You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pertanahan di Sumatera Utara khususnya di daerah perkebunan mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sumatera Utara yang sebelumnya disebut sebagai Sumatera Timur memang daerah perkebunan yang menjadi rebutan kalangan investor asing terutama investor swasta Belanda dengan kekuatan Belanda sebagai penjajah diIndonesia. Sengketa dan perbedaan kepentingan pertanahan antara petani dan masyarakat dengan perkebunan sangat rumit dan unik. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi di Sumatera Utara yang secara kultur didukung dengan heteroginitas suku dan tarik menarik kepentingan akibat kebutuhan ekonomi, baik investor asing maupun tuntutan masyarakat. Pembuat UU Pokok Agraria menempatkan posisi penguasaan tanah dengan konsep tersendiri yang berbeda dengan konsep yang diimpor Belanda di Indonesia. Konsep hak

menguasai negara adalah pencerminan dari hak ulayat dalam skala nasional. Namun dalam praktek, perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming) diatas tanah ulayat. Hak konsensi berubah menjadi hak erfphact dan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi Universitas Sumatera Utara 2 sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintahan dan pihak onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru.

Orang Melayu tetap dapat mengolah tanah, walaupun tanah ditanami tembakau. Jika tembakau sudah dipanen orang Melayu dapat mengerjakan bekas tanah tembakau itu. Selama tembakau belum dipetik orang melayu menunggu tembakau sampai dipanen. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu. Sedang tanah bekas kebun tembakau yang diolah Rakyat Penunggu disebut tanah jaluran. Setelah kekuasaan Belanda runtuh kemudian digantikan Jepang, peluang Rakyat Penunggu untuk mendapatkan tanah jaluran mulai terganggu. Ini dapat terjadi karena politik Jepang berbeda dengan politik Belanda. Untuk mendukung kepentingan politiknya Jepang mendorong para pendatang mengerjakan tanahtanah perkebunan. Masuknya para pendatang itu menyebabkan menciutnya peluang orang Melayu mendapat tanah jaluran. Di samping itu, mengalirnya para pendatang memicu konflik pertanahan antara orang Melayu dan pendatang. Situasi politik Jepang kurang menguntungkan Rakyat Penunggu (orang Melayu) ini menyebabkan masyarakat Melayu tergeser dalam struktur masyarakat baru Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya pemerintah Belanda di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah jaluran, Rakyat Penunggu sebagai orang asli

Sumatera Timur, tidak pernah mendapat kesulitan dalam mengolah tanah. Karena tanah jaluran hanya diberikan kepada orang asli Sumatera Timur. Diluar orang asli, para pendatang misalnya, tidak mendapat tanah jaluran. Karena memperoleh hak istimewa itu, Rakyat Penunggu sering disebut anak emas pemerintahan Belanda. Kesulitan menuntut distribusi tanah jaluran dirasakan makin mengecil setelah kemerdekaan. Bagi rakyat penunggu persoalan baru yang nampak ketika menyongsong republik muda adalah makin besarnya jumlah pendatang, dari etnik yang berbeda yang mendatangi tanahtanah perkebunan. Kedatangan para pendatang ini membuat orang Melayu makin sukar mendapatkan hak adatnya memperoleh tanah jaluran. Serangan ormas petani dan tidak putusputusnya kecaman dari orangorang Petani, menyadarkan Rakyat Penunggu untuk membentuk organisasi petani guna memperjuangkan aspirasinya. Pada tahun 1953 berdirilah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) yang memperjuangkan hakhak adat orang Melayu. Namun akibat suasana politik yang tak menguntungkan BPRPI diserang kaum kiri.

Serangan itu begitu kuatnya hingga BPRPI tak berdaya lagi memperjuangkan tujuannya. Dengan lain kata, hak adat orang Melayu yang semula terus didapat, setelah kemerdekaan mulai menghadapi masalah. Memasuki tahun 1950an ketegangan politik di Sumatera Timur terasa meningkat terutama sesudah permunculan partai politik beserta ormasormasnya. Persoalan sengketa tanah di Sumatera Timur juga tambah memanas. 1.2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Melawan PT.Perkebunan Nusantara II (PTPNII) Ketika sistem politik lama tumbang digantikan Orde Baru BPRPI mendukung kekuatan Orde Baru. Sikap politik BPRPI mendukung Orde Baru diperlihatkan dengan menyatunya organisasi petani orang Melayu ini kedalam Kesatuan Aksi Tani Indonesia (KATI). Berdirinya Orde Baru bagi BPRPI dipandang sebagai sebuah orde politik yang akan mendatangkan keamanan, ketertiban, dan kepastian. Sebab di masa kekuatan politik lama mendominasi wacana politik bangsa BPRPI tidak berdaya bertarung melawan partai komunis. Lebih dari itu bagi BPRPI kelahiran Orde Baru membersihkan harapan terselesaikannya hak adat orang Melayu yang tak kunjung selesai. Tanpa ragu BPRPI mendukung Orde baru. Namun sesudah beberapa tahun Orde Baru menjalankan roda pemereintahan. Adanya SK Gubsu dan Komandan Korem 023/Dataran Tinggi sangat menyentakkan BPRPI. BPRPI tidak pernah membayangkan pemerintah daerah bermaksud menghapus hak adat orang Melayu dengan cara melarang anggotanya menggarap tanah jaluran di tanahtanah perkebunan PNP IX (PTPNII). Kemudian melancarkan protes keras atas keputusan pemerintah tersebut. Namun situasi politik waktu itu kurang menguntungkan BPRPI untuk melakukan aksi turun ke tanah perkebunan, karena masamasa itu merupakan masa pembersihan dan

konsolidasi Orde Baru. Mengingat pembersihan sisasisa komunis masih terus berlangsung, BPRPI bertindak hatihati dalam protesnya. Apabila memakai cara kekerasan dalam menentang kebijakan pemerintah, bisabisa organisasi ini dituduh disusupi komunis. Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi yang menyatakan tidak mengakui atau menghapuskan tanah adat BPRPI. Oleh karena itu, BPRPI merasa sah kalau ia memperjuangkan pengembalian tanah adatnya. Tuntutan BPRPI memulihkan tanah adatnya sudah berlangsung lama, namun dalam tuntutan pengembalian tanah adatnya yang diambil modal besar BPRPI tidak

pernah menggunakan cara kekerasan. Aksi turun ke tanah jaluran yang berada di beberapa daerah PTPN II sebagai bentuk perlawanan BPRPI tidak pernah menghalalkan kekerasan. Aksi turun ke tanah jaluran atau meminjam bahasa Afnawie Nuh, ke tanah leluhurnya tahun 1970, 1980, dan 1995 dilancarkan secara damai. Dari ket iga aksi ini yang relatif besar dan sukses menguasai tanah adat mereka adalah aksi 1995. Sukses aksi 1995 sepenuhnya digerakkan massa BPRPI. Selama tiga belas bulan massa BPRPI menguasai tanahtanah PTPN II. PTPN II menuduh massa BPRPI sebagai penggarap liar, jelas bagi BPRPI tuduhan itu salah dan lebih salah lagi kalau dituduh subversive. Tindakan PTPN II terhadap BPRPI tidak berhenti sebatas melemparkan tuduhan, tetapi juga dengan tindakan kekerasan, bahkan dengan upaya membumihanguskan lahan warga BPRPI yang termasuk dalam wilayah perkebunan PTPN II. Terror yang bertubitubi dan pembumihangusan itu menyebabkan kekuatan BPRPI tercabikcabik sehingga tak berdaya melawan PTPN II. Untuk sementara waktu BPRPI memang tersungkur dan berkeping keping namun masa mendatang BPRPI pasti akan membenahi organisasinya dan akan bangkit kembali mengumandangkan hak adatnya. Sepanjang masalah hak adatnya tidak pernah diselesaikan, selama itu pula BPRPI tidak pernah berhenti berjuang dan terus melakukan aksi turun ke tanah tanah perkebunan. I.3. Rumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pernyataan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan identifikasi masalah. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalah adalah bagaimana gerakan perjuangan BPRPI dalam sengketa pertanahan yang terjadi dengan PTPN II. I.4. Batasan Masalah Dalam penelitian ini penulis akan membuat batasan masalah agar hasil yang diperoleh tidak akan menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai. Penulis hanya membahas masalah menganalisa bagaimana gerakan BPRPI dan pengungkapan sengketa pertanahan yang terjadi

antara BPRPI dengan PTPN II. Dari garis kerangka waktu, kajian di dalam penelitian ini dibagi ke dalam periode antara 1950-1995. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengungkap sengketa pertanahan antara BPRPI dengan PTPN II. Oleh sebab itu interaksi politik diantara pembuat kebijakan dalam hal ini berkaitan antara pemerintah dan rakyat penunggu sebagai objek penelit ian. I.6. Signifikasi Penelitian Dalam penelitian ini tiga jenis manfaat penelitian yaitu : 1. Manfaat bagi penulis dapat menambah wawasan yang berarti dalam memahami kajian ilmu politik yang dalam hal ini implementasi kebijakan pemerintah melihat ketimpangan yang terjadi didalam penguasaan tanah. Selain itu juga mengembangkan kemampuan berpikir yang sistematis dan sebagai media bagi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah. 2. Manfaat praktis,yaitu sebagai masukan bagi penulis dalam usaha mengetahui produk kegiatan politik khususnya politik agraria. 3. Manfaat akademis,yakni untuk memperkaya pengetahuan penelitian mahasiswa ilmu politik dalam kajian konflik agraria bagi fakultas ilmu sosial dan ilmu polit ik,

Universitas Sumatera Utara (USU) khususnya departemen Ilmu politik.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 KASUS SENGKETA PERTANAHAN Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo. Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185 keluarga prajurit. Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja. Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi per KK.

Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu. Gugatan itu ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil dalam sidang 12 Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah hingga berujung pada bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum persidangan itu, yakni pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik meresmikan Prokimal sebagai pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang berjumlah sekitar 5.700 keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman. Sesuai pesan Panglima TNI, 2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan tempur untuk meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga, karena ada niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di hadapan warga, kata Laksda Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai Puslatpur. Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur. Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702 rumah direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi sekaligus bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing, tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri kepada wartawan seusai bertemu dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu. Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat tidak resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya. Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Pasuruan, bahkan Pemkab mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah pusat ditambah dengan anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan.

Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun para kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan lebih dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan warga. Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan damai itulah, tiba-tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka. Sengketa masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan bukan hanya terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil, juga terjadi kasus sengketa tanah serupa antara warga dengan TNI Angkatan Udara (AU). Namun dalam kasus Raci ini, pihak TNI AU telah memberikan lampu hijau untuk pengelolaan lahan dengan porsi 60:40 untuk TNI AU dan warga Desa Raci. 2.2 ANALISIS PERMASALAHAN Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya. Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap. Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap menanggung akibat yang paling berat.Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desasdesus jika ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal.

Rakyat cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror, intimidasi, dan tindakan refresi. Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya. Sebut saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh telah melakukan perampasan tanah negara pada tahun 2002 atau kasus penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006. Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamatkan bahwa menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada kepemilikan historis dimana tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun. Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka.

Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur). Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu : a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres.

Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi

kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. c) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat),

tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa. Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen

hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya. Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sampai hari ini barangkali masih hanya sebatas retorika. Yang kerap terjadi justru sebaliknya dimana rakyat yang kehilangan kemakmuran sebesar-besarnya.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah yang sematamata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reforma agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalahmasalah agraria secara serius.

3.2 SARAN Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan

You might also like