Professional Documents
Culture Documents
PENGERTIAN BANGKAI
Bangkai, dalam bahasa Arab disebut al mayyitah. Pengertiannya, yaitu sesuatu yang mati
tanpa disembelih.1 Sedangkan menurut pengertian para ulama syari'at, al mayyitah
(bangkai) adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i, dengan cara mati
sendiri tanpa sebab campur tangan manusia. Dan terkadang dengan sebab perbuatan
manusia, jika dilakukan tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang diperbolehkan.2
Dengan demikian definisi bangkai mencakup:
Para ulama berpendapat, anggota tubuh (daging) yang dipotong dari hewan yang masih
hidup, termasuk dalam kategori bangkai, dengan dasar sabda Rasululloh shallallahu
'alaihi wasallam :
NAJISNYA BANGKAI
Menilik keadaan hewan bangkai, maka dapat dibagi menjadi tiga bagian.
• Yang ada di luar kulit, seperti bulu dan rambutnya serta yang sejenisnya.
Hukumnya najis secara ijma'7 dan tidak dapat disucikan dengan disamak.8 Berdasarkan
firman Allah Ta'ala:
خرَى
ْ ُْحيْهِ دَا ًء وَال
َ جنَا
َ شرَابِ أَحَ ِدكُمْ َف ْل َي ْغمِسْ ُه ثُ ّم ِل َي ْنزِعْهُ فَإِنّ فِي إِحْدَى
َ إِذَا وَقَ َع ال ّذبَابُ فِي
ًشِفَاء
Apabila seekor lalat hinggap di minuman salah seorang kalian, maka hendaknya
menenggelamkannya kemudian membuangnya. Karena, pada salah satu dari kedua
sayapnya penyakit, dan (sayap) yang lainnya (sebagai) obatnya (penawar). (HR al
Bukhori, no. 3320).
3). Tulang, tanduk dan kuku bangkai. Ini semuanya suci, sebagaimana dijelaskan Imam al
Bukhori, dari az-Zuhri tentang tulang bangkai, seperti gajah dan lainnya, dengan sanad
mu'allaq dalam Shohih al Bukhori (1/342).
Imam az-Zuhri berkata,"Aku telah menemui sejumlah orang dari ulama salaf
menggunakannya sebagai sisir dan berminyak dengannya. Mereka membolehkannya."9
4). Bangkai manusia, berdasarkan sabda Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam :
ُجس
ُ ْل َين
َ َسلِم
ْ ُلّ إِنّ ا ْلم
ِ سبْحَانَ ا
ُ
Sesungguhnya seorang muslim itu tidak najis. (HR al Bukhori).
Syaikh Majduddin Ibnu Taimiyyah berkata,"(Pengertian) ini umum mencakup yang hidup
dan yang mati".
Imam al Bukhori berkata, Ibnu 'Abbas berkata: "Seorang muslim itu tidak najis, baik
ketika masih hidup atau setelah mati". Imam al Bukhori juga membuat bab dalam kitab
al Muntaqa, yaitu bab yang menerangkan bahwa muslim itu tidak najis.10
Adapun tubuh orang kafir, terjadi perselisihan tentang kesuciannya. Yang rojih, yaitu
pendapat mayoritas ulama yang mengatakan kesuciannya, berdasarkan firman Allah :
ٌجس
َ َش ِركُونَ ن
ْ ُن آ َمنُوا ِإ ّنمَا ا ْلم
َ يَا َأ ّيهَا الّذِي
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. (QS
at-Taubah/9:28).
Ini karena keyakinan dan joroknya mereka dan dibolehkannya menikahi wanita Ahlu
Kitab; padahal jelas akan bersentuhan dan tidak dapat dielakkan, khususnya ketika
berhubungan intim. Wallahu a'lam.
• Kulitnya.
Hukum najisnya mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci,
maka kulitnyapun suci; dan bila hewan tersebut najis, maka kulitnyapun najis. Di antara
contoh yang suci adalah ikan, dengan dasar firman Allah:
ُطعَامُه
َ َح ِر و
ْ َصيْدُ ا ْلب
َ ل َلكُ ْم
ّ ِأُح
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu. (QS al Maidah/5:96).
ّل ال ّن ِبي
َ ن الصّدَقَةِ فَقَا ْ ِلةٌ ِل َم ْيمُونَ َة م
َ ْط َي ْتهَا َمو ِ ْسلّمَ شَا ًة َم ّيتَةً أُعَ َعَليْ ِه وَ ُّصلّى ال َ ي ّ وَجَ َد ال ّن ِب
حرُمَ َأ ْكُلهَا
َ ل ِإ ّنمَا َ جلْدِهَا قَالُوا ِإ ّنهَا َم ْيتَةٌ قَا ِ ِل ا ْنتَ َف ْعتُمْ ب
ّ َسلّمَ ه
َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال َ
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendapati seekor bangkai kambing yang diberikan
dari shodaqah untuk maula (bekas budak) milik Maimunah, lalu Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya?" Mereka
menjawab,"Ini adalah bangkai," beliau bersabda,"Yang diharamkan hanyalah
memakannya." (Muttafaqun 'alaihi)
Oleh karena itu kaum Muslimin sepakat tentang larangan memakan bangkai dalam
keadaan tidak darurat. 12
ُطعَامُه
َ َح ِر و
ْ َصيْدُ ا ْلب
َ ل َلكُ ْم
ّ ِأُح
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu. (QS al Maidah/5:96).
Dan sabda Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits Abu Hurairoh
radhiallahu'anhu yang berbunyi:
ل َم َعنَا
ُ ِحم
ْ َح َر َون
ْ َلّ ِإنّا َن ْر َكبُ ا ْلب
ِ ل يَا رَسُولَ ا َ سلّمَ فَقَا َ َعَليْ ِه و َ ُّصلّى ال َ ّلِ ل رَسُولَ ا ٌ ُل رَجَ َسأ َ
ُّصلّى الَ ّل ِ ل رَسُولُ ا َ حرِ فَقَا ْ َشنَا أَ َف َن َت َوضُّأ مِنْ مَا ِء ا ْلبْ ِل مِنْ ا ْلمَاءِ َفإِنْ َت َوضّ ْأنَا بِهِ عَط
َ الْ َقلِي
ُل َم ْي َتتُه
ّ ِطهُورُ مَا ُؤهُ الْح
ّ سلّمَ ُه َو ال
َ َعَليْ ِه و
َ
Seseorang bertanya kepada Rasululloh seraya berkata: "Wahai Rasululloh! Kami
mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. Apabila kami berwudhu dengannya
(air itu), maka kami kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?"
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,"Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya." (HR Sunan al Arba'ah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan dishohihkan
Syaikh al Albani di dalam al Irwa'ul Gholil, no.9 dan Silsilah al Ahadits ash-Shohihah,
no. 480).
Juga sabda Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam :
حرُ حُوتًا َم ّيتًا لَ ْم َن َر ِم ْثلَ ُه ْ َج ْعنَا جُوعًا شَدِيدًا فََألْقَى ا ْلب ُ َع َبيْ َدةَ ف
ُ خبَطِ َوُأ ّم َر َأبُو َ ْش الَ ج ْي َ غ َز ْونَا َ
ُحتَهْ َظمًا مِنْ عِظَامِهِ َف َم ّر الرّا ِكبُ ت ْ َع َبيْ َدةَ ع
ُ ش ْهرٍ فَأَخَ َذ َأبُو َ َل لَ ُه ا ْل َع ْن َبرُ فََأ َك ْلنَا ِمنْ ُه ِنصْف ُ يُقَا
ُّخرَجَهُ ال ْ َل ُكلُوا ِرزْقًا أ َ سلّمَ فَقَاَ َعَليْ ِه و
َ ُّصلّى ال َ ي ّ ِك لِل ّنب
َ َفَلمّا قَ ِد ْمنَا ا ْلمَدِينَةَ َذ َك ْرنَا َذِل
ُضهُمْ فََأ َكلَهُ ْط ِعمُونَا إِنْ كَانَ َم َعكُمْ َفَأتَا ُه َبع ْ َأ
Kami berperang pada pasukan al Khobath.13 Dan yang menjadi amir (panglima) adalah
Abu 'Ubaidah. Saat kami merasa sangat lapar, tiba-tiba lautan melempar bangkai ikan
yang tidak pernah kami lihat sebesar itu, dinamakan ikan al anbar (paus). Kami pun
memakan ikan tersebut selama setengah bulan. Lalu Abu 'Ubaidah memasang salah satu
tulangnya, lalu orang berkendaraan dapat lewat dibawahnya. Ketika sampai di
Madinah, kami sampaikan hal tersebut kepada Nabi n , lalu beliau bersabda:
"Makanlah! Itu rizki yang dikaruniakan Allah. Berilah untuk kami makan bila (sekarang)
masih ada bersama kalian". Lalu sebagian mereka menyerahkannya dan beliau n
memakannya. (HR al Bukhori dan Muslim).
• Belalang.
َجرَاد
َ ْل َمعَ ُه ال
ُ ُستّا ُكنّا نَ ْأك
ِ ْغ َزوَاتٍ َأو
َ َسبْع
َ َسلّم
َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال
َ ّغ َز ْونَا مَ َع ال ّن ِبي
َ
Kami berperang bersama Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam dalam tujuh atau
enam peperangan. Kami memakan bersama beliau belalang. (HR al Jama'ah, kecuali
Ibnu Majah).
Demikian juga para ulama sepakat membolehkan memakan belalang.
Larangan ini bersifat umum pada semua bangkai, termasuk manusia, kecuali hewan laut
dan belalang. Larangan menjual bangkai manusia mencakup muslim dan kafir. Oleh
karena itu, Imam al Bukhori membuat bab dalam kitab shohihnya dengan judul Bab
Thorhu Jaif al Musyrikin wala Yu'khodz Lahum Tsaman. Yaitu bab yang menjelaskan
membuang bangkai orang-orang musyrikin dan tidak mengambil untuknya tebusan harta.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap bab ini, bahwa pernyataan Imam al Bukhori
"tidak mengambil untuknya tebusan harta", (ini) mengisyaratkan kepada hadits Ibnu
'Abbas yang berbunyi:
َسلّم
َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال
َ ّش ِركِينَ فََأبَى ال ّن ِبي
ْ ُل مِنْ ا ْلم
ٍ ُش َترُوا جَسَ َد رَج
ْ َن ي
ْ َش ِركِينَ َأرَادُوا أ
ْ ُن ا ْلم
ّ َأ
(ن َيبِي َعهُمْ ِإيّا ُه )أخرجه الترمذي وغيره ْ َأ
Sungguh kaum Musyrikin ingin membayar jasad seorang musyrik, tetapi Nabi n enggan
menjualnya kepada mereka. (HR at-Tirmidzi dan selainnya).14
Adapun Ibnu Ishaq di dalam kitab al Maghazi menyebutkan:
ِ ْل ب
ن ِ عبْدِ ا َ ِل بْن َ َن َي ِب ْي َعهُمْ جَسَ َد َنوْف
ْ َسلّ َم أ
َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال َ ّش ِركِينَ سََأُلوْا ال ّن ِبي ْ ُن ا ْلم ّ َأ
َ لَ حَاجَ َة َلنَا ِب َث َمنِ ِه وَل:َسلّم َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال َ ّل ال ّن ِبي َ ق ; فَقَا
َ َخنْد
َ ْ َوكَانَ ا ْقتَحَ َم ال, ِا ْل ُم ِغ ْي َرة
ِجسَ ِده َ
"Sungguh kaum Musyrikin meminta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menjual
kepada mereka jasad Naufal bin 'Abdillah bin al Mughiroh, dan ia dulu ikut menyerang
Khondak," Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak butuh dengan
nilai harganya dan tidak juga jasadnya".
Ibnu Hisyam berkata,"Telah sampai kepada kami dari az-Zuhri, bahwa mereka telah
mengeluarkan untuk itu sepuluh ribu."
Imam Bukhori mengambil sisi pendalilan atas hadits bab dari sisi adat menguatkan,
bahwa keluarga orang kafir yang terbunuh dalam perang Badar, seandainya mengetahui
uang tebusan mereka akan diterima untuk mendapatkan jasad-jasad mereka (yang
terbunuh), tentu mereka akan mengeluarkan sebanyak mungkin untuk itu. Ini sebagai
penguat atas hadits Ibnu 'Abbas, walaupun sanadnya tidak kuat.15
1. Pada umumnya, bangkai itu berbahaya karena mati, sakit, lemah atau karena
mikroba, bakteri dan virus, serta sejenisnya yang mengeluarkan racun. Terkadang
mikroba penyakit bertahan hidup dalam bangkai tersebut cukup lama.
2. Tabiat manusia menolaknya, menganggapnya jijik dan kotor.
3. Adanya darah jelek yang tertahan tidak keluar dan tidak hilang, kecuali dengan
sembelihan syar'i.
Maraji`:
1
Lihat al Qamus al Muhith, al Fairuz Abadi, Tahqiq Muhammad Na'im al 'Urqususi,
Cetakan Kelima, Tahun 1416H, Muassasah ar-Risalah, Bairut, hlm. 206.
2
Al Ath'imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba'ih, Dr. Sholih bin 'Abdillah al Fauzan,
Cetakan Kedua, Tahun 1419H, Maktabah al Ma'arif, Riyadh, hlm. 195.
3
Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul Qayyum bin Muhammad Asy-
Syahibani dalam pelajaran hadits di Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah, 13
Jumadal Ula 1418H.
4
HR Abu Dawud no. 2858 dan Ibnu Majah no. 3216. Hadits ini dishohihkan Syaikh al
Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud.
5
Syarhul-Mumti' 'ala Zadul-Mustaqni', Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Tahqiq Dr. Kholid al
Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khoil, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H, Muassasatu Asam
(1/78).
6
Catatan penulis dari keterangan Syaikhuna Abdul Qayyum bin Muhammad Asy-
Syahibani dalam pelajaran hadits.
7
Shohih Fiqhus-Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, tanpa tahun, al
Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo, Mesir (1/73).
8
Syarhul-Mumti' (1/78).
9
Shohih Fiqhus-Sunnah (1/73).
10
Lihat Nailul-Author bi Syarhil-Muntaqa lil Akhbar, Muhamad bin Ali asy-Syaukani,
Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Darul-Kutub al
'Ilmiyah, Beirut (1/67)
11
Syarhul-Mumti' (1/69).
12
Al Mughni, Ibnu Qudamah, Tahqiq 'Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Cetakan
Kedua, Tahun 1413H, Dar Hajar (13/330).
13
Dinamakan demikian, karena mereka memakan dedaunan yang gugur dari pohonnya.
14
Didhoifkan Syaikh al Albani dalam Dho'if Sunan at-Tirmidzi.
15
Fat-hul Bari Syarah Shohih al Bukhori, Ibnu Hajar al Asqalani, al Maktabah as-
Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun (6/283).
16
Lihat al Ath'imah wa Ahkam ash-Shoid wadz-Dzaba'ih, hlm. 196.