You are on page 1of 19

DAFTAR ISI

Daftar Isi . 1 Bab I Muhkam dan Mutasyabih ... 2


A. B.

Pendahuluan 2 Pengertian 2

C. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih 7 Bab II Fawatih As-Suwar .. 10 A. Pengertian .. 10 B. Pendapat Para Ulama Tentang Fawatih As-Suwar . 11 Bab III Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabih dalam Al-Quran 15 Daftar Kepustakaan . 16

BAB I MUHKAM DAN MUTASYABIH A. Pendahuluan Salah satu persoalan Ulum Al-Quran yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Telaah dan perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan Islam, terutama menyangkut penafsiran AlQuran. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana muslim karena sarjana-sarjana Barat pun ikut mewarnainya. B. Pengertian Menurut etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.1 Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.2 Di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata jadiannya. Pertama, Firman Allah swt: ......... Artinya: Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayatayatnya.3 Kedua, Firman Allah swt: ....... ...... Artinya: .. (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutasyabih) lagi berulangulang..4 Ketiga, Firman Allah swt:
1 2

Al-Jurjani, At-Tarifaat, Maktabah Al-Syamilah, juz. 1, hlm. 263. Al-Jurjani, ibid, hlm. 253. Q.S. Huud: 1. Q.S. Al-Zumar: 23.

3 4

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokokpokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orangorang yang berakal.5 Secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang bertentangan. Karena itu, Ibn Habib Al-Naisaburi menceritkan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. 1) Berpendapat bahwa Al-Quran seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama. 2) Berpendapat bahwa Al-Quran seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. 3) Berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Quran muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan ayat ketiga dan inilah pendapat yang lebih shahih. Sedangkan ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkamnya Al-Quran adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara ayatayatnya. Maksud mutsyabih pada ayat kedua adalah menjelaskan

Q.S. Ali Imran: 7.

sesamaan

ayat-ayat

Al-Quran

dalam

kebenaran,

kebaikan

dan

kemukjizatannya.6 Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuthi misalnya telah mengemukakan 18 definisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan 11 definisi pula yang sebagiannya dikutip dari Al-Suyuthi. Di antara definisi yang dikemukakan Al-Zarqani adalah berikut ini: 1) Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini dibangsakan AlAlusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi. 2) Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada ahli Sunnah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka. 3) Muhkam ialah ayat makna yang tidak mengandung ialah kecuali ayat satu yang kemungkinan takwil. Mutasyabih

mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibn Abbas dan kebanyakan ahli Usul Fiqh mengikutinya.

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran, Maktabah Al-Syamilah, Juz 2, hlm. 5; Lihat Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Cet III, Bandung, 2006, hlm. 201.

: . . .

4) Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam .Ahmad 5) Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafazh musytarak masuk kedalam lafazh mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan .kepada Imam Al-Harmain 6) Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafazh-lafazh .mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat Al-Thibi 7) Muhkam ialah ayat yang tunjukkan makna kuat, yaitu lafazh nas dan lafazh zahir. Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafazh mujmal, muawwal dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Razi dan banyak peneliti yang 7.memilihnya
7

Al-Zarqani, Manahilul Irfan fil Ulumil Quran, Maktabah Al-Syamilah, juz. 2, hlm. 195-196; Lihat Ahmad Syadali dan Ahmad .302-102 .Rofii, Op. Cit., hlm

Menurut Al-Zarqani ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam: 1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakika sifat-sifat Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal yang ghaib lainnya. Allah berfirman:


Artinya: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.."8 Artinya: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.9 2. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya, Allah berfirman: ......

.
8

Q.S. Al Anam: 59. 9 Q.S. Luqman: 34.

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) ..10 Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafazhnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:


Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita selain mereka. 3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang jernih jiwanya dan mujtahid. Dalam pengertian yang sama, Al-Raghib Al-Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurut dia mutasyabih terbagi kepada tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui oleh manusia, seperti lafazh-lafazh yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup, dan jenis yang hanya di ketahui oleh ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu. Jenis terakhir inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:


Artinya: Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil. 11
10 11

Q.S. An Nisa: 3. Al-Zarqani, Op. Cit., hlm. 202-203.

Di antara ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Ibn Al-Labban telah menulisnya secara khusus dalam kitab Raad Al-Ayat Al-Mutasyabihat. Contoh: Artinya: (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy.12 Artinya: Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya.13 Artinya: Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.14 Artinya: Tangan Allah di atas tangan mereka.15 Artinya: Dan supaya kamu diasuh di atas mata-Ku.16 Artinya: Dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris.17 Artinya: Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.18

C. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut: ..... ........
.
12

Q.S. Thaha: 5. 13 Q.S. Al-Anam: 61. 14 Q.S. Ar-Rahman: 27. 15 Q.S. Al-Fath: 10. 16 Q.S. Thaha: 39. 17 Q.S. Al-Fajr: 22. 18 Q.S. Ali Imran: 28.

Artinya: Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat.19 Apakah ungkapan wa Al-rakikhuna fi Al-ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaquluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Atau apakah ungkapan wa Al-rakikhuna fi Al-ilm sebagai mubtada, sedangkan lafazh yaquluna sebagai khabar? Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.20 Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu: 1) Madzhab salaf, disebut juga dengan madzhab mufawwidhah atau tafwid, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifatsifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mempunyai dua argumen yaitu argumen aqli dan naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayatayat mutasyabihat dan hanyalah berdasarkan di kalangan kaedah-kaedah bangsa Arab. kebahasaan penggunaannya

Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti).21 Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa, ia menjawab,


Artinya: Istiwa itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui, dan mempertanyakannya bidah (mengada-ada). Saya duga

19 20

Q.S. Ali Imran: 7. Al-Hasani, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihan Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999. hlm. 146. 21 Al-Zarqani, Op. Cit., hlm. 206.

engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya. Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. Akan tetapi pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. Sebab, pengertian yang demikian membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. Karena itu, bagaimana cara isttiwa di sisi Allah tidak diketahui. Selanjutnya mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syariat dipandang bidah (mengada-ada). Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat Islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada madzhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadits mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teologi dari kalangan kami yang menolak madzhab ini.22 Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar sahabat, diantaranya:

: : } : ... .... { : . ()
Artinya: Dari Aisyah ra. Ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu, sampai kepada orang-orang yang berakal, berkata ia: Rasul SAW. berkata: Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayatayat mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang

22

Al-Zarqani, Ibid., hlm. 207.

10

yang disebutkan Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka. (HR. Bukhari dan Muslim).

) . (
Artinya: Dari Amer Ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasul SAW. ia bersabda: Sesungguhnya Al-Quran tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian lainnya; apa yang kamu ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kamu meyakininya. (Dikeluarkan oleh Mardawaih). 23 2) Madzhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin.
24

Imam Harmain (w. 478 H.) 25 pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah AnNizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti dengan madzhab tidak salaf sebab mereka ayat-ayat memperoleh mutasyabih.26 Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimami hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Quran, dan menyerahkan bulatbulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa ditakwilkan
23

derajat

menyinggung

Al-Zarqani, Ibid., hlm. 206.


24 25

Al-Hasani, Op. Cit., hlm. 151. Ia adalah Abdul Malik bin Abi Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Asy-Syafii Al-Iraqi, Abu Al-Maali. Ia adalah gurunya Imam Al-Ghazali dan murud terkemuka Imam Asy-Syafii. Biografi lengkapnya dapat dilihat pada Ibnu Khallikan, Wafayat Al-Ayan, Jilid 1. hlm. 287. Lihat pula Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut. 1988, hlm. 284. 26 Al-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 14.

11

dengan ketinggian yang abstark berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah ditakwilkan dengan kedatangan perintah-Nya. Allah berada di atas hamba-hamba-Nya menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa Dia menempati suatu tempat. Sisi Allah ditakwilkan dengan hak Allah. Wajah dan mata Allah ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. Tangan ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya, dan Diri ditakwilkan dengan siksa-Nya.27 Untuk menengahi kedua madzhab yang kontradiktif itu, Ibn AdDaqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. Namun bila arti lahir ayat-ayat itu dapat dipahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contohnya adalah Q.S. Az-Zumar [39] ayat 56 yang kami maknai dengan hak dan kewajiban Allah.28 Ibnu Qutaibah (w. 276 H.) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok AzhZhahiriyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.29 BAB II
27 28

Subhi Ash-Shalih, Op. Cit., hlm. 285. Al-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 15.


29

Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 91.

12

Fawatih As-Suwar A. Pengertian Di antara ciri-ciri surat-surat Makkiyah adalah banyak suratsuratnya yang dimulai dengan huruf-huruf potongan (muqattaah) atau pembukaan-pembukaan surat (fawatih as-suwar). Adapun bentuk redaksi fawatih as-suwar di dalam Al-Quran dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Terdiri atas satu huruf, terdapat pada tiga tempat: surat Shad [38]:1 yang diawali huruf shad; surat Qaf [50]:1 yang diawali huruf qaf; surat Al-Qalam [68]:1 yang diawali huruf nun. 2) Terdiri atas dua huruf, terdapat pada sepuluh tempat: surat AlMukmin [40]:1; surat Fushilat [41]:1; surat Az-Zukhruf [43]:1; surat Ad-Dukhan [44]:1; surat Al-Jatsiyah [45]:1; surat Al-Ahqaf [46]:1; yang diawali dengan huruf ha mim; surat Asy-Syura [42]:1 yang diawali dengan huruf ha mim ain sin qaf; surat Thaha [20]:1 yang diawali dengan huruf tha ha; surat An-Naml [27]:1 yang diawali dengan huruf tha sin; surat Yaa Siin [36]:1 yang diawali dengan huruf ya sin. 3) Terdiri atas tiga huruf, terdapat pada 13 tempat: surat Al-Baqarah [2]:1; surat Ali Imran [3]:1; surat Al-Ankabut [29]:1; surat Ar-Rum [30]:1; surat Luqman [31]:1; surat As-Sajdah [32]:1 yang diawali dengan huruf alif lam mim; surat Yunus [10]:1; surat Hud [11]:1; surat Yusuf [12]:1; surat Ibrahim [14]:1; surat Al-Hijr [15]:1 yang diawali dengan huruf alif lam ra; surat Asy-Syuara [26]:1; surat AlQashshash [28]:1 yang diawali dengan huruf tha sin mim. 4) Terdiri atas empat huruf, terdapat pada dua tempat: surat Al-Araf [7]:1 yang diawali dengan huruf alif lam mim shad dan suratAr-Rad [13]:1 yang diawali dengan huruf alif lam mim ra. 5) Terdiri atas lima huruf, terdapat pada satu tempat: surat Maryam [19]:1 yang diawali dengan huruf kaf ha ya ain shad.30
30

Subhi Ash-Shalih, Op. Cit., hlm. 234-235.

13

B. Pendapat Para Ulama Tentang Fawatih As-Suwar Pada dasarnya, terdapat dua kubu ulama yang mengomentari persoalan di atas. Pertama, kubu salaf yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui Allah. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar.31 Dalam satu riwayatnya, Ali berkata,

.
Artinya: Setiap kitab memiliki sari pati (safwah) dan sari pati Al-Quran adalah huruf-huruf ejaannya. Riwayat senada diucapkan Abu Bakar,

.
Artinya: Setiap kitab memiliki rahasia dan rahasia Al-Quran adalah permulaan-permulaan suratnya (awail as-suwar).

.
Artinya: Huruf-huruf Al-Quran ini adalah ilmu tersembunyi dan rahasia yang hanya dapat diketahui oleh Allah semata. Adapun kubu kedua melihat persoalan ini sebagai suatu rahasia yang juga dapat diketahui manusia. 1) Menurut Ahli Tafsir. Menurut Ibn Abbas, berdasarkan riwayat Ibn Abi Hatim, huruf-huruf itu menunjukkan nama Tuhan. Alif Lam Mim, yang terdapat dalam pembukaan surat Al-Baqarah, ditafsirkan dengan Ana Allah Alam (Akulah Tuhan Tuhan Yang Mahatahu). Alif Lam Ra ditafsirkan dengan Ana Allah Ara (Akulah Tuhan Yang Maha Melihat). Juga menurutnya Alif Lam Ra dan Ha Mim merupakan ejaan Ar-Rahman yang dipisahkan. Dalam mengomentari huruf Kaf Ha Ya Ain Shad, ia berkata, Kaf sebagai lambang Karim (Pemurah), Ha berarti Hadin (Pemberi petunjuk), Ya berarti Hakim (Bijaksana), Ain berarti

31

Subhi Ash-Shalih, Ibid, hlm. 236.

14

Alim

(Maha

Mengetahui),

dan

Shad

berarti

Shadiq

(Yang

Mahabenar).32 2) Menurut Ahli Teologi dan Tasawuf. Kelompok teologi biasanya menafsirkan Al-Quran untuk melegitimasi dokrin-dokrin mereka. Begitu pula, dalam penjelasan rahasia-rahasia huruf Al-Quran ini. Syiah, misalnya, berpendapat bahwa apabila pengulangan dalam kelompok huruf itu dibuang, terbentuklah sebuah pernyataan ditempuh Ali adalah kebenaran

( Jalan yang
yang harus kita pegang).

Tampaknya, penafsiran itu dimunculkan untuk memperlihatkan begitu kuatnya posisi Ali dalam keimanan mereka. Ulama Sunni, dengan kecendrungan teologi pula, membantah pendapat Syiah. Mereka kemudian mengubah pernyataan ulama Syiah tersebut menjadi (telah benar jalanmu dengan mengikuti

sunnah), kata As-Sunnah itu dimunculkan untuk memperlihatkan kebenaran aliran teologi Ahlussunnah wal-Jamaah.33 Dalam tradisi sufi, rahasia-rahasia huruf itudijelaskan dengan perspektif esorerik-esoterik. Ibn Arabi dianggap sebagai pelopor dalam hal ini. Ia menjelaskan bahwa Alif adalah nama Illahi, yang menunjukkan bahwa ia merupakan yang pertama dari segala eksistensi, sedangkan lam sebaliknya- terbentuk dari dua alif, yang keduanya dikandung oleh mim. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa setiap nama adalah referensi untuk hakekat (esensi), yaitu yang mengandung satu atau sifat lain (atribut). Oleh karena itu, mim merupakan referensi terhadap tindakan Muhammad. Selain itu, ia menjelaskan bahwa alif adalah simbol sifat dan tindakantindakan Muhammad maka lam yang mengantarkan alif dan mim merupakan simbol nama Malaikat Jibril.34 3) Menurut Kalangan Orientalis.
32 33

As-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 11. Subhi Ash-Shalih, Ibid, hlm. 237. 34 Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2008, hlm. 133.

15

Noldeke, seorang orientalis Jerman adalah orang yang pertama kali mengemukakan dugaan bahwa huruf-huruf itu merupakan penunjukan nama-nama para pengumpulnya. Misalnya, sin sebagai kependekan nama Said bin Waqqash; mim merupakan kependekan nama Mughirah; nun sebagai kependekan nama Utsman bin Affan; ha sebagai kependekan nama Abu Hurairah. Ia kemudian mengemukakan pandangan bahwa huruf-huruf itu merupakan simbol yang tidak bermakna, mungkin merupakan tanda-tanda magis atau tiruan-tiruan dari tulisan kitab samawi yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.35 Pandangan yang lebih kurang senada dikemukakan oleh Alan Jones berdasarkan pernyataan-pernyataan dalan hadits. Ia mengatakan bahwa pada beberapa kesempatan, kaum muslimin menggunakan teriakan atau semboyan perang Hamim (artinya mereka akan dibantu). Ia menekankan bahwa huruf-huruf itu merupakan simbol mistik yang memberi kesan bahwa kaum muslimin mendapat bantuan dari Tuhan.36 Hircfeld juga mengemukakan pendapat di atas. Hanya saja, ia berbeda dalam menjelaskan nama-nama sahabat yang disingkat pada huruf-huruf itu. Misalnya untuk Utsman bin Affan, ia mengemukakan huruf mim, sedangkan untuk Mughirah adalah huruf alif, lam, mim. Pendapat lain dikemukakan pula oleh Eduard Gossens. Ia berpendapat bahwa huruf-huruf itu merupakan singkatan dari judul-judul surat yang tidak digunakan.37 Menurut W. Montgomery Watt, dalam kasus-kasus tertentu, pemecahan Gossens tidak masuk akal atau didasarkan pada penyusunan kembali kandungan dan pengubahan bagian-bagian surat tertentu secara drastis. Lebih jauh lagi, ia menilai bahwa Gossens tidak mampu menjelaskan mengapa beberapa surat memiliki judul

35

W. Montgomery Watt, Bells Introduction to the Quran, Edinburgh University Cress, hlm. 64; Lihat Rosihan Anwar, Ibid., hlm. 133. 36 W. Montgomery Watt, Ibid., hlm. 64. 37 W. Montgomery Watt, Ibid., hlm. 63.

16

serupa, seperti yang terkandung dalam kelompok surat dengan huruf-huruf yang sama pada permulaannya.38 Sebagai ayat mutasyabihat, tentu saja penafsiran terhadap huruf-huruf itu tidak akan berhingga atau tak ada batasnya. Apa yang dikemukakan di atas hanyalah penakwilan-penakwilan individu yang sangat diwarnai berbagai oriantasi dan kecendrungan yang tidak menutup kemungkinan untuk di kritik.39 Subhi Shalih, umpamanya mencoba mengkritik penafsiran-penafsiran yang telah dikemukakan di atas. Untuk kelompok ahli tafsir ia mempertanyakan huruf qaf -umpamanya- ditafsirkan dengan singkatan nama Allah Al-Qadir, bukan Al-Qahhar atau Al-Quddus, atau Al-Qawi. Mengapa huruf ain mesti menunjukkan nama Allah Al-Alim bukan Al-Aziz. Begitu seterusnya.40 Untuk kelompok teolog, Ibn Hajjar Al-Atsqalani mengkritik orang-orang Syiah dan Sunni yang menafsirkan rahasia huruf-huruf itu dengan ilmu hisab yang dikenal dengan sebutan add abi jadd. Ia menegaskan bahwa cara pemahaman itu batal dan tidak dapat dipegang. Hal ini karena ada sebuah riwayat yang berasal dari Ibn Abbas yang menyebutkan larangan penggunaannya dan memasukkannya ke dalam ilmu sihir yang tidak mempunyai dasar dalam syariat.41 Untuk kelompok sufi, Subhi Shalih mengkritik bahwa penafsiran-penafsiran itu hanya merupakan syathahat shufiyyah (ungkapan-ungkapan sufistik) yang hanya berlaku bagi kalangan mereka saja karena bertolak dari perasaan dan peristilahan mereka. Oleh karena itu, tafsiran-tafsiran mereka tidak dapat dijadikan penafsiran mutamad. Kelompok orientalispun, lanjutnya telah menafsirkannya dengan fakta-fakta yang tidak betul.42 BAB III Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabih dalam Al-Quran Di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam AlQuran dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut ini:43
38 39

W. Montgomery Watt, Ibid., hlm. 63-64. Rosihan Anwar, Op. Cit., hlm. 134. 40 Subhi Ash-Shalih, Op. Cit., hlm. 240-241. 41 Subhi Ash-Shalih, Ibid., hlm. 237-238. 42 Subhi Ash-Shalih, Ibid., hlm. 239; Lihat Rosihan Anwar, Ibid., hlm. 134. 43 Al-Hasani, Op. Cit., hlm. 149-150; Subhi Ash-Shalih, Op. Cit., hlm. 285-286.

17

1.Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untik meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tuntuk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu. 2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih. Pada penghujung surat Ali Imran ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru illa ulul albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya memberikan pujian pada orang-orang yang mendalam ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu dari Allah. 3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.44

44

Rosihan Anwar, Op. Cit., hlm. 134-135.

18

DAFTAR KEPUSTAKAAN Al-Quran Al-Karim. Al-Jurjani, At-Tarifaat, Maktabah Al-Syamilah. Al-Zarqani, Manahilul Irfan fil Ulumil Quran, Maktabah Al-Syamilah, juz. 2. Ahmad Syadali dan Ahmad RofiI, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Cet III, Bandung, 2006. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran, Maktabah Al-Syamilah, Juz 2. Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, terj. Rosihan Anwar, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1992. Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, Pustaka Setia, Cet I, Bandung, 2008. Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut. 1988. W. Montgomery Watt, Bells Introduction to the Quran, Edinburgh University Cress.

19

You might also like