You are on page 1of 6

HUKUM PIDANA

UJIAN TENGAH SEMESTER

Oleh: Luh Ayu Nadira Saraswati (1103005130)

UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS HUKUM 2012

Pertanyaan: 1. Sifat Hukum Pidana di satu sisi ada yang mengatakan hukum pidana bersifat hukum publik. Sedangkan di sisi lain ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukum pidana bukan hukum publik. Dengan berpedoman pada ciri-ciri hukum publik, berikan komentar tentang pendapat-pendapat tersebut.

Jawaban: Hukum pidana merupakan ermasuk hukum publik. Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian. Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat umum). Apabila diperinci sifat hukum publik dalam hubungannya dengan hukum pidana, maka akan ditemukan ciri-ciri hukum publik yaitu: a. Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan; b. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perse-orangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa; c. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang ter-larang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), me-lainkan pada umumnya negara/penguasa wajib menuntut seseorang tersebut; d. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana objektif atau hukum pidana positif. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi.

Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan: a. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;

b. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain. c. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.

Oleh karena itu, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.

Pertanyaan: 2. Hukum Pidana mempunyai hubungan yang erat dengan kriminologi dan viktimologi. Jelaskan sumbangan ilmu-ilmu tersebut dalam pembaharuan hukum pidana.

Jawaban: Dalam tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana, dikenal adanya aliran klasik dan aliran modern. Dalam aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-jarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta kea-daan penjahat. Oleh karena itu Kriminologi memiliki hubungan yang erat dengan kriminologi dan viktimologi. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan hukum masyarakat.

Kriminologi dan Viktimologi membawa pembaharuan dalam hukum pidana karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi. Kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatanharus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.

Pertanyaan: 3. Jelaskan disertai dengan contoh, kenapa asas legalitas dikatakan berhubungan dengan teori Psikologische Zwang dari Paul Johan Anslen Von Feuerbbach.

Jawaban: Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas). Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Contoh: Dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dikatakan bahwa Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah Dengan adanya dasar hukum yang mengatur mengenai pencurian tersebut beserta sanksinya, berdasarkat Teori Psychologische Zwang jika seseorang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Jadi asas legalitas juga merupakan merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana.

Pertanyaan: 4. Pemberlakuan asas retro-aktif, dalam KUHP dimungkinkan dalam hal adanya perubahan perundang-undangan. Tentang pemberlakuan retro-aktif, dalam KUHP ketentuan Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Apabila dicermati, rumusan ketentuan tersebut tidak jelas, dalam artian ruang lingkup perubahan UU yang dimaksud tidak menjelaskan lingkup perubahan dimaksud. Di samping itu, rumusan Pasal 1 ayat (2), bersifat diskriminatif. Jelaskan apa yang dimaksud dengan dua hal di atas.

Jawaban: Rumusan ketentuan asas retro-aktif dalam pasl 1 ayat (2) KUHP tidak jelas, dalam artian ruang lingkup perubahan UU yang dimaksud tidak menjelaskan lingkup perubahan dimaksud. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah perubahan yang dimaksud berlaku untuk semua jenis undang-undang, atau hanya undang-undang tertentu saja. Selain itu perubahan yang dimaksud juga masih tidak jelas, apakah perubahan itu mencakup sanksi yang diberikan atau hal yang lain, karena tidak mudah untuk menentukan, mana yang lebih menguntungkan tersangka, undang-undang baru atau undang-undang lama. Misalnya apabila dalam undang-undang baru hukuman penjara yang diancamkan, dikurangi beratnya, tetapi dengan ditambah dengan suatu hukuman tambahan seperti, misalnya pencabutan hak untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Maka daripada itu dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, rumusan ketentuan asas retroaktif masih kurang jelas.

Di samping itu, rumusan Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur diskriminatif. Karena dalam pasal tersebut dikatakan : Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Jelas dalam hal ini yang menjadi pihak yang terdiskriminasikan adalah korban serta masyarakat umum. Terutama apabila terdakwa merupakan pelaku tindak pidana yang tergolong meresahkan dan pantas untuk dijatuhi sanksi yang berat. Oleh karena itu apabila terdakwa mendapatkan kesempatan untuk dikenakan ketentuan yang

menguntungkannya, maka hal tersebut tidak berpihak bagi masyarakat umum. Padahal tujuan hukum pidana sebagai hukum publik adalah untuk melindungi ketertiban dan kepentingan umum, sehingga asas retroaktif seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) mengandung unsur diskriminatif.

You might also like