You are on page 1of 27

Bab I Pendahuluan

Pendidikan sebagai hak untuk SEMUA anak telah tercantum dalam berbagai instrumen internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen-instrumen selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat, sangat rentan untuk dikepinggirkan. Hak untuk memperoleh pendidikan DI DALAM sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pentingnya penggalangan sumber-sumber yang tepat untuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar PBB. Baru-baru ini, implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah dievaluasi oleh sejumlah LSM internasional yang menyatakan bahwa Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak akan terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput dan adanya alokasi seumber-sumber secara nyata. Penurunan angka kemiskinan merupakan prioritas donor akhir-akhir ini, dan ada pengakuan bahwa PUS dan Pendidikan Inklusif tidak akan berjalan kecuali langkah-langkah yang berkesinambungan dilakukan untuk mengurangi kemiskinan. Dalam kaitannya dengan praktek pendidikan, Pendidikan Inklusif dipandang telah berhasil meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan kebutuhan khusus. Peningkatan mutu sekolah merupakan persiapan yang sangat baik untuk Pendidikan Inklusif, tetapi sering kali tidak cukup baik untuk benar-benar menginklusikan kelompok anak yang paling termarjinalisasi. Pendidikan kebutuhan khusus telah menyumbangkan keahlian yang sangat praktis dan beberapa yang telah mengubah

haluan ke Pendidikan Inklusif dapat menjadi pendukung yang sangat kuat tetapi juga dapat menjadi halangan karena filosofi dasarnya tidak memberikan landasan yang tepat untuk keberlangsungan Pendidikan Inklusif. Kedua pergerakan ini mempunyai manifestasi yang berbeda di negara-negara Utara dan Selatan tetapi banyak elemenelemen yang sama. Pengaruh-pengaruh lainnya seperti kelompok-kelompok aktifis stakeholder utama (para penyandang cacat, orangtua, wanita), inisiatif masyarakat dan berbagai contoh keberhasilan dan kegagalan juga memberikan kontribusi terhadap

perkembangan Pendidikan Inklusif.

Bab II Pembahasan

A. Definisi Pendidikan Inklusif Definisi pendidikan inklusif juga terus-menerus berkembang sejalan dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktek yang ada, dan sejalan dengan dilaksanakannya pendidikan inklusif dalam berbagai budaya dan konteks yang semakin luas. Definisi pendidikan inklusif harus terus berkembang jika pendidikan inklusif ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia. Akhirnya, mendefinisikan pendidikan inklusif itu penting karena banyak orang masih menganggap bahwa pendidikan inklusif hanya merupakan versi lain dari PLB. Konsep utama dan asumsi yang melandasi pendidikan inklusif adalah justru dalam berbagai hal bertentangan dengan konsep dan asumsi yang melandasi pendidikan luar biasa. Inklusi atau Pendidikan Inklusif bukan nama lain untuk pendidikan pendekatan kebutuhan yang khusus. Pendidikan inklusif menggunakan dan mencoba

berbeda

dalam

mengidentifikasi

memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah. Pendidikan kebutuhan khusus dapat menjadi hambatan bagi perkembangan praktek inklusi di sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi gerakan Pendidikan untuk Semua dan Peningkatan mutu sekolah.

Pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk belajar dan berpartisipasi. Beberapa definisi Pendidikan Inklusif Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Inklusi terkandung unsur adanya: 1. Layanan Pendidikan yang mengikutsertakan ABK untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di kelas regular/ biasa terdekat dengan tempat tinggalnya; 2. Pemberian akses seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; 3. Pemberian layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan semua anak, Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara (terutama dari Selatan) pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education dengan hampir tidak mengalami perubahan: Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan Pendidikan Inklusif:

1. Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. 2. Mengakui bahwa semua anak dapat belajar. 3. Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. 4. Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll. 5. Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. 6. Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus. Oleh karena itu, Pendidikan Inklusif tidak hanya menyangkut inklusif penyandang cacat. Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapat banyak kelompok yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan inklusif pada esensinya adalah menciptakan sistem yang dapat mengakomodasi semua orang. Namun, demi alasan historis dan alasan lainnya (dibahas kemudian), inklusif penyandang cacat telah memberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakan dan praktek sistem pendidikan umum. Dokumendokumen selanjutnya yang spesifik mengenai penyandang cacat setelah

dokumen Jomtien lebih jauh mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan hak penyandang cacat atas pendidikan dalam prakteknya. Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Pendidikan Inklusif adalah suatu strategi untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui perubahan kebijakan dan pelaksanaan yang eksklusif. Pendidikan Inklusif berfokus pada peminimalan dan penghilangan berbagai hambatan terhadap akses, partisipasi dan belajar bagi semua anak, terutama bagi mereka yang secara sosial terdiskriminasikan sebagai akibat kecacatan dan kelainannya. Pendidikan inklusif melihat perbedaan individu bukan suatu masalah, namun lebih pada kesempatan untuk memperkaya pembelajaran bagi semua anak. Pendidikan Inklusif melaksanakan hak setiap anak untuk tidak

terdiskriminasikan secara hukum sebagaimana tercantum dalam konvensi PBB (UNCRC) tentang hak anak.

Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat (1993) terdiri dari peraturanperaturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat. Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan dokumen Jomtien, pendidikan bagi para penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa Negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang cacat. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandang cacat diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga membebaskan pemerintah dari tanggung jawabnya. Peraturan 6 mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasi pada masa itu). Poin-poin kuncinya adalah: 1. Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harus bertanggung jawab atas pendidikan penyandang cacat dan harus: a. mempunyai kebijakan yang jelas, b. mempunyai kurikulum yang fleksibel, c. memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru dan memberikan bantuan yang berkelanjutan. 2. Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harus didukung dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan kualitas tinggi bukan pilihan yang murah. 3. Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang penting terhadap Pendidikan Inklusif. 4. Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistem pendidikan umum tidak memadai terutama untuk siswa tunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9).

B. Perbedaan Pendidikan Inklusif dengan Pendidikan pada Umumnya Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa peserta didik memiliki kemampuan yang homogin. Sebaliknya pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya. C. Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan

menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.

D. Latarbelakang Perlunya Pendidikan Inklusif Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan. Selama ini, pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau anak berkebutuhan khusus (ALB) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak berkebutuhan khusus dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sementara itu, pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang

menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima

anak berkebutuhan khusus. Di samping itu keberadaan sekolah khusus lokasinya sebagian besar berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas apabila dibiarkan akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Akibat lebih lanjut, mutu sumber daya manusia (SDM) akan semakin tertinggal. Dalam rangka mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar dan mengatasi permasalahan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkebutuhan khusus yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di sekolah terdekat. Sudah barang tentu sekolah terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. E. Landasan Pendidikan Inklusif

Penyelenggaraan sekolah inklusi bagi peserta didik berkebutuhan khusus secara yuridis memiliki landasan yang kuat, diantaranya: 1. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1: setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. 2. UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 menyebutkan penidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa . 3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, 4. UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, 5. PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, 6. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masingmasing minimal satu sekolah, 7. Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang Indonesia menuju Pendidikan Inklusi,

8. Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang Pendidikan untuk semua yang antara lain menyebutkjan bahwa penyelenggaraan dan

pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat.

Berdasarkan landasan yuridis yang sebagian telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan inklusi perlu diselenggarakan yang implemetasinya memerlukan kesungguhan dan komitmen dari berbagai pihak. Landasan Yuridis

Deklarasi Dakar Pendidikan Untuk Semua (2000) Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills) yang sesuai. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa. Menghapus disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses

penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting. Seruan International Education For All ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Senegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Pernyataan Salamanca Tahun 1994 merupakan perluasan tujuan Education For All melandasi pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan pemerintah yang mendasar untuk menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Dalam menerapkan pendidikan inklusif sekolah reguler memerlukan dukungan sekolah luar biasa dan Sentra PK/PLK sebagai Pusat Sumber. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.

Landasan Filosofis Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan, kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb. Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb. Bertolak dari filosofis tersebut maka, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama. Artinya dari individu kecacatan pasti ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat, pasti terdapat kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di dunia ini yang sempurna. Sistem Pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam sehingga mendorong sikap demokratis dan penghargaan asas HAM.

F. Manfaat Pendidikan Inklusi

Beberapa Kebaikan Pendidikan Inklusif

Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.

Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi.

Semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.

Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak. Alasan Pendidikan Inklusif Diterapkan

Semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak di-diskriminasi-kan dan memperoleh pendidikan yang bermutu.

Semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya.

Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak.

Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespon dari kebutuhan pembelajaran yang berbeda.

G. Model Pendidikan Inklusif Telah disinggung pada uraian di muka bahwa pendidikan inklusif merupakan model pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terkini. Sejak digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan khusus, ada upaya kuat melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara terpadu, bahkan terpadu penuh (inklusif), dengan anak normal di sekolah biasa. Model pendidikan inklusif semakin meluas pengkajiannya sejak ada pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan khusus bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Perkembangan pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah iinklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.

Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Di samping itu ada pula bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anakanak berhasil. Bahkan sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu baik dari guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individual anak berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat terpenuhi. Staub dan Peck (1995) (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkebutuhan gradasinya. Sapon-Shevin (ONeil, 1995) (dalam Sunardi, 2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolahsekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. khusus, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun

Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya. Benang merah yang dapat ditarik dari adanya variasi pendapat para ahli diantaranya adalah bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.

Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya. H. Penatalaksanaan Pendidikan Inklusif di sekolah Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Adapun prinsip-prinsip penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yakni : 1. Prinsip pemerataan dan penyelenggaraan mutu. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan dan peningkatan mutu. Pendidikan inklusif merupakan salah satu strategi upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, karena lembaga pendidikan inklusi bisa menampung semua anak yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan strategi peningkatan mutu, karena model pembelajaran inklusif

menggunakan metodologi pembelajaran berfariasi yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan. 2. Prinsip kebutuhan individual Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda, oleh karena itu pendidikan harus diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.

3. Prinsip kebermakanaan Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. 4. Prinsip berkelanjutan Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan. 5. Prinsip keterlibatan Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait. 6. Prinsip Khusus pada Anak Lambat Belajar (Slow Learner) Anak lambat belajar adalah anak yang mengalami

kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (intelegensi), yakni intelegensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual mereka sering mengalami kesulitan. Oleh karena itu, kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun, mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya. I. Kurikulum Pendidikan Inklusi PENGEMBANGAN KURIKULUM A. Lingkup Pengembangan Kurikulum

Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan

karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap: 1. alokasi waktu, 2. isi/materi kurikulum, 3. proses belajar-mengajar, 4. sarana prasarana, 5. lingkungan belajar, dan 6. pengelolaan kelas. B. Pengembang Kurikulum Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. C. Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan: 1. Modifikasi alokasi waktu Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.

Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam. * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam. * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam; * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya. 2. Modifikasi isi/materi * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat. * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. * Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu. 3. Modifikasi proses belajar-mengajar

* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal; * Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak; * Lebih terbuka (divergent); * Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain. * Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, aku-lah sang juara! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin ego-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.

Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.

Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.

Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis. * Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kendala / Kelemahan Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel. 3.2. Solusi Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi

hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa. 3.3 Hasil Pendidikan Inklusi Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu: 1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus. 2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.

3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah. 4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika. 5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.

Daftar Pustaka http://inti.student.fkip.uns.ac.id/2009/01/15/pendidikan-inklusive/, tanggal 17 April 2012. http://sekolahdolan.org/kebutuhan-khusus, diakses pada tanggal 17 April 2012. http://arniet-nyit-nyit.blogspot.com/2010/12/makalah-pendidikan-inklusi.html
http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=78

diakses

pada

You might also like