You are on page 1of 24

Pengertian Akhlak

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4: Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedangkan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlagi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda. Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hqjatin act_ fikrin wa ruwiyyatin. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mahmudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika. Etika (ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk dalam ethika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam ilmu akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, meskipun akal juga mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam ethica dikenal ada ethica Barat, ethika Timur dan sebagainya, sementara al akhlaq al karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama. Sedangkan kata moral meski sering digunakan juga untuk menyebut akhlak, atau etika tetapi tekanannya pada sikap seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan.Melihat akhlak, etika atau moral seseorang, harus dibedakan antara perbuatan yang bersifat temperamental dengan perbuatan yang bersumber dari karakter kepribadiannya. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsang yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk berubah. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkahlaku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter seseorang terbentuk melalui perjalanan hidupnya, oleh karena itu ia bisa berubah. posted by : Mubarok institute

1. Pengertian Akhlak Dari segi etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab, merupakan bentuk plural (jamak) dari al-khuluq yang berarti gambaran batin atau perangai, kebiasaan, atau tabiat/karakter. Dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4 Allah berfirman : Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas pekerti yang agung Kata akhlak banyak ditemukan dalam hadis-hadis nabi, diantaranya yang paling terkenal adalah :

Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Menurut pengertian sehari-hari, akhlak sering dipakai dengan pengertian budi pekerti, sopan santun, moral, dan atau etika. Anggapan yang mempersamakan arti akhlak dengan etika itu tidaklah tepat, sebab ada perbedaan-perbedaan prinsip antara keduanya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ditinjau dari segi : a. Sumber yang dipakai Akhlak bersumber pada kebenaran wahyu, sedang etika berdasar pada kebudayaan yang dilandasi oleh hasil pemikiran manusia. b. Obyek yang menjadi sasaran akhlak Akhlak membahas masalah benar dan salah atau haq dan batil mana ma,ruf dan mana yang mungkar. Etika membahas atau membedakan antara baik dan buruk. Dan apa yang dianggap baik oleh etika, belum mesti dianggap benar oleh akhlak. c. Masa berlakunya Karena berbeda sumber, maka akhlak berlaku umum dan menyeluruh universal, tidak terikat oleh waktu dan tempat, sedang etika terikat oleh waktu dan tempat serta adat kebiasaan yang berlaku, karena itu etika yang berlaku di Barat tidaklah semuanya dapat diterima di Timur. Dari segi terminologi, akhlak antara lain didefinisikan: b. Imam al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin memberikan pengertian sebagai berikut: Akhlak ialah gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Apabila yang timbul dari padanya adalah perbuatan yang baik menurut akal dan syara maka disebut akhlak yang baik. Sebaliknya bila yang timbul adalah perbuatan yang jelek maka disebut akhlak yang buruk. c. Ibnu Maskawaih memberikan Tarif yang lebih simpel namun jelas yaitu : Kedaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan, tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu (masih banyak lagi definisi yang lain). 4. Dasar / Sumber Akhlak. Akhlak itu didasarkan dan bersumber pada Al-Quran dan hadis. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang berpijak pada kebenaran yang telah digariskan oleh nash agama yang bersumber pada wahyu. Dan apa yang dinilai oleh Al-Quran dan hadis pasti baik dalam esensinya. Aisyah ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah, beliau menjawab Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Dalam Al-Quran baik disebut pula dengan salih, Birr, maruf, Kahir, Khasan, toyyib, dan Halal. Sedang Buruk disebut pula dengan Fasad, Mungkar, Syarr, Su, Fahsya, atau Falhisyah, Khobits, Haram,atau Dosa. 5. Kedudukan dan Keistimewaan Akhlaq Dalam Islam Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlaq menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa nomor berikut ini: a. Rasulullah saw menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam. sabdanya: Sesungguhnya aku diutus untuk meyempurnakan akhlaq yang mulia. (HR Baihaqi). b. Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah saw pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlaq yang baik (busn al-khuluq). Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah

saw. Ya Rasulullah, apakah agama itu ? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlaq yang baik. Pendefinisian agama (Islam) dengan akhlaq yang baik itu sebanding dengan pendefinisian ibadah haji dengan wuqufdi Arafah. Rasulullah saw menyebutkan, Haji adalah Wuquf di Arafah Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wuquf dan Arafah. c. Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat. Rasulullah saw bersabda: Tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlaq yang baik. (HR. Tirmidzi) d. Rasulullah saw menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitas imannya. Hal ini dapat kita perhatikan dalam beberapa hadits berikut ini: Rasulullah saw bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. (HR.Tarmidzi). b. Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya shalat, puasa, zakat dan haji. Perhatikan nash berikut ini: Firman Allah SWT: ..dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.(QS.Al-Ankabut 29:45). 3. Gerakan Akhlakul Karimah Menurut Muhammad al-Ghazali, ruang lingkup akhlaq meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan maupun kemasyarakatan. Dari Muhammad Abdullah Darroz membagi ruang lingkup akhlaq menjadi lima bagian : 1. Akhlaq pribadi 2. Akhlaq keluarga 3. Akhlaq bermasyarakat 4. Akhlaq bernegara 5. Akhlaq beragama Berangkat dari sistematika di atas dengan melakukan modifikasi, maka Yunahar Ilyas membagi ruang lingkup akhlaq menjadi ; 5. Akhlaq terhadap Allah antara lain : a. Taqwa kepada Allah b. Cinta dan ridla c. Ikhlas d. Khauf dan raja e. Tawakkal f. Syukur g. Muroqobah h. Taubat 6. Akhlaq terhadap Rasulullah antara lain;

a. Mencintai dan memuliakan Rasul b. Mencintai dan mentaati Rasul c. Mengucapkan shalawat dan salam 1. Akhlaq pribadi antara lain: a. Shidiq (jujur) b. Amanah (dapat dipercaya) c. Iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik) d. Mujahadah (mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT, baik hambatan yang bersifat internal dan eksternal). 2. Akhlaq dalam keluarga antara lain: a. Birrul waliadain (bakti kepada orang tua) b. Hak, kewajiban dan kasih sayang suami isteri c. Kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. d. Silaturahim kepada karib kerabat 3. Akhlaq bermasyarakat antara lain : a. Bertamu dan menerima tamu b. Hubungan baik dengan tetangga c. Hubungan baik dengan masyarakat d. Pergaulan muda-mudi e. Ukhuwah Islamiyah 4. Akhlaq bernegara antara lain : a. Musyawarah b. Menegakkan keadilan c. Amar maruf nahi munkar d. Hubungan pemimpin dan yang dipim

KATA-KATA ALUAN Segala puji-pujian untuk Allah S.W.T. yang menguruskan segala perkara dengan tadbiran-Nya serta menghiaskan manusia dengan ilmu-Nya supaya dengan itu berbezalah antara manusia dengan makhiuk lain yang diciptakan Allah di alam ini. Akhlak merupakan satu pancaran daripada kemurnian aqidah yang dianuti oleh seseorang insan. akhlak yang balk adalah gambaran daripada aqidah yang benar yang jauh daripada unsur-unsur penyelewengan Akhlak yang buruk pula merupakan racun yang membunuh manusia, yang merosakkan aka] fikiran, keaipan yang terbuka serta kehinaan yang jelas menjauhkan seseorang itu dari berhampiran dengan Allah, Tuhan semesta alam. Justeru itu kedua-dua sifat akhlak ini memerlukan kita mengenainya, bermujahadah untuk mendapatkan akhlak yang balk serta bermuhasabah pula untuk menghindarkan akhlak yang buruk. Saya berdoa semoga buku kecil ini memberi manfaat kepada para pembaca dalam usaha mengenal akan hati masing-masing, mengenal penyakit-penyakitnya dan terus pula merawatnya demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kepada penulis buku ini saya juga berdoa kepada Allah S.W.T. agar diberkati usaha beliau dan menerimanya sebagai amalan yang baik lagi mulia.

(BRIG. JEN. DATO'ABDUL HAMID BIN HJ. ZAINALABIDIN) Ketua Pengarah Jabatan Kemajuan Islam Malaysia AL-QURAN PEMBINA AKHLAK MULIA AKHLAK ialah tingkahlaku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang dan sikap yang menjadi sebahagian daripada keperibadiannya. Nilai-nilai dan sikap itu pula terpancar daripada konsepsi dan gambarannya terhadap hidup. Dengan perkataan lain, nilai-nilai dan sikap itu terpancar daripada aqidahnya iaitu gambaran tentang kehidupan yang dipegang dan diyakininya Aqidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh kepaisuan, khurafat dan falsafah-falsafah serta ajaran yang paisu, akan memancarkan nilai-nilai benar yang murni di dalam hati. Nilai-nilai ini akan mempengaruhi pembentukan sistem akhlak yang mulia. Sebaliknya, jika aqidah yang dianuti dibina di atas kepalsuan dan gambarannya mengenai hidup bercelaru dan dipengaruhi oleh berbagai-bagai fahaman paisu, ia akan memancarkan nilai-nilai buruk di dalam diri dan mempengaruhi pembentukan akhlak yang buruk. Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeza. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau bilau. Masyarakat kacau bilau, tidak mungkin dapat membantu tamadun yang murni dan luhur. Sejarah membuktikan bahawa sesebuah masyarakat itu yang inginkan kejayaan bermula daripada pembinaan sistem nilai yahg kukuh yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebaikan yang terpancar daripada aqidah yang benar. Masyarakat itu runtuh dan tamadunnya hancur disebabkan keruntuhan nilai-nilai dan akhlak yang terbentuk daripadanya. Justeru itu, akhlak mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan dan dalam memelihara kemuliaan insan serta keluhurannya. Martabat manusia akan menurun setaraf haiwan sekiranya akhlak runtuh dan nilai-nilai murni tidak dihormati dan dihayati. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Sesungguhnya aku diutus untuk melengkapkan akhlak yang mutia. (Riwayat al-Baihaqi) Para sarjana dan ahli fikir turut mengakui pentingnya akhlak di dalam membina keluhuran peribadi dan tamadun manusia. akhlak yang mulia menjadi penggerak kepada kemajuan dan kesempurnaan hidup. Sebaliknya, akhlak yang buruk menjadi pemusnah yang berkesan dan perosak yang meruntuhkan kemanusiaan serta ketinggian hidup manusia di bumi ini. Kepentingan akhlak dalam kehidupan dinyatakan dengan jelas dalam. Al-Ouran menerusi berbagai-bagai pendekatan yang meletakkan al-Ouran sebagai sumber pengetahuan mengenai nitai dan akhlak yang paling terang dan jelas. Pendekatan al-Quran dalam menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal tetapi dalam bentuk konseptual dan penghayatan. akhlak yang mulia dan akhlak yang buruk digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan dalam realiti kehidupan manusia semasa, al-Ouran diturunkan. Al-Quran menggambarkan bagaimana aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran kehidupan mereka yang penuh tertib, adil, luhur dan mulia. Berbanding dengan perwatakan orang-orang kafir dan munafiq yang jelek dan merosakkan. Gambaran mengenai akhlak mulia dan akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia blepanjang sejarah. Al-Quran juga menggambarkan bagaimana perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-niiai mulia dan murni di dalam kehidupan dan bagaimana mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran dan kemunafikan yang cuba menggagalkan tertegaknya dengan kukuh akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu. Aqidah Mencorakkan Akhlak

Sebagaimana yang disebutkan sebelum ini, nilai-nitai akhlak yang dipegang oleh seseorang dan sesuatu kebudayaan itu adalah hasil daripada aqidah dan gambaran tentang kehidupan itu. Pembentukan nilai-nilai akhlak itu bergantung kepada bagaimana manusia memberikan jawapan kepada pertanyaan-pertanyaan yang asasi dalam hidup. Siapakah yang mencipta alam ini dan apakah tujuannya? Apakah tujuan manusia ditempatkan di bumi dan apakah tujuan dan matiamatnya yang sebenar? Jawapan-jawapan kepada persoalan asas mengenai kehidupan ini akan menentu dan mencorak nilai-nilai akhlak yang dimiliki oleh seseorang atau sesuatu kebudayaan. Oleh kerana terdapat berbagai- bagai jawapan kepada persoalan tersebut, maka terdapat berbagai sistem nilai di dalam masyarakat manusia yang mencorakkan berbagai sikap dan tingkahlaku yang membentuk berbagai-bagai kebudayaan. Al-Quran telah memaparkan berbagai golongan yang memberi jawapan berbeza kepada persoalan-persoalan asasi kehidupan yang membentuk konsepsi dan aqidah mengenai kehidupan ini. Terdapat aqidah orangorang beriman, aqidah orang-orang kafir, aqidah orang-orang fasik dan aqidah orang-or-ang munafiqin. Aqidah orang-orang beriman dinyatakan dalam al-Ouran seba^gai orang-orang yang beriman kepada Allah S.W.T, kepada Rasul-Nya, kepada keagungan Allah yang mencipta dan memiliki alam ini. Mereka yakin kepada hari akhirat, yakin bahawa kejadian Allah tidak terbatas kepada alam lahir sahaja dan kejadian Allah itu tidak terbatas dalam lingkungan yang dapat diketahui oleh manusia. Kerana itu mereka percaya kepada kejadian Allah yang ghaib, seperti malaikat, gyurga, neraka dan adanya makhluk-makhiuk Allah yang lain yang tidak diketahui oleh manusia dan pengetahuan manusia tidak menjadi syarat bagi menentukan sesuatu kejadian Allah harus ada atau tidak ada. Allah S.W.T bebas mengikut kehendak-Nya, untuk mencipta atau tidak mencipta sesuatu yang ada di dalam ilmu-Nya. Aqidah ini menyebabkan orang-orang beriman sentiasa bergantung harap kepada Allah S.W.T dan tidak bergantung harap kepada yang lain daripada-Nya. Tujuan hidup manusia di dunia ini ialah untuk beribadah kepada Allah S.W.T. dan setiap tindak tanduk dan kelakuan serta tindakannya adalah untuk mendapatkan keredhaan Allah S.W.T. Keredhaan Allah dan beribadat kepada Allah S.W.T. menjadi tumpuan dan pemusatan setiap aspek kegiatannya. Pergantungan semata-mata kepada Allah memberikan kepada seorang mu'min itu kebebasan dan tidak terikat kepada mana-mana kuasa lain daripada Allah S.W.T. Daripada perasaan inilah tercetusnya pengakuan seorang muslim bahawa 'Tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah S.W.T.' Manusia beriman yang sebenarnya, tidak mungkin menyembah kepada yang lain daripada Allah S.W.T., tidak mempeduangkan sesuatu yang dicipta oleh mana-mana kuasa selain dadpada yang ditentukan di dalam agama Allah S.W.T. Allah S.W.T. bagi mereka adalah Tuhan Yang Maha Sempuma, Maha berkuasa dan kepada Dialah tumpuan segala ibadah dan segala yang baik sama ada niat dan amalan. Lihatiah bagaimana pendirian yang bebas, tegas dan berani yang ditunjukkan oleh seorang mu'min yang sejati Rab'i bin Amir ketika berhadapan dengan raja Rum, yang bermaksud: 'Allah sesungguhnya mengutus kami untuk membebaskan sesiapa yang dikehendaki-Nya daripada menyembah sesama hamba kepada menyembah hanya kepada Allah, daripada kesempitan dunia kepada keluasannya dan keluasan akhirat daripada kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam.' Seorang mu'min berjiwa bebas, tetapi bukan sebagai debu berterbangan di udara. Kebebasan seorang mu'min sentiasa mendapat panduan dan bimbangan. Justeru itu ia tidak berkelana dan hidup tanpa tujuan. la sentiasa bergerak bebas dengan memiliki peta yang menunjukkan haluan pergerakan dan perjalanannya. la sentiasa bertindak mengikut petunjuk Allah dan berpandu kepadanya. Seorang mu'min berperasaan halus dan berhati lembut kerana keyakinannya bahawa ia adalah hamba kepada Allah S.W.T. Segala perbuatannya akan dinilai dan dihitung serta diberikan balasan atau ganjaran dengan adil dan saksama. Wawasannya, tidak semata-mata untuk mendapatkan habuan dan ganjaran di dunia, tetapi juga di akhirat. Tentunya, ganjaran di akhirat adalah lebih baik dahapda di dunia. Kerana itu, ia sanggup mengorbankan kurniaan Allah di dunia, untuk mendapatkan kurniaan Allah di akhirat. Aqidah dan pandangan hidup yang asas ini, memancarkan nilai-nilai yang murni dalam jiwa orang-orang beriman. Nilai-nilai ikhias untuk Allah S.W.T. dan tidak tunduk beribadah melainkan kepada Allah S.W.T adalah merupakan nilai yang agung yang membentuk akhlak yang murni dan jiwa yang luhur dalam

kehidupan orang-orang beriman. ]a membentuk akhlak terhadap Allah S.W.T. dan akhlak terhadap sesama manusia. Hubungan manusia dengan Allah S.W.T dan kelakuannya terhadap Allah S.W.T. ditentukan mengikut nilainilai aqidah yang ditetapkan. Begitu juga akhlak terhadap manusia dicorakkan oleh nilai-nilai aqidah seorang muslim, sepertimana yang ditetapkan didalam al-Ouran yang merupakan ajaran dan wahyu daripada Allah S.W.T Pergaulan manusia dengan manusia tidak boleh disamakan dengan perhubungan manusia dengan Allah S.W.T. Aqidah dan pegangan seorang beriman berbeza dengan aqidah dan pegangan seorang kafir. Justeru itu nilainilai dan akhlak juga berbeza. Al-Quranmemaparkan aqidah dan pegangan orang-orang kafir dalam berbagai kategori, justeru terdapat berbagai bentuk kekufuran yang beriaku di kalangan umat manusia. Antara kekufuran yang beriaku disebabkan mereka menolak ajaran yang benar yang dibawa oleh utusan Allah S.W.T. dan mereka menafikan kerasulan utusan itu. Allah S.W.T berfirman yang bermaksud: 'Maka berkata pembesar-pembesar yang kafir itu dari kalangan bangsanya, ini tidak lain daripada manusia seperti kamu. ]a hendak menonjoikan diri supaya lebih daripada kamu. Jika Allah hendak turunkan utusan, Dia akan turunkan malaika t Kita tidak mendengar dati bapa -bapa kita yang terdahulu mengenai ini (utusan Allah dari kalangan manusia). (al-Mu'minun: 24) Kekufuran juga beriaku kerana tidak percayakan hari akhirat. Kerana percaya bahawa tidak ada kehidupan selepas mati, mereka hidup berfoya-foya di dunia ini tanpa memikirkan seksaan di akhirat. Bagi mereka seperti yang dinyatakan oleh al-Quran 'kehidupan ini cuma di dunia'. Manusia dilahirkan dan kemudian mati, mereka tidak dibangkitkan kembali, seperti kata mereka yang bermaksud: 'Kehidupan kita tidak yang lain daripada kehidupan di dunia. Daripada tiada kita ada dan hidup. Apabila mati kita tidak dibangkitkan lagi. Maksudnya: 'Dan berkata pembesar-pembesar dari bangsanya yang kafir dan mendustakan kehidupan akhirat dan kamijadikan berfoya-foya dalam kehidupan mereka di dunia, orang ini, hanyalah seorang manusia seperti kamu. fa makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum '. (al-Mu'minun: 33) Kekufuran juga beriaku disebabkan sifat bongkak dan sombong serta ingkar kepada perintah Allah dan angkuh terhadapnya. Allah berfirman mengenai kekufuran Iblis yang bermaksud: 'Dan ketika kami berkata kepada malaikat sujudiah kepada Adam. Mereka pun sujud, kecuali lblis. la ingkar dan takabur dan ia daripada orang-orang kafir. (al-Baqarah: 34) Aqidah orang-orang kafir yang sombong terhadap Allah S.W.T, yang tidak percaya kepada para rasul yang diutus oleh Allah dan ajaran-ajaran yang mereka bawa, yang tidak percaya kepada hari akhirat dan tidak patuh kepada hukum-hukum Allah dengan ingkar kepada hukum-hukum itu, membentuk nilai-nilai kelakuan dan cara hidup yang menjurus ke arah kehidupan yang tidak berakhlak mulia dan luhur. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: 'Dan orang-orang yang kafir meni'mati kesenangan didunia serta mereka makan minum sebagaimana binatang-binatang temak makan minum, sedang nerakalah menjadi tempat tinggal mereka.' (Muhammad: 12) Mereka tidak mempunyai matiamat yang murni dan abadi dalam kehidupan mereka. Kehidupan ini bagi mereka mencari makan, mencari harta dan berfoya-foya semata-mata untuk di atas dunia ini. ltulah sahaja kehidupan mereka. Selain dadpada itu, tiada matiamat yang jauh yang hendak dituju. Pandangan dan cara hidup mereka ini, sudah tentu mempengaruhi pembentukan akhlak mereka yang pincang dan bercelaru.

Satu lagi aqidah kekufuran yang berbahaya ialah munafiq yang 'pepat di luar rencung di dalam,' 'telunjuk lurus kelingking berkait.' Bahaya kekufuran ini sangat dahsyat kerana sikap pemusuhan dan dendam mereka terhadap orang-orang yang beriman. Gambaran mengenai aqidah mereka penuh dengan gambaran kepurapuraan. Mereka mengaku beriman, tetapi mereka sebenarnya tidak beriman. Mereka berpura-pura percaya kepada Nabi s.a.w. yang diutus oleh Allah S.W.T. tetapi dalam hati mereka benci dan memusuhi baginda. Mereka memandang rendah kepada ajaran Nabi s.a.w. dan sering mempertikaikan ajaran itu. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: 'Dan di kalangan manusia ada yang berkata kami beriman dengan Allah dan Hari akhirat Pada hal mereka bukan datipada orang-orang beriman. (al-Baqarah : 8) Aqidah munafiqin, melahirkan sifat-sifat dan kelakuan-kelakuan keji yang mewakiii akhlak yang buruk. Untuk menyembunyikan kekufuran, mereka berdusta, memutar belitkan kebenaran, memungkid janji dan mengkhianati amanah. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Tiga perkara yang sesiapa yang mempunyainya di dalam diri maka ia adalah munafiq. Apabila bercakap ia dusta, apabila bedanji tidak dikotakan apabila diberi amanah ia khianat. (Riwayat Bukhari dan Muslim) Nilai-Nilai Mutlak Dan Relatif Selain daripada memaparkan konsep dan penghayatan akhlak secara konsepsi dan praktikal dan membezakan antara akhlak orang- orang yang beriman dan orang-orang kafir berasaskan kepada perbezaan aqidah mereka, al-Ouran menghuraikan pengertian akhlak Islam yang didokong dan dihayati oleh orangorang beriman. akhlak Islam dijelaskan berdasarkan kepada model insan kamil yang terdapat dalam did Rasuluilah s.a.w. yang telah merealisasikan pengertian akhlak al-Quran dalam kehidupan yang realistik. Rasuluilah s.a.w. dikatakan sebagai al-Quran yang berjalan. Aishah ra. berkata 'Adapun akhlakbaginda ialah al-Ouran' ' Kerana itu nilai-nilai asas yang membentuk akhlak Islam ialah nilai-nilai mutlak. Nilai-nilai asas ini, tidak bersifat relatif atau nisbi. Nilai-nilai asas yang membentuk akhlak Islam, tidak berubah-ubah mengikut zaman dan tempat. la tidak hanya baik pada masa yang lalu dan tidak baik untuk masa sekarang. Apa yang diperakukan oleh al-Quran dan al-Sunnah sebagai baik, maka ia adalah baik untuk sepanjang zaman dan tempat. Apa yang dianggap tidak balk, maka ia adalah tidak baik untuk selama-lamanya. Apa yang baik adalah haial dan yang buruk dan tidak baik itu adalah haram. Perkara haial dan yang haram diterangkan dengan jelas. Nilai-nilai yang baik dan buruk diprogramkan ke dalam hukum-hukum yang menentukan sama ada sesuatu perkara itu boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, yang mesti dilakukan atau mesti dilakukan atau mesti ditinggalkan atau dijauhkan. Hukum-hukum itu ialah wajib, sunat, haram dan makruh. Perkaraperkara yang telah diprogramkan ke dalam hukum-hukum ini adalah mutlak sifatnya. Akan tetapi perkaraperkara yang termasuk dalam perkara harus adalah relatif sifatnya. Nilai-nilai akhlak Islam, berbeza dengan nilai-nilai tamadun Barat yang semata-mata bergantung kepada aka] dalam menentukan nilai-nilai baik dan tidak baik. Kerana itu, kebanyakan nilai-nilai dalam tamadun barat bersifat relatif. Pada hari ini ia difikirkan sebagai baik dan di masa yang lain ia ditolak sebagai baik. Begitu juga yang dipandang buruk pada hari ini, tidak lagi dianggap demikian pada masa yang lain. Homoseksual dan Lesbian, dahulu dianggap haram dan tidak baik. Sebaliknya hari ini perbuatan itu dihalaikan dan dibenarkan sebagai legal serta mendapat hak-hak dan periindungan perundangan. Kenisbian nilai-nilai akhlak ini, menimbulkan huru hara nilai yang mengakibatkan kepincangan akhlak. Rasuluilah s.a.w., adalah contoh seorang hamba Allah yang bersyukur iaitu contoh berakhlak mulia dan tinggi dalam hubungan dengan Allah S.W.T. lni berasaskan kepada peribadahan yang dilakukannya dengan penuh ikhias mengikut sistem peribadahan yang ditentukan oleh Allah S.W.T. Allah S.W.1 berfirman yang bermaksud: 'Mereka tidak diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhias serta mempunyai sistem agama-. (al-Bayyinah: 5) Orang-orang kafir musyrik yang beribadah kepada yang lain daripada Allah S.W.T. adalah manusia yang tidak berakhlak dan beriaku biadab terhadap Allah S.W.T Abu Lahab, Firaun, Namrud dan lain-lain adalah

contoh manusia yang tidak berakhlak dan biadab terhadap Allah S.W.T. Mereka takbur, bongkak dan sombong. Mereka melakukan kemungkaran, kezaliman dan kerosakan di bumi akibat daripada kesyirikan mereka terhadap Allah. Nilai-nilai syirik menjadikan mereka manusia yang tidak bermoral dan makhiuk perosak yang meluas seperti di kalangan generasi baru masyarakat barat. Model Akhlak Al-Quran Akhlak Rasuluilah s.a.w. adalah model akhlak-akhlak mulia yang dihurai dan dijelaskan dalam al-Quran. Keterangan jelas mengenai konsep akhlak mulia dalam al-Quran, bukan sahaja untuk difahami, tetapi untuk dilaksanakan. Contoh kepada penghayatan dan kaedah penghayatan itu ialah kehidupan Rasuluilah s.a.w Rasuluilah s.a.w. seorang mu'min yang terulung. Seorang yang telah diasuh dan dipelihara akhlaknya oleh Allah S.W.T. untuk dipelihara akhlaknya oleh Allah S.W.T. untuk dijadikan seorang rasul dan contoh insan kamil yang menjadi ikutan dan teladan sepanjang zaman. Allah S.W.T berfirman yang bermaksud: 'Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang sungguh agung'. (al-Qalam: 4) Juga firman-Nya yang bermaksud: 'Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasuluilah itu contoh ikutan yang baik'. (al-Ahzaab; 21) Rasuluilah s.a.w. dan para sahabat yang bedman dengannya, adalah para hamba Allah S.W.T. yang tekun mengerjakan ibadat dan tunduk khusyu' merendah diri kepada Allah S.W.T. takut dan mengharap kepadaNya, bertawakal serta bersyukur kepada-Nya. Wajah mereka berbekas kesan daripada sujud. Pada waktu siang mereka menjadi pahlawan gagah membela agama Allah S.W.T. Sedangkan pada waktu malam air mata mereka berlinang kerana insaf dan memohon keampunan daripada Allah S.W.T. AlQuranmenggambarkan pengabdian mereka kepada Allah S.W.T. dengan firman-Nya yang bermaksud: ' Nabi Muhammad s.a.w. ialah RasulAilah dan mereka yang bersama dengannya tegas terhadap orang kafir, dan sebaliknya bersikap kasih sayang dan belas kasihan sesama sendiri (umat Islam). Kamu melihat mereka ruku'dan sujud dengan mengharapkan limpah kumia (pahala) dari Tuhan mereka serta mengharapkan keredhaan-Nya. Tanda yang menunjukkan mereka (sebagai orang-orang yang saleh) terdapat pada muka mereka dari kesan sujud'. (al-Fath: 29) Rasulullah s.a.w. paling banyak beribadah dan paling bertaqwa, tanpa melupakan tanggungjawab terhadap kewajipan manusia yang lain. tsteri baginda Aishah hairan kerana baginda begitu tekun beribadah kepada Allah S.W.T. Pada suatu ketika 'Aishah bertanya, mengapa baginda begitu tekun dan kuat beribadah, pada hal Allah S.W.T. sedia mengampuni dosa baginda yang terdahulu dan terkemudian. Rasuluilah s.a.w. menjawab, yang bermaksud: 'Tidakkah aku ingin dirinya menjadi hamba yang bersyukur.' (Riwayat Bukhari dan Muslim) Bersyukur adalah akhlak yang tinggi dan mulia dalam hubungan dengan Allah S.W.T. Bersyukur di atas ni'mat yang dikurniakan Allah S.W.T, kemuncak daripada tujuan beribadah. Membentuk diri menjadi hamba Allah yang bersyukur, mercu kejayaan dalam usaha membentuk insan kamil yang meredhai Allah dan diredhai Allah. Kesyukuran itu, menambahkan lagi kesayangan Allah dan sentiasa mendapat tambahan ni'mat-ni'mat Allah S.W.T. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: 'Demi sesungguhnya, jika kamu bersyukur, nescaya aku akan tambahi ni'matku kepada kamu dan demi sesungguhnya, jika kamu kufur ingkar sesungguhnya azabku amatiah keras'. (Ibrahim: 7) Rasuluilah s.a.w. adalah contoh manusia yang bersyukur kepada Allah S.W.T. dan kesyukurannya itu dilafazkan menerusi amalan ibadahnyakepadaallah S.W.T. lni ditambahi pula dengan ingatan yang tidak putus-putus terhadap Allah dan menjadikan seluruh kehidupannya dalam suasana beribadah kepada Allah S.W.T. semata-mata.

Beribadah dalam pengertian bersolat, berzikir, berpuasa dan amalan-amalan kerohanian yang lain dilakukan tanpa mengurangkan tanggungjawab dalam hubungan antara sesama manusia, seperti yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Allah S.W.T menekankan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia seperti yang dinyatakan-Nya dalam al-Ouran yang bermaksud: 'Mereka ditimpakan kehinaan di mana- sahaja mereka berada kecuali dengan adanya sebab dari Allah dan adanya sebab dari manusia'. (a-li'lmraan: 112) Justeru itu al-Quran menggariskan prinsip-prinsip bagi mewujudkan sistem yang mengatur hubungan dengan Allah S.W.T. menerusi ibadah dan taqwa serta sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Sistem ini menjamin jalinan hubungan yang berasaskan akhlak yang dapat membebaskan manusia dari kehinaan dan dapat meningkatkan martabat mereka menuju kemuliaan dan kehormatan. Pada suatu ketika Rasuluilah s.a.w. mendengar perbualan beberapa orang sahabat mengenai ibadat mereka. Seorang berkata, ia bersembahyang sepanjang malam. Sahabat yang lain pula berkata ia berpuasa sepanjang hari sementara seorang lagi berkata ia tidak berkahwin untuk menumpukan kepada ibadat. Rasuluilah s.a.w. mendengar perbualan mereka lantas berkata, 'kamukah yang berkata demikian, demikian. Akulah orang'yang paling bertaqwa dari kalangan kamu. Akan tetapi aku sembahyang dan aku tidur, aku berpuasa dan aku berbuka puasa malah aku mengahwini wanita-wanita'. Tumpuan kepada ibadah khusus dalam menguatkan hubungan dengan Allah tidak seharusnya mengabaikan tanggungjawab dalam hubungan dengan manusia yang juga merupakan ibadah apabila dilakukan untuk keredhaan Allah serta melaksanakan perintah dan arahannya. Akhlak Terhadap Sesama Islam Al-Qurran dan al-Sunnah yang menterjemahkan ajaran al-Ouran ke dalam realiti kehidupan, menggariskan akhlak-akhlak mulia dalam hubungan antara sesama orang-orang beriman, secara terperinci. Hubungan antara sesama orang beriman itu diasaskan kepada persaudaraan. Persaudaraan yang sentiasa digerak dan dihidupkan, diperbaiki dan diperkukuhkan. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: 'Sebenarnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikaniah diantara dua saudara kamu'. (al-Hujuraat.. 10) Persaudaraan itu diikat dengan kasih sayang dan cinta mencintai antara satu sama lain. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Perumpamaan orang-orang yang beriman itu dari segi saling berkasih sayang dan berkasihan belas, adalah seperti jasad apabila satu anggota mengadu sakit, membawa seluruh jasad turut berjaga malam dan demam'. (RiwayatAhmad) Perasaan kasih-sayang terhadap sesama umat islam adalah komponen yang membentuk iman. Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya mestilah mengandungi perasaan kasih kepada kedua-duanya. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Tidak beriman seseorang kamu sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih dikasihinya daripada yang lain dari keduanya'. (RiwayatAhmad) Dalam hubungan ini, kasih kepada orang beriman telah dikaitkan dengan kesempurnaan iman. lni menunjukkan bagaimana pentingnya nilai kasih sayang itu dalam kehidupan dan pergaulan sesama orangorang beriman. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud:

'Tidak sempurna iman seseorang kamu sehinggalah ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya. (Riwayat Ahmad, At-Tirmizi dan AI-Hakim) Nilai kasih sayang yang disemai dalam diri para mu'min sebagai menyambut arahan Allah dalam al-Quran dan ajaran Rasuluilah dalam sunnahnya. la bertujuan untuk membina dan membentuk akhlak murni di kalangan orang-orang beriman dalam pergaulan antara sesama mereka. Pertemuan dan perjumpaan antara sesama Islam hendaklah dalam keadaan wajah yang berseri-seri dan manis, yang dijelmakan dalam senyuman. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Melemparkan senyuman kepada wajah saudaramu adalah sedekah.' (Riwayat At-Tirmizi) lni diikuti dengan mengucap selamat serta memberi salam untuk memulakan hubungan dan pertemuan. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: '...Sebarkantah salam di kalangan kamu'. (Riwayat Muslim) Seterusnya, Rasulullah s.a.w. menggariskan peraturan-peraturan memberi salam secara terperinci yang boleh dirujukkan kepada kitab-kitab hadis. Bagi memupuk perasaan kasih sayang serta memperkukuhkan keimanan, Allah S.W.T dan Rasul-Nya melarang tindakan-tindakan sama ada dengan perbuatan dan perkataan yang boleh membawa kepada terputusnya hubungan persaudaraan dan silaturrahim di kalangan orang-orang beriman. Begitu juga perlakuan yang buruk yang menjatuhkan martabat dan ketinggian orang-orang beriman. Allah S.W.T. melarang penyebaran maklumat yang berkaitan dengan keburukan yang dilakukan daiam masyarakat. Walau bagaimanapun Islam memberi kebenaran melakukan pendedahan keburukan yang berkaitan dengan periakuan zalim apabila dibuat di mahkamah semata-mata untuk menegakkan keadilan. Begitu juga saksi dan orang yang teraniaya boleh mendedahkan kezaliman yang dilakukan oleh seseorang untuk menegakkan keadilan. Allah S.W.T berfirman yang bermaksud: 'Allah tidak suka kepada perkataan-perkataan buruk yang dikatakan dengan berterus terang melainkan mereka yang dizalimi'. (al-Nisaa'.. 148) Keburukan yang dilakukan oleh seseorang mu'min hendaklah disembunyikan. Jika keburukan itu berkaitan dengan pencabulan terhadap keadilan, ia hendaklah diadili di mahkamah dan dihukum jika thabit kesalahan. Walau bagaimanapun berita mengenai kesalahan dan hukuman yang dikenakan tidak boleh didedah dan disebarkan untuk dijadikan bahan perbualan orang ramai. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Sesiapa yang menutup keaiban seseorang Islam Allah menutup keaibannya didunia dan diakhirat'. (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud) Seterusnya orang-orang yang beriman dilarang berperangai suka menyebarkan berita tanpa dipastikan kebenarannya, suka mencela dan mengkritik, suka melaknat dan mengeluarkan kata-kata buruk dari mulutnya. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Memadai seseorang itu berdusta apabila ia berbicara tentang apa sahaja yang didengarnya'. (Riwayat Muslim)

Mengenai budaya suka mengecam, mengerdik dan melaknat, Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Bukaniah seorang beriman itu seorang yang suka mengecam, suka melaknat, suka mengeluarkan kata buruk dan kesat'. (Riwayat Bukhari dan Ahmad) Orang-orang Islam dilarang menghina sesama orang-orang Islam. Sebaliknya mereka hendaklah saling hormat menghormati. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Cukup seseorang itu menjadi jahat dengan ia menghina saudara muslimnya (RiwayatAt-Tirmizi) Kewajipan orang Islam terhadap saudara muslimnya yang melakukan kesilapan dan kesalahan ialah memberikan nasihat dan menghukum dengan hukum Allah S.W.T. setelah dibicarakan dan dithabitkan kesalahannya. Rasuluilah s.a.w. bersabda yang bermaksud: 'Agama ituialahnasihat'.Adayangberkata 'untuksiapa ya Rasulullah. Sabdanya 'untukailah dan untuk RasulNya untuk pemimpin orang-orang Islam dan orang ramai di kalangan mereka'. (Riwayat Bukhari) Al-Quran Sumber Akhlak Mulia Al-Quran sumber bagi hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang menyusun tingkahlaku dan akhlak manusia. Al-Quran menentukan sesuatu yang haial dan haram, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Al-Quranmenentukan bagaimana sepatutnya kelakuan manusia. Al-Quran juga menentukan perkara yang baik dan tidak baik. Justeru itu al-Quran menjadi sumber yang menentukan akhlak dan nilai-nilai kehidupan ini. Al-Quran mengharamkan yang buruk dan keji serta melarang manusia melakukannya. Al-Quranmelarang manusia minum arak, memakan riba, bersikap angkuh dan sombong terhadap Allah, satu-satu kaum menghina kaum yang lain. Al-Quran melarang pencerobohan, fitnah dan berbunuhan. Al-Quranmelarang menyebarkan maklumat mengenai perkara-perkara keji. Al-Quran mengajak manusia supaya mentauhidkan Allah S.W.T., bertaqwa kepada-Nya, mempunyai sangkaan baik terhadap-Nya. Al-Quran juga mengajak manusia berfikir, cinta kepada kebenaran, bersedia menerima kebenaran. Malah mengajak manusia supaya berilmu dan berbudaya ilmu. Al-Quranjuga mengajak manusia supaya berhati lembut, berjiwa mulia, sabar, tekun, berjihad, menegakkan kebenaran dan kebaikan. Al-Quran mengajak manusia supaya bersatupadu, berkeluarga dan mengukuhkan hubungan silaturrahim. Jelaslah bahawa al-Ouran menjadi sumber nilai-nilai dan akhlak mulia. Penampilan akhlak mulia dalam alOuran, tidak bersifat teoritikal semata-mata, tetapi secara praktikal berdasarkan realiti dalam sejarah manusia sepanjang zaman. Al-Quran adalah sumber yang kaya dan berkesan untuk manusia memahami akhlak mulia dan menghayatinya.

MINGGUAN Malaysia Mac 2006 telah menyisipkan empat buah cerpen yang dihasilkan oleh empat cerpenis yang semakin menempa nama dalam bidang penulisan kreatif. Cerpen tersebut ialah Imam karya Salina Ibrahim, Sultan Alauddin Belajar Tasawuf (Faisal Tehrani), Pelarian Sejengkal (Siti Hajar Mohd. Zaki) dan Kembali Kepada Nostalgia (Ariff Mohamad). Analisis ini akan melihat keempat-empat buah cerpen dari sudut akhlak. Akhlak merujuk kepada perangai, tabiat, adat, kebiasaan, maruah dan sebagainya.

Sementara dari segi praktikal pula, akhlak merujuk kepada suatu keadaan kejiwaan yang membentuk pemikiran, sikap dan perbuatan seseorang manusia. Mengikut pengklasifikasian H. Abuddin Nata (1996: 147), akhlak terbahagi kepada tiga bahagian yang utama iaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama insan dan akhlak terhadap alam semesta. Kajian ini akan memfokuskan kepada dua bahagian iaitu akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap sesama insan. Berakhlak kepada Allah merupakan tahap akhlak yang paling tinggi. Allah merupakan sumber segala hukum dan nilai hidup. Antara kewajipan manusia terhadap Allah termasuklah beriman kepada Allah dan kepada apa yang diwahyu-Nya, mentaati segala perintah-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, reda dengan segala ketentuan qadak dan qadar-Nya, bertakwa kepada-Nya, mencintai-Nya, bertaubat, bersyukur, berdoa, beribadah, serta tidak menyekutu-Nya. Berdasarkan kepada kewajipan manusia terhadap Allah, cerpen-cerpen bulan lalu banyak menonjolkan konsep doa sebagai langkah mendekatkan diri kepada Allah. Doa membawa pengertian memohon atau meminta kepada Allah. Tambahan pula, melalui doa manusia secara langsung dapat menyampaikan pelbagai hajat kepada Allah. Manusia mengakui kelemahan dan kekurangan diri apabila berdoa. Hal ini kerana manusia berdoa untuk mendapatkan sesuatu yang individu lain tidak dapat lakukan. Dengan ini, meningkatlah kekhusyukan dan kepatuhan kepada-Nya. Tiga cerpen yang memaparkan konsep doa secara jelas adalah Imam, Pelarian Sejengkal, dan Kembali Kepada Nostalgia. Konsep doa yang diutarakan dalam konteks luas dapat dilihat dalam cerpen Kembali Kepada Nostalgia karya Ariff Mohamad. Ini kerana pengarang menggambarkan watak 'Tuan' yang banyak berdoa untuk diri sendiri, keluarga, soal hidup dan mati serta orang lain (Rumah Sentosa). Watak Tuan secara jelas mengutarakan pelbagai hajat dan keperluannya kepada Allah melalui doa. Sementara itu, Pelarian Sejengkal menerapkan konsep doa ayah dan doa anak. Pengarang secara tidak langsung memperlihatkan watak abi (bapa) kepada Dhamira memohon kepada Allah supaya anak gadisnya sentiasa selamat walau di mana jua dan bijak membawa diri di tempat baru. Selain itu, pengarang juga menonjolkan harapan orang tua supaya anak mereka akan berdoa kesejahteraan roh mereka apabila meninggal kelak. Dalam cerpen Imam pula, pengarang memaparkan konsep doa yang menunjukkan definisi doa itu sendiri iaitu memohon atau meminta pelbagai hajat dan keperluan kepada Allah. Masyarakat pekan tersebut digambarkan berdoa kepada Allah supaya diberi perlindungan. Selain daripada konsep doa, konsep syukur juga diketengahkan dalam cerpen Pelarian Sejengkal dan Kembali Kepada Nostalgia. Syukur dapat didefinisikan sebagai mengungkapkan pujian kepada Allah atas kebaikan atau kenikmatan yang diperoleh. Cerpen Pelarian Sejengkal memperlihatkan konsep syukur melalui watak abi iaitu bapa kepada Dhamira. Dia bersyukur apabila memperoleh apa yang diharapkan. Bapa Dhamira yang digambarkan amat mementingkan aspek pendidikan berharap supaya anak gadisnya mendapat tempat untuk melanjutkan pelajaran di peringkat tinggi. Jadi, apabila Dhamira mendapat tawaran melanjutkan pelajaran ke maktab perguruan maka abi mengucap syukur kepada Allah. Sementara itu, dalam cerpen Kembali Kepada Nostalgia, konsep kesyukuran diperlihatkan dalam watak Amri Abdullah yang bersyukur kerana dapat bertemu dan berinteraksi dengan orang tua yang hanya diperkenalkan sebagai Tuan. Orang tua itu sebenarnya telah membela Amri sehingga dia berusia sembilan tahun sebelum dia dipelihara oleh keluarga angkatnya. Amri mengucapkan syukur dalam hatinya kerana itulah kali pertama dia bertentang mata dengan orang tua tersebut di rumahnya. Pengarang cerpen Sultan Alauddin Belajar Tasawuf cuba memperlihatkan kecekalan dan ketabahan Raja Husain dalam menghadapi cabaran untuk mempelajari pengajian tasawuf yang ditawarkan oleh Nuh Ha Mim. Sebanyak tujuh syarat diutarakan oleh guru tersebut kepada Raja Husain. Sementara pengarang berjaya mengolah dan mengajak pembaca bertakwa apabila tujuh syarat tersebut dijelaskan satu per satu maksudnya. Cerpen ini menggambarkan kehidupan di dunia hanya bersifat sementara. Kekayaan duniawi digambarkan tiada nilai di sisi Allah melainkan iman dan amal sahaja. Jelaslah bahawa pengarang berpegang pada konsep kebahagiaan dunia hanyalah sementara berbanding kebahagiaan akhirat. Aspek kedua dalam kajian ini ialah akhlak terhadap sesama insan. Allah telah menunjukkan larangan terhadap hal-hal negatif seperti menyakiti hati orang lain, mengambil harta tanpa alasan yang munasabah dan membunuh. Hal-hal ini terkandung dalam surah al-Baqarah ayat 263. Malah, Islam

juga mendidik seseorang itu supaya dapat mengendalikan nafsu, kemarahan, mendahulukan kepentingan orang lain sebelum kepentingan sendiri dan memaafkan orang yang melakukan kemungkaran atau kesalahan. Keempat-empat cerpen ini menekankan aspek akhlak terhadap sesama insan secara langsung mahupun secara tidak langsung. Konsep bersatu teguh bercerai roboh digarap dalam cerpen Imam dan Kembali Kepada Nostalgia. Dalam cerpen Imam, pengarang secara tidak langsung berjaya menyatukan dua watak yang sebelum ini digambarkan mempunyai ketegangan akhirnya bersatu menyelesaikan masalah yang melanda pekan mereka. Pokok permasalahannya ialah apabila para isteri cuba mempertahankan hak mereka dan meminta upah untuk mengurus rumah tangga. Watak Datuk Abi dan Haji Walid digambarkan berjaya mengendalikan emosi dan masing-masing dapat memaafkan permusuhan mereka untuk kepentingan bersama. Dalam cerpen Kembali Kepada Nostalgia pula, pengarang secara langsung mengutarakan konsep tersebut melalui dialog Amri yang dipaparkan menggunakan kata-kata pemerintah: Kita perlu bersatu. Angkatan kita kecil. Jika kita berpecah, semakin jauh, semakin lemah. Harapnya tidak berkecai. Itu malang. Malah bencana. Konsep memaafkan kesalahan orang lain juga diterapkan dalam cerpen Imam, Pelarian Sejengkal dan Kembali Kepada Nostalgia. Dalam cerpen Imam, Salina Ibrahim memperlihatkan konsep ini apabila kedua-dua watak iaitu Datuk Abi dan Haji Walid yang digambarkan bertentangan pendapat dan mempunyai ketegangan dalam perhubungan mereka akhirnya melupakan peristiwa lampau dan saling bekerjasama untuk menyelesaikan masalah yang timbul untuk kepentingan bersama. Sementara itu, dalam cerpen Pelarian Sejengkal pula, pengarang secara tidak langsung telah mengaplikasikan konsep ini apabila menggambarkan watak abi akhirnya menerima perkahwinan tanpa izin anaknya. Namun begitu, bapa Dhamira berasa sangsi tentang status perkahwinan anaknya kerana bernikah di Thailand. Justeru itu, abi merujuk ke Mahkamah Syariah. Pengarang Kembali Kepada Nostalgia pula masih menggunakan teknik secara terus terang dengan mengutarakan konsep tersebut melalui dialog oleh watak Amri. Hujahan Amri kepada Tuan mengenai kepentingan mengamalkan sikap memaafkan kesalahan orang lain. Seterusnya, konsep mementingkan keperluan dan kehendak orang lain sebelum kepentingan sendiri juga diketengahkan dalam cerpen Pelarian Sejengkal dan Kembali Kepada Nostalgia. Siti Hajar Mohd. Zaki mengkritik manusia yang mementingkan diri sendiri sehingga menyusahkan orang lain. Watak Wasim digambarkan mementingkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain iaitu isteri pertamanya. Wasim digambarkan tidak memberi nafkah kepada isteri pertamanya: Dah berbulan dia tidak memberi nafkah kepada kami anak-beranak. Macam mana dia nak menyara Dhamira pula? ayat wanita itu mendatar, tiada marah yang diluah, Cuma pengertian yang diraih. Manakala Ariff Mohamad menerapkan konsep ini dalam watak Amri. Watak ini digambarkan tidak mendahulukan diri sendiri tetapi mendahulukan orang lain dengan beranggapan bahawa dia merupakan utusan untuk menunjuk jalan kepada mereka yang perlu dan akan hidup lebih lama berbanding dirinya. Pengarang juga menerapkan konsep mengasihi anak-anak yatim yang merupakan salah satu akhlak terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas apabila Amri mengutarakan hujah-hujah yang kukuh supaya Rumah Sentosa tidak dijual sebaliknya ditukar pihak pengurusannya. Seterusnya, aspek akhlak kepada sesama insan yang ditonjolkan ialah tanggungjawab ibu bapa terhadap anak-anak. Ibu bapa bertanggungjawab memberikan pendidikan akidah, ibadah, dakwah dan akhlak supaya dapat melahirkan seseorang individu yang berguna kepada manusia dan agama. Nilai ini diterapkan dalam cerpen Pelarian Sejengkal melalui watak abi. Bapa Dhamira digambarkan seorang yang bertanggungjawab kerana mementingkan pendidikan anak gadisnya. Dia banyak berusaha untuk mendapatkan tempat untuk anaknya di pusat pengajian tinggi. Selain itu, bapa Dhamira juga amat menitikberatkan status perkahwinan anaknya yang berkahwin di Thailand. Bapanya berusaha untuk membongkar kesahihan perkahwinan antara anak gadisnya dengan Wasim. Kesimpulannya, cerpen-cerpen yang tersiar di Mingguan Malaysia pada bulan Mac menerapkan pelbagai unsur moral dan agama. Aspek akhlak diberi perhatian yang serius oleh para pengarang.

AKHLAK Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw., menjawab, Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.

(2/3) beliau

bahkan

Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda, "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini." Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan, "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah". Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang, angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18). Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan --dan bukan kaya materi-- sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta. Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273) Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah: Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).

Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain. Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang 1ain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan. SASARAN AKHLAK Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa). Berikut upaya Islamiyah. pemaparan sekilas beberapa sasaran akhlak

a. Akhlak terhadap Allah Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan kepada diri-Mu. Demikian ucapan para malaikat. Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa, Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160). Teramati bahwa semua makhluk --kecuali selalu menyertakan pujian mereka menyucikan-Nya dari segala kekurangan. nabi-nabi tertentu-kepada Allah dengan

Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).

Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS Ar-Ra'd [13]: 13). Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra' [17]: 44). Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya-bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9: (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung). Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakala-yakilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Pertama sekali harus diingat bahwa keyakinan tentang Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya esa, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai contoh, Allah Maha Pengasih (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu akan berakibat gugurnya makna keesaan. Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia. Benar bahwa wakil diharapkan dan dituntut untuk memenuhi kehendak yang mewakilkan. Namun, karena dalam perwakilan manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja orang yang mewakilkan tidak menyetujui atau membatalkan tindakan

sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia merasa --berdasarkan pengetahuan dan keinginannya-- tindakan sang wakil merugikan. Jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, hal serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasan dirinya, dan menyadari pula Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu perbuatan Tuhan. Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui (QS Al-Baqarah: 216). Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36). Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya. Perbedaan kedua mewakilkan. adalah dalam keterlibatan orang yang

Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman. Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah, dan segala yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun harus percaya bahwa: Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79). Al-Quran memberi contoh bagaimana seharusnya seorang mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya. Muslim

Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah: Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,

bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan) mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7). Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan dinyatakan bersumber dari Allah yang memberi nikmat. Perhatikan redaksi ayat di atas "yang telah Engkau anugerahi nikmat". Tetapi, ketika berbicara tentang jalan orang-orang sesat dan yang akan mendapat murka, tidak dinyatakan "jalan orang-orang yang Engkau murkai," tetapi "yang dimurkai," karena murka dapat mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada Allah. Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.: Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS Asy-Syu'ara' [26]: 80). Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi, apabila aku sakit kesembuhan yang merupakan sesuatu yang terpuji, dinyatakan bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan". Sekali lagi, bacalah firman Allah dalam surat Al-Kahf yang mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s. bersama seorang hamba pilihan Allah (Khidir a.s.). Ketika sang hamba Allah itu membocorkan perahu, dia berucap "Aku ingin merusaknya" (ayat 79), ini disebabkan karena pembocoran perahu tampak sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh, kalimat yang digunakan adalah "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82), karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika Khidhir membunuh seorang bocah dengan maksud agar Tuhan menggantikan dengan bocah yang lebih baik, redaksi yang digunakannya adalah "Maka kami berkehendak" (ayat 81). Kehendaknya adalah pembunuhan, dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak dengan yang lebih baik. b. Akhlak terhadap sesama manusia Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah [2]: 263). Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. --misalnya-dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, Al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi (saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu

(di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana (kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2). Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63). Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan kebebasan pribadi). perlunya privasi (kekuasaan atau

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]: 27). Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya ... (QS An-Nur [24): 58). Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86). Setiap ucapan memerintahkan, haruslah ucapan yang baik, Al-Quran

Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS A1-Baqarah [2]: 83). Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab [33]: 70). Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok 1ain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]: 11-12) . Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.-menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan: Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang (QS An-Nur [24]: 22). Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu: Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik. Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang lain", tetapi dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri." Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS Al-Hasyr [59]: 9). Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama kepada wanita)-seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa Al-Quran disebut al-muhsin. c. Akhlak terhadap lingkungan Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri." Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh

diperlakukan secara aniaya." Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar. Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5). Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi Saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3). Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan. Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13) Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada sehingga mereka harus dapat bersahabat. tetapi Allah,

Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran

untuk bersahabat dengan pemilik nama. Sebelum Eropa mengenal Organisasi Muhammad Saw. telah mengajarkan, Pencinta Binatang Nabi

Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik. Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain. Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak. *** Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda, Agama adalah hubungan interaksi yang baik. Beliau juga bersabda: Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[] ---------------WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

You might also like