You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah parkinsonian, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi orwellian yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, akan sangat sulit bagi birokrasi untuk siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal. Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa

Universitas Sumatera Utara

bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi. Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan

Universitas Sumatera Utara

kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Melihat beberapa gejala tersebut ada beberapa hal yang perlu dilakukan birokrasi dalam mengubah sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Dari pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.

Universitas Sumatera Utara

Dengan pertimbangan tersebut maka Indonesia pun mulai merombak struktur organisasinya dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau yang lebih sering kita sebut sebagai otonomi daerah. Dimulai dari diberlakukannya UU No.05 Tahun 1974, kemudian diikuti UU No.22 Tahun 1999 dan pada akhirnya UU No. 32 Tahun 2004 hal ini menunjukkan bahwa Indonesia secara-terus menerus mencari bentuk desentralisasi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU No. 22 Tahun 1999 ditetapkan bahwa susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu PP No.84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Dalam peraturan pemerintah tersebut, organisasi perangkat daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan: a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah b. Kemampuan keuangan daerah c. Ketersediaan sumber daya aparatur d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dan atau dengan pihak ketiga. Perangkat daerah, adalah organisasi/ lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang terdiri atas sekretariat daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan daerah. Selanjutnya, organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) dengan menetapkan pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan struktur organisasi perangkat daerah. Penjabaran tugas pokok dan fungsi perangkat daerah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Universitas Sumatera Utara

Penataan kelembagaan di lingkungan pemerintahan daerah harus benar-benar mempertimbangkan kebutuhan daerah yang bersangkutan dan berdasarkan PP No.84 Tahun 2000, jelas disebutkan bahwa nomenklatur, jenis dan jumlah unit organisasi di lingkungan pemerintah daerah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan beban kerja. Dengan demikian untuk menunjang penyelenggaraan kewenangan otonomi daerah berdasarkan UU serta dalam kaitannya dengan kebutuhan dan karakteristik daerah maka, Pemerintah Kota Medan pun menyusun kelembagaan daerahnya sebagai sarana untuk mempermudah pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Adapun yang menjadi acuan Kota Medan dalam membentuk kelembagaan daerahnya yaitu Peraturan Walikota Medan No. 02 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Medan dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, dalam Perda tersebut terdapat apa yang menjadi tugas dan wewenang dari lembaga pemerintah daerah, dan dari Perda No. 02 Tahun 2001 tersebut lahirlah Perda No. 03 Tahun 2001 tentang organisasi dan tatalaksana tugas pemerintah daerah. Adapun peraturan walikota ini lahir sebagai operasional dari PP No. 84 Tahun 2000. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa susunan perangkat daerah Pemerintah Kota Medan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan


Walikota/ Wakil DPRD

Sek. Daerah

21 Camat

21 Dinas Daerah 4 Assisten

12 Lembaga Teknis Sek. DPRD

151 Lurah Bagian Bagian

(Sumber: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2001) Ket: Kemitraan Komando Koordinasi

Setelah PP No. 41 Tahun 2007 ditetapkan oleh pemerintah, maka sebagai salah satu organisasi pemerintahan, struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pun berubah. Dalam penataan organisasi perangkat daerah Kota Medan yang sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007, Pemerintah Kota Medan juga memakai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 57 Tahun 2007, sebagai petunjuk teknis dalam penataan organisasi perangkat daerah. Kemudian berdasarkan analisa Pemerintah Kota Medan terhadap PP No. 41 Tahun 2007 dan juga sesuai petunjuk teknis pelaksanaan yang terdapat Permendagri No. 57 Tahun 2007 tersebut pemerintah pun merancang organisasi perangkat daerah Kota Medan yang tertuang dalam Perda No.03 Tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara

Namun yang menjadi permasalahan, dalam PP No. 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa organisasi perangkat daerah harus sesuai dengan jumlah penduduk, luas

wilayah, besar APBD dan juga kebutuhan daerah yang bersangkutan. Jadi saat ini perlu kita analisa kembali apakah struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pada saat ini yang sudah tercantum dalam Perda Kota Medan No. 03 Tahun 2009, sudah sesuai dengan struktur organisasi perangkat daerah seperti yang terdapat pada PP No.41 Tahun 2007. Administrasi negara mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenanya merupakan bagian dari proses politik. Berlakunya peraturan-peraturan ini tentu membutuhkan analisis yang pekerjaannya akan diselesaikan dalam bentuk penelitian nantinya. Analisa ini dipersempit dalam kajian Ilmu Administrasi Negara yang akan membedakannya dengan kajian analisa dalam Ilmu Hukum. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat keadaan tersebut ke dalam suatu masalah penelitian yang berjudul Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kota Medan.

B. Rumusan Masalah Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah : Bagaimanakah implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : untuk menganalisis implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan jika dilihat dari 2 indikator kinerja kunci pada tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara subyektif, sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literature untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah positif. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang analisis implementasi peraturan pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

E. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik 1.1 Pengertian Kebijakan Publik Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003A:1) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Easton (dalam Tangkilisan, 2003A:2) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Anderson (dalam Tangkilisan, 2003A:2) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3)

Universitas Sumatera Utara

kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Sedangkan menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003A:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam buku H Soenarko (2003:41) O. Jones, mengemukakan pendapat H.Hugh Heclo bahwa kebijaksanaan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan. Selanjutnya Heclo juga mengemukakan bahwa suatu kebijaksanaan akan lebih cocok dilihatnya sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka. James E Anderson (dalam Soenarko, 2003:42) mengemukakan defenisi kebijakan publik dari Robert Eyestone yaitu: kebijaksanaan pemerintah adalah hubungan suatu lembaga pemerintah terhadap lingkungannya. Anderson juga menyampaikan defenisi yang diberikan oleh Carl J. Friedrich (dalam Soenarko, 2003:42) sebagai berikut: kebijaksanaan pemerintah adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang , golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatankesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut

Universitas Sumatera Utara

di dalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta tujuan tertentu. Dari defenisi-defenisi di atas maka penulis menyatakan pengetahuan pokok yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan yang menjadi landasan teori dari penelitian ini. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. 1.2 Kategori Kebijakan Publik Juhn B. Joynt (dalam Soenarko, 2003:61) mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Udaha untuk mengadakan klasifikasi/ tingkat-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya membagi-bagi tingkatan suhu udara. Menanggapi hal tersebut maka, A. Simon dalam buku H. Soenarko

(2003:61) kemudian dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi 3 macam policy yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a.

Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan pegangan bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusan-keharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislatif.

b.

Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.

c.

Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang tersimpul dari kebijaksanaan itu. Berbeda dengan A Simon, Hudson (dalam Soenarko, 2003:62) menyoroti

klasifikasi kebijakan publik dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: a. Over-all Policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau presiden dengan berdasarkan UUD (constitution). Oleh karena itu, sifatnya adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara. b. Top management policies (kebijaksanaan pimpinan), yaitu merupakan

kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau dinas-dinas pelaksanaan over-all policies dengan menentukan cara-cara, prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis. c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat pejabat yang langsung

Universitas Sumatera Utara

bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam kegiatan operasionalnya. Kebijaksanaan pemerintah di Indonesia, yang sesuai dengan azas hidup bangsa Indonesia, adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah yang berlandaskan Pancasila. Kebijaksanaan ini, tidaklah hanya memperhatikan keinginan dan kehendak dari rakyat (sosio-democratis), akan tetapi juga haruslah mengacu pada kepentingan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (sosionasionalisme) Adapun bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah : UU/ Peraturan Pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri selain itu, masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan tingkat II serta Keputusan-keputusan gubernur, dan bupati/ walikota kepala daerah. 1.3 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki dalam buku Tangkilisan (2003B:78) bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk

merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9) Menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003B:78), halhal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan, 2003B:79) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Jones (dalam Tangkilisan, 2003B:79) menyatakan kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi, suatu kebijakan yang dirumuskan

Universitas Sumatera Utara

akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik. Dalam implementasi sebuah kebijakan dibutuhkan proses implementasi sebagai bahan persiapan dalam melaksanakan rumusan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut, Lineberry proses implementasi setidaknya memiliki elemenelemen sebagai berikut: 1) pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2) penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/ SOP) 3) koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/ badan pelaksana, 4) pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.( Tangkilisan, 2003B:81) Lain dengan Anderson (dalam Tangkilisan, 2003B:82) yang

mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek yaitu; a. Siapa yang mengimplementasikan kebijakan, maksudnya yaitu bahwa

pelaksanaan suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada jajaran birokrasi, tetapi juga melibatkan actor-aktor di luar birokrasi pemerintah, seperti organisasi kemasyarakatan, bahkan individu juga sebagai pelaksana kebijakan. b. Hakekat dari proses administrasi. Untuk menghindari pertentangan atau perbedaan persepsi dalam pelaksanaan antar implementor (unit birokrasi maupun non birokrasi), proses administrasi harus selalu berpijak pada standar prosedur operasional (sebagai acuan pelaksanaannya). c. Kepatuhan (kompliansi) kepada kebijakan, atau sering disebut sebagai perilaku taat hukum. Karena kebijakan selalu berdasarkan hukum atau peraturan tertentu, maka pelaksana kebijakan tersebut juga harus taat kepada hukum yang mengaturnya. Untuk menumbuhkan system kepatuhan dakam implementasi

Universitas Sumatera Utara

kebijakan, memerlukan system kontrol dan komunikasi yang terbuka, serta penyediaan sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Sedangkan untuk dapat mewujudkan implementasi yang efektif, Islamy menyebutnya dengan tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. d. Efek atau dampak dari implementasi kebijakan. Menurut Islamy (1997:119) setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Ini berarti bahwa konsep dampak menekankan pada apa yang terjadi secara actual pada kelompok yang ditargetkan dalam kebijakan. Jadi, dengan melihat konsekuensi dari dampak, maka dapat dijadikan sebagai salah satu tolok-ukur keberhasilan implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan tersebut. 1.4 Model Implementasi Kebijakan Publik Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ada ragam tindakan yang dapat dilakukan yaitu: a)dengan mengeluarkan dan menggunakan indikator, b)membelanjakan dana, c)memakai pinjaman, d)menghargai hibah,

e)menandatangani kontrak, f)mengumpulkan data, g)mendistribusikan informasi, h)menganalisis berbagai masalah, i)mengalokasi dan merekrut j)menciptakan unit-unit organisasi, k)mengusulkan berbagai personalia, alternative,

l)merencanakan atas masa depan, dan m)bernegosiasi dengan warga secara pribadi, bisnis, kelompok kepentingan, unit-unit birokrasi, komite legislative, dan bahkan negara lain. (Tangkilisan, 2003B:2)

Universitas Sumatera Utara

Tangkilisan (2003A:20) dalam bukunya menyatakan bahwa dalam melaksanakan implementasi dikenal beberapa model antara lain: a. Model Gogin, dalam model ini implementasi dilakukan dengan

mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni ; (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa katakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya. b. Model Grindle, menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari; (1) kepentingankepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang diharapkan (4) letak pengambilan keputusan, (5) pelaksanaan program dan (6) sumber daya yang dilibatkan. isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa dan, (3) kepatuhan dan daya tanggap. c. Model Meter dan Horn, implementasi model ini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu : 1) standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, 2) sumber daya kebijakan berupa dana pendukung

Universitas Sumatera Utara

implementasi, 3) komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, 4) karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dan 6) sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan. d. Model Deskriptif, William N. Dunn mengemukakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah; 1)perbedaan menurut tujuan, 2) bentuk penyajian dan 3) fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah (1) Model deskriptif, yaitu model yang menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kebijakan

digunakan untuk memonitor hasil tindakan kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan dan (2) Model normatif. Adapun model implementasi yang akan digunakan oleh penulis dalam menganalisis PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan adalah Model Meter dan Horn. Model ini disebut juga sebagai model mekanisme paksa yaitu model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa di dalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakannya atau yang melanggarnya.

Universitas Sumatera Utara

Secara matematis, model ini disebut dengan Zero-minus model, dimana yang ada hanya nilai nol dan minus saja. Sedangkan model mekanisme pasar mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapat sanksi, namun tidak mendapat insentif. Secara matematis model ini dapat disebut sebagai model Zero-Plus Model, dimana yang ada hanya nilai nol dan plus saja. Diantaranya ada kebijakan yang memberikan insentif di satu kutub, dan memberikan sanksi di kutub lain. Model top-down mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya bottom-up bermakna meski kebijakan dibuat pemerintah, namun pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat. Secara terperinci ada beberapa model menyoal tentang implementasi kebijakan, yang pertama model klasik dari Van Meter dan Van Horn yang mengandaikan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel: a. b. c. d. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor Kondisi ekonomi, sosial dan ekonomi Kecenderungan (disposisi) dari pelaksana/ implementor.

Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002: 110-118), identifikasi indikator-indikator pencapaiana merupakan tahapan yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator pencapaian tujuan ini, menilai sejauh

Universitas Sumatera Utara

mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan direalisasikan. Ukuran dasar dan tujuan berguna di dalam menguraikan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran dasar dan tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Namun demikian dikatakan seringkali dalam banyak kasus sering terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengukur pencapaian yang disebabkan oleh dua hal, yaitu program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks, serta kekaburan dalam ukuran-ukuran dasar tujuan-tujuan sengaja diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggungjawab implementasi pada tingkat organisasi yang lain atau system penyampaian kebijakan. 1.5 Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu: standard dan sasaran kebijakan, komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya dan sikap pelaksanaan. Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah: a. Persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Karena ketiga hal ini dapat menimbulkan partisipasi masyarakat, yang benar-benar diperlukan untuk pelaksanaan kebijaksanaan. b. Isi dan tujuan kebijaksanaan haruslah dimengerti secara jelas terlebih dahulu. Berhubung dengan itu maka pelaksanaan kebijakan harus mampu melakukan

Universitas Sumatera Utara

interpretasi terhadap kebijaksanaan yang tepat sehingga mempunyai persepsi seperti yang dikehendaki oleh pembentuk kebijaksanaan. c. Pelaksana haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai

kebijaksanaan itu. d. Pembagian pekerjaan yang efektif dalam pelaksanaan. Hal ini berarti perlu pengorganisasian yang baik dengan: e. Pembagian kekuasaan dan wewenang yang rasional Selain itu Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003A:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu: a. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strate level burcancrats terhadap atas mereka. b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan selanjutnya sebagai berikut: organisasi atau kelembagaan, kemampuan politik dari penguasa, pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab, kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental, proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik, aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta professional, biaya untuk melaksanakan evaluasi, tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilaipenilai kebijakan.

Universitas Sumatera Utara

Peters (dalam Tangkilisan, 2003A:22) mengatakan bahwa kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh beberapa faktor. a. Informasi, informasi yang kurang dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu. b. Isi kebijakan, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. c. Dukungan, implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. d. Pembagian potensi, hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para actor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. 1.6 Analisis Kebijakan Publik Ilmu kebijakan merupakan suatu istilah dan orientasi terhadap ilmu sosial yang dikembangkan oleh Harold D Lasswell. Ilmu kebijakan didefenisikan sebagai ilmu yang berorientasi pada masalah konstektual, multidisiplin dan secara eksplisit bersifat normative. Ilmu-ilmu kebijakan dirancang untuk menyoroti masalah fundamental dan seringkali diabaikan yang muncul ketika warga negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang terus-menerus untuk memfasilitasi tujuantujuan demokrasi.

Universitas Sumatera Utara

Menurut William N Dunn, dalam arti historis yang lebih luas, analisis kebijakan merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial, dimulai pada tonggak sejarah ketika pengetahuan secara eksplisit dan relfektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dengan tindakan. Analisis kebijakan didefinisikan oleh Harold D Lasswell (dalam Dunn, 2001:1) sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik. Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teoriteori deskriptif yang umum seperti teori-teori ekonomi, politik dan sosiologi dalam mengkaji fenomena kasus per kasus. Analisis kebijakan melampaui apa yang dicapai oleh disiplin-disiplin ilmu tradisional. Jika disiplin-disiplin tradisional sekedar menjelaskan keteraturan-keteraturan empiris, maka analisis kebijakan ,mengkombinasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan

untuk mengatasi dan memecahkan permasalahan-permasalahan publik tertentu. 1.7 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni: analisis kebijakan prospektif, restropektif, dan terintegratif (Dunn, 200:117). a. Analisis Kebijakan Prospektif Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung mengidentifikasi cara beroparasinya para ekonom, analis system dan analis operasi dengan kata lain merupakan suatu alat untuk mensintesiskan informasi untuk

Universitas Sumatera Utara

dipakai dalam merumuskan suatu alternative dan prefensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan. b. Analisis Kebijakan Retrospektif Analisis kebijakan retospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan

retrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis: 1. Analis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik san sosiologi terutama berusaha untuk

mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi. 2. Analis yang berorientasi pada masalah, sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha menerangkan sebabsebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi

Universitas Sumatera Utara

variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah. 3. Analis yang beorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analis yang mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi professional pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakankebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan. c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus, berulangulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis propektif dan retrospektif, tetapi tidak

Universitas Sumatera Utara

satupun dari keleihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus-menerus sepanjang waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.

2. Perampingan Organisasi

Perampingan merupakan salah satu bentuk restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi atau rasionalisasi, dan masing-masing cara memiliki kon-sekuensi tersendiri, baik terhadap pekerjaan, maupun konsekuensi psikologis. Laila Naqib menyarankan agar rasionalisasi dilakukan dengan cara, yaitu bagi mereka yang tidak efektif dirumahkan dengan menerima gaji separuh bahkan dibayar sampai pensiun, sedangkan bagi pegawai yang efektif dan terpakai di kantor kesejahteraannya dijaga sebaik-baiknya agar mendapatkan penghasilan yang pantas dan seimbang dengan jerih payahnya. Adapun langkah ke depan khususnya dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja baru untuk PNS harus dilakukan dengan perencanaan yang matang (manpower planning). Artinya, rekrutmen pegawai dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Secara teoritis, ada delapan cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi (Bernardian dan Russell, 1998: 210) yaitu: downsizing, delayering, decentralizing, reorganization, cost-reduction strategy, IT Innovation, competency measurement, dan performance -related pay.

Universitas Sumatera Utara

1. Downsizing adalah perampingan organisasi dengan menghapuskan beberapa pekerjaan atau fungsi tertentu. Dengan downsizing, bukan saja organisasi menjadi lebih ramping, tetapi juga pegawai akan berkurang. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa downsizing berdampak pada rasa aman pegawai, baik terhadap pekerjaan maupun karier mereka. Secara psikologis, betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan ter-sebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif. 2. Delayering adalah pengelompokkan kembali jenis-jenis pekerjaan yang sudah ada. Dengan cara ini, jumlah pegawai akan berkurang karena ada beberapa pekerjaan yang disatukan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa delayering akan berakibat pada hilangnya beberapa jabatan, sehingga secara psikologis mereka akan kehilangan jati diri karena menganggap mereka tidak akan majumaju dalam kariernya 3. Decentralizing, dilakukan dengan cara menyerahkan beberapa fungsi dan tanggung jawab kepada tingkat organisasi yang lebih rendah. Dengan penyerahan beberapa fungsi dan tanggung jawab tersebut, maka dapat dilakukan pengurangan jumlah pegawai. Proses pengurangan ini sekaligus digunakan untuk memperbaiki komposisi pegawai yang masih dipertahankan. Pengalaman menunjukkan, bahwa restrukturisasi melalui desentralisasi menimbulkan segmentasi dan fragmentasi dalam pekerjaan. Di lain pihak, secara psikologis dapat menimbulkan perilaku bersaing yang lebih kuat karena adanya peluang yang relatif lebih terbuka untuk diperebutkan. Oleh karena itu, untuk mencapai

Universitas Sumatera Utara

hasil sesuai dengan yang direncanakan, perlu dipersiapkan aturan-aturan dan standar yang jelas sebagai dasar restrukturisasi. 4. Reorganization adalah bentuk restrukturisasi yang dilakukan dengan cara melakukan peninjauan atau penyusunan kembali (refocusing) tentang

kompetensi inti (core competition) dari organisasi yang bersangkutan. Dengan cara ini akan mengakibatkan jumlah pegawai akan berkurang karena adanya pemfokusan kembali pada tugas pokok yang sebenarnya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi dengan cara reorganisasi akan menimbulkan rasa frustasi pada pegawainya karena mereka akan mengalami pemindahan bahkan pemecatan. 5. Cost reduction strategy adalah penggunaan sumber daya yang lebih sedikit untuk pekerjaan yang sama. Dengan strategi ini, semua sumber daya, termasuk sumber daya manusia, digunakan sehemat mungkin tanpa mengurangi kualitas keluaran. Ini berarti sebagian pegawai harus dikurangi, meskipun tidak ada perubahan fungsi maupun susunan organisasi. Pengalaman empiris

menunjukkan bahwa cost reduction strategy berdampak langsung pada intensifikasi pekerjaan. Di lain pihak terjadi dampak cukup serius, yaitu pegawai merasa tertekan dan banyak pegawai yang mengalami stres karena tidak tahan menghadapi tekanan dari pekerjaan yang dilakukan. Di samping itu, aspek psikologis khususnya bagi pegawai yang dipilih untuk tetap bekerja (tidak diberhentikan) juga harus diperhatikan. 6. IT Innovation adalah penyesuian pekerjaan dengan perkembangan teknologi. Restrukturisasi dengan cara ini akan berdampak pada jumlah pegawai karena

Universitas Sumatera Utara

pegawai dituntut memiliki skills yang tinggi. Sedangkan mereka yang tidak memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan teknologi akan tersingkir. 7. Competency measurement adalah bentuk restrukturisasi dengan cara melakukan pengukuran atau pendefinisian ulang terhadap kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai. Dengan strategi ini berakibat pada pengurangan jumlah pegawai karena kemungkinan besar banyak pegawai setelah dilakukan pengkajian kembali kompetensi yang saat ini diperlukan sudah usang atau sudah tidak terpakai lagi (obsoles cence). Secara psikologis akan berdampak pada perilaku mempertahankan diri (self defence). 8. Performance-related pay artinya nilai yang diperoleh oleh pegawai didasarkan pada kinerja yang dicapainya. Strategi ini walaupun tidak drastis akan berakibat pada pengurangan jumlah pegawai, karena hanya pegawai yang memiliki kinerja baik yang akan mendapat penghargaan misal promosi dalam kariernya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi melalui cara ini akan berdampak pada besarnya rasa individualitas seseorang dan nuansa politis akan kental di dalamnya. Selain itu, secara psikologis akan berdampak pada rasa kepercayaan pegawai begitu rendah. PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditujukan untuk melakukan perampingan (downsizing) dalam birokrasi pemerintah daerah karena dianggap cara inilah langkah yang paling tepat dalam mencapai efektivitas dan juga efisiensi kinerja birokrasi dengan perhitungan risiko yang paling rendah.

Universitas Sumatera Utara

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan adanya struktur pemerintahan yang merupakan suatu bagian dari organisasi perangkat pemerintahan. Kepala daerah sebagai pemimpin penyelenggara pemerintah daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerntahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Maka dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah kabupaten/ kota merupakan unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa sekretariat daerah merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/ walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan

administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan dan keuangan daerah. Sekretaris dewan secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRD dan secara administrative bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.

Universitas Sumatera Utara

Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintah daerah. Inspektorat ini mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/ kota, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Inspektur dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada bupati/ walikota dan secara teknis administrastif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Kepala badan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Dinas daerah merupakan pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas daerah berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan. Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga teknis daerah ini dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit. Kepala kantor dan direktur rumah sakit berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.

Universitas Sumatera Utara

Pada lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dapat dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan. Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/ walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/ kota dalam wilayah kecamatan. Lurah berkedudukan di bawah dan

bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui camat. Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini. Dan peraturan yang dimaksud tersebut mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD). Dengan perincian sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel. 1 Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Menurut PP No.41 Tahun 2007 VARIABEL KELAS INTERVAL 100.000 JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kota di Pulau Jawa dan 100.001 - 200.000 200.001 - 300.000 Madura 300.001 - 400.000 > 400.000 50.000 JUMLAH PENDUDUK (jiwa) Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan 50.001 - 100.000 100.001 - 150.000 Madura 150.001 - 200.000 > 200.000 2 50 LUAS WILAYAH (KM ) Untuk Kota di Pulau Jawa dan 51 - 100 101 - 150 Madura 151 - 200 > 200 75 LUAS WILAYAH (KM2) Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan 76 - 150 151 - 225 Madura 226 - 300 >300 Rp. 200 M JUMLAH APBD Rp. 200.000.000.001 Rp. 400.000.000.000 Rp.400.000.000.001 Rp.600.000.000.000 Rp.600.000.000.001 Rp.800.000.000.000 NILAI 8 16 24 32 40 8 16 24 32 40 7 14 21 28 35 7 14 21 28 35 5 10

15

20

> Rp.800.000.000.000 25 (Sumber: PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

4. Dua Indikator Kinerja Kunci Dua indikator kinerja kunci merupakan variabel yang dipilih oleh peneliti untuk mempermudah pelaksanaan analisis PP No. 41 Tahun 2007 ini. Adapun yang menjadi dua indikator kinerja kunci ini yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Rasio Struktur Jabatan Eselonering yang Terisi Dalam mengukur rasio struktur jabatan eselonering yang terisi ini penulis memakai dua indikator yaitu tingkat struktur jabatan yang sudah terisi dan juga tingkat pendidikan formal sesuai bidang tugasnya. Jika dilihat dari indikator pertama, pada tahun 2008 adapun persentase struktur jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel.2 Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Nama SKPD Jabatan Jab.Terisi Dinas Pendidikan 27 25 Kantor Kepustakaan 4 4 Dinas Kesehatan 31 27 RSU Pirngadi 27 27 Dinas Pekerjaan Umum 26 22 Dinas Perumahan dan Permukiman 25 15 Dinas Pencegah dan Pemadam Kebakaran 26 20 Dinas Tata Kota dan Bangunan 25 25 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 25 25 Dinas Perhubungan 26 12 Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup 22 19 Dinas Pertamanan 26 26 Dinas Kebersihan 26 20 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 23 21 Badan Keluarga Berencana 24 18 Kantor Sosial 5 4 Dinas Tenaga Kerja 28 19 Dinas Koperasi 17 16 Kantor Penanaman Modal 5 5 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 21 21 Dinas Pemuda dan Olahraga 20 17 Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan 20 14 Masyarakat Badan Polisi Pamong Praja 13 13 Bagian Kesejahteraan Rakyat 3 3 Bagian Pemberdayaan Perempuan 4 2 Bagian Bina Program 4 4 Bagian Bina Perekonomian 4 4 (Sumber: www.pemkomedan.go.id)

Universitas Sumatera Utara

Tabel.3 Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008 No. Nama SKPD Jabatan 3 28 Bagian Hubungan Antar Kota Antar Daerah 4 29 Bagian Agama dan Pendidikan 4 30 Bagian Tata Pemerintahan 6 31 Bagian keuangan 7 32 Bagian Umum 4 33 Bagian Humasy Bagian Hukum 4 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 Jab.yang Terisi 3 3 3 6 6 2 4

Sekretariat Dewan 10 9 Dinas Pendapatan 31 31 Balitbang 18 16 Bawasko 30 26 Badan Kepegawaian Daerah 29 27 Badan Pemberdayaan Masyarakat 20 18 Kantor Arsip Daerah 5 5 Dinas Infokom dan PDE 23 22 Dinas Pertanian 29 24 Dinas Perikanan dan Kelautan 28 24 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 30 27 Total 790 696 (Sumber: www.pemkomedan.go.id)

Dari tabel di atas bahwa dari 45 SKPD yang berada di lingkungan Pemerintah Kota Medan, terdapat 790 struktur jabatan. Sampai tahun 2008 hanya 696 struktur jabatan yang terisi. Bila dihitung persentase dari jumlah jabatan yang tersedia dibagi dengan jabatan yang terisi maka hasilnya adalah 696/790 x 100% = 88,1 %, sehingga struktur jabatan yang sudah terisi adalah 88,1 %. Sedangkan jika dilihat dari persyaratan pendidikan dan kepangkatan pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Medan secara keseluruhan diantara nilai 90% 100%.

Universitas Sumatera Utara

b. Jenis Jabatan Fungsional dalam Struktur Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah Menurut Peraturan Pemerintah 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada mandiri. Jabatan fungsional pada hakikatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Jabatan fungsional dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, Jabatan fungsional keahlian yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas yang dilandasi oleh pengetahuan, metodologi dan teknis analisis yang didasarkan atas disiplin ilmu yang bersangkutan dan/atau berdasarkan sertifikasi yang setara dengan keahlian dan ditetapkan berdasarkan akreditasi tertentu. Kedua, jabatan fungsional ketrampilan adalah kedudukan yang mengunjukkan tugas yang mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta dilandasi kewenangan penanganan berdasarkan sertifikasi yang ditentukan. Pengaturan tentang Unit Pelayanan Teknis Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Bupati/ Walikota.

F. Definisi Konsep 1. Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat pemerintah dengan implikasi : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi

Universitas Sumatera Utara

pada tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah untuk melakukan segala sesuatu dalam masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2001 tentang Organisasi Perangkat Daerah. 2. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan adalah rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Dengan demikian, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai sebuah penghubung yang memungkinkan tujuantujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program

pemerintah. (Hesel Nogi Tangkilisan, 2003:9) 3. Perampingan Organisasi Perampingan (downsizing) adalah perampingan organisasi dengan

menghapuskan beberapa pekerjaan atau fungsi tertentu. Dengan downsizing, bukan saja organisasi menjadi lebih ramping, tetapi juga pegawai akan berkurang. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa downsizing berdampak pada rasa aman pegawai, baik terhadap pekerjaan maupun karier mereka. Secara psikologis,

Universitas Sumatera Utara

betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif. 4. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Harold D Lasswell dalam Dunn, 2000:1) Analisis kebijakan yang dilakukan adalah analisis kebijakan retrospektif yaitu analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (problem oriented analysts).

G. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variabel-variabel tersebut. (Singarimbun, 2006:46). Adapun yang menjadi indikator dari analisa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah adalah: 1. Kebijakan publik dalam pemerintahan Indonesia berbentuk seperti : UndangUndang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, selain itu masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II serta Keputusan-keputusan Gubernur, dan bupati/ walikota kepala Daerah). 2. Indikator dalam melakukan implementasi kebijakan

Universitas Sumatera Utara

a. Implementasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan apa yang terjadi sesudah suatu perundang-undangan ditetapkan. b. Implementasi ini dilakukan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintahan) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen) c. Melakukan interpretasi dan menerapkan kebijakan. d. Keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus. e. Suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usahausaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. 3. Rasio struktur jabatan eselonering yang terisi, adalah perbandingan antara struktur eselon yang tersedia dengan yang terisi oleh pejabat yang tepat baik dari jabatan eselonnya maupun dari segi pendidikan dari pejabat tersebut. 4. Jenis jabatan fungsional yang terdapat dalam struktur organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah pertimbangan dari pejabat perancang dalam menempatkan jenis jabatan fungsional yang mandiri, dan yang akan diadakan dalam membantu suatu satuan organisasi dalam melaksanakan tugasnya.

Universitas Sumatera Utara

You might also like