You are on page 1of 68

Paket 3 SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADITS NABI SAW

A. Pendahuluan Hadits Nabi (Rasulullah) saw yang sampai kepada kita dalam bentuk penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Jika al-Quran sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf) sebagaimana kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15 tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif panjang dan penuh variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan yang dilalui, sejak masa Rasulullah saw masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin sampai masa pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya menjadi sangat penting. Jika periwayatan dan penuturan al-Quran harus disampaikan dengan menjaga kepersisan dan ketepatan redaksinya (riwayat bi al-lafdzi), maka penuturan hadits Nabi boleh diriwayatkan bi al-mana (ditekankan pada

kebenaran maknanya, bukan redaksinya). Oleh karena itu keragaman redaksi hadits tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang sejarah perkembangan dan pembukuan hadits Nabi akan membantu memahami usaha yang dilakukan Nabi saw bersama para sahabat dan para ulama dalam menjaga otentisitas hadits Nabi saw.

A. Standar Kompetensi Mahasiswa menguasai konsep dan dasardasar Ilmu Hadits serta mampu melakukan penelitian sanad hadits Nabi saw.

B. Kompetensi Dasar Mahasiswa Memiliki kemampuan memahami eksistensi, perkembangan dan


pembukuan hadits Nabi

C. Indikator
1. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada masa Nabi saw. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada masa sahabat Nabi 3. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan perkembangan hadits pada abad II, III, IV dan masa sesudahnya

D. Waktu
Alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai beberapa indicator tersebut adalah satu kali tatap muka (120 menit).

E. Kegiatan Pembelajaran Waktu 25 menit


Langkah Pembelajaran Bahan

Kegiatan Awal

1. Mengajak

mahasiswa

memperhatikan

materi Paparan

pembelajaran dengan menghubungkan pada materi power sebelumnya 2. Menjelaskan pokok pembahasan 3. Membagikan lembar kerja Kegiatan Inti 60 menit 1. Menjelaskan secara umum tentang usaha Nabi Power saw , para sahabat dan para ulama dalam menjaga poin kemurnian dan kelestarian hadits Nabi 2. Kelas dibagi 3-4 kelompok. Kelompok 1 berdiskusi tentang Usaha Nabi dan sahabat dalam poin

meyosialisasikan hadits dan sunnahnya. Kelompok 2 berdiskusi tentang uapaya penulisan dan

pembukuan hadits. Kelompok 3 mendiskusikan Naskah usaha pemurnian hadits Nabi. Kelompok 4 hadits mendiskusikan usaha penyempurnaan penyusunan Nabi kitab-kitab hadits 3. Perwakilan mempresentasikan masing-masing hasil kelompok diskusi dan

pendalamannya di depan kelas

Kegiatan Penutup 25 menit 1. Kesimpulan hasil diskusi

2. Mahasiswa membuat rangkuman hasil diskusi 3. Merefleksi proses pembelajaran dan mendorong mahasiswa mengkaji lebih dalam tentang sejarah pembukuan hadits Nabi

Kegiatan Tindak lanjut 10 menit 1. Meminta mahasiswa meresume ulama tentang Usaha para

pendapat para ulama dalam

menghadapi pemalsuan hadits

F. Lembar Kegiatan Mahasiswa 1. Tujuan Agar mahasiswa memahami dan dapat menjelaskan berbagai usaha yang telah dilakukan oleh Nabi saw, para sahabat, tabiin dan para ulama dalam menjaga kemurnian dan kelestarian hadist Nabi

1. Bahan dan alat a. b. Modul Uraian Materi

2. Kegiatan a. Mendiskusikan usaha Nabi dan sahabatnya dalam menyosialisasikan dan melestarikan hadits dan sunnah Nabi

b. Mendiskusikan upaya pembukuan Hadits c. Mendiskusikan usaha para ulama dalam menjaga kemurnian dan kelestarian hadits nabi d. Mendiskusikan usaha para ulama dalam menyempurnakan

sistematika kitab hadits e. Mempresentasika hasil diskusi

G. Materi Pokok
- Sejarah hadits pada masa abad I - Sejarah hadits pada abad II - Sejarah hadits pada abad III - Sejarah hadits pada abad IV dan sesudahnya

H. Sumber Pembelajaran 1. Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin 2. Subhi Salih : Ulum Al Hadis Wa Mustolahuhu 3. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits 4. Dr. M. Mustafa Adzami, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya

I. Uraian Materi
1. Hadits Nabi Pada Periode Abad I H

Periode abad I H ini meliputi zaman Nabi saw, Sahabat Nabi dan zaman Tabiin besar (senior) di masa pemerintahan Bani Umayah, yaitu ahir abad I H. Rasulullah membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu , termasuk masa wurudnya hadits Nabi saw. Wahyu yang diterima oleh Nabi saw dijelaskan melalui perkataan, perbuatan, persetujuan dan sikap yang melekat dalam sifat-sifat beliau. Oleh karena itu apa yang didengar, dilihat, disaksikan dan dirasa (melalui internalisasi nilai) oleh para sahabat, dijadikan sebagai pedoman bagi amal ibadah mereka. Dalam hal ini Nabi saw merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena beliau memiliki sifat-sifat sempurna selaku Rasulullah, yang berbeda dengan manusia lainnya. Oleh karena hadits merupakan bagian penting dari wahyu yang diterima Nabi, maka dalam rangka menyosialisasikan, ditempuh upaya sebagai berikut: a. Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan Hadits/Sunnah 1. Mendirikan sekolah; Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis talim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini bukan hanya

diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan husus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal.1 Di samping itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai wilayah di luar kota Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H. Ke Biru Maunah tahun ke 4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.2 2. Memberikan Perintah/Instruksi; Nabi bersabda, Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.3 Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada: Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir. merupakan praktik umum di kalangan sahabat
4

Karena itu untuk

Nabi

memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang lain.5 3.Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;

Nabi saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw bersabda : Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim6. Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.7 Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya; Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebt. Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :Barang siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka.8 Sungguhpun demikian Nabi tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan jujur. Untuk itu nabi memberikan peringatan:Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat

duduknya di Neraka. b. Metode Pengajaran Nabi Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis. 1. Metode Lisan

Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.9 Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jamah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya secara antusias. Oleh karena itu farum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya.10 Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga

menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang sahabatnya, maka

dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut 2. Metode Tulisan Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya. Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa Adhami , data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.

Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim

memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.

Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.

Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatancatatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat

menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda


. Artinya: "Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al-

Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain AlQuran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)

Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadangkadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: 11

-
Artinya: "Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".

Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.12

Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah: 1. Abdullah bin Amr bin Ash. Shahifahnya diberi nama Menurut Ibnu al-Atsir di dalam shahifah tersebut termuat sekitar 1000 hadits. Hadits-hadits Abdullah bin Amr ini sekarang terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya.

2. Jabir bin Abdullah al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir. Imam Muslim dalam kitab shahihnya telah menghimpun haditshadits Jabir bin Abdullah ini dalam masalah hajji. 3. Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah Abdullah bin Abi Awfa. 4. Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman bin Samurah. 5. Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan diyat.13

Metode Peragaan Praktis

Metode ini biasanya wujud dalam hadits filiyah, seperti tata cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak ketentuan al-Quran yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti sabda Nabi saw ; shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.14 Dan hadits Nabi ; Belajarlah kalia dariku upacara manasik ibadah hajjiku.15 Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.

c. Cara Shahabat Nabi Dalam Menerima dan Menyampaikan Hadits

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cara yang dialami para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi saw ialah penerimaan langsung dan penerimaan tidak langsung. Yang dimaksud secara lansung yaitu mereka langsung mendengar atau melihat sendiri apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Nabi saw. Sedangkan cara tidak langsung adalah mereka tidak secara langsung mendengar atau melihat perkataan dan perbuatan Nabi saw., tetapi mereka dapat mengikuti dan menerima hadits hadits beliau dengan jalan bertanya kepada sahabat lain yang hadir di majlis Nabi.

Adapun cara-cara yang digunakan para shahabat di dalam menyampaikan hadits kepada orang lain (baik kepada sesama sahabat atau kepada tabiin) ialah melalui dua cara : 1. Dengan lafadz asli (bi al-lafdzi); yaitu menyampaikan hadits yang diterimanya sesuai dengan redaksi yang didengar. Periwayatan dengan lafadz ini tentu hanya berkaitan dengan hadits qawliyah., Sedangkan untuk hadits filiyah tentu tidak mungkin diriwayatkan dengan lafdzi. 2. Dengan makna (secara maknawi) ; yakni hadits yang telah diterima oleh para sahabat tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, tidak persis dengan redaksi yang didengar dan

diucapkan Nabi saw.. Jadi bahasa dan redaksinya disusun oleh sahabat sendiri, sadang isinya dari Nabi saw. Prof. Dr. Hasbi alSiddiqi menyatakan bahwa yang penting dari hadits ialah isinya (contens). Sedang bahasa dan redaksinya boleh dengan susunan yang berbeda, asal tidak menyalahi isinya.16

Sepeninggal Nabi saw wafat, amanat melestarikan dan membina hadits/sunnah Nabi menjadi tanggung jawab para sahabat, terutama para khalifah pengganti Nabi saw. Secara umum pembinaan hadits yang dilakukan para sahabat adalah sebagai berikut: 1. Sangat hati-hati dalam periwayatan. Artinya mereka sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal penerimaan dan periwayatan. 2. Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits. Hal ini jangan diartikan bahwa mereka kurang serius dalam melestarikan hadits, namun sesungguhnya hal ini tidak tertuju pada

periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, dan supaya perhatian masyarakat muslim (hususnya yang sedang dalam proses

pembelajaran) tidak terganggu dalam mempelajari al-Qur'an. Pada masa sahabat penyiaran sunnah Nabi berjalan seiring dengan

kebutuhan pembinaan hokum(ketentuan ajaran Islam) yang diperlukan, dengan pengawalan yang cukup ketat. Hadits-hadits

yang tidak ada kaitannya dengan pembinaan Syariat, atau tidak memcerminkan sunnah Nabi dilarang untuk disebarkan.17 3. Para sahabat yunior , telah mulai banyak yang mengadakan perlawatan ke luar kota/ daerah-daerah, sebab para sahabat senior sebagian berada di sana.

Sedangkan cara yang ditempuh para sahabat dalam periwayatan (kegiatan menerima dan menyampaikan) hadits, secara umum masih didominasi oleh penyampaian lisan (melalui hafalan dan ingatan), baik billafdzi, atau bi al-makna.. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a.

bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat (menurut sebagian ulama ada lima) copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sangat banyak tentu mengalami banyak hambatan.

b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-quran c. Tradisi saat itu mengharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai kurang sempurna;
d.

Pendokumentasian al-quran dipandang lebih mendesak di banding hadits18

2. Hadits Pada Periode Abad II H

Masa ini dimulai pada zaman pemerintahan Banu Umaiyah angkatan ke dua (mulai khalifah Umar bin Abd. Aziz) sampai akhir abad II H (menjelang akhir masa pemerintahan Bani Abbas angakatan pertama)

Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu menyampaikan kembali hadishadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah, datanglah angin segar yang mendukung pembukuan hadis (yaitu sebuah usaha pembukuan hadits yang secara resmi berdasar perintah kepala negara dengan melibatkan beberapa personil, bersifat terbuka dan untuk

kepentingan publik)19. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dikodifikasi dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.

Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:20


Artinya: "Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang

yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu tidak sirna sampai dirahasiakan. " Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Ibnu Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut. Az-Zuhri inilah yang merupakan salah satu ulama, yang pertama kali membukukan hadis (sedang Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm, Gubernur Madinah adalah kaum birokrat pertama yang membukukan hadits nabi) .

Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, pembukuan hadis

dilanjutkan oleh Malik bin Anas (93-179 H)Ibn Juraij (w. 150 H), ArRabi' bin Shabih (w. 160 H) Ibnu Abi Dzibin (80-158 H) Hammam bin Sulaiman (w. 176) Sufyan al-Tsawri (97-161 H) Al-AwzaI (88-157 H) Ibnu al-Mubarak (118-181 H) Jarir bin Abd Hamid (110-188 H) Muhammad bin Ishaq (w. 151)dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya.21

Di antara kitab hadits yang disusun pada abad II H, dan dapat sampai di tengah-tengah kita adalah :

1. Al-Muwatha, disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan khalifah Abu Jafar al-Manshur. 2. Musnad al-Syafi'i , disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi'i Kumpulan hadits ini dimuat juga di dalam kitab beliau ,Al-Umm 3. Mukhtalif al-Hadits, susunan Muhammad bin Idris al-Syafi'i . Di dalamnya dibahas tentang cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara mengompromikan hadits-hadits yang secara lahiriyah tampak berlawanan. 4. Sirat al-Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq, berisi antara lain tentang perjalanan Nabi saw dan peperangan yang terjadi zaman Nabi.22

a. Ciri-Ciri Pembukuan Pada Periode Abad II H Dengan kegiatan pembukuan hadits yang pertama kali secara resmi, maka secara resmi pula kaum muslimin memiliki kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan untuk belajar dan mendalami petunjuk-petunjuk Nabi saw. Akan tetapi buku atau kitab hadits tersebut masih dalam bentuknya yang sederhana. Secara umum ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Hadits yang dibukukan dalam kitab/dewan hadits, mencakup hadits Nabi saw, fatwa shahabat dan tabiin. Dengan demikian kitab hadits dalam periode ini, belum ada pemisahan antara hadits marfu, hadits mauquf dan hadits maqthu. Kitab hadits saat itu yang hanya husus

menghimpun hadits Nabi saw adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Hazm, Gubernur kota Madinah yang mendapat Instruksi Khalifah Umar bin Abd. Aziz :


b. Hadist yang ditulis dalam kitab hadits saat itu, umumnya belum dikelompokkan dalam judul-judul (maudhu) tertentu. Dengan demikian hadits yang tertulis dalam kitab, masih bercampur antar berbagai tema, belum ada pengelompokan misalnya bab tentang hukum, sejarah Nabi, hadits tentang tafsir dan sebagainya. Yang pertama melakukan pengelompokan berdasar tema adalah Imam alSyafii, yaitu masalah thalaq, terkumpul dalam satu bab. c. Hadits-hadits yang disusun dalam kitab belum dipisah, antara yang shahih, hasan dan dhaif.

b. Pemalsuan Dan upaya Penyelamatan Hadits Nabi Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis

palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.

Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.

Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya: 1. Orang yang kurang akal. 2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya. 3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul. 4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.23

Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.

Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitabkitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :

1. Kitab

oleh Muhammad bin Thahir

Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H) 1. Kitab

oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)

Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:

1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:


Artinya: "Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. " 2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:


Artinya: "Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. " 3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:


Artinya: "Anak zina itu tidak akan masuk surga. " 4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :

Artinya: "Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)

3. Hadits Pada Periode Abad III H Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbas angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai awal pemerintahan Bani Abbas angkatan ke dua (Khalifah al-Muqtadir). Periode abad ini disebut sebagai masa penyaringan dan seleksi hadits, karena pada masa inilah kegiatan pentashihan hadits Nabi mulai dilakukan dengan sitematis.

a. Kegiatan Para Ulama Hadits Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah angakatan pertama (awal pemerintahan Bani Umayah angkatan ke dua) sampai ahir abad II H, tetapi belum begitu sempurna. Kitab hadits yang ada berisi campuran antara hadits yang shahih dan dhaif. Begitu pula belum dipisahkan antara hadits yang marfu, mauquf dan maqthu. Maka pada awal abad III H. dilakukan upaya penyempunaan; berupa kegiatan sebagain berikut: 1. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh. Kegiatan ini dilakukan karena hadits-hadits Nabi yang sudah dibukukan pada

abad II H baru terbatas pada hadits hadits Nabi yang ada di kotakota tertentu saja, padahal dengan telah tersebarnya para perawi hadits ke tempat-tempat yang jauh (karena kekuasaan Islam telah semakin luas), maka masih sangat banyak hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karena itu untuk melengkapi koleksi hadits Nabi, jalan satu-satunya adalah melakukan rihlah (perjalanan) ke tempattempat yang dimaksud. Usaha ini dipelopori oleh Imam al-Bukhori. Selama 16 tahun beliau telah melakukan perlawatan ke kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Demaskus, Naisabur dan sebagainya. Kemudian diikuti Imam Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, al-NasaI dan lain-lain. 2. Mengadakan klasifikasi antara hadits yang marfu(hadits yang disandarkan kepada Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada Sahabat Nabi) dan yang maqthu(yang disandarkan kepada Tabiin). Dengan usaha ini, maka hadits Nabi telah terpelihara dari percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabiin. 3. Para ulama mulai mengadakan seleksi kualitas hadits antara hadits yang shahih dan yang dhaif. Ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih. Kemudian tilanjutkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud , al-Turmudzi, al-NasaI, Ibnu Majah dan lainlain. Sebelum kemunculan al-Turmudzi, klasifikasi hadits hanya terdiri atas hadits shahih dan dhaif. Akan tetapi setelah al-

Turmudzi, klasifikasi itu berkembang menjadi hadits shahih, hasan dan dhaif. 4. Menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan lainlain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun pada matan hadits. Kemudian dilakukan upaya pembelaan dengan melakukan bantahan terhadap kritik tersebut. Salah seorang ulama yang melakukan kegiatan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan menyusun kitabTawilu Mukhtalif al-Hadits fi Raddi Ala ada alHadits. 5. Menyusun kitab hadits hadits berdasarkan tema dan masalah, sehingga kitab tersebut memiliki bab-bab sesuai dengan masalah tertentu. Metode ini dilakukan untuk mempermudah mencari masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal dengan istilah metode Mushannaf. Ulama yang merintis mertode ini adalah Imam al-Bukhari, kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu Imam Muslim. Sesudah itu baru diikuti oleh Abu Dawud, alTurmudzi dan lain-lain.24

b. Bentuk Penyusunan Kitab-Kitab Hadits Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits pada periode ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk : 1. Kitab Shahih, Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun hadits-hadits yang berkualitas shahih, sedang hadits-

hadits yang berkualitas tidak shahih tidak dimasukkan ke dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk mushannaf. Contohnya kitab al-Jami al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani al-Shahih karya Imam Muslim. 2. Kitab Sunan, yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dhaif, dengan catatan tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya. Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf. Contohnya adalah Kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Turmudzi, Sunan alNasaI, Sunan Ibnu Majah dan Sunan al-Darimi. 3. Kitab Musnad, yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama perawi pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-hadits yang diriwayatkan saiyidah

Aisyah, dihimpun di bawah titel Aisyah. Hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas shahih dan tidak shahih, tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad , karya Utsman bin Abi Syaibah.25

c. Kitab-Kitab Hadits Induk

Berkat keuletan para ulama hadits yang telah bersusah-payah mengadakan perjalanan melacak hadits ke berbagai daerah, ahirnya mereka telah berhasil menyusun berbagai kitab hadits. Demikian pula berkat kesungguhan mereka dalam melakukan kegiatan penyaringan hadits, mereka telah berhasil membukukan hadits-hadits yang shahih, atau kitab-kitab yang isinya lebih banyak memuat hadits shahih. Kitab-kitab ini pada perkembangan selanjutnya dikenal al-kutub alsittah (kitab induk enam) atau al-kitab al-tisah (kitab induk sembilan). Al-Kutub al-Sittah terdiri atas kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan sebagai berikut : 1. Al-Jami al-Shahih karya Imam al-Bukhari 2. Al-Jami al-Shahih karya Imam Muslim 3. Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud 4. Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi 5. Sunan al-Nasai karya Imam al-NasaI 6. Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah

Sedangkan al-Kutub al-Tisah adalah terdiri atas kitab-kitab induk yang enam di atas, ditambah dengan kitab-kitan hadits berikut: 7. al-Muwattha karya Imam Malik bin Anas 8. Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi

9. Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal

Suatu catatan yang perlu diketahui bahwa walaupun kitab-kitab hadits di atas disebut sebagai kitab induk (hadits), tetapi tidak semua hadits Nabi yang dikandung di dalamnya, berstatus shahih secara keseluruhan. Masih ada beberapa hadits yang kualitasnya hasan atau bahkan lemah dalam sanad tertentu. Oleh karena itu tetap diperlukan sikap kritis di dalam mempergunakannya. Tindakan selektif dengan memperhatikan pendapat para ulama yang tetah melakukan pengkajian dan penelitian hadits patut diperhatikan. Namun demikian, perlu diketahui pula bahwa jika terdapat suatu hadits yang lemah dari sisi sanad tertentu, masih ada kemungkinan shahih pada sanadnya yang lain. Untuk itu melakukan konfirmasi dan membandingkan suatu matan hadits melalui berbagai sanad yang berbeda sangat bermakna, guna menghindari sikap gegabah dalam melemahkan suatu hadits.26

4. Hadits Pada Periode Abad IV H ( Periode Penyempurnaan Sistematika Pembukuan) Dan Sesudahnya Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah periode ulama mutaakhirin27. Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.

a. Kegiatan Para Ulama Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan para ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya berbeda dengan ulama sebelumnya.

Pada abad III H hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan kegiatan mereka ditujukan kepada

pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara (1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah dan komentar haditshadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang ada.28

Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut: 1. Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah

2. Al-Anwa wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban 3. Kitab Musnad, karya Abu Awanah 4. Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud 5. dan lain-lain

b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut: 1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain. Misalnya : a. Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy b. Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi c. Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir alMaqdisi

2. Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan

matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya: a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani b. c. Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi 3. Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ala al-Shahihaini, karya Imam alHakim 4. Kitab Jami ; yaitu kitab hadits yang menghimpun

(mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya : a. Al-Jami Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat b. Al-Jami Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi c. Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi

5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain: a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam b. Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi

c.

Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi

6. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-quran, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain: a. Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar alAtsqalani b. Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi c. Aun al-Mabud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq alAdhim al-Abady d. Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi e. Syarah Taliq, syarah sunan al-Nasai, karya Imam al-Syuyuthi f. Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya Damiri. Kamaluddin al-

7. Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara

menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh : a. Al-Jami al-Shaghir, mukhtashar kitab Jamul Jawami, karya Imam al-Syuyuthi b. Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fuad Abd. Baqi

8. Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz alSunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasai, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi, Muwattha Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu

Dawud al-Thayalisi, Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Saad, Sirat Ibnu Hisyam dan al-Maghazi al-Waqidi)

9. Kitab Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya : a. Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya Ulum alDin, karya al-Ghazali

b.

Kitab Takhrij Ahadits al-Baidhawi, karya al-Mannawi,sebagai takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .

10 Kitab Zawaid ; yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat haditshadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan alKubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub al-Sittah.

K. Lembar Penilaian 1. Jenis Penilaian Jenis penilaian yang dipergunakan dalam proses pembelajaran ini adalah tes tertulis (paper and pencil test) dan non tes

2. Bentuk Penilaian Bentuk tes yang dipakai adalah essay, sedangkan bentuk non tes-nya mempergunakan performan selama proses perkuliahan dan bentuk proyek berupa penyelesaian tugas tertentu

3. Insrumen Penilaian a. Tes 1. Sebutkan Bagaimana metode Nabi saw dalam menyebarkan hadits-haditsnya 2. sejak kapan penulisan dimulai, dan sejak kapan pula usaha pembukuan dilakukan. Jelaskan dan siapa yang mengagasnya 3. Kemukakan bagaimana ciri pembukuan hadits pada abad II H 4. Apa saja upaya para ulama dalam menjaga kemurnian dan kelestarian hadits Nabi 5. Apa saja bentuk kitab hadits yang diterbitkan pada abad III dan IV H

b. Pengamatan
FORMAT PENILAIAN PERFORMAN

NO 1 2 3 4 5 6

NAMA MAHASISWA

VARIABEL YG DIAMATI 1 2 3 4 5 6

NILAI RERATA

Keterangan Variabel 1. Kedisiplinan 2. Antusiasme 3. Rasionalitas

4. Kerjasama 5. Cara berkomunikasi

c. Proyek Buat resume tentang bentuk /jenis kitab hadits yang dihasilkan pada abad V VII H.

d. Petunjuk Penyekoran 4.1. Tes a. Item 1 jawaban benar bernilai 20 b. item 2 jawaban benar bernilai 20 c. Item 3 jawaban benar bernilai 20 a. Item 4 jawaban benar bernilai 20 b. Item 5 jawaban benar bernilai 20 Total Nilai = 100 4.2. Performan Skor penilaian performan bergerak dengan rentangan antara 60-100 4.3. Proyek Skor penilaian proyek bergerak dengan rentangan antara 60-100 4.4. Pembobotan Test Tertulis 40 % Performan 20 % Proyek 40 %

Paket 4 ILMU HADITS DAN CABANG-CABANGNYA A. Pendahuluan Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits, sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan dengan kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.

B. Standar Kompetensi Mahasiswa menguasai konsep dan dasardasar Ilmu Hadits serta mampu melakukan penelitian sanad hadits Nabi saw. C. Kompetensi Dasar Mahasiswa
cabang ilmu hadits

memahami pengertian, sejarah perkembangan dan cabang-

D. Indikator 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan makna ilmu hadits 2. Mahasiswa dapat menguraikan dan menjelaskan dengan baik

perkembangan dan perjalanan ilmu hadits 3. Mahasiswa mampu menyebutkan, menguraikan dan menjelaskan cabang dan macam-macam ilmu hadits

E. Waktu
Alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai beberapa indicator tersebut adalah satu kali tatap muka (120 menit).

E. Kegiatan Pembelajaran Waktu


Langkah Pembelajaran Bahan

Kegiatan Awal 25 menit 1. Memusatkan perhatian mahasiswa pada materi Uraian pembahasan dengan menjelaskan materi pokok 2. Apersepsi pentingnya penguasaan Ilmu Hadits bagi sarjana PAI dalam memahami hadits Nabi Kegiatan Inti 60 menit 1. Menyajikan paparan tentang makna, sejarah
Power poin

perkembangan dan cabang-cabang ilmu hadits secara garis besar 2. Mendiskusikan tentang pengertian, sejarah dan

cabang-cabang ilmu hadits 3. Kelas dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 Modul/ mendiskusikan pengertian dan kegunaan ilmu buku teks hadits. Sedangkan kelompok 2 mendiskusikan
dan uraian

Sejarah perkembangan ilmu hadits. Dan kelompok 3 mendiskusikan cabang-cabang ilmu hadits 5.Perwakilan masing-masing hasil kelompok diskusi dan

mempresentasikan

pendalamannya di depan kelas

Kegiatan Penutup 25 menit 1. Kesimpulan hasil diskusi 2. Melakukan tes lisan atas hasil pembelajaran 3. Merefleksi proses pembelajaran

Kegiatan Tindak lanjut 10 menit 1. Dorongan pendalaman buku rujukan/referensi 2. Mahasiswa ditugasi Meresume pendapat para ulama tentang sejarah dan macam-macam ilmu hadits

G.Lembar Kegiatan Mahasiswa 1. Tujuan

Agar mahasiswa memahami dan dapat memahami dengan baik tentang pengertian, sejarah dan cabang-cabang ilmu hadits serta kegunaannya dalam studi hadits Nabi

2. Bahan dan alat a. Modul b. Uraian Materi

3.

Kegiatan a. Mendiskusikan makna dan kegunaan ilmu hadits b.Mendiskusikan sejarah perkembangan ilmu dan cabang-cabang ilmu hadits c. Mempresentasika hasil diskusi

H.Materi Pokok
d. e. f. Pengertian Ilmu Hadits Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Cabang-cabang ilmu hadits.

I.Sumber Pembelajaran 1. Syuhudi Ismail, Drs, Pengantar Ilmu Hadits 2. Shubhi Shalih Dr. Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu

3. Abd. Majid Khon, Dr. Ulum al-Hadits 4. Fathur Rahman, Drs, Ikhtisar Musthalah Hadits

J. Uraian Materi
1. Makna Istilah Ilmu Hadits Dan Kegunaannya Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadits. Di antaranya adalah Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Mushthalahi ahli al-Atsar, Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi.29 Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini, maka ilmu hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagaimnya. Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani 30:

Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para perawi dan apa yang diriwayatkan(matan hadits) Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah). Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi Saw. Jadi ilmu ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat adalah pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Dintara kitabkitab yang mebahas ilmu riwayat adalah kitab Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi dan lain se bagainya. Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara memahami hadits

dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai-bagai berbagai ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Tadil, Ilmu Asbab al-Nuzul, Ilmu Musykilat al-Hadits dan sebagainya. Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain : 1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar. 2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan 3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan 4. Melaksanakan Syariat sesuai dengan sunnah Nabi saw. 5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi 6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits 7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam

mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya. 8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak) 9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama

10.

mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan

hadits Nabi saw.31 2. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Ilmu ini sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah saw masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan emberio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6 menyatakan:


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu Demikian pula dalam surat al-Thalaq : 2


persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.32

Sepeninggal Rasulullah saw , para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Quran, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik , yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syiah, Murjiah dan Jamaah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk

membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpin hadits dari para ulama.33

Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafii (w. 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Sesudah generasi al-Syafii, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H ) menyusun kitab Tawil Mukhtalif al-Hadits.

Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma wa al-Kuna, Muhammad bin Saad menulis al-Thabaqat alKubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dluafa. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.

Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika AlQadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w. 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wai. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Marifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami li Adab al-Syaikh wa al-Sami, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami34.

C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits


1. IImu Rijalil Hadis

Artinya: "Ilmu yang membahas tentang kaadaan para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya35 ." Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis. Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitabkitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudlu'. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu'talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya,

Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Mutasyabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat. Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berusaha menyusun kitab-kitab yang dibutuhkan. Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab. Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid. Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar AlAsqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam

kitab ini dikumpulkan Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah. Al-Bukhari dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun. Ilmu Rijal al-Hadits ini dibagi menjadi beberapa bagian. Antara lain adalah Ilmu Tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Tadil. Titik tekan kedua ilmu ini berbeda. Ilmu Tarih al-Rawi memfokuskan pembahasannya pada sejarah perjalanan hidup perawi, misalnya kapan seorang rawi itu dilahirkan, di mana, kepada siapa dia berlajar hadits, siapa saja gurunya, memiliki berapa murid hadits, siapa saja mereka itu, pernah melakukan perlawatan untuk mencari hadits ke mana saja, dimana ia tinggal dan sebagainya. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Tadil, lebih menfokuskan kepada kritik perawi; apakan seorang perawi itu adil, kapasitas intelektualnya sehat apa tidak , Jadi titik tekannya pada kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya.36 2. Ilmul Jarhi Wat Takdil

Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:


Artinya: "Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu37. " Yang menjadi pembahasan ilmu ini pada prinsipnya adalah melakukan telaah terhadap keadilan dan kedhabitan para perawi hadits. Jadi intinya membicarakan kualitas pribadi perawi dan kapasitas intelektualnya Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).

Sedangkan dari kalangan tabi'in antara lain ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me-rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H). Sesudah berakhir masa tabi'in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi,

mentadil(menilai adil) dan menajrihkan(menilai cacat) mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)", sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Thayalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan tadil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak. Di antara pemuka-pemuka al-jarah dan al-tadil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).

Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H). Kitab-kitab yang disusun mengenai al-Jarh wa al-Tadil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab. Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi'in dan orangorang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir. Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal

hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, AzZahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti. Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemahlemah saja ialah: Kitab Ad-Dhuafa, karangan Al-Bukhari dan kitab AdDhuafa karangan ibnul Jauzi (587 H) Kitab yang menggabungkan antara ilmu tarih al-Rawi dan Ilmu alJarh wa al-Tadil, antara lain ialah kitab Tahdzib al_kamal fi Asma al-Rijal karya Abu Al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, dan kitab Tahdzib alTahdzib karya Ibnu Hajar al-Atsqalani Sedangkan lambing-lambang yang dipergunakan untuk mentadil adalah :

, , , , , , , , , , , , ,
Adapun lafadz/ lambing yang diginakan mentajrih adalah sebagai berikut :

, , , , , , , , , ,,
Selanjutnya, jika dalam penilaian para ulama terdapat perbedaan, artinya ketika terjadi penilaian yang berbeda di kalangan para ulama terhadap seorang perawi, maka ada beberapa teori38 :

1. 2. 3. 4.

3. IImu Illail Hadis39


Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis. Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis. Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Cacat hadits yang demikian ini tidak dapat diketahui melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.

Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AIHakim.

4. Ilmun nasih wal mansuh40


Artinya: "ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. " Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh. Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam'uh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu

Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .

5. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah41:


Artinya: "Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu." Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H 6. Ilmu Talfiqil Hadis


Artinya: "Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan(mempertemikan) hadis-hadis yang(secara lahiriyah) isinya tampak berlawanan. " Secara umum metode penyelesaian dengan cara ini mirip dengan metode al-Jam'u yang telah berkembang di kalangan ulama hadis. Metode ini meliputi : a. Penyelesaian berdasar pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul fiqh. Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang 'amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan mentafsil yang mujmal b. Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual. c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif. d. Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ta'wil. e. Penyelesaian berdasarkan pemahaman tanawu' al-ibadah42

Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh AlUstaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.

K. Lembar Penilaian 1. Jenis Penilaian Jenis penilaian yang dipergunakan dalam proses pembelajaran ini adalah tes tertulis (paper and pencil test) dan non tes

2. Bentuk Penilaian Bentuk tes yang dipakai adalah essay, sedangkan bentuk non tes-nya mempergunakan performan selama proses perkuliahan dan bentuk proyek berupa penyelesaian tugas tertentu

3. Insrumen Penilaian a. Tes 1. Sebutkan apa yang dimaksud istilah ilmu hadits dirayat 2. Kapan ilmu hadits dilahirkan sebagai sebuah disiplin ilmu, dan siapa ulama yang pertama kali mempopulerkan 3. Sebutkan beberapa ilmu hadits yang berhubungan dengan sanad dan ilmu hadits yang berkaitan dengan matan hadits 4. Apa yang anda ketahui tentang ilmu Jarh wa al-Tadil. Jelaskan pula lambing-lambang yang digunakan dalam menjarh dan mentadil 5. Jika kita berhadapan dengan hadits-hadits yang tidak sejalan, Bagaimana cara menyelesaikannya. Jelaskan

4. Pengamatan
FORMAT PENILAIAN PERFORMAN

NO 1 2 3 4 5 6

NAMA MAHASISWA

VARIABEL YG DIAMATI 1 2 3 4 5 6

NILAI RERATA

Keterangan Variabel 1. Kedisiplinan 2. Antusiasme 3. Rasionalitas 4. Kerjasama 5. Cara berkomunikasi

5. Proyek Buat laporan singkat tentang 15 nama-nama kitab sejarah para perawi hadits lengkap dengan pengarangnya

6.Petunjuk Penyekoran 6.1. Tes a. Item 1 jawaban benar bernilai 20 b. item 2 jawaban benar bernilai 20 c. Item 3 jawaban benar bernilai 20

c.Item 4 jawaban benar bernilai 20 d.Item 5 jawaban benar bernilai 20 Total Nilai = 100 6.2. Performan Skor penilaian performan bergerak dengan rentangan antara 60-100 6.3. Proyek Skor penilaian proyek bergerak dengan rentangan antara 60-100 6.4. Pembobotan Test Tertulis 40 % Performan 20 % Proyek 40 %

CATATAN AHIR PAKET 3


C

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991) hal. 83 2 Muhammad Musthafa Adhami, (selanjutnya disingkat M.M.Adhami) Memahami Ilmu Hadits, (Lentera, 1993), hal 14; Lihat pula pada Muhammad Musthafa Adzami, Prof. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994) hal. 80-85 3 Kelengkapan hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu an Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya 4 Hadits ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu dan bab al-Haji 5 Selanjutnya dapat dilihat pada M.M. Adhami, Memahami .. op cit , hal 15 6 Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah 7 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab al-Ilmi. Demikain pula Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, bab Ilmu. 8 Lihat misalnya pada Sunan Ibnu Majah, bab al-Muqaddimah 9 M.M. Adhami, Memahami Ilmu..op. cit. hal. 13 10 Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Grafindo Persada, 1993) ha. 59 11 Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48 12 Ibid, hal. 49 13 Pembahasan mengenai catatan san shahifah para sahabat Nabi dan Tabiin, secara lebih luas bisa dibaca pada M.M. Adhami, Hadits Nabi dan Sejarahop. cit, hal. 123-440 14 Secara lengkap hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bikhari pada bab al-adzan 15 Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam bab al-Haji, dan imam Muslim pada bab masik al-Haji 16 Syuhudi Ismail, Pengantar .op. cit, hal . 87-88 1717 Menurut Abu Muhammad, yang dimaksud hadits (yang tidak boleh diriwayatkan dalam kapasitas jumlah yang banyak) adalah hadits-hadits tentang masa-masa yang dialami oleh Nabi, bukan hadits-hadits yang ada kaitannya dengan masalah fardlu dan sunnat. Lihat M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta, Pustaka Firdaus, l994), h. 186. Sedang menurut Syah Wali Allah al-Dahlawi, sebagaimana dikutip Syibli Nu'mani, bahwa hadits hadits yang tidak boleh diriwayatkan secara berlebihan adalah riwayat-riwayat mengenai kebiasaan pribadi Nabi, karena riwayat demikian tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Lihat Syibli Nu'mani, Umar bin Khatthab yang Agung, Sejarah dan Analisis Kepemimpinannya, terj.(Bandungng; Pustaka, l994) h. 480-481. 18 Al-Yasa Abu Bakar, Dr. Pengantar Mata Kuliah Ushul Fiqih (Banda Aceh: IAIN Ar Raniri, 1993), hal. 17 19 Pengumpulan catatan hadits pada masa ini bukan dilakukan oleh perseorangan dan untuk pentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, maka istilah pengumpulah hadits pada abad II H ini lebih tepat disebut sebagai masa pembukuan / tadwin. Maka perlu digaris bawahi bahwa istilah pencatatan dan pembukuan harus dibedakan. Pencatatan hadits sudah dimulai sejah Nabi saw masih hidup, sedang pembukuan baru dilakukan pada abad II H. 20 Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, op.cit, hal. 74-75 21 Ibid. hal. 76 22 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Ankasa, 1991), Hal. 104 23 Ibid, hal. 109-110 24 Ibid, hal. 113-115 25 Fathurrahman, Drs. Ikhtisar Mushthalah Hadits ( Bandung : al-Maarif, 1985) hal. 39. Bandinmgkan dengan Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Haditsibid, hal. 115-116 26 Selanjutnya baca Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Haadist ( Jakarta : AMZAH, 2008 ) hal. 64-65 27 Ulama yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik). Sedangkan ulama yang hidup pada abad IV H dinamakan ulama mutaakhkhirin (modern) 28 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Haditsop. cit. hal. 120-121
29

CATATAN AHIR PAKET 4


C

Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61; Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hal. 76

Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68 Lihat ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir Suparta, Drs. Ilmu Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 24 32 Sbd. Majid Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-79 33 Ibid, hal. 80 34 Ibid, hal. 82 35 Bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Maarif, 1985) hal. 245 36 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-273 37 Bandingkan dengan penjelasan Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85 38 Syuhudi Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 77-80 39 Lihat lebih rinci dan bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
31 40 41

30

Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 291-293 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289 42 Lihat Edi Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode penyelesaian Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN Jakarta, 152-206.

1990) h.

You might also like