You are on page 1of 13

1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3.

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku." Surat ini adalah surat makkiyah, surat yang diturunkan pada periode Makkah, meskipun ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa, surat ini turun pada periode Madinah. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa, surat ini adalah surat penolakan (baraa) terhadap seluruh amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan yang memerintahkan agar kita ikhlas dalam setiap amal ibadah kita kepada Allah, tanpa ada sedikitpun campuran, baik dalam niat, tujuan maupun bentuk dan tata caranya. Karena setiap bentuk percampuran disini adalah sebuah kesyirikan, yang tertolak secara tegas dalam konsep aqidah dan tauhid Islam yang murni. Meskipun kita diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam berbagai bidang kehidupan umum (lihat QS Luqman [31]: 15, QS Al-Mumtahanah [60]: 8 dan yang lainnya), namun khusus dalam masalah agama yang meliputi aqidah, ritual ibadah, hukum, dan semacamnya, sebagaimana dinyatakan dalam surat ini, kita harus bersikap tegas kepada mereka, dengan arti kita harus bisa memurnikan dan tidak sedikitpun mencampuradukkan antara agama kita dan agama mereka. Disebutkan bahwa sebab turunnya (sababun nuzul) surat ini adalah bahwa, setelah melakukan berbagai upaya untuk menghalang-halangi dakwah Islam, orang-orang kafir Quraisy akhirnya mengajak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkompromi dengan mengajukan tawaran bahwa mereka bersedia menyembah Tuhan-nya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama satu tahun jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersedia ikut menyembah tuhan-tuhan mereka selama satu tahun. Maka Allah sendiri yang langsung menjawab tawaran mereka itu dengan menurunkan surat ini (lihat atsar riwayat Ath-Thabrani, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas ra). Keutamaan Surat Ini Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa, nilai surat ini setara dengan seperempat Al-Quran. Diantaranya riwayat dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Qul huwaLlahu ahad setara dengan sepertiga Al-Quran, dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun setara dengan seperempat Al-Quran (HR Ath-Thabrani). Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa membaca Surat AlKafirun dan Surat Al-Ikhlas dalam berbagai macam shalat, diantaranya dalam dua rakaat shalat sunnah fajar (HR Muslim dari Abu Hurairah ra), shalat sunnah badiyah maghrib (HR Ahmad, Tirmidzi, Nasa-i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar ra), shalat sunnah thawaf (HR Muslim dari Jabir bin Abdillah ra), dan shalat witir (HR Al-Hakim dari Ubay bin Kaab ra). Beberapa riwayat juga menyebutkan disunnahkannya membaca Surat Al-Kafirun sebelum tidur, diantaranya hadits riwayat Naufal bin Muawiyah Al-Asyjai, dimana beliau meminta diajari sebuah bacaan yang sebaiknya dibaca sebelum tidur. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, Bacalah Qul yaa ayyuhal kaafirun sampai akhir surat, lalu langsung tidurlah sesudah itu, karena sesungguhnya surat tersebut adalah penolakan terhadap kesyirikan. (HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan lain-lain) Kandungan Umum Secara umum, surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (tauhid ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Dan karena kedua kandungan makna ini begitu urgen dan

mendasar sekali, sehingga ditegaskan dengan berbagai bentuk penegasan yang tergambar secara jelas di bawah ini. Pertama, Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam untuk memanggil orang-orang kafir dengan khitab (panggilan) Yaa ayyuhal kafirun (Wahai orang-orang kafir), padahal Al-Quran tidak biasa memanggil mereka dengan cara yang vulgar semacam ini. Yang lebih umum digunakan dalam Al-Quran adalah khitab semacam 'Yaa ayyuhan naas' (Wahai sekalian manusia) dan sebagainya. Kedua, pada ayat ke-2 dan ke-4 Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyatakan secara tegas, jelas dan terbuka kepada mereka, dan tentu sekaligus kepada setiap orang kafir sepanjang sejarah, bahwa beliau (begitu pula ummatnya) sama sekali tidak akan pernah (baca: tidak dibenarkan sama sekali) menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. Ketiga, pada ayat ke-3 dan ke-5 Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menegaskan juga dengan jelas dan terbuka bahwa, orang-orang kafir pada hakikatnya tidak akan pernah benarbenar menyembah-Nya. Dimana hal ini bisa pula kita pahami sebagai larangan atas orang-orang kafir untuk ikut-ikutan melakukan praktek-praktek peribadatan kepada Allah sementara mereka masih berada dalam kekafirannya. Mereka baru boleh melakukan berbagai praktek peribadatan tersebut jika mereka sudah masuk ke dalam agama Islam. Keempat, Allah lebih menegaskan hal kedua dan ketiga diatas dengan melakukan pengulangan ayat, dimana kandungan makna ayat ke-2 diulang dalam ayat ke-4 dengan sedikit perubahan redaksi nash, sedang ayat ke-3 diulang dalam ayat ke-5 dengan redaksi nash yang sama persis. Adanya pengulangan ini menunjukkan adanya penafian atas realitas sekaligus larangan yang bersifat total dan menyeluruh, yang mencakup seluruh waktu (yang lalu, kini, yang akan datang dan selamanya), dan mencakup seluruh bentuk dan macam peribadatan. Kelima, Allah memungkasi dan menyempurnakan semua hal diatas dengan penegasan terakhir dalam firmanNya: Lakum diinukum wa liya diin (Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku). Dimana kalimat penutup yang singkat ini memberikan sebuah penegasan sikap atas tidak bolehnya pencampuran antara agama Islam dan agama lainnya. Jika Islam ya Islam tanpa boleh dicampur dengan unsur-unsur agama lainnya dan demikian pula sebaliknya. Ayat ini juga memupus harapan orang-orang kafir yang menginginkan kita untuk mengikuti dan terlibat dalam peribadatan-peribadatan mereka. Lakum Diinukum Waliya Diin Ayat pamungkas yang merupakan ringkasan dan kesimpulan seluruh kandungan surat Al-Kaafiruun ini, secara umum semakna dengan firman Allah yang lain dalam QS. Yunus [10]: 41, dan mungkin juga QS. Al-Qashash [28]: 55, serta yang lainnya. Dimana semuanya berintikan pernyataan dan ikrar ketegasan sikap setiap orang beriman terhadap setiap orang kafir, tanpa adanya sedikitpun toleransi, kompromi dan pencampuran, jika terkait secara khusus tentang masalah dan urusan agama masing-masing, yakni yang meliputi aspek aqidah, ritual ibadah dan hukum. Namun demikian dari sisi yang lain, jika kita renungkan, surat inipun dari awal sampai akhir, sebenarnya juga mengandung makna sikap toleransi Islam dan kaum muslimin terhadap agama lain dan pemeluknya. Yakni berupa sikap pengakuan terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan penganut-penganutnya. Meskipun yang dimaksud tentulah sekadar pengakuan terhadap realita, dan sama sekali bukan pengakuan pembenaran. Dan hal itu didukung oleh pernyataan yang menegaskan bahwa, tidak boleh ada pemaksaan untuk masuk agama Islam, apalagi agama yang lain, yakni dalam firman Allah: Laa ikraaha fiddiin (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Dan hal itu lebih dikuatkan lagi dengan dibenarkannya kaum mukminin bergaul, berhubungan, berinteraksi dan bekerjasama dengan kaum kafirin dalam berbagai bidang kehidupan umum, seperti bidang sosial

kemasyarakatan, ekonomi, bisnis dan perdagangan, politik, pemerintahan dan kenegaraan, dan lain-lain. Yang jelas semua bidang selain bidang khusus agama yang mencakup masalah aqidah, ritual ibadah dan hukum. Nah bahwa ada dua sikap terkait pola hubungan antara ummat Islam dan ummat lain tersebut, haruslah dipahami secara benar dan proporsional, baik oleh kaum muslimin maupun juga oleh kaum non muslimin, agar tidak terjadi kerancuan-kerancuan, atau pencampuran-pencampuran, atau bahkan pembalikan-pembalikan sikap, sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Yakni bahwa, dalam bidang-bidang kehidupan umum, dibenarkan seorang mukmin bersikap toleransi dengan berinteraksi dan bahkan bekerjasama dengan anggota masyarakat non mukmin. Namun khusus di bidang urusan agama yang terkait masalah aqidah, ritual ibadah dan hukum, sikap tegaslah yang harus ditunjukkan, seperti yang telah dijelaskan diatas. Sebagai penutup, berikut ini poin-poin kesimpulan umum dari kandungan makna surat Al-Kaafiruun, khususnya kalimat pamungkasnya: Lakum diinukum waliya diin: (1) Secara umum Islam memberikan pengakuan terhadap realita keberadaan agama-agama lain dan penganutpenganutnya. Disamping dari kalimat "Lakum diinukum waliya diin", makna tersebut juga diambil firman Allah yang lain seperti "Laa ikraaha fid-diin", yang berarti Islam mengakui adanya kebebasan beragama bagi setiap orang, dan bukan kebebasan mengganggu, mempermainkan atau merusak agama yang ada. (2) Dan karenanya, Islam membenarkan kaum muslimin untuk berinteraksi dengan ummat-ummat non muslim itu dalam bidang-bidang kehidupan umum. (3) Namun di saat yang sama Islam memberikan ketegasan sikap ideologis berupa baraa atau penolakan total terhadap setiap bentuk kesyirikan aqidah, ritual ibadah ataupun hukum, yang terdapat di dalam agama-agama lain. (4) Maka tidak boleh ada pencampuran antara Islam dan agama-agama lain dalam bidang-bidang aqidah, ritual ibadah dan hukum. (5) Begitu pula antar ummat muslim dan ummat kafir tidak dibenarkan saling mencampuri urusan-urusan khusus agama lain. (6) Kaum muslimin dilarang keras ikut-ikutan penganut agama lain dalam keyakinan aqidah, ritual ibadah dan ketentuan hukum agama mereka. (7) Ummat Islam tidak dibenarkan melibatkan diri dan bekerja sama dengan penganut agama lain dalam bidang-bidang yang khusus terkait dengan keyakinan aqidah, ritual ibadah dan hukum agama mereka. Alkisah, sekelompok pemuka kaum kafir Quraisy mendatangi Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Muhammad! Ikutlah agama kami, niscaya kami pun akan mengikuti agamamu. Sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan menyembah Tuhanmu dalam setahun". Rasulullah menjawab: "Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik. Mendengar jawaban ini, mereka tidak menyerah, bahkan meringankan penawaran dengan hanya meminta beliau mengakui keberadaan tuhan mereka: "Terimalah sebagian tuhantuhan kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan menyembah Tuhanmu". Lalu turunlah surat "alKafirun". Keesokan harinya, beliau pergi ke Masjidil Haram. Di sana para pemuka Quraisy sedang berkumpul. Lalu Rasulullah menghampiri dan berdiri di tengah-tengah mereka, lalu membacakan wahyu yang baru diterimanya. Akhirnya kaum Quraisy pun berputus asa. Peristiwa ini disebut dalam banyak kitab tafsir, seperti Tafsir imam Tabari (w. 310H), Ibnu Katsir (w. 774H), al-Baghwi (w. 516H), al-Alusi (w. 1270H), dsb. Dan tidak ada satu pun perbedaan yang kontradiktif di kalangan ulama tafsir dalam menguraikan makna surat al-Kafirun.

Sikap penolakan Rasulullah yang tidak "umum" terhadap tawaran kaum Quraisy yang sekilas nampak "adil, netral, pluralis dan humanis" tentunya bukanlah hal mudah dan ringan. Sebaliknya, ia menunjukkan suatu keteguhan hati dalam mengemban Risalah Tuhan. Padahal jika saja Nabi Muhammad menerima tawaran mereka, mereka akan memberikan seluruh harta yang dimiliki dan menjadikan beliau orang terkaya di Makkah, serta mempersilahkan beliau mengawini perempuan mana saja yang beliau maui. Di samping itu, mereka juga berjanji akan tunduk setia kepada aturan Rasulullah asalkan beliau mau mengakui tuhan mereka dan tidak mengusiknya. Mereka menyakinkan bahwa tawaran ini terdapat kebaikan (maslahat), saling menguntungkan dan menyenangkan semua pihak. (lihat tafsir Tabari dan Ma'alim Tanzil/al-Baghwi). Maka Allah pun menguatkan hati beliau, "Katakanlah: "Maka apakah kepada selain Allah kamu menyuruhku menyembah, wahai orang-orang yang jahil?" (QS. 39:64) Al-Qur'an mengkategorikan pola pikir "arisan keyakinan" atau dalam istilah akademisnya dikenal dengan kesatuan transenden agama-agama sebagai tindakan orang jahil yang tidak berpengetahuan. Agama Islam yang berlandaskan tauhid mempunyai karakteristik dan pandangan hidup sendiri yang tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain. Orang jahil bukan hanya mereka yang kosong dari ilmu pengetahuan, tapi juga mereka yang menyakini sesuatu yang keliru. Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, "Tahzib Madarij al-Salikin", menjelaskan bahwa kejahilan itu adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk atau menganggap sempurna sesuatu yang mestinya kurang. Jika kejahilan ini dibiarkan terpelihara, maka ia akan menghasilkan kezaliman. Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa kezaliman itu berarti meletakkan sesuatu secara tidak proporsional. Seperti marah pada sesuatu yang seharusnya direlakan dan merelakan padahal semestinya harus marah; bersabar dalam kebodohan; bakhil dalam kondisi lapang; dst. Sedangkan kezaliman terbesar adalah perbuatan syirik. Yakni sebuah sikap yang menyakini adanya tuhan selain Allah, adanya kebenaran yang sama mutlaknya dengan kebenaran agama Allah, adanya keyakinan bahwa semua agama itu diibaratkan sebagai jalan yang sama-sama validnya menuju Tuhan yang sama. Tradisi syirik seperti ini anehnya justru dijadikan tolak ukur bertoleransi dan tren beragama masyarakat modern. Bahkan kajian kritis terhadap suatu agama atau menyakini bahwa agama yang dianutnya itu benar akan dipandang kaum pluralis sebagai tindakan yang tidak toleran dan menyebarkan kebencian. (www.apologeticsindex.org/p14.html). Sebuah koran nasional 3/11/2007 pun menurunkan sebuah ulasan bedah buku yang bertema: "Sikap Tak Dukung Pluralisme Justru Ciptakan Teroris Baru" Sayangnya, aplikasi kejahilan secara akademis justru digalakkan melalui artikel, buku, seminar dan perkuliahan. Di antara sebagai berikut: (a) "Kita tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang satu lebih baik dari yang lain. Lihat: Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan kaum Beriman. (b) Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kpd Allah". Selanjutnya ditegaskan: "Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa. Lihat: Islam dan Pluralisme. Meskipun penulis buku tersebut melarang berfatwa tentang agama, namun dia sendiri sebenarnya juga sedang berfatwa dalam menyamakan semua agama. Bahkan ketika dia ditanya tentang siapa saja yang layak masuk surga, dia menjawab: "Saya jadi tak peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, saya akan berikan segala kemuliaan kepadanya". (Wawancara 10/10/06, islamlib.com) Pluralisme agama sebenarnya adalah konsep yang dihasilkan dari kebijakan politik dalam menengahi konflik agama maupun konflik yang mengatasnamakan agama di Barat. Dengan konsep ini, para pemuka agama dipaksa membuktikan dirinya bersih dari label-label "tidak toleran" dan "berpikiran sempit". Sehingga mereka bisa diterima di dunia posmodern, di mana setiap keyakinan harus didasarkan pada relativisme. Oleh karena itu, setiap klaim kebenaran berdasar kitab suci, hukum dan moral yang sudah kedaluwarsa harus dihindari. (www.allaboutreligion.org/religious-pluralism.htm) Di Indonesia, paradigma lintas keyakinan dikembangkan kedalam Islam. Akhirnya banyak akademisi yang latah menyatakan: "Karena itu, berdasarkan hasil kajian dalam buku ini dari berbagai ayat al-Qur'an, maka pada hakekatnya setiap agama bisa dikatakan al-Islam". (Tafsir Inklusif Makna Islam). Di buku lain juga disebutkan:

"Sampai di sini, sejatinya pengertian Islam harus dipahami dalam makna generiknya, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, tidaklah terlalu tepat jika Islam dibatasi hanya untuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw." (Islam Mazhab HMI) Islam secara jelas membedakan antara mukmin dan kafir, tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, serta melarang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Pembedaan identitas ini tidak menghalangi umat Islam untuk menjalin muamalah, bermain sepak bola bersama dan berbuat baik kepada pemeluk agama lain. Bahkan Islam secara tegas melarang umatnya mencaci maki keyakinan orang kafir (QS. 6:108). Prinsip tertinggi bertoleransi sudah ditawarkan Islam di penghujung surat al-Kafirun: lakum dinukum waliya din, kalau itu kalian anggap sebagai agama, maka itu adalah urusan kalian, tetapi kami mempunyai agama dan pandangan hidup sendiri. Lebih lanjut, surat al-Kafirun merupakan perisai umat dari segala bentuk syirik dan ibaratkan setara dengan seperempat al-Qur'an. Oleh karena itu, Rasulullah mengajarkan kita untuk senantiasa membacanya sebelum beranjak tidur, di samping bacaan yang lain. Ataukah kita masih mau mencari lagi caracara bertoleransi untuk menandingi surat al-Kafirun? Surah Al-Kafirun (bahasa Arab: )adalah surah ke-109 dalam al-Qur'an. Surat ini terdiri atas 6 ayat dan termasuk surat Makkiyah. Nama Al Kaafiruun (orang-orang kafir) diambil dari kata yang muncul pada ayat pertama surat ini. Pokok isi surat ini adalah tidak diijinkannya kompromi dalam bentuk mencampuradukkan ajaran agama. [sunting]Latar Belakang Pada masa penyebaran Islam di Mekkah, kaum Quraisy yang menentang Rasulullah SAW tak henti-hentinya mencari cara untuk menghentikan ancaman Islam terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Pada salah satu upaya tersebut mereka berusaha mengajukan proposal kompromi kepada Rasulullah SAW dimana mereka menawarkan: jika Rasulullah mau memuja Tuhan mereka, maka merekapun akan memuja Tuhan sebagaimana konsep Islam. Kemudian surat ini diturunkan untuk mejawab hal itu. SURAH AL-KAFIRUN PENYANGKAL KEBENARAN

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Surah ini mengenai sebuah peristiwa ketika beberapa orang kafir berusaha mengadakan dialog dengan Nabi dalam rangka menjatuhkan beliau agar kaum muslim kembali ke kebiasaan lamanya menyembah berhala. Mereka mengusulkan untuk menyembah Allah selama satu tahun, mengikuti ajaran Nabi, dan tahun berikutnya mereka semua, termasuk Nabi dan kaum muslim, menyembah berhala-berhala tradisional mereka. Dengan demikian mereka akan berganti-ganti praktik ibadat sampai salah satu cara terbukti benar pada salah satu pihak. Maka, menurut jalan pikiran kaum kafir, jika ajaran Nabi benar, mereka akan memperoleh keuntungan dari mengikuti ajaran Nabi; tapi, jika praktik kaum kafir benar, maka mereka dan kaum muslim akan mendapat keuntungan dari menyembah berhala-berhala. Surah ini mempakan jawaban dari mereka yang percaya dan beriman kepada mereka yang tidak beriman.

1. Katakanlah: Wahai orang-orang yang menyangkal kebenaran (kafir)!

2. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, Ini adalah ungkapan penegasan dari orang beriman, yang percaya bahwa ia akan menerima dan merasakan rahmat dari Pencipta Yang Mahaesa. Oleh karena itu ia memberitahu orang kafir, 'Aku tidak menyembah apa

yang kamu sembah.' Orang yang beriman, malahan, menyembah langsung sumber makanan batinnya, yang menjaga agar selamat dari kegelapan yang melingkupi orang lain dan yang memberinya cahaya dan pencerahan. Sumber tersebut menambah keimanannya melalui ' ubudiyah (ibadah)nya dan melindunginya dari segala bahaya. Ibadah menjadikan perjalanannya mu'abbad (mudah, lancar, tidak ada perlawanan). Dengan kerendahan hatinya ia diangkat semakin lama semakin dekat kepada sumber mata air.

3. Dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah. Dengan kata lain: Engkau tidak punya jalan menuju sumber yang aku sembah, karena engkau tidak menyembah energi halus yang memancarkan semua Sifat.

4. Dan aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Tidak pernah akan, dan tidak pernah bisa, setelah tercerahkan, setelah dibukakan, setelah mengetahui Allah, menghormati atau memuja apa yang engkau sembah.

5. Dan kamu pun tidak akan menyembah apa yang akn sembah. Di masa akan datang, engkau pun tidak akan pernah menyembah kebenaran yang aku sembah. Ini merupakan ramalan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dalam kekufuran akan tetap dalam kekufuran. Ada orang yang telah diciptakan sebagai bahan bakar neraka, sebagaimana berulang kali dikatakan dalam Alquran, dan fakta ini tidak dapat diubah. Mereka akan tetap begitu meskipun kita meminta agar mereka tidak melakukan itu, meskipun segala upaya dilakukan untuk menarik mereka ke dalam cahaya din.

6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku! Orang yang beriman berada dalam ketenangan hati yang sempuma dan orang yang tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah menyimpulkan, 'Engkau mempunyai jalan sendiri, jalan yang kau pilih untuk melengkapi lagi dirimu dan berinteraksi dengan orang lain, dengan wujud apa pun yang kau anggap mutlak, dan aku punya jalan sendiri!' Kemudian orang-orang yang beriman dan berkeyakinan teguh bergandengan tangan mengikuti metoda yang telah disempumakan dari model Muhammad. Mereka tidak diterangi dari luar; penerangan mereka ber-asal dari dalam. Mereka berjalan sepanjang pantai lautan cahaya, dan pantai ini ada batas-batasnya. Inilah jalan orang mukmin, j'alan keyakinan yang sempurna egala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari tafsir surat Al Kafirun dan menarik faedah berharga di dalamnya. Semoga manfaat. Allah Taala berfirman,

6) Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Al Kaafirun: 1-6)

Surat ini adalah surat Makkiyah (yang turun sebelum hijroh). Kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam Membaca Surat Al Kaafirun Dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan, ) Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca di shalat dua rakaat thowaf yaitu surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas) dan surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun). (HR. Muslim no. 1218) Dari Abu Hurairah, ia berkata, )

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca di dua rakaat sunnah Fajr (Qobliyah Shubuh) yaitu surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas). (HR. Muslim no. 726) Dari Ibnu Umar, ia mengatakan,

}. Saya melihat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam shalat sebanyak dua puluh empat atau dua puluh lima kali. Yang beliau baca pada dua rakaat sebelum shalat subuh dan dua rakaat setelah maghrib adalah surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas). (HR. Ahmad 2/95. Syaikh Syu;aib Al Arnauth mengatakan, sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim) Isi Surat Al Kaafirun Surat ini berisi ajaran berlepas diri dari amalan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Surat ini berisi perintah untuk ikhlas dalam melakukan amalan (yaitu murni ditujukan pada Allah semata).

Tafsir Surat Al Kaafirun Firman Allah Taala,

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Ayat ini sebenarnya ditujukan pada orang-orang kafir di muka bumi ini. Akan tetapi, konteks ayat ini membicarakan tentang kafir Quraisy. Mengenai surat ini, ada ulama yang menyatakan bahwa karena kejahilan orang kafir Quraisy, mereka mengajak Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk beribadah kepada berhala mereka selama satu tahun, lalu mereka akan bergantian beribadah kepada sesembahan Rasul shallallahu alaihi wa sallam (yaitu Allah Taala) selama setahun pula. Akhirnya Allah Taala pun menurunkan surat ini. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk berlepas diri dari agama orang-orang musyrik tersebut secara total.

Yang dimaksud dengan ayat,

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, yaitu berhala dan tandingan-tandingan selain Allah. Maksud firman Allah selanjutnya,

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, yaitu yang aku sembah adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Taala firmankan selanjutnya,

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, maksudnya adalah aku tidak akan beribadah dengan mengikuti ibadah yang kalian lakukan, aku hanya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhoi. Oleh karena itu selanjutnya Allah Taala mengatakan kembali,

Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, maksudnya adalah kalian tidak akan mengikuti perintah dan syariat Allah dalam melakukan ibadah, bahkan yang kalian lakukan adalah membuat-buat ibadah sendiri yang sesuai selera hati kalian. Hal ini sebagaimana Allah firmankan,

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (QS. An Najm: 23) Ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan berlepas diri dari orang-orang musyrik dari seluruh bentuk sesembahan yang mereka lakukan. Seorang hamba seharusnya memiliki sesembahan yang ia sembah. Ibadah yang ia lakukan tentu saja harus mengikuti apa yang diajarkan oleh sesembahannya. Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan para pengikutnya menyembah Allah sesuai dengan apa yang Allah syariatkan. Inilah konsekuensi dari kalimat Ikhlas Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah. Maksud kalimat yang agung ini adalah tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan jalan cara untuk melakukan ibadah tersebut adalah dengan mengikuti ajaran Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Orang-orang musyrik melakukan ibadah kepada selain Allah, padahal tidak Allah izinkan. Oleh karena itu Rasul shallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Maksud ayat ini sebagaimana firman Allah,

Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Yunus: 41)

Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. (QS. Asy Syura: 15) Imam Al Bukhari mengatakan,

) Lakum diinukum, maksudnya bagi kalian kekafiran yang kalian lakukan. Wa liya diin, maksudnya bagi kami agama kami. Dalam ayat ini tidak ), maksudnya adalah ak ). Mereka mengatakan,

Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. (QS. Al Maidah: 64). Demikian yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari. Mengenai Ayat Yang Berulang dalam Surat Ini Mengenai firman Allah yang berulang dalam surat ini yaitu pada ayat, 5) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Ada tiga pendapat dalam penafsiran ayat ini: Tafsiran pertama: Menyatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk penguatan makna (takid). Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Jarir dari sebagian pakar bahasa. Yang semisal dengan ini adalah firman Allah Taala, 6) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Alam Nasyroh: 5-6) Begitu pula firman Allah Taala, 7)

Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (QS. At Takatsur: 6-7) Tafsiran kedua: Sebagaimana yang dipilih oleh Imam Bukhari dan para pakar tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud ayat,

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Ini untuk masa lampau. 5) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Ini untuk masa akan datang. Tafsiran ketiga: Yang dimaksud dengan ayat,

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Yang dinafikan (ditiadakan di sini) adalah perbuatan (menyembah selain Allah) karena kalimat ini adalah jumlah filiyah (kalimat yang diawali kata kerja). Sedangkan ayat,

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Yang dimaksudkan di sini adalah penafian (peniadaan) menerima sesembahan selain Allah secara total. Di sini bisa dimaksudkan secara total karena kalimat tersebut menggunakan jumlah ismiyah (kalimat yang diawali kata benda) dan ini menunjukkan takid (penguatan makna). Sehingga seakan-akan yang dinafikan dalam ayat tersebut adalah perbuatan (menyembah selain Allah) dan ditambahkan tidak menerima ajaran menyembah selain Allah secara total. Yang dimaksud ayat ini pula adalah menafikan jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mungkin sama sekali menyembah selain Allah. Tafsiran yang terakhir ini pula adalah tafsiran yang bagus. Wallahu alam. Faedah Berharga dari Surat Al Kafirun Dalam ayat ini dijelaskan adanya penetapan aqidah meyakini takdir Allah, yaitu orang kafir ada yang terus menerus dalam kekafirannya, begitu pula dengan orang beriman. Kewajiban berlepas diri (baro) secara lahir dan batin dari orang kafir dan sesembahan mereka. Adanya tingkatan yang berbeda antara orang yang beriman dan orang kafir atau musyrik. Ibadah yang bercampur kesyirikan (tidak ikhlas), tidak dinamakan ibadah. Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Dalam menyambut bulan suci Romadhon, saya sengaja memberikan sebuah postingan, yang berisi tentang PENYANGKAL KEBENARAN yang berada dalam surah Al-Kafirun.

??????? ??????? ??????????? ???????? Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Surah ini mengenai sebuah peristiwa ketika beberapa orang kafir berusaha mengadakan dialog dengan Nabi dalam rangka menjatuhkan beliau agar kaum muslim kembali ke kebiasaan lamanya menyembah berhala. Mereka mengusulkan untuk menyembah Allah selama satu tahun, mengikuti ajaran Nabi, dan tahun berikutnya mereka semua, termasuk Nabi dan kaum muslim, menyembah berhala-berhala tradisional mereka. Dengan demikian mereka akan berganti-ganti praktik ibadat sampai salah satu cara terbukti benar pada salah satu pihak. Maka, menurut jalan pikiran kaum kafir, jika ajaran Nabi benar, mereka akan memperoleh keuntungan dari mengikuti ajaran Nabi; tapi, jika praktik kaum kafir benar, maka mereka dan kaum muslim akan mendapat keuntungan dari menyembah berhala-berhala. Surah ini mempakan jawaban dari mereka yang percaya dan beriman kepada mereka yang tidak beriman. ???? ??? ???????? ????????????? 1. Katakanlah: Wahai orang-orang yang menyangkal kebenaran (kafir)! ??? ???????? ??? ??????????? 2. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, Ini adalah ungkapan penegasan dari orang beriman, yang percaya bahwa ia akan menerima dan merasakan rahmat dari Pencipta Yang Mahaesa. Oleh karena itu ia memberitahu orang kafir, Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Orang yang beriman, malahan, menyembah langsung sumber makanan batinnya, yang menjaga agar selamat dari kegelapan yang melingkupi orang lain dan yang memberinya cahaya dan pencerahan. Sumber tersebut menambah keimanannya melalui ubudiyah (ibadah)nya dan melindunginya dari segala bahaya. Ibadah menjadikan perjalanannya muabbad (mudah, lancar, tidak ada perlawanan). Dengan kerendahan hatinya ia diangkat semakin lama semakin dekat kepada sumber mata air. ????? ??????? ?????????? ??? ???????? 3. Dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah. Dengan kata lain: Engkau tidak punya jalan menuju sumber yang aku sembah, karena engkau tidak menyembah energi halus yang memancarkan semua Sifat. ????? ????? ??????? ???? ?????????? 4. Dan aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Tidak pernah akan, dan tidak pernah bisa, setelah tercerahkan, setelah dibukakan, setelah mengetahui Allah, menghormati atau memuja apa yang engkau sembah. ????? ??????? ?????????? ??? ???????? 5. Dan kamu pun tidak akan menyembah apa yang akn sembah. Di masa akan datang, engkau pun tidak akan pernah menyembah kebenaran yang aku sembah. Ini merupakan ramalan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dalam kekufuran akan tetap dalam kekufuran. Ada orang yang telah diciptakan sebagai bahan bakar neraka, sebagaimana berulang kali dikatakan dalam Alquran, dan fakta ini tidak dapat diubah. Mereka akan tetap begitu meskipun kita meminta agar mereka tidak melakukan itu, meskipun segala upaya dilakukan untuk menarik mereka ke dalam cahaya din. ?????? ????????? ?????? ????? 6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku! Orang yang beriman berada dalam ketenangan hati yang sempuma dan orang yang tahu bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah menyimpulkan, Engkau mempunyai jalan sendiri, jalan yang kau pilih untuk melengkapi lagi dirimu dan berinteraksi dengan orang lain, dengan wujud apa pun yang kau anggap mutlak, dan aku punya jalan sendiri! Kemudian orang-orang yang beriman dan berkeyakinan teguh bergandengan tangan

mengikuti metoda yang telah disempumakan dari model Muhammad. Mereka tidak diterangi dari luar; penerangan mereka ber-asal dari dalam. Mereka berjalan sepanjang pantai lautan cahaya, dan pantai ini ada batas-batasnya. Inilah jalan orang mukmin, jalan keyakinan yang sempurna.

Tafsir Surat 109 AL-KAFIRUN Tafsir Al-Azhar Prof Dr.HAMKA Surat 109: 6 ayat -di MAKKAH :Tidak Ada Kompromi (Tolak Ansur) dalam Aqidah dan Ibadah Sudah jelas, Surat ini diturunkan di Makkah dan yang dituju ialah kaum musyrikin, yang kafir, artinya tidak mau menerima seruan dan petunjuk kebenaran yang dibawakan Nabi kepada mereka.1. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Hai orang-orang kafir! "Katakanlah," olehmu hai utusanKu kepada orang-orang yang tidak mau percaya itu: "Hai orang-orang kafir!" (ayat 1). Hai orang-orang yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini disuruh sampaikan Tuhan oleh NabiNya kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula berkeras menantang Rasul dan sudah diketahui dalam ilmu Allah Ta'ala bahwa sampai saat terakhir pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran. Mereka menantang, dan Nabi s.a.w. pun tegas pula dalam sikapnya menantang penyembahan mereka kepada berhala, sehingga timbullah suatu pertandingan siapakah yang lebih kuat semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan itu, mencela berhala mereka, menyalahkan kepercayaan mereka. Maka bermuafakatlah pemuka-pemuka Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari, "damai". Yang mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina ialah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin alMuthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai: "Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika pegangan kami ini yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya." Inilah usul yang mereka kemukakan. Tidak berapa lama setelah mereka mengemukakan usul ini, turunlah ayat ini;2. "Aku tidak akan menyembah apa Yang kamu sembah. 3. "Dan kamu tidak mahu menyembah (Allah) Yang Aku sembah. 4. "Dan Aku tidak akan beribadat secara kamu beribadat. 5. "Dan kamu pula tidak mahu beribadat secara Aku beribadat. 6. "Bagi kamu ugama kamu, dan bagiku ugamaku". "Katakanlah, hai orang-orang yang kafir! "Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah." (ayat 2). Menurut tafsiran Ibnu Katsir yang disalinkannya dari Ibnu Taimiyah arti ayat yang kedua: "Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah," ialah rnenafikan perbuatan (nafyul fi'li) Artinya bahwa perbuatan begitu tidaklah pemah aku kerjakan. "Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah." (ayat 3). Artinya persembahan kita ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang aku sembah hanya Allah kan kalian menyembah kepada benda; yaitu kayu atau batu yang kamu perbuat sendiri dan kamu besarkan sendiri. "Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah." (ayat 4). "Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah." (ayat 5). Maka selain dari yang kita sembah itu berlain; kamu menyembah berhala aku menyembah Allah Yang Maha Esa, maka cara kita menyembah pun lain pula. Kalau aku menyembah Allah maka aku melakukan shalat di dalam syarat rukun yang telah ditentukan. Sedang kamu menyembah berhala itu sangatlah berbeda dengan cara aku menyembah Allah. Oleh sebab itu tidaklah dapat pegangan kita masingmasing ini didamaikan; "Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah agamaku." (ayat 6). Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik. Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan perbedaan ini di dalam tafsimya; "Dua jumlah kata yang pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya yang disembah lain dan Cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam persekutuan dan perkongsian dan mustahil menyatakan diriNya pada diri seseorang atau sesuatu benda. Allah, yang meratakan kurniaNya kepada siapa jua pun yang tulus ikhlas beribadat kepadaNya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaranNya dan menghukum orang yang menyembah kepada yang lain. Sedang yang kamu sembah bukan

itu, bukan Allah, melainkan benda. Aku menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadatmu itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. Untuk kamulah agama kamu, pakailah agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan itu. Dan untuk akulah agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan apa yang kamu sebut agama itu." Al-Qurthubi meringkaskan tafsir seluruh ayat ini begini: "Katakanlah olehmu wahai UtusanKu, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain. Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan; "Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula." Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita." Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme, yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja hantu atau jin dengan membaca Bismillah. Dan lain-lain sebagainya. * * * Pelengkap Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya: Tersebut dalam Shahih Muslim, diterima dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Surat al-Kafirun ini bersama Surat Qul Huwallaahu Ahad di dalam sembahyang sunnat dua rakaat sesudah tawaf. Dalam Shahih Muslim juga, dari Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. membaca Surat ini dan Qul Huwallaahu Ahad pada sembahyang dua rakaat sunnat Fajar (sebelum sembahyang Subuh). Demikian juga menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad dari Ibnu Umar, bahwa Nabi membaca kedua Surat ini dua rakaat Fajar dan dua rakaat sesudah Maghrib, lebih dari dua puluh kali. Sebuah Hadis dirawikan oleh al-Imam Ahmad dari Farwah bin Naufal alAsyja'iy, bahwa dia ini meminta pertunjuk kepada Nabi s.a.w. apa yang baik dibaca sebelum tidur. Maka Nabi menasihatkan supaya setelah dia mulai berbaring bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sebab dia adalah satu pernyataan diri sendiri bersih dari syirik. Dan telah kita jelaskan bahwa Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sama dengan seperempat dari al-Quran. Surat ini mengandung larangan menyembah yang selain Allah, mengandung pokok akidah, dan segala perbuatan hati. Dia setali dengan Qul Huwallaahu (Surat al-Ikhlas) yang akan kita tafsirkan kelak; Insya Allah.

You might also like