain yang relevan. Untuk itu, aparat negara itu harus berinisiatif dan menemukan cara dan sarana untuk merealisasikan inisiatifnya itu. Dengan kata lain, negara diperlakukan sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan masyarakatnya. Negara menjadi "penuntun" dan "panutan" bagi beroperasinya pasar. Negara menunjukkan arah dan menuntun para pelaku ekonomi di pasar. Negara menjadi penjamin bahwa proses perubahan itu tidak akan menimbulkan ketimpangan yang menyengsarakan masyarakat umumnya. Berkembangnya konsepsi seperti itu tidak mengherankan. Terutama mengingat bahwa gagasan John Maynard Keynes pada kurun waktu itu sangat berpengaruh. Keynes menganjurkan pemanfaatan peran pemerintah yang aktif untuk mendorong akumulasi kapital. Itu juga masa kejayaan "Social Welfarism" dan "Welfare State" di berbagai negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Namun, tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin negara baru ini jauh lebih besar daripada mereka yang ada di negara-negara maju itu. Sementara Eropa hanya perlu melakukan rekonstruksi untuk memperbaiki sarana produksi yang rusak akibat perang, para pemimpin negara baru ini umumnya harus mulai membangun dari awal; dari ketiadaan. (Suatu waktu, dalam upaya pembangunan ekonomi itu, Pemerintah Indonesia bukan hanya menjadi perencana, tetapi juga investor utama, produsen utama, distributor utama, bahkan juga konsumen utama dari proses produksi itu). Inilah mungkin yang membuat mereka harus dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah harus menjadi pemimpin utama dalam upaya perubahan sosial di berbagai bidang itu. Konsekuensinya, upaya itu memerlukan suatu "arahan" yang jelas; ke mana bangsa dan negara ini hendak dibawa. Untuk menjamin akuntabilitas, "petunjuk" itu dirumuskan melalui persidangan yang melibatkan wakil dari sebanyak mungkin golongan dalam masyarakat. Itulah mungkin yang dimaksudkan dengan GBHN.

6. Politik Luar Negeri Indonesia a. Konsep politik luar negeri indonesia sesuai UUD 1945. Politik Luar Negeri Indonesia dilaksanakan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea II dan IV menegaskan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri serta berhak mengatur hubungan kerja sama dengan Negara lain. Pengertian Politik Luar Negeri Indonesia terdapat dalam UU No. 37 tahun 1999 Pasal 1 ayat (2) tentang hubungan luar negeri yang menjelaskan bahwa Politik Luar Negeri Indonesia adalah Kebijakan, sikap, dan langkah pemerintah RI yang diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain. Organisasi Internasional dan subyek hukum Internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah Internasional guna mencapai tujuan Nasional. Prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif 1) Bebas berarti Bebas menentukan sikap dan pandangan terhadap masalahmasalah Internasional dan terlepas dari kekuatan raksasa dunia. 2) Aktif berarti Ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan bebagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukkan adanya kewajiban pemerintah menunaikan instruksi UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. b. Pelaksanaan politik luar negeri indonesia pada masa demokrasi terpimpin Pada awalnya, politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif sesuai yang mengabdi pada kepentingan nasional. Bebas berarti tidak memihak salah satu blok (barat/timur), sedangkan aktif berarti ikut memelihara perdamaian dunia. Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri condong mendekati negara-negara blok timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok barat. Indonesia banyak melakukan kerja sama dengan negara-negara blok komunis, seperti Uni Soviet, RRC, Kamboja, maupun Vietnam.

Perubahan arah ini disebabkan oleh : 1) Faktor dalam negeri : dominasi PKI dalam kehidupan politik 2) Faktor luar negeri : sikap negara-negara Barat yang kurang simpati dan tidak mendukung terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Arah politik luar negeri indonesia 1) Politik konfrontasi Nefo-Oldefo 2) Politik Konfrontasi Malaysia 3) Politik Mercusuar 4) Politik Gerakan non -blok

Penyimpangan politik luar negeri 1) Politik konfrontasi dengan pembagian dunia menjadi 2 bagian, yaitu Oldefo (Old Establishes Forces/Negara-negara kapitalis imperialis) dan Nefo (New Emerging Forces/Negara-negara progresif revolusioner). 2) Melaksanakan politik Mercu Suar (pembangunan proyek-proyek raksasa, komplek olahraga senayan, Jakarta by pass, Monumen Nasional, Jembatan Ampera). 3) Menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang sebagian besar pesertanya adalah Negara-negara komunis. 4) Membentuk Poros Jakarta-Peking. c. Nefo Oldefo Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces) Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-HanoiPeking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis. Dalam konsep Bung Karno dulu negara dan rakyat Indonesia merupakan bagian dari NEFO. Namun, dalam 40 tahun terakhir ini situasi sudah berubah. Kekuatan OLDEFO sudah berhasil merebut pengaruh dominan dalam pemerintahan dan negara Indonesia. Ini mulai ketika Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang sekarang bernama Consultative Group on Indonesia, didirikan pada tahun 1967. Lembaga ini merupakan kumpulan dari semua negara industri maju imperialis serta IMF dan WB. Pemerintah Orde Baru yang mengikuti strategi pembangunan yang menggantungkan diri pada utang luar negeri dan investasi asing harus melaporkan hasil kerjanya setiap tahun pada IGGI/CGI. Baru kalau lembaga OLDEFO ini puas dengan garis kebijakan pemerintah Soeharto, pinjaman disalurkan ke Indonesia. Sistem ini terus berlangsung sampai sekarang, hanya sejak krismon, IMF sendiri yang ambil alih kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. CGI dan WB mengambil posisi kedua. Selama periode 40 tahun ini juga kesadaran tentang proses eksploitasi dan kontrol asing terhadap ekonomi Indonesia sangat berkurang. Orde Baru dengan beking Barat terus berpropaganda bahwa intergrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, melalui kerja sama dengan IGGI, IMF, WB dan investasi asing adalah satu-satunya cara membangun Indonesia.

Strategi ini membawa Indonesia ke krismon 1997. Strategi ini juga tidak menyiapkan Indonesia untuk menghadapi era sekarang di mana investasi modal untuk produksi justru semakin terpusat di negara-negara industri dengan makin sedikit investasi yang mengalir ke dunia sedang berkembang. Tetap juga pemerintah Indonesia sekarang berpropaganda bahwa IMF dan investasi asing adalah jalan keluar krisis, meskipun semua angka-angka menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan investasi asing di Indonesia. Kesadaran antiimperialisme, kesadaran menolak kontrol asing di bidang ekonomi, saat ini mulai bangkit lagi. Kesadaran ini juga sedang melahirkan kembali kekuatan NEFO dalam negeri. Sebenarnya proses ini sudah mulai tahun 1989 dengan gerakan melawan proyek Bank Dunia untuk membangun bendungan Kedungombo. Terus berkembang sebuah gerakan perlawanan terhadap Orde Baru. Perlawanan tersebut sebenarnya berfokus pada perlawanan terhadap kediktatoran Soeharto dan militerisme. Namun, bagaimanapun juga itu merupakan perlawanan terhadap mekanisme kontrol Barat, kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. Memang Orde Baru adalah alat bukan saja dari keluarga diktator dan konglomerat, tetapi dari kekuatan OLDEFO asing. Sebuah kongres rakyat Indonesia akan sekaligus menghidupkan kembali semangat revolusi nasional Indonesia sebagai penerusan ide Konferensi NEFO Indonesia dan membantu rakyat Indonesia bergabung dengan kekuatan NEFO internasional yang sedang bangkit melalu proses World Social Forum. Dalam proses World Social Forum yang diutamakan ialah gerakan-gerakan sosial yang berakar ke massa dan mampu memobilisasikan massa. Sesungguhnya ini pun merupakan penerusan konsep revolusi nasional Indonesia: machtsvorming dan massa actie. 7. kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam membangun karakter bangsa. Kebudayaan dan karakter adalah suatu jati diri atau suatu kepribadian bangsa. Menurut soekarno bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter yang tegas dan menonjol, yang dimaksudkan adalah bangsa yang tidak suka meniru kebudayaan bangsa lain dan membanggakan kebudayaannya sendiri. Sedangkan bangsa yang kurang baik adalah bangsa yang hanya bisa meniru (ikut-ikutan) suatu budaya bangsa lain tanpa memfilter, memilah-milah antara yang bauk dengan yang buruk sehingga bangsa tersebut terkesan tidak memiliki karakter. Soekarno berpendapat bahwa Bangsa Indonesia Harus memiliki karakter Membangun karakter bangsa adalah sebuah usaha mewujudkan Trisakti yang digagas Soekarno pasca kemerdekaan. Yaitu sebuah proses pendidikan karakter untuk mewujudkan bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Trisakti oleh Soekarno disebut sebagai survival theory. Pembangunan karakter bangsa berangkat dari hermeneutika Soekarno yang sangat terkenal yaitu radikal, progresif, revolusioner. Radikal dimaknainya sebagai mencabut sampai ke akar-akarnya tentang apa yang diwariskan kolonial. Kita menjebol untuk membangun, kita membangun oleh karena itu kita menjebol, reject tomorrow-full down yesterday. Progresif artinya bahwa kita semua haruslah mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak, mengabdi kepada kepentingan umum, dan mengabdi kepada bangsa dan Negara. Revolusioner diambil dari samen bundeling van ale revolutionare khrachten

yang artinya mengubah keadaan yang tua menjadi keadaan yang baru. Keadaan yang tua adalah keadaan dimana masih bercokol imperialisme dan kolonialisme. Keadaan yang baru adalah sebuah tatanan masyarakat yang tidak mengijinkan seorangpun menghisap darah orang lain. Diawal kemerdekaan Indonesia, para founding father telah menanamkan apa yang disebut nation and characte building (pembangunan karakter bangsa) kepada seluruh anak bangsa. Melalui pembanguan karakter inilah bangsa Indonesia mulai disegani. Ada empat gagasan awal pembangunan karakter bangsa ketika itu. Pertama, kemandirian (selfrelience), atau menurut menurut istilah Soekarno disebut BERDIKARI (berdiri di atas kaki sendiri). Dari awal, Soekarno sangat yakni bahwa dengan kekeyaan alam yang melimpah ruah, Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri dan mampu mewujudkan apa yang disebut dengan kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh karena itu, soekarno menempuh beberapa upaya yakni, 1. Mewujudkan budaya Daerah dan Tradisional Contohnya : Tarian adat, Upacara Adat, Lagu-lagu daerah, dll 2. Menghindari budaya bangsa lain karena dianggap kurang positif Contohnya : Menggunakan rok mini dan celana ketat, Mengecat rambut, dll 3. Menghimbau masyarakat agar mengenakan pakaian adat atau pakaian tradisonal Contohnya : Memakai baju kebaya dalam kehidupan sehari-hari,dll 4. Dilarang mendengakan lagu-lagu asing, karena dianggap kurang sesuai dengan kepribadian bangsa dan dianjurkan mendengarkan lagu-lagu daerah dan lagu lagu nasional Contohnya : Dilarang mendengarkan lagu yang mellow, karena dianggap cengeng, dll 5. Dianjurkan untuk tidak memperdagangkan makanan asing dan menjual makanan tradisional. Contohnya : Dilarang memperdagangkan hamburger dan diajurkan memperdagangkan tiwul, gatot, dll Inilah sekelumit gagasan seorang Soekarno tentang model karakter bangsa Indonesia. Sayangnya, gagasan cerdas tersebut tidak memiliki fondasi dan konstruksi yang kokoh secara sosio-kultural. Problem kultur negara pasca kolonial yang cenderung bersifat xenophobia (ketakutan pada budaya asing), gandrung terhadap budaya luar, mungkin saja menjadi variabel penghambat terwujudnya mimpi Soekarno. Selain itu timbullah chouvinisme yaitu nasionalisme yang sempit dan menganggap hanya bangsanya sendirilah yang terbaik dan terlalu membanggakan diri (merasa besar), padahal karakter yang sebenarya tidak terlalu baik.

You might also like